Anda di halaman 1dari 17

Diklus, Edisi XVII, Nomor 01, September 2013

264

KEARIFAN LOKAL JAWA SEBAGAI BASIS KARAKTER KEPEMIMPINAN

Warih Jatirahayu
SMP Negeri 4 Sleman
smpn4sleman@gmail.com

Abstrak, ternyata ilmu kepemimpinan modern tidak selalu tepat dan akurat untuk
menyelesaikan berbagai problem kepemimpinan yang semakin kompleks di era global.
Pada kondisi demikian, perlu revitalisai kearifan lokal yang dapat menjadi basis karakter
kepemimpinan. Dapat pula terjadi manfaat terbalik, yakni karakter kepemimpinan
berbasis kearifan lokal justru dapat menjadi sarana penyelesaian masalah-masalah
kepemimpinan global. Ada permasalahan-permasalahan yang tepat ditangani dengan
ilmu-ilmu kepemimpinan modern (global), namun ada pula yang lebih tepat ditangani
dengan kearifan lokal. Kearifan lokal yang dapat dijadikan basis karakter
kepemimpinan, terpilah menjadi dua, yakni yang berupa pantangan dan berupa anjuran.
Karakter kepemimpinan yang berupa pantangan antara lain: adigang, adigung, adiguna;
aja dumeh, dan sapa sira sapa ingsun. Karakter lokal kepemimpinan anjuran antara lain:
aja rumangsa bisa, nanging bisa rumangsa, berbudi bawa leksana, lembah manah,
andhap asor, wani ngalah luhur wekasane.

Kata kunci: kearifan lokal, karakter, kepemimpinan

Abstract , modern leadership turns out science is not always precise and accurate to
solve the problems of leadership in an increasingly complex global era .
In such conditions , it is necessary revitalization of local wisdom that can be the basis of
the character of leadership. Benefits of reverse can also occur, which is character-based
leadership of local wisdom can actually be a means of solving the problem of global
leadership. There are issues that dealt with the exact sciences of modern leadership (
globally), but some are more appropriately handled by local knowledge . Local
knowledge can be used as the basis of leadership character , are divided into two ,
namely in the form of abstinence and a recommendation . The character of leadership in
the form of abstinence among others: “adigang, adigung, Adiguna ; wrote dumeh , and
sira sapa sapa ingsun. Local character of leadership suggestions include: aja rumangsa
can , can nanging rumangsa, virtuous take LEKSANA, manas valley, andhap asor , wani
relented wekasane sublime.
.

Keywords : local knowledge , character, leadership


Kearifan Lokal Jawa Sebagai Basis Karakter Kepemimpinan…………………….Warih 265

PENDAHULUAN sesuatu yang baik dengan standar perilaku


Jaman dahulu yang disebut luhur yang tinggi dalam setiap situasi
pemimpin adalah orang yang mempunyai (Hill, 2002).
kekuasaan dan kewibawaan. Akan tetapi, Dalam bidang pendidikan kita
sekarang dengan adanya kemajuan dan mengenal Trilogi Kepemimpinan Ki Hajar
perubahan jaman, siapa saja dapat disebut Dewantara dapat dijadikan pedoman
pemimpin mulai presiden, ketua partai, seorang pemimpin yang sangat populer di
tokoh politik, ketua organisasi, guru, tingkat nasional dan tetap relevan
bahkan pemimpin dalam keluarga dan sepanjang masa. Kepemimpinan bukan
sebagainya. Dalam keluarga ayah dan ibu merupakan sesuatu yang bersifat gaib,
juga sebagai pemimpin, karena dapat melainkan merupakan keseluruhan dari
menjadi contoh untuk anak, keluarga dan ketrampilan pengetahuan (knowledge),
masyarakat disekitarnya dalam upaya keterampilan (skill) dan sikap (attitude)
pembentukan karakter anak. Menurut yang diperlukan oleh tugas pemimpin.
Dimermen (2009) penanaman jiwa Ketrampilan dan sikap itu dapat kita
karakter dapat dilakukan di mana saja di pelajari. Seorang pemimpin juga harus
rumah dan sekolah sesuai dengan tugas memperhatikan nasihat luhur sebagai
masing-masing. arahan dalam memimpin. Semuanya harus
Di sekolah kepala sekolah sebagai diwujudkan dalam sikap yang nyata,
pemimpin. Sebagai pemimpin Kepala bukan sekedar kata-kata untuk menjadi
sekolah berfungsi dan bertugas sebagai pemimpin dambaan yang ideal. Sikap yang
edukator, manajer, administrator bahkan nyata seorang pemimpin merefleksikan
sebagai supervisor. Selain mempunyai karakter.
kemampuan sebagai syarat administrasi, Trilogi Kepemimpinan Ki Hajar
sebagai pemimpin harus mempunyai budi Dewantara juga berbasis kearifan lokal
pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan Jawa, yakni Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing
ketrampilan, kesehatan jasmani dan Madya Mangun Karsa,Tut Wuri
rohani, kepribadian yang mantap dan handayani Ungkapan Jawa ini sangat
mandiri serta tanggung jawab populer secara nasional. Ungkapan ini
kemasyarakatan dan kebangsaan. Seorang diadopsi sebagai etika kepemimpinan
pemimpin yang berkarakter memiliki nasional, yang digagas oleh Ki Hajar
pemikiran dan tindakan yang baik dan Dewantara, “ Bapak Pendidikan
memiliki motivasi untuk mengerjakan Indonesia” yang juga “Bapak
Diklus, Edisi XVII, Nomor 01, September 2013
266

Tamansiswa” . Secara harfiah, ing ngarsa menyombongkan kecepatan larinya.


