Anda di halaman 1dari 19

Sikap

Sunting:

Hakim, M. A. (2018). Sikap. Dalam M. N. Milla, Z. Abidin, & A. Pitaloka. Psikologi Sosial: pengantar dalam
teori dan penelitian. Jakarta, Indonesia: Salemba Humanika

Pengantar
Sikap merupakan salah satu konsep psikologis yang paling akrab dengan kehidupan kita sehari-
hari. Khalayak umum biasanya menggunakan istilah sikap untuk menunjukkan banyak sisi dari
personalitas seseorang. Misalnya dalam pergaulan sosial, seorang teman yang menunjukkan
perilaku baik, sopan dan lembut biasanya disebut ‘bersikap baik’. Pemimpin yang memiliki prinsip
dalam mengambil keputusan dan teguh dengan pendiriannya disebut ‘bersikap tegas’. Orang yang
memiliki pandangan hidup positif, selalu berprasangka baik kepada orang lain dan selalu optimis
tentang masa depan sering diistilahkan memiliki ‘sikap hidup positif’. Di dalam konteks politik,
orang yang suka mengikuti aturan dan melestarikan tradisi sering disebut memiliki sikap
‘konservatif’, dan sebaliknya mereka yang menyukai hal-hal baru, inovasi dan perubahan
diistilahkan memiliki sikap ‘progresif’. Kita juga mungkin sering ditanya oleh orang lain tentang
sikap kita terkait dengan isu atau peristiwa tertentu, misalnya tentang pemenuhan hak-hak para
penyandang disabilitas, kebijakan impor, penerapan kurikulum baru, dan lain sebagainya.
Pertanyaannya adalah, apakah berbagai penggunaan istilah sikap tersebut merujuk pada konsep
psikologis yang sama? Apakah konsep sikap yang sering menjadi obyek kajian psikolog sosial
memiliki makna yang sama dengan penggunaan istilah sikap dalam kehidupan sehari-hari?
Kemudian apa yang membedakan sikap dengan konsep-konsep psikologis lainnya yang sama-
sama menggambarkan aspek personalitas seseorang, seperti kepribadian dan keyakinan?
Bab ini akan mengajak Anda untuk memahami seluk-beluk sikap sebagai sebuah konsep penting
di dalam literature psikologi sosial. Selain membahas pengertian sikap, ada beberapa pertanyaan
menarik lainnya yang selalu menjadi titik perdebatan dan kajian para ilmuwan dan praktisi
psikologi sosial. Pertanyaan-pertanyaan tersebut antara lain, bagaimana proses munculnya sikap?
Seberapa jauh sikap dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor sosio-kultural, seperti latar budaya,
sejarah, dan keanggotaan kelompok? Apakah sikap dapat diubah? Apakah perubahan sikap juga
otomatis diikuti oleh perubahan perilaku? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan ini Anda akan
dibawa untuk menjelajahi perkembangan teori dan penelitian empiris tentang sikap yang sudah
dimulai sejak hampir satu abad yang lalu (misalnya H. M. Clark mempublikasikan artikel berjudul
Conscious Attitudes pada tahun 1911). Selain itu, bab ini juga akan memaparkan berbagai teori
kontemporer tentang sikap yang berkembang pesat berkat kecanggihan teknologi dan metode
penelitian. Terakhir, bab ini akan memaparkan bagaimana prinsip-prinsip perubahan sikap dapat
digunakan sebagai dasar intervensi untuk memecahkan persoalan di masyarakat.
Pengertian Sikap
Di dalam Bahasa Indonesia kata sikap memiliki empat arti yang berbeda-beda, diantaranya yang
secara psikologis paling relevan adalah “...perbuatan dan sebagainya yang berdasarkan pada
pendirian, keyakinan”. Pengertian ini memiliki beberapa sisi kesamaan dengan konsep sikap di
dalam literatur psikologi sosial. Ilmuwan mengajukan definisi sikap yang berbeda-beda tergantung
pendekatan yang mereka gunakan (misal behavioral, kognitif, emosional) maupun kerangka
teoritisnya (misal Kurt Lewin dengan Teori Medan, Fritz Heider dengan Teori Atribusi, dll).
Terkadang terdapat perbedaan dan pertentangan di antara berbagai definisi tersebut. Namun
demikian di dalam literatur psikologi sosial, setidaknya terdapat dua pengertian sikap yang paling
banyak digunakan sampai saat ini, yaitu definisi klasik yang diajukan oleh Gordon W. Allport
(1935) dan definisi yang lebih baru yang diajukan oleh Alice H. Eagly dan Shelly Chaiken (1993).
1. Pengertian klasik
Sikap mulai dikaji secara sistematis sebagai sebuah konsep psikologis untuk menggantikan konsep
insting dari Sigmund Freud yang sulit untuk dibuktikan secara empiris (Fazio & Petty, 2008, hal.
2). Merangkum literatur yang sudah ada sebelumnya, dalam salah satu naskah akademik yang
diterbitkan pada tahun 1935, Gordon W. Allport mengajukan definisi pertama tentang sikap
sebagai “...... a mental and neural state of readiness, organized through experience, exerting a
directive or dynamic influence upon the individual’s response to all objects and situations which
with it is related.” (...kesiapan sistem saraf dan mental, yang terorganisasi melalui pengalaman,
yang menentukan dan mempengaruhi cara seseorang merespon semua obyek atau situasi yang
berkaitan dengannya). Meskipun definisi klasik ini tidak lagi diterima secara luas, namun
penjelasannya dapat menjadi pijakan awal untuk memahami konsep sikap.
Definisi sikap yang diajukan oleh Allport di atas setidaknya mengandung empat pengertian pokok.
Pertama, sikap sebagai kesiapan mental dan sistem saraf. Konsep kesiapan ini berangkat dari
penelitian-penelitian awal psikologi dengan menggunakan ukuran waktu-reaksi (time-reaction),
bahwa seseorang yang memiliki kesiapan mental dan neural untuk menghadapi suatu obyek atau
peristiwa tertentu akan mampu bereaksi secara lebih cepat saat menghadapi obyek atau peristiwa
tersebut, dan mengambil keputusan apakah akan mendekati atau menjauhinya. Di dalam studi-
studi tentang kewirausahaan misalnya, seseorang yang memiliki sikap kewirausahaan
(enterpreneurship) cenderung memiliki kesiapan mental tertentu (inovasi, prestasi, harga diri, dan
kontrol diri) yang membantunya untuk lebih cepat memanfaatkan peluang usaha (Robinson,
Stimpson, Huefner, & Hunt, 1991).
Kedua, sikap sebagai bentuk organisasi mental. Pengertian ini berangkat dari konsepsi bahwa
sikap tersusun dari tiga komponen A-B-C, yaitu (1). Affective (perasaan), yaitu emosi atau
perasaan yang dimiliki seseorang terhadap suatu obyek, (2). Behavioral (perilaku), tindakan yang
muncul dari reaksi suka (atau tidak suka) terhadap sebuah obyek, dan (3). Cognitive (kognitif),
keyakinan seseorang tentang suatu obyek.
Namun dalam perkembangannya pengertian sikap sebagai bentuk organisasi mental mendapat
banyak kritik dari banyak peneliti sesudah Allport. Mereka berpendapat bahwa definisi sikap
tersebut tidak dapat menjelaskan mengapa seseorang bisa memiliki perbedaan reaksi emosional,
kognitif dan behavioral terhadap obyek yang sama. Sebagai contoh, penelitian Ali Mashuri, Esti
Zaduqisti dan Daphne Alroy-Thiberge (2017) tentang hubungan antar kelompok di Indonesia
menyimpulkan bahwa seseorang dari kelompok mayoritas yang memiliki pemahaman positif
tentang kelompok minoritas (aspek kognitif) belum tentu secara otomatis memiliki rasa empati
(aspek emosional) terhadap kelompok minoritas tersebut. Perspektif baru tentang sikap
berargumen bahwa sikap dapat muncul dari hasil evaluasi berdasarkan salah satu atau beberapa
komponen dari emosi, kognisi dan perilaku.
Ketiga, sikap sebagai pengarah perilaku. Pengertian ketiga ini cukup populer di kalangan
masyarakat umum, dan dalam beberapa hal cukup masuk akal. Logikanya, seseorang yang
memiliki pandangan positif mengenai salah satu kandidat presiden tentu akan memilihnya saat
berada di bilik suara. Faktanya adalah bahwa hubungan antara sikap dan perilaku tidak sekuat itu.
Ada banyak faktor individual (misal kepribadian, ekspektasi pribadi, keyakinan agama) dan faktor
situasional (misal pengaruh orang dekat, keanggotaan kelompok, budaya) yang dapat
mempengaruhi apakah sikap tertentu akan memunculkan perilaku yang selaras dengannya atau
tidak. Misalnya studi yang dilakukan oleh Saut Sagala, Norio Okada dan Douglas Paton (2009)
terhadap penduduk lereng Gunung Merapi di Yogyakarta menemukan bahwa sikap positif
terhadap kesiap siagaan bencana (disaster preparedness) di antara masyarakat lereng Gunung
Merapi di Yogyakarta tidak secara otomatis terwujud dalam tindakan-tindakan untuk
mengantisipasi bencana.
Keempat, sikap sebagai pendorong perilaku. Pengertian ini merujuk pada fungsi sikap sebagai
motivator atau pembangkit perilaku, sebagaimana rasa lapar mendorong seseorang untuk makan.
Namun dalam kenyataannya tidak semua sikap kemudian menghasilkan perilaku yang sesuai
dengannya. Meskipun dengan memiliki sikap tertentu terhadap suatu obyek membuat seseorang
lebih peka terhadap keberadaan obyek tersebut (prinsip kesiapan), namun hal ini tidak serta merta
mendorong seseorang untuk bertindak. Para psikolog kesehatan sangat familier dengan fenomena
ini. Sebagian besar orang memiliki sikap positif terhadap olahraga, apakah kemudian hal ini
mendorong mereka untuk benar-benar berolahraga?
Definisi sikap yang diajukan oleh Allport memiliki pengaruh besar dalam studi-studi sikap
sepanjang paruh pertama abad ke-20. Pada saat itu definisi tersebut dianggap jelas (parsimonious),
logis, dan dapat diuji secara empiris (rigorous). Namun sekarang ini definisi tersebut tidak lagi
populer. Perkembangan teknologi dan metodologi yang pesat pada tahun 1990-an memungkinkan
peneliti untuk mengajukan dan menguji konsep sikap dengan pendekatan-pendekatan baru. Salah
satunya adalah teori tentang sikap implisit dan eksplisit. Sikap eksplisit merupakan sikap yang
muncul melalui proses kognitif dan dikendalikan secara sadar. Sebaliknya sikap implisit muncul
secara otomatis, tidak selalu disadari dan seringkali tidak mudah untuk dikendalikan. Pengertian
sikap klasik belum menjangkau sikap implisit ini. Oleh karena itu, para psikolog sosial
mengajukan definisi baru yang dianggap lebih komprehensif.
2. Pengertian kontemporer tentang sikap
