Oleh :
Indana Lazulfa
NIM. 1811020079
1.1 DEFINISI
Preeklampsia adalah timbulnya hipertensi disertai proteinuria dan edema akibat
kehamilan setelah usia kehamilan 20 minggu atau segera setelah persalinan. Eklampsia
adalah preeklampsia yang disertai kejang dan atau koma yang timbul akibat kelainan
neurologi (Kapita Selekta Kedokteran edisi ke-3).
Preeklampsia merupakan sindrom spesifik-kehamilan berupa berkurangnya
perfusi organ akibat vasospasme dan aktivasi endotel, yang ditandai dengan hipertensi
yang timbul setelah 20 minggu kehamilan disertai dengan proteinuria (Cunningham, et
al, 2007). Hipertensi ialah tekanan darah ≥140/90 mmHg. Dengan catatan, pengukuran
darah sekurang-kurangnya dilakukan 2 kali selang 4 jam. Sedangkan proteinuria adalah
adanya 300 mg protein dalam urin 24 jam atau sama dengan ≥1+ dipstick (Angsar,
2008).
Preeklampsia berat ialah preeklampsia dengan tekanan darah sistolik ≥ 160
mmHg dan tekanan darah diastolik ≥ 110 mmHg disertai proteinuria ≥ 5 g/ 24 jam atau
kualitatif 4+. Sedangkan pasien yang sebelumnya mengalami preeclampsia kemudian
disertai kejang dinamakan eklampsia (Angsar, 2008). Penggolongan preeclampsia
menjadi preeclampsia ringan dan preeclampsia berat dapat menyesatkan karena
preeclampsia ringan dalam waktu yang relative singkat dapat berkembang menjadi
preeclampsia berat (Cunningham, et al, 2007).
1.2 KLASIFIKASI
Klasifikasi pre eklamsia dibagi menjadi 2 yaitu sebagai berikut:
a. Pre eklamsia ringan
Pre eklamsia ringan ditandai dengan:
1) Tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih yang diukur pada posisi berbaring
terlentang; kenaikan diastolik 15 mmHg atau lebih dari tensi baseline (tensi
sebelum kehamilan 20 minggu); dan kenaikan sistolik 30 mmHg atau lebih. Cara
pengukuran sekurang-kurangnya pada 2 kali pemeriksaan dengan jarak periksa 1
jam, atau berada dalam interval 4-6 jam.
2) Edema umum, kaki, jari tangan, dan muka; kenaikan berat badan 1 kg atau lebih
dalam seminggu.
3) Proteinuria kuantatif 0,3 gr atau lebih per liter; kualitatif 1 + atau 2 + pada urin
kateter atau midstream (aliran tengah).
b. Pre eklamsia berat
Pre eklamsia berat ditandai dengan:
1) Tekanan darah 160/110 mmHg atau lebih.
2) Proteinuria 5 gr atau lebih per liter.
3) Oliguria, yaitu jumlah urin kurang dari 500 cc per 24 jam .
4) Adanya gangguan serebral atau kesadaran, gangguan visus atau penglihatan, dan
rasa nyeri pada epigastrium.
5) Terdapat edema paru dan sianosis
6) Kadar enzim hati (SGOT, SGPT) meningkat disertai ikterik.
7) Perdarahan pada retina.
8) Trombosit kurang dari 100.000/mm.
1.3 ETIOLOGI
Setiap teori mengenai etiologi dan patofisiologi preeclampsia harus dapat
menjelaskan alasan mengapa hipertensi pada kehamilan cenderung terjadi pada:
Wanita yang terpapar dengan villi korionik untuk pertama kali
Wanita yang terpapar oleh vili korionik dalam jumlah besar, seperti pada kehamilan
kembar atau kehamilan mola.
Wanita dengan predisposisi penyakit vaskuler sebelumnya.
Wanita dengan predisposisi genetic ada yang pernah menderita hipertensi selama
kehamilan.
Vili korionik yang dapat mencetuskan preeclampsia tidak harus berada di dalam
rahim. Sedangkan ada atau tidaknya janin bukanlah suatu syarat untuk terjadinya
preeklampsia. Namun demikian, terlepas dari etiologinya, kaskade peristiwa yang
mengarah ke sindrom preeklampsia ditandai dengan sejumlah kelainan yang
mengakibatkan kerusakan endotel vaskular dengan vasospasme, transudasi plasma, dan
sequelae iskemik dan trombotik. Menurut Sibai (2003), penyebab potensial saat ini
masuk akal adalah sebagai berikut:
1. Invasi trofoblas abnormal pada pembuluh darah rahim.
2. Intoleransi imunologi antara jaringan ibu dan fetoplacental.
3. Maladaptasi ibu terhadap perubahan kardiovaskular atau perubahan respon inflamasi
dari kehamilan normal.