sung tuladha berarti di depan memberikan Adigung merupakan watak kesombongan
teladan atau contoh , ing madya mangun binatang gajah yang besar tubuhnya
karsa berarti di tengah-tengah mendorong merasa menang dibandingkan hewan yang
keinginan ; tut wuri handayani berarti lainnya. Adiguna sebagai gambaran watak
mengikuti dari belakang untuk kebaikan ular yang menyombongkan dirinya karena
atau keselamatan. Ungkapan ini sebagai memiliki bisa/racun yang ganas dan
nasihat yang terkait dengan sikap hidup mematikan.
orang Jawa, terutama bagi mereka yang Sebagai seorang Jawa yang sangat
dipandang sebagai pemimpin atau panutan. mementingkan watak andhap asor atau
lembah manah (rendah hati), maka tidak
PANTANGAN DAN ANJURAN selayaknya seorang pemimpin memiliki
DALAM KEPEMIMPINAN watak sombong dan angkuh tersebut.
Pantangan Dalam Kepemimpinan Sebagai manusia yang mengakui bahwa
Pantangan berarti hal yang tidak hidup memerlukan orang lain, maka
pantas atau tidak layak dilakukan oleh seseorang harus menjauhi watak
seorang pemimpin, agar pemimpin itu menyombongkan kekuatan, kebesaran
dapat menjalankan tugasnya sebagai tubuh, dan kewenangannya walaupun dia
amanah, sehingga dalam menjalankan seorang pemimpin
amanah tidak mendapat halangan dan Adigang, adigung, adiguna
menimbulkan gejolak dari yang merupakan peringatan kepada siapapun
dipimpinnya, sehingga tercapai tujuannya, yang memiliki kelebihan (kekuatan,
bermanfaat hidupnya dunia akhirat. kedudukan, atau kekuasaan) agar tisak
Adigang, Adigung, Adiguna, dan Aja bersikap sewenang-wenang terhadap orang
Dumeh lain, terutama terhadap orang kecil (Pardi,
Ungkapan adigang, adigung, Edi, dan Warih, 2006). Sebagai orang
adiguna sering dipakai masyarakat Jawa. yang memiliki kekuatan, kedudukan, dan
Ungkapan yang berisi nasihat agar seorang kekuasaan, ia seharusnya memahami
pemimpin tidak berwatak angkuh atau bahwa semua hal tersebut adalah amanat
sombong seperti watak binatang yang yang harus diperankan dengan baik dan
tersirat dalam ungkapan ini. Adigang dijalankan seadil-adilnya. Kedudukan
adalah gambaran watak kijang yang yang semakin tinggi, keluasan ilmu, dan
Kearifan Lokal Jawa Sebagai Basis Karakter Kepemimpinan…………………….Warih 267

kekuasaan yang semakin besar janganlah adigung adiguna


pan adigang kidang Adigang seperti kijang
menjadikan kita semakin sombong di
adigung pan esti adigung seperti gajah
hadapan orang lain. adiguna ula iku Adiguna seperti ular
telu pisan mati Ketiganya mati semua.
Ungkapan adigang, adigung,
sampyoh
adiguna yang arif itu menjadi wejangan Kijang sombong
Si kidang umbagipun Mengandalkan
atau nasihat yang pas dan baik bagi pihak-
ngendelken kebat kecepatan melompat
pihak yang sedang memiliki kekuatan, lumpatipun (lari)
pan si gajah Gajah mengandalkan
kedudukan, dan kekuasaan, yang
ngendelken geng tinggi besar
dengannya diharapkan ia dapat memegang ainggil Ular mengandalkan
si ula ngandelaken racun bisa saat
kendali atas dirinya sehingga tidak
iku menggigit.
terpeleset pada perilaku angkuh dan mandine kalamun
nyakot.
sombong. Orang bijak semakin menyadari
bahwa semakin tinggi kedudukannya (Pabu Buwono. 2009)
semakin tampak kekurangan dirinya. Yang
Dalam tembang tersebut diuraikan
lebih baik adalah ilmu padi – semakin
bahwa pemimpin jangan sombong seperti
merunduk semakin berisi. Artinya semakin
kijang yang mengandalkan kecepatan
tua usia seseorang, semakin tinggi ilmu
berlari, gajah mengandalkan keperkasaan
seseorang, semakin besar kekuasaan
dengan tubuh yang tinggi besar, dan ular
seseorang, seharusnya orang tersebut
yang mengandalkan bisa racunnya.
semakin rendah hati, suatu sikap yang
Pemimpin yang bertindak seperti ketiga
dilandasi oleh keyakinan bahwa masih
hewan tersebut, dipastikan akan menjadi
banyak kekurangannya.
pemimpin yang otoriter (adigang,
Ungkapan adigang, adigung,
adigung, adiguna). Ia menentukan segala
adiguna tertulis dalam kitab Wulangreh
kegiatan kelompok secara otoriter. Dialah
karya Sunan Pakubuwana IV, pujangga
yang memastikan apa yang akan dilakukan
sekaligus raja Kasunan Surakarta.
oleh kelompok, dan anggota kelompok
Wejangan Pakubuwana IV tersebut
tidak diajak untuk turut menentukan
disampaikan pada dua pada (bait) tembang
langkah pelaksanaan ataupun perencanaan
gambuh sebagaimana dikutip berikut ini.
kegiatan anggota kelompok. Kegiatan,
acara, dan tujuan kelompok ditentukan
Gambuh
dari atas. Di samping itu, kelompok hanya
Wonten pocapanipun Ada cerita diberi instruksi tentang langkah pekerjaan
adiguna adigang Adigang, adigung,
yang paling dekat saja, tanpa diberi tahu
Diklus, Edisi XVII, Nomor 01, September 2013
268

rencana secara keseluruhan. Anggota harus dipertanggungjawabkan secara baik.


