Anda di halaman 1dari 161

AQIDAH IMAM SYAFI’I

DR. ABDULLAH BIN ABDUL AZIZ AL-ANQARI

Asist Professor Aqidah di Universitas Malik Bin Sa’uud


‫بسم هللا الرحمن الرحيم‬

PENDAHULUAN

Segala puji bagi Allah swt, salam dan shalawat


tercurah kepada Rasulullah saw, kepada keluarganya,
para sahabatnya dan para ummatnya.

Menjelaskan aqidah dan prinsip-prinsip beragama


mesti mendapat perhatian besar dari semua kalangan.
Terutama saat ini. Di mana indikasi kekurangtahuan
tentang ajaran Islam sangat jelas terlihat hingga ajaran
Islam terasa asing di tengah-tengah masyarakat umum.
Ditambah dengan dominasi intimidasi agama makin
terasa.

Jalan keluar satu-satunya adalah kembali


mengikuti cara berislam Rasulullah saw yang sudah
diprektikkan oleh generasi salaf, baik berupa perkataan,
keyakinan maupun perbuatan.

Imam Muhammad bin Idris asy-Syaffi’i adalah


satu di antara ulama salafusshaleh (pengikut salaf) yang
pandangan-pandangan dan prinsip-prinsip keyakianannya
yang tertuang dalam kitab-kitabnya dengan bahasa yang
lugas, simpel, jelas dan tegasas sangat layak ditelisik lebih
dalam.

Kedudukannya yang tinggi, tidak hanya diakui


para murid-murid dan pengikut madzhabnya, namun juga
oleh para ulama-ulama kaliber lainnya, bahkan seluruh
kaum muslimin. Nah, penjelasan mengenai prinsip-
prinsip aqidahnya merupakan penjelasan tentang aqidah
Islam itu sendiri. Karena tidak ada perbedaan antara para
ulama dalam persoalan prinsip-prinsip dan aqidah Islam.

Beberapa persoalan aqidah yang diperdebatkan


secara tajam oleh kaum muslimin saat ini, perlu mendapat
kepastian sikap yang tegas. Melalui tela’ah yang dalam
terhadap pandangan dan penjelasan para ulama salaf
dalam kitab dan karya mereka, kondisi keberagamaan
ummat ini bisa lebih baik dan dapat dituntun meniti
jalannya generasi salaf. Sebab, tak kan baik kondisi
ummat kecuali dengan mengqudwahi proses perbaikan
generasi awal.
Sebelumnya, saya menulis buku yang
menjelaskan secara detail pandangan dan penjelasan
imam asy-Syafi’i dalam persolaan aqidah Islam.
Judulnya, “Juhud asy-Sayfi’i fi Taqrir Tauhid al-
Ibadah”.1 Nah, tulisanku kali ini lebih berupa ringkasan
dari buku saya sebelumnya dengan sedikit tambahan
nukilan dari pendapat imam asy-Syafi’i dan penjelasan
para murid-muridnya.

Tujuan utamanya agar kita dan kaum muslimin


mendapatkan keterangan dan penjelasan yang valid
mengenai pendapat dan pandangan imam asy-Syafi’i
dalam persoalan aqidah dan keimanan. Tidak berdasarkan
pada klaim yang disebutkan sebagian orang atas nama
imam asy-Syafi’i.

Sangat pantas jika kaum muslimin menumbuhkan


rasa cinta dan kagum terhadap imam asy-Syafi’i. Catatan
biografinya yang ditulis oleh para ulama dan pendapat-
pendapatnya yang tepat menunjukkan kuwalitas personal

1
. Bentuknya adalah Disertasi untuk mendapat gelar Doktor di
Fakultas Dakwah dan Ushuluddin di Universitas Ummu al-Qura di
Makkah al-Mukarramah, Saudi Arabiyah. Diuji tahun 1421 H.
dan keberagamaannya. Dua karyanya yang sangat
berharga, yakni kitab “al-Umm” dalam persoalan fiqih
(hukum-hukum syari’at) dan kitab “ar-Risalah” dalam
persoalan ushul (dasar-dasar dan prinsip-prinsip
yurisprudensi Islam) menjadi bukti nyata.

Di antara yang paling menarik dari imam asy-


Syafi’i sebagaimana tergambar dalam karya-karyanya
adalah, sikapnya yang arif, bijak, proporsional serta
keberpihakan tinggi terhadap kebenaran.

Beliau sering menegaskan, “Tidaklah saya


mendebat orang lain melainkan hanya sekedar nasehat
saya untuknya.” Beliau juga mengatakan, “Tidaklah saya
mendebat seseorang melainkan aku berharap dia
dikaruniai taufik, ditolong dan menikmati penjagaan dan
perlindungan Allah swt. Setiap kali saya mendebat
seseorang, saya berharap kebenaran tetap terungkap,
apakah olehku atau oleh orang tersebut.”1

Dikisahkan, suatu hari, terjadi diskusi tajam antara


imam asy-Syafi’i dengan Abu Ubaid mengenai arti kata

1
. Kedua statement di atas ririwayatkan oleh Abu Nu’aim (9/118).
“al-qar’u” dalam al-Qur’an. Imam asy-Syafi’i
berpendapat, arti kata itu adalah “al-haidh” (masa haid).
Sedang Abu Ubaid mengatakan, maknanya adalah “ath-
thuhru” (masa suci). Ketika keduanya berpisah, masing-
masing dari keduanya membenarkan pendapat lainnya,
lantaran kuatnya dalil dan argument yang dikemukakan
oleh masing-masing dari keduanya. 1 Objektivitas yang
sungguh menawan.

Sikap objektif dan proposional serta keberpihakan


tinggi terhadap kebenaran inilah yang sangat menonjol
pada sosok imam asy-Syafi’i, utamanya bagi mereka yang
intens berinteraksi dengan karya-karyanya. Tidak heran,
jika beliau sangat diintai dan dikagumi oleh kaum
muslimin.

Bahasan buku ini akan saya bagi menjadi empat


bahagian. Rinciannya dapat digambarkan sebagai berikut:

Pertama: Sekilas Tentang Imam asy-Sayfi’i.


I. Biografi Singkat Imam asy-Syafi’i
II. Sekilas Tentang Madzhab Imam asy-Syafi’i.

1
. Disebutkan oleh as-Subki dalam kitab “ath-Thabaqaat” (2/159)
pada bahasan biografi Abu Ubaid.
a. Sebaran Madzhab Imam asy-Syafi’i.
b. Pondasi Madzhab Imam asy-Syafi’i.
c. Taubatnya Sebagian Pendaku Bid’ah.
d. Beberapa Pelajaran Penting
III. Metode Pelajari Aqidah Imam asy-Syafi’i.
a. Referensi Aqidah Imam asy-Syafi’i.
b. Urgensi Meniti Metode yang Tepat
Kedua: Prinsip-prinsip Beraqidah Imam asy-Syafi’i.
I. Komitmen Terhadap Nash dan Makna Dzhahir
a. Komitmen Pada Nash
b. Komitmen pada Makna Dzhahir.
II. Sikap Para Murid Imam asy-Syafi’i.
Ketiga: Aqidah Imam asy-Syafi’i
Pengantar
I. Tauhid Menurut Imam asy-Syafi’i.
a. Makna Tauhid
b. Syarat-syarat Tauhid
c. Tauhid Kewajiabn Pertama
II. Syirik dan Pengaruhnya
Peringatan Penting
a. Makna Syirik
b. Penyebab Terjatuh Dalam Syirik
c. Ragam dan Contoh Syirik
1. Dalam Do’a dan Sujud
2. Pada Sembelihan
3. Saat Thawaf
d. Tabarruk Terlarang
Keempat: Tentang Ibadah
I. Makna Ibadah
II. Sumber dan Landasan Ibadah
III. Kecaman Ibadah Menyimpang
BAHASAN PERTAMA

Sekilas Tentang Imam asy-Sayfi’i

I. Biografi Singkat Imam asy-Syafi’i. 1

A. Nama dan Nasab

Beliau bernama Abu Abdillah Muhammad bin


Idris bin al-‘Abbas bin Utsman bin Syafi’ bin as-Saib Bin
Ubaid bin Abdi Yazid bin Hasyim bin al-Muththalib bin
Abdi Manaf, al-Mathlabi, Ibnu ‘Ammi (sepupu)
Rasulullah saw. Nasab beliau ini disebutkan oleh ar-Rabi’
bin Sulaiman di pendahuluan kitab “ar-Rsalah”.

B. Tumbuh Kembang

Beliau dilahirkan tahun 150 H, tempatnya di


wilayah Ghaza menurut sebagian ulama, ada pula yang
mengatakan di wilayah ‘Asqalan. Beliau tumbuh sebagai
anak yatim. Ibunya mengirimnya ke Makkah untuk
belajar dari para ulama di sana.

1
. Lihat beberapa referensi tentang biografi imam asy-Syafi’i yang
disebutkan dalam bukuku sebelumnya. (Juhud asy-Syafi’i, hal 12-13).
Di saat keilmuannya sudah diakui mumpuni dan
berstatus mufti (berhak berfatwa), beliau pindah ke
Madinah dan belajar dari para ulama di sana. Di antaranya
yang paling terkenal adalah Imam Malik, sosok ulama
paling terpandang.

Kemudian beliau bersafar menuju Yaman untuk


memperdalam ilmu dari para ulama Yaman sekaligus
diangkat sebagai pegawai di sana. Pada masa khalifah ar-
Rasyid, beliau dituduh menyimpang lalu diasingkan ke
wilayah Baghdad dalam keadaan terborgol. Namun,
akhirnya terbukti kalau imam asy-Syafi’i tidak seperti
yang dituduhkan. Ar-rasyid pun memohon maaf dan
diizinkan kembali ke Makkah.

Pada tahun 195 H belaiu berangkat ke Irak dan


sempat bermukim di sana selama 2 tahun. Beliau sangat
dikagumi dan disegani oleh penduduk dan ulama Irak.
Bahkan sebagai pendaku bid’ah bertaubat dan kembali
meniti syari’at Allah swt berkat dakwah dan daya tarik
pribadinya yang menawan.
Di tahun 199 H atau sekitar tahun 200 H, beliau
pindah ke Mesir dan menetap di sana hingga beliau
diwafatkan Allah swt pada tahun 204 H.

II. Sekilas Tentang Madzhab Imam asy-Syafi’i. 1

A. Sebaran Madzhab Imam asy-Syafi’i.

Awalnya, madzhab dan pemikiran imam asy-


Syafi’i muncul dan dikenal pertama kali di Makkah al-
Mukarramah. Dalam waktu singkat, madzhabnya sudah
tersebar di kalangan kaum muslimin akibat kunjungan
mereka ke Makkah untuk menunaikan haji dan umrah.

Demikian pula, menetapnya beberapa tahun di


Baghdad menjadi pintu madzhab dan pemikirannya
diikuti kamu muslimin.

Pasalnya, saat itu Baghdad menjadi pusat


pemerintahan Islam. Di dalamnya menetap para pemuka
dan para ulama-ulama besar dan terpandang. Ditambah

1
. Lihat beberapa referensi tentang madzhab imam asy-Syafi’i yang
disebutkan dalam bukuku sebelumnya. (Juhud asy-Syafi’i, hal 14-19)
yang jumlahnya mencapai 17 disertai catatan kaki.
lagi dengan banyaknya kaum terpelajar yang menimba
ilmu di Baghdad sebagai pusat ilmu dan peradaban saat
itu.

Kitab “al-Hujjah” yang beliau tulis di negeri Irak


ikut berkontribusi besar meyebarkan madzhabnya.
Soalnya, kitab tersebut diajarkan oleh empat ulama paling
ternama sekaligus ahli fiqih di sana. Mereka adalah Imam
Ahmad, imam Abu Tsaur, imam az-Za’farani, dan imam
al-Karabisi.

Sementara madzhab sudah lebih kuat ketika beliau


menetap di Mesir. Bahkan mayoritas penduduk Mesir
beralih ke madzhab imam asy-Syafi’i yang sebelumnya
beradzhab Maliki, seperti yang diutarakan oleh imam al-
Baihaqi dan kitab “al-Manaqib” karangannya.

B. Manhaj Salaf, Pondasi Madzhab Imam asy-Syafi’i.

Ketika beliau temukan sebaran pendaku ahli ilmu


kalam yang tersebar luas di kalangan penduduk Irak
hingga mendominasi pemahaman dan pemikiran ulama
“ahlu al-halli wa al-‘aqdi” (setaraf Majlis Tinggi
Negara), beliau bertekad dan bekerja keras membela
sunnah dan mendakwahkan “manhaj salaf” (aqidah dan
keimanan generasi terdahulu).

Dalam kondisi demikian, bukan berarti dakwah


beliau mengabaikan persoalan-persoalan hukum-hukum
syariat yang terkait dengan amalan-amalan fisik (ibadah
dan selainnya, pent) yang lebih dikenal dengan istilah
fiqih.

Akan tetapi, belum mendakwahkan dua persoalan


penting dalam waktu bersamaan. Pertama, persoalan-
persoalan aqidah dan keyakinan yang biasa disebut
persoalan prinsip dan pokok-pokok keislaman. Kedua,
persoalan-persoalan hukum syariat yang akan dijelaskan
lebih dalam dan rinci pada lembaran-lembaran
berikutnya. In sya Allah ta’ala.

Kondisi Irak demikianlah yang memantik imam


asy-Syafi’i lebih memilih untuk membantah aqidah dan
pemikiran para ahli ilmu kalam, terutama sikap buruk
mereka terhadap sunnah Rasulullah saw dan bagaimana
mereka memosisikannya dalam kehidupan. Karena
kontribusinya mendakwahkan sunnah yang besar di Irak
sehingga beliau disebut “nashiru as-sunnah” (pegiat
sunnah).

Dalam waktu yang bersamaan, beliau menetapkan


hukuman keras dan tegas bagi pendaku ilmu kalam. Salah
satu fatwanya yang terkenal atas pendaku ilmu kalam
adalah, mereka dicambuk menggunakan cemeti dari
pelepah kurma, diarak dan dipertotonkan mengelilingi
kabilah dan suku di Irak sembari diumumkan, inilah
hukuman yang pantas bagi mereka yang berani tinggalkan
al-Qur’an dan sunnah lalu memilih sibukkan diri dengan
ilmu kalam.

Setelah menukil fatwa hukum imam asy-Syafi’i


bagi pendaku ilmu kalam di atas, Imam adz-Dzahabi
menegaskan, riwayat tentang fatwa hukum tersebut
tampaknya berstatus mutawatir (riwayat sangat valid, tak
mungkin dibantah).

Ramai pula diriwayatkan kalai imam asy-Syafi’i


menganggap belajar ilmu kalam merupakan dosa dan
maksiat terbesar setelah dosa syirik.
Menurutnya, tokoh dan pegiat ilmu kalam tidak
dianggap ulama. Andai ada seseorang yang berwasiat
untuk memberikan sesuatu kepada ulama, maka para
pendaku ilmu kalam tidak termasuk dalam cakupan wasiat
tersebut.

Demikian pula, jika ada seseorang yang berwasiat


mewariskan kitab-kitabnya, maka buku-buku ilmu kalam
tidak termasuk yang diwasiatkan itu. Sebabnya, ilmu
kalam tidak direken dan tidak dianggap bagian dari ilmu
keislaman dan syariat. Hal ini dinukil oleh ar-Rabi’ dari
kitab “al-Washaya” karangan imam asy-Syafi’i.

Keberadaan imam asy-Syafi’i di Irak menjadi


benteng tangguh bagi sunnah, hingga ulama ahli hadits
mampu memarjinalkan keberadaan ahli ilmu kalam. Ahli
kalam amat kesulitan menyebarkan pemikiran mereka
karena landasan pemikiran dan argumentnya sangat
lemah. Pilihan satu-satunya adalah dengan memprovokasi
pemerintah untuk mengintimidasi ulama ahli hadits.

C. Taubatnya Sebagian Pendaku Bid’ah.


Salah seorang sahabat imam asy-Syafi’ bernama
Abu Tsaur. Sebelumnya beliau pegiat bid’ah sebelum
sadar berkat bimbingan imam syafi’i. Abu Tsaur berkata,
“Andaikan Allah azza wajalla tidak karuniakan aku
bertemu dengan imam asy-syafi’i, niscaya aku mati dalam
keadaan tersesat jalan.”

Beliau juga mengatakan, “setibanya imam asy-


Syafi’i di negeri Irak, saya ditemui Husain al-Karabisi
sembari berkata, ada seorang ahli hadits mengklaim diri
ahli fiqih baru tiba di sini (Irak). Mari kita temui dia, kta
uji keilmuannya. Setiap kali Husain menanyakan satu
persoalan, imam asy-Syafi’i selalu menjawab, Allah swt
berfirman, atau Rasulullah saw bersabda. Ketika hari
sudah malam, kami sadar dan tinggalkan bid’ah kami dan
ikuti pendapat dan madzhab imam asy-Syafi’i.”

Abu Tsaur juga mengatakan, “Dahulu, saya, Ishaq


bin Rahawaih, Husain al-Karabisi dan sejumlah ulama
Iraq lainnya merupakan pegiat bid’ah. Kami berhasil
tinggalkan amalan bid’ah kami usai berjumpa dengan
imam asy-Syafi’i.”

D. Beberapa Pelajaran Penting


Penting untuk diyakini, bahwa madzhab asy-
Syafi’i tidak hanya terbatas pada persoalan-persoalan
amalan fisik yang biasa disebut ilmu fiqih. Lebih dari itu,
madzhab asy-Syafi’i merupakan konsepsi berislam yang
utuh. Ia mencakup persoalan-persoalan aqidah, keimanan
dan keyakinan yang diistilahkan sebagian ulama “al-fiqhu
al-akbar” (fiqih besar/prinsip). Sebagaimana ia juga
memuat persoalan-persoalan hukum syariat.

Tidak heran, apabila kita temukan di antara murid-


muridnya atau ulama madzhab syafi’i yang menulis
tentang aqidah dan keimanan, mereka merujuk pada
pendapat dan pendangan imam asy-Syafi’i.

Perhatikan pernyataan Abu Hamid al-Isfirayini


ketika menjelaskan beberapa persoalan aqidah dan
keimanan. Beliau menegaskan, “Madzhabku
(keyakinanku) dan madzhab (keyakinan) imam asy-
Syafi’i, dan juga semua ulama mengatakan, al-Qur’an
adalah kalamullah (firman Allah swt)…”

Ketika al-Muzani ditanya tentang al-Qur’an,


beliau menjawab, madzhabku mengikuti madzhabnya
imam asy-Syafi’i. Lalu beliau ditanya, lantas bagaimana
menurut madzhab asy-Syafi’i. Beliau jawab, bahwa al-
Qur’an adalah kalamullah (firman Allah swt) bukan
makhluk.”

Yang dimaksudkan oleh al-Muzani dengan


jawabannya yang tersebut di atas adalah madzhabnya
dalam persoalan-persoalan aqidah dan keimanan. Sebab,
dalam persoalan-persoalan hukum syariat, al-Muzani
banyak berbeda pendapat dengan imam asy-Syafi’i,
bahkan seringkali beliau mengkritisi pendapat gurunya
(imam asy-Syafi’i). Ini akan saya jelaskan pada bahasan-
bahasan selanjutnya.

Abu Hasan al-Karji asy-Syafi’i merupakan ulama


madzhab Syafi’iyah yang paling berperan menjelaskan
prinsip-prinsip aqidah dan keyakinan menurut imam asy-
Syafi’i melalui kitab yang ditulisnya yang berjudul “al-
Fushulu fi al-Ushul ‘An Aimmati al-Fuhuli”.

Di dalamnya, beliau menbantah keras orang-orang


yang memilih berseberangan dan menyelisihi pendapat
imam asy-Syafi’i dalam persoalan-persoalan aqidah dan
keyakinan, sementara dalam persoalan-persoalan hukum
syariat, mereka merujuk pada pendapat imam asy-Syafi’i.
Beliau juga menegaslan, bahwa sikap sebagian
ulama terhadap imam asy-Syafi’i seperti yang mendorong
Abu Hamid al-Isfirayini menyusun prinsip-prinsip dan
dasar yurisprudensi islam menurut imam asy-Syafi’i yang
diikuti oleh Abu Ishaq asy-Syirazi.

Ulama madzhab Syafi’iyyah lainnya yang sangat


tegas dalam menyikapi sikap sebagian orang terhadap
imam asy-Syafi’i adalah Abu al-Muzhaffar as-Sam’ani
melalui kitabnya yang berjudul, “Al-Intisharu li Ashhabi
al-Hadits”.

Setelah mengurai sikap tegas imam asy-Syafi’i


terhadap ilmu kalam dan para pegiatnya, beliau tegas
menyatakan, “Tidak elok bagi seseorang merujuk
pendapat imam asy-Syafi’i dalam persoalan-persoalan
furu’ (hukum-hukum syariat) lalu menentangnya dalam
persoalan-persoalan ushul (aqidah dan keimanan).”

Oleh sebab itu, banyak kecaman para ulama


madzhab Syafi’iyah yang ditujukan kepada mereka yang
merujuk pada pendapat dan pandangan imam asy-Syafi’i
hanya pada persoalan-persoalan fiqih lalu menentangnya
dalam persoalan-persoalan aqidah dan keyakinan.
Padahal, pendapat dan pandangan fiqih imam asy-
Syafi’i senantiasa dibangun dan berlandaskan pada aqidah
dan keimana. Bahkan menurutnya, persoalan aqidah dan
keimanan jauh lebih penting ketimbang persoalan-
persoalan fiqih.

Beliau pernah memberikan wejangan kepada


murid-muridnya sembari berkata; “Silahkan kalian
perdebatkan persoalan-persoalan yang hanya melahirkan
kalimat “engkau salah” (yakni persoalan fiqih/furu’), saat
pendapat kalian keliru. Namun, jangan sekali-kali kalian
perdebatkan persoalan-persoalan yang melahirkan
kalimat “engaku telah kafir” (yakni persoalan aqidah dan
keimanan) ketika kalian salah di dalamnya.

III. Metode Pelajari Aqidah Imam asy-Syafi’i.

Terdapat dua poin penting yang perlu diulas lebih


dalam pada bahasan ini.

A. Referensi Aqidah Imam asy-Syafi’i.

Seseorang yang ingin mengetahui bagiamana


pokok-pokok aqidah dan keimanan menurut imam asy-
Syafi’i, maka rujukan utamanya adalah pendapat dan
pandangannya yang valid yang sumber-sumbernya bisa
dipertanggungjawabkan.

Lantas, di referensi mana saja, pendapat dan


pandangan aqidah dan keimanan asy-Syafi’i bisa
ditemukan? Jawabannya; sumbernya ada dua, yakni:

Pertama: Kitab-kitab karya imam asy-Syafi’i.

Siapapun yang menelusuri kitab-kitab karya imam


asy-Syafi’i, dapat dipastikan akan dia temukan banyak
sekali keterangan jelas, penjelasan luas dan dalam,
pendapat tegas dan pandangan tepat imam asy-Syafi’i
tentang persoalan aqidah dan keimanan.

Sungguh, cara ini yang paling tepat ditempuh.


Soalnya, penjelasan tekstual lebih tepat digunakan untuk
menggambarkan apapun. Dua kitab yang bisa dijadikan
rujukan utama dalam hal ini adalah kitab “al-Umm” dan
kitab ‘ar-Risalah”.

Sebenarnya, kitab “al-Umm” tidak hanya memuat


persoalan-persoalan hukum syariat seperti yang diketahui
banyak orang selama ini. Di dalamnya, imam asy-Syafi’i
juga menguraikan dengan jelas ragam persoalan aqidah
dan keimanan.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa kitab-kitab


fiqih selalu terkoneksi dengan persoalan aqidah, baik
secara langsung atau tidak langsung. Misalnya, bahasan
tentang al-janaiz (mengurus orang meninggal), bahasan
tentang haji, hukum orang murtad, jihad, ilmu waris dan
selainnya. Para ulama menyebutnya “al-masailu al-
musytarakah” (bauran antara bahasan fiqih dan aqidah).