4. Faktor defisiensi nutrisi.
5. Faktor genetic (Cunningham, et al, 2007).
1.3.1 Invasi trofoblas abnormal
Pada implantasi normal, arteri spiralis uterus mengalami remodelling akibat
invasi endovascular trophoblasts ke dalam lapisan otot arteri spiralis. Hal ini
menimbulkan degenerasi lapisan otot arteri spiralis sehingga terjadi dilatasi dan
distensi (Gambar 2.1). Pada preeclampsia, terjadi invasi trofoblas namun tidak
sempurna dan tidak terjadi invasi sel-sel trofoblas pada lapisan otot arteri spiralis.
Dalam hal ini, hanya pembuluh darah desidua (bukan pembuluh darah miometrium)
yang dilapisi oleh endovaskuler trofoblas. Akibatnya, lapisan otot arteri spiralis tetap
kaku dan keras serta tidak memungkinkan untuk mengalami distensi dan dilatasi. Ini
menciptkan suatu keadaan di mana arteri spiralis mengalami vasokonstriksi relative.
Madzali dan rekannya (2000) menunjukkan bahwa keparahan defek invasi trofoblas
pada arteri spiralis berkaitan dengan keparahan hipertensi (Cunningham, et al, 2007).
Gambar 2.1 Implantasi plasenta yang normal
menunjukkan adanya proliferasi trofoblas
extravili, membentuk saluran di bawah villi
yang melekat. Trofoblas extravillous
menginvasi desidua dan masuk ke dalam
artei spiralis. Hal ini menyebabkan perubahan
pada endotel dan dinding otot pembuluh
darah sehingga pembuluh darah melebar
(Cunningham, et al, 2007)
Gambar 2.2 Prerbandingan remodelling arteri spiralis pada kehamilan normal dan
preeclampsia. Tampak pada gambar bahwa pada preeclampsia terjadi remodeling yang
tidak sempurna sehingga arteri spiralis relative menjadi lebih konstriksi. (Cunningham,
et al, 2007)
De wolf dan rekannya (1980) mengamati arteri-arteri yang diambil dari sisi
implantasi plasenta dengan menggunakan mikroskop electron. Mereka menemukan
bahwa perubahan preeklampsi pada tahap awal termasuk kerusakan endotel, insudasi
plasma ke dalam pembuluh darah, proliferasi sel-sel miointima, dan nekrosis medial.
Mereka menemukan adanya lipid yang trerakumulasi di dalam sel-sel miointima
kemudian di dalam makrofag. Dalam gambar 2.3 tampak sel-sel lipid bersama sel
inflamasi lainnya di dalam pembuluh darah dinamakan atherosis. Biasanya, pembuluh
darah yang terkena atherosis akan berkembang menjadi aneurisma dan seringkali
berkaitan dengan arteriola spiralis yang gagal untuk melakukan adaptasi. Obstruksi
pada lumen arteriola spiralis oleh atherosis dapat mengganggu aliran darah plasenta.
Hal inilah yang membuat perfusi plasenta menurun dan menyebabkan terjadinya
sindrom preeklampsi (Cunningham, et al, 2007)
Gambar 2.3
Atherosis dalam pembuluh darah ini diambil dari anyaman plasenta (sebelah kiri,
menunjukkan gambaran fotomikrograf; sebelah kanan, menunjukkan diagram skematik dari
pembuluh darah). Kerusakan endotel menyebabkan penyempitan pada lumen pembuluh darah
akibat akumulasi protein plasma dan foamy makrofag di bawah endotel. Foamy makrofag
ditunjukkan oleh anak panah yang melengkung, sedangkan anak panah yang lurus
menunjukkan kerusakan endotel.
