Anda di halaman 1dari 14

ANALISA JURNAL

“PENGKAJIAN RESIKO BUNUH DIRI PADA 24 JAM PERTAMA


SETELAH MASUK RUMAH SAKIT JIWA”

Dalam Rangka Memenuhi Salah Satu Tugas Praktik Profesi Keperawatan Stase Keperawatan Jiwa

DISUSUN OLEH :

Ardhini Maurytania (02/161606/EIK/0257)


Donnie Al Ifhan (04/181056/EIK/0414)
Sri Ratna Widyowati (05/183892/EIK/0462)
Eka Isranil Laily (01/144700/KU/09870)
Rusjini (03/170920/KU/10866)
Antom Kurnia (03/171086/KU/10903)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Y O G Y A K A R T A
2 0 0 7

0
PENGKAJIAN RESIKO BUNUH DIRI PADA 24 JAM PERTAMA
SETELAH MASUK RUMAH SAKIT JIWA
Mark J. Russ, M.D., Todd Kashdan, B.A., Simcha Pollack, Ph.D. and
Senada Bajmakovic-Kacila, M.D.

ABSTRAK
Pada 69 pasien yang masuk rumah sakit karena mempunyai resiko bunuh diri, ternyata 30
pasien (44 %) benar-benar tidak mempunyai ide bunuh diri (bebas dari ide bunuh diri) pada 24 jam
pertama setelah masuk rumah sakit. Penilaian yang dilakukan dengan menggunakan Skala Ide Bunuh
Diri pada waktu pasien masuk rumah sakit digunakan untuk membedakan kelompok pasien yang
terus-menerus mempunyai ide bunuh diri pada 24 jam selanjutnya (kelompok SUSTAINED) dengan
kelompok pasien yang tidak mempunyai ide bunuh diri secara terus-menerus (kelompok
TRANSIENT /ide bunuh diri sementara). Kelompok TRANSIENT mempunyai kemungkinan bunuh diri
yang lebih besar pada minggu-minggu sebelum masuk rumah sakit daripada kelompok SUSTAINED.
Pasien-pasien yang masuk rumah sakit pada kelompok SUSTAINED mungkin lebih mempunyai gejala-
gejala psikotik dan riwayat keluarga dengan gangguan jiwa.

PENDAHULUAN
Informasi klinik yang diperoleh dari pengkajian tentang faktor-faktor resiko bunuh diri adalah
hal utama (penting) dalam pengambilan keputusan ketika dokter dihadapkan dengan kenyataan pada
perawatan pasien di rumah sakit yang beresiko melakukan percobaan bunuh diri. Faktor-faktor resiko
yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri, cenderung mempunyai tingkat sensitivitas yang tinggi,
yaitu mampu untuk mengidentifikasi/menunjukkan orang-orang yang mungkin beresiko melakukan
bunuh diri. Bagaimanapun juga, faktor-faktor resiko tersebut hanya mempunyai ciri khusus, atau
kemampuan yang rendah untuk mengeluarkan pasien yang tidak terus-menerus mempunyai ide
bunuh diri. Demikianlah, kemampuan faktor – faktor resiko tersebut untuk memprediksikan resiko
percobaan bunuh diri telah sangat disepakati. Jika ada suatu ketidakpastian dalam memprediksikan
prilaku bunuh diri, maka dokter cenderung untuk memondokkan (merawat inap) pasien, meskipun
sebenarnya data empiris kurang menunjukkan bahwa rawat inap (hospitalisasi) secara mendadak
efektif dalam menurunkan resiko bunuh diri.
Hal ini telah menjado kesepakatan bersama di klinik kami bahwa alasan dasar para pasien
dimasukkan ke rumah sakit kami karena mereka dianggap mempunyai faktor resiko yang signifikan
sehingga tidak lama kemudian akan melakukan bunuh diri secara mendadak. Tujuan dari study ini
adalah secara sistematik meneliti kesepakatan klinik tersebut. Jika hal tersebut telah disyahkan kami
berpikir untuk menentukan apakah batasan demografi dan variabel klinik yang dipilih dapat
membedakan kelompok TRANSIENT dan SUSTAINED.