Kitab “ar-Risalah” demikian pula. Walaupun


dikenal sebagai kitab ushul fiqih (yurisprudensi Islam)
yang tertua dan paling rinci bahasannya, akan tetapi di
dalamnya juga terdapat banyak bahasan aqidah dan
keimanan. Ia tercakup dalam istilah al-masailu al-
musytarakah.

Kedua; Kitab-kitab lain yang diriwayatkan secara


bersanad (disebutkan jalur periwayatan).

Kitab referensi aqidah bersanad sangat banyak


ditulis oleh murid-murid imam asy-Syafi’i. Di antaranya,
kitab “Syarhu Ushuli I’tiqadi Ahlissunnah” karangan
Allalika’i asy-Syafi’i, kitab “al-Hujjah” karangan al-
Ashbahani at-Taimi, kitab “Aqidatu as-Salaf” karangan
ash-Shabuni dan kitab-kitab serupa lainnya.

Kitab-kitab aqidah dengan riwayat bersanad tidak


elok diabaikan oleh para penimba ilmu syar’i. Siapa yang
berani mengabaikannya, berarti bersiap ilmunya tidak
dianggap.

Kelebihan kitab-kitab jenis ini, karena uraian yang


termaktub di dalamnya lebih mudah ditelisik validitasnya
sekaligus lebih bisa dipertanggungjawabkan, hanya
dengan menguji, apakah jalur periwayatannya betul atau
salah. Ini bersifat umum, mencakup riwayat dari imam
asy-Syafi’i, atau riwayat dari ulama selainnya, bahkan
berlaku pula pada riwayat dari para sahabat.

Kitab “asy-Syari’ah” karya al-Ajurri asy-Syafi’i,


kitab “as-Sunnah” karangan Ibnu Abi ‘Ashim, atau yang
dikarang oleh Abdullah bin Ahmad atau para ulama
lainnya.

Al-Hakkari termasuk salah satu yang telah


mengumpulkan riwayat bersanad mengenai pendapat
imam asy-Syafi’i dalam persoalan aqidah secara
tersendiri dalam karyanya yang berjudul; “I’tiqadu asy-
Syafi’i.”

B. Urgensi Meniti Metode yang Tepat

Patut diyakini, meniti metode tepat untuk


mengetahui pokok-pokok aqidah dan keimanan menurut
imam asy-Syafi’i memiliki urgensi sangat tinggi.

Pasalnya, kita banyak diperhadapkan dengan


informasi, pendapat dan pandangan hukum yang
dinisbahkan kepada ulama tertentu, namun kenyataannya
tidak benar. Akhirnya, terjadi kekeliruan pemahaman
yang tak pernah berhenti.

Hal ini juga banyak menimpa imam asy-Syafi’i.


Banyak perkataan dan pendapat hukum yang dinibahkan
kepadanya, namun setelah melalui proses verifikasi
ilmiyah, apakah dengan merujuk pada karya-karyanya
secara langsung atau dengan cara meneliti jalur
periwayatnnya, hasilnya ternyata tidak benar.

Salah satu contohnya, ada seorang pelaku bid’ah


menerangkan pendapat empat imam madzhab terkait
persoalan-persoalan pelik. Lalu dia ditanya, apakah
pernyataannya itu betul disebutkan oleh imam asy-
Syafi’i, atau ulama ini atau ulama yang itu?

Dia menjawab, tidak. Perkataan ini disebutkan


oleh uqala’ (orang-orang pintar). Sementara imam asy-
Syafi’i mustahil menentang pendapat para uqala’ itu.1

Orang tersebut begitu mudah menisbahkan satu


perkataan kepada seorang ulama. Padahal perkataan
tersebut tidak dia dengarkan atau baca tekstualnya dan
tidak pula melalui instimbath (memaknai sebuah
perkataan). Hanya dengan bermodal asumsi dan kira-kira,
serta klaim semata, dia berani menisbahkan satu
perkataan kepada imam asy-Syafi’i atau kepada ulama
lainnya. Padahal mereka sendiri tidak pernah
mengatakannya.

1
. Disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Dar’u Ta’arudhi
al-’Aqli wa an-Naqli” (8/59) tanpa menyebut nama orang itu.
BAHASAN KEDUA
Prinsip-prinsip Beraqidah Imam asy-Syafi’i.

Terdapat dua tema pokok yang akan diulas lebih


detail pada bahasan ini, yakni:

I. Komitmen Terhadap Nash dan Makna Dzhahir

Dua poin yang akan diterangkan lebih dalam dan


lebih rigid pada tema ini adalah:

A. Komitmen Pada Nash

Imam asy-Syafi’i komitmen dan menjadikan


nash-nash al-Qur’an dan sunnah sebagai landasan utama
semua pendapat dan pandangannya. Beliau menegaskan,
tidak dibenarkan seseorang menomorduakan al-Qur’an
dan sunnah dalam berpendapat. Keduanya wajib dijadikan
landasan dan pijakan utama dalam segala hal.

Di antara perkataannya yang masyhur terkait ini


adalah, “Tidak patut diarahkan kepada al-ashl (sumber
hukum utama) pertanyaan mengapa? Dan pertanyaan
bagaimana?
Kedua pertanyaan itu hanya cocok diungkapan
pada persoalan-persoalan al-fara’ (sumber hukum
turunan). Mengapa demikian? Karena jika tepat dan
sesuai dengan sumber hukum utama, maka ia boleh
dijadikan hujjah dan dalil.” 1

Yang beliau maksud dengan al-ashl adalah al-


Qur’an dan sunnah sebagaimana beliau tegaskan dalam
pernyataannya: “Al-ashlu (sumber utama) adalah al-
Qur’an dan sunnah. Bila tidak tercakup di dalamnya,
maka hukum ditarik dari cakupan makna keduanya.”2

Sungguh tepat sikap imam asy-Syafi’i tersebut.


Haram bagi siapapun untuk mempertanyakan nash-nash
Al-Qur’an dan sunnah. Kenapa? Dan mengapa? Dua
pertanyaan itu hanya cocok untuk selain al-Qur’an dan
sunnah.

Ketika imam asy-Syafi’i menjelaskan dalam kitab


‘ar-Risalah” perintah Allah swt untuk menta’ati
Rasulullah saw, beliau seolah ingin mewajibkan setiap

1
. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim (9/105).
2
. Ibid, (9/105).
muslim untuk sadar dan yakin bahwa kewajiban taat
tersebut hanya dilakukan kepada Rasulullah saw.

Setiap orang wajib tunduk pada al-Qur’an dan


sunnah. Seorang alim yang berpendapat menyelisihi al-
qur’an dan sunnah, hendaknya segera menganulir
pendapatnya dan beralih kepada al-Qur’an dan sunnah.
Jika tidak, maka dia termasuk melanggar.” 1

Atas dasar itu, imam asy-Syafi’i menetapkan


sebuah kaedah sangat berharga. Yaitu; “Beliau wajibkan
tinggalkan pendapatnya yang jelas-jelas tidak sejalan
dengan sunnah. Kaedah ini banyak dijumpai dalam kitab-
kitab dan disebutkan oleh Allalika’i, ash-Shabuni, Abu
Nu’aim, al-Baihaqi, Ibnu Abi Hatim dan selain mereka.

Di antaranya, perkataan imam asy-Syafi’i yang


dishahihkan oleh an-Nawai dan kitabnya “al-Majmu”,
yakni; “Jika kalian temukan dalam kitabku ada yang
bertentangan dengan sunnah Rasulullah saw, maka kalian
ikuti sunnah dan buanglah jauh-jauh perkataanku itu.”2

1
. Ibid, (198-199).
2
. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab “al-Manaqib” (1/472,
lihat pula kitab “al-Majmu’” (1/63).
Dikisahkan, usai imam asy-Syafi’i menyebutkan
sebuah hadits, tetiba ada seseorang yang menyanggahnya
sembari berucap; apakah engkau ikuti hadits? beliau
jawab: “Ketahuilah oleh kalian, jika ada hadits yang
shahih menurutku lantas aku tidak mengikutinya, berarti
akal sehatku sudah hilang.”1

Menjawab pertanyaan serupa dari orang lain,


imam asy-Syafi’i mengatakan, adakah engkau lihat aku
keluar dari gereja? Adakah engkau lihat aku pinggangku
terikat? Apabila sebuah hadits Rasulullah saw shahih
menurutku, maka aku berpegang padanya dan
mengajarkannya serta tak kan berpaling darinya.” 2

Beliau juga menegaskan, “Semua pendapatku


yang menyelisihi hadits yang shahih dari Rasulullah saw,
maka ikutilah hadits Rasulullah saw itu dan jangan kalian
ikuti pendapatku.”3

Perkataan beliau lainnya menegaskan, “Jika telah


shahih hadits Rasulullah saw lantas berbeda dengan

1
. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim (9/106).
2
. Ibid, (9/106).
3
. Ibid, (9/106-107).
dengan pendapatku, maka aku anulir pendapatku itu dan
aku ikuti yang disebutkan hadits Rasulullah saw.”1

Riwayat-riwayat dari di atas sejatinya memantik


pertanyaan menarik pada setiap orang, lantas apa bukti
sekaligus pengaruhnya terhadap pendapat-pendapat imam
asy-Syafi’i?

Menjawab itu, Ibnu Hajar menulis sebuah kitab


berjudul “al-Minhah fima ‘Allaqa asy-Syafi’i al-Qaula
bihi ‘Ala ash-Shihhah”.2 Semua itu disebabkan karena
banyaknya pendapat imam asy-Syafi’i yang beliau
“gantungkan” pada hadits yang shahih.

Berikut beberapa contohnya yang dinukil dari


kitabnya “al-Umm” yang sangat berharga.

1. Setelah imam asy-Syafi’i menjelaskan


pendapatnya terkait hukum berburu di musim haji, beliau
mengatakan; “Tidak dibenarkan seseorang melakukannya
kecuali objek tertentu, kecuali jika ada hadits shahih dari

1
. Ibid, (9/106-107).
2
. Ibnu Hajar menyebutkannya dalam kitab “Fathu al-Bari” (5/113)
ketika beliau mensyarah hadits no. 2435, “Jangan seseorang memeras
susu hewan ternak orang lain tanpa seizing pemiliknya.”
Rasulullah saw. Karena tidak dibenarkan seseorang
berpendapat yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah
saw sebagaimana telah ditegaskan Allah swt.”1

2. Ketika imam asy-Syafi’i menerangkan hadits


‘Urwah mengenai pengecualian di musim haji, beliau
tegaskan, “Jika hadits ‘Urwah ini shahih dari Rasulullah
saw maka aku tak kan menyelisihinya. Karena tidak
dibenarkan siapapun menentang hadits shahih dari
Rasulullah saw.”2

3. Ketika ar-Rabi’ membacakan hadits Anas


bahwasanya Rasulullah saw bolehkan menjual gandum
yang telah memutih yang masih dibatangnya, imam asy-
Syafi’i mengatakan, “Apabila hadits tersebut shahih maka
wajib kita ikuti. Itu artinya, persoalan ini mendapat
perlakuan khusus, yang berbeda dengan hukum yang
bersifat umum. Yakni larangan Rasulullah saw berjual
beli gharar. Padahal menjual gandum di batangnya
tergolong gharar lantaran dia tidak terlihat. …. Karena itu,
saya membolehkan menjual gandum yang telah memutih

1
. Kitab “al-Umm” (2/228).
2
. Ibid, (2/158).
walau masih di batangnya selama hadits (Anas) tersebut
dijamin shahih.”1

Coba kita perhatikan secara seksama, bagaimana


imam asy-Syafi’i menggantungkan pendapatnya pada
hadits Rasulullah saw. Apabila hadits tersebut shahih,
beliau mengikutinya, kemudian memilih meninggalkan
pendapatnya yang berbeda dengan hadits shahih.

Kasus-kasus semisal di atas banyak dijumpai


dalam kitabnya “al-Umm”. Di antaranya, orang mukim
yang telah berniat puasa sebelum fajar lalu dia bersafar
setelah fajar, 2 atau persoalan hukum koalisi yang tidak
dilindungi keselamatannya. 3

Demikian pula mengenai pakaian yang sudah


ditambal atas produksi awalnya, 4 hukum melihat hilal
sebelum zawal, 5 hukum pelaku tindak pidana di Makkah
sedang keluarganya bermukim di Syam, 6 berbukanya

1
. Ibid, (3/67).
2
. Ibid, (2/102).
3
. Ibid, (6/116).
4
. Kitab “al-Mukhtashar” karangan al-Muzani, hal 103.
5
. Kitab “al-Umm” (2/95)
6
. Ibid, (6/117).
orang yang berhijamah (berbekam), 1 dan masih banyak
persoalan-persoalan syariat lainnya.

Dalam kitab “al-Umm” ditemukan banyak


pendapatnya yang beliau “gantung”kan pada hadits yang
shahih. Kadang beliau tegas melarang sesuatu lalu
berkata, “kecuali jika ditemukan ada hadits shahih tentang
ini. Namun hingga saat ini saya belum tahu.”

Kadang pula, sebelum imam asy-Syafi’i


menyebutkan pendapatnya, beliau mengatakan, “jika
tidak ada dalil shahih tentang ini, maka yang tepat adalah
seperti ini.”

Atau terkadang beliau mengatakan, “saya


berpendapat seperti ini, kecuali ada sunnah yang shahih
yang mengkhususkannya, maka yang benar adalah sunnah
yang shahih tersebut.”

Dan terkadang, beliau mengatakan, “hadits ini


tidak shahih menurutku,” kemudian beliau melanjutkan,
“namun jika ternyata hadits ini shahih, maka dia menjadi
dalil dan hujjah dalam persoalan ini.”

1
. Ibid, (2/97).
B. Komitmen pada Makna Dzhahir.

Imam asy-Syafi’i melarang kerasa seseorang


mengutak-atik makna nash-nash al-Qur’an dan hadits
Rasulullah saw yang mengakibatkan kekeliruan fatal
menarika kesimpulan hukum yang terkandung di
dalamnya.

Beliau menolak semua cara yang bisa merusak


makna dan petunjuk hukum, apalagi sampai membuat
lafadz-lafadz (al-Qur’an dan hadits Rasulullah saw)
tersebut seolah tak bermakna apa-apa.

Dalam kitabnya “ar-Risalah”,1 imam asy-Syafi’i


menyebutkan sebuah kaedah dasar yang layak ditulis
dengan tinta emas berkenaan dengan cara tepat menyikapi
nash-nash al-Qur’an. Yakni; “Nash al-Qur’an wajib
difahami sesuai makna zhahir (tersurat)nya hingga ada
dalil lain berupa ayat, atau hadits atau ijma’ (konsensus)
ulama yang mengalihkannya kepada makna bathin
(tersirat)nya.”

1
. Halaman 580.
Maksudnya, seseorang dilarang keras memaknai
teks ayat di luar dari makna zhahirnya (tersurat) tanpa
ditopang oleh dalil yang shahih.

Pertanyaannya kemudian adalah, dalil apa saja


yang dimaksudkan oleh imam asy-Syafi’i tersebut?

Pertama, dalilnya harus berupa ayat al-Qur’an,


apakah merupakan bahagian dari ayat itu sendiri atau
berupa ayat al-Qur’an yang lainnya.

Kedua, jika bukan berupa ayat al-Qur’an maka dia


harus bersumber dari hadits Rasulullah saw yang shahih.
Sebab, salah satu fungsi hadits adalah menjelaskan makna
dan kandungan ayat al-Qur’an, sebagaimana telah
dijelaskan dengan luas dan detail oleh imam asy-Syafi’i
dalam kitabnya “ar-Risalah”.

Ketiga, jika bukan ayat atau hadits, maka dalil


yang beliau maksud bisa berupa ijma’ (konsensus) para
ulama. Syaratnya, harus berbentuk ijma’ hakiki
mundhabith (konsensus yang valid dan terukur). Bukan
sekedar klaim ijma’ ulama oleh sebagian orang dan tidak
melalui proses verifikasi yang ketat. Yang paling
didahulukan dalam hal ini adalah ijma para sahabat dan
generasi salaf setelahnya.

Menyebutkan keutamaan dan kedudukan para


sahabat, imam asy-Syafi’i menegaskan dalam kitabnya
“ar-Risalah”, “Para sahabat jauh melampaui kita dalam
hal kedalaman ilmu, kecerdasan dan segala media dan
sarana merengkuh ilmu dan meraih nikmat hidayah.
Pendapat mereka jauh lebih baik bagi kita ketimbang
pendapat kita sendiri.”

Mengenai ijma’ beliau mengatakan, ijma yang


dijadikan dasar hukum adalah ijma ulama yang akuntabel
dan terukur serta tidak diperdebatkan para ulama. Bukan
ijma’ yang hanya sekedar klaim semata. Karenanya beliua
tegaskan, saya dan ulama lain tidak mengakui suatu ijma
kecuali jika semua ulama mengakuinya dan telah
diriwayatkan generasi sebelimnya, seperti jumlah raka’at
shalat dzuhur adalah empat, haram minum khamar atau
yang semisal dengan itu.”1

1
. Kitab “ar-Risalah” (hal 534-535).
Kewajiban memaknai ayat al-Qur’an berdasarkan
makna tersuratnya juga diberlakukan pada sunnah dan
hadits Rasulullah saw.

Hal itu tergambar dari perkataannya setelah


menguraikan hadits yang melarang shalat (sunnah)
setelah shalat subuh dan shalat ashar. Beliau berkata:
“Hadits ini mestinya difahami seacar dzahirnya (tersurat)
hingga ada dalil lain, baik berupa hadits atau ijma kaum
muslimin yang menunjukkan kalau ia dimaknai tersirat.”1

Beliau juga menegaskan, “Hadits wajib dimaknai


secara zhahirnya. Jika ia multi interpretasi, maka dipilih
makan yang paling mendekati makna zhahirnya.” 2

Ketegasan imam asy-Syafi’i untuk memaknai


nash-nash al-Qur’an dan hadits secara zhahirnya
merupakan cara tegas memproteksi agar seseorang tidak
leluasa bermain-main dengan nash-nash ayat al-Qur’an
dan hadits atau memaknainya berbeda dengan yang
difahami oleh Rasulullah saw dan telah beliau ajarkan

1
. Ibid, (hal 322).
2
. Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim (9/105).
kepada para sahabatnya, serta yang diajarkan para sahabat
kepada generasi salaf setelah mereka.

II. Sikap Para Murid Imam asy-Syafi’i.

Setelah menyebutkan beberapa perkataan imam


asy-Syafi’i yang mewajibkan mengikuti hadits shahih dan
meninggalkan pendapatnya yang bertentangan dengan
hadits shahih, an-Nawawi mengatakan –sebagaimana
yang tertuang dalam kitabnya “al-Majmu’”- bahwa, “cara
ini pula yang diikuti oleh ulama (madzhab Syafi’iyah), di
antaranya dalam persoalan at-tatswib (mengucapkan ash-
shalatu khairun min an-naum pada adzan shubuh), dan
syarat tahallul dari ihram bagi mereka yang sakit dan
selainnya serta persoalan-persoalan syariat lainnya yang
tertulis dalam kitab referensi madzhab Syafi’iyah.

Disebutkan, di antara yang mendasarkan fatwanya


pada hadits adalah Abu Ya’qub al-Buwaithi dan ad-
Daraki sebagaimana ditegaskan oleh Abu al-Hasan al-
Kiya ath-Thabari dalam kitabnya “Ushulu al-Fiqhi”. Dan
dari kalangan ahli hadits, ada al-Baihaqi dan yang lainnya.
Sudah menjadi kebiasaan ulama madzhab
Syafi’iyah sebelum generasi kami, mereka lebih memilih
hadits shahih ketimbang pendapat imam asy-Syafi’i yang
bertentangan dengan hadits. Mereka berdalih, “Bahwa
madzhab asy-Syafi’i adalah yang sejalan dengan hadits.
imam an-Nawawi membatasi terapan cara ini hanya
berlaku di kalangan para mujtahid madzhab Syafi’iyah,
tidak berlaku secara umum di kalangan pengikut madzhab
Syafi’iyah. 1

Berikut ini beberapa contoh aplikatifnya di


kalangan murid-murid imam asy-Syafi’i.

Dikisahkan, ketika al-Buwaithi menyebutkan


pendapat imam asy-Syafi’i, bahwa bertayammum intu
terdiri dari dari tepukan. Lantas Abu Bakar al-Atsram
menyanggahnya sembari membacakan hadits ‘Ammar
dari Nabi saw bahwasanya tayammum itu hanya satu kali
tepukan. Al-Buwaithi langsung menghapus kalimat “dua
tepukan” dan menggantinya dengan kalimat “satu kali
tepukan” berdasarkan hadits “Ammar tersebut.

1
. Lihat kitab “al-Majmu’” (1/63-64).
Setelah itu, beliau mengatakan, “Imam asy-Syafi’i
pernah menyatakan, apabila kalian menemukan hadits
shahih dari Rasulullah saw maka tinggalkanlah
pendapatku dan ikutilah hadits tersebut. Karena hadits
itulah yang ku ambil sebagai pendapatku.”1

Diceritakan, bahwasanya al-Karji meninggalkan


qunut di shalat fajar karena tidak menemukan hadits yang
memerintahkannya. Kemudian beliau mendasarkan
sikapnya itu pada perkataan imam asy-Syafi’i, yaitu:
“Tinggalkan pendapatku dan ikutilah hadits.”2 Ibnu
Khizaimah juga menegaskan, “Rasulullah saw tidak
qunut sepanjang hidupnya. Qunut beliau tinggalkan
setelah peristiwa menyedihkan berlalu.”3

Disebutkan pula, bahwa al-Muzani mengatakan di


pendahuluan kitabnya “al-Muktashar”, “Muatan buku ini
merupakan ringkasan perkataan Muhammad bin Idris asy-
Syafi’i atau makna dari perkataannya, agar mudah dibaca

1
. Lihat kitab “Thabaqatu al-Fuqaha’ asy-Syafi’iyah” karangan Ibnu
ash-Shalah, (2/681-682).
2
. Lihat kitab “Thabaqatu asy-Syafi’iyah” karya as-Subki (6/138).
3
. Beliau sebutkan dalam kitab “Shahih”nya (1/313-314) lalu
menjelaskan lebih panjang di (1/316-317).
oleh siapapun yang menginginkannya. Namun, perlu saya
tegaskan, imam asy-Syafi’i melarang keras bertaklid pada
pendapatnya atau bertaklid pada pendapat orang lain.
Hendaknya setiap orang memilih yang terbaik untuk
agama dan dirinya.”1

Penegasan di atas beliau maksudkan agar orang


yang membaca bukunya tahu dan sadar bahwa dia (al-
Muzani) akan menulis koreksian terhadap pendapat
gurunya (imam asy-Syafi’i). Dan itu terbukti di beberpa
bahagian dalam kitabnya “al-Mukhtashar”. Saya sudah
sebutkan sebagiannya dalam bukuku “Juhudu asy-
Syafi’iyah”. Ada sekitar 15 bahagian yang saya jadikan
sampel. 2

Ketika dikatakan, sungguh banyak pendapat al-


Muzani yang berbeda dengan pendapat imam asy-Syafi’i,
Abu Zur’ah mengatakan, bukan berarti al-Muzani berlaku
zalim terhadap imam asy-Syafi’i. yang terjadi adalah
seperti yang dikatakan al-Baihaqi, bahwa keputusan al-

1
. Kitab “al-Mukhtashar” (hal 1).
2
. Kitab “Juhudu asy-Syafi’iyah” (hal 18), catatan kaki (no 2).
Muzani mengumpulkan pendapat imam asy-Syafi’i yang
berserakan itu lebih banyak manfa’atnya bagi ummat.”1

Contoh lainnya, diriwyatkan oleh Abu Abdillah


al-Asadi dalam kitabnya “Manaqib asy-Syafi’i” perkataan
ar-Rabi’: “Imam asy-Syafi’i tidak mengakui ijazah dalam
ilmu hadits, dan saya tidak sependapat dengan asy-Syafi’i
dalam hal ini.”2

Muncul pertanyaan penting di kalangan ulama,


kenapa ulama yang tidak sependapat dengan imam asy-
Syafi’i tetap digolongkan ulama madzhab Syafi’iyah?