1.5 PATOFISIOLOGI
1.6 MANIFESTASI KLINIS
Biasanya tanda-tanda pre eklampsia timbul dengan urutan pertambahan berat
badan yang berlebihan, diikuti edema, hipertensi, dan akhirnya proteinuria. Pada pre
eklampsia ringan tidak ditemukan gejala-gejala subyektif. Sedangkan pada pre
eklampsia berat ditemukan gejala subjektif berupa sakit kepala di daerah frontal,
diplopia, penglihatan kabur, nyeri di daerah epigastrium, dan mual atau muntah. Gejala-
gejala ini sering ditemukan pada pre eklampsia yang meningkat dan merupakan
petunjuk bahwa eklampsia akan timbul. Penegakkan diagnosa pre eklampsia
yaitu adanya 2 gejala di antara trias tanda utama, dimana tanda utamanya yaitu
hipertensi dan 2 tanda yang lain yaitu edema atau proteinuria. Tetapi dalam praktik
medis hanya hipertensi dan proteinuria saja yang dijadikan sebagai 2 tanda dalam
penegakkan diagnosa pre eklamsia.
Digolongkan preeclampsia berat bila ditemukan satu atau lebih gejala sebagai
berikut:
Tekanan darah sistolik ≥160 mmHg dan tekanan darah diastolic ≥ 110 mmHg.
Tekanan darah tidak turun meskipun ibu hamil sudah dirawat di rumah sakit dan
sudah menjalani tirah baring.
Proteinuria lebih 5 g/24 jam atau 4+ dalam pemeriksaan kualitatif.
Oliguria, yaitu produksi urin <500 cc/24 jam.
Peningkatan kreatinin plasma (>1.2 mg/dL).
Gangguan visus dan serebral: penurunan kesadaran, nyeri kepala, skotoma, dan
pandangan kabur.
Nyeri epigastrium atau nyeri pada kuadran kanan atas abdomen (akibat teregangnya
kapsula Glisson oleh karena nekrosis hepatoseluler, iskemia, dan edema).
Gangguan fungsi hepar (peningkatan kadar AST dan ALT)
Edema paru-paru dan sianosis.
Hemolisis mikroangiopati (ditandai dengan peningkatan LDH)
Trombositopenia (<100.000/mm3)
Pertumbuhan janin intra uterin yang terlambat.
Sindrom HELLP.
1.8 PENATALAKSANAAN
Prinsip penatalaksanaan preeklampsia adalah sebagai berikut :
1. Melindungi ibu dari efek peningkatan tekanan darah
2. Mencegah progresifitas penyakit menjadi eklampsia
3. Mengatasi dan menurunkan komplikasi pada janin
4. Terminasi kehamilan dengan cara yang paling aman
Perawatan preeklampsia berat dibagi menjadi dua unsur:
Pertama adalah rencana terapi pada penyulitnya: yaitu terapi medikamentosa dengan
pemberian obat-obatan untuk penyulitnya
Kedua baru menentukan rencana sikap terhadap kehamilannya: yang tergantung pada
umur kehamilannya dibagi 2, yaitu:
Ekspektatif; Konservatif : bila umur kehamilan < 37 minggu, artinya: kehamilan
dipertahankan selama mungkin sambil memberi terapi medikamentosa
Aktif, agresif: bila umur kehamilan > 37 minggu, artinya kehamilan diakhiri setelah
mendapat terapi medikamentosa untuk stabilisasi.
1.8.1 Penanganan di Puskesmas
Mengingat terbatasnya fasilitas yang tersedia di Puskesmas, secara prinsip
pasien dengan PEB dan eklampsia harus dirujuk ke tempat pelayanan kesehatan dengan
fasilitas yang lebih lengkap. Persiapan yang perlu dilakukan dalam merujuk pasien PEB
atau eklampsia adalah sebagai berikut :
1. Pada pasien PEB/Eklampsia sebelum berangkat, pasang infus RD 5, berikan SM 20
% 4 g iv pelan-pelan selama 5 menit, bila timbul kejang ulangan berikan SM 20 %
2 g iv pelan-pelan. Bila tidak tersedia berikan injeksi diazepam 10 mg iv secara
pelan-pelan selama 2 menit, bila timbul kejang ulangan ulangi dosis yang sama.
2. Untuk pasien dengan eklampsia diberikan dosis rumatan setelah initial dose di atas
dengan cara : injeksi SM 40 % masing-masing 5 g im pada glutea kiri dan kanan
bergantian, atau drip diazepam 40 mg dalam 500 c RD 5 28 tpm
3. Pasang Oksigen dengan kanul nasal atau sungkup.
4. Menyiapkan surat rujukan berisi riwayat penyakit dan obat-obat yang sudah
diberikan.
