Anda di halaman 1dari 92

KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR HK.01.07/MENKES/ /2021


TENTANG
PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN NOMOR
HK.01.07/MENKES/413/2020 TENTANG PEDOMAN PENCEGAHAN DAN
PENGENDALIAN CORONAVIRUS DISEASE 2019 (COVID-19)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

MENTERI KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA

Menimbang : a. bahwa dalam rangka memberikan acuan bagi


pemerintah, fasilitas pelayanan kesehatan, tenaga
kesehatan, maupun seluruh pihak terkait dalam
melakukan upaya pencegahan dan pengendalian
COVID-19, telah ditetapkan Pedoman Pencegahan dan
Pengendalian Coronavirus Disease 2019 (COVID-19);
b. bahwa beberapa ketentuan dalam Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor HK.01.07/Menkes/413/2020
tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian
Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) perlu
disesuaikan dengan perkembangan keilmuan dan
teknis kebutuhan pelayanan;
c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Keputusan Menteri Kesehatan tentang
Perubahan atas Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
HK.01.07/Menkes/413/2020 tentang Pedoman
Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease
2019 (COVID-19);
Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah
Penyakit Menular (Lembaran Negara Republik
-2-

Indonesia Tahun 1984 Nomor 20, Tambahan Lembaran


Negara Republik Indonesia Nomor 3237);
2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang
Penanggulangan Bencana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 66, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia 4723);
3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia 5063);
4. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah
Sakit (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 153, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5072);
5. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang
Kekarantinaan Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2018 Nomor 128, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6236);
6. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5587)
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir
dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 58,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 5679);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1991 tentang
Penanggulangan Wabah Penyakit Menular (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1991 Nomor 49,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3447);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang
Standar Pelayanan Minimal (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 2, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6178);
-3-

9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor


1501/Menkes/Per/X/2010 tentang Jenis Penyakit
Menular Tertentu yang dapat Menimbulkan Wabah dan
Upaya Penanggulangan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 503);
10. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 45 Tahun 2014
tentang Penyelenggaraan Surveilans Kesehatan (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1113);
11. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 82 Tahun 2014
tentang Penanggulangan Penyakit Menular (Berita
Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 1755);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN TENTANG
PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN
NOMOR HK.01.07/MENKES/413/2020 TENTANG
PEDOMAN PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN
CORONAVIRUS DISEASE 2019 (COVID-19).

Pasal I
Beberapa ketentuan dalam Lampiran Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/413/2020 tentang
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus
Disease 2019 (COVID-19), yaitu pada Bab II huruf B, Bab III
huruf B, huruf D, dan huruf F, Bab IV, Bab V, dan formulir
angka 11 dan angka 18 diubah serta menambah formulir
angka 22, angka 23, angka 24, angka 25, angka 26, angka
27, angka 28, dan angka 29 sehingga menjadi berbunyi
sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Menteri ini.

Pasal II
Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal
-4-

ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,

BUDI G. SADIKIN
-5-

LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR HK.01.07/MENKES/ /2021
TENTANG
PERUBAHAN ATAS KEPUTUSAN
MENTERI KESEHATAN NOMOR
HK.01.07/MENKES/413/2020
TENTANG PEDOMAN PENCEGAHAN
DAN PENGENDALIAN CORONAVIRUS
DISEASE 2019 (COVID-19)

BAB II
STRATEGI DAN INDIKATOR PENANGGULANGAN PANDEMI

B. Indikator Penanggulangan Pandemi


Dalam rangka menanggulangi pandemi COVID-19, Indonesia telah
menerapkan berbagai langkah kesehatan masyarakat termasuk
Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sesuai Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial
Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus
Disease 2019 (COVID-19) seperti penutupan sekolah dan bisnis,
pembatasan perpindahan atau mobilisasi penduduk, dan pembatasan
perjalanan internasional.

Dalam perkembangan pandemi selanjutnya, WHO sudah menerbitkan


panduan sementara yang memberikan rekomedasi berdasarkan data
tentang penyesuaian aktivitas ekonomi dan sosial kemasyarakatan.
Serangkaian indikator dikembangkan untuk membantu negara melalui
penyesuaian berbagai intervensi kesehatan masyarakat berdasarkan
kriteria kesehatan masyarakat. Selain indikator tersebut, faktor ekonomi,
keamanan, hak asasi manusia, keamanan pangan, dan sentimen publik
juga harus dipertimbangkan. Keberhasilan pencapaian indikator dapat
mengarahkan suatu wilayah untuk melakukan persiapan menuju tatanan
normal baru produktif dan aman dengan mengadopsi adaptasi kebiasaan
baru.

Kriteria yang perlu dievaluasi untuk menilai keberhasilan


dikelompokkan menjadi tiga domain melalui tiga pertanyaan utama yaitu:
-6-

1. Kriteria Epidemiologi - Apakah epidemi telah terkendali? (Ya atau


tidak)
2. Kriteria Sistem kesehatan - Apakah sistem kesehatan mampu
mendeteksi kasus COVID-19 yang mungkin kembali meningkat? (Ya
atau tidak)
3. Kriteria Surveilans Kesehatan Masyarakat - Apakah sistem surveilans
kesehatan masyarakat mampu mendeteksi dan mengelola kasus dan
kontak, dan mengidentifikasi kenaikan jumlah kasus? (Ya atau tidak)
Ambang batas yang ditentukan sebagai indikasi untuk menilai
keberhasilan penanggulangan dapat digunakan jika tersedia informasi
epidemiologi COVID-19. Dari 3 kriteria tersebut, terdapat 24 indikator yang
dapat dievaluasi untuk melakukan penyesuaian. Penilaian ini sebaiknya
dilakukan setiap minggu di tingkat kabupaten/kota/provinsi.

1. Indikasi Wabah Terkendali


Ukuran Utama: Efektif Reproduction Number (Rt) < 1 selama 2 minggu
terakhir.
Secara teori Rt (jumlah penularan efektif pada kasus sekunder di
populasi), nilai di bawah 1 merupakan indikasi bahwa wabah sudah
terkendali dan jumlah kasus baru semakin berkurang. Rt harus
dihitung pada wilayah administratif yang tidak terlalu besar dan
memiliki variabilitas yang tinggi. Perhitungan dapat dilakukan pada
tingkat Kabupaten/kota, kecamatan dan kelurahan. Nilai Rt sangat
tergantung jumlah kasus absolut, pada kasus yang tinggi > 100
perhari pengurangan 5-10 kasus tidak terlalu bermakna secara
absolut, tetapi nilai Rt menjadi turun < 1, pada kasus dengan tren
fluktuatif nilai Rt tidak relevan untuk dilakukan. Nilai Rt menjadi
acuan terbaik setelah puncak kasus terjadi dan menilai program
penanggulangan untuk mencegah terjadinya peningkatan baru dari
pandemi.
Karena itu selain nilai Rt, penilaian kualitatif juga dilakukan sebagai
pelengkap/pendukung dengan beberapa kriteria, atau jika data
surveilans tidak memadai untuk menilai Rt yang adekuat untuk
menilai apakah pandemi telah terkendali.

Tabel 2. 1. Kriteria Epidemiologi


-7-

Kriteria Epidemiologi Penjelasan

Penurunan minimal 50% Indikator penurunan penularan setara


angka kasus konfirmasi dengan penurunan setengah dari
baru dari puncak tertinggi jumlah kasus (50%) selama 3 minggu
selama 3 minggu dari puncak tertinggi. Strategi ini
berturut-turut dan terus mengharuskan untuk memperbanyak
menurun pada minggu- pemeriksaan NAAT, dengan prioritas
minggu selanjutnya pemeriksaan NAAT pada kasus suspek.
Jumlah spesimen positif Positivity rate dalam 2 minggu terakhir=
(untuk keperluan Jumlah kasus positif
diagnosis) pada semua _____________________
kasus dalam 2 minggu (Jumlah kasus positif + Jumlah kasus
terakhir <5%* negatif diagnosis)
*dengan syarat surveilans berjalan
optimal dan kapasitas lab mampu
melakukan pemeriksaan 1/1000
penduduk per-minggu
Jumlah spesimen positif Melalui surveilans sentinel ILI dan SARI,
COVID-19 pada Sentinel rendahnya % spesimen yang positif
ILI dan SARI dalam 2 COVID-19 menunjukkan rendahnya
minggu terakhir < 5% transmisi di populasi.

Positivity rate pada sentinel ILI dan SARI


dalam 2 minggu terakhir =
Jumlah kasus positif COVID-19
───────────────
(Jumlah kasus positif COVID-19 +
Jumlah kasus negatif diagnosis)
≥80% kasus konfirmasi Indikator ini menunjukkan rantai
berasal dari daftar kontak penularan telah dapat diidentifikasi dan
dan dapat diidentifikasi dilakukan upaya penanggulangan.
kelompok klasternya
dalam 2 minggu terakhir
Penurunan jumlah kasus Penurunan jumlah kematian ini
kematian, baik kasus menunjukkan bahwa jumlah kasus
probable maupun kasus COVID-19 menurun dan tata laksana
konfirmasi dalam 3 medis membaik.
-8-

Kriteria Epidemiologi Penjelasan

minggu terakhir
Penurunan jumlah pasien Kriteria ini mengindikasikan adanya
dirawat dan kasus kritis penurunan jumlah kasus di populasi.
yang butuh ICU pada Penetapan ini apabila kualitas
kasus konfirmasi dalam 2 perawatan di rumah sakit belum
mingggu terakhir berubah.
Penurunan kematian Ketika kasus pneumonia tidak dapat
karena pneumonia pada dilakukan pemeriksaan NAAT,
setiap kelompok usia penurunan kematian karena
pneumonia secara tidak langsung akan
mengindikasikan pengurangan
kematian karena COVID-19.

*Evaluasi melalui tren tetap dibutuhkan dan tidak terjadi perubahan


pada uji lab atau strategi pengukuran
**Masa 2 minggu berhubungan degan masa inkubasi terpanjang dan
periode tersingkat untuk menilai perubahan tren

2. Sistem kesehatan mampu mengatasi lonjakan kasus yang mungkin


timbul setelah penyesuaian (pelonggaran PSBB)
Ukuran kunci: Jumlah kasus baru yang membutuhkan rawat inap
lebih kecil dari perkiraan kapasitas maksimum rumah sakit dan
tempat tidur ICU (Sistem kesehatan dapat mengatasi rawat inap baru
dan pemberian pelayanan kesehatan esensial lainnya).
Jika tidak ada informasi ini, penilaian kualitatif berdasarkan kriteria
berikut dapat digunakan.

Tabel 2. 2. Kriteria Sistem Pelayanan Kesehatan

KRITERIA SISTEM PENJELASAN


PELAYANAN KESEHATAN
Seluruh pasien COVID-19 dapat Ini menunjukkan bahwa sistem kesehatan
memperoleh tatalaksana sesuai telah kembali ke keadaan di mana semua
standar kondisi (staf, tempat tidur, obat-obatan,
peralatan, dll.) tersedia untuk memberikan
Semua pasien bukan COVID-19
standar perawatan yang sama seperti sebelum
yang memiliki kondisi parah
krisis.
memperoleh tatalaksana sesuai
standar
-9-

KRITERIA SISTEM PENJELASAN


PELAYANAN KESEHATAN
Tidak ada peningkatan
kematian akibat penyakit selain
COVID-19 di rumah sakit

Sistem pelayanan kesehatan Ini menunjukkan bahwa sistem kesehatan


dapat mengatasi peningkatan dapat berjalan ketika harus mengatasi
lebih dari 20% kasus COVID-19 lonjakan kasus saat melonggarnya
pembatasan sosial. Indikator ini termasuk
staf, peralatan, tempat tidur, dll yang
jumlahnya memadai.

Rumah sakit harus melakukan konversi


tempat tidur untuk ruang isolasi dan ICU
pasien COVID-19 sebanyak 30-35 % dari total
jumlah tempat tidur untuk mengatasi lonjakan
kasus.

Terdapat komite/tim/ komite/tim/koordinator PPI mengindikasikan


koordinator PPI di seluruh kemampuan untuk koordinasi, supervisi,
fasilitas pelayanan kesehatan pelatihan sebagai aktivitas PPI termasuk di
dan penanggung jawab PPI di puskesmas/FKTP lainnya.
seluruh dinas kesehatan
kabupaten/kota (1 orang
petugas PPI terlatih per 250
tempat tidur)

Seluruh fasilitas pelayanan Hal ini untuk meyakinkan bahwa seluruh


kesehatan dapat melakukan pasien yang datang ke fasyankes di skrining
skrining terhadap COVID-19 untuk gejala COVID-19 untuk mencegah
infeksi di fasilitas pelayanan Kesehatan

Seluruh fasilitas pelayanan Sistem kesehatan memiliki kapasitas memadai


kesehatan memiliki mekanisme untuk isolasi seluruh pasien COVID-19
isolasi suspek COVID-19

3. Surveilans kesehatan masyarakat dapat mengidentifikasi sebagian


besar kasus dan kontak pada masyarakat
Setiap daerah harus memiliki mekanisme surveilans yang berkualitas
dan didukung dengan kapasitas dan mekanisme laboratorium yang
memadai. Beberapa indikator di bawah ini dapat dimanfaatkan dalam
menilai kapasitas surveilans kesehatan masyarakat.
- 10 -

Tabel 2. 3. Kriteria Surveilans Kesehatan Masyarakat


Kriteria Surveilans
Penjelasan
Kesehatan Masyarakat
Sistem Surveilans

Setiap kasus baru dapat Ada sistem surveilans COVID-19


diidentifikasi, dilaporkan dan yang mencakup keseluruhan
dianalisis kurang dari 24 jam. wilayah dan semua orang serta
komunitas yang berisiko. Surveilans
Penemuan kasus baru
yang komprehensif mencakup
dilaporkan kepada Dinas
surveilans di tingkat masyarakat,
Kesehatan Kabupaten/Kota
tingkat pelayanan kesehatan
(notifikasi) sesuai dengan
primer, di rumah sakit, dan pada
formulir notifikasi penemuan
wilayah yang memiliki surveilans
kasus COVID-19 di Fasyankes
sentinel ILI/SARI dan penyakit-
sebagaimana terlampir.
penyakit saluran pernapasan lain.

Perkembangan situasi COVID- Kriteria ini mengindikasikan adanya


19 di daerah dilaporkan oleh kebijakan-kebijakan kesehatan
Dinas Kesehatan masyarakat yang sesuai sehingga
Kabupaten/Kota secara notifikasi kasus COVID-19 dari
berkala harian kepada Dinas semua fasyankes segera
Kesehatan Provinsi dan disampaikan.
Kementerian Kesehatan sesuai
dengan formulir laporan harian
agregat (formulir 4) melalui
sistem pelaporan harian online
sesuai pembahasan pada
bagian pencatatan pelaporan
(BAB III)

Laporan mencakup:
a. Jumlah suspek
b. Jumlah probable
c. Jumlah konfirmasi
d. Jumlah kematian
e. Jumlah kontak erat
f. Jumlah kasus rawat RS
g. Jumlah kasus yang
- 11 -

Kriteria Surveilans
Penjelasan
Kesehatan Masyarakat
diambil spesimen

Sistem surveilans diterapkan Ini mengindikasikan otoritas


dan diperkuat di fasilitas kesehatan telah mengidentifikasi
tertutup (seperti lapas, panti populasi khusus yang rentan dan
jompo, panti rehabilitasi, melakukan surveilans pada
asrama, pondok pesantren, populasi ini.
dan lain-lain) dan pada
kelompok-kelompok rentan

Surveilans kematian COVID-19 Menunjukkan kemampuan


dilakukan di Rumah Sakit dan melacak jumlah kematian COVID-
masyarakat 19 dengan cepat dan handal. Jika
memungkinkan dikeluarkan SMPK
(Sertifikat Medis Penyebab
Kematian) COVID-19. Pendekatan
lain yang dilakukan dalam
surveilans kematian adalah laporan
dari pusat keagamaan atau tempat
pemakaman.

Investigasi (Penyelidikan) kasus

Tim Gerak Cepat COVID-19 Ukurannya adalah kemampuan


berfungsi dengan baik di melakukan penyelidikan kasus dan
berbagai tingkat administrasi klaster COVID-19.

90% kasus suspek diisolasi Ini menunjukkan bahwa investigasi


dan dilakukan pengambilan dan isolasi kasus baru dilakukan
spesimen dalam waktu kurang cukup cepat untuk meminimalkan
dari 48 jam sejak munculnya timbulnya kasus sekunder.
gejala

Lama hasil pemeriksaan Lab. Kriteria ini harus ditetapkan untuk


keluar sejak spesimen memperbaiki sistem manajemen
dikirimkan dan diterima pemeriksaan spesimen.
hasilnya adalah 2 x 24 jam
- 12 -

Kriteria Surveilans
Penjelasan
Kesehatan Masyarakat

Pelacakan Kontak (Contact Tracing)

dapat Ini menunjukkan kapasitas


>80% kasus baru
diidentifikasi kontak eratnya pelacakan kasus dan kontak

dan mulai dilakukan karantina adequate


dalam waktu <72 jam setelah
kasus baru di konfirmasi

>80% kontak dari kasus baru Kontak harus dipantau setiap hari
dipantau selama 14 hari sejak selama 14 hari dan idealnya umpan
kontak terakhir balik tidak boleh terlewat selama
lebih dari dua hari.

Menggunakan sistem informasi Sementara pelacakan data kontak


dan manajemen data tersedia dapat diolah manual pada skala
untuk mengelola pelacakan kecil, pelacakan kontak skala besar
kontak dan data terkait lainnya dapat didukung oleh perangkat
elektronik.

Dalam konteks pandemi COVID-19, menemukan, menguji, dan


mengisolasi kasus, pelacakan kasus dan karantina tetap menjadi langkah
utama dalam semua tahap respons. Demikian pula langkah-langkah untuk
memastikan perlindungan terhadap petugas kesehatan dan kelompok
rentan harus dipertahankan. Tergantung pada tingkat risiko, tindakan lain
seperti kegiatan di masyarakat, pembatasan pengumpulan massal, dan
langkah-langkah untuk mengurangi risiko masuknya virus harus
diadaptasi.

BAB III
SURVEILANS EPIDEMIOLOGI

B. Definisi Operasional
Pada bagian ini, dijelaskan definisi operasional kasus COVID-19 yaitu
Kasus Suspek, Kasus Probable, Kasus Konfirmasi, Kontak Erat, Pelaku
Perjalanan, Discarded, Selesai Isolasi, dan Kematian. Untuk Kasus Suspek,
Kasus Probable, Kasus Konfirmasi, Kontak Erat, istilah yang digunakan
- 13 -

pada pedoman sebelumnya adalah Orang Dalam Pemantauan (ODP),


Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Orang Tanpa Gejala (OTG).

1. Kasus Suspek
Seseorang yang memiliki salah satu dari kriteria berikut:
a. Orang yang memenuhi salah satu kriteria klinis DAN salah satu
kriteria epidemiologis:
Kriteria Klinis:
1) Demam akut (≥ 380C)/riwayat demam* dan batuk; ATAU
2) Terdapat 3 atau lebih gejala/tanda akut berikut: demam
(≥380C)/ riwayat demam*, batuk, kelelahan (fatigue), sakit
kepala, myalgia, nyeri tenggorokan, coryza/pilek/hidung
tersumbat*, sesak nafas, anoreksia/mual/muntah*, diare,
penurunan kesadaran
DAN
Kriteria Epidemiologis:
1) Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat
tinggal atau bekerja di tempat berisiko tinggi penularan**;
2) Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat
tinggal atau bepergian di negara/wilayah Indonesia yang
melaporkan transmisi lokal***;
3) Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala bekerja di
fasilitas pelayanan kesehatan, baik melakukan pelayanan
medis, dan non-medis, serta petugas yang melaksanakan
kegiatan investigasi, pemantauan kasus dan kontak; ATAU
4) Pada 14 hari terakhir sebelum timbul gejala memiliki riwayat
kontak dengan kasus konfirmasi/probable COVID-19.

b. Seseorang dengan ISPA Berat****;


c. Seseorang dengan gejala akut anosmia (hilangnya kemampuan
indra penciuman) atau ageusia (hilangnya kemampuan indra
perasa) dengan tidak ada penyebab lain yang dapat diidentifikasi;
d. Seseorang yang tidak bergejala (asimptomatik) DAN tidak
memenuhi kriteria kontak erat dengan hasil pemeriksaan Rapid
Diagnostic Test Antigen (RDT-Ag) positif.
- 14 -

Catatan:
* Gejala/tanda yang dipisahkan dengan garis miring (/) dihitung sebagai
satu gejala/tanda
** Risiko tinggi penularan:
kriteria yang dapat dipertimbangkan:
a. ada indikasi penularan/tidak jelas ada atau tidaknya penularan
pada tempat tersebut.
b. berada dalam suatu tempat pada waktu tertentu dalam kondisi
berdekatan secara jarak (contohnya lapas, rutan, tempat
pengungsian, dan lain-lain).
Pertimbangan ini dilakukan berdasarkan penilaian risiko lokal oleh
dinas kesehatan setempat.

*** Negara/wilayah transmisi lokal adalah negara/wilayah yang melaporkan


adanya kasus konfirmasi yang sumber penularannya berasal dari
wilayah yang melaporkan kasus tersebut.
Negara transmisi lokal merupakan negara yang termasuk dalam
klasifikasi kasus klaster dan transmisi komunitas, dapat dilihat melalui
situs
https://www.who.int/emergencies/diseases/novel-coronavirus-
2019/situation-reports
Wilayah transmisi lokal di Indonesia dapat dilihat melalui situs
https://infeksiemerging.kemkes.go.id

**** ISPA Berat yaitu Demam akut (≥ 380C)/riwayat demam, dan batuk, dan
tidak lebih dari 10 hari sejak onset, dan membutuhkan perawatan
rumah sakit.

2. Kasus Probable
Kasus suspek yang meninggal dengan gambaran klinis yang
meyakinkan COVID-19; DAN memiliki salah satu kriteria sebagai
berikut:
a. Tidak dilakukan pemeriksaan laboratorium Nucleic Acid
Amplification Test (NAAT); ATAU
b. Hasil pemeriksaan laboratorium NAAT satu kali negatif dan tidak
dilakukan pemeriksaan laboratorium NAAT yang kedua.

Kasus probable pada daerah yang menggunakan RDT-Ag adalah kasus


suspek yang meninggal dengan gambaran klinis yang meyakinkan
COVID-19, sesuai ketentuan pada kriteria penggunaan dan alur
pemeriksaan RDT-Ag pada Bab Diagnosis Laboratorium.
- 15 -

3. Kasus Konfirmasi
Seseorang yang dinyatakan positif terinfeksi virus COVID-19 yang
dibuktikan dengan pemeriksaan laboratorium sebagai berikut:
a. Seseorang dengan pemeriksaan laboratorium NAAT positif;
b. Seseorang yang memenuhi kriteria suspek pada huruf a, b atau c
dengan hasil pemeriksaan RDT-Ag positif; ATAU
c. kontak erat dengan hasil pemeriksaan RDT-Ag positif
Dalam hal diagnosis dan follow up menggunakan pemeriksaan RT-
PCR pada pembahasan lainnya, istilah RT-PCR selanjutnya disebut
sebagai NAAT.