Di antaranya yang menyebutkannya adalah Ibnu


ash-Shalah. Ketika beliau menulis biografi Muhammad
bin Nashr lalu beliau ditentang karena memasukkan
Muhammad bin Nashr ke kelompok ulama madzhab
Syafi’iyah.

Ibnu ash-Shalah menyanggah sembari


menjelaskan, bahwa sekalipun Ibnu Nashr, Ibnu
Khuzaimah, al-Muzani dan Abu Tsaur memiliki banyak

1
. Kitab “al-Manaqib” (2/347-348).
2
. Disebutkan oleh as-Subki dalam kitabnya “ath-Thabaqaat”
(2/136).
pendapat berbeda dengan imam asy-Syafi’i, namun tidak
mengeluarkan mereka dari kelompok sahabat asy-
Syafi’i.”1

Menurut saya (penulis), mereka tetap digolongkan


sahabat asy-Syafi’i lantaran sikap mereka mengikuti
hadits Rasulullah saw. Apabila mereka temukan pendapat
imam asy-Syafi’i yang berbeda dengan hadits, mereka
ikuti hadits dan tiinggalkan pendapat imam asy-Syafi’i,
persis yang diwasiatkan oleh imam asy-Syafi’i.

Sikap lebih memilih ikuti hadits ini dijalankan


ulama syafi’iyah dalam menetapkan fatwa hukum
mereka. Berikut ini beberapa di antara contohnya;

1. Imam an-Nawawi tidak sependapat dengan


imam asy-Syafi’i dalam persoalan makan daging unta
tidak batalkan wudhu. Lalu beliau menerangkan,
mengikuti hadits hukum wajib sekalipun berbeda dengan
ketetapan fatwa hukum imam asy-Syafi’i. 2

1
. Dinukil oleh as-Subki dalam kitabnya “ath-Thabaqat” (2/136).
2
. Kitab “Thabaqatu al-Fuqaha’ asy-Syafi’iyah” (1/277-278).
2. al-Baghawi penulis kitab “at-Tahdzib” berbeda
pendapat dengan pendapat yang ditetapkan oleh madzhab
Syafi’iyah dalam banyak persoalan, sebagaimana di
sebutkan penulis kitab “al-Madkhal li Syarhi as-
Sunnah.”1

3. al-Baqillani dan sebagian ulama hadits memilih


kalau yang dimaksud shalat wustha bukan shalat fajar
sebagaimana yang ditetapkan oleh imam asy-Syafi’i. 2
Lalu al-Baihaqi menyatakan, bahwa Ali (al-Baqillani)
mengubah pendapatanya, berbeda dengan yang
ditetapkan asy-Syafi’i di atas.3

4. al-Khaththabi berbeda pendapat dengan imam


asy-Syafi’i dalam hal wanita tak punya mahram boleh
berhaji bersama wanita lain (tema) yang dapat dipercaya.
Demikian pula dalam hal anjuran (wajib) membaca tasbih
saat ruku’ dan sujud dalam shalat. Itu beliau sampaikan
setelah menukil pendapat imam asy-Syafi’i yang memilih
tidak mewajibkan tasbih itu.4

1
. Lihat hal 268 dan seterusnya.
2
. Disebutkan oleh Ibnu katsir dalam kitab “Tafsir”nya (1/294).
3
. Kitab “Ahkamu al-Qur’an” (1/60).
4
. Kitab “Ma’alimu as-Sunan” (1/184 dan 188).
5. Ibnu Daqiq al-‘Ied memilih bahwa peristiwa
Fathu Makkah (penaklukan kota Makkah) dilakukan
dengan cara refresif. Berbeda dengan pendapat imam asy-
Syafi’i yang mengatakan Fathu Makkah dilakukan
dengan cara damai. 1

6. Ibnu Abdissalam berbeda tidak sependapat


dengan imam asy-Syafi’i dalam hal anjuran orang
berpuasa untuk tidak bersiwak (menyikat gigi). 2 Dan
masih banyak lagi contoh-contoh serupa lainnya.

Faktor penyebab utamanya adalah pesan imam


asy-Syafi’i kepada para muridnya untuk menaati hadits
dan meninggalkan pendapat pribadinya andai menyelisihi
hadits. Karena haram hukumnya seseorang menolak
apalagi menentang hadits Rasulullah saw.

1
. Kitab “Ihkamu al-Qur’an” (hal 460).
2
. Lihat kitab “Qawaidu al-Ahkam” (1/39).
BAHASAN KETIGA

Aqidah Imam asy-Syafi’i

Ulasannya terdiri dari pengantar dan tiga sub


bahasan penting.

Pengantar

Ulasan pada bahasan ini akan saya fokuskan pada


persoalan-persoalan tauhid dan penjelasan tentang syirik
menurut imam asy-Syafi’i. adapaun persolan-persoalan
detail aqidah dan keyakinan, maka para pembaca dapat
merujuk pada buku “Juhudu asy-Syafi’iyah fi Taqriri
Tauhidi al-‘Ibadah” dan kitab-kitab lain yang disebutkan
pada bahasan sebelumnya.

Perkataan, pendapat dan penjelasan imam asy-


Syafi’i mengenai aqidah dan keimanan banyak dinukil
oleh para ulama Syafi’iyah, seperti Allalika’i, al-
Ashbahani, al-Baihaqi, Ibnu Abi Hatim, Abu Nu’aim,
adz-Dzahabi dan selainnya.
Berikut ini saya sebutkan beberapa contoh
perkataan imam asy-Syafi’i mengenai aqidah dan
keimanan. Disertai penjelasan para murid-murid imam
asy-Syafi’i.

I. Tauhid Menurut Imam asy-Syafi’i.

Tiga tema utama yang akan diulas pada bahasan


ini, yakni;

A. Makna Tauhid1

Al-Hakkari meriwayatkan dari al-Muzani dari


imam asy-Syafi’i, beliau mengatakan, saya pernah
bertanya ke imam Malik tentang tauhid, lantas imam
Malik menjawab: “Mustahil Rasulullah saw ajarkan
ummatnya cara beristinja’ (cara membersihkan najis)
sebelum mengajarkan mereka tauhid.

Dan yang dimaksud dengan tauhid adalah sabda


Rasulullah saw: “Saya diperintahkan untuk “perangi”

1
. Silahkan merujuk pada nukilan perkataan imam asy-Syafi’i tentang
makna tauhid dalam kitab “Juhudu asy-Syafi’iyah”, tepatnya pada
bahas pertama; Makna Tauhid Menurut Syariat, (hal 33-56). Jumlah
perkataan imam asy-Syafi’i dan para ulama madzhab Syafi’iyah
mencapai 50 perkataan.
manusia hingga mereka mengucapkan la ilaha illallah
(tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah swt),
siapapun yang rela hati mengucapkannya, maka harta dan
hidupnya terjaga, Jika mereka melanggar syariat Allah
swt, mereka yang akan mempertanggungjawabkannya.
Jadi, yang menjamin hak hidup dan keamanan harta
benda, itulah hakikat tauhid.”

Hadits ini menunjukkan, kalau tauhid menjadi


faktor utama dan factor satu-satunya agar harta dan hidup
seseorang terjaga dan terlindungi.

Yang beliau maksudkan adalah, bahwa makna


tauhid tidak seperti yang dikemukakan para ahli ilmu
kalam. Akan tetapi, makna tauhid sudah disebutkan oleh
hadits Rasulullah saw, tepatnya pada kalimat “hingga
mereka mengucapkan la ilaha illallah (tidak ada yang
berhak disembah kecuali Allah). Itu berarti, yang bisa
menjamin hak hidup orang musyrik adalah setelah mereka
bersyahadat.

Imam asy-Syafi’i menjelaskan lebih luas makna


tauhid dalam kitabnya “al-Umm”. Tepatnya pada tema
“Washfu al-Islam” (kapan seseorang dikatakan muslim).
Beliau menetapkan syarat budak yang boleh
dimerdekakan sebagai kaffarah. Beliau berkata; “Apabila
seorang budak perempuan disandera bersama kedua orang
tuanya yang masih kafir, lalu dia berislam namun belum
baligh maka kaffarah tersebut belum memadai. Hingga
budak yang dimerdekakan tersebut mencapai usia baligh.”

Beliau lanjutkan, “Dan dia dianggap muslim


setelah mengucapkan dua kalimat syahadat serta
menjauhi semua ajaran yang bertentangan dengan aqidah
Islam. Jika itu dia penuhi maka sempurnalah
keislamannya.

Beliau berdalilkan hadits al-jariyah (budak kecil)


yang ditanya Rasulullah saw, dimana Allah? Budak itu
menjawab; Allah di langit. Kemudian Rasulullah saw
bertanya lagi: siapakah saya? Engkau adalah Rasulullah
(utusan Allah). Rasulullah pun bersabda: merdekakan dia
karena dia termasuk mukminah (wanita beriman).

Beliau juga menegaskan dalam kitabnya “al-


Umm”, siapapun yang murtad maka dia diminta untuk
bersyahadat kembali dan meninggalkan ajaran yang
bertentang dengan islam. Jika dia penuhi itu, maka
dianggap sudah cukup sekaligus dihitung sebagai bentuk
pertaubatannya.

Berarti, makna tauhid menurut imam asy-Syafi’i


adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Tidak seperti
yang disebutkan para ahli ilmu kalam yang mereka
istilahkan hudutsu al-ajsam (reinkarnasi).

Disebutkan oleh al-Hakkari dan al-Harawi, bahwa


Ibnu Suraij yang dikenal dengan sebutan al-Baaz al-
Asyhab, salah seorang ulama Syafi’iyah terkemuka
mengatakan; “Tauhidnya para ulama dan seluruh kaum
muslimin adalah mengucapkan dua kalimat syahadat.
Sedangkan tauhidnya orang-orang sesat adalah mengulik
fisik dan materi. Padahal diketahui Rasulullah saw diutus
untuk menghapuskannya.

Utsman ad-Darimi mengatakan; “Makna tauhid


menurut ulama adalah mengucapkan la ilaha illallah, tidak
ada serikat baginya. Sesuai sabda Rasulullah saw:
“Siapapun yang mengucapkannya dengan tulus maka dia
dimasukkan ke dalam syurga.”
Ibnu Nashr al-Marwazi mengatakan: “Semua
kaum muslimin sepakat mengakui keislaman setiap orang
(walau sebelumnya kafir) yang mengucapkan, asyhadu
anla ilaha illallah wa anna Muhammadan Rasulullah
(saya bersaksi hanya Allah yang berhak diibadahi dan
Muhammad adalah utusan Allah). Biarpun orang itu
belum mendirikan shalat dan belum berpuasa.

Tak terlepas bagi mereka yang diislamkan oleh


Rasulullah saw. Keislamannya hanya bisa ditandai
melalui dua kalimat syahadat yang diucapkannya.

Perkataan imam asy-Syafi’i yang diriwayatkan


oleh tiga ulama Syafi’iyah ternama di atas menunjukkan
kalau dua kalimat syahadat menjadi pintu keislaman
seseorang merupakan kesepakatan kaum muslimin.

Menjelaskan perkataan al-Bukhari “Kitab at-


Tauhid” Ibnu Hajar mengatakan: “Yang dimaksud dengan
mentauhidkan Allah swt adalah bersaksi bahwa Allah swt
adalah ilah (sembahan) satu-satunya, yang disebut tauhid
al-ammah (tauhid orang awam) oleh para sufi tulen.
Ada dua tafsiran tauhid yang keliru di tengah
masyarakat. Pertama, tafsiran orang-orang mu’tazilah.
Kedua, tafsiran orang-orang sufi tulen. Orang-orang sufi
tidak mengakui peran manusia dan kendali pada amal dan
tindakannya hinga berkeyakinan para pendosa bahkan
orang kafir tidak layak disiksa.

Ada sekitar 21 ulama Syafi’iyah yang secara tegas


(tekstual) memaknai al-ilah dengan al-ma’buud (dzat
yang disembah). Di antara mereka itu adalah, al-Azhari,
al-Khatthabi, al-Baghawi, as-Sam’ani, az-Zarkasyi, al-
Ajurri, al-Baidhawi, Zakariyah al-Anshari, al-Mahalli, as-
Suyuthi, al-Fairuzabadi, Ibnu Katsir, al-Maqrizi, al-
Biqa’i, asy-Syarbini, al-Munawi, al-Ijabi al-Hasani, at-
Taftazani al-hafid, hafid Mas’ud al-Hanafi dan selainnya.

Mereka semua tegas mengatakan, arti al-ilah


adalah al-ma’buud seperti yang dinukil secara tekstual
dalam kitab-kitab madzhab Syafi’iyah.1

1
. Silahkan perhatikan semua nukilan yang dimaksud dalam kitab
“Juhudu asy-Syafi’iyah” pada Bahasan Kedua; Makna La Ilaha
Illallah, (hal 57-82). Pada bahasan tersebut saya sebutkan 65 nukilan
dari imam asy-Syafi’i juga dari para murid-muridnya.
Termasuk yang menarik perhatian adalah tafsir ar-
Razi terhadap firman Allah swt: “Dan ilah (Tuhan) kalian
adalah ilah yang esa.” (Qs; al-Baqarah: 163). Beliau
mematahkan pemahaman para sahabatnya dahulu dari
kalangan ahli kalam yang membatasi makna al-ilah hanya
berkisar mada al-qadir (berkuasa). Beliau menegaskan,
makna al-ilah adalah al-ma’buud (yang berhak
disembah).

Beliau mengatakan, “Andaikan makna al-ilah


adalah al-qadir dalam ayat (dan ilah kalian adalah ilah
yang esa), maka ayat tersebut menjadi “Dan maha kuasa
kalian adalah maha kuasa yang esa”. Sungguh makna ayat
seperti ini menjadi tidak elok dan tidak berarti apa-apa.”
Jadi tepatlah jika arti al-ilah adalah al-ma’buud seperti
dijelaskan sebelumnya.

Hanya memaknai kata al-ilah dengan al-ma’buud,


arti kalimat tauhid menjadi lebih jelas, tegas dan
bermakna. Artinya, kalimat la ilaha illallah bermakna,
“Tidak ada dzat yang berhak disembah kecuali Allah yang
esa.”
Makna yang terkandung dalam kata “la” adalah
“yang berhak disembah”. Ada 12 ulama syafi’iyah yang
menyebutkan makna di atas secara tekstual. Mereka itu
adalah, as-Sam’ani, al-Baghawi, Ibnu katsir, al-Biqa’i, al-
Ijabi al-Hasani, as-Suyuthi, at-Taftazani al-hafid, asy-
Syarbini, al-Munawi, as-Suwaidi, bahkan hinga ar-Razi
dan al-Baidhawi.

Imam asy-Syafi’i mengomentari diskusi yang


terjadi antara Abu Bakar dan Umar mengenai
kebijakannya memerangi orang-orang murtad. Di mana
sikap tersebut terkait erat dengan makna kalimat tauhid.

Beliau mengatakan, keduanya tahu kalau di antara


yang mereka perangi itu, masih ada orang-orang yang
beriman. Jika tidak demikian, niscaya Umar tidak ragu
memerangi mereka. Abu Bakar pun pasti mengatakan
dengan tegas, mereka itu sudah merusak kalmat tauhid
mereka dan mereka sudah tergolong orang-orang
musyrik.

Makna kalimat “meningglkan la ilaha illallah”


adalah melakukan perbuatan syirik sebagaimana
terkandung dalam kalimat tauhid. Orang yang tinggalkan
kalimat tauhid berarti ia meninggalkan ibadah yang tulus
dan ikhlas kepada Allah swt lalu beralih ke syirik. Karena
itu, kalimat tauhid mewajibkan seseorang untuk
menghindari perbuatan syirik, dan hanya beribadah
kepada Allah swt.

Ibnu Hajar menjelaskan hadits Abu Dzar yang


marfuu’ (dihukumi sampai kepada Rasulullah saw) denga
dua redaksi yang berbeda.

Pertama: “Barangsiapa yang meninggal dunia lalu


tidak mensyerikatkan Allah dengan sesuatu pun, maka dia
masuk syurga.”

Kedua; “Tidaklah seseorang dari hamba Allah


yang mengucapkan la ilaha illallah kemudian meninggal
dunia kecuali dia akan masuk ke dalam syurga.”

Ibnu Hajar mengatakan, “Menjauhi dan


meninggalkan perbuatan syirik merupakan syarat utama
untuk memantapkan tauhid seseorang.”

Penegasan lain disebutkan oleh imam asy-Syafi’i


dalam kitab “al-Umm”. Beliau mengatakan: “Iman itu
memiliki dua sisi. Bagi para penyembah berhala, apabila
sudah mengucapkan dua kalimat syahadat maka sungguh
dia telah beriman. Berbeda dengan sebagian ahli kitab.
Mereka mengucapkan dua kalimat syahadat namun tidak
bermanfaat baginya sedikitpun.

Disebutkannya penyembah berhala secara spesifik


disebabkan karena mereka sangat faham konsekuensi
kalimat tauhid itu. Jadi, ketika mereka mengucapkannya
dengan tulus, berarti mereka mengikrarkan untuk
meninggalkan segala sembahan mereka sebelumnya.
Kemudian memurnikan ibadah mereka hanya kepada
Allah swt.

Atas dasar itulah, al-Khaththabi mengatakan, yang


diinginkan oleh hadits “Saya diperintahkan perangi
manusia hingga mereka mengucapak la ilaha illallah”
adalah para penyembah berhala, bukan para ahli kitab.
Karena para ahli kitab tetap diperangi sekalipun mereka
sesungguhnya tahu bahkan mengucapkan kalimat la ilaha
illallah.

Elok rasanya menyebutkan penjelasan makna


kalimat tauhid oleh al-Baihaqi dalam kitabnya “al-
Arba’in ash-Shughra”. Beliau mengatakan: “Bab satu
mengesakan Allah swt dalam ibadah, dan tidak beribadah
kepada selainnya.” Kemudian beliau menyebutkan hadist,
“Barangsiapa mengesakan Allah swt dan mengingkari
seluruh sembahan selain-Nya, maka dijaga harta dan
darahnya (hak hidupnya).” Kemudian hadits Mu’adz,
“Tahukah engkau hak Allah atas hamba-hamba-Nya?
Yakni hendaknya mereka menyembah_nya dan tidak
menyekutukannya dengan sesatu apapun.”

Masing-maisng dari kedua hadits di atas memuat


dua rukun tauhid. Yakni an-nafyu (meniadakan sembahan
selain Allah swt) dan al-itsbat (menetapkan hanya Allah
swt satu-satunya sembahan yang sah/benar).

Kalimat “wahhadallah” (mengesakan Allah)


bermakna itsbat, sedang kalimat “wa kafara bima
yu’badu” (mengingkari sembahan lain) mengandung an-
nafyu.

Kalimat “an ya’buduhu” (mereka menyembah-


Nya) mengandung itsbat. Sedang kalimat “wa la yusriku
bihi sya’ian” (dan tidak menyekutkan-Nya dengan
sesuatu apapun) mengandun an-nafyu.
Pelajaran penting dari nukilan di atas, bahwa
makna tauhid al-ibadah bukan hasil ijtihad ulama
kontemporer. ia sudah ada dan diketahui pasti oleh
generasi awal seperti imam al-Baihaqi yang lahir pada
abad 4 Hijriyah, yakni tahun 384 H dan meninggal tahun
458 H.

Fakta ini membuktikan bahwa makna tauhid


ibadah sudah diketahui jauh sebelum abad 8 H yang
diklaim sebagai masa awal istilah tauhid al-ibadah
dikenal.

B. Syarat-syarat Kalimat Tauhid 1

Imam asy-Syafi’i menerangkan syarat yang mesti


dipenuhi agar kalimat tauhid yang diucapkan bisa
diterima dan diakui.

Dalam kitab “al-Umm” beliau menegaskan;


“Barangsiapa dari kalangan ahli kitab yang mengucapkan
la ilaha illallah Muhammadan Rasulullah sembari

1
. Silahkan perhatikan semua nukilan yang dimaksud dalam kitab
“Juhudu asy-Syafi’iyah” pada Bahasan Ketiga; Syarat-syarat La Ilaha
Illallah, (hal 85-111). Pada bahasan tersebut saya sebutkan 70 nukilan
dari imam asy-Syafi’i juga dari para murid-muridnya.
meyakini kenabian Muhammad saw, mak itu belum
cukup hingga mereka juga meyakini kalau dinu
Muhammad saw (agama Islam) adalah yang benar dan
satu-satunya yang wajib diikuti. Sembari berlepas diri dari
semua ajaran yang menyelisihi agama Islam.

Berbeda dengan mereka yang bukan ahli kitab,


maka mengucapkan la ilaha ilallah Muhammadan
Rasulullah sudah dianggap cukup membuat mereka
berislam. Tanpa tambahan yang wajib dipenuhi oleh ahli
kitab.

Yang beliau maksudkan adalah sebagian ahli kitab


yang sudah mengucapkan dua kalimat syahadat, akan
tetapi mereka juga menganggap kalau Nabi Muhammad
saw diutus hanya kepada bangsa Arab semata. 1

Tampak sekali ketegasan dan kejelian imam asy-


Syafi’i menyikapi kelompok ahli kitab seperti itu. Dua
kalimat yang mereka ucapkan dianggap belum cukup

1
. Disebutkan, banyak ulama yang pernah bertemu dengan kelompok
ahli kitab seperti itu bahkan mereka pun telah menetapkan fatwa
hukum atas mereka, di antara mereka, ada Ibnu Hazam, Ibnu
Taimiyah dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Bahkan Ibnu Qayyim sering
berdebat dengan mereka.
mengislamkan mereka. Mereka diwajibkan memnuhi
syarat lain sebagaimana yang telah beliau sebutkan di
atas.

Sebagaimana imam ay-Syafi’i menetapkan syarat-


syarat yang harus dipenuhi oleh orang-orang non muslim
yang hendak berislam, beliau juga menyebutkan beberapa
syarat yang mesti dipenuhi, bahkan oleh orang-orang
yang sudah mengklaim diri sebagai muslim.

Terkait ini, al-Baihaqi dan Ibnu Abdil Barr


meriwayatkan, bahwasanya imam asy-Syafi’i menentang
keyakinan Ibrahim bin Ismail bin Uliyyah al-Mu’tazili
yang teresat jalan.

Beliau berkata: “Saya berbeda pendapat dengan


dia di semua hal. Termasuk pada ucapan la ilaha illallah.
Saya menolak semua perkataannya. Saya mengatakan:
tidak ada sembahan kecuali Allah yang telah berbicara
dengan Musa dari balik hijab. Sedang dia mengatakan:
tidak ada sembahan kecuali Allah yang mnciptakan
perkataan yang dia perdengarkan kepada Musa dari balik
hijab.
Imam asy-Syafi’i juga mengharuskan seseorang
an-nuthqu bi al-kalimah (melafalkan kalimat tauhid) dan
tidak merasa cukup dengan keyakinan yang tumbuh
dalam hati. Beliau mengatakan: “Dan saya mengikatkan
hatiku dengan kalimat yang diucapkan oleh lisanku.”

Dalam kitab “al-Umm” beliau menegaskan:


“Apabila ada kafir yang mengimami kaum muslimin,
sedang mereka tidak tahu kekafiran imam tersebut, maka
shalat kaum muslimin tersebut tetap tidak sah. Shalat yang
didirikan oleh sang kafir itu, tidak serta merta
menjadikannya muslim, jika dia tidak mengucapkan dua
kalimat syahadat sebelumnya.