5. Menyiapkan partus kit dan sudip lidah.
6. Menyiapkan obat-obatan : injeksi SM 20 %, injeksi diazepam, cairan infuse, dan
tabung oksigen.
7. Antasid untuk menetralisir asam lambung sehingga bila mendadak kejang dapat
mencegah terjadinya aspirasi isi lambung yang sangat asam.
1.8.2 Penanganan di rumah sakit
Dasar pengelolaan PEB terbagi menjadi dua. Pertama adalah pengelolaan
terhadap penyulit yang terjadi, kedua adalah sikap terhadap kehamilannya.
Penanganan penyulit pada PEB meliputi (Prasetyorini, 2009):
a. Pencegahan Kejang
• Tirah baring, tidur miring kiri
• Infus RL atau RD5
• Pemberian anti kejang MgSO4 yang terbagi menjadi dua tahap, yaitu :
- Loading / initial dose : dosis awal
- Maintenance dose : dosis rumatan
Pasang Foley catheter untuk monitor produksi urin
Tabel 1. Tatacara Pemberian SM pada PEB
Loading dose Maintenance dose
SM 20 % 4 g iv pelan-pelan - SM 40 % 10 g im, terbagi pada
selama 5 menit glutea kiri dan kanan
- SM 40 % 5 g per 500 cc RD5 30
tts/m
1. SM rumatan diberikan sampai
24 jam pada perawatan
konservatif dan 24 jam setelah
persalinan pada perawatan aktif
Syarat pemberian SM :
- Reflex patella harus positif
- Respiration rate > 16 /m
- Produksi urine dalam 4 jam 100cc
- Tersedia calcium glukonas 10 %
Antidotum :
Bila timbul gejala intoksikasi SM dapat diberikan injeksi Calcium
gluconas 10 %, iv pelan-pelan dalam waktu 3 menit
Bila refrakter terhadap SM dapat diberikan preparat berikut :
1. Sodium thiopental 100 mg iv
2. Diazepam 10 mg iv
3. Sodium amobarbital 250 mg iv
4. Phenytoin dengan dosis :
- Dosis awal 100 mg iv
- 16,7 mg/menit/1 jam
500 g oral setelah 10 jam dosis awal diberikan selama 14 jam
b. Antihipertensi
• Hanya diberikan bila tensi ≥ 180/110 mmHg atau MAP ≥ 126
• Bisa diberikan nifedipin 10 – 20 mg peroral, diulang setelah 30 menit,
maksimum 120 mg dalam 24 jam
• Penurunan darah dilakukan secara bertahap :
- Penurunan awal 25 % dari tekanan sistolik
- Target selanjutnya adalah menurunkan tekanan darah < 160/105 mmHg
atau MAP < 125
c. Diuretikum
Tidak diberikan secara rutin karena menimbulkan efek :
• Memperberat penurunan perfusi plasenta
• Memperberat hipovolemia
• Meningkatkan hemokonsentrasi
Indikasi pemberian diuretikum :
1. Edema paru
2. Payah jantung kongestif
3. Edema anasarka
1.9 KOMPLIKASI
Komplikasi yang dapat terjadi pada pasien dengan pre eklamsia tergantung pada
derajat pre eklamsia yang dialami. Namun yang termasuk komplikasi pre eklamsia
antara lain:
a. Komplikasi pada Ibu
1) Eklamsia.
2) Tekanan darah meningkat dan dapat menyebabkan perdarahan otak dan gagal
jantung mendadak yang berakibat pada kematian ibu.
3) Gangguan fungsi hati: Sindrom HELLP (Hemolisis, Elevated, Liver, Enzymes
and Low Plateleted) dan hemolisis yang dapat menyebabkan ikterik. Sindrom
HELLP merupakan singkatan dari hemolisis (pecahnya sel darah merah),
meningkatnya enzim hati, serta rendahnya jumlah platelet/trombosit darah.
HELLP syndrome dapat secara cepat mengancam kehamilan yang ditandai
dengan terjadinya hemolisis, peningkatan kadar enzim hati, dan hitung trombosit
rendah. Gejalanya yaitu mual, muntah, nyeri kepala, dan nyeri perut bagian kanan
atas.
4) Solutio plasenta.
5) Hipofebrinogemia yang berakibat perdarahan.
6) Gangguan fungsi ginjal: oligo sampai anuria.