hanya diberi tahu langkah kegiatan Dengan demikian, seseorang akan tumbuh
selangkah demi selangkah, tanpa ada sebagai orang yang semakin lama-
perembukan tujuan umum dari kegiatan semakin wicaksana (bijaksana) dan
kelompok (Munandar, 2006). lembah manah (rendah hati).
Untuk menghindari watak adigang,
adigung, adiguna. Orang Jawa diingatkan Sapa Sira Sapa Ingsun
oleh ungkapan aja dumeh (jangan sok). Rangkaian kata itu terbentuk dari
Ungkapan ini sebagai kendali bagi kata sapa (siapa), sira (kamu), sapa
seorang pemimpin agar tidak memiliki (siapa), ingsun (aku) (Pardi, Edi, dan
watak sombong dan sewenang-wenang. Warih, 2006). Ungkapan sapa sira sapa
Ketika sedang mendapatkan kebaikan ingsun (siapa kamu siapa aku) memiliki
janganlah sombong dan lupa diri; ketika kandungan moral yang terkait dengan
menjadi orang pandai jangan nasehat agar seseorang menghindarkan diri
menyombongkan diri karena berwatak sombong atau angkuh dan
kepandaiannya; ketika menjadi pemimpin merendahkan orang lain. Ucapan sapa sira
janganlah menyombongkan diri karena (siapa kamu) cenderung sebagai vonis
kekuasaannya; ketika menjadi penguasa bahwa seseorang berada dalam status lebih
janganlah menyombongkan diri, karena rendah dari Ingsun (aku). Dengan
kekuasaanya; ketika kaya janganlah demikian, ungkapan terkait dengan
menyombongkan diri karena kekayaanya, wejangan kepada para pejabat atau para
dan sebagainya. Jadi, aja dumeh perlu pemimpin yang menempatkan dirinya
menjadi kendali agar seseorang tidak berjarak dengan orang lain, baik dengan
terjebak pada perilaku menyombongkan keluarga, saudara, bawahannya. Ungkapan
diri. sapa ingsun (siapa Aku) menunjukkan
Dengan menyadari bahwa kesombongan seseorang atas status
kekayaan, kepandaian, kedudukan, sosialnya, ya dalam kaitannya dengan
kekuasaan, jabatan dan sebagainya itu harta, kepandaian ilmu, jabatan, posisi
sekedar titipan atau gadhuhan yang strategis yang lain.
sewaktu-waktu akan lepas jika Tuhan Dilihat dari jenis kata ganti sira
menghendakinya. Semua milik itu (yang berarti ‘kamu’, sebagai sapaan bagi
sebaiknya dipandang sebagai amanah yang orang yang berstatus di bawah Iangsung
Kearifan Lokal Jawa Sebagai Basis Karakter Kepemimpinan…………………….Warih 269

bagi lawan bicara), dan ingsun (yang dipungkiri bahwa semua orang senang
berarti ‘aku’, sebagai sapaan atyau kata dihargai, senang dipuji, senang didengar
ganti bagi orang-orang terhormat), pendapatnya, dan senang dilibatkan dalam
menunjukkan adanya rasa dominasi atau berbagai kesempatan sebagai wujud
tinggi hati dari sosok yang menyebut penghargaan pada dirinya. Dengan
dirinya dengan Ingsun (aku) dan menyebut demikian, sikap angkuh itu akan
orang lain (lawan bicara) dengan kata sira mematikan budaya demokrasi karena ada
(kamu). Ingsun (aku) sebagai gambaran kendala psikologi bagi bawahan, yakni
watak angkuh atau tinggi hati seseorang. yang disebut sira (kamu) di hadapan
Sebagai komunitas yang sangat atasan, yakni ingsun (aku). Jika kondisi
menekankan harmonisasi sosial sebagai disharmoni yang terjadi dari waktu ke
wujud pandangan tepa slira dan keyakinan waktu semakin mengkristal, besar
bahwa keadaan hidup di dunia itu tidak kemungkinannya bahwa pemimpin atau
ada yang ajeg (artinya selalu owah atasan yang berwatak sapa sira sapa
gingsir), orang memandang perlu Ingsun itu akan ditinggalkan oleh
memberikan nasihat agar seseorang dapat bawahan.
bersikap rendah hati. Oleh sebab itu, agar Dalam etika Jawa, seorang
seseorang tetap dalam control emosional pemimpin perlu memiliki watak ngemot
dan dalam koridor bersikap lembah manah (mampu menampung aspirasi dan kondisi
dan andhap asor (rendah hati), para semua bawahan), momot (tidak pilih kasih,
pendahulu mewariskan nasihat berupa tetapi merangkul semua warga ) ngemong
ungkapan janganlah seseorang memiliki (melayani semua bawahan dengan tetap
pribadi sapa sira sapa Ingsun (siapa kamu, memperhatikan karakteristik masing-
siapa Aku). masing bawahan), dan ngrangkani
Watak sapa sira sapa Ingsun (siapa (mampu melindungi warga secara baik),
kamu siapa aku) sebagai gambaran sikap termasuk menjaga keutuhan warganya.
tinggi hati akan menyebabkan orang lain Sebagai pemimpin, tidak
tidak dapat berkomunikasi dengan dirinya selayaknya berwatak sewenang-wenang,
secara fair dan transparan. Bahkan, ada tidak adil, emosional (tidak dapat
kecenderungan orang lain akan semakin mengendalikan emosi) atau emotional
menjauhinya karena merasa tidak stability. Kestabilan atau kemantapan
mendapatkan penghargaan yang emosi itu merupakan faktor penting dalam
semestinya. Padahal, tidak dapat kepemimpinan. Suatu penelitian
Diklus, Edisi XVII, Nomor 01, September 2013
270