Demikian pula seorang muslim yang shalat


diimami orang yang murtad. Shalatnya tidak sah, kecuali
jika sang imam menunjukkan pertaubatannya sebelum ia
mengimami shalat.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa, menurut


imam asy-Syafi’I, seseorang dianggap muslim setelah
mengucapkan dua kalimat syahadat. Demikian pula,
orang yang murtad diwajibkan mengucapkan dua kalimat
syahadat agar taubatnya bisa diterima.
Dalam kitab “Syarhu Shahihu Muslim”, an-
Nawawi mengatakan: “Manhaj ahlu al-haq (manhaj yang
benar) meyakini, sekedar mengandalkan keyakinan hati
tidak memadai hingga dibuktikan dalam bentuk ucapan
lisan. Demikian juga, sekedar ucapan lisan tidak cukup
tanpa dikuatkan oleh keyakinan dalam hati. Jadi keduanya
mesti diwujudkan secara bersamaan. Ucapan lisan dan
keyakinan dalam hati.”

Syarat tauhid lain yang disebutkan Imam asy-


Syafi’i adalah tahu dan mengilmui kalimat tauhid beserta
konsekuensinya. Syarat ini dapat dilihat dari penjelasan
beliau mengenai persyaratan budak yang dimerdekakan
pada pidana materi (kaffarah).

Imam asy-Syafi’i mengatakan: Apabila seorang


budak perempuan disandera bersama kedua orang tuanya
yang masih kafir, lalu dia berislam namun belum baligh
maka kaffarah tersebut belum memadai. Hingga budak
yang dimerdekakan tersebut mencapai usia baligh.”

Dalam kitab “ar-Risalah” beliau tegaskan, “Setiap


muslim wajib mempelajari bahasa Arab agar dia fahami
dua kalimat syahadat yang dia ucapkan.”
Dapat dipastikan, tahu makna syahadat yang
disyaratkan imam asy-Syafi’i menunjukkan pentingnya
seseorang menyadari konsekuensi dua kalimat syahadat
yang diucapkannya. Dan bukan sekedar untuk
mengulang-ulang dua kalimat syahadat tanpa tahu makna
dan konsekuensi hukumnya.

Persis seperti yang terkandung dalam firman Allah


swt: “Kecuali orang-orang yang menyaksikan kebenaran
dan mereka betul-betul mengetahui.” (Qs: az-Zukhruf:
86).

Al-Baghawi menjelaskan: “Yang dimaksud


dengan syahadat al-haqqai (dalam ayat di atas) adalah
kalimat la ilaha ilallah yakni kalimat tauhid. Sedang
kalimat “Dan mereka betul-betul mengetahui” adalah
perkataan dan apa yang dipersaksikan oleh lisan mereka.

Masih ada beberapa syarat kalimat tauhid yang


mesti dipenuhi setiap orang dan telah dijelaskan dalam
buku “Juhudu asy-Syafi’iyah” sebelumnya.
c. Tauhid Kewajiban Pertama 1

Sejatinya persoalan ini sudah sangat jelas. Bukti


faktualnya adalah jumlah orang berislam yang banyak dan
dituntun langsung oleh Rasulullah saw. Dimana, mereka
semua diminta mengucapkan dua kalimat syahadat
terlebih dahulu. Setelah itu, barulah mereka diperintahkan
menunaikan rukun Islam lainnya.

Begitu pula yang diterapkan para sahabat dan para


tabi’in di ekspansi mereka. Ribuan orang yang berislam
di bawah bimbingan mereka. Faktanya, yang pertama
mereka pinta dari ribuan orang yang hendak berislam itu
adalah mengucapkan dua kalimat syahadat. Tidak ada
yang lain.

Hadits Mu’adz dalam shahihain (Shahih Bukhari


dan Shahih Muslim) menjadi dalil kuat mengenai ini. di
dalamnya disebutkan arahan Rasulullah saw kepadanya.
“Hendaklah yang pertama engkau lakukan adalah, engkau

1
. Silahkan perhatikan semua nukilan yang dimaksud dalam kitab
“Juhudu asy-Syafi’iyah” pada Bahasan Keempat; Tauhid, Dakwah
Pertama Para Rasul, (hal 113-151). Pada bahasan tersebut saya
sebutkan 57 nukilan dari imam asy-Syafi’i juga dari para murid-
muridnya.
ajak mereka mengucapkan dua kalimat syahadat
(persaksian bahwa tidak ada dzat yang berhak disembah
kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah). Jika
mereka mengikuti ajakanmu itu, maka sampaikan kepada
mereka bahwa Allah wajibkan mereka mendirikan shalat
lima kali dalam sehari semalam.”

Al-Khaththabi menjelaskan, dalam hadits itu,


Rasulullah saw mengurutkan kewajiban seseorang yang
hendak berislam. Diawali dengan mengucapkan kalimat
tauhid kemudian disusul dengan perintah mendirikan
shalat lima waktu lalu ditutup dengan perintah
mengeluarkan zakat. Karena kewajiban zakat hanya
diperuntukkan bagi sebagian orang saja. Tidak semuanya.

Berdasarkan hadits Mu’adz di atas juga, al-


Khathtabi menyimpulkan, kewajiban utama orang-orang
kafir itu adalah mengucapkan dua kalimat syahadat.
Setelah mereka menguapkannya, barulah mereka diminta
menjalankan aturan syariat dan ibadah. Soalnya,
Rasulullah saw sudah mengurutkannya dalam hadits di
atas. Dimulai dengan syahadat lalu diikuti shalat
kemudian zakat.
Walaupun persoalan ini sudah terang benderang,
hanya saja masih ada sebagian orang, utamanya dari
kalangan ahli kalam dan sekte Mu’tazilah yang
berkeyakinan, mengucapkan syahadat bukan kewajiban
pertama manusia.

Menurut mereka, kewajiban pertama adalah an-


nazhar (proses pencarian). Bahkan sebagian malah
menganggap kewajiban pertama manusia adalah al-
qashdu ila an-nazhar (tumbuhkan niat untuk melakukan
proses pencarian). Atau istilah-istilah lain yang serupa.
Sebagian bersikap saklak karena menganggap sudah
berlaku umum.

Al-Juwaini mengatakan, jika seseorang diberikan


kesempatan untuk melakukan proses pencarian tuhan
namun tidak ia lakukan, dan tidak ada hambatan yang
mengalanginya melakukan itu, maka ia dianggap orang
kafir. Akan tetapi, beliau menarik pendapatnya itu dalam
kitabnya “an-Nizhamiyah” yang konon menjadi karangan
terakhirnya.
Mereka seolah tak peduli dampak negative yang
ditimbulkan oleh pendapat zalim mereka itu terhadap
terhadap status keislaman mayoritas kaum muslimin.

Al-Qurthubi dan Ibnu Hajar menyebutkan, ketika


dikatakan kepada salah seorang dari mereka, bahwa
keyakinan mereka itu mengharuskannya mengkafirkan
orang tua mereka, nenek moyang mereka bahkan
tetangga-tetangga mereka. Dia menjawab: “Jangan
engkau kecam aku karena banyaknya penduduk neraka.”

Karena jawaban seperti di atas, memantik


seseorang menghujat al-Murdar al-Mu’tazili mengatakan:
“Apakah logis syurga yang seluas langit dan bumi itu,
hanya diisi oleh anda dan tiga sahabatmu? Dia pun diam
terpaku membisu.1

Keyakinan para ahli ilmu kalam tersebut sangat


bertentangan dengan nash-nash syariat. Juga menyelisihi
ketetapan ulama generasi salaf.

Ibnu Jarir, Ibnu Nashr, Ibnu Mardawaih, dan al-


Baihaqi serta ulama lainnya meriwayatkan dari ibnu

1
. Kitab “Siyaru A’lami an-Nubala’” karangan adz-Dzahabi (10/548).
‘Abbas, beliau menegaskan: “Sesungguhnya Allah swt
mengutus Muhammad saw untuk mengajak manusia
mengucapkan syahadat. Setelah mereka bersyahadat,
Allah swt tambah dengan diperintah mendirikan shalat.
Sesudah mereka menerimanya, Allah swt tambah dngan
perintah puasa, setelah mereka terima itu, Allah swt
tambah dengan kewajiban bayar zakat, setelah mereka
menerimanya, Allah swt tambah dengan kewajiban
menunaikan haji.

Dengan demikian maka sempurnalah agama


mereka itu, lalu beliau membaca ayat: “Dan hari ini telah
aku sempurnakan bagi kalian agama kalian.”

Begitulah urutan kewajiban yang ditetapkan Allah


swt. Kewajiban syariat berupa ibadah dan lainnya
ditunaikan setelah mengucapkan kalimat tauhid.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amru,


beliau berkata: “Seseorang yang telah mengucapkan la
ilaha illallah, maka dialah kalimat ikhlash (tauhid) yang
menjadi pondasi diterimanya amal seseorang.”1

1
. Kitab “Jami’u al-Bayan” (15/65).
Menurut beliau, diterima atau tidaknya semua
amalan seseorang sangat ditentukan oleh kalimat tauhid.
Karena, itulah kewajiban pertama yang wajib ditunaikan
seorang hamba sebelum kewajiban-kewajiban lainnya.

Al-Fudhail mengatakan: “Pokok-pokok keimanan


dan turunannya diwajibkan setelah syahadat dan tauhid
dan setelah persaksian atas kerasulan Muhammad saw.
Dan setelah kewajiban-kewajiban mendasar, barulah
diikuti perintah jujur berucap dan perintah tunaikan
amanah, 1 dan yang lainnya. Semua amalan tersebut
diperintahkan setelah dua kalimat syahadat.

Di beberapa tempat dalam kitab “al-Umm”, imam


asy-Syafi’i menegaskan bahwa tauhid merupakan
kewajiban pertama yang mesti ditunaikan.

Menjawab seseorang yang berpendapat, orang


yang meninggalkan shalat tidak boleh dipidana mati,
imam asy-Syafi’i mengatakan: “Shalat merupakan
kewajiban kedua setelah mentauhidkan Allah dan
syahadat bahwa Muhammad adalah Rasul Allah swt serta

1
. Diriwayatkan oleh Abdullah dalam kitab “as-Sunnah” 92/376).
perintah mengimani semua yang datang dari Allah
tabaraka wata’ala.”

Jawaban di atas menunjukkan bahwa kewajiban


pertama adalah tauhid dan persaksian bahwa Muhammad
saw adalah seorang Rasul. Sedang shalat merupakan
kewajiban yang kedua setelah dua kalimat syahadat sesuai
dengan urutan yang disebutkan dalam hadits Mu’adz.

Dalam kitab “al-Umm”, imam asy-Syafi’i menulis


satu tema tentang wahyu dan perintah pertama yang
diturunkan kepada Muhammad saw dan kepada manusia.

Ringkasan bahasan yang panjang dapat ditulis


sebagai berikut: “Allah swt menetapkan kewajigan
manusia sesuai kehendak-Nya. Kemudian Allah swt
tetapkan beberapa kewajiban secara berurutan di waktu
yang berbeda.

Yang pertama diturunkan kepada Muhammad saw


adalah firman Allah swt: “Bacalah dengan nama
Tuhanmu.” Ayat ini belum ada perintah kepada
Muhammad saw untuk mendakwahi kaum musyrikin. Itu
bertahan hingga beberapa saat.
Kemudian turun perintah kepada beliau untuk
mengabarkan wahyu yang diturunkan kepadanya dan
mengajak manusia untuk mengimaninya. Saat itu, beliau
kawatir manusia membangkang.

Lalu turun lagi perintah kepada beliau untuk


menyampaikan wahyu itu kepada manusia sekaligus
mengajak mereka untuk menyembah Allah swt satu-
satunya. Masa ini belum ada perintah untuk perangi kaum
musyrikin dan tidak pula perintah menjauhi mereka.

Kemudian diturunkan kepadanya firman Allah


swt: “Katakanlah wahai orang-orang kafir. Saya tidak
menyembah apa yang kalian sembah.” Sesaat kemudian
diturunkan pula kepada beliau perintah untuk menjauhi
kaum musyrikin melalui firman Allah swt: “Jika engaku
temukan orang-orang yang mempermainkan ayat-ayat
kami maka berpalinglah engkau dari mereka.” (Qs: al-
An’aam: 68).

Selanjutnya imam asy-Syafi’i menyebutkan


perintah berikutnya, yakni izin berhijrah, lalu perintah
berhijrah, izin memerangi kaum kafir lalu perintah
perangi mereka. Sembari menekankan, bahwa perintah
yang diturunkan kepada Muhammad saw dan kepada
manusia itu bertahap.

Dari penjelasan di atas diketahui, bahwa perintah


pertama yang diturunkan kepada Nabi saw adalah
perintah menyampaikan wahyu dan beribadah kepada
Allah swt. Landasan perintahnya adalah surat al-Kafirun
yang di dalamnya ada perintah untuk mengesakan ibadah
kepada Allah swt dan menjauhi semua sembahan selain
Allah swt. oleh karenanya, hadits riwayat Ahmad dan Abu
Dawud menyebutkan, “dan berlepas diri dari perbuatan
syirik.”

Dari perkataan imam asy-Syafi’i dalam kitab “al-


umm” tersebut, para ulama menarik satu ketetapan
hukum. Yakni; “Wajib mengajarkan anak-anak tata cara
thaharah (bersuci) dan shalat. Lalu memukul mereka
yang sudah akil baligh jika meninggalkannya. Jadi, pria
yang sudah mimpi basah dan wanita yang sudah haid serta
yang sudah mencapai 15 tahun wajib menunaikan
kewajiban ini.

Para ulama juga menetapkan, bahwa yang pertama


yang wajib dilakukan adalah mengucapkan dua kalimat
syahadat. Anak-anak yang sudah akil tidak diwajibkan
melakukan proses pencarian tuhan dan tidak pula
memperbaharui syahadat. Sebab, sudah dianggap cukup
dan sempurna dua kalimat syahadat yang diucapkan
sebelumnya, baik lafadznya maupun maknanya.

Dan mustahil imam asy-Syafi’i mewajibkan shalat


lalu mengabaikan tauhid. Padahal tauhid merupakan
landasan dan pijakan diterimanya ibadah seperti shalat
dan lainnya.

Persis seperti yang dikatakan oleh Muhammad bin


Nashr, salah seorang murid dari murid-muridnya imam
asy-Syafi’i, “Tidak ada kewajiban lain setelah perintah
tauhid dan perintah mengimani kerasulan Muhammad
serta perintah mengimani semua yang datang dari Allah
swt selain shalat.

Kemudian beliau mengatakan, Allah swt


menjadikan shalat sebagai kewajiban pertama yang
disebutkan setelah perintah tauhid.

Perlu diketahui, bahwa perintah an-nazhar (proses


pencarian tuhan) yang dijumpai pada perkataan al-Asy’ari
adalah klaim yang dikembangkan oleh sekte Mu’tazilah.
Sebagaimana yang diuraikan oleh Ibnu Hajar dalam
kitabnya “al-Fathu” menukil dari Abu al-Walid al-Baji
dari gurunya as-Samnani –seorang asy-‘Ari-. Dia
menjelaskan bahwa kewajiban pertama adalah
mengetahui Allah swt melalu dalil dan argument
mutakallimun (para pegiat ilmu kalam).

Akan tetapi, al-Asy’ari sadar dan meninggalkan


perkataan itu di akhir hayatnya, seperti yang ditegaskan
oleh al-‘Izz bin Abdussalam. Beliau mengatakan: “Di
akhir hayatnya, al-Asy’ari bertaubat dan menarik
perkataannya yang mengkafirkan ahli qiblat (kaum
muslimin).”

Taubatnya al-Asy’ari disebutkan dalam kitab


“Sunan al-Baihaqi” bahwasanya, beliau meminta Zahir
as-Sarakhsi kalau beliau telah menarik sikapnya yang
mengkafirkan kaum muslimin.

Dalam kitab “as-Siyaru” Adz-Dzahabi berkata:


“Saya menemukan perkataan al-Asy’ari yang valid dan
menarik perhatianku, lalu beliau menyebutkan perkataan
di atas.
Jika dikatakan, kenapa pengakuan adanya Rabb bukan
menjadi kewajiban pertama yang mesti ditunaikan
manusia?

Jawabannya, bahwa pengakuan akan adanya Allah


swt sudah menjadi bawaan dalam diri tia-tiap orang.
Banyak ayat dan hadits yang menegaskan itu.

Imam at-Thabari, satu di antara ulama yang


menukil banyak perkataan ulama terkait ini. Tepatnya
pada tafsir firman Allah swt: “Dan tidaklah kebanyakan
mereka beriman kepada Allah melainkan juga mereka
menjadi orang-orang musyrik.” (Qs; Yusuf: 106).

Kemudian beliau menukil perkataan banyak


generasi salaf, di antaranya Ibnu ‘Abbas, ‘Atha’, Mujahid,
Qatadah, ‘Amir, Ibnu Zaid, dan adh-Dhahhaka yang
mengatakan, bahwa iman yang disandang oleh orang-
orang musyrik dalam ayat ini adalah pengakuan mereka
kalau Allah swt adalah pencipta, pemberi rezeki dan
perkara-perkara Rububiyah Allah swt lainnya. Adapun
syirik yang dimaksud ayat ini adalah, syirik mereka dalam
ibadah. 1

Imam asy-Syafi’i menjelaskan hakikat2 persoalan


ini, tatakala beliau mengulas hadits fitrah yang berbunyi:
“Tidak ada bayi yang dilahirkan melainkan dalam
keadaan fitrah.”

Banyak ulama yang meriwayatkan itu, di


antaranya, al-Khaththabi, al-Baghawi, Ibnu al-Atsir dan
ulam lainnya.

Abu al-Muzhaffar as-Sam’ani berpendapat,


bahwa makna fitrah yang tepat dalam hadits di atas
adalah, setiap menusia ketika ditanya; siapa yang
menciptakanmu? Dia menjawab; Allah swt yang
menciptakanku.

Pengetahuan dan keyakinan ini termasuk bahwa


setiap orang. Pengetahuan dan keyakinan ini pula yang

1
. Lihat kitab “Jami’u al-Bayan” (13/50-52).
2
. Silahkan perhatikan semua nukilan yang dimaksud dalam kitab
“Juhudu asy-Syafi’iyah” pada Bahasan Pertama pada Sub Kedua;
Pengakuan Orang Kafir Terhadap Tauhid al-Ma’rifah, (hal 157-172).
Pada bahasan tersebut saya sebutkan 33 nukilan, sebagiannya
disebutkan di sini dengan tambahan nukilan perkataan al-Ajurri.
dimaksudkan ditegaskan Allah swt dalam firman-Nya:
“Dan jika engkau tanya mereka, siapa yang menciptakan
mereka, mereka pasti menjawab Allah.” (Qs; az-Zukhruf:
87). Jadi, sebatas pengakuan akan adanya Allah swt
belum cukup membuat seseorang jadi muslim apalagi
beriman. Karena pengakuan seperti merupakan “fitrah”
(bawaan) setiap individu.

Karenanya, Ibnu Nashr menerangkan, arang


musyrik tidak perlu diminta untuk mengakui kalau Allah
swt yang menciptakan mereka. Karena pada dasarnya
mereka dia sudah meyakininya dengan sendirinya. Yang
diminta darinya adalah meniningkari dan meninggalkan
kesyirikan itu.

Membantah aqidah Murji’ah, al-Ajurri berkata:


“Sejatinya iblis pun yakin Allah swt ada. Di antara
dalilnya, firman Allah swt: “Iblis berkata, wahai Rabb,
karena engkau telah menghukumku.” (Qs: al-Hajr: 39),
dan friman Allah swt: “Wahai Rabb, maka tangguhkan
kematianku.”(Qs: 36).

Demikian pula, orang-orang kafir dan orang-orang


musyrik sangat yakin kalau Allah swt yang menciptakan
langit dan bumi. Allah swt satu-satunya yang bisa
selamatkan mereka di gelepan darat dan laut. Termasuk,
ketika mereka ditimpa bencana dan petaka, mereka pun
hanya berdo’a kepada Allah swt.1

Usai mengklasifikasikan orang-orang musyrik ke


dalam empat kategori, ar-Razi mengatakan: “Mereka
semua menyakini kalau Allah swt yang menciptakan
segala sesuatu.” Di ujung perkataannya, beliau katakan:
“Sudah jelas bahwa semua orang-orang musyrik yakin
dan sepakat kalau pencipta mereka adalah Allah swt.”

Menafsirkan firman Allah swt: “Katakanlah,


siapakah yang memberikan rezeki kepada kalian dari
langit dan bumi.” Jawaban mereka: “Mereka menjawab
Allah.”, ar-Razi mengatakan: “Ayat ini menunjukkan
bahwa mereka yang ditanya mengakui dan yakin bahwa
Allah swt ada.

Al-Baidhawi mengatakan: “Kata tanya yang


disebutkan kepada orang-orang musyrik mengenai
perkara Rububiyah Allah swt, sejatinya merupakan

1
. Kitab “asy-Syari’ah” (hal 138).
bentuk kecaman dan hinaan terhadap mereka sekaligus
penegasa atas kebebalan mereka.

Hal itu serupa dengan firman Allah swt:


“Tanyakan kepada mereka, kepunyaan siapakah bumi
yang kalian diami jika kalian betul-betul orang yang
mengetahui (berilmu).” (Qs: al-Mukminun: 84).

Karena itu, Allah swt mengajarkan jawabannya,


yakni: “Mereka akan menjawab, Allah” (Qs: al-
Mukminun: 85) sebelum mereka menjawab pertanyaan
(bernuansa kecaman) di atas. Pasalnya akal dan logika
kurang dari pas-pasan pun pasti mengakui dan meyakini
Allah swt sebagai pencipta alam semesta.

Bahkan al-Baidhawi mengatakan, sejatinya


kesombongan dan pengingkaran terhadap persoalan-
persoalan Rububiyah Allah swt sulit diterima akal sehat
dan mustahil ada. Sebab, persoalan Rububiyah Allah swt
sudah sangat terang benderang wujudnya.

Sangat banyak ulama madzhab Syafi’iyah yang


menegaskan kalau orang-orang kafir itu mengakui dan
meyakini tauhid Rububiyah ini. Mereka itu, di antaranya,
as-Sam’ani, al-Baghawi, az-Zarkasyi, Ibnu katsir,
Zakariyah al-Anshari, al-Maqrizi, al-Ijabi al-mufassir, al-
Mahalli, as-Suyuthi, al-Munawi, as-Suwaidi dan masih
banyak yang lain.

Mereka berlandaskan pada firman Allah swt:


“Dan jika kalian tanya mereka.” Lalu Allah swt sebutkan
jawab orang-orang musyrik dalam ayat yang sama:
“Mereka pasti mengatakan Allah.” Dan ayat-ayat lain
yang senada.

II. Syirik dan Pengaruhnya

Sub bahasan di tema ini dibagi ke dalam empat


ulasan. Yakni;

Peringatan Penting
Sebelumnya melanjutkan bahasan ini lebih detail,
perlu disebutkan keterangan penting yang diutarakan as-
Suwaidi, seorang ulama Iraq terpandang di abad 13 H.

Beliau mengatakan: “Ketika Allah swt


memadamkan api kesyirikan dengan mengutus Nabi
Muhammad saw hingga hilang bersamaan dengan
punahnya generasi pegiat syirik, hampir-hampir tidak ada
seorang ulama pun yang mengulas tentang syirik dan
tidak seorang awam pun ditemukan mengotori diri dan
lisannya dengan kesyirikan.