7) Perdarahan atau ablasio retina yang dapat menyebabkan kehilangan penglihatan
untuk sementara.
8) Aspirasi dan edema paru-paru yang dapat mengganggu pernafasan.
9) Cedera fisik karena lidah tergigit, terbentur atau terjatuuh dari tempat tidur saat
serangan kejang.
10) DIC (Disseminated Intravascular Coagulation) atau kelainan pembekuan
darah.
b. Komplikasi pada Janin
1) Hipoksia karena solustio plasenta.
2) Terhambatnya pertumbuhan janin dalam uterus sehingga terjadi peningkatan
angka morbiditas dan mortalitas perinatal.
3) Asfiksia mendadak atau asfiksia neonatorum karena spasme pembuluh darah dan
dapat menyebabkan kematian janin (IUFD).
4) Lahir prematur dengan risiko HMD (Hyalin Membran Disease).
BAB 2
PENGKAJIAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
2.1 PENGKAJIAN
a. Data Subjektif
1) Umur biasanya sering terjadi pada primigravida , < 20 tahun atau > 35 tahun
2) Riwayat kesehatan ibu sekarang : terjadi peningkatan tekanan darah, adanya
edema, pusing, nyeri epigastrium, mual, muntah, penglihatan kabur, pertambahan
berat badan yang berlebihan yaitu naik > 1 kg/minggu, pembengkakan ditungkai,
muka, dan bagian tubuh lainnya, dan urin keruh dan atau sedikit (pada pre
eklamsia berat < 400 ml/24 jam).
3) Riwayat kesehatan ibu sebelumnya : penyakit ginjal, anemia, vaskuler esensial,
hipertensi kronik, DM.
4) Riwayat kehamilan: riwayat kehamilan ganda, mola hidatidosa, hidramnion serta
riwayat kehamilan dengan pre eklamsia atau eklamsia sebelumnya
5) Pola nutrisi : jenis makanan yang dikonsumsi baik makanan pokok maupun
selingan
6) Psikososial spiritual : Emosi yang tidak stabil dapat menyebabkan kecemasan,
oleh karenanya perlu kesiapan moril untuk menghadapi resikonya.
7) Pola Aktivitas
a. Aktivitas
Gejala : Biasanya pada pre eklamsi terjadi kelemahan, penambahan berat
badan atau penurunan BB, reflek fisiologis +/+, reflek patologis -/-.
Tanda : Pembengkakan kaki, jari tangan, dan muka
b. Sirkulasi
Gejala : Biasanya terjadi penurunan oksegen.
c. Abdomen
Gejala :
Inspeksi : Biasanya Perut membuncit sesuai usia kehamilan aterm, apakah
adanya sikatrik bekas operasi atau tidak ( - )
Palpasi :
Leopold I : Biasanya teraba fundus uteri 3 jari di bawah proc. Xyphoideus
teraba massa besar, lunak, noduler
Leopold II : Teraba tahanan terbesar di sebelah kiri, bagian – bagian kecil
janin di sebelah kanan.
Leopold III : Biasanya teraba masa keras, terfiksir
Leopold IV : Biasanya pada bagian terbawah janin telah masuk pintu atas
panggul
Auskultasi : Biasanya terdengar BJA 142 x/1’ regular
d. Eliminasi
Gejala : Biasanya proteinuria + ≥ 5 g/24 jam atau ≥ 3 pada tes celup, oliguria
e. Makanan / cairan
Gejala : Biasanya terjadi peningkatan berat badan dan penurunan , muntah-
muntah
Tanda : Biasanya nyeri epigastrium,
f. Integritas ego
Gejala : Perasaan takut.
Tanda : Cemas.
g. Neurosensori
Gejala : Biasanya terjadi hipertensi
Tanda : Biasanya terjadi kejang atau koma
h. Nyeri / kenyamanan
Gejala : Biasanya nyeri epigastrium, nyeri kepala, sakit kepala, ikterus,
gangguan penglihatan.