Di dalam buku The Psychology of Attitudes, Alice H. Eagly dan Shelly Chaiken (1993)
mendefinisikan sikap sebagai “..kecenderungan psikologis yang diekspresikan dengan
mengevaluasi sebuah obyek berdasarkan tingkatan suka atau tidak suka.” Definisi sikap ini terlihat
lebih umum dan lebih sederhana dibandingkan definisi dari Allport. Namun di sisi definisi yang
diajukan oleh Eagly dan Chaiken tersebut mampu mencakup aspek-aspek sikap yang sangat luas,
baik dari teori-teori sikap awal maupun perkembangannya saat ini. Terdapat tiga gagasan pokok
yang termuat di dalam definisi tersebut.
Pertama, sikap sebagai sebuah tendensi. Di dalam KBBI, kata tendensi diartikan sebagai
kecenderungan atau kecondongan pada suatu hal. Seseorang yang memiliki tendensi toleransi yang
tinggi berarti bahwa ia memiliki kecenderungan untuk terbuka terhadap berbagai macam
perbedaan. Dalam hal ini, sikap dipahami sebagai sebuah keadaan psikologis yang dapat bertahan
baik dalam waktu singkat maupun jangka panjang. Sebagai sebuah kecenderungan, sikap dapat
dipelajari atau tidak dipelajari. Sikap yang dipelajari berarti bahwa untuk memiliki sikap terhadap
suatu obyek seseorang setidaknya harus memperoleh informasi mengenai obyek tersebut. Namun
dalam kenyataannya banyak diantara sikap-sikap kita yang muncul tanpa melalui proses belajar.
Penelitian baru-baru ini mengungkapkan bahwa pengasuhan oleh orangtua dan struktur genetik
yang diperoleh dari mereka ikut menentukan sikap politik seseorang, apakah ia cenderung
konservatif ataukah progresif (Fraley, Griffin, Belsky, & Roisman, 2012; Hatemi et al., 2009).
Kedua, sikap bersifat evaluatif. Seseorang tidak akan mampu mengembangkan sikap terhadap
suatu obyek tanpa terlebih dahulu mengevaluasinya. Secara lebih teknis, evaluasi merupakan
proses mental yang menengahi hubungan antara stimulus (obyek) dengan reaksi seseorang
terhadap stimulus tersebut. Proses evaluasi tersebut tidak selalu dilakukan secara komprehensif,
bahkan seringkali justru terjadi secara singkat dan ‘seadanya’. Saat mengevaluasi suatu obyek,
pada dasarnya seseorang mereduksi informasi kompleks mengenai obyek tersebut ke dalam
kategori-kategori sederhana, seperti setuju/tidak setuju, menyenangkan/menyakitkan, menarik
untuk didekati/ perlu dihindari, dan seterusnya. Dasar yang digunakan untuk mengevaluasi bisa
bermacam-macam tergantung obyeknya, namun secara umum dapat dikategorikan ke dalam tiga
domain afektif, kognitif atau behavioral.
Keyakinan merupakan dimensi kognitif yang paling sering disebut sebagai salah satu akar dari
sikap. Dalam hal ini keyakinan diartikan sebagai asosiasi yang dibentuk oleh seseorang dengan
mengkaitkan antara sebuah obyek sikap dengan berbagai sifat atau atributnya. Misalnya
pernyataan “tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan juni..” dalam puisi Sapardi Djoko Damono
(2003) menyiratkan sebuah keyakinan berupa kaitan antara “hujan di bulan juni” sebagai sebuah
obyek sikap dan “tabah” sebagai atribut atau sifatnya. Sikap yang muncul dari keyakinan tersebut
bisa jadi “saya suka hujan di bulan juni” atau sebaliknya. Sementara contoh sikap yang bersumber
dari aspek afektif atau emosional misalnya ketidaksukaan kita (sikap negatif) terhadap ancaman
(obyek sikap) sebab ia selalu membangkitkan rasa takut (dasar emosi). Terakhir, contoh sikap yang
bersumber dari domain perilaku adalah sikap positif terhadap sesuatu yang pernah dilakukan pada
masa lalu yang mendatangkan sesuatu yang menyenangkan, seperti dukungan kita (sikap) terhadap
partai tertentu (obyek sikap) karena pada masa lalu kita pernah memilih partai tersebut dan
kemudian mereka benar-benar bekerja sesuai dengan harapan (dasar sikap).
Ketiga, sikap memerlukan obyek. Evaluasi selalu dilakukan terhadap suatu obyek. Di dalam istilah
psikologi sosial, obyek yang menjadi target evaluasi disebut sebagai obyek sikap. Semua bentuk
obyek yang dapat dikenali dapat menjadi target evaluasi, dari yang bersifat abstrak (misal suasana,
peristiwa, dll) sampai yang memiliki bentuk konkrit (desain rumah, warna, dll). Meskipun semua
obyek sikap dapat dipelajari, namun ada beberapa jenis obyek sikap yang mendapat banyak
perhatian dari ilmuwan sosial, misalnya kebijakan pemerintah, ideologi, kelompok-kelompok
minoritas, dan sebagainya. Beberapa jenis sikap kemudian memiliki istilah dan pengertian yang
spesifik berdasarkan kekhasan obyek sikapnya, misalnya prasangka (prejudice) untuk menyebut
sikap terhadap kelompok minoritas dan harga diri (self-esteem) untuk menyebut sikap positif
terhadap diri sendiri.
Syarat akan adanya obyek ini menjadi pembeda antara sikap dengan konsep-konsep personalitas
lainnya, seperti kepribadian atau sifat. Kepribadian merupakan karakteristik seseorang yang
bersifat umum. Orang yang memiliki skor tinggi pada dimensi sifat keterbukaan (openness)
memiliki kecenderungan untuk terbuka dengan hal-hal baru dalam berbagai situasi. Sementara
orang yang memiliki sikap toleran misalnya, mungkin hanya akan menunjukkan sikap toleransi
dalam suatu situasi, namun tidak pada situasi lainnya.
Struktur hubungan antar Sikap
Seseorang dapat memiliki sikap yang sangat banyak dan beranekaragam sebagai konsekuensi dari
perbedaan dasar evaluasi (afeksi, kognisi, behavioral) terhadap bermacam-macam obyek sikap.
Sebagai ilustrasi, seorang individu dapat memiliki beberapa sikap terhadap sebuah kebijakan
pemerintah, misalnya penghapusan subsidi Bahan Bakar Minyak (BBM). Secara kognitif mungkin
ia setuju karena yakin bahwa dana subsidi BBM lebih bermanfaat jika disalurkan ke program
pembangunan infrastruktur. Namun secara emosional ia khawatir kebijakan tersebut dapat
menyebabkan harga kebutuhan hidup semakin mahal. Oleh karena itu menarik untuk memahami
cara kerja sistem mental kita dalam mengorganisasi kompleksitas sikap yang bermacam-macam.
Di dalam literatur psikologi sosial, terdapat empat teori yang menjelaskan struktur hubungan antar
sikap (inter-attitudinal structure), diantaranya yang paling berpengaruh adalah Teori
Keseimbangan (Balance Theory), Teori Ideologi, Teori Kepentingan atau Keterlibatan, dan yang
sekarang ini populer, Model Sikap Ganda (A Model of Dual Attitudes).
1. Teori Keseimbangan
Teori Keseimbangan pertama kali dikembangkan oleh salah seorang ilmuwan psikologi sosial
paling berpengaruh dari University of Kansas, USA, Fritz Heider pada tahun 1958. Teori
Keseimbangan awalnya diformulasikan guna menjelaskan struktur hubungan antar sikap beserta
perubahannya dalam konteks hubungan interpersonal. Dipengaruhi oleh semangat empirisme dari
ilmu-ilmu alam (natural sciences) tahun 1950-60an, Heider mengembangkan notasi-notasi untuk
menjelaskan struktur sikap dengan formulasi yang simpel dan logis. Agar dapat memahami Teori
Keseimbangan dari Heider, terdapat dua istilah penting untuk dipahami terlebih dahulu, yaitu
elemen dan relasi antar elemen. Elemen pertama adalah perceiver atau reference person (orang
yang menjadi fokus pembahasan) atau disimbolkan dengan P. Dua elemen lainnya adalah orang
lain yang disebut sebagai object atau disimbolkan dengan O, dan entitas bukan orang (impersonal
entity) atau benda yang disimbolkan dengan X (merepresentasikan segala hal selain orang, baik
yang berbentuk abstrak maupun konkrit).
Selain itu, terdapat dua jenis relasi yang menghubungkan elemen-elemen tersebut, yaitu relasi
sentimen (disimbolkan dengan L) dan relasi unit (disimbolkan dengan U). Relasi sentimen (L)
merujuk arti yang sama dengan pengertian sikap menurut Eagly dan Chaiken (1993) sebelumnya,
berupa evaluasi P terhadap O atau X (contoh, P menyukai O). Sementara relasi unit (U) merujuk
pada relasi-relasi yang muncul selain dari hasil evaluasi, seperti kepemilikan, kedekatan, pengaruh,
dan lain-lain (contoh, p memiliki x). Baik U dan L dapat memiliki nilai positif (L+ atau U+) atau
negatif (L- atau U-), contoh L- adalah jika P tidak merasa hormat dengan O.
Heider menggunakan simbol-simbol tersebut untuk menjelaskan struktur relasi yang melibatkan
dua elemen (misal hanya P dan O) atau tiga elemen (yaitu P, O, dan X) di dalam kognisi P.
Menurut Heider, relasi antar elemen tersebut dapat menciptakan dua keadaan kognitif, yaitu
keseimbangan dan ketidakseimbangan. Keseimbangan bersifat jangka panjang sementara
ketidakseimbangan bersifat sementara. Hal ini disebabkan karena ketidakseimbangan kognitif
akan menciptakan ketegangan atau disonansi dalam diri P sehingga ia akan berusaha untuk
mengembalikan kognisinya ke dalam keadaan seimbang. Heider mendefinisikan keadaan
seimbang di dalam dua postulat berikut:
a. Di dalam relasi yang melibatkan dua elemen (misal P dan O), keadaan seimbang terjadi
jika relasi di antara keduanya sama-sama positif atau saama-sama negatif, baik dalam
bentuk relasi L atau U.
b. Di dalam relasi yang melibatkan tiga elemen, keadaan seimbang terjadi jika ketiga bentuk
relasi bersifat positif atau dua diantaranya negatif dan satu positif.
Di dalam postulat pertama, kondisi seimbang terjadi jika P menyukai O, dan merasa bahwa O juga
menyukai P. Atau bisa juga sebaliknya, P tidak menyukai O, dan merasa bahwa O juga tidak
menyukai P. Dua kondisi tersebut menurut Heider tidak akan menyebabkan ketegangan atau
disonansi kognitif di dalam diri P. Relasi antara P dan O dapat dilihat pada Gambar 1, dimana
garis putus-putus menunjukkan relasi negatif (U- atau L-) sementara garis penuh menunjukkan
relasi positif (U+ atau L+). Tanda panah menunjukkan arah relasi di dalam perspektif P. Sebagai
contoh di dalam hubungan interpersonal, jika Pedro menyukai Fatimah (L+) dan merasa bahwa
Fatimah juga menyukai dirinya (L+ dan L+) maka Pedro akan mengalami keseimbangan.