Karena itu, bahasan ulama masa itu terkait hukum


pidana hanya berkisar pada persoalan riddah (keluar dari
Islam). Persoalan syirik sedikitpun mereka singgung.” 1

Tidak disangkal, perkataan as-Suwaidi di atas


sangat tepat dan tajam. Kondisi ideal ummat ini hanya
ditemukan di masa-masa awal, berbeda dengan kondisi
ummat setelah berlalunya masa-masa awal. Apalagi di
zaman kita saat ini. Persis seperti yang sudah disampaikan
di prediksi oleh Rasulullah saw.2

Karena itu, tidak heran jika kehidupan salaf steril


dari kesyirikan sekecil apapun ia. Ini yang menyebabkan

1
. Kitab “al-‘Iqdu ats-Tsamin” (hal 19).
2
. Diriwayatkan oleh imam Muslim, (no. 1844) bahwasanya
Rasulullah saw bersabda: “Sungguh kondisi ideal ummat hanya
dirasakan di masa-masa awalnya. Sementara ummat di masa-masa
akhir akan ditimpa bala’ (petaka) dan segala yang tak
mengenakkan.”
para ulama salaf tidak banyak membahas persoalan syirik.
Faktor utamanya, karena memang syirik tidak ditemukan
di kehidupan mereka.

Sebagai contoh, saya nukilkan perkataan imam


asy-Syafi’i tentang larangan meninggikan dan
membangun di atas kuburan. Lantas beliau meriwayatkan
larangan Nabi saw, tertuang dalam hadits: “Allah
binasakan orang Yahudi dan Nashrani sebab mereka
menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid
(tempat bersujud).”

Lantas beliau menguraikan larangan membangun


di atsa kuburan sembari berkata: “Dilarang –wallahu
a’lam- seorang mengangungkan siapapun, apalagi dengan
menjadikan kuburannya sebagai masjid. Tidak ada
jaminan bagi orang-orang yang datang kemudian tidak
terjebak dalam fitnah (kekufuran) dan kesesatan ini.” 1

Pernyataan beliau bahwa orang-orang yang


datang kemudian tidak dijamin tidak terjebak dalam
kesalahan tersebut menunjukkan kalau pelanggaran

1
. Kitab “al-Umm” (1/278).
tersebut belum ditemukan di masanya. Andaikan sudah
ditemukan, niscaya kekawatirannya tidak diperuntukkan
untuk orang-orang di masa mendatang. Namun, beliau
akan tegas menetapkan hukumnya serta hukum orang-
orang yang terjebak di dalamnya.

Jadi, tidak perlu heran jika pernyataan para ulama


seolah menganggap mustahil seseorang akan terjatuh
dalam kesyirikan.

Ibnu Khuzaimah mengatakan: “Bukankah sudah


diketahui secara umum, bahwa mustahil Rasulullah saw
menyuruh seseorang berlindung kepada makhluk Allah
dari kejahatan makhluk lain?

Atau adakah kalian pernah mendengar seorang


ulama membolehkan seseorang berdo’a mengatakan, saya
berlindung ke ka’bah dari kejahatan makhluk?

Atau membolehkan seseorang berkata, saya


berlindung ke Shafa dan Marwah, atau saya berlindung ke
‘Arafah dan Mina dari kejahatan makhluk Allah swt?

Mustahil seorang muslim akan mengucapkannya


dan mustahil pula ada ulama yang tahu syariat Allah swt
akan membolehkannya. Serta mustahil pula, seseorang
berlindung kepada makhluk Allah swt dari kejahatan
makhluk lainnya.”1

Mari perhatikan sejenak, pernyataan beliau di atas


menunjukkan, mustahil seorang muslim yang tahu syariat
Allah swt terjatuh dalam syirik. Tidak pula pernah
terlintas, ada ulama yang membolehkan sekecil apapun
perbuatan syirik semisal meminta dan berdo’a kepada
makhluk.

Bahkan kepada para pembaca kitabnya, beliau


ajukan pertanyaan retorik, pernahkah kalian mendengar
seorang alim membolehkan semua (syirik) itu?
Dengannya beliu tunjukkan. sangat mustahil seorang
yang tahu agama akan terjatuh dalam syirik.

Tidak mungkin beliau keluarkan pernyataan


seoerti di atas melainkan karena kesyirikan betul-betul
tidak di temukan di masa-masa emas (salaf) itu.

1
. Kitab “at-Tauhid” 1/400-402).
A. Makna Syirik 1

Hakikat dan makna syirik sangat mudah dikenali


oleh mereka yang tahu makna dan hakikat tauhid. Namun,
bagi mereka yang rancu memahami tauhid pasti makna
dan hakikat syirik baginya juga menjadi rancu. Kaedah ini
penting difahami.

Hakikat syirik menurut imam asy-Syafi’i dapat


diketahui jelas dari perkataannya, “Penyembah berhala
yang mengucapkan dua kalimat syahadat berarti ia telah
beriman.” Beliau tampakkan pengaruh besar dua kalimat
syahadat bagi penyembah berhala tersebut.

Alasannya, bahwa apabila syahadat adalah; tidak


ada sembahan yang hak/benar kecuali Allah swt
sebagaimana yang dinukil dari banyak ulama madzhab
Syafi’iyah, maka penyembah berhala yang mengucapkan
syahadat telah memproklamirkan dirinya berlepas diri

1
. Silahkan perhatikan semua nukilan yang dimaksud dalam kitab
“Juhudu asy-Syafi’iyah” pada Bahasan Pertama; Penjelasan tentang
hakikat Syirik, (hal 415-423). Pada bahasan tersebut saya sebutkan 26
nukilan dari imam asy-Syafi’i juga dari para murid-muridnya.
dari kesyirikannya. Dan tidak lagi menduakan Allah swt
dalam ibadahnya.

Telah disebutkan pula bagaimana diskusi tajam


antara Abu Bakar dan Umar tentang keputusan mereka
memerangi para murtaddin. Keduanya sangat faham
bahwa di antara yang mereka perangi itu masih ada yang
mempertahankan keimanan mereka. Andaikan tidak,
niscaya keduanya tak kan ragu memerangi mereka itu.
Dan Abu Bakar pun pasti berkata; mereka itu sudah keluar
dari jaminan la ilaha illallah hingga mereka sejatinya
sudah menjadi orang-orang musyrik.

Menanggalkan kalimat tauhid adalah hakikat


syirik itu sendiri. Persis seperti yang ditegaskan imam
asy-Syafi’i. Yakni; bahwa hakikat dan konsekuensi logis
kalimat tauhid adalah menyakini kalau ibadah itu hanya
milik Allah swt satu-satunya. Tidak pantas ditujukan
kepada selain Allah swt.

Itu berarti, menanggalkan kalimat tauhid adalah


meyakini kalau ada dzat lain yang diklaim berhak
disembah selain Allah swt. Lalu meniatkan ibadah kepada
Allah swt dan kepada selainnya secara bersama-sama.
Atas dasar makna di atas, imam asy-Syafi’i
mengikutkan ahli kitab ke dalam kelompok orang-orang
musyrik.

Dasarnya, kembali pada makna syirik


menurutnya. Yakni, makna yang dijelaskan oleh al-
Mawardi saat ditanya terkait persoalan ini. Beliau berkata;
sebab imam asy-Syafi’i menggolongkan ahli kitab
sebagai orang musyrik adalah, kata syirik sesungguhnya
mencakup semua yang meyakini adanya serikat yang
disembah bersama Allah swt.

Maksudnya, bahwa meniatkan ibadah kepada


sesuatu selain Allah swt adalah makna dan hakikat syirik.
Sama saja, apakah ibadah tersebut diperuntukkan kepada
Nabi seperti yang dilakukan ahli kitab, atau diniatkan
untuk selain nabi seperti yang dilakukan oleh ahli kitab
dari kalangan orang-orang musyrik tulen.

Mendefinisikan syirik, imam as-Sam’ani berkata;


meniatkan segala sesuatu yang hanya milik Allah swt
kepada Allah swt dan kepada selain Allah swt.
Hak untuk disembah merupakan murni milik
Allah swt, sedikitpun dan sekecil apapun, ia tidak boleh
diperuntukkan kepada selain Allah swt. Ini pulalah yang
dimaksudkan as-Sam’ani saat menafsirkan firman Allah
swt: “Katakanlah, saya dilarang keras menyembah
sembahan kalian yang selain Allah.” (Qs; al-An’am: 56).
Beliau mengatakan; ayat ini melarang syirik.”

Al-Baidhawi mengatakan, menyetarakan Allah


swt dengan selain-Nya dalam ibadah yang dimaksudkan
oleh penyesalan orang-orang musyrikin di neraka yang
disebutkan dalam ayat: “Demi Allah, sungguh kami
dahulunya dalam kesesatan yang nyata. Ketika kami
menyetarakan sesuatu dengan Rabb sekalian alam.” (Qs:
asy-Syu’ara: 97-98). Beliau tegaskan, yang dimaksud
adalah menyetarakan dalam ibadah.

As-Suwaidi menerangkan, syirik yang hendak


dipunahkan oleh para Rasul yang diutus adalah, dalam
bentuk memeruntukkan sesuatu yang murni dan hanya
milik Allah swt –yakni ibadah- kepada selain Allah swt.

Telah diketahui bersama, bahwa syirik itu dua


jenis. Yakni; syirik besar yang dapat mengeluarkan
seseorang dari Islam. Syirik jenis inilah yang diulas pada
bahasan ini. Kemudian syirik kecil; yaitu, yang belum
sampai mengeluarkan pelakunya dari islam.

Tidak mengetahui pembagian syirik ini bisa


berakibat fatal bagi seseorang. Pasalnya, karena
ketidaktahuan tentangnya bisa membuat salah memahami
nash-nash yang ada.

Bisa saja, nash-nash pengharaman syirik kecil


dibawa ke syirik besar. Dimungkinkan pula, perkatan
ulama yang mengharamkan syirik kecil difahami larangan
syirik besar. Atau sebaliknya.

Contoh faktualnya terlihat dari pendapat imam


asy-Syafi’i yang mengatakan, seorang imam yang
memperlama rukuknya hanya untuk menunggu para
makmum rukuk termasuk perbuatan syirik, seperti yang
beliau sebutkan dalam al-qaulu al-jadid (pendapat baru).

Hal ini difahami sebagian muridnya sebagai syirik


besar. Hingga mereka menyebutnya syiriknya imam
shalat yang bisa menghalalkan darahnya sebagaimana
yang dinukil al-Mawardi dalam kitab “al-Hawi”
karangannya.

Mendengar itu disebutkan oleh salah seorang dari


mereka, al-Mawardi membantahnya. Lantas beliau
meluruskan dan mengatakan, yang dimaksudkan imam
asy-Syafi’i dari kata syirik tersebut bukan kafir. Jadi,
orang yang mengkafirkan imam shalat disebabkan karena
mereka salah memahami perkataan imam asy-Syafi’i
tersebut.

B. Penyebab Terjatuh Dalam Syirik 1

Imam asy-Syafi’i menerangkan sebab-sebab


seseorang terjatuh dalam kesyirikan di pendahuluan
kitabnya “ar-Risalah”. Tepatnya saat mengklasifiksikan
orang-orang kafir di zaman Rasulullah saw ke dalam dua
kategori. Yakni;

Pertama; ahli kitab (orang kafir) yang mengubah


kitab suci mereka. Kedua; ahli kitab yang membuat-buat

1
. Silahkan perhatikan semua nukilan yang dimaksud dalam kitab
“Juhudu asy-Syafi’iyah” pada Bahasan Kedua; Sebab-sebab Syirik,
(hal 425-434). Pada bahasan tersebut saya sebutkan 28 nukilan dari
imam asy-Syafi’i juga dari para murid-muridnya. Sebagiannya
disebutkan di bab ini.
ajaran baru yang tidak disyariatkan Allah swt. Mereka
inilah yang menyembah patung dan berhala terbuat dari,
kayu dan lainnya, yang mereka ciptakan sendiri.

Dalam muqaddimah kitab ‘ar-Risalah”, Imam asy-


Syafi’i menyebutkan penyebab kesyirikan. Tepatnya,
pada saat beliau membagi orang-orang kafir ke dalam dua
kategori. Yakni;

Pertama; ahli kitab (orang kafir) yang mengubah


kitab suci mereka. Kedua; ahli kitab yang membuat-buat
ajaran baru yang tidak disyariatkan Allah swt. Mereka
inilah yang menyembah patung dan berhala terbuat dari,
kayu dan lainnya, yang mereka ciptakan sendiri.

Mengomentari jawaban orang yang menyembah


selain Allah swt, beliau mengatakan; “Allah tabarak wa
ta’ala sebutkan mengenai mereka dalam firman-Nya:
“Janganlah kalian tuhan-tuhan kalian, jangan tinggalkan
waddan dan jangan pul suwa’an.” (Qs: Nuh: 23).

Ayat ini menggambarkan perkataan kaum nabi


Nuh, akan tetapi, imam asy-Syafi’i tetap mengaitkannya
dengan orang-orang musyrik di zaman Nabi saw. Karena,
beliau ingin tegaskan kalau hakikat dan perilaku salah
satu kelompok orang-orang musyrik lintas zaman serupa
bahkan sama.

Ulama-ulama Syafi’iyah menjelaskan, di antara


sebab munculnya kesyirikan awalnya dalam bentuk
patung untuk orng-orang shaleh lalu mereka sembah. Al-
Baghawi menukil beberapa ungkapan para salaf mengenai
kaum nabi Nuh yang over dalam menghormati para orang
shaleh zaman itu, hingga generasi setelah mereka
mengagungkan orang-orang shaleh itu.

Beliau berkata: “Di sinilah awal mulanya


menyembah patung dan berhala itu.” Beliau juga
mengatakan: “Mengagungkan hingga sampai menyembah
orang-orang shaleh merupakan bibit awal kesyirikan.”

Ibnu Hajar juga mengungkapkan, “Sikap kaum


nabi Nuh yang over penghormatan kepada orang-orang
shaleh memantik munculnya sebagian orang yang
mengagungkan kuburan para Nabi sekaligus menjadi
pemicu mereka menyembahnya di kemudian hari.”
As-Suyuthi mengatakan, awal munculnya orang
menyembah al-Lata karena sebelumnya kuburannya
dimuliakan dan dijadikan tempat kumpul-kumpul
mengharap berkah. Inilah yang menjadi cikal bakal syirik
yang menimpa banyak ummat.

Ibnu Katsir mengatakan, menyembah berhala oleh


sebagian orang diawali dari sikap berlebihan dan
memuliakan kuburan dan orang yang dikubur di
dalamnya.”

Usai menyebutkan sikap berlebihan terhadap


orang-orang terpandang, beliau mengatakan: “Cara ini
dan semisalnya menjadi titik awal merebaknya kekufuran
di tengah masyarakaht seperti menyembah berhala dan
sebagainya.”

An-Nawawi meriwayatkan dari para ulama bahwa


larangan Nabi saw menjadikan kuburan sebagai masjid
karena kawatir munculnya sikap berlebihan terhadap
kuburan tersebut bahkan bisa membuat seseorang menjadi
kufur. Persis seperti yang disaksikan terjadi pada ummat-
ummat terdahulu.
Ar-Razi menyebutkan, di antara alasan kenapa
orang melakukan kesyirikan, adalah mereka menganggap
jika mereka menyembah patung-patung para nabi dan
orang-orang shaleh yang mereka buat sendiri itu, patung-
patung tersebut dapat memberikan syafa’at (pertolongan)
untuk mereka.

Selanjutnya beliau tegaskan: “Hal serupa dijumpai


di zaman kita sekarang. Sebagian orang yang senang
mengagungkan kuburan-kuburan tertentu berkeyakinan
kalau penghuni kuburan tersebut menjadi penolong
mereka di sisi Allah swt.”

Abu Zakariyah al-Anshari menekankan, bahwa


semua penyembah berhala meyakini kalau menyembah
berhala tersebut merupakan bahagian penghambaan
sekaligus jalan mereka mendekatkan diri kepada Allah
swt.

Sebagian mereka mengatakan, kami tidak pantas


beribadah dan meminta langsung kepada Allah swt. kami
perlu perantara. Karenanya kami menyembah patung,
berhala, kuburan dan semisalnya, berharap ia dekatkan
kami kepada Allah swt.
Sebagian lain mengatakan, para malaikat itu
merupakan makhluk spesial dan punya kedudukan mulia
di sisi Allah swt. Karena itu kami buat patung-patung
mereka lalu kami sembah agar mereka mendekatkan kami
kepada Allah swt.

At-Taftazani al-hafid menukil, patung-patung


yang dibuat orang-orang musyrik dianggap pengganti
para nabi, orang-orang zuhud, malaikat hingga planet.
Mereka mengagungkannya dengan harapan menjadi
perantara untuk sampai kepada Allah swt. hal yang serupa
disebutkan oleh as-Suwaidi.

C. Ragam dan Contoh Syirik 1

Imam asy-Syafi’i dan ulama-ulama lainnya


menyebutkan beberapa contoh perilaku syirik, sembari

1
. Silahkan perhatikan semua nukilan yang dimaksud dalam kitab
“Juhudu asy-Syafi’iyah” pada:
(Bahasan Pertama; Syirik Dalam Do’a, (hal 443-453). Pada bahasan
tersebut saya sebutkan 26 nukilan.
(Bahasan Kedua; Syirik Dalam Sujud, (hal 461-472). Pada bahasan
tersebut saya sebutkan 29 nukilan.
(Bahasan Ketiga; Syirik Dalam Sembelihan, (hal 473-483). Pada
bahasan tersebut saya sebutkan 29 nukilan.
(Bahasan Keempat; Syirik Dalam Thawaf, (hal 484-493). Pada
bahasan tersebut saya sebutkan 24 nukilan.
mereka menganjurkan kaum muslimin untuk berhati-hati
agar tidak terjatuh di dalamnya. Tak lupa mereka juga
jelaskan hukum jika seseorang terjatuh ke dalamnya. Di
antaranya adalah;

Pertama; Syirik Dalam Do’a dan Sujud.

Do’a -sebagaimana yang sudah diyakini- adalah


murni milik Allah swt. Orang yang meminta kepada selain
Allah swt sesuatu yang hanya bisa diberikan oleh Allah
swt, maka orang tersebut sudah terjatuh dalam syirik.
Berikut ini, dipaparkan perkataan imam asy-Syafi’i terkait
syirik yang terjadi dalam do’a dan sujud.

Imam asy-Syafi’i menyebutkan sebuah kaedah


mendasar terkait syirik dalam do’a dan sujud. Ketika
beliau mengulas hukum penyihir dalam kitab “al-Umm”,
beliau katakan: “Seorang penyihir bisa menjadi kafir pada
dua kondisi, salah satunya adalah, ketika dia melakukan
praktik kekufuran. Seperti jika dia berkeyakinan seperti
orang-orang Babilonia yang menyembah planet yang
tujuh dan selainnya, atau meminta sesuatu dari selain
Allah swt.”
Kaedah yang terkandung dalam paparan beliau di
atas adalah, barang siapa yang meminta kepada selain
Allah swt sesuatu yang tidak bisa dilakukan kecuali Allah
swt, maka dia telah menjadi kafir.

Dasarnya adalah, beliau menyebutkan kufurnya


penduduk Babilonia yang disebabkan oleh tindakan
mereka yang meminta kepada selain Allah Swt, segala hal
yang tidal bisa dikendalikan kecuali oleh Allah swt.

Akan tetapi, bukan berarti hanya berdo’a dan


meminta kepada planet yang tujuh itu, yang termasuk
dalam perbuatan kufur. Ia hanya salah satu dari sekian
banyak yang tindakan yang serupa.

Ibnu ash-Shabbah syirik dalam do’a dan sujud ini,


beliau mengatakan: “Penyihir tersebut menjadi kafir
apabila dia meniatkan untuk mengabdi kepada planet-
planet itu dan berkeyakinan bisa menjawab semua
permintaannya.”

Ini yang dimaksudkan oleh perkataan imam asy-


Syafi’i “dan meminta darinya”. Artinay dia berkeyakinan
kalau do’a dan permohonannya bisa dikabulkan oleh
planet-planet itu.

Karena itu, barang siapa yang berdo’a dan


meminta (sesuatu yang hanya bisa diberikan oleh Allah
swt) kepada makhluk, apakah makhluk langit atau
makhluk bumi maka sungguh dia menjadi kafir.

Kaedah ini mencakup semua tindakan yang


diniatkan kepada makhluk, yang seharusnya murni hanya
bisa ditujukan kepada Allah swt.

Mengomentari ungkapan an-Nawawi “Dan sujud


mereka ke patung dan matahari” terkait jenis perbuatan
dan perilaku yang dapat membuat seseorang yang
melakukannya dengan sengaja menjadi kafir, imam asy-
Syarbini dalam kitabnya ‘Mughni al-Muhtaaj”
mengatakan: “Atau makhluk-makhluk lain selain
keduanya.”

As-Suwaidi menjelaskan perbuatan-perbuatan


yang membuat seseorang murtad adalah, “Atau dia
menyembah berhala, matahari atau makhluk Allah swt
lainnya. Karena tindakannya merupakan bentuk
pangakuannya terhadap serikat bagi Allah swt.”

Menafsirkan firman Allah swt: “Jangan kalian


sujud kepada matahari dan jangan pula sujud kepada
bulan.” (Qs: Fushshilat: 37). Al-Baidhawi mengatakan:
“Karena keduanya berstatus makhluk yang dikendalikan
oleh Allah swt sama dengan manusia.” Kemudian firman
Allah swt pada ayat yang sama: “Dan bersujudlah kalian
kepada Allah swt”, al-Baidhawi mengatakan: “Karena
sujud merupakan inti dan substansi ibadah.”

Beliau menjadikan status makhluk matahari dan


bulan menjadi sebab dilarang bersujud kepada keduanya.
Karena makhluk tidak pantas sujud kepada makhluk lain,
makhluk hanya boleh dan mesti bersujud kepada Allah
swt, sang pencipta.

Imam al-Maqrizi menegaskan, sujud merupakan


perbuatan yang murni hanya bisa ditujukan kepada Allah
swt. Siapa yang sujud kepada selain Allah swt, maka dia
telah menyamakannya dengan Allah swt.
Ibnu Abdissalam menjelaskan, bersujud kepada
selain Allah swt menunjukkan sikap berlebihan dan
mengagungkan sesuatu yang sejatinya tidak berhak
diagungkan, di dalamnya juga tersirat sikap menyamakan
sesuatu itu dengan Allah swt, Rabb sekalian alam dalam
hal sembahan, ketundukan dan pernghambaan diri.

Sangat jelas, beliau melihat dalam tindakan


bersujud kepada selain Allah swt terdapat keyakinan
dalam dirinya bahwa Allah swt sama dengan makhluk
yang ia sembah itu.

Tak ketinggalan, as-Sam’ani menyebutkan satu


kaedah penting, yakni “Barangsiapa yang bersujud
kepada selain Allah swt, maka dia telah menjadikannya
sebagai tuhannya.”

Penjelasan di atas menunjukkan kalau sujud itu


merupakan aktifitas inti uluhiyah (ibadah kepada Allah
swt). Jadi, barangsiapa yang bersujud kepada selain Allah
swt, berarti dia telah menyamakan sesuatu yang dia
“sujudi” itu dengan Allah swt.
Ar-Razi mengabarkan, beliau sering berjumpa
dengan ulama palsu. Mereka meminta para pengikutnya
bersujud kepadanya. Bahkan terang-terangan mereka
berkata kepada pengikutnya, kalian adalah hamba-
hambaku. Mungkin saja, di pertemuan-pertemuan rahasia,
mereka mengaku tuhan yang wajib disembah dan
berkuasa atas segalanya.

Maksudnya, jika mereka berani terang-terangan


menyuruh para pengikutnya untuk bersujud, maka besar
kemungkinan memang mereka mengaku sebagai tuhan
yang harus disembah.

Ulasan-ulasan di atas menunjukkan, bahwa yang


dimaksudkan imam asy-Syafi’i dengan mengkafirkan
penduduk Babilonia disebabkan karena mereka
menyembah planet-planet, juga mencakup semua yang
meniatkan ibadahnya kepada selain Allah swt.