Tanda : Biasanya klien gelisah,
i. Pernafasan
Gejala : Biasanya terjadi suara nafas antara vesikuler, Rhonki, Whezing, sonor
Tanda : Biasanya ada irama teratur atau tidak, apakah ada bising atau tidak.
j. Keamanan
Gejala : Apakah adanya gangguan pengihatan, perdarahan spontan.
k. Seksualitas
Gejala : Status Obstetrikus
b. Data Objektif
1) Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi : edema yang tidak hilang dalam kurun waktu 24 jam.
b) Palpasi : untuk mengetahui TFU, letak janin, dan lokasi edema.
c) Perkusi : untuk mengetahui refleks patella sebagai syarat pemberian SM jika
refleks positif.
d) Auskultasi : mendengarkan DJJ untuk mengetahui adanya fetal distress.
Selain itu, untuk pre eklamsia ringan tekanan darah pasien > 140/90 mmHg
atau peningkatan sistolik > 30 mmHg dan diastolik > 15 mmHg dari tekanan
biasa (base line level/tekanan darah sebelum usia kehamilan 20 minggu).
Sedangkan untuk pre eklamsia berat tekanan darah sistolik > 160 mmHg, dan
atau tekanan darah diastolik > 110 mmHg.
2) Pemeriksaan Penunjang
a) Tanda vital yang diukur dalam posisi terbaring atau tidur, diukur 2 kali
dengan interval 4-6 jam
b) Laboratorium : proteinuria dengan kateter atau midstream (biasanya
meningkat hingga 0,3 gr/lt atau lebih dan +1 hingga +2 pada skala kualitatif),
kadar hematokrit menurun, BJ urine meningkat, serum kreatinin meningkat,
uric acid biasanya > 7 mg/100 ml.
c) Berat badan : peningkatannya lebih dari 1 kg/minggu.
d) Tingkat kesadaran: penurunan GCS sebagai tanda adanya kelainan pada otak.
e) USG: untuk mengetahui keadaan janin.
f) NST: untuk mengetahui kesejahteraan janin.
2.2 DIAGNOSA KEPERAWATAN YANG MUNCUL
Menurut Herdman (2012), diagnosa keperawatan yang mungkin muncul yaitu sebagai
berikut:
a. Risiko ketidakefektifan perfusi jaringan otak berhubungan dengan pre eklamsia
berat.
b. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi-perfusi akibat
penimbunan cairan paru : adanya edema paru.
c. Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan preload dan afterload.
d. Kelebihan volume cairan berhubungan dengan gangguan mekanisme regulasi.
e. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan umum.
f. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan penyebab multipel.
g. Ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh b.d faktor psikologis dan
ketidakmampuan untuk mencerna, menelan, dan mengabsorpsi makanan.
h. Risiko cedera berhubungan dengan diplopia, dan peningkatan intrakranial: kejang.
Pathway
Tekanan darah
Bobak, I.M., Deitra L.L., & Margaret D. J. (2005). Buku ajar keperawatan maternitas, Edisi
4. Jakarta: EGC
Johnson, M. M., & Sue M. (2000). Nursing outcame clasification. Philadelphia: Mosby.
McCloskey & Gloria M.B. (1996). Nursing Intervention Clasification. USA: Mosby.
Sumiati & Dwi F. (2012). “Hubungan obesitas terhadap pre eklamsia pada kehamilan di RSU
Haji Surabaya”. Embrio, Jurnal Kebidanan, Vol 1, No.2, Hal. 21-24.