P O

Gambar 1. Relasi seimbang antara dua elemen


Sementara bila mengacu pada postulat kedua, maka relasi yang melibatkan tiga elemen (P, O, dan
X) akan seimbang jika membentuk empat konfigurasi relasi sebagaimana dapat dilihat pada
Gambar 2:
P P P P

O X O X O X O X

(a) (c) (d)


(b)

Gambar 2. Relasi seimbang antara tiga elemen


Ketiga relasi yang terbentuk dari masing-masing konfigurasi di atas bisa terdiri dari L atau U saja,
atau kombinasi dari keduanya. Ilustrasi untuk konfigurasi relasi seimbang (a) adalah sebagai
berikut: Wayan menyukai Ayu (L+), ia juga tahu bahwa Ayu memiliki kucing (U+) dan Wayan
juga menyukai kucing (L+). Sementara untuk konfigurasi (b) bisa dicontohkan dengan kasus
politik berikut: Laras menyukai Kandidat A (L+), dan ia tahu Kandidat A tidak menyukai Kandidat
B (L-) sementara Laras sendiri juga tidak suka dengan Kandidat B (L-), dengan demikian Laras
tidak akan mengalami disonansi kognitif (dalam keadaan seimbang). Sekarang, Anda dapat
mencoba membuat sendiri ilustrasi untuk konfigurasi relasi (c) dan (d).
Sebaliknya, keadaan tidak seimbang terjadi jika relasi antara elemen P, O dan X membentuk empat
konfigurasi seperti ditampilkan oleh Gambar 3:
P P P P

O X O X O X O X
(d) (e) (f) (g)
Gambar 3. Relasi tidak seimbang antara tiga elemen
Konfigurasi relasi (d) misalnya dapat digambarkan sebagai berikut; Cut Sari sangat menyukai
sahabatnya, Rahma (L+). Namun ia tahu Rahma benar-benar tidak suka sinetron (L-) sementara
bagi Cut Sari sinetron adalah hiburan utama (L+). Dengan konfigurasi relasi semacam itu Cut Sari
cenderung akan mengalami disonansi (keadaan tidakseimbang). Dalam situasi tersebut Teori
Keseimbangan memprediksi bahwa Cut Sari akan berusaha untuk mengembalikan keseimbangan
kognitifnya dengan cara mengubah salah satu relasi tersebut, misalnya dengan berusaha tidak
menyukai sinetron atau dengan mulai mencari sisi-sisi buruk Rahma yang membuatnya tidak lagi
menyukai sosoknya. Sekarang, bagaimana dengan ilustrasi untuk konfigurasi relasi (e), (f), dan
(g)?
Teori Keseimbangan dari Heider mencapai puncak popularitasnya pada tahun 1960-an karena teori
ini dinilai sederhana namun dapat digunakan untuk menjelaskan banyak fenomena sikap
(parsimony), dan sekaligus dapat diuji secara empiris (rigour). Saat ini teori asli dari Heider sudah
tidak banyak digunakan oleh para ilmuwan psikologi sosial modern, namun gagasan-gagasan
pokok teori ini, terutama konsep tentang keseimbangan kognitif, terus berpengaruh terhadap teori-
teori sikap yang datang belakangan. Salah satu teori kontemporer yang banyak mengaplikasikan
Teori Keseimbangan adalah Teori Jejaring Asosiatif (Associative Networks) yang diimpor oleh
psikolog sosial dari disiplin ilmu psikologi kognitif (Anderson & Bower, 2014)
Teori Jejaring Asosiatif banyak digunakan untuk menganalisis struktur hubungan antar sikap.
Menurut teori ini, sikap seseorang terhadap suatu obyek direpresentasikan oleh label positif atau
negatif yang disematkan pada setiap obyek sikap (Judd & Krosnick, 1989). Misalnya jika Anda
menyukai bunga Mawar maka artinya Anda telah menyematkan label positif pada bunga Mawar.
Di dalam teori ini, label pada obyek sikap berfungsi seperti simpul di dalam sebuah jejaring, dan
secara otomatis memiliki implikasi relasi (implicational relation) terhadap sikap lainnya. Relasi
antar sikap dapat bersifat positif jika sikap terhadap suatu obyek membangkitkan sikap positif
terhadap obyek lainnya. Atau sebaliknya, relasi bersifat negatif bila sikap tertentu dinilai bertolak
belakang dengan sikap lainnya.