1
METODE
Subyek penelitian terdiri dari 26 pasien laki – laki dan 43 pasien perempuan yang masuk
rumah sakit Hillside-Pusat Pengobatan Long Island Jewish, dengan resiko bunuh diri cukup untuk
digunakan sebagai alasan pasien dirawat inap, sebagai pertimbangan/keputusan oleh Admitting
Physician. Dari 4 pasien yang dimasukkan secara sukarela, para pasien dikeluarkan dari penelitian jika
mereka kurang cakap untuk menulis informed consent untuk partisipan. Tidak ada pasien yang
dikeluarkan dari penelitian berdasrkan diagnosis.
69 pasien telah dikaji selama 24 jam setelah masuk rumah sakit pada pusat pelayanan. 19
pasien diantaranya juga diwawancarai pada saat masuk rumah sakit karena petugas penelitian
mampu melaksanakannya. Petunjuk wawancara yang digunakan sama dengan yang digunakan pada
subsampel yang terdiri dari 19 pasien yang telah dikaji saat masuk rumah sakit. Studi instrumen ini
telah dilakukan 2 kali pada pasien.
Data-data dikumpulkan selama wawancara, termasuk data demografik dan riwayat yang
berhubungan dengan penyakit/gangguan jiwa serta penanganannya. Beberapa instrumen yang telah
digunakan antara lain Scale for Siucide Ideation (SSI), Beck Hopelessness Scale (BHS), Brief
Psychiatric Rating Scale (BPRS), dan Life Events Inventory. Data-data tambahan dikumpulkan sesuai
dengan DSM-IV axis I dan axis II yang diperoleh dari Rekam Medik, serum kolesterol karena observasi
yang pernah dilakukan menghubungkan antara tingkat kolesterol serum rendah dengan perilaku
bunuh diri, dan lamanya klien dirawat di rumah sakit/pusat pelayanan.
Pasien-pasien yang telah dikelompokkan ke dalam kelompok TRANSIENT, jika pada 24 jam
follow-up mempunyai skor nol (0) yang ditemukan pada 5 item pertama pada SSI, hal ini
mengindikasikan tidak adanya ide-ide bunuh diri. Pasien-pasien yang dilaporkan mempunyai ide-ide
bunuh diri pada 24 jam follow-up selama pengukuran dengan SSI dikelompokkan ke dalam kelompok
SUSTAINED.
Perbandingan antara kelompok TRANSIENT dan SUSTAINED ditunjukkan dengan analisis Chi-
Square untuk variabel non-kontinyu, dan TRANSIENT-Test Independent serta pengukuran ulang
dengan analisis variansi (ANOVA) untuk variabel kontinyu.

HASIL
Dari 69 pasien yang mempunyai resiko bunuh diri, 30 orang (44 %) bebas dari ide-ide bunuh
diri pada 24 jam pertama setelah masuk rumah sakit. Mean±SD umur dari pasien kelompok tersebut
adalah 38±18 tahun. 39 pasien yang lain digolongkan dalam kelompok SUSTAINED pada 24 jam
pertama setelah masuk rumah sakit. Mean±SD umur kelompok ini adalah 38±12 tahun.
Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok TRANSIENT dan kelompok SUSTAINED
yang ditemukan berdasarkan perbedaan jenis kelamin, ras, agama, status perkawinana, pada anak
(<18 tahun) yang tinggal di rumah, orang yang hidup sendiri, para pekerja, manajer/pimpinan,
pendidikan tingkat tinggi, umur, dan jumlah stressor kehidupan, serta perilaku kekerasan yang
nampak.