yang lain yang dilakukan pada kelompok dasarnya menghargai orang lain atau
organisasi mahasiswa menyatakan bahwa nguwongke (menghargai orang sesuai
pemimpin lebih banyak memiliki sikap dengan derajat dan posisinya) berarti
perasaan yang positif terhadap menghargai diri sendiri.
lingkungannya dari pada pemimpin yang
punya sikap negatif serta kekurangan ANJURAN PERBUATAN
kepercayaan pada diri sendiri.Dapat Berlawan dari kata pantangan,
diambil kesimpulan bahwa pemimpin yang anjuran adalah hal yang pantas dilakukan,
baik lebih banyak memiliki emosi yang agar orang tersebut dapat mencapai
stabil daripada mereka yang bukan tujuannya, dengan mendengar nasihat yang
pemimpin. berisi pitutur sebagai arahan perbuatan
Pemimpin hendaknya berwatak utama sebagai seorang pemimpin yang
lembah manah (rendah hati) serta menjadi tauladan.
berwawasan ing ngarsa sung tuladha, ing Aja Rumangsa Bisa, Nanging Bisa
madya mangun karsa, dan tut wuri Rumangsa
handayani. Sebaliknya, janganlah Ungkapan aja rumangsa bisa,
mempercayakan sesuatu kepada orang nanging bisaa rumangsa (jangan merasa
yang berwatak sapa sira sapa ingsun (siapa bisa, tetapi bisalah merasa) memiliki
kamu, siapa aku) atau mban cindhe mban makna yang sangat strategis dan
siladan (pilih kasih). Ungkapan – mendalam untuk semua. Ungkapan itu
ungkapan itu sebagai gambaran pribadi bernada nasihat agar seseorang tumbuh
yang berwatak angkuh dan sewenang- menjadi sosok yang rendah hati,
wenang. Selagi menjadi pemimpin atau sebaliknya tidak tumbuh menjadi sosok
memangku jabatan, hargailah bawahan. yang tinggi hati atau sombong (Rukmana,
Kelak, jika diri kita menjadi bawahan dan 2006).
orang lain berkesempatan menduduki Sikap bisa rumangsa akan
jabatan, kita akan diperlakukan secara baik membawa pengaruh positif, baik terhadap
dan dihargai seperti kita telah diri sendiri maupun orang lain. Pertama,
memperlakukan dan menghargainya. bagi diri sendiri, ia tidak terjerumus pada
Sewaktu menjadi pejabat bersikaplah euphoria, budaya suka mencela yang
selalu nguwongke (menghargai orang lain, sebenarnya dirinya memiliki pamrih
warga atau bawahan). Karena pada pribadi, pamrih kelompok, atau pamrih
Kearifan Lokal Jawa Sebagai Basis Karakter Kepemimpinan…………………….Warih 271

golongan. Kedua, ia selalu terdorong untuk membantunya dalam menetukan tindakan


selalu berbuat yang melegakan atau yang harus dilaksanakan untuk mengatasi
mengenakkan hati dan perasaan orang lain masalah-masalah sosial (Gerungan, 2004).
sehingga memberikan suasana Pemimpin harus sensitive, dapat
damai,tenteram bagi pergaulan sosial. merasakan kebutuhan kelompok dan dapat
Pemimpin yang bisa rumangsa menilainya, membimbing anggota
(bisa merasakan keadaan yang dipimpin) kelompok ke suatu arah yang diinginkan
dapat membuat struktur yang jelas oleh anggota kelompok secara
walaupun yang dipimpin sedang keseluruhan. Ia harus berupaya pula agar
menghadapi tentang situasi rumit anggota dapat mencapai tujuan individual
(structuring the situation). Seorang dalam kelompok, dan menggabungkan
pemimpin harus dalam menafsirkan dan kepentingan individual tersebut dengan
menjelaskan situasi yang sulit itu dengan tujuan bersama kelompok.
cara yang memuaskan bagi semua anggota Selanjutnya, ia harus mengatasi
kelompoknya. Situasi yang sulit adalah perasaan-perasaan tidak aman dalam
situasi yang di dalamnya terdapat hal yang kelompok yang mungkin timbul apabila
kurang jelas. Dalam pekerjaan structuring kegiatannya di masa depannya belum
the situation, pemimpin menekankan segi jelas, dan tugas pemimpin juga
tertentu dan mengabaikan segi lainnya mengurangi perasaan tidak aman dengan
dalam situasi itu; ia membedakan yang memberikan kepastian dalam situasi yang
terpenting dari yang kurang penting, dan ia menimbulkan keragu-raguan. Pemimpin
memusatkan perhatian anggota kelompok yang bisa rumangsa dipastikan dapat
kepada tujuanyang harus dicapai oleh berpikir analogi imajinatif dan abtrak.
kelompok dalam situasi yang rumit itu Maksudnya, pemimpin yang demikian
dilihat dari seluruh kepentingan kelompok. berjiwa empati (dapat merasakan perasaan
Apabila para anggota menerima atau keadaan orang lain) dan dapat
interpretasi pemimpinnya mengenai situasi membayangkan berbagai keadaan yang
yang sulit itu, ia akan mempunyai suatu sedang maupun yang akan dialami oleh
frame of reference (kerangka pedoman) orang atau lembaga yang dipimpinnya.
yang tegas berlaku untuk semua Berbagai penelitian di lapangan
anggotanya, dan yang membantu industri dan kemiliteran menunjukkan
pandangan anggota masing-masing bahwa pemimpin kelompok mempunyai
terhadap situasi yang sulit itu, serta yang kecakapan untuk berpikir abstrak (ability
Diklus, Edisi XVII, Nomor 01, September 2013
272