+ +
Kebijakan + Keadilan
BTL Sosial

+ +
Kebijakan - Merito-
BTL krasi

Gambar 4. Ilustrasi konsistensi dan inkonsistensi sikap menurut Teori Jejaring Asosiatif
Sebagai ilustrasi, kebijakan pemerintah untuk memberikan Bantuan Tunai Langsung (BTL)
kepada keluarga miskin dapat menciptakan implikasi relasi yang berbeda; menciptakan relasi
positif dengan nilai keadilan sosial1 namun sebaliknya dapat menciptakan relasi negatif dengan
nilai meritokrasi2 (lihat Gambar 4). Konsistensi sikap (atau keseimbangan dalam Teori Heider)
tercapai jika nilai label (+ atau -) masing-masing obyek sikap dikalikan label relasi antar sikap
bernilai positif. Dalam contoh tersebut, konsistensi sikap terjadi bila seseorang memiliki sikap
positif terhadap kebijakan BTL dan keadilan sosial, sementara relasi diantara keduanya juga
bersifat positif (nilai obyek x nilai relasi = positif). Sebaliknya sikap disebut tidak konsisten jika
seseorang memiliki sikap positif terhadap kebijakan BTL dan meritokrasi, sementara relasi
diantara keduanya bersifat negatif.
Selain menjelaskan konsistensi antar sikap, Teori Jejaring Asosiatif juga memberikan sumbangan
penting tentang gagasan kekuatan (strength) dan arah/nilai (valence) simpul sikap (nodes).
Meminjam teori ingatan, menurut teori ini kekuatan simpul dipengaruhi oleh seberapa sering
mereka diaktivasi pada masa lalu. Oleh karena itu semakin sering seseorang menerima stimulasi
yang mengaktifkan beberapa sikap secara bersamaan, maka relasi diantara sikap tersebut semakin
konsisten dan menguat.
2. Teori Ideologi
Para ilmuwan politik dan psikolog politik terkadang memandang struktur hubungan antar sikap
dengan cara yang berbeda dengan psikolog sosial pada umumnya, khususnya terkait sikap-sikap
politik. Mereka percaya bahwa sikap yang bermacam-macam terorganisasi berdasarkan tema-tema
besar tertentu, yang diistilakan sebagai ideologi. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah
ideologi memiliki tiga makna, yaitu (1) kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat
(kejadian) yang memberikan arah dan tujuan untuk kelangsungan hidup; (2) cara berpikir
seseorang atau suatu golongan; (3)paham, teori, dan tujuan yang merupakan satu program sosial
politik. Hampir mirip dengan pengertian tersebut, di dalam ilmu politik dan psikologi politik
ideologi seringkali ditafsirkan sebagai kumpulan atau konfigurasi sikap dan keyakinan yang
independen atau diorganisasikan berdasarkan gagasan-gagasan kemasyarakatan (societal ideas)
tertentu.
Sebagian sarjana politik berpendapat bahwa sikap-sikap sosial dan politik dapat dikategorikan ke
dalam dua ideologi besar, yaitu konservatisme dan liberalisme. Sementara sebagian sarjana lainnya
memiliki pendapat yang berbeda, bahwa sikap-sikap diorganisasikan ke dalam tema-tema yang
lebih spesifik, misalnya nasionalisme, sosialisme, sekularisme, rasisme dan lain sebagainya.
Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, hampir semua sarjana politik meyakini bahwa sikap
spesifik seseorang terhadap kebijakan, peristiwa atau obyek tertentu diturunkan dari ideologi yang
paling dominan di dalam dirinya. Namun persoalannya pengetahuan politik masyarakat awam
tentu tidak sekompleks yang dikuasai oleh aktor-aktor politik. Hanya sedikit orang awam yang
dapat mengidentifikasi ideologi politiknya secara jelas. Oleh karena itu muncul pertanyaan apakah
perbedaan pengetahuan politik mempengaruhi fungsi ideologi dalam membentuk sikap politik
seseorang?
Penelitian dari Lusk dan Judd (1988) memberikan jawaban yang menarik atas pertanyaan di atas.
Mereka melakukan survei terhadap mahasiswa dan masyarakat awam. Kelompok mahasiswa

1
Bahwa tidak boleh ada yang kekurangan jika sebagian yang lain mengalami kelebihan.
2
Bahwa yang berhak memperoleh keuntungan hanyalah mereka yang bekerja keras.
mewakili ahli politik karena mereka dianggap menguasai lebih banyak hal tentang politik
dibanding masyarakat awam. Kemudian setiap partisipan diminta untuk mendeskripsikan
keyakinan-keyakinan mereka tentang kandidat-kandidat politik tertentu. Seperti yang bisa kita
tebak, kelompok ahli mampu menggambarkan keyakinan mereka secara lebih detail dibandingkan
kelompok non-ahli. Tetapi yang menarik, keyakinan-keyakinan yang disampaikan oleh kelompok
ahli banyak berkorelasi dan saling tumpang tindih dengan keyakinan-keyakinan dari kelompok
non-ahli. Sebagai ilustrasi, kelompok ahli mungkin mampu mendiskripsikan 20 hal tentang
seorang kandidat sementara kelompok non-ahli hanya mampu menceritakan 10 hal. Namun setelah
jawaban-jawaban tersebut dikategorisasi berdasarkan kesamaan isinya pada akhirnya dari masing-
masing kelompok tersebut muncul tema-tema yang hampir sama. Penelitian ini menjadi petunjuk
tentang cara kerja sistem kognitif dalam mengorganisasikan sikap-sikap politik berdasarkan tema
besar yang mendasarinya (ideologi).

Ideologi

Sikap Sikap
A (-) B (+)

Sikap
C (+)

Gambar 5. Ideologi mendasari sikap politik (+/-) terhadap berbagai obyek sikap
Akan tetapi perlu dicatat bahwa sebagian besar konsep ideologi yang sekarang ada di literatur
politik lebih banyak dikembangkan di negara-negara dengan batas ideologis yang jelas, terutama
di Amerika Serikat dan Inggris (Bartle & Bellucci, 2014). Di kedua kedua negara ini, misalnya,
perbedaan ideologi politik lebih mudah diidentifikasi ke dalam garis kontinum liberalisme-
konservatisme dengan variasi di antara keduanya (misalnya Konservatif-moderat dan Liberal-
moderat), dimana masing-masing kutub ideologi terwakili dengan baik oleh dua partai utamanya
(Partai Republik dan Demokrat di AS serta Partai Konservatif dan Partai Buruh di Inggris). Lebih
dari itu, penelitian Graham, Haidt dan Nosek (2009) juga menunjukkan bahwa secara psikologis
ideologi konservatisme dan liberalisme memiliki akar moralitas yang berbeda di Amerika Serikat.
Situasi politik bisa sangat berbeda di masyarakat lain, terutama di negara-negara demokrasi baru
(misal Indonesia, Malaysia, dan Filipina) dimana batas ideologi cenderung kabur (Hakim, Liu, &
Gil de Zuniga, under review). Oleh karena itu, dikotomi ideologi konservatisme-liberalisme
mungkin tidak terlalu relevan untuk memahami sikap politik orang-orang di negara tersebut.
Namun hal ini tidak berarti bahwa gagasan tentang ideologi sebagai sebuah organisasi sikap politik
tidak berlaku sama sekali. Sebagaimana yang dapat diamati di berbagai media massa dan media
sosial, isu-isu politik dan non-politik di Indonesia (misalnya kunjungan Raja Arab Saudi pada awal
2017, Pilkada Jakarta 2017, impor beras dan daging sapi, dan lain-lain) kerap membangkitkan
polarisasi sikap politik di tengah-tengah masyarakat. Hal ini mungkin mengindikasikan adanya
polarisasi ideologi yang mendasari perbedaan sikap tersebut. Atau sebaliknya, bisa jadi polarisasi
sikap politik tersebut hanya didasari oleh isu-isu spesifik saja. Dengan kata lain tidak ada kesamaan
tema besar yang mendasari sikap seseorang terhadap suatu isu dengan sikapnya terhadap isu yang
lain. Tentu perlu penelitian-penelitian lebih lanjut untuk membuktikan hal ini.
3. Teori Kepentingan atau Keterlibatan
Pendekatan ketiga untuk memahami struktur relasi antar sikap adalah teori kepentingan atau
keterlibatan sikap (the importance or involvingness of attitudes). Menurut pendekatan ini,
kepentingan atau keterlibatan suatu sikap diukur berdasarkan seberapa kuat ia menyatu dengan
struktur sikap yang sudah menancap kuat sebelumnya. Lebih lanjut dikatakan bahwa sikap-sikap
akan dianggap penting dan memiliki keterlibatan tinggi bila ia berkaitan langsung dengan ego atau
konsep diri. Sebagai contoh, nasionalisme merupakan hal penting bagi seseorang karena ia ikut
mendefinisikan siapa dirinya. Sementara bagi orang lain, nasionalisme bukan hal yang penting
karena ia merasa asal negara atau tanah air bukan bagian dari konsep dirinya. Berbeda dengan teori
ideologi, menurut pendekatan kepentingan dan keterlibatan, sikap-sikap yang tidak memiliki
kesamaan tema dapat terhubung dan bertahan sejauh ia melibatkan konsep diri seseorang. Sebagai
contoh, sikap pro lingkungan dan sikap nasionalisme mungkin terlihat tidak memiliki kesamaan
tema. Namun kedua sikap ini dapat dipertahankan oleh seseorang bila dianggap sebagai bagian
penting dari nilai-nilai pribadinya. Konsep keterlibatan juga berbeda dengan teori keseimbangan
yang menjelaskan secara spesifik relasi antara satu sikap dengan sikap lainnya.