2
Proporsi pasien pada kelompok SUSTAINED dan TRANSIENT tidak mempunyai perbedaan
dalam hal gangguan afektif pada axis I (masing-masing 83% dan 87%), axis II (30% dan 36%),
riwayat penganiayaan (10% dan 28%), dan riwayat bunuh diri pada keluarga (37% dan 36%).
Sebagai tambahan, bahwa tidak ada perbedaan yang ditemukan antara kelompok TRANSIENT
dan SUSTAINED dalam hal mean±SD percobaan bunuh diri semasa hidup (masing-masing 1,7±1,9
kali, dan 3,1±5,1 kali), frekuensi rawat di rumah sakit (3±5,8 kali dan 5,1±7,4 kali), tingkat serum
kolesterol (195±40 mg/dL dan 201±51 mg/dL), dan lama perawatan di rumah sakit (16±14,2 hari
dan 15,5±11,5 hari).
Pasien kelompok TRANSIENT mungkin lebih beresiko melakukan percobaan bunuh diri pada
minggu-minggu sebelum masuk rumah sakit, daripada kelompok SUSTAINED (50% vs 23%). Pasien
kelompok SUSTAINED mungkin lebih mempunyai riwayat penyakit jiwa pada keluarga daripada
kelompok TRANSIENT (47% vs 68%), dan mempunyai gejala psikosis pada saat pasien masuk rumah
sakit (43% vs 60%).
Penilaian psikologis dianalisa secara terpisah pada pasien, yang dievaluasi pada 24 jam
pertama setelah masuk rumah sakit, dan untuk itu evaluasi dilakukan pada 24 jam pertama setelah
masuk rumah sakit maupun 24 jam setelahnya. Dari hasil observasi menunjukkan bahwa pasien-
pasien pada kelompok TRANSIENT mempunyai skor yang lebih rendah pada semua skala penilaian.
Hal ini mengindikasikan adanya pengurangan gejala-gejala perilaku kekerasan secara signifikan, dan
berkurangnya perilaku perusakan selama 24 jam setelah masuk rumah sakit serta selama follow-up 24
jam setelahnya.
Suatu kelompok dengan waktu interaksi yang terbukti dengan skor yang jelas pada SSI, BDI,
BHS, dan BPRS pada 19 pasien yang dikaji pada 2 kesempatan. Semua skor meningkat pada 24 jam
pertama setelah masuk rumah sakit pada kelompok TRANSIENT. Terlebih lagi, skor pasien saat masuk
rumah sakit pada SSI total dan pada 5 item pertama memprediksikan apakah mereka akan
dikelompokkan setelah 24 jam sebagai kelompok TRANSIENT atau SUSTAINED. Pada saat masuk
rumah sakit, skor SSI pada pasien kelompok TRANSIENT mempunyai perbedaan yang bermakna,
yaitu lebih rendah daripada kelompok SUSTAINED. Skor SSI total (t=2,62; df=12,4; pasien=0,002),
dan skor SSI pada 5 item pertama (t=2,14; df=17; pasien=0,047).

DISKUSI DAN PEMBAHASAN


Menggunakan kriteria “tidak ada ide bunuh diri” yang diusulkan oleh Beck, dkk, kami
menegaskan kesepakatan klinik kami bahwa beberapa pasien yang masuk rumah sakit karena
mempunyai resiko bunuh diri.
Beberapa penjelasan yang bisa diterangkan dari observasi ini adalah awalnya mungkin
dimunculkan resiko bunuh diri yang dilebih-lebihkan dan perawatannya tidak tepat pada beberapa
pasien yang sudah aman, dapat beristirahat dan mendapat dukungan dari rumah sakit.
Penemuan pendahuluan ini memberikan petunjuk untuk penelitian berikutnya. Skor SSI saat
masuk rumah sakit dihubungkan dengan kelompok TRANSIENT dan tetap dalam jangka waktu 24 jam

3
pertama setelah masuk rumah sakit. Skor yang lebih rendah dihubungkan dengan ide-ide bunuh diri
sementara (TRANSIENT), dan nilainya lebih tinggi pada ide-ide bunuh diri terus-menerus
(SUSTAINED). Tidak ditemukan pasien baru yang melakukan percobaan bunuh diri setelah adanya ide
bunuh diri setelah 24 jam perawatan. Usaha bunuh diri berhenti mempengaruhi dysphonic dan ide
bunuh diri menjadi hilang/berkurang. Ide yang sama ditunjukkan pada pasien yang melukai diri
sendiri dengan gangguan kepribadian borderline.
Kami tidak memberikan saran untuk dilakukannya perubahan pada praktik klinik untuk
perawatan dan untuk pengkajian individu dengan resiko bunuh diri dan kebutuhan untuk hospitalisasi.
Penelitian ini mempunyai keterbatasan dengan ukuran sampel yang sedikit, jumlah variabel
yang besar, tidak ada format pengkajian diagnostik, jumlah pasien sukarelawan yang banyak sebagai
tambahan, penelitian ini tidak menguji karakteristik pembuatan keputusan dari dokter. Keterbatasan
ini mempengaruhi validitas dan pengeneralisasian temuan penelitian.