Kasus konfirmasi dibagi menjadi 2:


a. Kasus konfirmasi dengan gejala (konfirmasi simptomatik)
b. Kasus konfirmasi tanpa gejala (konfirmasi asimptomatik)

4. Kontak Erat
Orang yang memiliki riwayat kontak dengan kasus probable atau
konfirmasi COVID-19. Riwayat kontak yang dimaksud antara lain:
a. Kontak tatap muka/berdekatan dengan kasus probable atau
kasus konfirmasi dalam radius 1 meter dan dalam jangka waktu
15 menit atau lebih.
b. Sentuhan fisik langsung dengan kasus probable atau konfirmasi
(seperti bersalaman, berpegangan tangan, dan lain-lain).
c. Orang yang memberikan perawatan langsung terhadap kasus
probable atau konfirmasi tanpa menggunakan APD yang sesuai
standar.
d. Situasi lainnya yang mengindikasikan adanya kontak
berdasarkan penilaian risiko lokal yang ditetapkan oleh tim
penyelidikan epidemiologi setempat (penjelasan sebagaimana
terlampir).
Pada kasus probable atau konfirmasi dengan gejala (simptomatik),
untuk menemukan kontak erat periode kontak dihitung dari 2 hari
sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah kasus timbul
gejala.
Pada kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik), untuk
menemukan kontak erat periode kontak dihitung dari 2 hari sebelum
dan 14 hari setelah tanggal pengambilan spesimen kasus konfirmasi.
- 16 -

5. Pelaku Perjalanan
Seseorang yang melakukan perjalanan dari dalam negeri (domestik)
maupun luar negeri pada 14 hari terakhir.

6. Discarded
Discarded apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:
a. Seseorang dengan status kasus suspek pada huruf a, b atau c
dengan hasil pemeriksaan laboratorium NAAT 2 kali negatif
selama 2 hari berturut-turut dengan selang waktu >24 jam.
b. Seseorang dengan status kontak erat yang telah menyelesaikan
masa karantina selama 14 hari.
Kasus discarded pada daerah yang menggunakan RDT-Ag harus
memperhatikan kriteria penggunaan dan alur pemeriksaan RDT-Ag
pada Bab Diagnosis Laboratorium.

7. Selesai Isolasi
Selesai isolasi apabila memenuhi salah satu kriteria berikut:
a. Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik), setelah 10 hari
isolasi mandiri dihitung sejak pengambilan spesimen diagnosis
konfirmasi. Tidak dilakukan pemeriksaan follow up NAAT.
b. Kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) ringan-sedang,
setelah 10 hari sejak tanggal onset dengan ditambah minimal 3
hari setelah tidak lagi menunjukkan gejala/tanda klinis COVID-19
yang dialami oleh pasien. Tidak dilakukan pemeriksaan follow up
NAAT.
c. Kasus konfirmasi dengan gejala (simptomatik) berat-kritis, yang
mendapatkan hasil pemeriksaan follow up NAAT 1 kali negatif,
dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak lagi menunjukkan
gejala/tanda klinis COVID-19 yang dialami oleh pasien.
Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria selesai isolasi pada kasus
konfirmasi dapat dilihat dalam Bab Manajemen Klinis dengan
memperhatikan perubahan ketentuan dalam defisini operasional
kasus.

8. Kematian
Kematian COVID-19 untuk kepentingan surveilans yaitu:
- 17 -

a. kasus konfirmasi COVID-19 yang meninggal dalam masa isolasi;


ATAU
b. kasus probable.

D. Manajemen Kesehatan Masyarakat


Manajemen kesehatan masyarakat merupakan serangkaian kegiatan
kesehatan masyarakat yang dilakukan terhadap kasus. Kegiatan ini
meliputi kegiatan karantina/isolasi, pemantauan, pemeriksaan spesimen,
penyelidikan epidemiologi, serta komunikasi risiko dan pemberdayaan
masyarakat. Pembahasan mengenai masing-masing kegiatan dibahas pada
bagian tersendiri. Ringkasan manajemen kesehatan masyarakat
sebagaimana terlampir.

Karantina adalah proses mengurangi risiko penularan dan


identifikasi dini COVID-19 melalui upaya memisahkan individu
yang sehat atau belum memiliki gejala COVID-19 tetapi memiliki
riwayat kontak dengan pasien konfirmasi COVID-19 atau
memiliki riwayat bepergian ke wilayah yang sudah terjadi
transmisi lokal.

Isolasi adalah proses mengurangi risiko penularan melalui


upaya memisahkan individu yang sakit baik yang sudah
dikonfirmasi laboratorium atau memiliki gejala COVID-19
dengan masyarakat luas.

Upaya karantina/isolasi dilakukan sesuai kondisi dan status kasus.


Ringkasan upaya dijelaskan pada bagian Manajemen Klinis (BAB V).

1. Manajemen Kesmas pada Kasus Suspek


Apabila menemukan kasus Suspek maka dilakukan manajemen
kesmas meliputi:
a. Dilakukan isolasi sesuai dengan kriteria sebagaimana terlampir.
Isolasi dilakukan sejak seseorang dinyatakan sebagai kasus
suspek. Isolasi dapat dihentikan apabila telah memenuhi kriteria
discarded.
b. Pengambilan spesimen untuk penegakan diagnosis
Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas laboratorium
setempat yang berkompeten dan berpengalaman baik di
- 18 -

fasyankes atau lokasi pemantauan. Jenis spesimen dan waktu


pengambilan dapat dilihat pada tabel 4.1 dan tabel 4.2 di BAB IV.
Pengiriman spesimen disertai formulir penyelidikan epidemiologi
sebagaimana terlampir.
c. Pemantauan sejak mulai munculnya gejala
Pemantauan terhadap suspek dilakukan berkala selama
menunggu hasil pemeriksaan laboratorium. Pemantauan dapat
melalui telepon atau melalui kunjungan secara berkala (harian)
dan dicatat pada formulir pemantauan harian sebagaimana
terlampir. Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan
suhu tubuh dan skrining gejala harian. Pada suspek yang
melakukan isolasi mandiri di rumah, pemantauan dilakukan oleh
petugas FKTP dan berkoordinasi dengan dinas kesehatan
setempat.
Pemantauan dapat dihentikan apabila hasil pemeriksaan NAAT
selama 2 hari berturut-turut dengan selang waktu >24 jam
menunjukkan hasil negatif. Pemantauan yang menggunakan
RDT-Ag harus memperhatikan kriteria penggunaan dan alur
pemeriksaan RDT-Ag.
Kasus suspek yang sudah selesai isolasi dan pemantauan, dapat
diberikan surat pernyataan selesai masa pemantauan
sebagaimana formulir terlampir.
d. Komunikasi risiko
Petugas kesehatan memberikan komunikasi risiko pada kasus
termasuk kontak eratnya berupa informasi mengenai COVID-19,
pencegahan penularan, tatalaksana lanjut jika terjadi
perburukan, dan lain-lain. Suspek yang melakukan isolasi
mandiri harus melakukan kegiatan sesuai dengan protokol
isolasi mandiri.
e. Penyelidikan epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi dilakukan sejak seseorang dinyatakan
sebagai suspek, termasuk dalam mengidentifikasi kontak erat.

2. Manajemen Kesmas pada Kasus Probable


Apabila menemukan kasus probable maka dilakukan manajemen
kesmas meliputi:
a. Kasus probable dilakukan tatalaksana pemulasaraan jenazah
sesuai protokol pemulasaraan jenazah kasus konfirmasi COVID-
- 19 -

19.
b. Penyelidikan epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi tetap dilakukan terutama untuk
mengidentifikasi kontak erat.
c. Komunikasi risiko
Petugas kesehatan memberikan komunikasi risiko kepada
kontak erat kasus berupa informasi mengenai COVID-19,
pencegahan penularan, pemantauan perkembangan gejala, dan
lain-lain.

3. Manajemen Kesmas pada Kasus Konfirmasi


Apabila menemukan kasus konfirmasi maka dilakukan manajemen
kesmas meliputi:
a. Dilakukan isolasi sesuai dengan kriteria sebagaimana terlampir.
Isolasi pada kasus konfirmasi dilakukan selama belum
dinyatakan selesai isolasi sesuai dengan pembahasan di
manajemen klinis BAB V.
b. Pengambilan spesimen pada kasus dengan gejala berat/kritis
untuk follow up pemeriksaan NAAT dilakukan di rumah sakit.
Pada kasus tanpa gejala, gejala ringan, dan gejala sedang tidak
perlu dilakukan follow up pemeriksaan NAAT.
c. Pengambilan spesimen dilakukan oleh petugas laboratorium
setempat yang berkompeten dan berpengalaman baik di
fasyankes atau lokasi pemantauan. Jenis spesimen dapat dilihat
pada tabel 4.1 di BAB IV Pengiriman spesimen disertai formulir
penyelidikan epidemiologi sebagaimana terlampir.
d. Pemantauan terhadap kasus konfirmasi dilakukan berkala
selama belum dinyatakan selesai isolasi sesuai dengan definisi
operasional selesai isolasi. Pada kasus konfirmasi yang
melakukan isolasi mandiri di rumah, pemantauan dilakukan oleh
petugas FKTP/FKRTL berkoordinasi dengan dinas kesehatan
setempat. Pemantauan dapat melalui telepon atau melalui
kunjungan secara berkala (harian) dan dicatat pada formulir
pemantauan harian sebagaimana terlampir. Pemantauan
dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh dan skrining
gejala harian. Jika sudah selesai isolasi/pemantauan maka dapat
diberikan surat pernyataan sebagaimana formulir terlampir.
Pasien tersebut secara konsisten juga harus menerapkan
- 20 -

protokol kesehatan.
e. Komunikasi risiko
Petugas kesehatan memberikan komunikasi risiko pada kasus
termasuk kontak eratnya berupa informasi mengenai COVID-19,
pencegahan penularan, tatalaksana lanjut jika terjadi
perburukan, dan lain-lain. Kasus konfirmasi yang melakukan
isolasi mandiri harus melakukan kegiatan sesuai dengan
protokol isolasi mandiri.
f. Penyelidikan epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi pada kasus konfirmasi juga termasuk
dalam mengidentifikasi kontak erat.

4. Manajemen Kesmas pada Kontak Erat


Apabila menemukan kontak erat maka dilakukan manajemen kesmas
meliputi:
a. Dilakukan karantina sesuai dengan kriteria sebagaimana
terlampir
Karantina dilakukan sejak seseorang dinyatakan sebagai kontak
erat selama 14 hari sejak kontak terakhir dengan dengan kasus
probable atau konfirmasi COVID-19. Karantina dapat dihentikan
apabila selama masa karantina tidak menunjukkan gejala
(discarded).
Jika kapasitas pemeriksaan mencukupi, maka pemeriksaan
kontak erat dapat dipertimbangkan untuk dilakukan.
Pemeriksaan minimal pada kontak erat dapat menggunakan
RDT-Ag. Jika hasil pemeriksaan negatif, maka karantina tetap
dilanjutkan sampai dengan hari ke-14 sejak kontak terakhir. Bila
selama 14 hari muncul gejala maka dilakukan pemeriksaan
sesuai kasus suspek.
b. Pemantauan dilakukan selama masa karantina. Pemantauan
terhadap kontak erat dilakukan berkala untuk memantau
perkembangan gejala. Apabila selama masa pemantauan muncul
gejala yang memenuhi kriteria suspek maka dilakukan
tatalaksana sesuai kriteria. Pemantauan dapat melalui telepon
atau melalui kunjungan secara berkala (harian) dan dicatat pada
formulir pemantauan harian sebagaimana terlampir.
Pemantauan dilakukan dalam bentuk pemeriksaan suhu tubuh
dan skrining gejala harian. Pemantauan dilakukan oleh petugas
- 21 -

FKTP dan berkoordinasi dengan dinas kesehatan setempat.


c. Kontak erat yang sudah selesai karantina/pemantauan, dapat
diberikan surat pernyataan sebagaimana formulir terlampir.
d. Bagi petugas kesehatan yang memenuhi kriteria kontak erat yang
tidak menggunakan APD sesuai standar, direkomendasikan
untuk segera dilakukan pemeriksaan deteksi SARS-CoV-2 sejak
kasus dinyatakan sebagai kasus probable atau konfirmasi.
1) Apabila hasil positif, petugas kesehatan tersebut melakukan
isolasi mandiri selama 10 hari. Apabila selama masa isolasi,
muncul gejala dilakukan tata laksana sesuai kriteria kasus
konfirmasi simptomatik.
2) Apabila hasil negatif, petugas kesehatan tersebut tetap
melakukan karantina mandiri selama 14 hari. Apabila
selama masa karantina, muncul gejala dilakukan tata
laksana sesuai kriteria kasus suspek.
e. Komunikasi risiko
Petugas kesehatan memberikan komunikasi risiko pada kontak
erat berupa informasi mengenai COVID-19, pencegahan
penularan, tatalaksana lanjut jika muncul gejala, dan lain-lain.
f. Penyelidikan epidemiologi
Penyelidikan epidemiologi dilakukan ketika kontak erat
mengalami perkembangan gejala sesuai kriteria kasus
suspek/konfirmasi.

5. Manajemen Kesmas pada Pelaku Perjalanan


Dalam rangka pengawasan pelaku perjalanan dalam negeri
(domestik) maupun luar negeri, diharuskan untuk mengikuti
ketentuan sesuai protokol kesehatan ataupun ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Bagi pelaku perjalanan yang
akan berangkat ke luar negeri harus mengikuti protokol yang sudah
ditetapkan negara tujuan. Protokol kesehatan dilakukan sesuai
dengan penerapan kehidupan masyarakat produktif dan aman
terhadap COVID-19.

Seluruh penumpang dan awak alat angkut dalam melakukan


perjalanan harus dalam keadaan sehat dan menerapkan prinsip-
prinsip pencegahan dan pengendalian COVID-19 seperti
menggunakan masker, sering mencuci tangan pakai sabun atau
menggunakan hand sanitizer, menjaga jarak satu sama lain (physical
- 22 -

distancing), menggunakan pelindung mata/wajah, serta


menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Selain
menerapkan prinsip-prinsip tersebut, penumpang dan awak alat
angkut harus memiliki persyaratan sesuai dengan peraturan
kekarantinaan yang berlaku.

Petugas Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) di bandar udara atau


pelabuhan keberangkatan/kedatangan melakukan kegiatan
pemeriksaan suhu tubuh terhadap penumpang dan awak alat
angkut, pemeriksaan lain yang dibutuhkan serta melakukan
verifikasi kartu kewaspadaan kesehatan atau Health Alert Card
(HAC) secara elektronik maupun non elektronik. Untuk, peningkatan
kewaspadaan, dinas kesehatan daerah provinsi/kabupaten/kota
dapat mengakses informasi kedatangan pelaku perjalanan yang
melalui bandara atau pelabuhan ke wilayahnya melalui aplikasi
electronic Health Alert Card (eHAC).

Penemuan kasus di pintu masuk dapat menggunakan formulir


notifikasi penemuan kasus pada pelaku perjalanan sebagaimana
terlampir. Penekanan pengawasan pelaku perjalanan dari luar negeri
dilakukan untuk melihat potensi risiko terjadinya kasus importasi
sehingga perlu adanya koordinasi antara KKP dengan dinas
kesehatan.

F. Pelacakan Kontak Erat


Pelacakan kontak erat yang baik menjadi kunci utama dalam
memutus rantai transmisi COVID-19. Elemen utama pada implementasi
pelacakan kontak adalah pelibatan dan dukungan masyarakat,
perencanaan yang matang dengan mempertimbangkan situasi wilayah,
masyarakat dan budaya, dukungan logistik, pelatihan dan supervisi, serta
sistem manajemen data pelacakan kontak. Upaya pelacakan kontak harus
diikuti dengan peningkatan kapasitas laboratorium untuk melakukan
pemeriksaan swab pada kontak erat. Rata-rata jumlah kontak erat yang
dilacak pada kasus konfirmasi adalah 30 orang dengan
mempertimbangkan aktivitas kasus konfirmasi dan kecepatan respon
isolasi kasus sedini mungkin.
Berdasarkan data nasional pelacakan kontak erat, mayoritas kasus
merupakan kluster keluarga. Namun perlu diidentifikasi lebih lanjut untuk
mencari sumber paparan dari tempat lainnya (tempat kerja, restoran, dan
tempat-tempat umum lainnya) tidak hanya terbatas pada lingkup keluarga
- 23 -

dengan mempertimbangkan faktor risiko lainnya seperti mobilitas dari


anggota keluarga yang menjadi kontak erat.
Pelibatan masyarakat juga sangat penting untuk memastikan tidak
adanya stigma yang muncul pada orang-orang yang masuk kategori kontak
erat. Komunikasi yang baik dan jelas dengan mengharapkan kesukarelaan
pada kontak erat untuk dilakukan wawancara, melakukan karantina
mandiri, pemeriksaan swab, pemantauan (atau melaporkan ada/tidaknya
gejala setiap hari) dan untuk dilakukan isolasi jika muncul gejala.
Petugas yang akan melakukan pelacakan kontak sebaiknya berasal
dari masyarakat setempat yang memiliki kedekatan baik secara sosial
maupun budaya, seperti pengurus RT/RW/desa, tokoh masyarakat, kader,
relawan dari PMI, babinsa, Babinkamtibmas dan pihak-pihak lain terkait
yang kemudian mendapatkan pelatihan. Pelatihan yang diberikan minimal
terkait informasi umum COVID-19, cara pencegahan, pelaksanaan
pelacakan kontak, pemantauan harian, karantina/isolasi, etika dan
kerahasiaan data serta komunikasi dalam konteks kesehatan masyarakat.
Tahapan pelacakan kontak erat terdiri dari 3 komponen utama yaitu
identifikasi kontak (contact identification), pencatatan detil kontak (contact
listing) dan tindak lanjut kontak (contact follow up).

1. Identifikasi Kontak
Identifikasi kontak sudah dimulai sejak ditemukannya kasus suspek,
kasus probable dan/kasus konfirmasi COVID-19. Identifikasi kontak
erat ini bisa berasal dari kasus yang masih hidup ataupun kasus yang
sudah meninggal. Proses identifikasi kontak merupakan proses kasus
mengingat kembali orang-orang yang pernah berkontak dengan kasus
dalam 2 hari sebelum kasus timbul gejala dan hingga 14 hari setelah
kasus timbul gejala. Konsep epidemiologi: waktu, tempat dan orang
diterapkan disini.
- 24 -

Gambar 3. 1. Contoh Hubungan Kontak Erat


Selalu lakukan pengecekan ulang untuk memastikan konsistensi dan
keakuratan data. Untuk membantu dalam melakukan identifikasi
kontak dapat menggunakan tabel berikut.

Tabel 3. 1. Contoh Cara Melakukan Identifikasi Kontak Erat


Tanggal 28 Mei 29 Mei 2020 30 Mei 31 Mei 1 Dst
2020 2020 2020 Juni
(Onset 2020
gejala)

Tempat Rumah Restoran Sekolah Rumah Puskesmas Rumah Dst Dst


yang A Teman sakit
dikunjungi

Orang/ Nama A Nama C … … dr. dr Dst Dst


kontak (mis)

Nama B Nama D … … perawat perawat Dst Dst


(mis)

Dst. Dst. … … Dst. Dst. Dst. Dst.

2. Pendataan Kontak Erat


Semua kontak erat yang telah diidentifikasi selanjutnya dilakukan
wawancara secara lebih detail. Berikut tahap pendataan kontak erat:
a. Wawancara dapat dilakukan baik wawancara langsung maupun
via telepon/media komunikasi lainnya.
b. Sampaikan maksud dan tujuan pelaksanaan pelacakan kontak
c. Catat data-data kontak seperti nama lengkap, usia, alamat
lengkap, nomer telepon, tanggal kontak terakhir dan sebagainya
sesuai dengan formulir pemantauan harian sebagaimana
terlampir. Sampaikan teknis pelaksanaan monitoring harian
d. Sampaikan kepada kontak erat untuk melakukan hal-hal berikut
ini:
1) Melakukan karantina mandiri
2) Laporkan sesegera mungkin jika muncul gejala seperti
batuk, pilek, sesak nafas, dan gejala lainnya melalui kontak
tim monitoring. Sampaikan bahwa semakin cepat
melaporkan maka akan semakin cepat mendapatkan
tindakan untuk mencegah perburukan.
3) Apabila kontak erat menunjukkan gejala dan harus dibawa
ke fasyankes dengan kendaraan pribadi, perhatikan hal-hal
sebagai berikut:
- 25 -

a) Beritahu petugas fasyankes bahwa kontak yang


memiliki gejala akan dibawa.
b) Saat bepergian untuk mencari perawatan, kontak
harus memakai masker medis.
c) Hindari menggunakan transportasi umum ke fasyankes
jika memungkinkan. Ambulans dapat dipanggil, atau
kontak yang sakit dapat diangkut dalam kendaraan
pribadi dengan semua jendela terbuka, jika
memungkinkan.
d) Kontak dengan gejala harus disarankan untuk selalu
melakukan kebersihan pernapasan dan tangan.
Misalnya berdiri atau duduk sejauh mungkin dari
orang-orang di sekitar (setidaknya 1 meter) saat
bepergian dan ketika berada di fasilitas perawatan
kesehatan.
e) Setiap permukaan yang terkena sekret pernapasan
atau cairan tubuh lainnya selama proses transfer harus
dibersihkan dengan sabun atau deterjen dan kemudian
didisinfeksi dengan produk rumah tangga biasa yang
mengandung larutan pemutih encer 0,5%.