Sikap
Sikap 1
Sikap
5 2
Konsep Sikap
Sikap Diri/ 3
4 Nilai

Gambar 5. Model Keterlibatan dalam struktur hubungan antar sikap


Dalam perkembangannya, Thomas M. Ostrom dan Timothy C. Brock (1968) berpendapat bahwa
yang menjadi sentral di dalam struktur sikap seperti di atas adalah nilai-nilai pribadi dan sosial
(personal and social values). Bagi setiap orang, nilai-nilai tertentu menempati posisi yang sangat
penting di dalam struktur kognitifnya karena mereka mendefinisikan siapa dirinya. Lebih lanjut
Ostrom dan Brock berargumen bahwa tingkat keterlibatan suatu sikap semakin tinggi jika (i)
berkaitan dengan nilai-nilai yang paling penting atau sentral, (ii) berkaitan dengan banyak nilai,
dan (iii) sikap tersebut relevan dengan nilai-nilai tersebut. Sebagai contoh, untuk seorang pecinta
alam, prinsip-prinsip seperti kelestarian lingkungan, ekonomi hijau, dan keselarasan manusia
dengan alam merupakan nilai-nilai yang sentral. Oleh karena itu, sikap pro lingkungan cenderung
memiliki keterlibatan yang tinggi karena ia berkaitan langsung dengan ketiga nilai tersebut.
4. Model Sikap Ganda (A Model of Dual Attitudes)
Salah satu kritik utama yang dilontarkan oleh para psikolog sosial saat ini terhadap teori-teori sikap
klasik adalah bahwa mereka lebih banyak menekankan perhatiannya kepada sikap-sikap eksplisit
(sikap yang disadari dan terkontrol). Sejak riset-riset psikologi kognitif menunjukkan adanya
sistem kerja berganda di dalam memori (sistem implisit dan eksplisit), para psikologi sosial
modern mulai tertarik untuk menguji kemungkinan adanya aspek-aspek implisit dari sikap. Sejak
tahun 1990-an sampai sekarang, riset-riset tentang sikap implisit terlihat cukup menonjol dalam
berbagai jurnal-jurnal dan buku-buku akademik psikologi sosial. Berbeda dengan sikap eksplisit,
para ilmuwan menggambarkan sikap implisit sebagai hasil dari proses evaluasi terhadap sebuah
obyek sikap yang dilakukan secara otomatis, cepat, dan di bawah ambang kesadaran seseorang
(Greenwald & Banaji, 1995).
Contoh yang mendeskripsikan karakteristik sikap implisit adalah sebagai berikut: Sejak kecil Andi
telah menginternalisasi prasangka negatif terhadap kelompok agama lain karena kebiasaan di
keluarga dan lingkungan sosialnya. Sekarang ini Andi sedang kuliah di kota yang berbeda dengan
tempat kelahirannya. Selama kuliah Andi mulai berhadapan lingkungan sosial yang lebih beragam,
dan mulai belajar untuk bersikap toleran. Saat berinteraksi dengan orang dari kelompok agama
lain di lingkungan kuliah, Andi menunjukkan sikap positif. Namun saat ia berada di lingkungan
keluarganya, prasangka lamanya kembali muncul. Mekanisme psikologis semacam apa yang
melatarbelakangi perubahan sikap Andi tersebut? Menurut penelitian-penelitian sikap terbaru,
sikap lama yang terinternalisasi sejak lama tidak dapat terhapus semuanya melainkan mengendap
menjadi sikap implisit (Betsch, Plessner, Schwieren, & Gütig, 2001; Wilson, Lindsey, & Schooler,
2000).
Timothy D. Wilson, Samuel Lindsay, dan Tony Y. Schooler (2000) mengembangkan Model Sikap
Ganda yang menjelaskan mekanisme kognitif yang mendasari hubungan antara sikap implisit dan
eksplisit. Gagasan pokok Model Sikap Ganda adalah bahwa seseorang dapat memiliki sikap ganda
terhadap satu obyek sikap, misalnya memiliki sikap eksplisit yang positif dan sekaligus sikap
implisit yang negatif terhadap seorang kandidat. Model Sikap Ganda berbeda dengan Teori
Keseimbangan, Teori Ideologi, dan Teori Keterlibatan yang mengasumsikan bahwa sikap
seseorang terhadap suatu obyek selalu tunggal demi untuk menghindari disonansi atau
inkonsistensi. Wilson, Lindsay dan Schooler mengembangkan Model Sikap Ganda berdasarkan
teori bahwa sikap merupakan sebuah skema kognitif yang tersimpan di dalam memori. Mereka
menjelaskan bahwa ketika seorang mengubah sikapnya dari Sikap 1 ke Sikap 2, maka mekanisme
kognitif yang terjadi adalah memori Sikap 2 menimpa memori Sikap 2 (lapisan memori baru
menimpa lapisan memori lama). Namun karena Sikap 2 merupakan memori baru dan belum dapat
bekerja secara otomatis, maka dibutuhkan kesadaran, perhatian, motivasi, dan usaha untuk
mengaktifkannya (sikap eksplisit). Hal ini mirip seperti ketika kita baru saja menghafalkan sebuah
peta, perlu usaha dan fokus setiap kita ingin mengingatnya kembali (recall). Berbeda dengan Sikap
1 yang sudah tersimpan lama di dalam memori, ia dapat teraktivasi secara cepat, otomatis, dan
seringkali tak disadari dalam situasi-situasi yang dibutuhkan (sikap implisit). Dalam situasi wajar,
seseorang dapat secara sengaja (intensional) membangkitkan Sikap 2 guna mengevaluasi sebuah
obyek sikap. Akan tetapi jika ia berada di dalam situasi yang tidak terantisipasi sebelumnya
(mendadak) atau situasi yang membuatnya tidak dapat mengakses Sikap 2 (misalnya di bawah
tekanan kelompok), maka secara otomatis Sikap 1 yang akan teraktivasi.
Kembali ke contoh kasus Andi, dalam situasi ketika ia memiliki cukup waktu untuk berfikir, Andi
mungkin mampu menampilkan sikap toleran. Namun dalam situasi terdesak atau ketika ia berada
di tengah lingkungan sosial dengan norma yang cenderung tidak toleran (misalnya saat berada di
tengah konflik antar kelompok agama), maka Andi tidak memiliki kesempatan untuk
mengaktifkan sikap tolerannya itu, dan kembali menunjukkan sikap lamanya (tidak toleran).
Pengaruh faktor kontekstual terhadap sikap
Teori sikap ganda di atas mengindikasikan pengaruh faktor-faktor kontekstual (faktor-faktor
eksternal yang melingkupi individu) dalam mengaktifkan sikap tertentu. Dalam studi-studi tentang
sikap antar kelompok, faktor kontekstual seperti kelompok sosial, budaya, dan sejarah bahkan
dianggap memiliki peran penting dalam membentuk sikap, dan menentukan hubungan antar sikap.
Salah satu teori yang mendalami peran faktor kontekstual tersebut adalah teori representasi sosial
sejarah (the social representations of history) yang dikembangkan oleh James H. Liu dan Denis
Hilton (2005; Hilton & Liu, 2017). Menurut teori ini, ingatan sekelompok orang tentang sejarah
kolektif mereka pada masa lalu akan menentukan sikap-sikap politik mereka saat ini. Ingatan
sejarah ini menjadi piagam bersama (charter) yang terus menerus digunakan oleh para elite dan
masyarakat untuk menjustifikasi sebuah tindakan politik, atau melegitimasi kekuasaan.
Studi dari Hakim, Liu, Woodward, dan Isler (2015) menunjukkan kuatnya pengaruh representasi
sosial sejarah terhadap sikap politik masyarakat di Indonesia, khususnya di Yogyakarta dan
Surakarta. Sebagai sebuah entitas politik, Yogyakarta dan Surakarta memiliki banyak irisan sosio-
kultural-historis. Mereka sama-sama berdiri di atas bekas wilayah Kesultanan Mataram Islam,
yang akhirnya dipecah menjadi dua kesultanan tersebut. Secara kultural, mereka sama-sama
mengusung nilai-nilai budaya Jawa, hanya sedikit berbeda dalam tataran praktiknya. Namun
orang-orang di kedua daerah tersebut memiliki sikap yang sangat berbeda dalam hal apakah