4
TINJAUAN TEORI
PERILAKU BUNUH DIRI

A. Definisi
Pengertian bunuh diri adalah tindakan agresif atau maladaptif dengan melukai dir sendiri
dan dapat mengakhiri hidupnya (Stuart & Sundeen, 1998)
Bunuh diri meliputi keinginan secara sadar untuk mati dan diiringi tingkah laku untuk mewujudkan
keinginan tersebut (Komisi Bunuh Diri, cit. Rawlin’s, 1993).

B. Rentang Respon “Self-Protective” Stuart & Sundeen, 1998

Respon Adaptif Respon Maladaptif

Menghargai Berani ambil Tingkah laku Merusak diri Bunuh diri


diri atau resiko dalam merusak diri
meningkatkan mengembang secara tidak
diri kan diri langsung

Gambar 1. Rentang Respon Bunuh Diri

Perlindungan dan pertahanan diri adalah kebutuhan fundamental dalam setiap kehidupan.
Dalam rentang respon “Self-Protection” menghargai diri sebagai respon yang sangat adaptif,
tingkah laku merusak diri, melukai diri dan bunuh diri sebagai respon maladaptif. Tingkah laku
merusak diri menjadi rentang/batas lemah dari adaptif ke maladaptif.
Tingkah laku merusak diri secara langsung terdapat beberapa bentuk didalamnya seperti
ancaman, percobaan, gerak isyarat dan bunuh diri yang lengkap. Seseorang ini bermaksud untuk
mati dan sadar terhadap tindakannya.
Tingkah laku merusak diri secara tidak langsung adalah aktivitas tidak sadar yang merusak
fisik seseorang, yang beresiko terjadi kematian. Dimana seseorang mungkin tidak sadar bahwa itu
beresiko dan menyangkal bila dikonfrontasi, contohnya menolak makan dan penyalahgunaan
alkohol serta obat-obatan. Contoh lain : penyimpangan tingkah laku sosial (menarik diri), kondisi
stress/depresi, menolak pengobatan dan perawatan.
Teori menyatakan bahwa tingkah laku merusak diri dapat dihubungkan dengan konsep diri
dan gangguan alam perasaan (mood), memikirkan atau mencoba bunuh diri ada pada seseorang
yang rendah penghargaan dirinya, harga diri rendah yang mengarah pada depresi, yang sering
diketahui mengakibatkan tingkah laku merusak diri (Stuart & Sundeen, 1998).

5
Rawlin’s, et.al, (1993) mengemukakan bahwa individu berharapan. Rentang harapan-putus
harapan merupakan rentang adaptif-maladaptif (lihat gambar 2)
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Harapan : Putus Harapan :
 Yakin  Tidak berdaya
 Percaya  Putus asa
 Inspirasi  Apatis
 Tetap hati  Gagal dan kehilangan
 Ragu-ragu
 Sedih
 Depresi
 Bunuh diri
Gambar 2. Rentang Harapan-Putus Harapan (Rawlin’s, et.al, 1993)