inabstact thingking) yang lebih tinggi Sebaliknya potensi diri dikedepankan


daripada rata-rata anggota kelompok yang disebut rumangsa bisa.
mereka pimpin. Dalam seleksi perwira Berbagai derivasi kata rasa
tentara Inggris, ternyata bahwa taraf tersebut, menjadi layak apabila dikatakan
intelegensi yang tinggi (abstrak dan wong Jawa nggone rasa (orang Jawa
imajinatif) merupakan kriteria yang tepat tempatnya rasa). Bukan hanya itu, tetapi
untuk menyalurkan calon-calon perwira nilai rasa juga bertingkat seperti ora duwe
kearah penugasannya sebagai pemimpin saru siku (tidak berakibat buruk), ora
(Harris, 1949:7). idhep isin (tidak punya rasa malu), rai
Ditinjau dari filsafat rasa, Wong gedheg (berbuka dinding), hingga kata
Jawa nggone rasa ‘orang Jawa tempatnya kewirangan (lebih dari sekedar rasa malu).
rasa’. Rasa sebagai way of life. Sebagai Pujian terhadap ketajaman rasa, tanggap
bentu lingual, secara semantik kata rasa ing sasmita, lantip ng panggraita, hingga
dapat disepadankan dengan rasa dalam janma limpat seprapat tamat (tanggap
bahasa Indonesia. Namun dalam budaya dengan tanda, tajam nalurinya, manusia
Jawa kata rasa memiliki nilai mendalam yang tajam rasanya, diberi isyarat
(indepth feeling), bukan secara secara seperempat sudah mampu memahami
lahiriah atau kulitnya saja. Kadarisman semuanya). Ketajaman tingkatan sosial
(2005) menjelajahi lapis makna kata rasa. (status) diungkapkan dengan rasa
Makanan lezat dikatakan enak rasane atau peribahasa dhupak bujang, esem mantri,
mirasa. Bumbu masakan yang terasa sedap semu bupati (tendangan bagi pelayan,
disebut mirasa. Betah di suatu tempat senyuman bagi si mantri, dan isyarat bagi
disebut krasan. Menggunjing orang lain sang bupati). Semakin tinggi tingkatanya,
disebut ngrasani. semakin tinggi pula rasa pangrasa-nya.
Pertimbangan untuk mencari solusi Dalam peribadatan rasa memiliki
disebut bawa rasa. Menyadari sesuatu atas tingkatan tertinggi, yakni sembah raga,
kesalahan diri disebut rumangsa.Terlalu sembah, cipta, sembah jiwa, dan sembah
percaya diri disebut kegedhen rumangsa rasa. Penyatuan rasa dalam menyembah
(GR: gede rasa). Orang yang tajam nalar Tuhan menumbuhkan keyakinan golog-
dan nalurinya disebut landhep pangrasane. gilig, manunggaling kawula Gusti, dalam
Orang yang menyadari potensi dirinya dimensi mikrokosmos dan makrokosmos.
dengan renah hati disebut bisa rumangsa. Geertz (dalam Kadarisman, 2005)
Kearifan Lokal Jawa Sebagai Basis Karakter Kepemimpinan…………………….Warih 273

menyatakan The basic relegious truth lies dengan suasana antara lelap dan
in the equation: rasa = aku = Gusti. At jaga,bagaikan kilasan mimpi,begitulah
ultimate level of experience and existence, selinap sadar dari rasa sejati)
all people are one and the same and there Selain filsafat rasa itu terkandung
is no individuality, for rasa, aku, and Gusti dalam tembang yang berisi nasehat yang
are eternal objects the same in all people. baik, filsafat rasa juga ada pada unen-unen
Dalam hal demikian filsafat rasa pitutur luhur dalam rangkaian kalimat
bersifat monistik dan patheistik (sawiji seperti ini : Dengan pola pikir narima ing
sejatine loro, loro, loroning atunggal). pandum, nanging aja kendhat ing
Manunggaling atau pamoring kawula panuwun, manungsa mung saderma,
Gusti (menyatunya suksma atau wajibe ambudidaya, menep ing rasa, urip
menyatunya ruh insani dan ruh yang Ilahi) neng donya mung sedhela kaya mung
seperti tercermin dalam tembang Pangkur mampir ngombe, alon-alon, waton,
dalam Wedhatama (KGPPA kelakon. Menerima kodrat, tetapi tidak
Mangkunegara IV). berhenti dalam usaha, karena manusia
Pangkur Pangkur hanya menjalankan kodrat. Pelan-pelan
dalam bertindak/berhati-hati,
Tan samar pamoring Tidak akan
suksma kesamaran menggunakan dasar/aturan, sehingga
Sinukmaya winahya petunjuk Illahi
tercapai apa yang diinginkan, dengan
ing asepi Yang disampaikan
Sinimpen telenging di waktu sepi kerendahan hati) membuat jiwa menjadi
kalbu Tersimpan di
tenang, tidak memiliki harapan yang tidak
Pambukane warana dalam hati
Tarlen saking liyep Yang dapat sesuai dengan kemampuan, sehingga jiwa
layaping aluyup membuka tabir
menjadi tenang, tenteram, sabar, penuh
Pindha pesating Pada saat setengah
supena tidur dengan kepasrahan.
Sumusuping rasa jati Bagaikan lepasnya
Sikap manunggaling kawula Gusti
mimpi
(Siswokartono, Yang merasuk ke dapat menumbukan bisa rumangsa,
2006) rasa sejati
narima ing pandum, akan pemberian yang
Mahakuasa, manungsa hamung saderma
nglakoni pindhane wayang’ manusia
(Tiada diragukan menyatunya suksma,
hanyalah makhluk bagaikan wayang yang
menembus yang semu, diwahyukan dalam
siap dimainkan oleh ki dalang’. Sikap
keheningan,tersimpan rapat di kedalaman
menerima apa yang diberikan oleh Yang
kalbu’,tempat terbukanya tabir, tiada beda
Mahakuasa dan kesadaran diri bahwa
Diklus, Edisi XVII, Nomor 01, September 2013
274