3. Follow up Kontak Erat (Pemantauan dan Karantina)


a. Petugas surveilans yang telah melakukan kegiatan identifikasi
kontak dan pendataan kontak akan mengumpulkan tim baik dari
petugas puskesmas setempat, pengurus RT/RW/desa, tokoh
masyarakat, kader, relawan dari PMI, babinsa, babinkamtibmas
dan pihak-pihak lain terkait. Pastikan petugas yang memantau
dalam kondisi fit dan tidak memiliki penyakit komorbid.
Alokasikan satu hari untuk menjelaskan cara melakukan
monitoring, mengenali gejala, tindakan observasi rumah,
penggunaan APD, tindakan pencegahan penularan penyakit lain
serta promosi kesehatan untuk masyarakat di lingkungan.
b. Komunikasi risiko harus secara pararel disampaikan kepada
masyarakat untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan
seperti munculnya stigma dan diskriminasi akibat
ketidaktahuan.
c. Petugas surveilans provinsi bertindak sebagai supervisor bagi
petugas surveilans kabupaten/kota. Petugas surveilans
- 26 -

kabupaten/kota bertindak sebagai supervisor untuk petugas


puskesmas.
d. Laporan dilaporkan setiap hari untuk menginformasikan
perkembangan dan kondisi terakhir dari kontak erat. Seluruh
kegiatan pelacakan kontak sebaiknya dilakukan di ruangan
terbuka untuk meminimalkan potensi penularan.
e. Pemeriksaan laboratorium kontak erat dilakukan ketika
menunjukkan gejala.
f. Setiap petugas harus memiliki pedoman pencegahan dan
pengendalian COVID-19 yang didalamnya sudah tertuang
pelacakan kontak dan tindakan yang harus dilakukan jika
kontak erat muncul gejala. Petugas juga harus proaktif
memantau dirinya sendiri.
4. Pelacakan kontak pada petugas kesehatan
a. Petugas kesehatan yang melakukan perawatan langsung kepada
pasien sebaiknya dilakukan penilaian risiko secara berkala.
b. Pada petugas kesehatan yang memenuhi kriteria kontak erat
direkomendasikan untuk:
1) Berhenti bekerja sementara
2) Segera dilakukan pemeriksaan NAAT sejak kasus
dinyatakan sebagai kasus probable atau konfirmasi
3) Melakukan karantina dan monitoring secara mandiri selama
14 hari
c. Petugas yang terpapar tetapi tidak memenuhi kriteria kontak erat
maka dapat terus bekerja.
d. Petugas sebaiknya melaporkan secara rutin kondisi pribadinya
(ada atau tidak gejala, komorbid, kemungkinan paparan dan
sebainya) kepada penanggung jawab di fasyankes masing-
masing.
e. Petugas kesehatan yang kemungkinan terpapar COVID-19 dari
luar (bukan dari fasyankes) tetap harus mengikuti prosedur yang
sama.
5. Alat yang perlu disiapkan ketika akan melakukan pelacakan kontak
termasuk monitoring:
a. Formulir pemantauan harian sebagaimana terlampir
b. Alat tulis
c. Termometer (menggunakan thermometer tanpa sentuh jika
tersedia)
- 27 -

d. Hand sanitizer (cairan untuk cuci tangan berbasis alkohol)


e. Informasi KIE tentang COVID-19
f. Panduan pencegahan penularan di lingkungan rumah
g. Panduan alat pelindung diri (APD) untuk kunjungan rumah
h. Daftar nomor-nomor penting
i. Masker bedah
j. Identitas diri maupun surat tugas
k. Alat komunikasi (grup Whatsapp dan lain-lain)
6. Seluruh kegiatan tatalaksana kontak ini harus dilakukan dengan
penuh empati kepada kontak erat, menjelaskan dengan baik, dan
tunjukkan bahwa kegiatan ini adalah untuk kebaikan kontak erat
serta mencegah penularan kepada orang-orang terdekat (keluarga,
saudara, teman dan sebagainya). Diharapkan tim promosi kesehatan
juga berperan dalam memberikan edukasi dan informasi yang benar
kepada masyarakat.
7. Petugas surveilans kabupaten/kota dan petugas survelans provinsi
diharapkan dapat melakukan komunikasi, koordinasi dan evaluasi
setiap hari untuk melihat perkembangan dan pengambilan keputusan
di lapangan.
- 28 -

BAB IV
DIAGNOSIS LABORATORIUM

Pengambilan dan pemeriksaan spesimen dari pasien yang memenuhi


definisi kasus suspek COVID-19 yang merupakan prioritas untuk manajemen
klinis/pengendalian wabah, harus dilakukan secara cepat. Spesimen tersebut
dilakukan pemeriksaan dengan metode Nucleic Acid Amplification Test (NAAT)/
deteksi molekuler seperti RT-PCR (termasuk Tes Cepat Molekuler/TCM yang
digunakan untuk pemeriksaan TB dan mesin PCR Program HIV AIDS dan PIMS
yang digunakan untuk memeriksa Viral Load HIV) dan metode isothermal.
Untuk meningkatkan kapasitas pemeriksaan spesimen, dalam pemeriksaan
deteksi SARS-CoV-2 setiap kabupaten/kota diharapkan mempunyai alat
pemeriksaan dengan metode NAAT. Selain itu, setiap puskesmas minimal dapat
melakukan pemeriksaan dengan RDT-Ag yang diutamakan untuk pemeriksaan
kontak erat.
Hasil tes negatif NAAT pada spesimen tunggal, terutama jika spesimen
berasal dari saluran pernapasan atas, tidak menyingkirkan kemungkinan tidak
adanya infeksi. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan hasil negatif pada
pasien yang terinfeksi meliputi:
1. kualitas spesimen yang tidak baik, mengandung sedikit material virus.
2. spesimen yang diambil pada masa akhir infeksi atau masih sangat awal.
3. spesimen tidak dikelola dan tidak dikirim dengan transportasi yang tepat.
4. kendala teknis yang dapat menghambat pemeriksaan NAAT (seperti mutasi
pada virus).
Jika hasil negatif didapatkan dari pasien dengan kecurigaan tinggi suspek
COVID-19 maka perlu dilakukan pengambilan dan pengujian spesimen
berikutnya, termasuk spesimen saluran pernapasan bagian bawah (lower
respiratory tract). Koinfeksi dapat terjadi sehingga pasien yang memenuhi
kriteria suspek harus dilakukan pemeriksaan COVID-19 meskipun patogen lain
ditemukan.

A. Prioritas Pemeriksaan Deteksi SARS-CoV-2


Berdasarkan risiko dan pertimbangan kapasitas sistem pelayanan
kesehatan, berikut prioritas pemeriksaan deteksi SARS-CoV-2:
1. Kasus suspek
2. Tenaga kesehatan yang menjadi kontak erat
3. Kontak erat
- 29 -

Pada prinsipnya kontak erat harus dilakukan karantina selama 14


hari. Jika kapasitas pemeriksaan mencukupi, maka pemeriksaan
kontak erat dapat dipertimbangkan untuk dilakukan. Pemeriksaan
minimal pada kontak erat dapat menggunakan RDT-Ag. Jika hasil
pemeriksaan negatif, maka karantina tetap dilanjutkan sampai
dengan hari ke-14 sejak kontak terakhir. Bila selama 14 hari muncul
gejala maka dilakukan pemeriksaan sesuai kasus suspek.
4. Masyarakat yang tinggal pada fasilitas tertutup dalam rangka
peningkatan kewaspadaan dini. Penentuan pemeriksaan pada fasilitas
tertutup diserahkan pada kebijakan masing-masing daerah sesuai
dengan penilaian epidemiologis setempat dan kapasitas pemeriksaan
laboratorium.
5. Pemeriksaan pada tenaga kesehatan secara berkala sesuai kebijakan
rumah sakit atau dinas kesehatan.

B. Jenis Spesimen
Tabel 4. 1. Jenis Spesimen Pasien COVID-19

Jenis Bahan Suhu


Penyimpanan Keterangan
Spesimen Pengambilan Pengiriman

Usap Swab Dacron o


2-8 C ≤12 hari: 2-8°C WAJIB DIAMBIL
Nasofaring atau Flocked
>12 hari: -70°C Kedua Swab harus
dan Swab dalam
(dry ice) ditempatkan di tabung
Orofaring Viral Transport
yang sama untuk
Medium (VTM)
meningkatkan viral load.
atau saline
steril*

Usap Swab Dacron Langsung Langsung • POCT (Point of Care Test)


nasal digunakan digunakan • Tergantung jenis RDT-Ag
(untuk
RDT-Ag)

Sputum Kontainer o
2-8 C ≤5 hari: 2-8°C Pastikan Sputum berasal
Steril dari Saluran Pernapasan
>5 hari: –70°C
bawah (BUKAN
(dry ice)
Liur)

Bronchoalve Kontainer o
2-8 C ≤48 jam: 2-8°C WAJIB BILA
olar Lavage Steril MEMUNGKINKAN
>48 jam: –70°C
(dry ice)

Tracheal Kontainer o
2-8 C ≤48 jam: 2-8°C WAJIB BILA
aspirate, Steril MEMUNGKINKAN
Nasopharyn >48 jam: –70°C
geal aspirate (dry ice)
atau nasal
wash dalam
VTM
- 30 -

Jenis Bahan Suhu


Penyimpanan Keterangan
Spesimen Pengambilan Pengiriman

Jaringan Kontainer 2-8oC ≤24 jam: 2-8 °C


biopsi atau Steril +
>24 jam: –70 °C
autopsi Saline steril
(dry ice)
termasuk
dari paru-
paru dalam
media VTM
atau saline
steril.
Serum (2 Serum 2-8oC ≤5 hari: 2-8 °C Pengambilan 2 sampel:
sampel separator o Akut minggu pertama
tubes >5 hari: -70 °C
yaitu akut saat sakit
(Dewasa 3- (dry ice)
dan o Konvalesen 2-3 minggu
konvalesen) 5 ml whole setelahnya
untuk Blood)
serologi

Feses atau Swab o


2-8 C ≤12 hari: 2-8°C Feses atau usap rektal
Usap rektal Dacron diambil apabila pada kasus
>12 hari: -70°C
atau anak spesimen saluran
(dry ice)
Flocked pernapasan atas dan
Swab dalam saluran pernapasan bawah
Viral menunjukkan hasil negatif
Transport namun secara klinis
Medium menunjukkan gejala
(VTM) atau COVID-19 maka dapat
saline dipertimbangkan
steril* pemeriksaan COVID-19
menggunakan spesimen
feses atau rektal swab
untuk penegakan diagnosis
COVID-19

Keterangan: *Stabilitas virus COVID-19 di dalam Saline Steril atau VTM dapat bertahan selama
14 hari pada suhu 2-8oC. Sebagai pengganti Saline Steril dapat digunakan PBS (Phospate Buffer
Saline).

C. Pengambilan Spesimen
Sebelum kegiatan pengambilan spesimen dilaksanakan, harus
memperhatikan kewaspadaan universal (universal precaution) untuk
mencegah terjadinya penularan penyakit dari pasien ke petugas
kesehatan maupun lingkungan sekitar. Hal tersebut meliputi: selalu
mencuci tangan dengan menggunakan sabun/disinfektan SEBELUM dan
SESUDAH tindakan, dan menggunakan APD. Penggunaan APD dapat
mengacu pada Petunjuk Teknis Alat Pelindung Diri Dalam Menghadapi
Wabah COVID-19 yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pelayanan
Kesehatan, Kementerian Kesehatan Tahun 2020.
1. Bahan Pengambilan Spesimen
a. Formulir Penyelidikan Epidemiologi
Pengiriman spesimen ke Laboratorium harus disertai dengan
Formulir Penyelidikan Epidemiologi terlampir sesuai dengan
- 31 -

waktu pengambilan spesimen.


b. Spesimen Saluran Pernapasan (Respiratory Tract)
1) Viral Transport Medium (VTM)
Dapat menggunakan VTM merk komersil yang sudah siap
pakai atau dengan membuat di laboratorium (in house)
sesuai dengan panduan WHO (Hanks BBS; Antifungal dan
Antibiotik dengan komposisi tertentu). Hindari
menggunakan VTM yang mengandung bahan yang
menginaktifasi virus atau lisis buffer.
2) Swab Dacron atau Flocked Swab
3) Tongue Spatel
4) Kontainer Steril untuk Sputum
5) Parafilm
6) Plastik Klip
7) Marker atau Label
c. Spesimen Darah/Serum:
1) Spuit disposable 3 ml atau 5 ml atau Sistem Vacutainer
2) Wing needle (jika diperlukan)
3) Kapas alkohol 70%
4) Kapas Kering
5) Vial 1,8 ml atau tabung tutup ulir (wadah Spesimen Serum)
6) Marker atau Label
d. Spesimen Usap Rektal atau Feses
1) Untuk Usap Rektal
(a) Dacron atau rayon swab steril dengan gagang plastik
(b) Medium transport VTM (viral transport medium)
(c) Sarung tangan, alat pelindung diri.
(d) Jas laboratorium, tas sampling.
(e) Label identitas penderita.
(f) Spidol, pulpen (alat tulis).
(g) Coolbox (termos es) dan ice pack.

2) Untuk pengambilan feses/tinja


(a) Sarung tangan.
(b) Sendok.
(c) Alat potong (pisau/gunting).
(d) Kontainer/botol steril
(e) Kantung plastik spesimen
- 32 -

(f) Label identitas spesimen.


(g) Spidol, pulpen (alat tulis).
(h) Coolbox (termos es) dan ice pack.
e. Bahan Pengepakan/Pengiriman Spesimen:
1) Ice pack dan Cold Box (diutamakan sudah menggunakan
sistem tiga lapis)
2) Label Alamat
3) Lakban/Perekat

2. Tata Cara Pengambilan Spesimen Usap Nasofaring


a. Persiapkan cryotube yang berisi media transport virus (Hanks
BSS + Antibiotika), dapat juga digunakan VTM komersil yang
siap pakai (pabrikan).
b. Berikan label yang berisi Nama Pasien dan Kode Nomer
Spesimen. Jika label bernomer tidak tersedia maka Penamaan
menggunakan Marker/Pulpen pada bagian berwarna putih di
dinding cryotube. (Jangan gunakan Medium Hanks bila telah
berubah warna menjadi Kuning).
c. Gunakan swab yang terbuat dari dacron/rayon steril dengan
tangkai plastik atau jenis Flocked Swab (tangkai lebih lentur).
Jangan menggunakan swab kapas atau swab yang mengandung
Calcium Alginat atau Swab kapas dengan tangkai kayu, karena
mungkin mengandung substansi yang dapat menghambat
menginaktifasi virus dan dapat menghambat proses pemeriksaan
secara molekuler.
d. Pastikan tidak ada Obstruksi (hambatan pada lubang hidung).
e. Masukkan secara perlahan swab ke dalam hidung, pastikan
posisi swab pada Septum bawah hidung.
f. Masukkan swab secara perlahan-lahan ke bagian nasofaring.

Sumber: New England Journal of Medicine


Gambar 4. 1. Lokasi Pengambilan Usap Nasofaring
- 33 -

g. Swab kemudian dilakukan gerak memutar secara perlahan.


h. Kemudian masukkan sesegera mungkin ke dalam cryotube yang
berisi VTM
i. Patahkan tangkai plastik di daerah mulut cryotube agar cryotube
dapat ditutup dengan rapat.

Sumber: dokumentasi Litbang


Gambar 4. 2. Cara Memasukkan Swab ke dalam VTM

j. Pastikan label kode spesimen sesuai dengan kode yang ada di


formulir penyelidikan epidemiologi.
k. Cryotube kemudian dililit parafilm dan masukkan ke dalam
Plastik Klip. Jika ada lebih dari 1 pasien, maka Plastik Klip
dibedakan/terpisah. Untuk menghindari kontaminasi silang.

Sumber: dokumentasi Litbang


Gambar 4. 3. Pengemasan spesimen

l. Simpan dalam suhu 2-8oC sebelum dikirim. Jangan dibekukan


dalam Freezer.

3. Tata Pengambilan Spesimen Usap Orofaring


a. Gunakan APD sesuai standar
b. Persiapkan VTM, berikan label identitas Berikan label yang berisi
Nama Pasien dan Kode Nomer Spesimen.
c. Lakukan usap pada lokasi sesuai gambar 4.4., hindarkan
menyentuh bagian lidah.

Swab
diusapkan
pada bagian
belakang
pharinx
- 34 -

Gambar 4. 4. Lokasi Pengambilan usap Orofaring

d. Kemudian masukkan usap orofaring sesegera mungkin ke dalam


cryotube yang berisi virus transport medium.
e. Putuskan tangkai plastik di daerah mulut cryotube agar cryotube
dapat ditutup dengan rapat.
f. Cryotube kemudian dililit parafilm.
g. Cryotube yang sudah berisi swab disimpan dalam suhu 4-8°C
sebelum dikirim. Jangan dibekukan dalam Freezer.

4. Tata Cara Pengambilan Spesimen Sputum


Pasien berkumur terlebih dahulu dengan air, kemudian pasien
diminta mengeluarkan dahaknya dengan cara batuk yang dalam.
Sputum ditampung pada wadah steril yang anti bocor. Pengambilan
sampel sputum dengan cara induksi dapat menimbulkan risiko infeksi
tambahan bagi petugas kesehatan.

5. Tata Cara Pengambilan Spesimen Serum


Sampel serum berpasangan diperlukan untuk konfirmasi, dengan
serum awal dikumpulkan di minggu pertama penyakit dan serum
yang kedua idealnya dikumpulkan 2-3 minggu kemudian. Jika hanya
serum tunggal yang dapat dikumpulkan, ini harus diambil setidaknya
14 hari setelah onset gejala untuk penentuan kemungkinan kasus.
Anak-anak dan dewasa: dibutuhkan whole blood (3-5 mL) dan
disentrifus untuk mendapatkan serum sebanyak 1,5-3 mL.
Sedangkan untuk bayi: Minimal 1 ml whole blood diperlukan untuk
pemeriksaan pasien bayi. Jika memungkinkan, mengumpulkan 1 ml
serum.

6. Tata Cara Pengambilan Spesimen Usap Rektal atau Feses


a. Usap rektal (usap dubur)
1) Siapkan peralatan yang dibutuhkan terlebih dahulu.
2) Petugas mencuci tangan
- 35 -

3) Petugas memakai jas laboratorium, masker dan sarung


tangan.
4) Penderita diposisikan tidur dengan posisi miring, satu kaki
yang di bawah dalam posisi lurus dan satu kaki yang diatas
dalam posisi ditekuk 90°.
5) dacron swab steril terlebih dahulu dicelupkan kedalam agar
yang ada dalam VTM supaya tidak sulit memasukkan dalam
liang dubur/anus.
6) dacron swab dimasukkan perlahan-lahan kedalam dubur,
setelah masuk dubur, tangkai ditekan sedikit lagi sampai
memasuki rectum (±1,5 cm). Apabila masih terlihat dari luar
berarti kapas belum sempurna memasuki liang dubur/anus
apalagi untuk memasuki rektum.
7) Swab diputar kekanan (searah putaran jarum jam sampai
satu putaran penuh 360°).
8) Swab dicabut kembali sambil diputar kekanan, kemudian
masukkan ke dalam VTM hingga seluruh bagian lidi yang
terbalut kapas terendam dalam VTM. Potong tangkai swab
persis dipinggir mulut tabung dan botol segera ditutup
dengan rapat.
b. Tinja/feses
1) Siapkan alat alat yang dibutuhkan terlebih dahulu.
2) Siapkan tempat penampung tinja
3) Siapkan alat untuk mengambil dan memasukkan tinja ke
tempat penampung
4) Cuci tangan dengan bersih
5) Ambil sampel tinja secukupnya (minimal 3 ml atau 3 gram),
Pastikan tinja tidak berceceran atau jatuh menyentuh dasar
kloset untuk mencegah kontaminasi.
6) Masukkan tinja ke dalam tempat penampung
7) Bersihkan area sekitar anus
8) Cuci tangan hingga bersih
9) Lengkapi identitas pada label tempat penampung tinja
10) Botol segera ditutup secara aseptis, dan diberi label.
11) Volume sampel tinja minimal yang dibutuhkan adalah 3 ml
dan akan diambil menggunakan wadah yang sudah
disediakan.
- 36 -

D. Pengepakan Spesimen
Spesimen dikonfirmasi harus dilakukan tata laksana sebagai UN3373,
"Substansi Biologis, Kategori B", ketika akan diangkut/ditransportasikan
dengan tujuan diagnostik atau investigasi. Semua spesimen harus dikemas
untuk mencegah kerusakan dan tumpahan. Adapun sistem yang
digunakan adalah dengan menggunakan tiga lapis (Three Layer Packaging)
sesuai dengan pedoman dari WHO dan International Air Transport
Association (IATA).

Sumber: WHO-Guidance on regulations for the transport of infectious substances 2019–2020


Gambar 4. 5. Contoh Pengepakan Tiga Lapis

Spesimen dari suspek COVID-19, harus disimpan dan dikirim pada


suhu yang sesuai (lihat Tabel 4.1). Spesimen harus tiba di laboratorium
segera setelah pengambilan. Penanganan spesimen dengan tepat saat
pengiriman adalah hal yang sangat penting. Sangat disarankan agar pada
saat pengiriman spesimen tersebut ditempatkan di dalam cool box dengan
kondisi suhu 2-8 oC atau bila diperkirakan lama pengiriman lebih dari tiga
hari spesimen dikirim dengan menggunakan es kering (dry ice).

E. Pengiriman Spesimen
Pengiriman spesimen kasus suspek COVID-19 maupun kontak erat
dilakukan oleh petugas Dinas Kesehatan dengan menyertakan formulir
penyelidikan epidemiologi terlampir. Pengiriman spesimen ditujukan ke
laboratorium pemeriksa yang telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan
oleh Menteri Kesehatan atau pejabat yang ditunjuk.
- 37 -

Pengiriman spesimen ke laboratorium pemeriksa dapat dilakukan


menggunakan jasa kurir door to door. Pada kondisi yang memerlukan
pengiriman port to port, petugas Dinas Kesehatan dapat berkoordinasi
dengan petugas KKP setempat dan laboratorium pemeriksa. Spesimen
segera dikirimkan ke Laboratorium pemeriksa paling lama 1 x 24 jam.

Tabel 4. 2. Perbedaan Kriteria Kasus Untuk Konfirmasi Laboratorium


dengan NAAT

Laboratorium
Kriteria Kasus Jenis Spesimen Waktu Pengambilan
Pemeriksa

Suspek Sesuai dengan hari ke-1 dan ke-2 Laboratorium


tabel 4.1 Jenis dengan selang waktu Pemeriksa COVID-
spesimen pasien >24 jam serta bila ada 19 (daftar
COVID-19 perburukan. terlampir)

Kontak erat segera dilakukan


pemeriksaan NAAT
sejak kasus dinyatakan
sebagai kasus probable
atau konfirmasi.

Spesimen yang tiba di laboratorium pemeriksa, akan segera diproses


untuk dilakukan pemeriksaan metode deteksi molekuler. Laboratorium
pemeriksa (pemerintah dan swasta) wajib menginformasikan hasil
pengujian positif dan negatif melalui sistem pelaporan yang sudah tersedia,
berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan terkait. Masing-masing penerima
laporan menindaklanjuti sesuai peraturan yang berlaku.
Setiap laboratorium pemeriksa COVID-19 yang menggunakan alat RT-
PCR Program HIV, AIDS, dan PIMS diwajibkan untuk mengirimkan laporan
pemanfaatan yang meliputi kondisi alat dan ketersediaan reagen. Laporan
yang dimaksud dapat dilihat sebagaimana formulir terlampir.
Laboratorium yang menggunakan alat TCM hanya melakukan
pemeriksaan spesimen swab nasofaring. Laporan hasil pemeriksaan
dengan TCM sesuai dengan pelaporan melalui SITB yaitu sistem informasi
yang digunakan oleh Program Penanggulangan Tuberkulosis untuk
Pencatatan dan Pelaporan (kasus, pengobatan, dan logistik) menggunakan
formulir sebagaimana terlampir.
Berdasarkan panduan WHO, pencantuman nilai Cycle Threshold (CT)
dalam hasil pemeriksaan real time RT-PCR COVID-19 tidak
direkomendasikan karena diperlukan kehati-hatian dalam
menginterpretasikan nilai CT. Hasil pemeriksaan RT-PCR dengan atau
tanpa nilai CT tidak dapat menentukan pasien infeksius atau tidak.
- 38 -

F. Pengelolaan Limbah Laboratorium dan Desinfeksi


Limbah dari pengambilan spesimen NAAT dianggap sebagai limbah
biologis berbahaya (biohazard). Pengelolaan limbah medis NAAT dan RDT-
Ag mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
HK.01.07/Menkes/537/2020 tentang Pedoman Pengelolaan Limbah Medis
Fasilitas Pelayanan Kesehatan dan Limbah dari Kegiatan Isolasi atau
Karantina Mandiri Di Masyarakat dalam Penanganan Coronavirus Disease
2019 (COVID-19) serta Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan
Kehutanan Republik Indonesia Nomor P.56/Menlhk-Setjen/2015 Tentang
Tata Cara dan Persyaratan Teknis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya
dan Beracun dari Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Beberapa jenis disinfektan permukaan yang dapat dipergunakan
untuk desinfeksi permukaan yaitu Natrium hipoklorit 0,1% dan Etanol
70%. Panduan panduan jenis, persiapan dan penggunaan disinfektan
terlampir.