Individu putus harapan menunjukkan perilaku yang tidak berdaya, putus asa, apatis,
kehilangan, ragu-ragu, sedih, depresi, serta yang paling berat adalah bunuh diri.
Ketidakberdayaan, keputusasaan, apatis. Individu tidak berhasil memecahkan masalah akan
meninggalkan masalah, karena merasa tidak mampu, seolah-olah koping yang biasa bermanfaat
sudah tidak berguna lagi. Harga diri rendah, apatis, dan tidak mampu mengembangkan koping
serta yakin tidak ada yang membantu.
Kehilangan, ragu-ragu. Individu yang mempunyai cita-cita terlalu tinggi dan tidak realistis akan
merasa gagal dan kecewa jika cita-citanya tidak tercapai. Demikian pula jika individu kehilangan
sesuatu yang sudah dimiliki misalnya kehilangan pekerjaan dan kesehatan, perceraian,
perpisahan. Individu akan merasa gagal, kecewa, rendah diri yang semua dapat berakhir dengan
bunuh diri.
Depresi. Dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan yang ditandai dengan kesedihan
dan rendah diri. Banyak teori yang menjelaskan tentang depresi dan semua sepakat keadaan
depresi merupakan indikasi terjadinya bunuh diri. Individu berfikir tentang bunuh diri pada waktu
depresi berat, namun tidak mempunyai tenaga untuk melakukannya. Biasanya bunuh diri terjadi
pada saat individu keluar dari keadaan depresi berat.
Bunuh diri. Adalah tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk mengakhiri
kehidupan. Keadaan ini didahului oleh respon maladaptif yang telah disebutkan sebelumnya.
Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir dari individu untuk memecahkan masalah yang
dihadapi.
Karakteristik pemikiran dari orang yang ingin bunuh diri:
1. Ambivalensi: kebanyakan orang yang ingin bunuh diri memiliki perasaan yang campur aduk
tentang bunuh diri itu sendiri. Keinginan untuk hidup dan mati beradu dalam orang tersebut.
Ada keinginan untuk lari dari rasa sakit dan ada juga hasrat untuk hidup. Kebanyakan untuk
meraka tidak ingin mati, mereka hanya tidak senang dengan hidup mereka

6
2. Impulsitas: bunuh diri adalah merupakan tindakan impulsive, dan sama seperti tindakan
impulsive lainnya, dorongan ini bisa bertahan lama atau hanya beberapa menit/jam saja.
Biasanya dipicu oleh kejadian-kejadian negative. Menolak krisis tersebut dengan lebih banyak
bermain dengan waktu, keinginan untuk bunuh diri dapat dicegah.
3. Regiditas: apabila ada orang yang ingin bunuh diri, pemikiran perasaan dan tindakan mereka
terbatasi. Mereka berpikir untuk bunuh diri secara konstan dan tidak mampu menerima jalan
keluar dari masalah. Cara berpikir mereka sangat ekstrim

C. Pengkajian Bunuh Diri


Faktor yang dikaji dari tingkah laku merusak diri adalah :
1. Mengkaji kondisi yang mengakibatkan percobaan bunuh diri
a. Peristiwa hidup yang memalukan sebagai pencetus
b. Tanda-tanda tindakan persiapan : mendapat metode bunuh diri, memukul-mukul diri,
bicara tentang bunuh diri, memberi hadiah sebelum bunuh diri
c. Penggunaan cara bengis atau lebih mematikan dengan obat atau racun
d. Mengetahui metode pilihan yang mematikan
e. Perhatian yang menurun
2. Gejala yang dimunculkan
a. Keputusasaan
b. Mencela diri sendiri, merasa gagal dan tidak berguna
c. Depresi
d. Agitasi dan gelisah
e. Insomnia persisten
f. Bicara pelan, fatigue, menarik diri
g. Bicara dan merencanakan bunuh diri
3. Riwayat psikistri
a. Ada percobaan bunuh diri sebelumnya
b. Gangguan alam perasaan (depresi)
c. Alkoholisme atau penyalahgunaan zat atau obat
d. Gangguan tingkah laku dan depresi pada orang dewasa
e. Kombinasi dari kondisi di atas
4. Riwayat psikososial
a. Perpisahan yang baru saja terjadi, perceraian atau kehilangan pasangan hidup
b. Hidup sendiri
c. Tidak bekerja, perubahan pekerjaan atau kehilangan pekerjaan
d. Stress yang multipel/kompleks dalam kehidupan (baru kehilangan, masalah-masalah
sekolah, dll)
e. Penyakit medik kronik