kesultanan yang bersifat monarkis masih perlu dipertahankan di era Indonesia modern sekarang
ini atau tidak. Orang-orang di Yogyakarta cenderung menerima dan mendukung kesultanan,
sementara sebaliknya, orang-orang di Surakarta cenderung bersikap negatif terhadap kesultanan.
Penelusuran lebih lanjut menunjukkan bahwa perbedaan sikap ini dilatarbelakangi oleh ingatan
kolektif sejarah tentang kesultanan yang sangat berbeda; masyarakat Yogyakarta masih mengingat
peran dan jasa Kesultanan Yogyakarta dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan sebaliknya,
masyarakat Surakarta menganggap Kasunanan Surakarta tidak memiliki peran signifikan dalam
usaha kemerdekaan itu.
Ingatan kolektif sejarah sebuah kelompok juga menentukan hubungan antar berbagai sikap politik
mereka. Kembali ke studi Hakim, dkk (2015), secara teoritis sikap monarkis kedaerahan
seharusnya berkorelasi negatif dengan identitas nasional. Namun dalam penelitian tersebut, sikap
monarkis orang-orang di Yogyakarta justru berkorelasi positif dengan identitas nasional mereka
sebagai orang Indonesia. Hubungan positif ini ternyata tak lepas dari ingatan kolektif tentang
dukungan Kesultanan Yogyakarta terhadap pendirian Republik Indonesia pada masa perjuangan
kemerdekaan. Oleh karena itu, dalam memori kolektif orang-orang Yogyakarta, ada
kesinambungan historis (historical continuity) antara sikap monarkis kedaerahan mereka sebagai
kawula Sultan dan identitas nasional mereka sebagai orang Indonesia.
Selain ingatan sejarah, banyak faktor-faktor kontekstual lainnya yang turut menentukan sikap
individu atau sekelompok orang, antara lain keanggotaan individu di dalam kelompok sosial (teori
identitas sosial, Tajfel & Turner, 1979), nilai-nilai budaya (teori nilai dasar manusia, Schwartz,
1992), latar belakang sosio-ekologi (teori modernisasi dan perubahan nilai budaya, Inglehart &
Baker, 2000), dan lain sebagainya.
Hubungan antara sikap dan perilaku
Salah satu topik yang paling banyak mendapat sorotan para psikolog sosial di dalam studi sikap
adalah tentang hubungan antara sikap dan perilaku. Secara umum, orang sering berfikir bahwa
setiap perubahan sikap secara otomatis akan diikuti oleh perubahan perilaku. Individu yang
menunjukkan perubahan sikap dari yang awalnya bersikap negatif terhadap X menjadi bersikap
positif, dianggap secara otomatis akan menunjukkan perubahan perilaku yang sejalan (awalnya
menolak X berubah menjadi menerimanya). Pandangan semacam ini seringkali dijadikan sebagai
pijakan untuk menyusun program-program perubahan perilaku. Sebagai contoh, pemerintah telah
berulangkali mencoba meningkatkan perilaku menabung masyarakat dengan cara membangun
sikap positif mereka terhadap kegiatan menabung dan lembaga perbankan melalui berbagai iklan
layanan masyarakat. Apakah pandangan ini tepat?
Sejak awal perkembangan teori tentang sikap, sebagian ilmuwan, terutama sosiolog,
menyampaikan kritik tentang lemahnya hubungan antara sikap dan perilaku. Salah satu penelitian
klasik yang mendukung kritik ini adalah studi yang dilakukan oleh R. T. LaPiere (1934) tentang
diskriminasi rasial. LaPier menyebarkan angket kepada 250 orang pemilik restauran dan hotel di
Amerika untuk menanyakan apakah mereka bersedia menerima tamu pasangan dari kelompok ras
Cina. Dari data yang diperoleh, ia menemukan bahwa 92 persen pemilik restauran dan hotel
menyatakan tidak mau menerima pasangan Cina. Namun, dalam kenyataannya hanya 1 dari 250
responden tersebut yang benar-benar tidak mau menerima tamu pasangan Cina. Studi ini
menunjukkan bahwa perilaku tidak dapat diprediksi hanya berdasarkan sikap saja. Norma-norma
sosial yang diyakini oleh individu turut menentukan apakah sebuah sikap akan diekspresikan
menjadi perilaku atau tidak. Seperti dalam penelitian LaPiere di atas, sikap negatif pemilik restoran
dan hotel terhadap tamu pasangan Cina pada akhirnya terdesak oleh nilai moral yang ia yakini
untuk bersikap sopan terhadap para tamunya.
Selain faktor-faktor kontekstual seperti norma sosial, Martin Fishbein dan Icek Ajzen (1975)
berpendapat bahwa kemampuan sikap untuk memprediksi perilaku juga tergantung pada
kompatibilitas antara sikap dan perilaku, atau yang disebut sebagai hukum kompatibilitas (the law
of compatibility). Kompatibilitas yang dimaksud di sini adalah bahwa sikap spesifik hanya dapat
memprediksi perilaku spesifik, dan sebaliknya, sikap umum juga hanya mampu memprediksi
perilaku umum. Sikap negatif pemilik restaurant terhadap tamu Cina (sikap umum), misalnya,
cenderung tidak dapat memprediksi perilaku mereka saat bertemu langsung dengan sepasang tamu
Cina tertentu, pada hari tertentu (perilaku spesifik). Namun, sikap umum tersebut cenderung dapat
memprediksi perlakuan pemilik restauran secara umum terhadap para tamu Cina di berbagai waktu
dan situasi.
Prinsip kedua dari hukum kompatibilitas adalah bahwa perilaku dapat diprediksi secara lebih
akurat jika didasarkan pada sikap terhadap perilaku itu sendiri, bukan sikap terhadap target
perilaku. Contoh dari sikap terhadap perilaku adalah keyakinan si pemilik hotel bahwa menolak
tamu merupakan perbuatan buruk. Sementara contoh sikap terhadap target perilaku adalah
pandangan si pemilik hotel terhadap sosok sang tamu, apakah ia menyukai atau tidak
menyukainya. Dengan mempertimbangkan faktor norma subyektif dan prinsip-prinsip
kompatibilitas tersebut, Martin Fishbein dan Icek Ajzen (1975) mengembangkan teori perilaku
beralasan (the theory of reasoned action), yang 10 tahun kemudian disempurnakan oleh Icek Ajzen
(1985) menjadi teori perilaku terencana (the theory of planned behavior). Meskipun berbeda dalam
beberapa hal, kedua teori ini memiliki tujuan sama, yaitu memprediksi perilaku yang disadari
(voluntary behavior) berdasarkan sikap terhadap perilaku dan variabel-variabel penting lainnya.
1. Teori perilaku beralasan (TPB)
Fishbein dan Ajzen (1975) mengajukan teori bahwa setiap perilaku yang disadari (volitional
behavior) dipengaruhi oleh intensi atau niat, yang didefinisikan sebagai keputusan untuk
melakukan tindakan dengan cara tertentu. Sementara muncul atau tidaknya intensi dipengaruhi
oleh dua faktor utama, yaitu (i) sikap terhadap perilaku dan (ii) norma subyektif (lihat Gambar 6).
Dalam hal ini norma subyektif diartikan sebagai keyakinan pelaku tentang pandangan orang-orang
penting disekitarnya (significant others) terhadap tindakan yang akan ia lakukan. Di sisi lain,
menurut teori ini sikap terhadap perilaku juga dipengaruhi oleh dua faktor lain, yaitu (i) keyakinan
bahwa perilaku tersebut mengarah pada hasil atau luaran tertentu dan (ii) evaluasi tentang seberapa
bernilai luaran tersebut. Selanjutnya, norma subyektif juga dipengaruhi oleh dua hal, yaitu (i)
keyakinan tentang pandangan orang-orang yang dianggap penting terhadap tindakan itu dan (ii)
motivasi si pelaku untuk mengikuti pandangan orang-orang tersebut.