G. Pemantapan Mutu Laboratorium


Laboratorium yang akan menjadi laboratorium pemeriksa COVID-19
dengan metode NAAT mengikuti langkah-langkah sebagai berikut:
1. Laboratorium berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi.
2. Dinas Kesehatan Provinsi mengirimkan Surat Kesiapan Laboratorium
kepada Kepala Badan Litbang Kesehatan dengan tembusan Kepala
Pusat Penelitian dan Pengembangan Biomedis dan Teknologi Dasar
Kesehatan sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri
Kesehatan.
3. Laboratorium melakukan pemeriksaan sesuai dengan
protokol/pedoman pemeriksaan yang dikeluarkan WHO.
4. Laboratorium harus melaporkan pemeriksaannya setiap hari melalui
sistem pelaporan yang sudah tersedia.
5. Laboratorium mengirimkan spesimen pemeriksaan untuk Pemantapan
Mutu Eksternal (PME) sesuai dengan ketentuan yang dikeluarkan oleh
Badan Litbangkes.

Salah satu fungsi dari Laboratorium Rujukan Nasional COVID-19


yaitu melakukan fungsi pembinaan dan Pemantapan Mutu Eksternal
(PME). Dalam rangka meningkatkan mutu pemeriksaan COVID-19,
laboratorium pemeriksa COVID-19 dengan metoda RT-PCR dan isothermal
mengirimkan 10 (sepuluh) spesimen klinis negatif dan 20 (dua puluh)
- 39 -

spesimen klinis positif COVID-19 ke Laboratorium Puslitbang Biomedis dan


Teknologi Dasar Kesehatan. Spesimen klinis yang dikirimkan yaitu
spesimen nasofaring/orofaring dan sputum. Sedangkan untuk
laboratorium yang melakukan pemeriksaan COVID-19 yang menggunakan
Tes Cepat Molekular (TCM), diharapkan mengirimkan 10 (sepuluh)
spesimen negatif dan 5 (lima) spesimen klinis positif. Spesimen klinis yang
dikirimkan disertai dengan formulir pemantapan mutu eksternal.

H. Pemeriksaan dengan Rapid Test Antibodi


Penggunaan Rapid Test antibodi tidak digunakan untuk diagnostik.
Pada kondisi dengan keterbatasan kapasitas pemeriksaan NAAT dan RDT-
Ag, Rapid Test antibodi dapat digunakan untuk skrining pada populasi
spesifik dan situasi khusus, seperti pada pelaku perjalanan (termasuk
kedatangan Pekerja Migran Indonesia, terutama di wilayah Pos Lintas
Batas Darat Negara (PLBDN), serta untuk penguatan pelacakan kontak
seperti di lapas, panti jompo, panti rehabilitasi, asrama, pondok pesantren,
dan pada kelompok rentan.
WHO merekomendasikan penggunaan Rapid Test Antibodi untuk
tujuan penelitian epidemiologi atau penelitian lain. Penggunaan Rapid Test
Antibodi selanjutnya dapat mengikuti perkembangan teknologi terkini dan
rekomendasi WHO.

I. Pemeriksaan dengan Rapid Diagnostic Test Antigen (RDT-Ag)


Rapid Diagnostic Test Antigen (RDT-Ag) dapat dipergunakan sebagai
alternatif diagnosis COVID-19, dengan memperhatikan beberapa hal yaitu:
kriteria pemilihan, kriteria penggunaan, fasilitas pemeriksaan dan petugas
pemeriksa, alur pemeriksaan, pengelolaan spesimen, keselamatan hayati
(biosafety), pencatatan dan pelaporan, penjaminan mutu pemeriksaan,
serta pengelolaan limbah pemeriksaan.
1. Kriteria pemilihan RDT-Ag
Produk RDT-Ag yang digunakan adalah yang memiliki izin edar dari
Kementerian Kesehatan (dapat dilihat melalui
http://infoalkes.kemkes.go.id/) dan memenuhi salah satu kriteria
sebagai berikut:
- memenuhi rekomendasi Emergency Used Listing (EUL) WHO; atau
- memenuhi rekomendasi Emergency Used Authorization (EUA) US-
FDA; atau
- memenuhi rekomendasi European Medicine Agency (EMA); atau
- 40 -

- produk RDT-Ag lain dengan sensitifitas ≥ 80% dan spesifisitas ≥


97% (berdasarkan hasil evaluasi oleh lembaga independen)

2. Kriteria penggunaan RDT-Ag


RDT-Ag dapat digunakan sebagai alternatif diagnosis pada:
a. Orang bergejala yang memenuhi kriteria kasus suspek, dengan
ketentuan sebagai berikut:
1) wilayah yang memiliki pemeriksaan NAAT namun waktu
tunggu untuk mendapatkan hasil sejak spesimen diambil
lebih dari 2 hari
2) wilayah yang tidak memiliki fasilitas atau keterbatasan
akses pemeriksaan NAAT (keterbatasan transportasi ke
laboratorium terdekat)
Untuk meningkatkan performa RDT-Ag, maka pemeriksaan
dilakukan pada fase akut (dalam waktu 7 hari pertama sejak
onset gejala).
b. Kontak erat
RDT-Ag dapat digunakan pada pemeriksaan kontak erat. Akan
tetapi jika hasil negatif, maka karantina tetap dilanjutkan sampai
dengan hari ke-14 sejak kontak terakhir.
RDT-Ag dapat digunakan pada orang yang tidak bergejala
(asimptomatik) dan tidak memenuhi kriteria kontak erat, namun
penggunaanya harus dikonfirmasi dengan NAAT.

Ketentuan penggunaan RDT-Ag dalam menyatakan kasus


suspek/konfirmasi/probable/discarded mengikuti alur pemeriksaan
pada pembahasan di bawah ini. RDT-Ag tidak dapat digunakan untuk
pemeriksaan follow up.

3. Fasilitas Pemeriksaan dan Petugas Pemeriksa RDT-Ag


Pengambilan spesimen dan pemeriksaan RDT-Ag dapat dilakukan di
fasilitas layanan kesehatan atau tempat terbuka antara lain di bandar
udara, stasiun, terminal dengan melakukan penilaian risiko
mempertimbangkan sirkulasi yang baik dan memperhatikan
keamanan lingkungan sekitar sesuai pembahasan pada angka 6
mengenai keselamatan hayati (biosafety). Pengambilan spesimen dan
pemeriksaan harus dilakukan oleh tenaga kesehatan terlatih.
- 41 -

4. Alur Pemeriksaan RDT-Ag


a. Alur pada wilayah yang memiliki pemeriksaan NAAT namun
waktu tunggu untuk mendapatkan hasil sejak spesimen diambil
lebih dari 2 hari.

Gambar 4.6 Alur pada wilayah yang memiliki pemeriksaan NAAT namun waktu
tunggu untuk mendapatkan hasil sejak spesimen diambil lebih dari 2 hari

Catatan:
* Jika kasus suspek meninggal dan belum dinyatakan discarded (sakit
bukan COVID-19) maka merupakan kasus probable.

b. Alur pada wilayah yang tidak memiliki fasilitas atau keterbatasan


akses pemeriksaan NAAT (keterbatasan transportasi ke
laboratorium terdekat).

Gambar 4.7 Alur pada wilayah yang tidak memiliki fasilitas atau keterbatasan
akses pemeriksaan NAAT

Catatan:
- 42 -

* Jika kasus suspek meninggal dan belum dinyatakan discarded (sakit


bukan COVID-19) maka merupakan kasus probable.
** Jika hasil negatif setelah dua kali pengulangan RDT-Ag namun gejala
tetap atau semakin parah, klinisi dapat merujuknya untuk
pemeriksaan NAAT.

c. Alur pemeriksaan RDT-Ag pada kontak erat

d. Gambar 4.8
Alur pemeriksaan Alur orang
pada pemeriksaan
yangRDT-Ag
tidak pada kontak (asimptomatik)
bergejala erat

dan tidak memenuhi kriteria kontak erat

Gambar 4.9 Alur pemeriksaan pada orang yang tidak bergejala (asimptomatik) dan
tidak memenuhi kriteria kontak erat
Catatan:
* Contoh pemeriksaan pada pelaku perjalanan
- 43 -

** Pada daerah yang tidak memiliki fasilitas NAAT maka sampel


dikirimkan ke wilayah terdekat yang memiliki fasilitas NAAT dan kasus
tetap melakukan isolasi.

5. Pengelolaan Spesimen RDT-Ag


a. Hal-hal yang harus diperhatikan ketika akan melakukan
pengambilan spesimen:
1) Ketepatan spesimen sangat menentukan kualitas hasil
pemeriksaan tes diagnostik. Spesimen yang diambil dengan
tidak tepat dapat mengakibatkan hasil tes negatif palsu
sehingga kemungkinan seseorang yang terinfeksi COVID-19
tidak menjalani isolasi atau tidak menerima perawatan yang
sesuai serta menjadi sumber penularan.
2) Kewaspadaan universal (universal precaution) penting
diperhatikan untuk mencegah terjadinya penularan
penyakit, meliputi:
a) Selalu mencuci tangan dengan menggunakan sabun
sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
b) Menggunakan APD lengkap sesuai Petunjuk Teknis Alat
Pelindung Diri dalam Menghadapi Wabah COVID-19
yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pelayanan
Kesehatan, Kementerian Kesehatan RI Tahun 2020.
c) Diwajibkan menyediakan tempat sampah infeksius.
3) Pastikan bahwa semua alat dan bahan yang dibutuhkan,
termasuk formulir penyelidikan epidemiologi tersedia
sebelum pengambilan spesimen.
4) Pada saat pengambilan spesimen hanya ada petugas
pengambilan spesimen dan pasien untuk mencegah
transmisi.
b. Pengambilan spesimen
Pengambilan spesimen mengikuti prosedur sesuai dengan
persyaratan masing-masing dengan jenis RDT-Ag yang
digunakan. Jenis spesimen yang diambil disesuaikan dengan
jenis RDT-Ag yang digunakan, dapat berupa swab nasofaring
atau swab nasal.
c. Pemeriksaan spesimen

Instruksi penggunaan setiap jenis RDT-Ag perlu diikuti, sesuai


reagen dan prosedur, termasuk waktu inkubasi, mungkin berbeda.
- 44 -

1) Hal-hal yang harus diperhatikan saat melakukan


pemeriksaan spesimen:
a) Baca dengan teliti instruksi penggunaan RDT-Ag sesuai
dengan yang tertera dari pabrik.
b) Periksa tanggal kedaluwarsanya. Jangan gunakan
RDT-Ag jika sudah lewat tanggal kedaluwarsanya.
Bahan dalam kemasan reagen tetap stabil sampai
tanggal kedaluwarsa yang tercetak di bagian luar kotak
kemasan reagen.
c) Pastikan bahwa kaset untuk pemeriksaan dan bungkus
penyerap kelembapan tidak rusak atau valid.
d) Jauhkan RDT-Ag dari cahaya matahari langsung.
e) Jangan bekukan reagen.
f) Jangan gunakan kembali RDT-Ag yang telah
digunakan.
g) Jangan gunakan perangkat RDT-Ag jika
kemasan/sachet rusak atau segelnya terbuka.
h) Jangan gunakan tabung buffer ekstraksi dari lot
number yang berbeda meskipun dari reagen yang sama,
dan jangan gunakan tabung buffer ekstraksi dari
reagen merek lain.
2) Prosedur pemeriksaan RDT-Ag (lakukan pemeriksaan sesuai
dengan reagen yang digunakan)
3) Interpretasi Hasil Pemeriksaan
Prosedur dan interpretasi hasil pemeriksaan terlampir.

6. Keselamatan Hayati (Biosafety) RDT-Ag


Beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk menjamin keselamatan
hayati (biosafety) di laboratorium antara lain:
a. Penilaian Risiko
Penilaian risiko merupakan proses sistematis untuk
mengumpulkan informasi dan mengevaluasi kemungkinan dan
konsekuensi paparan bahaya di tempat kerja, dan menentukan
tindakan pengendalian risiko yang tepat untuk mengurangi risiko
tersebut. Penilaian risiko dilakukan secara berkelanjutan dan
harus dilakukan sebelum melakukan pekerjaan yang melibatkan
agen biologi dan setiap kali terjadi perubahan pada personil,
fasilitas, peralatan, metode, dan peraturan di lokasi kerja.
Beberapa langkah yang dilakukan dalam melakukan penilaian
- 45 -

risiko antara lain:


Langkah 1. Mengumpulkan informasi (identifikasi bahaya)
Langkah 2. Mengevaluasi risiko
Langkah 3. Menyusun strategi pengendalian risiko
Langkah 4. Memilih dan menerapkan langkah-langkah
pengendalian risiko
Langkah 5. Peninjauan risiko dan tindakan pengendalian risiko
Tabel 4.3 Tingkat Risiko Pada Prosedur Pemeriksaan RDT-Ag
Prosedur Risiko awal * Risiko residu **
Pengambilan Medium sampai Rendah sampai
spesimen tinggi medium
Penerimaan dan Rendah sampai Rendah
akses spesimen medium
Pemeriksaan RDT-Ag Rendah Rendah

* Risiko awal: risiko sebelum tindakan pencegahan tertentu dilakukan


(misal: ventilasi dan penggunaan APD)
** Risiko residu: risiko yang masih ada setelah dilakukannya kewaspadaan
dasar (misal: ventilasi dan penggunaan APD)

b. Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)


APD yang digunakan harus sesuai dengan hasil penilaian risiko.
Alat pelindung diri yang dibutuhkan dalam pengelolaan dan
pemeriksaan spesimen SARS-CoV-2 menggunakan RDT-Ag yaitu:
Tabel 4.4 APD yang Digunakan Untuk Pemeriksaan RDT-Ag
Prosedur Alat Pelindung Diri (APD)
Pengambilan • Sarung tangan non-steril; hanya sarung
spesimen tangan sekali pakai
• Coverall
• Pelindung mata (kacamata pengaman
(goggles)), pelindung wajah (face shield)
• Respirator seperti N95
Penerimaan dan • Sarung tangan non-steril; hanya sarung
Pemeriksaan tangan sekali pakai
spesimen dengan • Gaun
RDT-Ag • Pelindung mata (kacamata pengaman
(goggles)), pelindung wajah (face shield)
• Masker medis (atau respirator jika dilakukan
langsung setelah pengambilan spesimen)
Catatan: Apabila proses pengambilan spesimen sampai dengan
pemeriksaan dilakukan oleh petugas yang sama dan pada saat yang
sama, maka APD yang digunakan disesuaikan dengan APD pengambilan
spesimen

c. Persiapan Area Kerja Pemeriksaan


Pemeriksaan RDT-Ag harus dilakukan di tempat khusus dengan
- 46 -

ventilasi yang baik, yang terpisah dari area pengambilan


spesimen dan area lain yang dapat diakses pasien. Area kerja ini
harus ditandai dengan tanda bahaya biologis (biohazard) dan
hanya dapat diakses oleh staf pemeriksa yang terlatih.

Gambar 4.10 Area Kerja Pengujian RDT-Ag

Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat melakukan


pengujian dengan RDT-Ag:
1) Mengganti gaun dan sarung tangan jika gaun dan sarung
tangan menjadi kotor atau terkontaminasi;
2) Melepas gaun dan sarung tangan sebelum meninggalkan
area kerja dan saat akan memeriksa spesimen lain;
3) Membuang gaun sekali pakai setelah dipakai pertama kali.
Gaun kain harus dibersihkan dan didekontaminasi dengan
benar sebelum digunakan kembali; dan
4) Selalu membersihkan tangan setelah mengerjakan spesimen
dan melepas sarung tangan.

7. Pencatatan dan pelaporan RDT-Ag


Pencatatan dan pelaporan kasus COVID-19 dilaksanakan
terkomputerisasi secara online berbasis aplikasi. Mekanisme
pencatatan dan pelaporan pemeriksaan COVID-19 melalui RDT-Ag
sama dengan pemeriksaan NAAT. Aplikasi yang digunakan untuk
pencatatan dan pelaporan pemeriksaan RDT-Ag adalah aplikasi
Allrecord-tc19.

8. Penjaminan mutu pemeriksaan RDT-Ag


Penjaminan mutu pemeriksaan adalah proses yang dilakukan untuk
memastikan bahwa tempat pengujian (fasilitas layanan kesehatan)
memberikan hasil yang berkualitas. Hasil yang berkualitas adalah
- 47 -

hasil yang akurat, terandalkan (reliable), relevan, dan tepat waktu.


Dua komponen utama penjaminan mutu adalah: pemantapan mutu
internal (PMI)/quality control (QC) dan pemantauan mutu produk.
Pengendalian mutu internal RDT-Ag dilakukan setiap menggunakan
lot (batch) baru. Salah satu cara PMI dengan melakukan pemeriksaan
spesimen uji yang sudah diketahui hasilnya (positif atau negatif).
Spesimen uji tersebut biasanya disertakan di dalam kit RDT-Ag,
diperoleh secara komersil. Pengujian lot baru membantu memastikan
bahwa RDT-Ag yang dikirimkan ke lapangan berfungsi sesuai
spesifikasi pembuat. Pengujian lot baru biasanya dilakukan di
laboratorium berdasarkan prosedur standar dan menggunakan
material pengendalian kualitas (kontrol positif dan kontrol negatif).
Pemantauan mutu produk RDT-Ag disesuaikan dengan post market
surveillance, dibawah koordinasi Direktorat Pengawasan Alat
Kesehatan dan Perbekalan Rumah Tangga, Ditjen Kefarmasian dan
Alat Kesehatan, Kementerian Kesehatan. Pengawasan pasca
pemasaran/post market surveillance sangat penting dilakukan untuk
menemukan kerusakan/cacat pada produk. Pengawasan pasca
pemasaran bertujuan untuk meyakinkan bahwa alat tes yang
digunakan masih memenuhi persyaratan kualitas, keamanan, dan
kinerja yang sama seperti saat pertama kali ditempatkan di pasar.
Pemerintah memastikan adanya proses pemantauan dan evaluasi alat
RDT-Ag (proaktif) serta mekanisme pelaporan yang jelas ketika terjadi
suatu permasalahan di lapangan (reaktif).

9. Pengelolaan Limbah Laboratorium RDT-Ag


Limbah dari pengambilan spesimen RDT-Ag dianggap sebagai limbah
biologis berbahaya (biohazard). Pengelolaan limbah spesimen RDT-Ag
mengacu pada huruf F. Pengelolaan Limbah Laboratorium.
- 48 -

BAB V
MANAJEMEN KLINIS

Manajemen klinis adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh tenaga


medis dan tenaga kesehatan untuk menegakkan diagnosis, melaksanakan tata
laksana pengobatan dan tindakan terhadap pasien COVID-19 sesuai indikasi
klinis. Tenaga medis yang terlibat sebagai Dokter Penanggung Jawab Pelayanan
(DPJP) adalah dokter spesialis paru, dokter penyakit dalam, dokter sub spesialis
penyakit dalam paru, dokter sub spesialis penyakit dalam tropik infeksi, dokter
anak, dokter anak sub spesialis paru, dokter anak sub spesialis infeki tropik,
dokter anak sub spesialis emergensi dan rawat intensif anak, dokter spesialis
anestesi, dokter spesialis anestesi sub spesialis Intensive Care dan dokter
spesialis lain atau dokter sub spesialis lain sesuai dengan kebutuhan medis.
Dalam hal di rumah sakit tidak terdapat dokter spesialis, maka dokter umum
dapat merawat pasien COVID-19 sesuai dengan kewenangannya. Tenaga
kesehatan yang terlibat dalam pelayanan COVID-19 adalah perawat dan tenaga
kesehatan lainnya sesuai kebutuhan medis pasien. Pelaksanaan tata laksana
pasien COVID-19 yang dilakukan oleh Dokter Penanggung Jawab Pelayanan
(DPJP) pada rumah sakit yang penyelenggara pelayanan COVID-19 berpedoman
kepada protokol tata laksana COVID-19 yang disusun oleh masing-masing
organisasi profesi sesuai dengan kompetensi dan kewenangannya.
Manajemen klinis merupakan tugas melaksanakan tata kelola klinis secara
optimal dan berkualitas, supaya pasien mendapatkan pelayanan yang
komprehensif berfokus pada pasien (patien centered care) secara
berkesinambungan sesuai kebutuhan medis pasien, berbasis keselamatan
pasien.
Adapun ruang lingkup manajemen klinis meliputi:
a. Pelayanan COVID-19 di fasyankes baik di Fasilitas Kesehatan Tingkat
Pertama (FKTP) maupun di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjut
(FKRTL) meliputi triase awal, anamnesis secara komprehensif, mulai dari
keluhan yang disesuaikan dengan gejala klinis, riwayat penyakit terdahulu
dan riwayat penyakit penyerta, termasuk latar belakang contact tracing,
surveillance di daerahnya, pemeriksaan fisik didukung dengan
pemeriksaan penunjang yang distandarkan sebagai penunjang diagnosis,
sampai pasien mendapatkan terapi, serta pemulangan dengan kriteria
sembuh, atau belum sembuh, sehingga pasien dapat melanjutkan isolasi
mandiri.
- 49 -

b. Menjelaskan kriteria pasien masuk rawat inap dan kriteria pasien pulang
rawat, pada pasien dengan kriteria dan pasien kondisi tertentu (dengan
penyakit penyerta, dengan co-insidens dan dengan komplikasi).

A. Manajemen Klinis COVID-19


1. Triage: Deteksi Dini Pasien dalam Pengawasan COVID-19
Penapisan dan pemisahan pasien yang dicurigai COVID-19 harus
dilakukan pada kontak pertama pasien dengan fasyankes, di FKTP
maupun di FKRTL baik di IGD dan rawat jalan. Langkah awal dalam
identifikasi individu yang diduga atau dikonfirmasi COVID-19 adalah
dengan skrining semua pengunjung fasyankes pada titik kontak
pertama. Pelaksanaan skrining dilakukan di semua fasyankes seperti
rumah sakit, puskesmas, klinik, dan praktik perorangan, serta dapat
juga melalui call center pelayanan gawat darurat 119/Public Safety
Center (PSC 119). Panduan petugas pelayanan call center pelayanan
gawat darurat 119/Public Safety Center (PSC 119) dapat merujuk pada
panduan terlampir.