7
f. Peminum berat atau penyalahgunaan obat

5. Faktor kepribadian/personality
a. Impulsif, agresif, bermusuhan
b. Kekakuan kognitif dan negatif
c. Keputusasaan
d. Harga diri rendah
e. Gangguan kepribadian anti sosial
6. Riwayat keluarga
a. Riwayat keluarga yang melakukan bunuh diri
b. Riwayat keluarga gangguan alam perasaan, alkoholisme atau keduanya

D. Faktor Predisposisi
Tidak ada satupun teori yang secara adekuat menjelaskan terjadinya respon melukai
diri atau memberi petunjuk intervensi yang terapeutik
Teori tingkah laku memberi kesan bahwa melukai diri adalah dipelajari dan diperoleh
dalam masa kanak-kanak atau dewasa, perbedaannya teori psikologi memfokuskan pada
kerusakan yang penting dalam awal perkembangan ego, ini memberi kesan bahwa melukai
diri mulai tumbuh pada trauma awal hubungan interpersonal. Dan kecemasan yang tidak
diatasi bisa menimbulkan kelanjutan episode tingkah laku melukai diri (Stuart & Sundeen,
1998).
Teori interpersonal mengemukakan bahwa melukai diri mungkin sebagai hasil dari
interaksi antara perasaan kehilangan, bersalah pada waktu kecil dan perasaan tidak berharga.
Perilaku menyimpang atau incest mungkin menjadi presipitasi dari tingkah laku merusak diri
jika mempunyai persepsi yang negatif (Stuart & Sundeen, 1998).
Faktor predisposisi lain berhubungan dengan tingkah laku merusak diri termasuk di
dalamnya adalah :
1. Ketidakmampuan mengkomunikasikan kebutuhannya dan mengungkapkan
perasaannya
2. Perasaan bersalah
3. Depresi dan depersonalisasi serta fluktuasi emosi
Lima faktor predisposisi yang dominan, yaitu :
1. Diagnosis Psikiatri
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri mempunyai
hubungan dengan penyakit jiwa. Tiga gangguan jiwa yang dapat membuat individu
beresiko untuk bunuh diri yaitu gangguan afektif, penyalahgunaan zat, dan skizofrenia.
2. Ciri-Ciri Kepribadian dan Gangguan Kepribadian

8
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan besarnya resiko bunuh diri adalah
rasa bermusuhan, impulsif, dan depresi.

3. Faktor Psikososial dan Lingkungan


Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan yang dini, dan
berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang berhubungan dengan
bunuh diri.
4. Riwayat Keluarga dan Genetik
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor resiko penting
untuk perilaku destruktif.
5. Faktor Biochemikal
Data menunjukkan bahwa secara serotogenik, opiatergik, dan dopaminergik menjadi
media proses yang dapat menimbulkan perilaku destruktif-diri.

E. Stressor Pencetus/Presipitasi
1. Perasaan stress yang berkelanjutan/berlimpah
2. Ansietas
3. Kehilangan kemampuan penilaian terhadap diri sendiri
4. Kehilangan harga diri
5. Isolasi sosial : menarik diri
6. Struktur sosial, Durkheim cit. Stuart dan Sundeen, 1998, mengindikasikan tiga
subkategori bunuh diri sebagai dasar motivasi seseorang untuk bunuh diri :
a. Bunuh Diri Egoistic sebagai hasil interaksi yang tidak terintegrasi dengan lingkungan
(lemah dengan lingkungan).
b. Bunuh Diri Altruistic sebagai hasil kepatuhan dan kebiasaan adat.
c. Bunuh Diri Anomic ketika individu tidak dapat mengatur/mengontrol lingkungan sosial
tersebut.

F. Mekanisme Koping
Pasien mungkin menggunakan variasi dari mekanisme koping untuk menyetujui tingkah
laku merusak dirinya seperti denial, rasionalisasi, regresi dan pikiran magis. Koping
mekanisme ini mungkin berbeda pada tiap individu dan tingkah laku merusak dirinya. Mereka
yang mempunyai respon emosional yang kuat akan membela diri terhadap kejadian-kejadian
hidup yang mengancam terutama terhadap egonya. Jika mereka berada dalam kondisi yang
lemah, depresi akan mengambil tindakan jahat untuk melakukan bunuh diri.