Keyakinan bahwa
perilaku
mengarah pada
hasil tertentu Sikap terhadap
perilaku
Evaluasi terhadap
hasil

Niat/ Intensi Tindakan

Keyakinan
tentang
pandangan orang Norma
lain subyektif

Motivasi
mengikuti
pandangan orang
lain

Gambar 6. Skema teori tindakan beralasan dari Martin Fihsbein dan Icek Ajzen.
Teori tindakan beralasan cukup populer di era 1970-an sebelum kemudian ditinggalkan karena
ketidakmampuannya menjawab berbagai kritik. Meskipun teori ini cukup masuk akal, namun para
peneliti ragu akan kegunaannya untuk menjelaskan banyak perilaku sadar, misalnya tindakan
kriminal. Bila merujuk pada teori ini, seseorang melakukan tindakan kriminal karena ia memang
memiliki niat sebelumnya. Niat itu muncul karena orang tersebut menganggap bahwa tindakan itu
menguntungkan dirinya dan dipandang positif oleh orang-orang di sekitarnya. Penjelasan ini
cenderung tidak sesuai dengan keyakinan sebagian besar ilmuwan sosial bahwa tindakan kriminal
lebih banyak didorong oleh faktor lingkungan (misal, kemiskinan, rendahnya pendidikan, sistem
yang tidak berfungsi) dan identitas atau kepribadian individu yang menyimpang. Selain itu, salah
satu kelemahan utama teori tindakan beralasan adalah karena ia tidak mempertimbangkan faktor
kontrol. Sebagai contoh, seorang mahasiswa mungkin memiliki niat kuat untuk masuk kuliah
statistik jam pertama pada hari senin. Namun, beberapa jam sebelum berangkat ia mengalami kram
di perut yang membuatnya harus membatalkan niatnya itu. Dalam kasus ini, intensi tidak serta
merta terwujud menjadi sebuah tindakan.
2. Teori perilaku terencana (TPT)
Menanggapi kritik di atas, Icek Ajzen (1985) memodifikasi teori perilaku beralasan dengan
memasukkan faktor kontrol. Model baru ini ia sebut sebagai teori perilaku terencana. Menurut
teori ini, seberapa jauh sebuah niat akan termanifestasi menjadi sebuah tindakan akan tergantung
pada kontrol individu terhadap perilaku tersebut. Meskipun seorang mahasiswa memiliki niat
tinggi untuk mengikuti kuliah statistika, gangguan kram perut akan membuat tingkat kontrol
terhadap perilaku berangkat kuliah menjadi rendah, sehingga ia tidak dapat melaksanakan tindakan
tersebut. Persoalannya, terlalu sulit bagi peneliti untuk memasukkan variabel kontrol obyektif
terhadap berbagai faktor situasional ke dalam model perilaku terencana (misalnya, kondisi fisik,
jumlah uang, lama waktu, dll). Oleh karena itu, Ajzen memilih untuk menggunakan variabel
kontrol perilaku subyektif sebagai representasi ukuran faktor kontrol obyektif (proxy measure).
Kontrol perilaku subyektif diartikan sebagai persepsi si pelaku tentang seberapa besar kontrol yang
ia miliki untuk melaksanakan sebuah tindakan.

Sikap terhadap
perilaku

Norma Niat/ Intensi Tindakan


subyektif

Kontrol atas
perilaku

Gambar 7. Skema teori tindakan terencana dari Icek Ajzen.