Penurunan curah Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Evaluasi adanya nyeri dada 1. Menunjukan jantung
jantung selama 3x24 jam diharapkan penurunan 2. Catat adanya disritmia jantung dalam kondisi abnormal
berhubungan curah jantung teratasi dengan indikator: 3. Catat adanya tanda dan gejala 2. Takikardi, bradikardi
dengan perubahan NOC: penurunan cardiac putput 3. Tanda dan gejala
preload dan - Cardiac Pump effectiveness 4. Monitor status pernafasan yang penurunan cardiac
afterload. - Circulation Status menandakan gagal jantung output : pucat, akral
- Vital Sign Status 5. Monitor balance cairan dingin, udema
- Tissue perfusion: perifer 6. Monitor respon pasien terhadap ekstermitas
Indikator Awal Target efek pengobatan antiaritmia 4. Gagal jantung kiri
TTV dbn 2 3 7. Monitor adanya dyspneu, fatigue, menyebabkan udema di
Dapat mentoleransi 1 3 tekipneu dan ortopneu paru dan gagal jantung
aktivitas, tidak ada 8. Anjurkan untuk menurunkan stress kanan menyebabkan
kelelahan 9. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR udema ekstermitas
Tidak ada edema 1 1 10. Monitor irama jantung 5. Mengetahui adanya
paru 11. Monitor frekuensi dan irama kelebihan cairan karena
Tidak ada asites 5 5 pernapasan klien biasanya udema
Tidak ada udema 2 2 12. Monitor pola pernapasan abnormal 6. Mengetahui respon pasien
perifer 13. Monitor suhu, warna, dan terhadap obat
Tidak terjadi 5 5 kelembaban kulit 7. Udema paru
penurunan 14. Monitor sianosis perifer menyebabkan dyspnea
kesadaran 15. Jelaskan pada pasien tujuan dari 8. Stres menambah berat
Tidak ada distensi 5 5 pemberian oksigen kerja jantung
Vena jugularis 16. Kelola pemberian obat anti aritmia 9. Mengetahui kondisi
Warna kulit normal 1 2 dan vasodilator hemodinamik klien
Keterangan : 10.Suara jantung tambahan,
1= keluhan ekstrim S3, S4
2= keluhan substansial 11.Ronchi basah
3= keluhan sedang menunjukan adanya
4= keluhan ringan cairan di pulmo
5= tidak ada keluhan 12.Dyspnea, cepat dan
dangkal
13.Memungkinkan
terjadinya sianosis
14.Kurang 02 menyebabkan
sianosis perifer
15.Membantu suplai O2 ke
pasien
16.Obat antiaritmia dan
vasodilatator untuk
membantu pengelolaan
kontraktilitas jantung
Kelebihan volume Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Monitor pengeluaran urin, catat 1. Pengeluaran urin
cairan berhubungan selama 3x24 jam, diharapkan volume jumlah dan warna saat dimana mungkin sedikit dan
dengan gangguan cairan pasien stabil dengan kriteria hasil: diuresis terjadi. pekat karena penurunan
mekanisme 1. Keseimbangan intake dan output perfusi ginjal.
regulasi cairan (4). Pemantauan urin dengan
2. TTV normal (4). memperhatikan jumlah
3. BB stabil dan tidak terdapat edema dan warna urin akan
(4). membantu dalam proses
4. Menyatakan pemahaman tentang penentuan diagnosa
pembatasan cairan individual (5). 2. Monitor dan hitung intake dan pasien.
output cairan selama 24 jam. 2. Pemantauan intake dan
output cairan membantu
dalam proses penentuan
keseimbangan cairan dan
3. Pertahankan duduk atau tirah baring elektrolit pasien.
dengan posisi semifowler atau 3. Posisi duduk atau tirah
posisi yang nyaman bagi pasien baring dengan posisi
selama fase akut. semifowler dapat
meningkatkan filtrasi
ginjal dan menurunkan
produksi ADH sehingga
4. Monitor TTV terutama TD dan meningkatkan diuresis.
CVP (bila ada). 4. Hipertensi dan
peningkatan CVP
menunjukkan kelebihan
cairan dan dapat
menunjukkan kongesti
5. Monitor rehidrasi cairan dan batasi paru serta gagal jantung.
asupan cairan. 5. Pemantauan dan
pembatasan cairan akan
menentukan BB ideal,
keluaran urin, dan respon
6. Timbang berat badan setiap hari jika terhadap terapi.
memungkinkan dan amati turgor 6. Berat badan, turgor kulit,
kulit serta adanya edema. dan adanya edema
mempengaruhi kondisi
7. Kolaborasi pemberian medikasi cairan dalam tubuh.
seperti pemberian diuretik: 7. Diuretik bertujuan untuk
furosemid, spironolacton, dan menurunkan volume
hidronolacton. plasma dan menurunkan
retensi cairan dijaringan
sehingga menurunkan
risiko terjadinya edema.
Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Kaji aktivitas dan periode istirahat 1. Mengetahui aktivitas dan
berhubungan selama 3x24 jam, pasien mempunyai pasien, rencanakan dan jadwalkan periode istirahat pasien
dengan kelemahan cukup energi untuk beraktivitas sehingga periode istirahat dan tirah baring serta upaya untuk
umum toleran terhadap aktivitas, dengan yang cukup dan adekuat. menurunkan keletihan
kriteria hasil: dan kelemahan pasien.
1. TTV normal (4).
2. EKG normal (4). 2. Berikan latihan aktivitas fisik secara 2. Tahapan-tahapan yang
3. Koordinasi otot, tulang, dan bertahap (ROM, ambulasi dini, cara diberikan membantu
anggota gerak lainnya baik (4). berpindah, dan pemenuhan proses aktivitas secara
4. Pasien melaporkan kemampuan kebutuhan dasar). perlahan dengan
dalam ADL (4). menghemat tenaga namun
tujuan tepat.