Skrining dapat menggunakan serangkaian kegiatan seperti


pemeriksaan suhu tubuh dengan thermal gun, pertanyaan sederhana
seperti ada demam atau riwayat demam, batuk, nyeri tenggorokan,
hidung tersumbat, sesak nafas, malaise, sakit kepala, nyeri otot,
riwayat kontak erat dengan pasien konfirmasi dan atau riwayat
perjalanan dalam 14 hari dari negara atau wilayah transmisi lokal
untuk mendapatkan status awal pasien ada tidaknya gejala COVID-
19.Sebaiknya membuat protokol skrining di semua titik akses masuk
ke fasyankes dan selama kegiatan pelacakan kontak/contact tracing.

Pertimbangkan COVID-19 sebagai etiologi yang paling memungkinkan


untuk pasien yang mengalami ISPA berat dan memenuhi kriteria
definisi operasional surveilans. Infeksi COVID-19 dapat menyebabkan
gejala ISPA ringan sampai berat bahkan sampai terjadi Acute
Respiratory Distress Syndrome (ARDS), sepsis dan syok septik.

Deteksi dini manifestasi klinis (tabel 5.1) akan memberikan


kesempatan yang cukup untuk penerapan tatalaksana dan PPI yang
tepat.

Setelah skrining pasien pada triase dengan dugaan COVID-19


dilakukan evaluasi pasien untuk menentukan tingkat keparahan
penyakit (lihat Tabel 5.1). Setelah penilaian awal, manajemen dan
- 50 -

stabilisasi, pasien diarahkan ke tujuan perawatan COVID-19 yang


sesuai, yaitu di dalam fasyankes (unit perawatan kritis atau bangsal),
atau dirujuk ke fasyankes yang berbeda, fasilitas komunitas atau
rumah, sesuai dengan kebutuhan medis pasien.

Mayoritas pasien dengan gejala ringan tidak memerlukan rawat inap


kecuali ada kekhawatiran tentang kemungkinan terjadinya
perburukan yang cepat dan sesuai dengan pertimbangan medis.
Pasien yang berusia lanjut dan memiliki penyakit komorbid
(contohnya: penyakit kardiovaskuler dan diabetes) memiliki resiko
lebih besar untuk mengalami gejala yang lebih berat dan mengalami
kematian, sehingga dapat dipertimbangkan untuk mendapat
perawatan. Deteksi cepat COVID-19 diselenggarakan sesuai
manifestasi klinis dan sesuai definisi operasional surveilans COVID-
19.

Sebagian pasien yang dirawat (15%) akan mengalami sakit berat yang
memerlukan terapi oksigen dan sekitar 5% akan dirawat di ICU dan
sebagian diantaranya memerlukan ventilator mekanik. Pnemonia
berat merupakan diagnosis yang paling umum untuk pasien COVID-
19 yang sakit berat.

Pasien dengan gejala ringan, sedang atau berat/kritis dapat dirawat


di rumah sakit rujukan COVID-19 atau rumah sakit lain yang
memiliki fasilitas sesuai standar pelayanan yang telah ditentukan,
sementara itu pasien dengan gejala ringan hingga sedang dapat juga
dirawat di Rumah Sakit Lapangan/Rumah Sakit Darurat terutama
bagi pasien yang dapat mandiri/self handling selama dirawat.

2. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik


a. Anamnesis dilakukan dengan wawancara baik langsung pada
pasien (Auto anamnese) atau pada orang tua atau sumber lain
(Allo anamneses) untuk menegakkan diagnosa.
b. Pemeriksaan fisik atau pemeriksaan klinis adalah sebuah proses
dari tenaga medis memeriksa tubuh pasien untuk menemukan
tanda klinis penyakit.
- 51 -

Tabel 5. 1 Kriteria Gejala Klinis Dan Manifestasi Klinis Yang Berhubungan


Dengan Infeksi COVID-19

KRITERIA MANIFESTASI
PENJELASAN
GEJALA KLINIS
Tanpa Gejala Tidak ada gejala Pasien tidak menunjukkan gejala apapun.
(asimptomatik) klinis
Sakit ringan Sakit ringan
Pasien dengan gejala non-spesifik seperti demam,
tanpa komplikasi
batuk, nyeri tenggorokan, hidung tersumbat, malaise,
sakit kepala, nyeri otot. Perlu waspada pada usia lanjut
dan imunocompromised karena gejala dan tanda tidak
khas.
Pada beberapa kasus anak mungkin tidak disertai
demam, dan lainnya mengalami gejala saluran
pencernaan seperti mual, muntah, nyeri perut, diare
atau gejala non-respiratori lainnya
Sakit Sedang Pneumonia
ringan Pasien Remaja atau Dewasa dengan tanda klinis
pneumonia (demam, batuk, dyspnea, napas cepat) dan
tidak ada tanda pneumonia berat.
Anak dengan gejala dan tanda klinis pneumonia.
Demam, batuk, takipnu*, dapat disertai ronki atau
wheezing pada auskultasi paru tanpa distres napas
dan hipoksemia.
*Takipnea= Frekuensi napas: <2 bulan, ≥60x/menit;
2–11 bulan, ≥50x/menit; 1–5 tahun, ≥40x/menit, > 5
tahun: ≥30x/menit.
Sakit Berat Pneumonia berat
/ ISPA berat Pasien remaja atau dewasa dengan demam atau
dalam pengawasan infeksi saluran napas, ditambah
satu dari: frekuensi napas >30 x/menit, distress
pernapasan berat, atau saturasi oksigen (SpO2) <90%
pada udara kamar.
Pasien anak dengan gejala dan tanda klinis pneumonia
berat berupa napas cuping hidung, sianosis, retraksi
subkostal, desaturasi (saturasi oksigen <92%)
Adanya tanda dan gejala bahaya umum seperti kejang,
penurunan kesadaran, muntah profuse, tidak dapat
minum, dengan atau tanpa gejala respiratori
Takipnea :
<2 bulan, ≥60x/menit;
2–11 bulan, ≥50x/menit;
1–5 tahun, ≥40x/menit;
>5 tahun, ≥30x/menit.
Diagnosis ini berdasarkan klinis: pencitraan
dada dapat membantu penegakan diagnosis dan
dapat menyingkirkan komplikasi.
Sakit Kritis
Onset: baru terjadi atau perburukan dalam waktu satu
minggu.

Pencitraan dada (CT scan toraks, atau ultrasonografi


paru): opasitas bilateral, efusi pluera yang tidak dapat
Acute Respiratory dijelaskan penyebabnya, kolaps paru, kolaps lobus
Distress atau nodul.
Syndrome (ARDS)
Penyebab edema: gagal napas yang bukan akibat
gagal jantung atau kelebihan cairan. Perlu
pemeriksaan objektif (seperti ekokardiografi) untuk
menyingkirkan bahwa penyebab edema bukan akibat
hidrostatik jika tidak ditemukan faktor risiko.
- 52 -

KRITERIA MANIFESTASI
PENJELASAN
GEJALA KLINIS
KRITERIA ARDS PADA DEWASA:
• ARDS ringan: 200 mmHg <PaO2/FiO2 ≤ 300
mmHg (dengan PEEP atau continuous positive
airway pressure (CPAP) ≥5 cmH2O, atau yang
tidak diventilasi)
• ARDS sedang: 100 mmHg <PaO2 / FiO2 ≤200
mmHg dengan PEEP ≥5 cmH2O, atau yang tidak
diventilasi)
• ARDS berat: PaO2 / FiO2 ≤ 100 mmHg dengan
PEEP ≥5 cmH2O, atau yang tidak diventilasi)

Ketika PaO2 tidak tersedia, SpO2/FiO2 ≤315


mengindikasikan ARDS (termasuk pasien yang tidak
diventilasi)

KRITERIA ARDS PADA ANAK:


Pasien anak sakit kritis dapat mengalami perburukan
dengan cepat menjadi acute respiratory distress
syndrome (ARDS) atau gagal napas atau terjadinya
syok, ensefalopati, kerusakan miokard atau gagal
jantung, koagulopati, gangguan ginjal akut, dan
disfungsi organ multiple atau manifestasi sepsis
lainnya.

Anak dan remaja 0-19 tahun yang mengalami demam


 3 hari
DAN disertai dua dari:
a) Ruam atau konjungtivitis bilateral non
purulenta atau tanda inflamasi mukokutaneus
pada mulut, tangan dan kaki
b) Hipotensi atau syok
c) Gambaran disfungsi miokardium, perikarditis,
vaskulitis, abnormalitas koroner (terdiri atas
kelainan pada ekokardiografi, peningkatan
Troponin/NT-proBNP)
Multisystem d) Bukti adanya koagulopati (dengan peningkatan
inflammatory PT, APTT, D-dimer)
syndrome e) Gejala gastrointestinal akut (diare, muntah,
atau nyeri perut)
DAN Peningkatan marker inflamasi seperti LED, CRP
atau procalcitonin
DAN Tidak ada penyebab keterlibatan etiologi bakteri
yang menyebabkan inflamasi meliputi sepsis bakteri,
sindrom syok karena Stafilokokkus atau
Streptokokkus
DAN Terdapat bukti COVID-19 (berupa NAAT, positif
tes antigen atau positif serologi) atau kemungkinan
besar kontak dengan pasien COVID-19

POPULASI KHUSUS :
Penyakit Kriteria standar usia, waktu, penyebab edema, dan radiologis sama seperti di atas,
jantung disertai perburukan oksigenasi akut yang tidak dapat dijelaskan oleh penyakit
sianotik jantung dasar
Penyakit Kriteria standar usia, waktu, dan penyebab edema sama seperti diatas, disertai
paru gambaran radiologis konsisten dengan infiltrate baru dan perburukan oksigenasi
kronis akut dari nilai sebelumnya, yang sesuai dengan kriteria oksgenasi di atas
- 53 -

Disfungsi Kriteria standar usia, waktu, dan penyebab edema, dengan gambaran radiologis
ventrikel konsisten dengan infiltrate baru dan perburukan oksigenasi akut, yang memenuhi
kiri kriteria di atas, namun tidak dapat dijelaskan oleh disfungsi ventrikel kiri
Syok Pasien dewasa: hipotensi yang menetap meskipun sudah dilakukan resusitasi
septik cairan dan membutuhkan vasopresor untuk mempertahankan mean arterial
pressure (MAP) ≥65 mmHg dan kadar laktat serum> 2 mmol/L.
Pasien anak: hipotensi (TDS < persentil 5 atau >2 SD di bawah normal usia) atau
terdapat 2-3 gejala dan tanda berikut: perubahan status mental/kesadaran;
takikardia atau bradikardia (HR <90 x/menit atau >160 x/menit pada bayi dan HR
<70x/menit atau >150 x/menit pada anak); waktu pengisian kembali kapiler yang
memanjang (>2 detik) atau vasodilatasi hangat dengan bounding pulse; takipnea;
mottled skin atau ruam petekie atau purpura; peningkatan laktat; oliguria;
hipertermia atau hipotermia.`
Keterangan:
* Jika fasyankes berlokasi di ketinggian lebih dari 1000 meter d.p.l., maka faktor
koreksi harus dihitung sebagai berikut: PaO2 / FiO2 x Tekanan barometrik /
760.
* Skor SOFA nilainya berkisar dari 0 - 24 dengan menilai 6 sistem organ yaitu
pernapasan (hipoksemia didefinisikan oleh PaO2 / FiO2 rendah), koagulasi
(trombosit rendah), hati (bilirubin tinggi), kardiovaskular (hipotensi), sistem saraf
pusat (penurunan tingkat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale), dan ginjal
(urin output rendah atau kreatinin tinggi). Diindikasikan sebagai sepsis apabila
terjadi peningkatan skor Sequential [Sepsis-related] Organ Failure Assessment
(SOFA) ≥2 angka. Diasumsikan skor awal adalah nol jika data tidak tersedia.

3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang dilakukan sesuai dengan manifestasi klinis,
antara lain:
a. Laboratorium: Darah lengkap/Darah rutin, LED, Gula Darah,
Ureum, Creatinin, SGOT, SGPT, Natrium, Kalium, Chlorida,
Analisa Gas Darah, C-Reactive Protein, Procalcitonin, PT, APTT,
D-dimer, Waktu perdarahan, Bilirubin Direct, Bilirubin Indirect,
Bilirubin Total, pemeriksaan laboratorium NAAT, dan/atau
semua jenis kultur MO (aerob) dengan resistensi Anti HIV.
b. Radiologi: Thorax AP/PA

4. Komplikasi
a. Komplikasi akibat penggunaan ventilasi mekanik invasif (IMV)
yang lama
b. ventilator-associated pneumonia (VAP)
c. tromboemboli vena
d. catheter-related bloodstream infection
e. stres ulcer dan pendarahan saluran pencernaan
f. kelemahan akibat perawatan di ICU
- 54 -

g. komplikasi lainnya selama perawatan pasien

5. Komorbid
a. Diabetes Mellitus
1) Diabetes Mellitus Tipe 1
2) Diabetes Mellitus Tipe 2
3) Glucocorticoid-associated diabetes
b. Penyakit terkait Geriatri
c. Penyakit terkait Autoimun
d. Penyakit Ginjal
e. Hipertensi
f. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
g. Tuberculosis
h. Penyakit kronis lain yang diperberat oleh kondisi penyakit COVID-
19

B. Definisi Status Klinis Pasien COVID-19


Definisi status klinis pasien COVID-19, dibagi menjadi 3 kriteria yaitu:
a) Pasien Suspek
b) Pasien Konfirmasi
c) Pasien Probable
Penjelasan definisi status klinis pasien sesuai dengan pembahasan
definisi operasional kasus pada BAB III. Kriteria perawatan pasien
ringan, sedang, dan berat dapat dilihat pada panduan terlampir.

C. Pemeriksaan Laboratorium NAAT

Tabel 5. 2 Jadwal Pengambilan Swab Untuk Pemeriksaan NAAT

HARI KE -

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11/12*

X X X

*Keterangan: hari ke 11/12 pemeriksaan NAAT sesuai keputusan DPJP


- 55 -

• Pengambilan swab di hari ke-1 dan 2 untuk penegakan diagnosis


Bila pemeriksaan di hari pertama sudah positif, tidak perlu lagi
pemeriksaan di hari kedua, Apabila pemeriksaan di hari pertama
negatif, maka diperlukan pemeriksaan di hari kedua.
• Untuk kasus tanpa gejala, gejala ringan, dan gejala sedang tidak
perlu dilakukan pemeriksaan NAAT untuk follow-up. Pemeriksaan
follow-up hanya dilakukan pada pasien yang berat dan kritis.
• Pemeriksaan NAAT untuk follow-up pada kasus berat dan kritis,
dapat dilakukan setelah 10 (sepuluh) hari dari pengambilan swab
NAAT yang positif.
• Bila diperlukan, pemeriksaan NAAT tambahan dapat dilakukan
pada kasus derajat berat dan kritis berdasarkan pertimbangan
Dokter Penanggung Jawab Pelayanan (DPJP) dan kapasitas di
fasilitas pelayanan kesehatan masing-masing.
• Untuk kasus berat dan kritis, bila setelah klinis membaik, bebas
demam selama tiga hari namun pada pemeriksaan NAAT untuk
follow-up menunjukkan hasil yang positif, kemungkinan terjadi
kondisi persisten positif karena pemeriksaan NAAT masih dapat
mendeteksi bagian tubuh virus meskipun virus sudah tidak aktif
lagi atau tidak menularkan.
• Bila terjadi perbaikan klinis, maka untuk follow up pasien dengan
gejala berat/kritis, dilakukan pengambilan swab 1 kali yaitu pada
hari ke-11 atau ke-12 untuk menilai kesembuhan.

D. Terapi dan Penatalaksanaan Klinis Pasien COVID-19


Penatalaksanaan klinis dilakukan pada pasien COVID-19 tanpa gejala,
sakit ringan, sakit sedang, sakit berat, kondisi kritis, dan pada kondisi
tertentu. Berikut tata laksana klinis pasien terkonfirmasi COVID-19:
1. Tatalaksana Klinis Pasien terkonfirmasi COVID-19 Tanpa Gejala,
Sakit Ringan Atau Sakit Sedang
a. Pasien terkonfirmasi tanpa gejala
Pada prinsipnya pasien terkonfirmasi COVID-19 yang tanpa
gejala tidak memerlukan rawat inap di Rumah Sakit, tetapi
pasien harus menjalani isolasi selama 10 hari sejak pengambilan
spesimen diagnosis konfirmasi, baik isolasi mandiri di rumah
maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan pemerintah.
Isolasi ini penting untuk mengurangi tingkat penularan yang
terjadi di masyarakat. Pasien yang menjalani isolasi harus
- 56 -

menjalankan aturan-aturan terkait PPI dan dilakukan monitoring


secara berkala baik melalui kunjungan rumah maupun secara
telemedicine oleh petugas FKTP. Pasien sebaiknya diberikan
leaflet berisi hal-hal yang harus diketahui dan dilaksanakan,
pasien diminta melakukan pengukuran suhu tubuh sebanyak
dua kali sehari. Setelah 10 hari pasien akan kontrol ke FKTP
terdekat.
b. Pasien terkonfirmasi sakit ringan
Pada prinsipnya tatalaksana pasien terkonfirmasi COVID-19
yang mengalami sakit ringan sama dengan pasien terkonfirmasi
yang tanpa gejala. pasien harus menjalani isolasi minimal selama
10 hari sejak muncul gejala ditambah 3 hari bebas gejala demam
dan gangguan pernafasan. Isolasi dapat dilakukan mandiri di
rumah maupun di fasilitas publik yang dipersiapkan Pemerintah.
Pasien yang sakit ringan dapat diberikan pengobatan
simptomatik misalnya pemberian anti-piretik bila mengalami
demam. Pasien harus diberikan informasi mengenai gejala dan
tanda perburukan yang mungkin terjadi dan nomor contact
person yang dapat dia hubungi sewaktu-waktu apabila gejala
tersebut muncul. Petugas FKTP diharapkan proaktif untuk
melakukan pemantauan kondisi pasien. Setelah melewati masa
isolasi pasien akan kontrol ke FKTP terdekat.
c. Pasien terkonfirmasi sakit sedang dan pasien sakit ringan dengan
penyulit
Pasien terkonfirmasi COVID-19 yang mengalami sakit sedang dan
pasien yang sakit ringan tetapi memiliki faktor penyulit atau
komorbid akan menjalani perawatan di Rumah Sakit.
Prinsip tatalaksana untuk pasien yang sakit sedang adalah
pemberian terapi simptomatis untuk gejala yang ada dan fungsi
pemantauan, dilaksanakan sampai gejala menghilang dan pasien
memenuhi kriteria untuk dipulangkan dari Rumah Sakit.

2. Tatalaksana Pasien Terkonfirmasi COVID-19 yang Sakit Berat


a. Terapi Suportif Dini dan Pemantauan
Pemberian terapi suplementasi oksigen segera pada pasien
ISPA berat dan pasien yang mengalami distress pernapasan,
hipoksemia, atau syok.
1) Terapi oksigen dimulai dengan pemberian 5 L/menit
- 57 -

dengan nasal kanul dan titrasi untuk mencapai target


SpO2 ≥90% pada orang dewasa, serta SpO2 ≥ 92% - 95%
pada pasien hamil.
2) Semua pasien dengan ISPA berat dipantau menggunakan
pulse oksimetri dan sistem oksigen harus berfungsi
dengan baik, dan semua alat-alat untuk menghantarkan
oksigen (nasal kanul, sungkup muka sederhana, sungkup
dengan kantong reservoir) harus digunakan sekali pakai.
b. Terapkan kewaspadaan kontak saat memegang alat-alat untuk
menghantarkan oksigen (nasal kanul, sungkup muka sederhana,
sungkup dengan kantong reservoir) yang terkontaminasi dalam
pengawasan atau terbukti COVID-19. Lakukan pemantauan
ketat pasien dengan gejala klinis yang mengalami perburukan
seperti gagal napas, sepsis dan lakukan intervensi perawatan
suportif secepat mungkin.
1) Pasien COVID-19 yang menjalani rawat inap memerlukan
pemantauan vital sign secara rutin dan apabila
memungkinkan menggunakan sistem kewaspadaan dini
(misalnya NEWS2) untuk memantau perburukan klinis yang
dialami pasien.
2) Pemeriksaan darah lengkap, kimia darah dan EKG harus
dilakukan pada waktu pasien masuk perawatan untuk
mengetahui dan memantau komplikasi yang mungkin
dialami oleh pasien seperti: acute liver injury, acute kidney
injury, acute cardiac injury atau syok.
3) Setelah melakukan tindakan resusitasi dan stabilisasi
pasien yang sedang hamil, harus dilakukan monitoring
untuk kondisi janin.
c. Pahami pasien yang memiliki komorbid untuk menyesuaikan
pengobatan dan penilaian prognosisnya.
Perlu menentukan terapi mana yang harus dilanjutkan dan terapi
mana yang harus dihentikan sementara. Berkomunikasi secara
proaktif dengan pasien dan keluarga dengan memberikan
dukungan dan informasi prognostik.
d. Melakukan manajemen cairan secara konservatif pada pasien
dengan ISPA berat tanpa syok.
Pasien dengan ISPA berat harus hati-hati dalam pemberian
cairan intravena, karena resusitasi cairan yang agresif dapat
- 58 -

memperburuk oksigenasi, terutama dalam kondisi keterbatasan


ketersediaan ventilasi mekanik.

3. Tatalaksana Pasien Terkonfirmasi COVID-19 Pada Kondisi Tertentu


a. Pemberian antibiotik empirik berdasarkan kemungkinan etiologi
pada kasus yang dicurigai mengalami sepsis (termasuk dalam
pengawasan COVID-19) yang diberikan secepatnya dalam waktu
1 jam setelah dilakukan asesmen.
Pengobatan antibiotik empirik berdasarkan semua etiologi yang
memungkinkan (pneumonia komunitas, pneumonia nosokomial
atau sepsis) berdasarkan data epidemiologi, peta kuman
penyebab, serta pedoman pengobatan yang berlaku. Terapi
empirik harus di de-ekskalasi apabila sudah didapatkan hasil
pemeriksaan mikrobiologis dan penilaian klinis.
b. Tatalaksana pada pasien hamil, dilakukan terapi suportif dan
sesuai dengan kondisi kehamilannya.
Pelayanan persalinan dan terminasi kehamilan perlu
mempertimbangkan beberapa faktor seperti usia kehamilan,
kondisi ibu dan janin. Perlu dikonsultasikan ke dokter
kandungan, dokter anak, dokter lain sesuai kondisi
kehamilannya, dan konsultan intensive care.
c. Jangan memberikan kortikosteroid sistemik secara rutin untuk
pengobatan pneumonia karena virus atau ARDS di luar uji klinis
kecuali terdapat alasan lain.
Penggunaan jangka panjang sistemik kortikosteroid dosis tinggi
dapat menyebabkan efek samping yang serius pada pasien
dengan ISPA berat/SARI, termasuk infeksi oportunistik,
nekrosis avaskular, infeksi baru bakteri dan replikasi virus
mungkin berkepanjangan. Oleh karena itu, kortikosteroid harus
dihindari kecuali diindikasikan untuk alasan lain.
d. Perawatan pada Pasien Terkonfirmasi COVID-19 yang berusia
lanjut
1) Perawatan pasien terkonfirmasi COVID-19 berusia lanjut
memerlukan pendekatan multidisipliner antara dokter,
perawat, petugas farmasi dan tenaga kesehatan yang lain
dalam proses pengambilan keputusan mengingat masalah
multi-morbiditas dan penurunan fungsional tubuh.
2) Perubahan fisiologis terkait umur akan menurunkan fungsi
- 59 -

intrinsik pasien seperti malnutrisi, penurunan fungsi


kognitif dan gejala depresi. Deteksi dini mengenai
kemungkinan pemberian obat yang tidak tepat harus
dilakukan untuk menghindari munculnya kejadian tidak
diharapkan dan interaksi obat untuk pasien lanjut usia.
Orang berusia lanjut memiliki resiko yang lebih besar
mengalami polifarmasi, dengan adanya pemberian obat-
obat baru terkait COVID-19 maka diperlukan koordinasi
dengan caregiver atau keluarga selama proses tatalaksana
COVID-19 untuk menghindari dampak negatif terhadap
kesehatan pasien.