Menurut teori perilaku terencana, faktor kontrol perilaku dapat mempengaruhi perilaku secara
langsung atau secara tidak langsung melalui intensi (lihat Gambar 7). Saat seseorang merasa
bahwa sebuah tindakan hampir mustahil untuk dilaksanakan (kontrol subyektif), maka hal ini
secara otomatis menurunkan niatnya melaksanakan tindakan itu. Di sisi lain, faktor kontrol
obyektif secara langsung dapat memperngaruhi perilaku dengan cara menghalangi atau
memfasilitasi perilaku tersebut. Faktor kontrol obyektif biasanya berupa hal-hal yang dibutuhkan
untuk melaksanakan sebuah tindakan (misal, dana, kekuatan fisik dan peralatan). Namun
demikian, di dalam teori perilaku terencana faktor kontrol obyektif ini tidak pernah benar-benar
diukur secara langsung.
3. Teori konsistensi sikap dan perilaku
Meskipun hukum kompatibilitas diterima secara luas di kalangan psikolog sosial, namun tidak
semua teoritikus sepakat bahwa perilaku hanya dapat diprediksi oleh sikap terhadap perilaku.
Russel Fazio dan Mark Zanna (1978) berpendapat bahwa sikap terhadap target perilaku dapat
mempengaruhi perilaku jika ia terbentuk berdasarkan pengalaman langsung (ingat perbedaan
antara sikap terhadap perilaku dan sikap terhadap target perilaku). Menurut teori ini, seseorang
yang sebelumnya memiliki pengalaman menyenangkan menerima tamu pasangan Cina cenderung
akan membentuk sikap positif terhadap tamu Cina, dan dalam kesempatan berikutnya akan
berperilaku positif terhadap tamu Cina lainnya. Secara teoritis, Fazio dan Zana (1978)
menjelaskan bahwa pengalaman langsung membentuk tiga aspek kualitas sikap, yaitu jelas, dapat
dipercaya, dan pasti. Sikap yang memenuhi tiga kualitas ini dipercaya memiliki korelasi yang
kuat dengan perilaku.
Dalam studi lainnya Fazio dan Zanna (1981) menjelaskan bahwa sikap yang terbentuk dari
pengalaman langsung lebih mudah diakses dan diaktifkan saat berhadapan dengan obyek sikap.
Dengan kata lain, pengalaman langsung membuat asosiasi antara sikap dan obyek sikap menjadi
semakin kuat, yang selanjutnya mereka istilahkan sebagai kekuatan sikap (attitude strength).
Semakin tinggi kekuatan sebuah sikap, semakin kuat pengaruhnya terhadap perilaku. Penelitian-
penelitian berikutnya menjelaskan bahwa sikap yang dibentuk dari pengalaman langsung dan
diekspresikan secara berulang-ulang akan membuat sikap menjadi lebih stabil, tidak mudah
berubah oleh informasi-informasi baru, sehingga pengaruhnya terhadap perilaku semakin kuat.
Aplikasi teori sikap
Sikap merupakan salah satu konsep yang paling berkembang dan populer di bidang psikologi
sosial, salah satunya berkat kegunaannya dalam berbagai kerja terapan. Di area kajian politik,
misalnya, sikap-sikap politik seperti konservatisme-liberalisme, persepsi terhadap kandidat, dan
sikap terhadap partai seringkali diukur dalam berbagai survei guna memprediksi preferensi dan
pilihan pemilih dalam pemilihan umum. Sementara di bidang kesehatan, teori perilaku beralasan
dan teori perilaku terencana telah banyak digunakan untuk menjelaskan berbagai perilaku sehat,
seperti diet, kepatuhan terhadap resep dokter, olahraga, dan lain sebagainya. Selain itu, prinsip-
prinsip di dalam teori-teori sikap juga banyak digunakan sebagai dasar untuk menyusun program-
program intervensi.
Penelitian tindakan (action research) yang dilakukan oleh Johana Endang Prawitasari Hadiyono
dan kolega-koleganya dari Universitas Gadjah Mada (1996) menunjukkan bagaimana prinsip-
prinsip perubahan sikap dapat digunakan sebagai dasar untuk menanggulangi masalah kesehatan
masyarakat di Indonesia. Studi ini berangkat dari persoalan adanya penggunaan obat suntik yang
berlebihan di puskesmas-puskesmas di daerah Gunung Kidul, D. I. Yogyakarta pada waktu itu.
Lebih dari 60% pasien yang datang ke puskesmas mendapatkan suntikan, sehingga meningkatkan
resiko klinis serta menambah beban ekonomi (subsidi kesehatan dari pemerinta dan ongkos yang
dibayar oleh pasien semakin tinggi). Dari penelusuran lebih lanjut, mereka menemukan bahwa
tingginya penggunaan obat suntik itu dilatarbelakangi oleh sikap yang keliru di antara dokter dan
pasien. Dari sisi dokter, mereka mengaku memilih untuk memberikan obat suntik atas dasar
permintaan pasien yang percaya bahwa obat suntik lebih manjur dibandingkan obat telan.
Sementara dari sisi pasien, mereka mengaku menerima obat suntik atas dasar saran dokter. Kedua
pihak cenderung memiliki sikap positif terhadap penggunaan obat suntik atas dasar keyakinan
yang kurang tepat.
Guna mengatasi persoalan di atas, Hadiyono, dkk mengembangkan program diskusi kelompok
interaksional (interactional group discussion, IGD) yang melibatkan dokter dan pasien dan
seorang fasilitator. Tujuan IGD ini adalah untuk memberikan kesempatan bagi dokter dan pasien
untuk bertemu dan saling berbagi informasi dan pendapat dari sudut pandang masing-masing
tentang penggunaan obat suntik, sehingga mereka dapat membentuk sikap yang lebih tepat. Untuk
menguji efektifitas IGD, peneliti merancang penelitian tindakan dengan melibatkan sebanyak 24
puskesmas, yang dibagi menjadi kelompok intervensi (12 puskesmas) dan kelompok kontrol (12
puskesmas). Sementara untuk mengukur dampak program, peneliti mencatat jumlah penggunaan
obat suntik selama tiga bulan sebelum dan pasca pelaksanaan IGD di seluruh puskesmas yang
masuk ke dalam kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Hasil penelitian ini menunjukkan
bahwa IGD mampu menurunkan tingkat penggunaan obat suntik pada kelompok intervensi dari
69.5% menjadi 42.3%, jauh lebih signifikan dibandingkan penurunan pada kelompok kontrol,
yaitu dari 75.6% menjadi 67.1%. Studi ini menggambarkan bagaimana perilaku pasien dan dokter
dapat diubah dengan cara mengubah sikap dasarnya.
Kesimpulan
1. Sikap didefinisikan sebagai kecenderungan psikologis yang diekspresikan dengan
mengevaluasi sebuah obyek berdasarkan tingkatan suka atau tidak suka. Syarat akan
adanya obyek tersebut membedakan sikap dengan aspek-aspek personalitas lainnya,
seperti kepribadian.
2. Sikap dapat memiliki salah satu atau keseluruhan komponen kognitif, afektif, dan perilaku.
3. Seseorang dapat memiliki lebih dari satu sikap terhadap satu atau beberapa obyek.
Hubungan antar sikap ini dapat dijelaskan melalui teori keseimbangan, teori ideologi, teori
kepentingan dan keterlibatan, model sikap ganda, atau dengan melihat konteks sosio-
kultural-kesejarahan yang mengkaitkan antara beberapa sikap.
4. Hubungan antara sikap dan perilaku cenderung kompleks, dengan melibatkan variabel-
variabel penting lainnya. Beberapa teori yang menjelaskan hubungan ini diantaranya
adalah teori perilaku beralasan, teori perilaku terencana, dan teori konsistensi sikap dan
perilaku.
5. Prinsip-prinsip dalam teori sikap dapat digunakan sebagai dasar untuk mengembangkan
program-program intervensi untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat.
Bahan kegiatan di kelas
Setelah membaca dan memahami materi yang disajikan di bab ini, cobalah jawab pertanyaan-
pertanyaan ini dengan teman-teman sekelompok.
1. Apa saja persamaan dan perbedaan pengertian sikap dalam literatur psikologi sosial
dengan istilah sikap yang sering kita gunakan dalam kehidupan sehari-hari?
2. Apa perbedaan mendasar antara sikap dengan karakteristik individual lainnya seperti
kepribadian dan konsep diri?
3. Sekarang pilih salah satu teori sikap yang paling menarik menurut kelompokmu, lalu
gunakan prinsip-prinsip yang ada di dalamnya untuk menyusun sebuah program
perubahan perilaku. Kelompokmu dapat memutuskan target perubahan perilaku yang
diinginkan, misalnya perilaku hidup sehat, perilaku membeli, perilaku organisasi, dan
lain sebagainya.

Anderson, J. R., & Bower, G. H. (2014). Human associative memory: Psychology press.
Bartle, J., & Bellucci, P. (2014). Political parties and partisanship: Social identity and individual attitudes
(Vol. 57): Routledge.
Betsch, T., Plessner, H., Schwieren, C., & Gütig, R. (2001). I like it but I don’t know why: A value-account
approach to implicit attitude formation. Personality and Social Psychology Bulletin, 27(2), 242-
253.
Eagly, A. H., & Chaiken, S. (1993). The psychology of attitudes: Harcourt Brace Jovanovich College
Publishers.
Fazio, R. H., & Petty, R. E. (2008). Attitudes: key readings: their structure, function, and consequences:
Psychology Press Hove.
Fraley, R. C., Griffin, B. N., Belsky, J., & Roisman, G. I. (2012). Developmental antecedents of political
ideology: A longitudinal investigation from birth to age 18 years. Psychological science, 23(11),
1425-1431.
Greenwald, A. G., & Banaji, M. R. (1995). Implicit social cognition: attitudes, self-esteem, and
stereotypes. Psychological review, 102(1), 4.
Hakim, M. A., Liu, J. H., Isler, L., & Woodward, M. R. (2015). Monarchism, national identity and social
representations of history in Indonesia: Intersections of the local and national in the sultanates
of Yogyakarta and Surakarta. Asian Journal of Social Psychology, 18(4), 259-269.
Hatemi, P. K., Funk, C. L., Medland, S. E., Maes, H. M., Silberg, J. L., Martin, N. G., & Eaves, L. J. (2009).
Genetic and environmental transmission of political attitudes over a life time. The Journal of
Politics, 71(3), 1141-1156.
Judd, C. M., & Krosnick, J. A. (1989). The structural bases of consistency among political attitudes: Effects
of political expertise and attitude importance. Attitude structure and function, 99-128.
Mashuri, A., Zaduqisti, E., & Alroy‐Thiberge, D. (2017). The role of dual categorization and relative
ingroup prototypicality in reparations to a minority group: An examination of empathy and
collective guilt as mediators. Asian Journal of Social Psychology, 20(1), 33-44.
Robinson, P. B., Stimpson, D. V., Huefner, J. C., & Hunt, H. K. (1991). An attitude approach to the
prediction of entrepreneurship. Entrepreneurship theory and practice, 15(4), 13-31.
Sagala, S., Okada, N., & Paton, D. (2009). Predictors of intention to prepare for volcanic risks in Mt
Merapi, Indonesia. Journal of Pacific Rim Psychology, 3(02), 47-54.
Wilson, T. D., Lindsey, S., & Schooler, T. Y. (2000). A model of dual attitudes. Psychological review,
107(1), 101.

Ajzen, I. (1985). From intentions to actions: A theory of planned behavior Action control (pp. 11-39):
Springer.
Fazio, R. H., & Zanna, M. P. (1978). Attitudinal qualities relating to the strength of the attitude-behavior
relationship. Journal of experimental social psychology, 14(4), 398-408.
Fazio, R. H., & Zanna, M. P. (1981). Direct experience and attitude-behavior consistency. Advances in
experimental social psychology, 14, 161-202.
Fishbein, M., & Ajzen, I. (1975). Belief. Attitude, Intention and Behavior: An Introduction to Theory and
Research Reading, MA: Addison-Wesley, 6.
Hadiyono, J. E. P., Suryawati, S., Danu, S. S., & Santoso, B. (1996). Interactional group discussion: results
of a controlled trial using a behavioral intervention to reduce the use of injections in public
health facilities. Social science & medicine, 42(8), 1177-1183.
Inglehart, R., & Baker, W. E. (2000). Modernization, cultural change, and the persistence of traditional
values. American sociological review, 19-51.
LaPiere, R. T. (1934). Attitudes vs. actions. Social forces, 13(2), 230-237.
Schwartz, S. H. (1992). Universals in the content and structure of values: Theoretical advances and
empirical tests in 20 countries. Advances in experimental social psychology, 25, 1-65.
Tajfel, H., & Turner, J. C. (1979). An integrative theory of intergroup conflict. The social psychology of
intergroup relations, 33(47), 74.

Anda mungkin juga menyukai