Meniatkan ibadah kepada selain Allah swt adalah


syirik. Apakah ibadah tersebut berupa do’a, sujud,
sembelihan atau semisalnya. Karena semua itu merupakan
ibadah yang murni hanya milik Allah swt.
Syafa’at merupakan persoalan yang disetarakan
dengan do’a oleh imam asy-Syafi’i. Beliau mengatakan,
semalam saya menyelami dua ayat al-Qur’an. Yakni,
firman Allah swt: “Dialah yang mengatur semua urusan.
Tidak ada mampu memberi syafa’at (pertolongan) kecuali
dengan izin Allah.” (Qs: Yunus: 3) dan firman Allah swt:
“Siapakah yang mampu memberi syafa’at di sisi Allah
kecuali tanpa izinnya.” (Qs; al-Baqarah: 254). Dua ayat
ini menerangkan, tidak ada seorang menerima syafa’at
kecuali atas izin Allah swt.

Yang beliau maksudkan adalah, bahwa pemberi


syafa’at itu adalah murni hanya milik Allah swt. Firman
Allah swt: “Katalanlah, semua bentuk syafa’at adalah
milik Allah.” (Qs; az-Zumar: 44).

Syafa’at tidak mungkin dirasakan melainkan atas


izin Allah swt. Itu terjadi tatkala manusia sudah
dibangkitkan di akhirat, di saat ketakutan mendominasi
perasaan seluruh manusia. Saat itulah, Allah memberikan
syafa’atnya kepada yang Dia kehendaki, karena dialah
pemilik syafa’at satu-satunya. Sebagaimana ditegaskan
Allah swt: “Katalanlah, semua bentuk syafa’at adalah
milik Allah.”

Imam asy-Syafi’i berkata, Allah swt mengangkat


nama Nabi Muhammad saw di dunia dengan cara
disandingkan penyebutannya setelah nama Allah swt.
sedang di akhirat beliau disebut “asy-Syafi’u al-musyaffa’
(pemberi syafa’at yang diterima syafa’atnya)”. Status
beliau sebagai pemberi syafa’at tidak berlaku mutlak tapi
mesti atas izin Allah swt.

Al-Hulaimi mengatakan, firman Allah swt; “Hari


dimana setiap diri tidak memiliki kuasa atas diri lainnya.”
(Qs; al-Infithar: 19) tidak menghilangkan pemberian
syafa’at.

Karena makna menguasai dalam ini adalah


mengendalikan atau memaksa orang lai, dan itu mustahil
terjadi di hari kiamat. Sebab, syafa’at itu adalah bentuk
penghargaan orang yang memberi syafa’at kepada yang
diberi syafa’at. Dan permohonan syafa’at merupakan
bentuk pengharapan orang yang diberi syafa’at. Nah,
kondisi seperti itu hanya layak dan pantas terjadi di
kehidupan akhirat. Hal ini ditegaskan al-Baihaqi dalam
kitab “al-Ba’tsu”.1

Jelaslah bahwa syafa’at itu hanya diberlakukan di


hari kiamat. Sebagaimana syafa’at juga mengandung
pengharapan besar dari pemberi syafa’at dan orang yang
diberi syafa’at secara bersamaan di sisi pemilik syafa’at
yakni Allah swt yang tidak ada serikat baginya.

Rasulullah saw mengingatkan ummat untuk tidak


berlebihan memuji dan menyanjungnya dalam banyak
haditsnya. Di antaranya, sabda Rasulullah saw: “Jangan
kalian menyanjungku seperti kaum Nashrani menyanjung
nabi Isa bin Maryam.”2

Mendengar sebagian sahabat menyapa Rasulullah


saw; wahai tuan kami putra tuan kami, wahai orang
terbaik kami putra orang terbaik kami, Rasulullah saw
bersabda: “Wahai sekalian manusia, sapalah aku
sekadarnya, dan jangan kalian ditipu oleh setan. Saya
adalah Muhammad bin Abdullah dan Rasulullah. Saya

1
. (hal 56).
2
. HR. al-Bukhari, no. 3445
tidak ingin kalian memosisikanku melebihi ketetapan
Allah swt.”

Dalam riwayat lain disebutkan: “Saya Muhammad


bin Abdullah, Rasul Allah swt. saya tidak sudi kalian
menyanjungku melebihi yang ditetapkan Allah swt.”1

Menyikapi riwayat di atas, imam asy-Syafi’i


sangat berhati-hati jangan sampai beliau terjebak
berlebihan menyanjung Nabi saw. Beliau memuji Nabi
saw dalam banyak tempat di kitab-kitabnya namun tidak
pernah berlebihan. Kawatir jangan sampai terjebak dalam
sikap berlebihan yang dilarang.

Di antaranya, beliau sebutkan tentang larangan


menjadikan kuburan Nabi saw sebagai masjid. Alasannya,
karena jangan sampai orang-orang belakangan terfitnah
tindakan tersebut.

Dalam kitab “ar-Risalah” beliau menjelaskan


tingkat kebutuhan makhluk terhadap Rasulullah saw,
beliau mengatakan: “Allah swt menumbuhkan rasa butuh

1
. HR. Ahmad (3/241, 249) dan selainnya.
dalam diri mereka kepada Rasulullah untuk menjelaskan
agama Allah swt kepada mereka.”

Beliau tegaskan, kalau kebutuhan manusia


terhadap keberadaan Rasulullah saw karena untuk
menjelaskan agama Allah swt. Sebab, Nabilah yang
ditugaskan mengajarkan syariat Allah swt.

Sementara, ketika menjelaskan kebutuhan


manusia terhadap Allah swt, beliau menyebutkannya
secara mutlak tanpa embel-embel. Beliau berkata dalam
kitab “al-Umm”: “Sungguh Allah swt dan Rasulnya
memiliki banyak karunia kepada semua makhluk. Dan
semua makhluk sangat membutuhkan Allah swt
bergantung kepadanya.”

Sungguh indah perkataan imam asy-Syafi’i di


atas. Betul, bahwa Allah swt dan Rasulullah saw sudah
memberikan karunia besar kepada semua makhluk.
Bentuknya, Allah swt menyelamatkan manusia dari
kesesatan melalui bimbingan Rasulullah saw.
Karena itu, manusia sangat membutuhkan
diutusnya Nabi untuk mengajarkan mereka agama Allah
swt.

Adapun kebutuhan makhluk kepada Allah swt


bersifat mutlak dan di semua urusan dan kepentingan
mereka, tak ada yang dikecualikan.

Beginilah sejatinya sikap yang sesuai tuntutan al-


Qur’an. Pada persoalan-persoalan tertentu, nama Allah
swt dan rasulullah disebutkan secara bergandengan. Akan
tetapi pada persoalan-persoalan tertentu lainnya, hanya
Allah swt yang disebutkan.

Salah satu dalilnya, adalah firman Allah swt yang


mengecam orang-orang yang menyindir Rasuluallh saw.
Allah swt berfirman: “Andai mereka ridha menerima apa
yang Allah dan rasul-Nya datangkan kepada mereka,
sembari berkata, cukuplah Allah bagi kami, maka Allah
akan memberikan karunianya kepada kami dan juga
rasulnya.” (Qs; at-Taubah: 59).

Perlu diperhatikan secara seksama, ayat


menyebutkan al-ita’ (pemberian) disandarkan kepada
Allah swt dan Rasul-Nya. Pasalnya, Rasulullah saw
menyalurkan sedekah pada tempatnya dan
membagikannya kepada manusia berdasarkan ketetapan
syariat. Karenanya ayat menyebutkan: “Dan Allah
memberikan karunianya dan juga Rasul-Nya.”

Akan tetapi, ketika menyebutkan kata al-hasbu


(cukup), ayat menyandarkannya hanya kepada Allah swt,
“Dan mereka berkata, Cukuplah Allah bagi kami.” Ayat
tidak menyatakan, “Dan cukuplah bagi kami Allah dan
Rasul-Nya).

Ibnu Katsir 1 mengatakan, ayat ini mengandung


adab dab etika sangat mulia. Ayat menganjurkan sikap
ridha atas pemberian Allah swt dan rasul-Nya. Kana tetapi
sikap tawakkal hanya kepada Allah swt. Firman Allah
swt: “Dan mereka berkata, cukuplah Allah bagi kami.”

Termasuk menggantungkan harapan hanya


kepada Allah swt, demikian pula memohon taufiq
dipermudah melakukan ketaatan, menunaikan kewajiban
dan meninggalkan semua larangan.

1
. Lihat “Tafsir Ibnu Katsir” (2/364).
Al-Baidhawi menafsirkan firman Allah swt:
“Dialah tempat meminta setiap yang ada di langit dan di
bumi.” Mengatakan, setiap makhluk sangat
membutuhkan Allah swt, untuk memenuhi kebutuhan diri
dan semua urusan serta kepentingan mereka.

Dan yang dimaksud dengan meinta adalah semua


bentuk dan sikap yang menunjukkan kebutuhan seseorang
untuk mendapatkan sesuatu, apakah diungkapkan secara
verbal atau selainnya.1

Imam asy-Sayfi’i mengatakan sungguh Allah swt


menjaga Nabinya, memuliakan, mengajar, membimbing
dan mendidiknya. Firman Allah swt: “Dan hendaklah
engkau bertawakkal kepada yang Maha Hidup dan tak kan
pernah mati.” (Qs; al-Furqan: 58).

Banyak manusia yang mengandalkan dirinya,


harta benda miliknya, kekuasaannya atau kedekatannya
dengan orang tertentu. Mereka sesungguhnya bergantung
pada makhluk hidup yang akan merasakan kematian di

1
. Kitab “Anwaru at-Tanzil” (5/110).
kemudian hari, atau bergantung pada makhluk yang
hampir punah.

Karena itu, Allah swt menjaga dan memuliakan


Nabinya serta memintanya untuk bertawakkal hanya
kepada Allah swt, Dzat Maha Hidup yang tak kan pernah
mati.

Allah swt menghindarkan dan menjauhkan Nabi


saw dari bertawakla kepada selain Allah swt. Soalnya
semua makhluk pasti akan mati. Adapaun Allah swt,
Dialah Maha Hidup yang tak kan pernah mati.

Sungguh ini merupakan kaedah mendasar dalam


menyikapi Rasulullah saw agar kita terhindar dari sikap
berlebihan dalam memuliakannya.

Para ulama Syafi’iyah rahimahumullah tak bosan


mengingatkan bahaya mengalihkan do’a kepada selain
Allah swt. Ibnu Khuzaimah sampai mengatakan: “Tak
kan mungkin dijumpai ada ulama yang membolehkan
seseorang berdo’a sembari berkata, saya berlindung
kepada Ka’bah dari segala keburukan.”
Utsman ad-Darimi, al-Baihaqi, al-Baghawi dan
Ibnu Hajar menyebutkan, kebiasaan Rasulullah saw yang
memohon pelindungan dengan kalimat-kalimat Allah swt
yang paripurna menunjukkan kalau kalam Allah swt
bukan makhluk. Karena, jikalau dia termasuk makhluk,
maka itu artinya beliau saw memohon perlindungan
kepada makhluk. Padahal haram hukumnya makhluk
meminta perlindungan kepada sesama makhluk.

Sebab lainnya disebutkan oleh Ibnu Hajar, bahwa


tidak dibenarkan sekaligus tidak logis seseorang meminta
perlindungan dari orang yang tidak mampu melindungi.
Itu artinya perlindungan hanya bisa dipinta dan
diharapkan diberikan oleh Allah swt.

Al-Khaththabi mengatakan, tidak dibenarkan


meminta perlindungan dari selain Allah swt atau dengan
sifat-sifat Allah swt. Karena selain Allah swt atau sifat-
sifat Allah swt, semuanya termasuk makhluk. Dan setiap
makhluk punya keterbatasan.

Meminta perlindungan kepada makhluk termasuk


perbuatan syirik, bertentangan dengan perintah
mentuahidkan Allah swt. Karena perbuatan tersebut
seakan mengingkari kemampuan Allah swt melindungi
makhluknya.

Al-Ashbahani menjelaskan makna “al-wahhab”


(Maha Pemberi), beliau mengatakan: “Di antara cakupan
nama Allah swt “al-wahhab” adalah memberikan
kesehatan, dimana makhluk manapun tak kan mampu
memberikannya kepada siapapun.

Demikian pula, nikmat kekuatan yang tidak bisa


diperoleh dari sesama makhluk. Makanya kita berdo’a
meminta kesehatan dari Allah swt. Kita tidak pernah
meminta kesehatan dari sesama makhluk. Jika pun ada
yang meminta kepada sesama makhluk, pasti dia tidak
mampu memenuhinya.

Menafsirkan firman Allah swt: “Sungguh engkau


Muhammad tidak kuasa memberikan hidayah kepada
orang yang engkau cintai.” (Qs; al-Qashash: 56), beliau
mengatakan, “Ketika Rasulullah saw tidak mampu
memberikan hidayah, padahal beliau dikaruniai banyak
mukjizat, maka selain Rasulullah swt jauh lebih tidak
mampu memberikan hidayah itu.”
Penjelasan di atas menunjukkan larangan keras
berdo’a kepada selain Allah swt. Karena do’a termasuk
yang murni hanya boleh diniatka kepada Allah swt.
Siapapun yang berdo’a kepada selain Allah swt, maka dia
terjatuh ke dalam syirik sebagaimana disebutkan oleh al-
Khaththabi.

Asy-Syahrantani menyebutkan, meminta kepada


selain Allah swt untuk memenuhi segala kebutuhan,
termasuk bentuk syirik orang-orang Jahiliyah.

Beliau mengatakan; “Bersimpuh di hadapan


patung dan berhala adalah selah satu bentuk ibadah
mereka. Dan sikap mereka meminta untuk dipenuhi
segala kebutuhan mereka oleh patung dan berhala itu
merupakan penegasan atas “ketuhanan” patung dan
berhala itu.”

Kemudian, ketika mereka meminta kepada selain


Allah swt sesuatu yang tidak bisa diberikan kecuali oleh
Allah Swt berarti mereka telah terjatuh dalam kesyirikan.
As-Suwaidi mengatakan: “Barang siapa yang berlindung
kepada selain Allah swt dari segala keburukan yang hanya
bisa dikendalikan oleh Allah swt maka dia telah menajdi
musyrik.”

Al-Hulaimi mengatakan, Allah swt adalah dzat


satu-satunya yang berhak disembah. Rasulullah saw pun
tidak berhak sedikitpun untuk disembah.

Beliau tegaskan itu, agar siapapun tidak menduga


apalagi sampai meniatkan ibadahnya kepada Rasulullah
saw. Sebab, para Rasul sendiri mustahil menyuruh
manusia menyembah mereka.

Firman Allah swt: “Dan dia tidak menyuruh kalian


untuk menjadikan para malaikat dan para nabi sebagai
tuhan-tuhan. Dan tidak pula dia menyuruh kalian menjadi
kafir setelah sebelumnya kalian termasuk orang-orang
Islam.” (Qs; Ali Imran: 80).

Kedua; Syirik Dalam Sembelihan

Menjelaskan hadits Ali; “Allah swt melaknat


orang yang sembelihannya dia tujukan kepada selain
Allah swt.” an-Nawawi mengatakan, yang dimaksud
adalah orang itu menyembelih dengan menyebut selain
nama Allah swt, misal menyembelih untuk
dipersembahkan ke Musa, Isa, Ka’bah dan selainnya.
Sembelihan seperti ini haram dimakan sebagaimana
dinyatakan imam asy-Syafi’i dan dispakati ulama mdzhab
lainnya.

Jika si penyembelih menyuguhkan sembelihannya


sebagai bentuk pengagungannya terhadap yang dia
niatkan selain Allah swt itu, maka dia termasuk kafir, dan
dianggap murtad jika si penyembelih itu orang Islam.

Al-Mawardi menegaskan, haram hukumnya


makan sembelihan orang Nahsrani jika diniatkan sebagai
persembahan kepada Isa. Beliau mengatakan,
sembelihannya itu statusnya sama dengan sembelihan
yang dipersembahkan kepada berhala, karena sama-sama
diperuntukkan kepada selain Allah swt.

Allah swt erfirman: “Diharamkan bagi kalian


bangkai.” (Qs; al-Maidah: 3) kemudian; “Dan semebliahn
yang ditujukan kepada selain Allah swt.”

Menurutnya, walaupun Isa al-Masih termasuk di


antara ulul azmi, tetapi sembelihan yang dipersembahkan
kepadanya tetap dihukumi haram dan disepadankan
dengan sembelihan untuk berhala. Sebab utamanya,
karena kedua-duanya diperuntukkan kepada selain Allah
swt.

Di redaksi yang lain, beliau sebutkan, sembelihan


yang dipersembahkan kepada Rasulullah saw, juga
termasuk menyembelih untuk selain Allah swt dan tidak
bisa dianggap sembelihan dengan nama Allah swt.

Abu Uwanah menjadikan hadits “Allah swt


melaknat orang yang menyembelih untuk selain Allah
swt.” sebagai dasar tema “Ancaman laknat Allah swt
menimpa orang yang menyembelih untuk selain Allah
swt”. Lantas beliau berkata; Semua sembelihan yang
dipertuntukkan kepada selain Allah swt juga tercakup di
dalamnya.

Al-Maqrizi mengatakan, bahwa sembeelihan


merupakan ibadah yang murni hanya milik Allah swt.
Siapapun yang menyembelih untuk selain Allah swt
berarti dia telah menyekutukan Allah swt.
As-Suwaidi menegaskan, orang yang
menyembelih untuk selain Allah swt dengan maksud agar
terhindar dari musibah atau agar terpenuhi
kepentingannya, maka dia sudah terjatuh dalam perbuatan
kufur dan syirik.

Al-Qaffal dan asy-Syarbini serta ulama madzhab


Syafi’iyah lainnya mengatakan, haram hukumnya
seseorang yang menyembelih berucap; “Dengan nama
Muhammad” atau “Dengan nama Allah swt dan nama
Muhammad” atau “Dengan nama Allah dan
Muhammadin Rasulillah” dengan mengkasrahkan nama
Muhammad saw.

Karena, menurut bahasan mengkasrahkan


Muhammad saw dalam redaksi seperti itu bermakna
menyamakannya dengan Allah swt.

Ketiga; Syirik Saat Thawaf

Abu Sa’id bin Manshur dan al-Baihaqi


meriwayatkan bahwasanya, ketika mendengar setiap
Ziyad bin Abihi menyembih untuk Ka’bah, dia
menyentuh bagian tertentu dari Ka’bah, ‘Aisyah berkata:
“Adakah dia punya Ka’bah, tempatnya melakukan
tawaf?”

Poinnya, bahwa tawaf menurut syari’at Islam


merupakan ibadah yang hanya dilakukan di Ka’bah.
Karena itu, Aisyah mengingkari apa yang dilakukan oleh
Ziyad.

Dalam kitab “al-Umm”, imam asy-Syafi’i


menegaskan: “Tidak dibenarkan seseorang melakukan
tawaf kecuali di dalam masjid al-Haram, karena Ka’bah
berada di dalam masjid.

Jika seseorang melakukan tawaf di luar masjid al-


haram, maka di manapun tawaf di lakukan, selama di area
al-Haram, maka seharusnya itu bisa di terima. Faktanya,
para ulama tidak membolehkannya.”

Menurutnya, sebab kenapa tawaf di luar masjid


dilarang, karena tempat tawaf (sekeliling Ka’bah) hanya
berada di dalam masjid. Sungguh perkataan beliau ini
menunjukkan keluasan ilmu dan ketajaman analisanya.

Diyakini, bahwa tempat tawaf satu-satunya di dun


ini hanya ada di dalam masjid al-Haram. Tidak ada tempat
lain yang disebutkan Allah swt. Hal ini dijelaskan oleh
Ibnu Katsir: “Karena tawaf tidak bisa dilakukan di tempat
manapun kecuali di sekeliling Ka’bah di dalam masjid al-
Hasam.”

Seluruh ulama madzhab Syafi’iyah menyatakan


hal serupa dalam kitab-kitab fiqih mereka. Sebagaimana
telah saya nukil dalam kitab “Juhudu asy-Syafi’iyah”.

Namun demikian, imam asy-Syafi’i tetap


menegaskan agar orang yang sedang bertawaf
memastikan kalau dirinya berada di luar Ka’bah dan
tawafnya dia lakukan di belakang Hijr Isma’il dan
mengelilingi Ka’bah. Jika tidak, maka tawafnya tidak
diterima.

Beliau mengatakan: “Karena dia dianggap tawaf


di dalam Ka’bah. Sementara syariat tidak menyuruhnya
tawaf di dalam Ka’bah.”

Pendapat ini dikemukakan oleh seluruh ulama


madzhab Syafi’iyah, hingga an-Nawawi mengatakan,
pendapat ini merupakan kesepakatan ulama Syafi’iyah.
Jika tawaf di dalam Ka’bah -yang notabene
menjadi titik tawaf – tidak dibenarkan, maka bagaimana
lagi jika tawaf tersebut dilakukan di luar masjid al-Haram
apalagi jika dilakukan di luar Makkah al-Mukarramah.

Imam asy-Syafi’i dan banyak ulama lainnya


mengatakan, disunnahkan bagi penduduk di luar sekitar
masjid al-Haram yang sedang mengunjungi Ka’bah untuk
memperbanyak tawaf ketimbang shalat sunnah.

Alasannya, karena mereka tidak boleh mungkin


bertawaf melainkan di masjid al-Haram. Dengan begitu
mereka kehilangan kesempatan menjalankan ibadah
tawaf itu.

Atha’ pernah ditanya; mana yang lebih baik bagi


selain penduduk Makkah? Shalat sunnah atau thawaf?
Beliau jawab: “Adapun bagi kalian (selain penduduk
Makkah) maka Thawaf lebih disunnahkan. Karena kalian
tidak bisa melakukan thawaf di tempat kalian bermukim.
Sementara shalat sunnah, kalian bisa mendirikannnya
sebanyak mungkin.”
Pendapat ini disebutkan juga oleh al-Mawardi, al-
Baghawi, al-Hulaimi dan ar-Razi. Bahkan Ibnu Hajar
mengatakan, pendapat inilah yang dipantas diikuti.

Al-Hulaimi menjelaskan, orang-orang yang


bertawaf mengelilingi Ka’bah seperti orang yang lagi
mengadu kepada tuannya. Seakan ia berkata, saya ini
milikmu dan akan kembali kepadamu. Tidak ada pelarian
bagiku menjauhkanku darimu.

Orang yang bertawaf selalu berpusar pada Ka’bah.


Tindakannya yang mengelilngi Ka’bah selalu kembali ke
titik awal tawafnya. Seolah dia berkata; kemanapun saya
bergerak, saya tak kan bisa menjauh darimu. Dan
kemanapun saya menuju, maka pasti saya akan kembali
kepadamu.

Atas dasar itulah, sehingga imam asy-Syafi’i


memosisikan tawaf sama dengan shalat. Semua etika
shalat mesti dijumpai pula saat bertawaf. Sembari
menghadirkan keagungan pemilik tempat bertawaf.
Demikian yang disebutkan oleh an-Nawawi dan Ibnu
Jama’ah.1

Imam asy-syafi’i mengabarkan, bahwa kamu


Muslimin di Madinah al-Munawwarah mendirikan shalat
Tarawih sebanyak 39 raka’at sedang kaum Muslimin di
Makkah al-Mukarramah shalat Tarawih sebanyak 23
raka’at.

Menjelaskan perkataan imam asy-Syafi’i di atas,


al-Mawardi dan al-Hulaimi mengatakan, bahwa sebab
mengapa shalat Tarawih penduduk Madinah lebih banyak
ketimbang penduduk Makkah karena penduduk Makkah
bisa bertawaf usai mengerjakan raka’at keempat. Kecuali
pada tarawih terakhir, karena mereka tutup dengan shalat
witir. Dengan begitu mereka bisa mendirikan 5 tarwihat
dan 4 kali thawaf.