manusia hanyalah hamba yang siap dengan leksana cocok dan tepat dimiliki oleh
takdirnya membuat manusia merasa seorang pemimpin, baik pemimpin dalam
tentram, tidak terlalu muluk harapan, jajaran pemerintahan atau instansi lainnya.
sehingga secara jiwa menjadi tenang. Seorang pemimpin yang mampu
bersikap berbudi bawa leksana akan
Berbudi Bawa Leksana memberikan ketentraman dan kepuasan
Berbudi bawa leksana dalam kepada rakyatnya. Dalam melaksanakan
kaitannya dengan sosok seorang pemimpin amanah yang dittitipkan kepadanya, ia
atau kewajiban dari seseorang yang diberi akan memegang teguh semua keputusan
amanah untuk memimpin. Berbudi artinya yang ada. Keputusan tersebut jelas
suka berderma, bawa artinya ‘ucapan’ atau mengarah kepada kebaikkan bersama, baik
‘perkataan’, dan laksana artinya ‘laku’ kebaikan kepada pemerintah maupun
atau ‘laksana’. Dengan demikian, berbudi kepada rakyatnya. Sebagai pimpinan, ia
bawa leksana sebagai gambaran watak akan menjalankan semua peraturan dengan
yang memiliki pribadi suka berderma dan penuh dedikasi demi kemaslahatan
konsekuen dalam setiap ucapan dan rakyatnya. Sikap semacam itu akan
tindakannya. Oleh sebab itu, seseorang memberikan kepastian hukum bagi
(pemimpin formal/ non formal, atau masyarakat.
siapapun juga) akan memiliki watak Sikap berbudi bawa leksana akan
berbudi bawa leksana jika setiap mendorong roda kepemimpinan atau
ucapannya dilaksanakan dengan penuh pemerintahan yang bersih dan berwibawa
konsekuen dan tanggung jawab (Pardi, karena didukung oleh semangat demi
Edi, Warih, 2006: 369-373). tegaknya peraturan yang telah ditetapkan
Orang yang berperilaku berbudi dan diamanatkan kepadanya untuk
bawa leksana cenderung bersikap dijalankan. Ia akan menempatkan dirinya
member/beramal atau tidak pelit kepada sebagai sosok teladan (tepa tuladha) bagi
bawahan atau orang lain, serta cermat dan rakyatnya dan melaksanakan tugas secara
hati-hati sebelum dirinya menyampaikan tepat sebagai pemimpin. Pemimpin harus
ucapan atau memutuskan sesuatu masalah dapat mengawasi tingkah laku individual
yang menuntut dirinya harus bertanggung yang tidak selaras dan menyeleweng.
jawab atas segala yang diputuskannya. Seorang pemimpin harus berupaya untuk
Dalam kaitan ini, sikap berbudi bawa menepati peraturan yang dibuat oleh
Kearifan Lokal Jawa Sebagai Basis Karakter Kepemimpinan…………………….Warih 275

kelompok yaitu dengan menggunakan Sikap berbudi bawa leksana linear


penghargaan dan hukuman. dengan sapa nandur bakal ngundhuh, sapa
Pemimpin membuat peraturan gawe bakal nganggo ‘siapa yang menanam
sendiri untuk dapat menyalurkan aktivitas akan menunai, siapa yang memhuat akan
anggota kelompok sehingga selaras memakai’. Intinya, bahwa setiap ucapa dan
dengan peraturan kelompok. Dalam sikap akan mendapatkan balasan, baik di
mengawasi kegiatan tingkah laku dunia maupun di akherat. Seorang
kelompok, ia seharusnya menjaga agar pemimpin masyarakat, yang memiliki
peraturan kelompok tidak disalahgunakan watak berbudi bawa leksana pasti
oleh individu, tetapi sebaliknya ia juga mendapatkan kepercayaan dari masyarakat
harus berjaga-jaga agar individu tidak yang dipimpinnya. Dengan demikian,
disalahgunakan oleh kelompok. kepercayaan itu berpengaruh pada
Sikap semacam itu sebagai teladan penghargaan bawahan kepada pimpinan
nyata bagi siapapun dan justru mendorong sehingga seorang pemimpin yang berbudi
bawahan (kelompoknya) mengambil bawa leksana mendapatkan dukungan dari
teladan dari atasannya. Sosok pemimpin rakyat secara utuh.
yang semacam itu benar-benar sebagai Dalam tembang Sinom berikut
kaca benggala yang riil bagi rakyatnya. disarankan bahwa pemimpin seyogyanya
Sikap semacam itu sejalan dengan pribadi mencontoh Panembahan Senopati, yakni
bangsa kita yang masih berpikir pemimpin yang dapat menahan emosi
paternalistic, artinya ‘berorientasi kepada (amarah), berlaku prihatian, memikirkan
atasan’. Jika bawahan telah mau rakyatnya (yang dipimpinnya) siang dan
mengambil teladan dari atasan, dan atasan malam, dan senantiasa membuat enak hati
senantiasa memberikan teladan yang baik, sesamanya. Berikut kutipan tembang
dilandasi dengan sikap berbudi bawa Sinom itu.
leksana, tidak mustahil terdapat hubungan
yang harmoni antara pimpinan dan
bawahan sehingga dicapai sinergi yang
positif. Apalagi jika sikap berbudi bawa
leksana dimiliki oleh atasan dan bawahan,
pastilah terwujud roda kepimpinan yang
clear (bersih) dan berwibawa.
Diklus, Edisi XVII, Nomor 01, September 2013
276