3. Bantu pasien dalam memenuhi 3. Mengurangi pemakaian
kebutuhan dasar. enargi sampai kekuatan
pasien pulih kembali.
4. Lakukan terapi komponen darah 4. Mencegah dan
sesuai resep bila pasien menderita mengurangi anemia berat
anemia berat. yang berakibat pada
kelemahan.
5. Kaji aktivitas dan respon pasien 5. Menjaga kemungkinan
setelah latihan aktivitas (Monitor adanya respon abnormal
TTV). dari tubuh sebagai akibat
dari latihan.
Ketidakseimbangan Setelah dilakukan tidakan keperawatan 1. Kaji pola makan, kebiasaan makan, 1. Meningkatkan nafsu
nutrisi: kurang dari selama 3x24 jam diharapkan kebutuhan dan makanan yang disukai pasien. makan pasien dan
kebutuhan tubuh nutrisi pasien terpenuhi dengan kriteria menghindari makanan
b.d faktor hasil: yang alergi.
psikologis dan a. Masukan per oral meningkat (5). 2. Kaji TTV pasien secara rutin, status 2. Monitor KU pasien,
ketidakmampuan b. Porsi makan yang disediakan habis mual, muntah, dan bising usus. mengetahui kemampuan
untuk mencerna, (5). pasien dalam memenuhi
menelan, dan c. Masa dan tonus otot baik (5). kebutuhan nutrisi.
mengabsorpsi d. Tidak terjadi penurunan BB (5). 3. Berikan makanan sesuai diet dan 3. Meminimalkan anoreksia
makanan. e. Mual dan muntah tidak ada (5). berikan selagi hangat. dan mengurangi iritasi
gaster.
4. Jelaskan pentingnya makanan untuk 4. Pasien termotivasi untuk
kesembuhan. makan.
5. Anjurkan pasien makan sedikit 5. Meningkatkan
tetapi sering. kenyamanan saat makan.
6. Anjurkan pasien untuk 6. Glukosa dalam
meningkatkan asupan nutrisi yang karbohidrat cukup efektif
adekuat terutama makanan yang untuk pemenuhan energi,
banyak mengandung karbohidrat sedangkan lemak sulit
atau glukosa, protein, dan makanan untuk diserap sehingga
berserat. akan membebani hepar,
protein baik untuk
meningkatkan dan
mempercepat
kesembuhan pasien,
makanan berserat
membantu mencegah
terjadinya konstipasi.
7. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk 7. Meningkatkan proses
pemberian diet sesuai indikasi. penyembuhan
Risiko cedera Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Identifikasi keterbatasan fisik 1. Mengetahui penyebab
berhubungan selama 3x24 jam, diharapkan tidak dan kognitif pasien yang dapat pasien mengalami
dengan diplopia, terjadi cedera, dengan kriteria hasil: meningkatkan risiko cedera. risiko cedera.
dan peningkatan 1. Pasien tidak mengeluh pusing 2. Ajarkan pasien untuk 2. Memberikan
intrakranial: kejang (5). meminimalkan cedera, misalnya pengetahuan kepada
2. Pasien tidak mengalami cedera ketika ditempat tidur maka pasien sehinggapasien
(5). gunakan side rail, ketika bisa terhindar dari
3. Pasien mampu menjelaskan cara mobilitas dari tempat tidur cedera.
mencegah terjadinya cedera (5) anjurkan untuk dibantu oleh
keluarga atau gunakan tongkat
sebagai pegangan dan jika
pasien pusing anjurkan untuk
istirahat terlebih dahulu.
3. Dampingi pasien dalam 3. Mengantisipasi hal-
melakukan pemenuhan hal yang dapat
kebutuhan ADL. menyebabkan
terjadinya cedera.
4. Anjurkan pasien untuk banyak 4. Sayuran hijau dapat
mengkonsumsi makanan yang menambah darah dan
dapat menambah darah seperti mengobati anemia
sayur-sayuran hijau dan diet serta diet rendah
rendah garam untuk garam dapat
menurunkan tekanan darah, mengurangi
sehingga bisa mengurango kekambuhan penyakit
pusing. hipertensi.
Gangguan Multi Organ