1
. Semua yang dinukil dari imam asy-Syafi’i dan ulama lainnya terkait
tempat bertawaf dan korelasinya dengan ibadah hingga nukila dari
an-Nawawi dan Ibnu Jama’ah dapat ditela’ah di kitab “Juhudu asy-
Syafi’iyah”, tepatnya pada Persoalan Kelima: Thawaf (hal 377-388).
Di dalamnya terdapat 48 nukilan dari imam asy-Syafi’i dan ulama
lainnya. Di antaranya disebutkan di bahasan ini.
Sementara penduduk Madinah tidak bisa
melakukan thawaf. Karena itu, mereka ganti dengan 4
tarwihat tambahan. Harapannya 4 tarwihat tersebut
sepadan dengan 4 thawaf yang dikerjakan penduduk
Makkah.1

Artinya, perduduk Madinah yang tidak punya


tempat berthawaf, mereka menyiasatinya dengan cara
menambah jumlah raka’at shalat Tarawih mereka.

Ini menunjukkan, jika thawaf tidak dibenarkan


dilakukan di Madinah yang nota bene tempat terbaik
setelah Makkah, maka bagaimana mungkin thawaf bisa
dilakukan di tempat lain?

Para ulama menyebutkan, haram hukumnya


melakukan thawaf di sekitar kuburan Nabi secara
tersendiri. Padahal, larangan Thawaf di luar masjid al-
Haram sudah lebih cukup sebagai dasar hukum.

Akan tetapi, tingkat kepentingan yang tinggi


terhadap larangan berthawaf di sekitar kuburan Nabi

1
. Nukilan ini dan ukilan-nukilan selanjutnya terkait syirik dalam
thawaf disebutkan dalam persoalan tersendiri di Bahasan Ketiga buku
“Juhudu asy-Syafi’iyah”.
untuk disebutkan secara tersendiri akibat ajaran syariat
yang terasa sudah asing dan menyebarnya ketidaktahuan
terhadapnya.

Bahkan al-Hulaimi menegaskan, mengusap dan


menyentuh (dengan maksud untuk beroleh berkah)
kuburan Nabi saw sangat dilarang. Namun mengusap dan
menyentuh Ka’bah tidak dilarang. Beliau mengatakan,
“Disyariatkan berthawaf di Ka’bah namun dilarang
berthawaf di kuburan.”

Penjelasan ini menunjukkan kalau larangan


berthawaf di kuburan sudah diketahui dan disepakati para
ulama sejak dahulu, dan tidak perlu dipertanyakan apalagi
diragukan.

Melanjutkan perkataan al-Hulaimi, an-Nawawi


mengatakan, pendapat itulah yang tepat dan disepakati
para ulama. Realitas kehidupan orang awam yang berbeda
tidak bisa membantah pendapat al-Hulaimi tersebut.

Karena, yang wajib diikuti dan ditaati adalah yang


ditopang oleh hadits-hadits shahih dan pendapat para
ulama. Sementara perilaku dan tindakan orang-orang
awam tidak bermakna apa-apa.

Ibnu ash-Shalah mengatakan, “Dilarang


melakukan thawaf mengitari kuburan.” Beliau sebutkan
ini melihat pelanggaran sebagian ahli bid’ah di Masjid an-
Nabawi.

Al-‘Izz bin Jama’ah menukil kesepakatan ulama


mengharamkan thawaf di kuburan atau di tempat lainnya.
Beliau mengatakan, “Ulama sepakat melarang berthawaf
mengitari kubur Nabi saw atau di bangunan lain selain di
Ka’bah al-Musyarrafah.”

Kalimat ini diajdikan sebagai kaedah dasar untuk


memilah, mana thawaf yang boleh dan mana thawaf yang
terlarang.

Melihat banyak pelanggaran sebagian orang


berhaji, Ibnu an-Nahhas mengatakan, “Di antara
pelanggaran mereka itu adalah thawaf yang dilakukan di
Kubah yang mereka klaim sebagai Kubahnya Adam
alaihissalam. Perbuatan tersebut termasuk bid’ah yang
wajib diingkari dan dilarang.”
Menjelaskan hadits Rasulullah saw dalam kitab
Shahihain, “Tidak akan terjadi kiamat hingga wanita-
wanita tua berdesakan berthawaf mengitari berhala-
berhala.” Beliau mengatakan, maksudnya menurut ulama,
bahwa ummat ini akan kembali terjerembab dalam
perbuatan Jahiliyah.

Ibnu al-Atsir mengatakan, dzi al-khulashah


artinya rumah yang di dalamnya banyak berhala qabilah
Daus. Jadi, makna hadits tersebut, bahwa kiamat tidak
akan terjadi sebelum qabilah Daus murtad keluar dari
Islam. Para wanitanya kembali berthawaf di al-
Khulashah. Hingga kaum waitanya berdesakan berthawaf
seperti yang mereka lakukan di masa Jahiliyah.

Penjelasan yang sama disebutkan oleh al-


Baghawi, an-Nawawi dan as-Suyuthi. Ibnu Hajar
mengatakan, hadits ini menunjukkan kalau perbuatan
tersebut membuat orang jadi kafir.

Ibnu Hibban bahkan menulis sebuah bab


tersendiri, yakni “Merebaknya Beberapa Perbuatan
Jahiliyah dalam Islam.”
Sungguh tepat dan tegas penjelasan para ulama.
Tahwaf di selain rumah Allah swt termasuk kebiasaan
Jahiliyah awal. Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abi
Raja’ al-‘Aththari, beliau menyebutkan bentuk perbuatan
syirik mereka di masa Jahiliyah.

Beliau berkata; “Kami dahulu penyembah batu.


Saat kami temukan batu yang lebih baik, batu lama kami
buang. Jika kami tidak temukan batu, maka kami
kumpulkan gumpalan-gumpalan tanah kemudian kami
tarik seekor kambing untuk kami peras susunya kemudian
kami berthawaf mengelilinginya.”

Ini menunjukkan, thawaf mereka itu merupakan


bentuk ibadah mereka kepada batu tersebut. Sebab,
thawaf merupakan ungkapan penghambaan dan
ketundukan hati.

D. Tabarruk Terlarang. 1

1
. Silahkan perhatikan semua nukilan yang dimaksud dalam kitab
“Juhudu asy-Syafi’iyah” pada Bahasan Keenam; Tabarruk Terlarang,
(hal 581-595). Pada bahasan tersebut saya sebutkan 37 nukilan dari
imam asy-Syafi’i juga dari para murid-muridnya. Sebagiannya
disebutkan di bab ini.
Tidak dipungkiri kalau setiap manusia selalu
semangat mencari berkah. Syariat Islam melarang dua
cara mencari berkah, yakni;

Pertama, mencari berkah pada sesuatu yang tidak


ditunjang oleh syariat Allah swt. dia hanya di dasarkan
pada asumsi, dugaan dan klaim semata.

Kedua, mencari berkah menggunakan media dan


sarana yang melanggar syariat. Sebab, ketika syariat
menetapkan berkah pada sesuatu, syariat juga menetukan
cara, media dan sarana untuk mendapatkan berkah itu.

Adapun sesuatu yang diduga manusia memiliki


berkah, maka merekapun terbawa menentukan cara-cara
mendapatkan berkah itu namun tanpa disokong oleh dalil
syariat sebagai landasannya.

Terkait ini, Imam asy-Syafi’i memberikan


perhatian besar pada hadits yang diriwayatkan oleh al-
Bukhari dan Muslim dari Umar saat beliau mencium
Hajar Aswad, beliau berkata: “Sungguh saya tahu engkau
hanyalah batu yang tidak bisa memberi manfaat atau
mendatangkan mudharat. Andai aku tidak melihat
Rasulullah saw menciummu, pasti aku pun tak akan
menciummu.”

Al-Baihaqi menjelaskan, ketika Umar dahulunya


pernah menyembah batu dan merasa bangga terhadap
kebiasaan masyarakat Jahiliyah waktu itu. Beliau
tampakkan pengingkarannya terhadap sembahan selain
Allah swt. Makanya beliau yakini Hajar Aswad hanya
batu yang tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak untuk
kebaikan ataupun keburukan.

An-Nawawi menambahkan, Umar sengaja


mngucakan itu agar orang-orang yang baru berislam yang
sebelumnya penyembah dan pengagung baru tidak tertipu
olehnya.

Beliau kawatir, jangan sampai karena mereka


melihat Umar mencium Hajar Aswad lalu keyakinan
mereka sebelumnya dipandang benar. Karenanya, beliau
tegaskan, Hajar Aswad hanya batu seperti batu-batu
lainnya yang tidak memberi manfaat dan tidak pula
mendatangkan mudharat. Umar menampakkan itu di
musim haji agar semua tahu, sekaligus agar disampaikan
kepada orang berhaji di masa-masa mendatang dari
berbagai negeri.”

Hal yang sama disebutkan pula oleh Ibnu Daqiq


al-‘Ied dan Ibnu Hajar. Bahkan al-‘Iraqi mengatakan,
dilarang mencium sesuatu yang tidak diperintahkan
syariat menciumnya.

Imam asy-Syafi’i juga meriwayatkan sanggahan


Ibnu Zubair terhadap mereka yang mengusap-usap
Maqam Ibrahim. Beliau berkata: “Sungguh kalian tidak
diperintahkan mengusapnya. Kalian hanya diperintah
shalat di belakangnya.”

Mereka juga menukil perkataan Mujahid; “Jangan


kalian mencium dan mengusap Maqam Ibrahim.”
Demikian pula perkataan Qatadah; “Sungguh mereka
hanya disuruh shalat di belakang Maqam Ibrahim. Mereka
tidak disuruh mengusapnya. Miris, karena sebagian
ummat membebani diri mereka seperti yang dilakukan
ummat terdahulu.”
Al-Hulaimi mengatakan, “Dilarang mengusap dan
apalagi mencium Maqam Ibrahim.” Sembari menukil
perkataan Ibnu Zubair di atas.

Menerangkan arti firman Allah swt: “Dan


jadikanlah Maqam Ibrahim itu sebagai tempat shalat.”
(Qs; al-Baqarah: 125), Al-Baghawi juga menukil
perkataan Qatadah, Muqatil dan as-Suddi. Mereka
mengatakan; “Kita tidak diperintahkan mengusap apalagi
mencium Maqam Ibrahim.” Ibnu Hajar dan Ibnu Katsir
juga menukil perkataan Qatadah tersebut.

Tampak jelas perhatian besar ditumpahkan oleh


ulama sekaligus penegasan mereka terhadap atsar dari
para salaf tersebut. Pasalnya, mereka menyebutkannya
untuk menjelaskan dalil-dalil syariat.

Di antara sikap terindah imam asy-Syafi’i dalam


persoalan ini, bahwa beliau menulis buku untuk
menyanggah sikap gurunya, imam Malik atas informasi
yang dia dapatkan, bahwa di negeri Andalusia terdapat
Qalansuwah/thaqiyah (semacam songkok) imam Malik
yang dipakai meminta hujan.
Pengikutnya itu selalu membatah berdalih, “Imam
Malik berkata” setiap kali disampaikan hadits Rasulullah
saw kepada mereka.

Sanggahan imam asy-Syafi’i terhadap sikap


gurunya itu, sebenarnya ditujukan kepada pengikutnya
yang terlalu fanatik. Padahal sikap pengikutnya itu pasti
tidak dibenci oleh imam Malik, imam asy-Syafi’i dan
semua ulama selain keduanya.

Saat al-Hulaimi menukil larangan menyandarkan


perut dan punggung ke kuburan Rasulullah saw serta
mengusapnya dengan tangan karena semua itu termasuk
perbuatan bid’ah, beliau menguatkannya dengan dalil,
bahwa di masa hidup Rasulullah saw hanya dibolehkan
menyentuh dan memegang dinding rumah beliau, bukan
menempelkan perut atau punggung.

Imam an-Nawawi menguatkan pendapat ini.


beliau mengatakan, pendapat yang benar dan dipegang
oleh ulama adalah, orang yang menganggap menyentuh
kuburan Rasulullah saw lebih mudah mendatangkan
berkah dilatari oleh ketidaktahuan dan kelalaian.
Karena berkah itu tidak ditemukan kecuali pada
sesuatu yang sudah ditetapkan syariat. Musthail seseorang
mendapakan berkah dari sesuatu yang melanggar syariat.
Al-Izz bin Jama’ah mengatakan, sebagian ulama
menggolongkan membungkuk di sisi kubur Rasulullah
saw sebagai perbuatan bid’ah. Sebagian orang minim
ilmu agama menganggap kalau membungkuk seperti itu
termasuk bentuk penghormatan.

Namun yang terburuk dari semua itu adalah


mencium tanah kuburannya. Para salaf tidak pernah
melakukannya. Padahal semua kemashlahatan dapat
diraih dengan mengikuti jejak mereka.

Jika ada yang menganggap dengan mencium tanah


kuburan maka berkah lebih bisa dipastikan diraih maka itu
hanya bersumber dari ketidaktahuan dan kelalaiannya
semata. Karena berkah itu hanya bisa didapat dengan
mengikuti syariat dan jejak-jejak salaf.

Saya tidak heran jika itu dilakukan oleh mereka


yang nihil pengetahuan agamanya. Namun yang saya
herankan, mereka yang berani menganjurkannya. Padahal
dia tahu kalau perbuatan itu tidak dibenarkan dan
menyelisihi jejak-jejak salaf. Apalagi saat mereka sekadar
berdalilkan syair-syair semata.

Abu Musa al-Madini al-Hafidz menukil dari


ulama-ulama Khurasan dari imam asy-Syafi’i; “Dan
dilarang mengusap kubur, mencium dan mengusapnya,
karena itu termasuk ibadahnya kaum Nashara.”

Dalam kitab “al-Janaiz”, Abu al-hasan az-


Za’farani menyebutkan, “Memegang kburan dan
menciumnya yang dilakukan oleh orang-orang awam
termasuk perbuatan bid’ah, bertentangan dengan syariat.
Perbuatan tersebut mesti dihindari dan dilarang dilakukan
oleh siapapun.”

As-Suyuthi menyebutkan: “Bahwa seseorang


yang mimpi bertemu dengan Nabi saw atau bertemu
orang-orang shaleh yang menganjurkan untuk
menjadikan tempat-tempat tertentu sebagai mushalla
seperti yang dilakukan ahli kitab, maka tidak boleh
memuliakan tempat-tempat tersebut.
Karena tempat-tempat tersebuta hanya
dimaskudkan untuk menyaingi Rumah Allah swt dan
menjauhkan manusia dari jalan agama Allah swt.”

Kisah Rasulullah saw mengutus Jarir bin Abdillah


untuk merobohkan Dzi al-Khalashah dengan cara dibakar
api, menjadi dasar Ibnu Hajar menfatwakan: “Diwajibkan
menghancurkan segala sesuatu yang menyesatkan
manusia, baik berupa bangunan atau selainnya.”

Ibnu Hajar juga menegaskan, “Matinya pohon


tempat Nabi saw dan para sahabatnya melakukan Bai’atu
ar-Ridwan dengan maksud agar orang-orang tidak
terfitnah dan terjebak dalam perbuatan kufur.

Bayangkan jika pohon itu masih tetap ada hingga


sekarang, kemungkinan besar orang-orang nihil ilmu
agama akan terfitnah. Bisa saja mereka meyakini kalau
pohon tersebut punya kekuatan tertentu dan bisa
memberikan manfaat atau mudharat. Seperti yang kita
saksikan di sekeliling kita.

Ibnu ash-Shalah mengatakan: “Sebagian para


pendosa membuat dua perbuatan bid’ah di Ka’bah. Yakni:
Pertama; istilah al-‘urwatu al-wutsqa’ (ikatan
kuat) yang mereka buat-buat. Yaitu bagian atas di sisi
Ka’bah. Dimana sebagian orang awan meyakini, siapa
yang bisa menyentuhnya maka dia dianggap telah
berpegang pada tali yang kuat. Akhirnya mereka pun
berebutan menyentuhnya. Sampai-sampai ada wanita
yang minta ditopang oleh kaum lelaki.

Kedua; istilah surratu ad-dunyah (pusar dunia).


Yakni sebatang paku yang tertancap di bagian tengah
Ka’bah. Hal ini membuat sebagian orang awam
menyingkap pusar dan perutnya. Bahkan ada yang sampai
menyentuhkan pusarnya ke surratu ad-dunyah itu.

Kemudian Ibnu Shalah menegaskan: “Semoag


Allah swt membinasakan orang yang meletakkannya dan
membuat-buatnya.”

Tidak dipungkiri, kalau dua perbuatan bid’ah yang


mereka buat itu, mereka maksudkan sebagai sarana untuk
mendapatkan berkah bagi kehidupan mereka.
Murid Ibnu as-Shalah bernama Abu Syamah
membenarkan dan menguatkan perkataan Ibnu ash-
Shalah di atas.

Usai menukil perkataannya itu, an-Nawawi


mengatakan: “Keduanya adalah perbuatan bathil yang
dibuat-buat untuk tujuan yang buruk. Yakni untuk
merampok uang-uang receh dari orang-orang awam.”

Contoh lainnya sebagaimana disebutkan oleh as-


Suyuthi adalah, memotong sebagian tanduk-tanduk
hewan ternak untuk berburu berkah.

Beliau mengatakan: “Da semua itu termasuk


perbuatan bathil yang diharamkan. Sehingga sebagian
dari pelakunya bisa dianggap melakukan dosa besar
bahkan sampai pada kufur. Semua tergantung pada
niatnya melakukan itu.”
BAHASAN KEEMPAT

Tentang Ibadah

Terdapat tiga tema penting yang dipaparkan pada


bahasan keempat ini. Yakni;

I. Makna Ibadah Menurut Imam asy-Syafi’i. 1

Sepanjang bacaan penulis, definisi ibadah yang


disebutkan imam asy-Syafi’i dalam kitabnya ‘ar-Risalah”
termasuk yang terbaik. Dimana dia menjelaskan tentang
ujian Allah saw kepada hamba-hamba-Nya.

Beliau mengatakan: ‘Dan Allah swt menguji


hamba-Nya dengan meminta mereka menyembah-Nya
melalui ucapan dan perbuatan mereka, dan menjauhi
semua yang diharamkan.”

Definisi ini bersifat konfrehensif dan terukur.


Dimana beliau membagi ibadah ke dalam dua kelompok

1
. Silahkan perhatikan semua nukilan yang dimaksud dalam kitab
“Juhudu asy-Syafi’iyah” pada Bahasan Kedua; Definisi Ibadah, (hal
192-202). Pada bahasan tersebut saya sebutkan 29 nukilan dari imam
asy-Syafi’i juga dari para murid-muridnya. Sebagiannya disebutkan
di bab ini.
besar. Yakni; ketaatan dalam bentuk melakukan perintah
dan ketaatan dalam bentuk meninggalkan larangan.

Yang pertama mencakup semua perintah dan


syariat Allah swt, baik berupa perkataan maupun berupa
perbuatan, tindakan dan perilaku.

Sementara yang kedua mencakup semua bentuk


larangan Allah swt, baik berupa perkataan maupun berupa
perbuatan dan tingkah laku.

Beliau tidak membatasi ibadah hanya dalam


bentuk menjalankan perintah. Namun juga mencakup
meninggalkan larangan.

Dalam kitab “al-umm”, beliau menegaskan:


“Diketahui bahwa hukum itu bersumber dari Allah swt
kemudian dari Rasulullah saw. Hanya saja, keduanya
disatukan oleh statusnya sebagai media dan sarana
penghambaan diri kepada Allah swt.”

Dua hal lain yang menggabungkan segala bentuk


ibadah adalah perintah menjalankan dan perintah
meninggalkan. Sebagaimana disebutkan sebelumnya.
Melalui perintah menjalankan dan perintah
meninggalkan, Allah swt menguji para hamba-hambanya.

Al-Hulaimi mengatakan: “Semua ibadah itu,


hanya berupa perintah mengerjakan sesuatu atau perintah
meninggalkan sesuatu.”

Al-Mawardi juga menegaskan: “Syariat Allah swt


itu mencakup perintah melakukan ketaatan dan larangan
terjatuh dalam kemaksiatan.”

Al-Ashbahani mengatakan: “Keimanan itu dapat


diraih dengan mengerjakan semua bentuk ketaatan dan
meninggalkan segala ragam yang diharamkan.”

Al-Khaththabi mengatakan: “Keimanan itu terdiri


dari dua bahagian penting. Yakni menjalankan semua
perintah Allah swt dan meninggalkan seluruh larangan
Allah swt.”

Dengan demikian, menurut ar-Razi, “Ibadah


mencakup semua bantuk amalan hati dan amalan fisik,
anggota badan manusia.”

Sirajuddin al-Farisi asy-Syafi’i mengatakan:


“Kata ibadah dimaksukan semua amalan fisik yang
diniatkan untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
Kadang pula dimaksudkan menjalankan tugas
kehambaan, melalui menjalankan segala perintah Allah
swt dan meninggalkan laranganya.”

Dari definisi ibadah yang disebutkan imam asy-


Syafi’i diketahui kalau beliau mengharuskan meniatkan
ibadah murni kepada Allah swt. Dasarnya, karena beliau
mengartikan ibadah sebagai komitmen terhadap
menjalankan perintah dan meninggalkan larangan Allah
swt.

Pengertian ini mencakup semua bentuk ibadah,


baik berupa amalan zhahir (tampak) maupun amalan
bathin (tidak tampak). Semuanya hanya boleh diniatkan
kepada Allah swt. Haram hukumnya diniatkan kepada
selain Allah swt.

Pengertian itu juga menunjukkan kalau ibadah


menurutnya mencakup semua amalan yang mendekatkan
diri seseorang kepada Allah swt. Meniatkannya hanya
kepada Allah swt merupakan pembuktian tauhid dan
meniatkannya kepada selain Allah swt adalah tindakan
syirik.”1

II. Sumber dan Landasan Ibadah.

Melalui ungkapan yang sangat ringkas dan simple


namun dalam dan padat isi, imam asy-Syafi’i menjelaskan
syarat-syarat sah ibadah. Beliau mengatakan dalam kitab
“ar-Risalah”:2 “Sesungguhnya Allah swt memerintahkan
para hambanya melalui sabda Rasulullah saw
menjalankan ragam syariat. Tidak ada yang bisa
mengganggu gugat ketetapannya.”

1
. Telah saya jelaskan dalam kitab “Juhudu asy-Syafi’iyah” tentang
detail bentuk-bentuk ibadah zhahirah (fisik) dan jenis-jenis ibadah
bathinah (hati) menurut imam asy-Syafi’i dan ulama lainnya.
Ditambah dengan penjelasan mereka tentang syarat-syarat sah
ibadah. Bagi yang membutuhkan, silahkan merujuk ke pandangan
mereka pada (hal 209-404). Dimana di antara ibadah bathinah yang
disebutkan adalah, al-mahabbah (cinta), al-khauf (takut dan kawatir),
ar-raja’ (perngahrapan), at-tawakkul (tawakkal), ash-shabru (sabar)
dan at-taubah (taubat).
Kemudian ibadah zhahirah yang disebutkan, di antaranya; adz-dzikru
(mengingat Allah swt), ad-du’a (do’a), adz-dzabhu (sembelihan) an-
nadzaru (nadzar) dan ath-thawafu (tawaf).
Disebutkan pula perkataan mereka terkait syarat-syarat sah ibadah
yang jumlahnya mencapai 100 nukilan.
2
. (Hal 217).
Beliau sebutkan, bahwa ibadah sekaligus cara
menunaikannya hanya bisa diketahui dari dua sumber,
yakni al-qur’an al-adzhim (al-qur’an yang agung) dan
sunnatu an-nabiyyi al-karim (sunnah Nabi yang mulia).

Hanya dari dua sumber inilah diketahui iabdah


dan bagaimana cara beribadah kepada Allah swt. tidak ada
seorang pun yang boleh membuat-buat jenis ibadah
kepada Allah swt.