4. Tatalaksana Pasien Terkonfirmasi COVID-19 yang Sakit Kritis


a. Manajemen Gagal Napas Hipoksemi dan ARDS
1) Mengenali gagal napas hipoksemi ketika pasien dengan
distress pernapasan mengalami kegagalan terapi oksigen
standar
Pasien dapat mengalami peningkatan kerja pernapasan
atau hipoksemi walaupun telah diberikan oksigen melalui
sungkup tutup muka dengan kantong reservoir (10 sampai
15 L/menit, aliran minimal yang dibutuhkan untuk
mengembangkan kantong; FiO2 antara 0,60 dan 0,95).
Gagal napas hipoksemi pada ARDS terjadi akibat
ketidaksesuaian ventilasi-perfusi atau pirau/pintasan dan
biasanya membutuhkan ventilasi mekanik.
2) Oksigen nasal aliran tinggi (High-Flow Nasal
Oxygen/HFNO) atau ventilasi non invasif (NIV), hanya pada
pasien gagal napas hipoksemi tertentu, dan pasien tersebut
harus dipantau ketat untuk menilai terjadi perburukan
klinis.
a) Sistem HFNO dapat memberikan aliran oksigen sampai
dengan 60 L/menit dan FiO2 sampai 1,0;
Dibandingkan dengan terapi oksigen standar, HFNO
mengurangi kebutuhan akan tindakan intubasi. Pasien
dengan hiperkapnia (eksaserbasi penyakit paru
obstruktif, edema paru kardiogenik), hemodinamik
tidak stabil, gagal multi-organ, atau penurunan
kesadaran seharusnya tidak menggunakan HFNO,
- 60 -

meskipun data terbaru menyebutkan bahwa HFNO


mungkin aman pada pasien hiperkapnia ringan-sedang
tanpa perburukan. Pasien dengan HFNO seharusnya
dipantau oleh petugas yang terlatih dan berpengalaman
melakukan intubasi endotrakeal karena bila pasien
mengalami perburukan mendadak atau tidak
mengalami perbaikan (dalam 1 jam) maka dilakukan
tindakan intubasi segera. Pasien dengan HFNO harus
dipantau dengan parameter ROX Index.
b) Penggunaan NIV tidak direkomendasikan sebagai
pilihan pertama pada gagal napas hipoksemi (kecuali
edema paru kardiogenik dan gagal napas pasca operasi)
atau penyakit virus pandemik (merujuk pada studi
SARS dan pandemi influenza). Namun NIV dapat
digunakan dalam kondisi ketidaktersediaan HFNO.
Data yang ada walaupun terbatas menunjukkan tingkat
kegagalan yang tinggi ketika pasien MERS
mendapatkan terapi oksigen dengan NIV. Pasien
hemodinamik tidak stabil, gagal multi-organ, atau
penurunan kesadaran tidak dapat menggunakan NIV.
Pasien dengan NIV seharusnya dipantau oleh petugas
terlatih dan berpengalaman untuk melakukan intubasi
endotrakeal karena bila pasien mengalami perburukan
mendadak atau tidak mengalami perbaikan (dalam 1
jam) maka dilakukan tindakan intubasi segera.
c) Publikasi terbaru menunjukkan bahwa sistem HFNO
dan NIV yang menggunakan interface yang sesuai
dengan wajah sehingga tidak ada kebocoran akan
mengurangi risiko transmisi airborne ketika pasien
ekspirasi.
d) Pasien dalam terapi HFNO/NIV harus mendapatkan
terapi telungkup (prone position) yang optimal (6 kali 1-
2 jam sehari) dan aman
3) Intubasi endotrakeal harus dilakukan oleh petugas terlatih
dan berpengalaman dengan memperhatikan kewaspadaan
transmisi airborne Pasien dengan ARDS, terutama anak
kecil, obesitas atau hamil, dapat mengalami desaturasi
dengan cepat selama intubasi. Pasien dilakukan pre-
- 61 -

oksigenasi sebelum intubasi dengan Fraksi Oksigen (FiO2)


100% selama 5 menit, melalui sungkup muka dengan
kantong udara, bag-valve mask, HFNO atau NIV dan
kemudian dilanjutkan dengan intubasi.
4) Ventilasi mekanik menggunakan volume tidal yang rendah
(4-8 ml/kg prediksi berat badan, Predicted Body
Weight/PBW) dan tekanan inspirasi rendah (tekanan plateau
<30 cmH2O).
Sangat direkomendasikan untuk pasien ARDS dan
disarankan pada pasien gagal napas karena sepsis yang
tidak memenuhi kriteria ARDS.
a) Perhitungkan PBW pria = 50 + 2,3 [tinggi badan (inci)
-60], wanita = 45,5 + 2,3 [tinggi badan (inci)-60]
b) Pilih mode ventilasi mekanik
c) Atur ventilasi mekanik untuk mencapai tidal volume
awal = 8 ml/kg PBW
d) Kurangi tidal volume awal secara bertahap 1 ml/kg
dalam waktu ≤ 2 jam sampai mencapai tidal volume =
6ml/kg PBW
e) Atur laju napas untuk mencapai ventilasi semenit
(tidak lebih dari 35 kali/menit)
f) Atur tidal volume dan laju napas untuk mencapai target
pH dan tekanan
plateau
Hiperkapnia diperbolehkan jika pH 7,30-7,45. Protokol
ventilasi mekanik harus tersedia. Penggunaan sedasi yang
dalam untuk mengontrol usaha napas dan mencapai target
volume tidal. Prediksi peningkatan mortalitas pada ARDS
lebih akurat menggunakan tekanan driving yang tinggi
(tekanan plateau−PEEP) di bandingkan dengan volume tidal
atau tekanan plateau yang tinggi.
5) Pada pasien ARDS berat, lakukan ventilasi dengan prone
position > 12-16 jam per hari
Menerapkan ventilasi dengan prone position sangat
dianjurkan untuk pasien dewasa dan anak dengan ARDS
berat tetapi membutuhkan sumber daya manusia dan
keahlian yang cukup.
6) Manajemen cairan konservatif untuk pasien ARDS tanpa
- 62 -

hipoperfusi jaringan
Hal ini sangat direkomendasikan karena dapat
mempersingkat penggunaan ventilator.
7) Pada pasien dengan ARDS sedang atau berat disarankan
menggunakan PEEP lebih tinggi dibandingkan PEEP rendah
Titrasi PEEP diperlukan dengan mempertimbangkan
manfaat (mengurangi atelektrauma dan meningkatkan
rekrutmen alveolar) dan risiko (tekanan berlebih pada akhir
inspirasi yang menyebabkan cedera parenkim paru dan
resistensi vaskuler pulmoner yang lebih tinggi). Untuk
memandu titrasi PEEP berdasarkan pada FiO2 yang
diperlukan untuk mempertahankan SpO2. Intervensi
recruitment manoueuvers (RMs) dilakukan secara berkala
dengan CPAP yang tinggi [30-40 cm H2O], peningkatan PEEP
yang progresif dengan tekanan driving yang konstan, atau
tekanan driving yang tinggi dengan mempertimbangkan
manfaat dan risiko.
8) Pada pasien ARDS sedang-berat (td2/FiO2 <150) tidak
dianjurkan secara rutin menggunakan obat pelumpuh otot.
9) Pada fasyankes yang memiliki Expertise in Extra Corporal Life
Support (ECLS), dapat dipertimbangkan penggunaannya
ketika menerima rujukan pasien dengan hipoksemi refrakter
meskipun sudah mendapat lung protective ventilation.
Saat ini belum ada pedoman yang merekomendasikan
penggunaan ECLS pada pasien ARDS, namun ada penelitian
bahwa ECLS kemungkinan dapat mengurangi risiko
kematian.
10) Hindari terputusnya hubungan ventilasi mekanik dengan
pasien karena dapat mengakibatkan hilangnya PEEP dan
atelektasis. Gunakan sistem closed suction kateter dan klem
endotrakeal tube ketika terputusnya hubungan ventilasi
mekanik dan pasien (misalnya, ketika pemindahan ke
ventilasi mekanik yang portabel).

b. Manajemen Syok Septik


1) Kenali tanda syok septik
a) Pasien dewasa: hipotensi yang menetap meskipun
sudah dilakukan resusitasi cairan dan membutuhkan
- 63 -

vasopresor untuk mempertahankan MAP ≥65 mmHg


dan kadar laktat serum> 2 mmol/L.
2) Resusitasi syok septik pada dewasa dengan Covid harus
mengikuti protokol khusus.
3) Jangan gunakan kristaloid hipotonik, kanji, atau gelatin
untuk resusitasi.
4) Resusitasi cairan dapat mengakibatkan kelebihan cairan
dan gagal napas. Jika tidak ada respon terhadap pemberian
cairan dan muncul tanda-tanda kelebihan cairan (seperti
distensi vena jugularis, ronki basah halus pada auskultasi
paru, gambaran edema paru pada foto toraks, atau
hepatomegali pada anak-anak) maka kurangi atau hentikan
pemberian cairan.
a) Kristaloid yang diberikan berupa salin normal dan
Ringer laktat. Penentuan kebutuhan cairan untuk bolus
tambahan (250-1000 ml pada orang dewasa
berdasarkan respons klinis dan target perfusi. Target
perfusi meliputi MAP >65 mmHg, produksi urin (>0,5
ml/kg/jam pada orang dewasa, dan menghilangnya
mottled skin, perbaikan waktu pengisian kembali
kapiler, pulihnya kesadaran, dan turunnya kadar
laktat.
b) Pemberian resusitasi dengan kanji lebih meningkatkan
risiko kematian dan acute kidney injury (AKI)
dibandingkan dengan pemberian kristaloid. Cairan
hipotonik kurang efektif dalam meningkatkan volume
intravaskular dibandingkan dengan cairan isotonik.
Surviving Sepsis menyebutkan albumin dapat
digunakan untuk resusitasi ketika pasien
membutuhkan kristaloid yang cukup banyak, tetapi
rekomendasi ini belum memiliki bukti yang cukup (low
quality evidence).
5) Vasopresor diberikan ketika syok tetap berlangsung
meskipun sudah diberikan resusitasi cairan yang cukup.
Pada orang dewasa target awal tekanan darah adalah MAP
≥65 mmHg.
Jika kateter vena sentral tidak tersedia, vasopresor dapat
diberikan melalui intravena perifer, tetapi gunakan vena
- 64 -

yang besar dan pantau dengan cermat tanda-tanda


ekstravasasi dan nekrosis jaringan lokal. Jika ekstravasasi
terjadi, hentikan infus. Vasopresor juga dapat diberikan
melalui jarum intraoseus.
6) Pertimbangkan pemberian obat inotrop (seperti dobutamine)
jika perfusi tetap buruk dan terjadi disfungsi jantung
meskipun tekanan darah sudah mencapai target MAP
dengan resusitasi cairan dan vasopresor.
a) Vasopresor (yaitu norepinefrin, epinefrin, vasopresin,
dan dopamin) paling aman diberikan melalui kateter
vena sentral tetapi dapat pula diberikan melalui vena
perifer dan jarum intraoseus. Pantau tekanan darah
sesering mungkin dan titrasi vasopressor hingga dosis
minimum yang diperlukan untuk mempertahankan
perfusi dan mencegah timbulnya efek samping.
b) Norepinefrin dianggap sebagai lini pertama pada pasien

Pasien dengan dengan status Suspek atau Probabel yang di curigai


sebagai COVID-19 dengan kriteria sakit ringan, sakit sedang, sakit
berat atau kondisi kritis ditatalaksana seperti pasien terkonfirmasi
COVID-19 sampai terbukti bukan COVID-19.

dewasa; epinefrin atau vasopresin dapat ditambahkan


untuk mencapai target MAP. Dopamine hanya
diberikan untuk pasien bradikardia atau pasien dengan
risiko rendah terjadinya takiaritmia.

E. Pencegahan Komplikasi
Terapkan tindakan berikut untuk mencegah komplikasi pada pasien
dengan gejala berat/kritis terdapat pada tabel 5.3 dibawah.

Tabel 5. 3 Pencegahan Kompikasi


Antisipasi Dampak Tindakan

Mengurangi lamanya hari penggunaan - Protokol penyapihan meliputi


- 65 -

Antisipasi Dampak Tindakan


ventilasi mekanik invasif (IMV) penilaian harian kesiapan untuk
bernapas spontan
- Lakukan pemberian sedasi
berkala atau kontinyu yang
minimal, titrasi untuk mencapai
target khusus (walaupun begitu
sedasi ringan merupakan
kontraindikasi) atau dengan
interupsi harian dari pemberian
infus sedasi kontinyu
- Intubasi oral adalah lebih baik
daripada intubasi nasal pada
remaja dan dewasa
- Pertahankan pasien dalam posisi
semi-recumbent (naikkan posisi
kepala pasien sehingga
membentuk sudut 30-450)
- Gunakan sistem closed
Mengurangi terjadinya ventilator- suctioning, kuras dan buang
associated pneumonia (VAP) kondensat dalam pipa secara
periodik
- Setiap pasien menggunakan
sirkuit ventilator yang baru;
pergantian sirkuit dilakukan
hanya jika kotor atau rusak
- Ganti alat heat moisture
exchanger (HME) jika tidak
berfungsi, ketika kotor atau
setiap 5-7 hari
- Gunakan obat profilaksis (low
molecular-weight heparin, bila
tersedia atau heparin 5000 unit
subkutan dua kali sehari) pada
pasien remaja dan dewasa bila
Mengurangi terjadinya tromboemboli
tidak ada kontraindikasi.
vena
- Bila terdapat kontraindikasi,
gunakan perangkat profilaksis
mekanik seperti intermiten
pneumatic compression device.

Gunakan checklist sederhana pada


pemasangan kateter IV sebagai
Mengurangi terjadinya infeksi terkait pengingat untuk setiap langkah yang
catheter- related bloodstream diperlukan agar pemasangan tetap
steril dan adanya pengingat setiap
harinya untuk melepas kateter jika
tidak diperlukan
Mengurangi terjadinya ulkus karena Posisi pasien miring ke kiri-kanan
tekanan bergantian setiap dua jam
- 66 -

Antisipasi Dampak Tindakan

- Berikan nutrisi enteral dini


(dalam waktu 24-48 jam
pertama)
- Berikan histamin-2 receptor
blocker atau proton-pump
Mengurangi terjadinya stres ulcer dan inhibitors. Faktor risiko yang
pendarahan saluran pencernaan perlu diperhatikan untuk
terjadinya perdarahan saluran
pencernaan termasuk
pemakaian ventilasi mekanik
≥48 jam, koagulopati, terapi
sulih ginjal, penyakit hati,
komorbid ganda, dan skor gagal
organ yang tinggi
Mengurangi terjadinya kelemahan Mobilisasi dini apabila aman untuk
akibat perawatan di ICU dilakukan.

F. Pengobatan Spesifik Anti-COVID-19


Sampai saat ini belum ada pengobatan spesifik anti-COVID-19 yang
direkomendasikan untuk pasien konfirmasi COVID-19.

G. Evaluasi Akhir Status Klinis Pasien COVID-19


Evaluasi status klinis pasien yang dilakukan oleh FKTP atau rumah sakit
antara lain:
1. Selesai Isolasi
Kriteria pasien konfirmasi yang dinyatakan selesai isolasi, sebagai
berikut:
a) Kasus konfirmasi tanpa gejala (asimptomatik)
Pasien konfirmasi asimptomatik tidak dilakukan pemeriksaan
follow up NAAT. Dinyatakan selesai isolasi apabila sudah
menjalani isolasi mandiri selama 10 hari sejak pengambilan
spesimen diagnosis konfirmasi.
b) Kasus konfirmasi dengan gejala ringan dan gejala sedang
Pasien konfirmasi dengan gejala ringan dan gejala sedang tidak
dilakukan pemeriksaan follow up NAAT. Dinyatakan selesai
isolasi harus dihitung 10 hari sejak tanggal onset dengan
ditambah minimal 3 hari setelah tidak lagi menunjukkan
gejala/tanda klinis COVID-19 yang dialami oleh pasien.
c) Kasus konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang dirawat di
rumah sakit
1) Kasus konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang dirawat di
- 67 -

rumah sakit dinyatakan selesai isolasi apabila telah


mendapatkan hasil pemeriksaan follow up NAAT 1 kali
negatif ditambah minimal 3 hari tidak lagi menunjukkan
gejala/tanda klinis COVID-19 yang dialami oleh pasien.
2) Dalam hal pemeriksaan follow up NAAT tidak dapat
dilakukan, maka pasien kasus konfirmasi dengan gejala
berat/kritis yang dirawat di rumah sakit yang sudah
menjalani isolasi selama 10 hari sejak onset dengan
ditambah minimal 3 hari tidak lagi menunjukkan
gejala/tanda klinis COVID-19 yang dialami oleh pasien,
dinyatakan selesai isolasi, dan dapat dialihrawat non isolasi
atau dipulangkan.

2. Alih Rawat Non Isolasi


Proses alih rawat ke ruangan non isolasi diperuntukkan untuk pasien
yang sudah memenuhi kriteria selesai isolasi tetapi masih
memerlukan perawatan lanjutan untuk kondisi tertentu yang terkait
dengan komorbid, co-insiden, dan komplikasi. Proses alih rawat
diputuskan berdasarkan hasil assessmen klinis yang dilakukan oleh
DPJP sesuai standar pelayanan dan/atau standar prosedur
operasional. Pasien tersebut sudah dinyatakan sembuh dari COVID-
19.

3. Sembuh
Pasien konfirmasi tanpa gejala, gejala ringan, gejala sedang, dan gejala
berat/kritis dinyatakan sembuh apabila telah memenuhi kriteria
selesai isolasi dan dikeluarkan surat pernyataan selesai pemantauan,
berdasarkan penilaian dokter di fasyankes tempat dilakukan
pemantauan atau oleh DPJP.
Pasien konfirmasi dengan gejala berat/kritis dimungkinkan memiliki
hasil pemeriksaan follow up NAAT persisten positif, karena
pemeriksaan NAAT masih dapat mendeteksi bagian tubuh virus
COVID-19 walaupun virus sudah tidak aktif lagi (tidak menularkan
lagi). Terhadap pasien tersebut, maka penentuan sembuh
berdasarkan hasil assessmen yang dilakukan oleh DPJP.

4. Pemulangan Pasien
Pasien dapat dipulangkan dari perawatan di rumah sakit, bila
- 68 -

memenuhi kriteria selesai isolasi dan memenuhi kriteria klinis sebagai


berikut:
a. Hasil assesmen klinis menyeluruh termasuk diantaranya
gambaran radiologis menunjukkan perbaikan, pemeriksaan
darah menunjukan perbaikan, yang dilakukan oleh DPJP
menyatakan pasien diperbolehkan untuk pulang.
b. Tidak ada tindakan/perawatan yang dibutuhkan oleh pasien,
baik terkait sakit COVID-19 ataupun masalah kesehatan lain
yang dialami pasien.
DPJP perlu mempertimbangkan waktu kunjungan kembali pasien
dalam rangka masa pemulihan.
Khusus pasien konfirmasi dengan gejala berat/kritis yang sudah
dipulangkan tetap melakukan isolasi mandiri minimal 7 hari dalam
rangka pemulihan dan kewaspadaan terhadap munculnya gejala
COVID-19, dan secara konsisten menerapkan protokol kesehatan.

5. Pindah ke RS Rujukan
Pindah ke RS Rujukan apabila pasien memerlukan rujukan ke RS lain
dengan alasan yang terkait dengan tatalaksana COVID-19. Pelaporan
hasil akhir status pasien selesai isolasi, sembuh, meninggal,
dilaporkan ke dinas kesehatan kabupaten/kota setempat oleh RS
pertama yang merawat.

6. Meninggal
a. Meninggal di rumah sakit selama perawatan COVID-19 pasien
konfirmasi atau probable maka pemulasaraan jenazah
diberlakukan tatalaksana COVID-19.
b. Meninggal di luar rumah sakit/Death on Arrival (DOA)
Bila pasien memiliki riwayat kontak erat dengan orang/pasien
terkonfirmasi COVID-19 maka pemulasaraan jenazah
diberlakukan tatalaksana COVID-19.

Ketentuan mengenai terapi dan penatalaksanaan klinis pasien COVID-19


serta evaluasi akhir di atas berlaku juga untuk pasien dengan status kasus
probable.

H. TATA LAKSANA COVID-19 PADA ANAK DAN REMAJA


1. Definisi kasus
- 69 -

Definisi operasional kasus COVID-19 pada anak dan neonatus yaitu


kasus suspek, kasus probable, kasus konfirmasi dan kontak erat
sesuai dengan definisi operasional kasus pada BAB II. Pada anak
manifestasi klinis dari COVID-19 dapat meliputi manifestasi sistemik
di luar gejala respirasi seperti demam yang disertai diare, muntah,
ruam, syok, keterlibatan jantung dan organ lain yang dikenal sebagai
multisystem inflammatory syndrome pada COVID-19 (MIS-C). Untuk
itu, klinisi perlu mengetahui kondisi MIS-C pada anak dan
menatalaksananya. Apabila menemukan tanda dan gejala MIS-C pada
anak, klinisi dapat menegakkan diagnosis berdasarkan pemeriksaan
serologi antibodi.

2. Derajat penyakit
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis dan hasil pemeriksaan
penunjang, maka klasifikasi klinis dapat dibagi menjadi tanpa gejala,
ringan, sedang, berat dan kritis (Tabel 5.4).