Sinom karma dari kata cendhek (rendah), dan


Contohlah perilaku
asor (hina, rendah, bawah, jelek – bentuk
Nuladha laku utama utama
Tumrape wong tanah Bagi orang Jawa karma dari elek (jelek, hina), ngisor
Jawi Adalah raja di (bawah). Sebagai untaian kata yang sudah
Wong agung ing Ngeksiganda
Ngeksiganda Penembahan maton (tetep, ajeg), ungkapan itu tidak
Panembahan Senapati Senapati lazim diubah menjadi bentuk ngoko
Kepati amarsudi Besar tekadnya
Sudanen hawa lan nepsu Untuk menahan sehingga menjadi lembah ati atau cendhek
Pinesu tapa brata hawa napsu ati, karena tidak pas dan tidak
Tanapi ing sing ratri Berlaku prihatin
Amemangun karyenak Siang dan malam mengungkapkan makna yang semestinya.
tyasing sasama Senantiasa membuat Ungkapan itu harus tetap diucapkan
enak hati sesama
(Siswokartono, 2006) lembah manah atau andhap asor (rendah
hati).
Tembang tersebut merupakan
Sebenarnya, lembah manah dan
pegangan manusia untuk dapat bertindak
andhap asor itu maknanya sama yakni
utama,menahan hawa nafsu, giat
rendah hati. Keduanya dihadirkan
melaksanakan prihatin (bertapa) siang
bersama-sama sebagai bentuk penyangatan
malam, akhirnya wicara dan perilaku dapat
terhadap pentingnya sikap rendah hati
menyenangkan orang lain. Menahan hawa
orang Jawa. Kerendahan hati orang Jawa
nafsu dapat menghindarkan depresi.
dapat terefleksi dari sikap dan ucap. Sikap
Karena nafsu adalah keinginan yang kuat.
terkaitan dengan perilaku yang sopan, dan
Pengendalian hawa nafsu berarti
ucap dengan tutur kata yang santun.
menyesuaikan keinginan dengan
Pemimpin menjadi ‘juru bicara”
kemampuan. Selain itu untuk mengasah
(spokesman) kelompoknya (speaking for
kejiwaan, orang perlu melakukan laku
the group). Sementara itu, ia harus dapat
prihatin, tapa brata, siang dan malam,
merasakan dan menerangkan kebutuhan
sehingga jiwanya terkendali.
kelompok ke dunia di luarnya, yaitu baik
Lembah Manah lan Andhap Asor
mengenai sikap kelompok maupun
Ungkapan ini terkait dengan sikap
mengenai harapan, tujuan dan
hidup orang Jawa menjaga hubungan
kekhawatiran kelompok. Untuk dapat
sosial dengan orang lain. Untaian kata
menjadi juru bicara dari kelompok itu, ia
tersebut terdiri atas kata lembah (rendah),
harus dapat menafsirkan sendiri dimana
manah (hati – bentuk karma dari kata ati
letak kebutuhan kelompok secara tepat.
(hati) , lan (dan), andhap (rendah – bentuk
Kearifan Lokal Jawa Sebagai Basis Karakter Kepemimpinan…………………….Warih 277

Inilah garis besar tugas dan bait macapat yang menyarankan


tanggung jawab seorang pemimpin seperti karateristik orang Jawa yang andhap asor
yang dikemukakan oleh kaum dinamika (rendah hati) dan sangat populer
kelompok, dan merupakan anjuran yang dimasyarakat, seperti kutipan berikut .
sesuai dengan kepemimpinan yang Mijil
bercorak group-centerd leadership, suatu
Dedalane guna lawan (Orang yang) pandai
cara kepemimpinan yang bersifat sekti dan sakti
kudu andhap asor harus rendah hati
demokratis.
wani ngalah luhur berani mengalah
Sikap hidup andhap asor atau wekasane luhur pada akhirnya
tumungkula yen menunduklah jika
lembah manah (rendah hati) menjadi aspek
dipundukani dinasehati
penting dalam budaya Jawa. Hal itu bapang densimpangi rintangan dihindari
ana catur mungkur ada gossip,
dibuktikan dengan adanya beberapa
menghindar
ungkapan yang intinya menasihatkan (Paku Buwono, 2009)
kepada siapapun agar memiliki watak
rendah hati, tidak congkak, seperti
Sikap andhap asor (rendah hati)
ungkapan aja adigang, adigung, adiguna
tidak melihat orang yang dihadapi. Jika
(jangan menyombongkan kedudukan,
andhap asor (rendah hati) menjadi ukuran
kekuatan, kepandaian), ngerti eman papan
kedewasaan dan kehormatan seseorang,
( mengerti tempat dan kedudukannya), aja
sikap rendah hati semestinya diperankan
seneng lamun ginunggung (jangan senang
oleh siapapun. Pimpinan menghormati
jika disanjung), ora serik lamun diina
bawahan, dan bawahan menghargai
(jangan marah jika dihina), ngalah ora
atasannya. Anak menghormati orang
ateges kalah ( mengalah tidak berarti
tuanya, sebaliknya orang tua menghargai
kalah), dan sebagainya.
anaknya, Itu adalah cerminan sikap andhap
Etika Jawa mengajarkan
asor (rendah hati).
pentingnya seseorang untuk menghindari
sikap congkak atau tinggi hati. Orang yang
Wani Ngalah Luhur Wekasane
tinggi hati dinilai negatif, akan menjadi
Orang Jawa memang memiliki
rerasanan (pergujingan) orang banyak.
sikap tenggang rasa yang sangat tinggi.
Bagaimana sikap andhap asor (rendah hati)
Dalam berbagai urusan dengan orang lain,
Jawa banyak dimuat dalam beberapa karya
selalu berupaya tidak menonjolkan pamrih
sastra Jawa peninggalan para pujangga
pribadi, mementingkan kepentingan
Jawa jaman dahulu. Bahkan, terdapat bait-
bersama dan menjujung tinggi
Diklus, Edisi XVII, Nomor 01, September 2013
278