9
Tingkah laku bunuh diri merupakan indikasi dari kondisi koping mekanisme yang rapuh
atau gagal. Usaha bunuh diri mungkin menjadi usaha terakhir untuk mendapat pertolongan
untuk dapat ditanggulangi. Bunuh diri komplit menggambarkan kegagalan dari koping
mekanisme adaptif.

G. Implikasi Terhadap Keperawatan


Dari hasil penelitian tersebut dapat diambil manfaat dalam keperawatan dimana pasien yang
mempunyai gejala-gejala risiko bunuh diri dapat ditegakkan diagnosa NANDA risiko bunuh
diri. Dalam menangani kasus risiko bunuh diri kita harus mengetahui bagaimana penanganan
sejak awal. Bagaimana kita menjangkau orang-orang yang ingin bunuh diri?. Sering kali ketika
orang berkata “ saya capek akan hidup” atau “tidak ada nilai untuk hidup” atau saya ingin
kembali kerahim ibu” dapat mengindikasikan bahwa seseorang tersebut sudah mempunyai
risiko untuk tindakan bunuh diri. Kontak awal dalam penanganan menjadi sangat penting,
sering kali kontak terjadi di poliklinik, rumah, atau tempat-tempat umum dimana biasanya
sangat sulit untuk melakukan percakapan/ interaksi secara pribadi. Ada beberapa langkah
yang dapat dilakukan dalam kontak awal ini yaitu:
1. Langkah pertama adalah untuk mencari tempat-tempat yang cocok dimana orang dapat
bercakap-cakap secara tenang dan bisa mendapatkan keleluasaan.
2. langkah berikutnya adalah menentukan waktu seperlunya. Orang yang berkeinginan
bunuh diri biasanya membutuhkan waktu lebih untuk melepaskan beban mereka sendiri
dan seseorang harus siap secara mental untuk memberikan mereka waktu.
3. Yang terpenting adalah untuk mendengarkan mereka secara efektif. Menjangkau dan
mendengarkan saja merupakan langkah yang besar dalam menurunkan tingkat
keputusasaan orang tersebut.
Tujuannya adalah untuk menjembatani celah yang terbentuk dari ketidakpercayaan,
keputusasaan dan hilang harapan serta memberikan orang tersebut harapan bahwa segala
sesuatu bisa berubah menjadi lebih baik.
Ada beberapa tips-tips bagaimana berkomunikasi dengan orang yang ingin bunuh diri:
- Mendengar dengan penuh perhatian dengan tenang
- Mengerti perasaan orang itu dengan cara empati
- Berikan pesan-pesan nonverbal dari penerimaan dan menghargai
- Ekspresikan rasa menghargai untuk opini-opini dan nilai-nilaiorang tersebut.
- Bicara jujur dan tulus
- Tunjukkan kepedulian,kasih sayang,dan kehangatan
- Fokuskan kepada orang tersebut.

10
Dalam teknik berkomunaksi ada beberapa hal yang sebaiknya tidak dilakukan oleh perawat,
yaitu:
- Sering memotong pembicaraan
- Menjadi kaget atau emosi
- Menunjukkan bahwa kita sibuk,bersikap merendahkan
- Membuat tanda-tanda yang tidak jelas atau mengganggu
- Menanyakan pertanyaan-pertanyaan berat
Pendekatan yang tenang, terbuka, peduli, menerimadan tidak menghakimi sangat diperlukan
untuk memfasilitasi komunikasi
H. Instrumen Pengukuran
1. Pengkajian tingkat resiko bunuh diri dari Hasson, Valente dan Risk (1997). Berisi perilaku
atau gejala yang muncul pada pasien yang beresiko untuk bunuh diri dan diukur dengan
intensitas rendah, sedang, dan berat (Keliat, 1994).
2. Menggunakan skala pengukuran kecenderungan bunuh diri dari Institute of Psychiatric,
Medical University of South Carolina cit. Stuart & Sundeen (1998).
3. Skala bunuh diri Suicidal Intention Rating Scale (SIRS) dari Bailey dan Dreyer (1997).
Berisi 5 pertanyaan dengan skor 0-4 untuk mengetahui kecenderungan/intensitas bunuh
diri yang menggambarkan ide/pikiran untuk bunuh diri sampai mencoba bunuh diri
(Keliat, 1994).