Tabel 5.4. Klasifikasi klinis

Klasifikasi Definisi
Tanpa gejala Hasil uji SARS-CoV-2 positif tanpa ada tanda dan gejala klinis.
Ringan Gejala infeksi saluran napas atas seperti demam, fatigue, mialgia,
batuk, nyeri tenggorokan, pilek, dan bersin. Beberapa kasus mungkin
tidak disertai demam, dan lainnya mengalami gejala saluran
pencernaan seperti mual, muntah, nyeri perut, diare, atau gejala non-
respiratori lainnya.
Sedang Gejala dan tanda klinis pneumonia. Demam, batuk, takipnu*, dapat
disertai ronki atau wheezing pada auskultasi paru tanpa distres napas
dan hipoksemia.
*Takipnu= Frekuensi napas <2 bulan: ≥60x/menit, 2–11 bulan:
≥50x/menit, 1–5 tahun: ≥40x/menit, >5 tahun: ≥30x/menit
Berat • Gejala dan tanda klinis pneumonia berat berupa napas cuping
hidung, sianosis, retraksi subkostal, desaturasi (saturasi oksigen
<92%).
• Adanya tanda dan gejala bahaya umum seperti kejang, penurunan
kesadaran, muntah profuse, tidak dapat minum, dengan atau
tanpa gejala respiratori.
Kritis Pasien mengalami perburukan dengan cepat menjadi acute respiratory
distress syndrome (ARDS) atau gagal napas atau terjadi syok,
ensefalopati, kerusakan miokard atau gagal jantung, koagulopati,
gangguan ginjal akut, dan disfungsi organ multipel atau manifestasi
sepsis lainnya. Kriteria gagal napas dengan pediatric acute respiratory
distress syndrome (PARDS) dapat dilihat pada gambar di bawah
Multisystem Anak dan remaja 0-19 tahun yang mengalami demam  3 hari
inflammatory DAN disertai dua dari:
syndrome f) Ruam atau konjungtivitis bilateral non purulenta atau tanda
inflamasi mukokutaneus pada mulut, tangan dan kaki
g) Hipotensi atau syok
- 70 -

h) Gambaran disfungsi miokardium, perikarditis, vaskulitis,


abnormalitas koroner (terdiri atas kelainan pada
ekokardiografi, peningkatan Troponin/NT-proBNP)
i) Bukti adanya koagulopati (dengan peningkatan PT, APTT, D-
dimer)
j) Gejala gastrointestinal akut (diare, muntah, atau nyeri perut)
DAN Peningkatan marker inflamasi seperti LED, CRP atau
procalcitonin
DAN Tidak ada penyebab keterlibatan etiologi bakteri yang
menyebabkan inflamasi meliputi sepsis bakteri, sindrom syok karena
Stafilokokkus atau Streptokokkus
DAN Terdapat bukti COVID-19 (berupa NAAT, positif tes antigen atau
positif serologi) atau kemungkinan besar kontak dengan pasien
COVID-19

3. Pemeriksaan NAAT
Pemeriksaan NAAT mengikuti panduan pemeriksaan sesuai pada BAB
IV Diagnosis Laboratorium. Pada kasus suspek dan probable COVID-
19 dengan hasil swab nasoorofaring negatif, maka pemeriksaan swab
dapat dilakukan dari rektal atau spesimen saluran napas bawah (mis.
sputum). Pemeriksaan virus SARS-CoV-2 dapat diambil dari saluran
napas, feses, maupun spesimen lain seperti plasenta.

4. Pemeriksaan rapid antibodi dan antigen untuk konfirmasi SARS-COV-


2
Pemeriksaan NAAT mengikuti panduan pemeriksaan sesuai pada BAB
IV Diagnosis Laboratorium. Pada kasus suspek dan probable COVID-
19 dengan hasil swab nasoorofaring negatif, maka pemeriksaan swab
dapat dilakukan dari rektal atau spesimen saluran napas bawah (mis.
sputum). Pemeriksaan virus SARS-CoV-2 dapat diambil dari saluran
napas, feses, maupun spesimen lain seperti plasenta.

5. Pemberian antivirus potensial dan anti-inflamasi untuk infeksi


COVID-19
Terapi definitif untuk COVID-19 masih terus diteliti, namun laporan
efektivitas dan keamanan obat antivirus tersebut adalah pada pasien
dewasa, sedangkan pada anak masih dalam penelitian. Pemberian
anti SARS-CoV-2 pada anak harus mempertimbangkan derajat
beratnya penyakit dan komorbid, serta persetujuan orang tua. Dosis
pemberian antivirus potensial dan durasi pemberiannya dapat dilihat
pada Tabel 5.5.

6. Pemantauan derajat keparahan pasien pada kasus anak dengan


COVID-19
- 71 -

a. Pemantauan derajat keparahan pasien yang disepakati oleh


pakar intensif anak adalah nilai rasio SpO2/FiO2 (SF ratio)
b. Pada pasien dengan tunjangan pernapasan non-invasif dapat
digunakan indeks saturasi oksigen (Oxygen Saturation
Index/OSI)
c. Pada pasien dengan ventilasi mekanik invasif dapat dihitung
indeks oksigenasi (Oxygenation Index/OI)
d. Kadar FiO2 disesuaikan untuk mencapai target saturasi perifer
atau SpO2< 97% agar validitas penghitungan SF rasio dan OSI
dapat dijaga
e. Prediksi perburukan pirau intrapulmonal dapat dilakukan
dengan menghitung dan memantau AaDO2
f. Kriteria P-ARDS yang digunakan sesuai dengan kriteria Pediatric
Acute Lung Injury Conference Consensus (PALICC)

7. Indikasi dan prinsip penggunaan NIV atau HFNC pada kasus anak
dengan COVID-19
a. Anak dengan klinis sesak (RR >+2 SD sesuai usia) dengan atau
tanpa peningkatan usaha nafas atau work of breathing
b. Memerlukan suplementasi oksigen untuk mempertahankan
SpO2 > 88% dan OI (oxygenation index) < 4 atau OSI < 5
c. Terdapat infiltrat baru yang konsisten dengan gambaran penyakit
paru akut

8. Continuous Positive Airway Pressure (CPAP) atau Bilevel non-


invasive ventilation (NIV)
a. Rekomendasi tunjangan pernapasan awal pada pasien dengan SF
rasio sebesar 221 – 264. CPAP dan NIV Bilevel lebih dianjurkan
oleh karena tekanan jalan napas akan lebih terjamin
dibandingkan dengan pemberian High Flow Nasal Cannula
(HFNC)
b. Jika SF rasio < 221, intubasi jangan ditunda
c. Jika tidak terjadi perbaikan oksigenasi (target SpO2 92-97%
dengan FiO2< 0.6) dalam pemantauan 60-90 menit, atau ROX
index< 5, lakukan intubasi
d. Interface yang digunakan pada CPAP/NIV dianjurkan helmet,
guna mengurangi kebocoran atau leak yang terjadi. Jika tidak
tersedia, dapat digunakan sungkup non-vented oro-nasal atau
- 72 -

full-face yang disambungkan dengan sirkuit double-limb atau


single-limb dengan filter
e. Lakukan titrasi tekanan sesuai respons pasien (target oksigenasi
atau peningkatan upaya bernapas)
f. Penggunaan CPAP dan NIV berisiko untuk terjadinya
kontaminasi aerosol terutama jika ada kebocoran. Penggunaan
alat pelindung diri (APD) yang memadai mutlak harus dipenuhi
jika merawat pasien infeksi COVID-19 dengan CPAP/NIV

9. High Flow Nasal Cannula (HFNC)


a. High Flow Nasal Cannula (HFNC) dapat dipergunakan jika
CPAP/NIV tidak tersedia, pada pasien dengan SF rasio > 264
dengan pemberian FiO2 0.35-0.4
b. HFNC juga berisiko menyebabkan kontaminasi aerosol, karena
tingkat kebocoran / leak yang tinggi.
c. Jika target oksigenasi (SpO2> 92 – 94 % dengan FiO2< 0.4) tidak
membaik dalam waktu 30 – 60 menit, segera intubasi

10. Ventilasi Mekanis Invasif


a. Penyusun tidak dapat merekomendasikan modus ventilator
tertentu pada pasien anak dengan infeksi COVID-19 yang
mengalami ARDS
b. Modus ventilator, pengaturan awal dan penyesuaian bergantung
pada kondisi pasien dan sesuai keahlian dokternya (baca:
panduan ventilasi mekanis – UKK ERIA, 2018)
c. Anjuran untuk menerapkan ventilasi proteksi paru sesuai
rekomendasi PALICC

Pasien mengalami hipoksemia refrakter apabila ditemukan:


a. PaO2/FiO2< 150
b. OI ≥ 12
c. OSI ≥ 10
d. dan atau FiO2> 0.6

11. Tindakan intubasi trakeal emergensi pada anak dengan COVID-19


Jika diperlukan tindakan intubasi, perhatikan hal-hal berikut:
a. Pencegahan infeksi adalah prioritas utama: semua tim yang
terlibat harus menggunakan APD sesuai standar dan tindakan
dilakukan di ruang dengan tekanan negatif
- 73 -

b. Jalur komunikasi harus tersedia untuk tim di dalam ruangan dan


tim di luar ruangan
c. Pastikan sudah tersedia checklist intubasi dan daftar peran
masing-masing staf. Dalam melakukan intubasi minimalisasi
petugas yang ada di ruang intubasi. Staf yang melakukan
intubasi terdiri dari 3 orang, yaitu:
1) Intubator atau operator airway dilakukan oleh dokter yang
paling berpengalaman dalam mengintubasi dan berperan
untuk mengintubasi pasien dalam upaya pertama
2) Asisten airway bertugas membantu intubator membuka
jalan napas, memastiakan jalan napas patent dan
memberikan bantuan pernapasan.
3) Asisten pemberi obat-obatan, bertugas memberikan obat-
obatan selama proses intubasi dan melakukan moitoring
atau pengawasan terhadap tindakan intubasi maupun
kondisi pasien.
d. Periksa monitor, akses IV, instrumen, obat-obatan, ventilator dan
suction
e. Pertimbangkan penggunaan video laryngoscope
f. Pertimbangkan tahanan krikoid/rapid sequence intubation (RSI)
g. Hindari ventilasi sungkup manual jika tidak diperlukan
h. Jika diperlukan, gunakan teknik 2 orang, dengan oksigen
aliran
rendah dan batasi pemberian tekanan
i. Pastikan filter tersedia antara face mask dan bag
j. Intubasi dan konfirmasi dengan monitor kapnografi kontinu dan
pemeriksaan visual kembang dada (hindari penggunaan
stetoskop)
1) Jika menggunakan video laryngoscope - gunakan disposable
blade
2) Bila pelumpuh otot telah diberikan, segera intubasi
3) Masukkan ETT hingga kedalaman yang ditentukan dan
kembangkan cuff untuk menutup jalan nafas sebelum
memulai ventilasi. Catat kedalaman ETT
4) Pasang NGT untuk dekompresi lambung sehingga tidak
mengganggu ventilasi paru
5) Hindari melepas sambungan sirkuit; tekan dan putar semua
konektor untuk mengunci. Klem selang endotrakeal saat
melepas sambungan
- 74 -

6) Gunakan algoritma gagal intubasi (CICV) jika terjadi


kesulitan
7) Beri instruksi sederhana dan gunakan closed loop
communication
8) Jika status pasien COVID-19 belum dikonfirmasi, aspirasi
trakea untuk pemeriksaan virologi dilakukan dengan closed
suction
9) Buang alat sekali pakai dengan aman setelah digunakan
10) Dekontaminasi alat yang dapat 
digunakan ulang sesuai
instruksi. Setelah meninggalkan ruangan, lepas APD dengan
teliti
11) Bersihkan ruangan 20 menit setelah intubasi (atau tindakan
yang menghasilkan aerosol terakhir)
12) Simpan peralatan terkait lainnya di luar ruangan sampai
dibutuhkan

I. TATA LAKSANA COVID-19 PADA NEONATUS


1. Definisi Kasus
Definisi kasus neonatus ditentukan oleh status definisi kasus
maternal. Pasca terminasi kehamilan, status definisi kasus maternal
sudah harus dapat ditentukan non-COVID-19, suspek/terkonfirmasi
COVID-19.
a. Neonatus tanpa gejala lahir dari ibu suspek/terkonfirmasi
COVID-19: Skrining dengan pemeriksaan pembuktian virus
SARS-CoV-2 dengan apus nasofaring harus dilakukan segera,
idealnya dua kali dengan interval minimal 24 jam. Diagnosis
COVID-19 dapat disingkirkan bila didapatkan hasil apus
nasofaring tersebut negatif dua kali pemeriksaan berturut turut.
b. Neonatus bergejala, pemeriksaan laboratorium dan pencitraan
selain untuk pembuktian COVID-19 juga untuk diagnosis
penyakit utamanya. Neonatus dinyatakan tidak menderita
COVID-19 bila hasil apus nasofaring tersebut negatif dua kali
pemeriksaan berturut turut.

2. Diagnosis Penyakit utama:


a. Infeksi awitan dini COVID-19 (apabila infeksi terjadi dalam 72
jam pasca lahir);
- 75 -

b. Infeksi awitan lambat COVID-19 (apabila infeksi terjadi setelah


72 jam pasca lahir)

3. Tata laksana
Bayi baru lahir dalam keadaan stabil, pasca lahir segera dimandikan
untuk mengurangi risiko infeksi.
Didasari pada status definisi kasus maternal:
a. Suspek COVID-19, semua tindakan dan perawatan dalam isolasi
fisik (penularan droplet), dengan APD tingkat-2.
b. Konfirmasi COVID-19, semua tindakan aerosol generated
dilakukan dalam ruang isolasi dengan APD tingkat-3.

Pada status definisi kasus maternal belum jelas semua tindakan


perawatan dalam isolasi fisik (kemungkinan penularan
droplet/percikanludah) risiko rendah, dengan APD tingkat-2 sampai
ditentukan status definisi pasti, kecuali memerlukan terapi yang
menyebabkan aerosol generated maka APD yang digunakan adalah
tingkat 3.
Penundaan pemotongan tali pusat berdasarkan pedoman
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, bayi baru lahir dari ibu
suspek atau terkonfirmasi COVID-19 tidak dilakukan.

Inisiasi menyusu dini


a. Diskusikan dengan orang tua mengenai keuntungan dan
kerugian IMD, serta cara penularan virus COVID-19.
b. IMD dilakukan atas keputusan bersama dengan orang tua
c. IMD dapat dilakukan bila status ibu adalah kontak erat atau
kasus suspek, dan dapat dipertimbangkan pada ibu dengan
status kasus konfirmasi (simtomatik ringan /asimtomatik), DAN
klinis ibu maupun bayi baru lahir dinyatakan stabil.
d. Inisiasi menyusu dini dilakukan dengan mengutamakan
pencegahan penularan COVID-19 yaitu ibu menggunakan APD
minimal masker.

Rawat gabung
a. Bayi sehat dari ibu kasus suspek dapat dirawat gabung dan
menyusu langsung dengan mematuhi protokol pencegahan
secara tepat.
- 76 -

b. Bayi dari ibu kasus konfirmasi atau kasus probable dilakukan


perawatan bayi di ruang isolasi khusus terpisah dari ibunya
(tidak rawat gabung).
c. Jika kondisi ibu tidak memungkinkan merawat bayinya maka
anggota keluarga lain yang kompeten dan tidak terinfeksi COVID-
19 dapat merawat bayi termasuk membantu pemberian ASI
perah selama ibu dalam perawatan isolasi khusus

Rawat gabung untuk ibu suspek dapat dilakukan bila:


a. Fasilitas kesehatan mempunyai kamar rawat gabung perorangan
(1 kamar hanya ditempati 1 orang ibu dan bayinya)
b. Perawatan harus memenuhi protokol kesehatan ketat, yaitu jarak
antara ibu dengan bayi minimal 2 meter. Bayi dapat ditempakan
di inkubator atau cots yang dipisahkan dengan tirai.
c. Ibu rutin dan disiplin mencuci tangan sebelum dan sesudah
memegang bayi.
d. Ibu memberlakukan perilaku hidup bersih dan sehat.
e. Ibu harus memakai masker bedah
f. Ruangan rawat gabung memiliki sirkulasi yang baik.
g. Lingkungan disekitar ibu juga harus rutin dibersihkan dengan
cairan disinfektan.
h. Edukasi dan informasi tentang cara penularan virus penyebab
COVID-19.

Rawat Gabung tidak dianjurkan bila


a. Ruang rawat gabung berupa ruangan/bangsal bersama pasien
lain.
b. Ibu sakit berat sehingga tidak dapat merawat bayinya.

4. Nutrisi
Bila ibu dan keluarga menginginkan menyusui dan dapat patuh
melakukan pencegahan penularan virus SARS-CoV-2 maka tenaga
kesehatan akan membantu melalui edukasi dan pengawasan terhadap
risiko penularan COVID-19. Menyusui ASI terutama bila klinis ibu
tidak berat sehingga memungkinkan langkah tersebut.
Terdapat 3 pilihan pemberian nutrisi pada bayi yang lahir dari ibu
suspek dan terkonfirmasi COVID-19 (tergantung klinis ibu):
- 77 -

a. Pilihan pertama, pada kondisi klinis ibu berat sehingga ibu tidak
memungkinkan memerah ASI dan/atau terdapat sarana-
prasarana fasilitas kesehatan yang memadai. Keluarga dan
tenaga kesehatan memilih mencegah risiko penularan, dengan
melakukan pemisahan sementara antara ibu dan bayi. Jika ASI
perah atau ASI donor yang layak tidak tersedia, maka
pertimbangkan: ibu susuan (dengan penapisan medis untuk
menghindari risiko transmisi penyakit) atau susu formula bayi
yang sesuai dengan memastikan penyiapan yang benar, aman
dan diikuti bantuan relaktasi setelah ibu pulih. Selama
perawatan isolasi khusus, ibu dapat tetap memerah ASI untuk
mempertahankan produksi dan ASI perah tetap dapat diberikan
sebagai asupan bayi. Selama perawatan isolasi khusus, ibu dapat
tetap memerah ASI untuk mempertahankan produksi dan ASI
perah tetap dapat diberikan sebagai asupan bayi. Ibu memakai
masker selama memerah. Ibu mencuci tangan menggunakan air
dan sabun selama minimal 20 detik sebelum memerah (disiplin
dalam menjaga kebersihan tangan serta higienitas diri). Ibu
harus membersihkan pompa serta semua alat yang bersentuhan
dengan ASI dan wadahnya setiap selesai (sesuai manufaktur
pabrik). ASI perah diberikan oleh tenaga kesehatan atau anggota
keluarga yang tidak menderita COVID-19.
b. Pilihan kedua, pada kondisi klinis ibu sedang. Keluarga dan
tenaga kesehatan memilih mengurangi risiko penularan,
mempertahankan kedekatan ibu dan bayi. Pilihan nutrisinya
adalah ASI perah. Ibu memakai masker selama memerah. Ibu
menerapkan protokol pencegahan infeksi seperti poin a di atas.
c. Pilihan ketiga, pada kondisi klinis ibu tidak bergejala/ringan
dan atau sarana - prasarana terbatas atau tidak memungkinkan
perawatan terpisah. Keluarga dan tenaga kesehatan menerima
risiko tertular dan menolak pemisahan sementara ibu dan bayi.
Pilihan nutrisinya adalah menyusui langsung. Ibu menggunakan
masker bedah. Ibu mencuci tangan dan membersihkan payudara
dengan sabun dan air. Ibu menyusui bayinya. Orang tua harus
mengerti bayi berisiko tertular walaupun belum diketahui secara
pasti. Untuk mengurangi risiko penularan pada pilihan ini, jika
memungkinkan ibu harus menjaga jarak 2-meter dengan bayinya
selama tidak menyusui.
- 78 -

Ibu dan bayi diperbolehkan pulang dengan meneruskan pembatasan


fisik dan bayi diperiksa laboratorium bila terdapat keluhan. Ibu
suspek atau terkonfirmasi COVID-19 dapat menyusui kembali apabila
sudah memenuhi kriteria bebas isolasi seperti panduan di atas.
Rekomendasi untuk penggunaan obat untuk tata laksana COVID-19
pada ibu hamil dan menyusui yang terinfeksi COVID-19 berdasar
kajian literatur Lactmed, terangkum dalam tabel berikut Tabel 5.6.