kebersamaan atau menghargai orang lain. seseorang yang selalu ngotot dalam
Dalam kaitan ini, orang rela berpendapat, atau dalam mencapai suatu
mengorbankan pamrih pribadi. Dalam tujuan tanpa memperhatikan situasi dan
konteks ini, orang selalu diingatkan kondisi, justru dinilai sebagai sosok yang
melalui nasehat wani ngalah luhur tidak atau belum dewasa.
wekasane. Ungkapan ini terbentuk dari Orang yang berperilaku ngalah
kata-kata wani (berani), ngalah (mengalah) termasuk orang yang mampu
(mengalah), luhur (tinggi luhur), dan menjaga keharmonisan hidup sosial. Ia
wekasane (pada akhirnya, kelak), sehingga bersikap demokratis. Pemimpin yang
arti keseluruhannya adalah ‘berani demokratis mengajak anggota kelompok
mengalah, untuk keluhuran/kebaikan untuk menentukan bersama tujuan
bersama’ (Soesilo, 2003). kelompok serta perencanaan langkah-
Ungkapan ini masih sering langkah pekerjaan. Penentuan tersebut
dijadikan pegangan hidup dalam berbagai adalah secara musyawarah dan mufakat.
persoalan. Pada umumnya, di samping Pemimpin memberikan bantuan atau
muncul dari kesadaran pribadi, nasehat nasihat kepada anggota kelompok dalam
wani ngalah luhur wekasane juga pekerjaannya. Selain itu, ia pun
disampaikan oleh orang-orang tua memberikan saran mengenai berbagai
meredam emosional anak-anaknya, kemungkinan pelaksanaan pekerjaan yang
tetangganya, rekan-rekannya. Masyarakat dapat mereka pilih sendiri mana yang
Jawa menilai bahwa sikap dan perilaku terbaik. Pemimpin demokratis
ngalah (mengalah) benar-benar bukan memberikan penghargaan dan kritik secara
berarti kalah. Oleh sebab itu, perilaku objektif dan positif. Dengan tindakan
ngalah (mengalah) tidak dinilai sebagai demikian, pemimpin demokratis itu
pihak yang bersalah atau negative. berpartisipasi, ikut serta dengan kegiatan
Sebaliknya, seseorang yang berani kelompok. Ia bertindak sebagai seorang
bersikap dan berperilaku ngalah kawan yang lebih berpengalaman dan turut
(mengalah) dinilai positif karena mampu serta dalam interaksi kelompok dengan
menekan pamrih pribadinya. Ia dinilai peranan sebagai kawan yang lebih matang
telah mampu mengendalikan nafsunya tadi.
sehingga dapat mengesampingkan Pemimpin yang memiliki karakter
keinginan dirinya. Sementara itu, wani ngalah luhur wekasane dipastikan
Kearifan Lokal Jawa Sebagai Basis Karakter Kepemimpinan…………………….Warih 279

memiliki persespi sosial yang baik. KESIMPULAN


Persepsi sosial merupakan salah satu ciri Berdasarkan uraian di atas
pemimpin yang baik. Persepsi sosial disimpulkan bahwa kearifan lokal dapat
adalah kecakapan untuk cepat melihat dan menjadi basis kepemimpinan. Oleh karena
memahami perasaan, sikap, dan kebutuhan revitalisasi kearifan lokal dapat menjadi
anggota kelompok. Kecakapan ini basis karakter kepemimpinan. Kearifan
diperlukan untuk memenuhi tugas lokal yang dapat menjadi masukan
pemimpin seperti yang dikemukakan oleh karakter kepemimpinan dipilah menjadi
kaum dinamika kelompok untuk dua, yakni pantangan dan anjuran.
menjalankan group-centered ledership. Karakter kepemimpinan yang berupa
Kecakapan ini dapat dipelajari melalui pantangan antara lain: adigang, adigung,
pendidikan afeksi (LeBlanc dan Gallavan, adiguna; aja dumeh, dan sapa sira sapa
2009). Pendidikan afeksi yang dimaksud ingsun. Karakter lokal kepemimpinan
dalam kajian ini seperti yang telah anjuran antara lain: aja rumangsa bisa,
diuraikan dalam kearifan lokal yang nanging bisa rumangsa, berbudi bawa
menjadi basis kepemimpinan. leksana, lembah manah, andhap asor,
Anggota keempat kelompok itu wani ngalah luhur wekasane.
diteliti dengan suatu skala sikap, yaitu
semacam tes yang dapat menilai sampai UCAPAN TERIMA KASIH
dimana seseorang dapat menangkap dan Dicapkan terima kasih kepada
memahami sikap anggota keempat redaktur Jurnal Pendidikan Luar Sekolah
kelompok itu diajukan pertanyaan untuk atas koreksinya. Ucapan terima kasih juga
menyebut nama satu orang kawan kami sampaikan kepada teman sejawat
kelompoknya yang menurut pendapatnya (guru dan dosen Pendidikan Bahasa Jawa)
paling cakap untuk memimpin yang dengan terbuka dan senang hati
kelompoknya yang menurut pendapatnya menjadi mitra diskusi. Demikian pula
paling cakap untuk memimpin kelompok. teman-teman yang bersedia meminjamkan
Dengan demikian, dapat diketahui siapa di referensi untuk pengayaan tulisanya.
antara anggota kelompok dianggap paling
cakap sebagai pemimpin oleh kawan- DAFTAR PUSTAKA
kawannya. Dimermen, Sara. 2009. Character is The
Key. Canada: Wiley.
Gerungan, W.A. 2004. Psikologi Sosial.
Bandung: PT Refika Aditama.
Diklus, Edisi XVII, Nomor 01, September 2013
280

Hill, T.A. 2005. Character First! Kimray


Inc. http://www.charactercities.org/
Kadarisman, A Effendy. 2005. Sketsa
Puitika Jawa: Dari Rima Anak-Anak
sampai Filsafat Rasa. Makalah.
Malang: UNM.
Leblance, Patrice R & Gallavan, Nancy P.
2009. Affective Teacher Education.
New York: Association of Teacher
Education.
Munandar, Ashar Sunyoto. 2006.
Psikologi Industri dan Organisasi.
Jakarta: UI Press.
Paku Buwono. 2009. Wulangreh.
http://seratsuluk.wordpress.com/200
9/10/31/serat-wulangreh
Siswokartono, WE Soetomo. 2006. Sri
Mangkunegara IV sebagai
Penguasa dan Pujangga.
Semarang: Aneka Ilmu.
Suratno, Pardi; Setiyanto, Edi; Jatirahayu,
Warih. 2006. Kamus Jawa –
Indonesia dan Mutiara Budaya
Jawa. Yogyakarta: Tiara Wacana
Yogya.
Paku Buwono. 2009. Wulangreh. Dalam
seratsuluk.wordpress.com/2009/10/
31/serat-wulangreh/
Rukmana, Siti Hardiyanti. 2004. Butir-
Butir Budaya Jawa. Jakarta:
Yayasan Purna Bakti Pertiwi.
Soesilo. 2003. 80 Piwulang Ungkapan
Orang Jawa. Jakarta: Yusula.

Anda mungkin juga menyukai