KUESIONER DAN OBSERVASI KECENDERUNGAN BUNUH DIRI


SIRS (SUICIDAL INTENTION RATING SCALE)

1. Apakah anda saat ini atau yang lalu ada pemikiran untuk bunuh diri/mati ? Pernah mencoba
bunuh diri/tidak ?
2. Apakah anda sering memikirkan tentang bunuh diri ? Pernah mencoba bunuh diri ? (mulai
memberi hadiah, berbicara yang aneh-aneh tentang kematian, dll)
3. Apakah anda pernah mengancam untuk bunuh diri ? “Saya lebih baik mati daripada dirawat”
4. Apakah ada riwayat/percobaan bunuh diri sebelumnya ? (minum racun, overdosis obat/minuman
keras, menyayat tangan, gantung diri, dll)

Keterangan :
Skor 0 : Tidak ada ide bunuh diri yang lalu dan yang sekarang
Skor 1 : Ada ide bunuh diri, tidak ada percobaan bunuh diri, tidak mengancam bunuh diri
Skor 2 : Memikirkan bunuh diri dengan aktif, tidak ada percobaan bunuh diri
Skor 3 : Mengancam bunuh diri, misalnya “Tinggalkan saya sendiri atau saya bunuh diri”
Skor 4 : Aktif mencoba bunuh diri

11
Penilaian :
Skor 0 : resiko rendah
Skor 1-2 : resiko sedang
Skor 3-4 : resiko tinggi

PEDOMAN OBSERVASI RESIKO BUNUH DIRI

Tidak perlu Observasi tiap 30 Observasi tiap 15 menit Observasi tiap 5-10
observasi menit menit
melekat
▷ ▷ ▷ Ver ▷
bunuh diri bunuh diri balisasi ide bunuh diri yang cepat,
secara verbal ▷ dan perencanaan misalnya : tiba-tiba
▷ rencana ▷ Tid hiperaktif
dan perilaku ▷ ak ada dukungan ▷
▷ keinginan ▷ Kur menyetujui untuk
program ▷ ang mengikuti rencana tidak bunuh diri
pengobatan program pengobatan ▷
▷ pengobatan ▷ Fru bunuh diri
sumber ▷ stasi diungkapkan dengan
dukungan di diri subjektif dan objektif
masyarakat ▷ ▷ Ma
bunuh diri yang rah
lalu ▷ Ala
m perasaan yang labil
▷ Dia
m atau kurang bicara
▷ Me
nghindar dari staf dan
orang lain
▷ Me
narik diri
▷ Ga
ngguan orientasi realita
▷ Hip
eraktif
▷ Kur
ang mampu dalam
pemecahan masalah

12
DAFTAR PUSTAKA

Keliat, B.A., 1994, Tingkah Laku Bunuh Diri, Jakarta: EGC.


Nurjannah, I., 2004, Pedoman Penanganan pada Gangguan Jiwa, Yogyakarta: Mocomedia
Rawlin’s, et.al., 1993, Menthal Psychiatric nursing A Holistic Life Cyrcle Approach, 3ed, USA: Mosby.
Stuart and Sundeen, 1998, Principles and Practice of Psychiatric nursing, 6ed, USA: Mosby Year Book.
Stuart and Sundeen, 1995, Buku Saku Keperawatan Jiwa, Edisi 3, Jakarta: EGC.
American Psychiatric Association, 1999, Assessment of Suicide Risk 24 hours After Psychiatric Hospital
Admission, Psychiatric Service.
___________, 2006, Materi Seminar IV Paguyuban Puntadewa: Bunuh Diri, Mengapa dan
Bagaimana?, Banyumas, Tidak dipublikasikan.

13

Anda mungkin juga menyukai