Tabel 5.5. Keamanan obat yang dikonsumsi oleh ibu menyusui


OBAT TINJAUAN REKOMENDASI
Azitromisin Karena kadar azitromisin yang rendah Aman
dalam ASI dan lazim digunakan pada
bayi dalam dosis yang lebih tinggi,
penggunaan selama menyusui tidak
menyebabkan efek buruk pada bayi
yang disusui.
Ritonavir / Lopiravir Tidak diketahui relevansi keamanan Belum terdapat bukti
(Aluvia), Remdezivir, obat anti virus ini pada bayi yang ilmiah yang cukup
Pavipiravir (Avigan) disusui. kuat

Interferon β Kadar interferon beta-1a dalam ASI Aman


sangat kecil, tidak mungkin mencapai
aliran darah bayi.
Tocilizumab Hanya sejumlah kecil tocilizumab Aman, dengan
(antibodi kappa G1 (IgG1) antibodi pemantauan ketat
manusia) yang terdeteksi dalam ASI dan
tidak ada efek samping yang dilaporkan,
tetapi harus digunakan dengan hati-
hati terutama saat menyusui bayi yang
baru lahir atau bayi prematur.
N-acetylcysteine Tidak ada informasi tersedia tentang Belum terdapat bukti
penggunaan acetylcysteine selama ilmiah yang cukup
menyusui, untuk menghindari paparan kuat
terhadap bayi, ibu menyusui
disarankan mempertimbangkan
memompa dan membuang ASI mereka
selama 30 jam setelah pemberian NAC.
- 79 -

11. RINGKASAN MANAJEMEN KESMAS BERDASARKAN KRITERIA KASUS


- 80 -

18. PROTOKOL TATA LAKSANA PASIEN TERKONFIRMASI INFEKSI


COVID-19

KRITERIA TATALAKSANA PASIEN

a. Isolasi dan Pemantauan


• Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari isolasi sejak
pengambilan spesimen diagnosis konfirmasi
• Pasien dipantau melalui telepon oleh petugas. FKTP
• Kontrol di FKTP setelah selesai isolasi
b. Non-farmakologis

Berikan edukasi terkait tindakan yang perlu dikerjakan


(leaflet untuk dibawa ke rumah) :
• Pasien :
- Pasien mengukur suhu tubuh 2 kali sehari, pagi dan
malam hari
- Selalu menggunakan masker jika keluar kamar dan
saat berinteraksi dengan anggota keluarga
- Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau
hand sanitizer sesering mungkin.
- Jaga jarak dengan keluarga (physical distancing)
- Upayakan kamar tidur sendiri / terpisah
- Menerapkan etika batuk (Diajarkan oleh tenaga
medis)
- Alat makan-minum segera dicuci dengan air/sabun
- Berjemur matahari minimal sekitar 10-15 menit
setiap harinya
- Pakaian yg telah dipakai sebaiknya dimasukkan
dalam kantong plastik / wadah tertutup yang terpisah
dengan pakaian kotor keluarga yang lainnya sebelum
dicuci dan segera dimasukkan mesin cuci
Konfirmasi (Tanpa - Ukur dan catat suhu tubuh tiap jam 7 pagi dan jam
gejala) 19 malam.
- Segera berinformasi ke petugas pemantau/FKTP atau
keluarga jika terjadi peningkatan suhu tubuh > 38 oC
• Lingkungan/kamar:
- Perhatikan ventilasi, cahaya dan udara
- Membuka jendela kamar secara berkala
- Bila memungkinkan menggunakan APD saat
membersihkan kamar (setidaknya masker, dan bila
memungkinkan sarung tangan dan goggle.
- Cuci tangan dengan air mengalir dan sabun atau
hand sanitizer sesering mungkin.
- Bersihkan kamar setiap hari , bisa dengan air sabun
atau bahan desinfektasn lainnya
• Keluarga:
- Bagi anggota keluarga yang berkontak erat dengan
pasien sebaiknya memeriksakan diri ke FKTP/Rumah
Sakit.
- Anggota keluarga senanitasa pakai masker
- Jaga jarak minimal 1 meter dari pasien
- Senantiasa mencuci tangan
- Jangan sentuh daerah wajah kalau tidak yakin
tangan bersih
- Ingat senantiasa membuka jendela rumah agar
sirkulasi udara tertukar
Bersihkan sesering mungkin daerah yg mungkin tersentuh
pasien misalnya gagang pintu dll
c. Farmakologi
Bila terdapat penyakit penyerta / komorbid,
dianjurkan untuk tetap melanjutkan pengobatan
yang rutin dikonsumsi. Apabila pasien rutin
- 81 -

KRITERIA TATALAKSANA PASIEN

meminum terapi obat antihipertensi dengan


golongan obat ACE-inhibitor dan Angiotensin
Reseptor Blocker perlu berkonsultasi ke Dokter
Spesialis Penyakit Dalam ATAU Dokter Spesialis
Jantung
Dianjurkan multivitamin yang mengandung
vitamin C,B, E, Zink
Untuk anak Remaja :
Perawatan suportif
Pemberian Vit C (1-3 tahun maksimal 400mg/hari; 4-8
tahun maksimal 600mg/hari; 9-13 tahun maksimal
1,2gram/hari; 12-18 tahun maksimal 1,8gram/hari), Vit
D3 (<3 tahun 400 U/hari, anak 1000 U/hari, remaja 2000
U/hari, remaja yang obesitas 5000 U/hari), dan Zink
20mg/hari, diberikan minimal selama 14 hari atau obat
suplemen lain dapat dipertimbangkan untuk diberikan
(meskipun evidence belum menunjukkan hasil yang
meyakinkan).

a. Isolasi dan Pemantauan


• Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak tanggal
onset dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak
lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan
pernapasan
• Ditangani oleh FKTP, contohnya Puskesmas, sebagai
pasien rawat jalan
• Kontrol di FKTP setelah selesai isolasi
a. Non Farmakologi : Edukasi terkait tindakan yang harus
dilakukan (sama dengan edukasi tanpa gejala)
b. Farmakologis :
• Pengobatan suportif
• Pengobatan simtomatis seperti paracetamol bila demam
• Bila diperlukan dapat diberikan Antivirus

Untuk Anak, Remaja :


Sakit ringan
• Perawatan suportif (obat-obatan simtomatis)
• Pemberian Vit C (1-3 tahun maksimal 400mg/hari; 4-8
tahun maksimal 600mg/hari; 9-13 tahun maksimal
1,2gram/hari; 12-18 tahun maksimal 1,8gram/hari), Vit
D3 (<3 tahun 400 U/hari, anak 1000 U/hari, remaja 2000
U/hari, remaja yang obesitas 5000 U/hari), dan Zink
20mg/hari, diberikan minimal selama 14 hari atau obat
suplemen lain dapat dipertimbangkan untuk diberikan
(meskipun evidence belum menunjukkan hasil yang
meyakinkan).
• Pada pasien dengan gejala ringan namun memiliki
komorbid, perlu dipertimbangkan tata laksana
sebagaimana pasien dengan gejala sedang

Perawatan simptomatis
Isolasi dan Pemantauan
• Rujuk ke Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-
19/ Rumah Sakit Darurat COVID-19
• Isolasi di Rumah Sakit ke Ruang Perawatan COVID-
Sakit Sedang 19/ Rumah Sakit Darurat COVID-19
• Isolasi mandiri di rumah selama 10 hari sejak tanggal
onset dengan ditambah minimal 3 hari setelah tidak
lagi menunjukkan gejala demam dan gangguan
pernapasan
- 82 -

KRITERIA TATALAKSANA PASIEN

Non Farmakologis
• Istirahat total, intake kalori adekuat, control
elektrolit, status hidrasi, oksigenasi
Pemeriksaan laboratorium darah rutin dengan hitung jenis
dan foto toraks, jika memungkinkan diperiksa pula CRP.
Pemeriksaan lain seperti fungsi hati, fungsi ginjal, dan
pemeriksaan lainnya sesuai indikasi/sesuai komorbid.
Untuk Anak, Remaja :
Orangtua penunggu pasien diperiksakan swab naso-
orofaring

Farmakologis
Pengobatan suportif
Pengobatan simtomatis (Parasetamol dan lain-
lain).
Antivirus
Antibiotik bila diperlukan
Untuk Anak, remaja:
Perawatan suportif
Pemberian antivirus untuk SARS-CoV-2 sesuai
dengan pedoman tata laksana COVID-19
Antibiotik bila diperlukan. Antibiotik empirik
lebih disukai dosis tunggal atau sekali sehari
karena alasan infection control, yaitu ceftriaxon
IV 50-100 mg/kgBB/24jam pada kasus
pneumonia komunitas atau terduga ko-infeksi
dengan bakteri dan/atau Azitromisin 10
mg/kg jika dicurigai disertai dengan
pneumonia atipikal (DPJP dapat memberikan
jenis antibiotik lain sesuai dengan keputusan
klinis, dengan menyesuaikan dengan pola
kuman rumah sakit)
Jika dicurigai ko-infeksi dengan influenza
diberikan Oseltamivir
(1) < 1 tahun: 3 mg/kg/dosis setiap 12 jam
(2) > 1 tahun:
- BB < 15 kg: 30 mg setiap 12 jam
- BB 15-23 kg: 45 mg setiap 12 jam
- BB 23-40 kg: 60 mg setiap 12 jam
- >40 kg: 75 mg setiap 12 jam
Pemberian Vit C (1-3 tahun maksimal
400mg/hari; 4-8 tahun maksimal 600mg/hari;
9-13 tahun maksimal 1,2gram/hari; 12-18
tahun maksimal 1,8gram/hari), Vit D3 (<3
tahun 400 U/hari, anak 1000 U/hari, remaja
2000 U/hari, remaja yang obesitas 5000
U/hari), dan Zink 20mg/hari, diberikan
minimal selama 14 hari atau obat suplemen
lain dapat dipertimbangkan untuk diberikan
(meskipun evidence belum menunjukkan hasil
yang meyakinkan).
- 83 -

KRITERIA TATALAKSANA PASIEN

Kortikosteroid

Isolasi dan Pemantauan


• Isolasi di ruang isolasi Rumah Sakit Rujukan atau
rawat secara kohorting
Non Farmakologis
Istirahat total, intake kalori adekuat, kontrol
elektrolit, status hidrasi (terapi cairan), dan
oksigen
Pemantauan laboratorium Darah Perifer
Lengkap beriku dengan hitung jenis, bila
memungkinkan ditambahkan dengan CRP,
fungsi ginjal, fungsi hati, Hemostasis, LDH, D-
dimer.
Pemeriksaan foto toraks serial bila perburukan
Monitor tanda-tanda sebagai berikut;
Takipnea, frekuensi napas ≥ 30x/min,
Saturasi Oksigen dengan pulse oximetry ≤93%
(di jari),
PaO2/FiO2 ≤ 300 mmHg,
Peningkatan sebanyak >50% di keterlibatan
area paru-paru pada pencitraan thoraks dalam
24-48 jam,
Limfopenia progresif,
Peningkatan CRP progresif,
Asidosis laktat progresif.
Monitor keadaan kritis
Gagal napas yg membutuhkan ventilasi
mekanik, shock atau gagal Multiorgan yang
memerlukan perawatan ICU.
Bila terjadi gagal napas disertai ARDS
pertimbangkan penggunaan ventilator
Sakit Berat mekanik (alur gambar 1)
3 langkah yang penting dalam pencegahan
perburukan penyakit, yaitu sebagai berikut
Gunakan high flow nasal canulla (HFNC) atau
non-invasive mechanical ventilation (NIV) pada
pasien dengan ARDS atau efusi paru luas.
HFNC lebih disarankan dibandingkan NIV.
(alur gambar 1)
Pembatasan resusitasi cairan, terutama pada
pasien dengan edema paru.
Posisikan pasien sadar dalam posisi tengkurap
(awake prone position).
Prinsip terapi oksigen:
NRM : 15 liter per menit.
HFNC
Jika dibutuhkan, tenaga kesehatan harus
menggunakan respirator (PAPR, N95).
Batasi flow agar tidak melebihi 60 liter/menit.
Lakukan pemberian HFNC selama 1 jam,
kemudian lakukan evaluasi. Jika pasien
mengalami perbaikan dan mencapai kriteria
ventilasi aman (indeks ROX >4.88 pada jam ke-
2, 6, dan 12 menandakan bahwa pasien tidak
membutuhkan ventilasi invasif, sementara
ROX <3.85 menandakan risiko tinggi untuk
kebutuhan intubasi).

Indeks ROX = (SpO2 / FiO2) / laju napas

NIV
Jika dibutuhkan, tenaga kesehatan harus
menggunakan respirator (PAPR, N95).
- 84 -

KRITERIA TATALAKSANA PASIEN

Lakukan pemberian NIV selama 1 jam,


kemudian lakukan evaluasi. Jika pasien
mengalami perbaikan dan mencapai kriteria
ventilasi aman (volume tidal [VT] <8 ml/kg,
tidak ada gejala kegagalan pernapasan atau
peningkatan FiO2/PEEP) maka lanjutkan
ventilasi dan lakukan penilaian ulang 2 jam
kemudian.
Pada kasus ARDS berat, disarankan untuk
dilakukan ventilasi invasif.
Jangan gunakan NIV pada pasien dengan syok.
Kombinasi Awake Prone Position + HFNC / NIV 2 jam 2 kali
sehari dapat memperbaiki oksigenasi dan mengurangi
kebutuhan akan intubasi pada ARDS ringan hingga sedang.
Hindari penggunaan strategi ini pada ARDS berat. 19

Untuk Anak dan Remaja:


Pemantauan laboratorium darah rutin berikut dengan
hitung jenis dan foto toraks, ditambahkan dengan analisis
gas darah untuk menilai kondisi hipoksia yang akurat dan
CRP. Pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hati, elektrolit,
faktor koagulasi seperti d-dimer, fibrinogen, PT/APTT,
penanda inflamasi seperti ferritin, LDH, IL-6 dan marker
jantung seperti troponin/NT-pro BNP, ekokardiografi dan
EKG sesuai indikasi.
Terapi oksigen
Infus cairan
Nutrisi adekuat, jika diputuskan menggunakan OGT/NGT
maka harus dilakukan di ruangan tekanan negatif dengan
menerapkan standard PPI dengan APD level 3.

Farmakologis

• Antivirus
• Kortikosteroid dosis kecil
• Pengobatan suportif
• Pengobatan simtomatis seperti paracetamol bila
demam
• Bila terdapat kondisi sepsis yang diduga kuat oleh
karena ko-infeksi bakteri, pemilihan antibiotik
disesuaikan dengan kondisi klinis, fokus infeksi dan
faktor risiko yang ada pada pasien. Pemeriksaan
kultur darah harus dikerjakan dan pemeriksaan
kultur sputum (dengan kehati-hatian khusus) patut
dipertimbangkan.
Pengobatan komorbid dan komplikasi yang ada

Untuk Anak, remaja:


Perawatan suportif
Pemberian antivirus untuk SARS-CoV-2 (Tabel 5)
Antibiotik empirik lebih disukai dosis tunggal atau sekali
sehari karena alasan infection control, yaitu ceftriaxon IV
50-100 mg/kgBB/24jam pada kasus pneumonia
komunitas atau terduga ko-infeksi dengan bakteri
dan/atau Azitromisin 10 mg/kg jika dicurigai disertai
dengan pneumonia atipikal (DPJP dapat memberikan jenis
antibiotik lain sesuai dengan keputusan klinis, dengan
menyesuaikan dengan pola kuman rumah sakit)
- 85 -

KRITERIA TATALAKSANA PASIEN

Jika dicurigai ko-infeksi dengan influenza boleh diberikan


Oseltamivir
Kortikosteroid
Pemberian Vit C (1-3 tahun maksimal 400mg/hari; 4-8
tahun maksimal 600mg/hari; 9-13 tahun maksimal
1,2gram/hari; 12-18 tahun maksimal 1,8gram/hari), Vit
D3 (<3 tahun 400 U/hari, anak 1000 U/hari, remaja 2000
U/hari, remaja yang obesitas 5000 U/hari), dan Zink
20mg/hari, diberikan minimal selama 14 hari atau obat
suplemen lain dapat dipertimbangkan untuk diberikan
(meskipun evidence belum menunjukkan hasil yang
meyakinkan).
Pemberian IVIG, kortikosteroid, antikoagulan,
antiinflamasi lain seperti anti IL-6 diberikan dengan
pertimbangan hati-hati melalui diskusi dengan tim
COVID-19 rumah sakit.

Keterangan :
• Terapi farmakologi pada anak, sbb.:
- diterapkan pada pasien konfirmasi dan Suspek
- dosis pada anak harus disesuaikan
• Pasien dengan komorbid kardiovaskular perlu diberikan penjelasan informasi terkait indikasi
dan efek samping yang dapat terjadi pada pengobatan
• Untuk gejala ringan, bila terdapat komorbid terutama yang terkait jantung sebaiknya pasien
dirawat
• Pemilihan obat disesuaikan pada :
1. ketersediaan obat
2. Kemampuan Pemantauan efek samping obat
3. Keputusan DPJP
- 86 -

22. PERBEDAAN RAPID ANTIBODI, RDT-Ag, DAN NAAT

Rapid Test
Rapid Test Antibodi NAAT
Diagnostic Antigen
Target deteksi Antibodi dalam protein spesifik Materi genetik
darah dari virus (RNA) dari virus
SARS-CoV-2
Sampel Darah Usap nasofaring/ Usap nasofaring
nasal* dan usap
tenggorok/usap
orofaring
Waktu 5 – 10 menit 10 - 30 menit di 1-2 hari, setelah
Fasyankes* sampel diterima di
laboratorium
Penggunaan Penelitian Alternatif Diagnosis
epidemiologi seperti diagnosis
serosurvei

Keterangan: * sesuai jenis RDT-Ag yang digunakan

23. PANDUAN JENIS, PERSIAPAN DAN PENGGUNAAN DISINFEKTAN


A. Jenis Disinfektan
Tidak semua disinfektan efektif terhadap COVID-19. Bahan
disinfektan yang tersedia umum dan efektif terhadap COVID-19
antara lain:
1) Natrium hipoklorit (larutan pemutih) 1.000 ppm (0,1%) untuk
desinfeksi permukaan umum dan 10.000 ppm (1%) untuk
desinfeksi tumpahan cairan yang mengandung virus (misalnya
darah, cairan tubuh). Larutan pemutih rumah tangga dengan
konsentrasi 3-5% dapat dipergunakan untuk desinfeksi setelah
dilakukan pengenceran.
2) Etanol 70%.

B. Persiapan Disinfektan
Desinfeksi tempat kerja sebelum dan sesudah digunakan dan segera
setelah terjadinya tumpahan. Siapkan larutan natrium hipoklorit
(pemutih) setiap harinya dengan cara melarutkan larutan konsentrat
disinfektan, karena larutan natrium hipoklorit kehilangan efikasinya
dengan cepat. Tandai tanggal pelarutan pada botol dan hanya
gunakan pada hari di mana larutan dipersiapkan.
Untuk membuat larutan natrium hipoklorit 1% (pemutih) dari
- 87 -

pemutih rumah tangga (natrium hipoklorit 5%):


1) Dalam wadah atau botol penyemprot yang sesuai, tambahkan
20ml pemutih rumah tangga ke dalam 80ml air.
2) Labeli wadah atau botol penyemprot dengan nama disinfektan
(pemutih 1%), tanggal persiapan, dan inisial nama petugas yang
mempersiapkan larutan.
3) Persiapkan larutan disinfektan pemutih setiap hari dan buang
semua disinfektan yang tidak terpakai setiap hari.
4) Gunakan disinfektan hanya pada hari di mana disinfektan
tersebut disiapkan.
5) Sesuaikan pelarutan berdasarkan konsentrasi awal pemutih
rumah tangga (biasanya antara 3% dan 5%).
Untuk membuat larutan etanol 70% dari etanol 100%:
1) Dalam wadah atau botol penyemprot yang sesuai, tambahkan
70ml 100% etanol ke dalam 30ml air.
2) Labeli wadah atau botol penyemprot denan nama disinfektan
(etanol 70%) dan tanggal persiapan.

C. Penggunaan Disinfektan
Waktu kontak, pelarutan, dan masa simpan larutan disinfektan
(setelah dilarutkan) penting untuk proses disinfeksi yang efektif.
Selalu biarkan disinfektan kontak dengan permukaan atau tumpahan
selama waktu yang direkomendasikan, biasanya 10-15 menit.
Untuk menangani tumpahan spesimen infeksius, gunakan Alat
Pelindung Diri (APD) yang sesuai kemudian lakukan hal-hal berikut:
1) Berikan pemutih 1% di area tumpahan hingga menggenang;
2) Tutupi tumpahan dan disinfektan dengan tisu/paper towel;
3) Biarkan selama minimal 10 menit;
4) Lap tumpahan dan disinfektan dengan tisu dan buang tisu ke
dalam wadah limbah biologis berbahaya;
5) Disinfeksi area dengan pemutih 1% dan tisu yang kering. Buang
tisu ke dalam wadah limbah biologis berbahaya; dan
6) Disinfeksi area dengan alkohol 70% dan tisu yang kering. Buang
tisu ke dalam wadah limbah biologis berbahaya.

24. PROSEDUR PEMERIKSAAN RDT-Ag


- 88 -
- 89 -

25. CARA PEMBACAAN HASIL RDT ANTIGEN SARS-CoV-2


- 90 -

26. Algoritma Tata Laksana ARDS pada Anak dengan Infeksi COVID-19

(adaptasi dengan persetujuan komite consensus PEMVECC 2020)


- 91 -

27. Algoritma Tata Laksana Henti Jantung Pada Anak dengan Suspek atau
Konfirmasi COVID-19

28. Tata Laksana Koagulopati pada COVID-19

D-dimer
Trombosit
Prothrombin time
Fibrinogen

D-dimer ↑ >3x D-dimer ↑ <3x


Faktor pertimbangan pemberian antikoagulan profilaksis:
Trombosit <100.000/uL Trombosit >100.000/uL
• Riwayat pasien/keluarga dengan VTE, ATAU
PT memanjang PT normal
• terpasang central venous line + ≥ 2 factor risiko, ATAU
Fibrinogen <2 g/L Fibrinogen N/↑
• ≥ 4 faktor risiko

JIKA RAWAT: Jika RAJAL:


RAWAT
monitor Sebagai data
Monitor 1-2x /hari • Personal history of thrombophilia or VTE
1x/hari dasar
• First-degree relative with VTE
• Presence of central venous line
• Postpubertal age
perburukan
BERIKAN ANTIKOAGULAN • Decreased mobility from baseline
PROFILAKSIS • Burns
• Active malignancy
• Produk darah sesuai protocol • Indications of venous stasis or cardiac low flow state
Antikoagulan • Estrogen therapy
• Pertimbangkan terapi • Active systemic infection
alternatif Profilaksis:
• enoxaparin 0,5 mg/kgBB; • Flare of inflammatory disease
1x/hari, SK atau • Obesity
Kontraindikasi antikoagulan: • Heparin 5000 U 2 x/hari, SK • Severe dehydration
• perdarahan, • Recent surgery or trauma
Terapi:
• trombosit <25.000/uL • enoxaparin 0,5-1 mg/kgBB;
Bila tidak ada perdarahan: 2x/hari, SK atau
• jaga trombosit >25.000/uL • heparin titrasi 20 U/kg/jam
Bila terjadi perdarahan: sesuai target
• Jaga trombosit >50.000/uL
• PT ratio <1,5 (PT pasien: PT control)
• Fibrinogen >1,5 g/L
- 92 -

29. Alur Tata Laksana Neonatus dari Ibu suspek atau terkonfirmasi

Ibu Suspek, Probable, Terkonfirmasi COVID-19

Bayi Tanpa Gejala


Ada fasilitas
swab RT-PCR

Dilakukan Swab RT-PCR Tidak ada fasilitas


Swab RT-PCR

Bayi RT-PCR Bayi RT-PCR


pertama positif pertama negatif
Ada Ada
fasilitas fasilitas
swab swab
Tidak ulang Tidak ulang
ada ada
fasilitas Pemeriksaan fasilitas Pemeriksaan
swab ulang Swab swab ulang Swab
ulang RT-PCR *) ulang RT-PCR

Bayi dapat dipulangkan


dari RS setelah hasil RT-PCR RT-PCR
swab RT-PCR negatif 2x ulang ulang
berturut-turut dengan negatif positif
interval minimal 24 jam

Sarana Sarana tidak Sarana tidak Sarana


memadai memadai memadai memadai
Isolasi Bayi dapat dipulangkan dari RS, dengan catatan : Isolasi
di KIE risiko penularan di
Faskes Melakukan prosedur isolasi mandiri selama 10-14 Faskes
selama hari selama
10-14 RS tetap memantau tanda dan gejala tidak normal 10-14
hari serta koordinasi dengan Puskemas setempat hari

*) swab ulang dilakukan setiap 3 – 7 hari atau tergantung kapasitas Faskes

Ibu Suspek, Probable, Terkonfirmasi COVID-19

Bayi Dengan Gejala


Ada fasilitas
swab RT-PCR

Dilakukan Swab RT-PCR Tidak ada fasilitas


Swab RT-PCR

Bayi RT-PCR Bayi RT-PCR


pertama positif pertama negatif
Ada
fasilitas
swab
Bayi Bayi ulang
Gejala Gejala
Berat Ringan/ Pemeriksaan Tidak
Sedang ulang Swab RT- ada
PCR sampai fasilitas
Pemeriksaan ulang hasil negatif 2x swab
Swab RT-PCR pada berturut-turut ulang
hari ke-7 dengan interval
minimal 24 jam

RT-PCR ke-2 positif


Isolasi di Faskes
Pemeriksaan ulang minimal 10 hari
RT-PCR
Swab RT-PCR pada ditambah
ke-2
hari ke-14 3 hari bebas gejala
negatif

RT-PCR RT-PCR ke-3


ke-3 positif negatif

Pertimbang-
kan CT value
dan kondisi Bayi dapat dipulangkan / alih rawat non isolasi
klinis bayi untuk tatalaksana penyakit non COVID-19

MENTERI KESEHATAN
REPUBLIK INDONESIA,

BUDI G. SADIKIN

Anda mungkin juga menyukai