Dalam kitab “al-Umm”,1 imam asy-Syafi’i


berkata: “Tidak ada seorang pun yang terbebas dari salah
dan dosa, kecuali para Nabi shalawatullahi wa salamuhu
alaihim ajmain. Kemudian beliau mengisahkan
pandangan sahabat nabi saw.

Beliau mengatakan: “Nabi saw kadang menunjuk


sebagian sahabatnya untuk mengurus hal tertentu.
Kemudian mereka menjalankan hasil ijtihad mereka
dengan maksud bersikap hati-hati. Namun terkadang
Rasulullah saw tidak menolak itu dari mereka lalu beliau
membimbing mereka kembali menaati Allah swt.

1
. Lihat (hal 6/203).
Kadang pula, beliau menerima itu dan
menganggapnya sebagai ketaatan kepada Allah swt.
Keputusan seperti ini hanya boleh dilakukan oleh
Rasulullah saw. Karena Allah swt telah memilihnya
mengemban wahyunya.

Segala keputusan sahabatnya yang disetujui oleh


Rasulullah swt, maka itu didasarkan pada ketaatan beliau
kepada Allah swt. Demikian pula, apapun yang beliau
larang dilakukan para sahabatnya, maka atas dasar
ketaatan pula, beliau melarangnya.

Imam asy-Syafi’i menegaskan: “Tidak ada cara


untuk mengetahui benar dan salahnya pendapat seseorang
setelah wafatnya Rasulullah saw. Boleh saja seseorang
mengikuti fikirannya walau tidak jelas benar dan
salahnya. Hanya saja, setiap orang diperintahkan menaati
Allah swt dan rasul-Nya, yakni melalui kitabullah (al-
qur’an) dan sunnah nabi-Nya.”1

1
. Lanjutan perkataan beliau menyebutkan: “jika dikatakan, bukankah
sebagian orang memakan al-hauts (hati) tanpa diketahui Rasulullah
saw. Jadi mereka tidak punya dalil? Jawabnya: bahwa itu diposisikan
sebagai kodisi darurat. Mereka didesak oleh keadaan. Sekalipun
mereka juga tidak yakin status kehalalannya. Tidakkah engkau tahu
Yang beliau inginkan dari penjelasan ini adalah,
membedakan dua kondisi yang berbeda. Yang pertama,
terjadi di masa rasulullah saw. Beliau masih ada di
tengah-tengah sahabatnya. Sedang kasus yang kedua,
terjadi setelah Rasulullah saw wafat.

Setiap sahabat yang hendak melakukan sesuatu,


dia berijtihad lalu menanyakannya kepada Rasulullah
saw. Jika beliau mengabulkan berarti persoalan tersebut
dianggap benar dan tepat. Bahkan dimasukkan sebagai
sunnah Rasulullah saw. Namun jika beliau menolak dan
mengingkarinya, berarti persoalan tersebut dianggap
salah.

Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain bagi


manusia sesudah wafatnya Rasulullah saw melainkan
mengikuti kitabullah dan sunnah Rasulullah saw. Karena
seseorang yang mengerjakan sesuatu tanpa didukung oleh
al-qur’an dan sunnah maka tidak ada jaminan dia selamat

kalau mereka telah menanyakan itu? Tidakkah engkau tahu kalau


sahabat Abu Qatadah menangkap buruan mereka, dimana karena
mereka tidak dalam kondisi terpaksa, mereka membiarkan buruan
mereka itu. Karena mereka tidak punya alasan memakannya hingga
mereka bertanya kepada Rasulullah saw.
dari kesalahan. Sebab, yang terbebas dari kesalahan hanya
Nabi saw.

Imam asy-Syafi’i merangkai sebuah syair tentang


ini. Yakni;

Tidak tenang manusia hingga ciptakan bid’ah


Dalam agama dengan fikiran tanpa tuntunan nabi
Hingga kebanyakan mereka meremehkan agama
Padahal yang dia kerjakan berujung capek belaka

Betul, sungguh syariat yang teah tertuang dalam


kitab al-qur’an dan sunnah sudah cukup bagi manusia.
Merak tidak membutuhkan amalan bid’ah yang mereka
buat-buat sendiri. Aturan syariat sejatinya mengisi waktu-
waktu kita yang akan memberikan manfaat besar di
kehidupan dunia dan akhirat.

Inilah yang dimaksudkan imam asy-Syafi’i dalam


salah satu bait syairnya di atas. Yakni;

Padahal yang dia kerjakan berujung capek belaka.


III. Kecaman Ibadah Menyimpang

Imam asy-Syafi’i sangat mengecam mereka yang


memilih meniti jalan lain dengan cara menciptakan
perbuatan bid’ah yang tidak pernah disyariatkan Allah
swt. Atau mereka yang lebih memilih fikiran orang lain
ketimbang summah Rasulullah saw.

Dalam kitabnya “al-Umm”, beliau banyak


menceritakan debatnya bersama orang-orang yang lebih
memilih pendapat orang lain ketimbang sunnah
Rasulullah saw.

Di antaranya, adalah ketika beliau membolehkan


sistem salaf (jual beli indent/pre order) dengan syarat
kadarnya disepakati dan waktu serahterimanya juga
disepakati, sembari menukil beberapa atsar.

Lalu beliau mengatakan: “Atsar-atsar yang saya


sebutkan setelah menyebutkan dalil dari al-qur’an dan
sunnah Rasulullah saw dan ijma’ ulama, bukan berarti
atsar ini jauh lebih kuat dari sunnah Rasulullah saw.
Bukan juga berarti jikalau dia berbeda atau tidak
disebutkan maka sunnah tersebut menjadi lemah.
Bahkan bolehnya salaf sudah menjadi ketetapan
syariat. Kita hanya berharap pahala melalui arahan untuk
mereka yang membaca nukilan ini. Karena di antara
nukilan ini ada yang mudah diterima hati dengan lapang.
Dan andai mereka tidak terlalaikan maka mereka pun
pasti merasa cukup dengan al-qur’an dan sunnah
Rasulullah saw. 1

Beliau ingin mendapatkan pahala melalui nukilan


perkataan ulama salaf yang beliau sebutkan. Tujuannya
untuk membantah mereka yang mengandalkan perkataan
orang lain.

Beliau juga sebutkan kalau rata-rata mereka itu


terlalaikan. Karena andaikan mereka betul-betul berjalan
di atas jalan yang benar niscaya mereka juga akan
mencukupkan diri mereka berdalil al-qur’an dan sunnah.
Mereka tidak merasa butuh perkataan orang lain. mereka
pun segera patuh pada ketetapan nash-nash yang qath’i
(jelas, tegas dan lugas) tanpa perlu melirik perkataan
orang lain.

1
. Kitab “al-Umm” (3/95).
Kecaman imam asy-Syafi’i terhadap mereka yang
lebih memilih perbuatan bid’ah ketimbang sunnah
Rasulullah saw jumlahnya sangat banyak. Utamanya yang
terkait dengan debatnya melawan ahli kalam yang
linglung dalam persoalan sifat-sifat ilahiyah. Apalagi
mereka yang bingung memahami sifat kalam bagi Allah
swt.

Yang termasyhur dari kisah terkait tema di atas


adalah, debatnya yang panas, keras dan tegas dengan
Hasfh al-Fard. Beliau mematahkan semua argument dan
logika Hafsh al-Fard.

Debat-debat imam asy-Syafi’i dapat dibaca dalam


kitab “Adabu asy-Syafi’i” karangan Ibnu Abi Hatim dan
kitab “al-Manaqib” karanag al-Baihaqi serta kitab-kitab
lainnya.

Perlu diketahui, Hafsh al-Fard mengingkari sifat-


sifat Allah swt. Adapun cerita yang mengatakan kalau
imam asy-Syafi’i medebatnya dalam persoalan takdir
maka itu tidak benar. Karena Hafsh sendiri menagkui dan
mngimani takdir. Bahkan merupakan keyakinan yang
wajib di kalangan pengikut Dhirar bin ‘Amru yang
mengecam al-Asy’ari setelah meninggalkan madzhab al-
Mu’tazilah dalam beberapa persoalan.

Di antaranya, persoalan takdir yang ditetapkan al-


Asy’ari yang berbeda dengan pendapat mereka. Lalu al-
Asy’ari berkata: “Dan dia diikuti oleh Hafsh al-Fard
dalam persoalan ini.”1

Debat antara imam asy-Syafi’i yang terkenal salah


satunya dalam persoalan sifat kalam Allah swt. Imam asy-
Sayfi’i mematahkan semua klaim Hafsh dan persoalan
sifat lainnya yang membuat sesat banyak orang dan
kelompok. Baik sebelum dan sesudah masa Hafsh al-Fard.

Termasuk yang paling banyak dikecm oleh Imam


asy-Syafi’i adalah pengikut tashawwuf. Karena
banyaknya faham dan keyakinan serta perbuatan bid’ah
yang dibuat-buat oleh mereka.

Abu Nu’aim, al-Baihaqi dan Ibnu Abi Hatim


meriwayatkan darinya, beliau berkata: “Saya tinggalkan
di Iraq sesuatu yang disebut at-Taghbiir (nyanyian) yang

1
. Lihat kitab “Maqalaatu al-Islamiyyin” (1/339-340)
dibuat oleh kaum zindiq. Dengannya mereka melalaikan
manusia dari al-qur’an.”

At-taghbir adalah pukulan bernada menggunakan


tangkai ke kulit kering hingga menhasilkan suara. Mereka
lakukan itu sembari mendengarkan nyayian shufi.

Al-Azhari mengatakan, mereka itu yang


melantunkan dzikir. Mereka menyebut syair dan dzikir
diiringi tabuhan gendang dengan istilah at-taghbir. Yakni
mereka melantunkan syair dengan suara bernada diiringi
tabuhan dan joget (gerak badan) yang akhirnya
menerbangkan debu. Mereka mengatakan:

Para hambamu sedang larut dalam taghbir


Maka curahkan ke kami ampunan1
Jikalai imam asy-Syafi’i bersikap tegas dank eras
dalam persoalan seperti ini, maka bagaimana lagi sikap
beliau terhadap persoalan-persoalan yang diada-adakan
dalam agama.

Di antara kitab-kitab yang menukil kecaman imam


asy-Syafi’i terhadap shufi adalah, kitab “al-Manaqib”

1
. Disebutkan oleh pengarang kitab “Lisanu al-Arab” (5/5).
karangan al-Baihaqi, kitab “al-Hilyah” karangan Abu
Nu’aim, kitab “Adab” karangan Ibnu Abi Hatim dan kitab
“al-‘Uzlah” karangan al-Khaththabi. Beliau mengatakan;
“Madzhab at-tashawwuf dibangun di atas sifat malas.”
Perkataannya yang lain. 1

Mereka juga meriwayatkan cerita imam asy-


Syafi’i bersama dengan seorang yang berani menyebut
imam asy-Syafi’i dengan sebutan al-Battal (gelandangan).

Disebutkan orang itu menghadiri majlis imam asy-


Syafi’i sembari menempelkan kotoran di kumisnya.
Sementar imam asy-Syafi’i dikenal suka memakai
parfum.

Ketika bau kotoran tersebut menyebar, imam asy-


Syafi’i meminta agar setiap orang memeriksa alas
kakinya. Belaiu juga meminta masing-masing orang
membau orang di sampingnya. Akhirnya, mereka pun

1
. Lihat di kitab “al-Hilyah” karangan Abi Nu’aim (9/137), kitab
“Adabu asy-Syafi’i” (hal 271-272), dan kitab “al-Manaqib” karanagn
al-Baihaqi (2/63-64). Lihat tambahannya dalam kitab “Talbisu Iblis”
karangan Ibnu al-Jauzi (hal 320 dan 341).
tahu kalau bau itu bersumber dari kotoran di kumis orang
itu.

Lantas imam asy-Syafi’i menanyainya mengapa


dia lakukan itu. Orang itu menjawab: karena saya
mencium kesombonganmu, makanya saya ingin tawadhu’
di hadapan Allah swt.

Kemudian imam asy-Syafi’i memerintahkan agar


orang tersebut diikat hingga beliau selesai mengajar. Usai
bermajlis, imam asy-Syafi’i mencambuk orang tersebut
sebanyak 30 atau 40 kali. Lantas berkata: cambukan yang
ini karena engkau bawa kotoran ke dalam masjid. Sedang
cambukan lainnya, karena engkau shalat dalam keadaan
tidak thaharah. 1

Menyikapi sikap sebagian shufi yang melarang


orang belajar dan menjauhkan manusia dari majlis-majlis
ilmu.2 Imam asy-Syafi’i mengatakan: “Barang siapa yang

1
. Lihat kitab “al-Manaqib” karangan al-Baihaqi (hal 2/208-209) dan
dan kitab “al-‘Uzlah” karangan al-Khaththabi (hal 223).
2
. Lihat sebagiannya di buku karanganku “Karamatu al-Auliya”
(Bahasan Orang Ghuluw Terhadap Karamah, Bagian Ketiga; Debat
Sebagian Qudhat Terkait Klaim al-Kasyaf: 4- at-Tazhid fi al-Ilmi asy-
Syar’i)
benci ilmu maka tidak ada kebaikan pada orang itu. Dan
jangan jadikan dia sebagai teman dan sahabat.”1

Cerita lain menyebutkan debat antara Abu Tsaur


murid asy-Syafi’i bersama seorang pengikut shufi. 2 Orang
itu berbeda pendapat dengan Abu Tsaur. Penampilan
orang itu menunjukkan etika tinggi, tulus dan khusyu’.
Dia tinggalkan majlisnya Abu Tsaur bebrapa waktu lalu
datang kembali. Dia menampakkan dirinya sangat lemah,
dia warnai kuning dirinya, lalau meletakkan lilin di kedua
matanya.

Melihat itu, Abu Tsaur bertanya kepadanya:


“Kenapa engkau menghilang sejenak? Dia menjawab:
Allah telah karuniakan aku taubat kepadanya, sehingga
aku dibuat cinta berkhalwat, dibuat tenang menyendiri,
dan disibukkan dengan ibadah kepadanya.

Abu Tsaur bertanya lagi: ada apa dengan matamu


itu? Dia menjawab: saya melihat dunia dan aku dapati dia
penuh fitnah dan bencana. Allah swt mencelanya. Aku

1
. Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam kitab “al-Manaqib” (2/144).
2
. Disebutkan oleh al-Khaththabi dalam kitab “al-‘Uzlah” (hal 224).
tidak mampu memejamkan kedua mataku, sehingga
hanya satu yang terpejam sedang yang lain tetap melihat.

Abu Tsaur lalu berkata; dan sejak kapan lilin itu di


matamu? Dai menjawab: sejak dua bulan lalu atau lebih
sedikit. Abu Tsaur lantas berkata: “Wahai fulan, saya
belum tahu kalau Allah swt wajibkan shalat atasmu
selama dua bulan dan tidak pula bolehkan thaharahmu
selama dua bulan.

Beliau lanjutkan dan berkata: lihatlah orang celaka


ini. dia telah ditipu oleh setan dan mencurinya dari
kelompok orang-orang berilmu. Lalu Abu Tsaur
menunjuk seseorang yang membimbing dan
mengajarinya ilmu syariat.

Oleh sebab itu, imam asy-Syafi’i sangat


menekankan penting belajar ilmu syar’i agar seorang
muslim hidup dalam bimbingan ilmu. Beliau senantiasa
untuk terus belajar. Hingga beliau berpendapat, bahwa
belajar adalah sarana terbaik seorang hamba mendekatkan
dirinya kepada Allah swt setelah kewajiban-kewajiban
fardhu. 1

Beliau juga menempatkan belajar ilmu syar’i lebih


utama ketimbang shalat sunnah.2 Bahkan menurut beliau
belajar ilmu syar’i lebih utama ketimbang jihad yang nota
bene puncak agama Islam. 3

Sebagai penutup, saya menukil perkataan imam


asy-Syafi’i yang beliau sebutkan di awal kitab “ar-
Risalah”.4 Beliau mengatakan: “Sebuah keharusan bagi
penuntut ilmu untuk maksimalkan usaha mereka
menambah keluasan ilmu mereka, sabar menghadapai dan
melewati semua tantangan, tulus dan ikhlaskan niat
kepada Allah swt demi mengetahui ilmunya, baik dengan
menela’ah nash-nash syar’i atau menarik hukum yang
terkandung di dalamnya, serta penuh harap akan
pertolongan Allah swt. Karena tidak ada kebaikan yang
dapat diraih tanpa pertolongan Allah swt.”

1
. Lihat kitab “al-Manaqib” karangan al-Baihaqi (2/138-140).
2
. Lihat kitab “Adabu asy-Syafi’i” (hal 97) dan kitab “al-Hilyah”
(9/119).
3
. Lihat kitab “al-Manaqib” karangan al-Baihaqi (2/138).
4
. (Hal 19).
Ya Allah, kumpulkan kami bersama imam asy-
Syafi’i di surgamu yang penuh nikmat. Berikan balasan
terbaik melebih balasa terbaik yang engkau berikan
kepada para ahli ilmu, penolong sunnah Rasulullah saw.

Wallahu a’lam. Shalawat dan salam senantias


tercurah kepada Nabi Kita Muhammad, kepada
keluarganya dan para sahabatnya.
Daftar Referensi

1. Ihkamu al-Qur’an Syarhu ‘Umdati al-Ahkam,


Taqiyuddin Muhammad bin Majduddin Ali bin Wahb
al-Qusayiri, tahqiq Ahmad Syakir, Maktabah as-
Sunnah, cet I, thn 1418 H
2. Ahkamu al-Qur’an, Abu Abdillah Muhammad bin
Idris asy-Syafi’i, dikumpulkan oleh Abu bakar Ahmad
bin al-Husain al-Baihaqi, catatan kaki ditulis oleh
Abdul Ghani Abdul khaliq, Daar al-Kutubi al-Ilmiyah,
Beirut, thn 1400 H.
3. Adabu asy-Syafi’i wa Manaqibuhu, Abu Abdirrahman
bin Abi Hatim ar-Razi, tahqiq Abdul Ghani Abdul
Khaliq, Daar al-Kutubi al-Ilmiyah, Beirut.
4. Al-Umm, Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-
Syafi’i, Daaru al-Ma’rifah, Beirut, dikontrol
cetakannya oleh Muhammad Zuhri an-Najjar.
5. Tafsir al-Qur’an, Abu al-Muzhaffar Manshur bin
Muhammad as-Sam’ani, Tahqiq Yasir bin Ibrahim dan
Ghanim bin Abbas, Daar al-Wathan, ar-riyadh, cet I,
thn 1418 H.
6. Talbisu Iblis, Abu al-Faraj Abdurrahman bin al-Jauzi
al-Baghdadi, Daar al-Kutubi al-Ilmiyah, Beirut.
7. Jami’u al-Bayani fi Tafsiri al-Qur’an, Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir ath-Thabari, Daar al-Hadits,
Kairo, thn 1407 H.
8. Juhudu asy-Syafi’iyah fi Taqriri Tauhid ar-Ibadah,
Abdullah bin Abdul Aziz al-Anqari, Daar at-Tauhid,
Riyadh, cet I, thn 1425 H.
9. Hilyatu al-Auliya’ wa Thabaqatu al-Ashfiya’, Abu
Nu’aim Ahmad bin Abdillah al-Ashfahani, Beirut,
Daar al-Fikri.
10. Dar’u Ta’arudhi al-Aqli wa an-Naqli, Abu al-Abbas
Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah, cet I, Tahqiq
DR. Muhammad Rasyad Salim, cetakan Muhammad
bin Su’ud University, Riyadh, thn 1400 H.
11. Ar-Risalah, Abu Abdillah Muhammad bin Idris asy-
Syafi’i, Tahqiq Ahmad Syakir, Maktabah Daar at-
Turats, Kairo, cet II, thn 1399 H.
12. As-Sunnah, Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Tahqiq
Muhammad bin Sa’id asy-Syaibani, Daar Ibnu al-
Qayyim, Dammam, cet I, thn 1406 H.
13. Siyaru A’lami an-Nubala’, Saymsuddin Muhammad
bin Ahmad adz-Dzahabi, tahqiq Syu’aib al-Arnauth,
Muassasah ar-Risalah, cet IX, thn 1413 H.
14. Asy-Syari’ah, Abu Bakar Muhammad bin al-Husain al-
Ajurri, tahqiq Muhammad Hamid al-Faqi, Maktabah
Daar as-Salam, Riyadh, cet I, thn 1413 H.
15. Shahih Muslim, Abu al-Hajjaj muslim bin al-Hajjaj al-
Qusyairi, Beirut, Daar Ibnu Hazam, cet I, thn 1416 H.
16. Thabaqatu asy-Syafi’iyah al-Kubra, Abu Nashr Abdu
l Wahab bin Ali as-Subki, tahqiq Abdul Fattah al-
huluw dan Mahmud ath-Thanahi, Daar Ihya al-kutubi
al-Arabiyah.
17. Tahabaqatu al-Fuqaha’ asy-Syafi’iyah, Abu Amru
Utsman bin Abdurrahman asy-Syahrazuri, Ibnu ash-
Shalah, tahqia Muhyiddin Ali Najib, Daar al-Basyair,
Beirut, cet I, thn 1413 H.
18. Al-Uzlah, Abu Sulaiman Hamad bin Muhammad al-
Khaththabi, tahqiq Yasin Muhammad as-Suwas, Daar
Ibnu Katsir, Damaskus – Beirut, cet I, thn 1407 H.
19. Al-Aqdu ats-Tsamin fi Bayani Masaili ad-Din, Ali bin
Abi as-Su’ud Muhammad bin Abdullah al-Abbasi – as-
Suwaidi- Mathba’ah al-Maimaniyah, Mesir, thn 1325
H.
20. Fathu al-Bari Syarhu Shahih al-Bukhari, Ahmad bin
Ali bin Hajar al-Asqalani, Daar as-Salam, Riyadh, cet
I, thn 1421 h.
21. Qawaidi al-Ahkam fi Mashalihi al-Anam, Abu
Muhammad Izzuddin Abdul Aziz bin Abdussalam as-
Sulami, Daar al-Jiil, Beirut, cet III, thn 1400 H.
22. Kitabu at-Tauhid wa Itsbatu Shifati ar-Rabb, Abu
Bakar Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah, tahqiq
Abdul Aziz asy-Syahawan, Maktabah ar-Rusyd,
Riyadh, cet V, thn 1414 H.
23. Al-Majmu’ Syarhu al-Muhadzdzab, Abu Zakariyah
Yahya bin Syaraf an-Nawawi, Daar al-Fikir.
24. Mukhtashar al-Muzani, Abu Ibrahim Ismail bin Yahya
al-Muzani, bahagian kitab al-Umm li asy-Syafi’i.
25. Al-Musnad, Ahmad bin Muhammad bin Hanbal asy-
Syaibani, Daar al-Kutubi al-Ilmiyah, Beirut, cet II, thn
1398 H.
26. Ma’alimu as-Sunan, Abu Sulaiman Hamad bin
Muhammad sl-Khaththabi, ditela’ah oleh Abdussalam
Abdu asy-Syafi, Daar al-Kutubi al-Ilmiyah, Beirut, cet
I, thn 1411 H.
27. Maqalaatu al-Islamiyyin wa Ikhtilafu al-Mushallin,
Abu al-Hasan Ali bin Ismail al-Asy’ari, tahqiq
Muhyiddin Abdul hamid, Beirut, al-Maktabah al-
Ashriyah, thn 1411 H.
28. Manaqibu asy-Syafi’iyah, Abu Bakar Ahmad bin al-
Husain al-Baihaqi, tahqiq as-Sayyid Ahmad Shaqar,
Maktabah Daar at-Turats, Kairo, cet I, thn 1391 H.
29. Al-Minhaj Syahu Shahihu Muslim bin al-Hajjaj, Abu
Zakariyah Yahya bin Syaraf an-Nawawi, al-Mathba’ah
al-Mishriyah wa Maktabatiha.

Anda mungkin juga menyukai