Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULUAN

”KONSEP PASANGAN USIA SUBUR (PUS) DAN


KELUARGA BERENCANA”

NAMA : FATHIYAH NABILA DLY


NIM : 161101112
STASE : KEPERAWATAN MATERNITAS
KELOMPOK : 5 (LIMA)
DOSEN : FARIDA LINDA SARI SIREGAR , S.Kep, Ns, M.Kep

PROGRAM PROFESI NERS


FAKULTAS KEPERAWATAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2020
A. Pasangan Usia Subur (PUS)
1. Definisi Pasangan Usia Subur
Pasangan usia subur (PUS) adalah pasangan suami istri yang sah terikat oleh
suatu pernikahan dimana usia istri antara 15 – 49 dan pasangan (laki-laki dan perempuan)
sudah cukup matang dalam segala hal terlebih organ reproduksinya sudah berfungsi dengan
baik. Pasangan usia subur (PUS) merupakan salah satu komposisi penduduk yang secara fisik
dan seksual sudah matang untuk melangsungkan kehamilan (Manuaba, 2010).
Pasangan Usia Subur (PUS) yaitu berkisar antara 15 – 49 tahun dimana pasangan (laki-
laki dan perempuan) sudah cukup matang dalam segala hal terlebih organ reproduksinya sudah
berfungsi dengan baik. Pada masa ini pasangan usia subur harus dapat menjaga dan
memanfaatkan kesehatan reproduksinya yaitu menekan angka kelahiran dengan metode
keluarga berencana, sehingga jumlah dan interval kehamilan dapat diperhitungkan untuk
meningkatkan kualitas reroduksi dan kualitas generasi yang akan datang (Suryani, 2016).
Pasangan Usia Subur (PUS) adalah pasangan suami-istri yang istrinya berumur 15-49
tahun dan masih menstruasi, atau pasangan suami-istri yang istrinya berusia kurang dari 15
tahun dan sudah menstruasi, atau istri sudah berumur lebih dari 50 tahun, tetapi masih
menstruasi (datang bulan). Namun dalam mini survei dibatasi wanita PUS umur 15-49 tahun
(BKKBN, 2011).

2. Kelompok Pasangan Usia Subur


Pasangan Usia Subur adalah pasangan suami istri yang usia istrinya antara 15 - 49
tahun yang kemudian dibagi menjadi 3 (tiga ) kelompok yakni:
1. Dibawah usia 20 tahun
2. Antara 20 - 35 tahun
3. Usia diatas 35 tahun
Berdasarkan pertimbangan fisik dan mental usia terbaik melahirkan adalah antara 20 -
35tahun, sehingga sangat dianjurkan bagi setiap wanita dapat menikah diatas 20 tahun.

3. Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) menurut Kelompok Umur


Jumlah Pasangan Usia Subur (PUS) di seluruh Indonesia yang tercatat pada Pendataan
Keluarga Tahun 2011 sebanyak 45.189.997 pasangan. Dari jumlah tersebut dilihat dari
kelompok umur istri tercatat sebanyak 1.768.557 istri atau 3,91% berusia di bawah 20 tahun,
15.628.354 istri atau 34,58% berusia 20-29 tahun, dan 27.793.086 istri atau 61,50% berusia 30
tahun ke atas (BKKBN, 2011).
4. Masalah dan Kebutuhan yang Dialami Pasangan Usia Subur
Dalam menjalani kehidupan berkeluarga, PUS sangat mudah dalam memperoleh
keturunan, dikarenakan keadaan kedua pasangan tersebut normal. Hal inilah yang menjadi
masalah bagi PUS yaitu perlunya pengaturan fertilitas (kesuburan), perawatan kehamilan dan
persalinan aman. Dalam penyelesaian masalah tersebut dilakukan tindakan dari tenaga
kesehatan dalam penyampaian penggunaan alat kontrasepsi rasional untuk menekan angka
kelahiran dan mengatur kesuburan dari pasangan tersebut. Maka dari itu, petugas kesehatan
harus memberikan penyuluhan yang benar dan dimengerti oleh masyarakat luas (Suryani,
2016).
Masalah yang dapat dialami oleh pasangan usia subur antara lain:
a) Penggunaan Kontrasepsi
Salah satu masalah bagi pasangan usia subur yaitu perlunya pengaturan fertilitas
(kesuburan) dan kehamilan. Dalam penyelesaian masalah tersebut
diperlukan penyampaian infomasi mengenai penggunaan alat kontrasepsi rasional
untuk menekan angka kelahiran dan mengatur kesuburan dari PUS (Indeks artikel
Kompas.com, 2009).
Kontrasepsi berawal dari kata control berarti mencegah atau melawan sedangkan
konsepsi adalah pertemuan antra sel telur (sel wanita) yang matang dan sel sperma
(sel pria) yang mengakibatkan kehamilan. Jadi kontrasepsi adalah menghindari atau
mencegah terjadi kehamilan sebagai akibat pertemuan antar sel yang matang dengan sel
sperma (Fitria 2008).
 Syarat-syarat kontrasepsi menurut Hartanto (2007) adalah sebagai berikut :
- Aman pemakaiannya dan dapat dipercaya
- Lama kerja dapat di atur menurut keinginan
- Efek samping yang merugikan tidak ada atau minimal
- Harganya dapat dijangkau masyarat
- Cara penggunaan sederhana
- Tidak mengganggu hubungan suami istri
- Tidak memerlukan control yang ketat selama pemakaian
 Tujuan dari pengguan alat kontrasepsi (Hartanto,2007)
- Menunda kehamilan
Di tunjukkan untuk PUS yang istrinya berusia < 20tahun
- Mengatur kehamilan
Ditujukan untuk PUS yang istrinya berusia antara 20- 30/ 35tahun
- Menghentikan atau mengakhiri kehamilan
Ditujukan untuk PUS yang istrinya berusia diatas 30 tahun, terutama 35
tahun dan telah mempunyai 2 orang anak.
b) Infertilitas
Infertilitas merupakan suatu ketidakmampuan pasangan untuk mencapai
kehamilan setelah 1 tahun hubungan seksual tanpa pelindung (Bumer dan Suddarth,
2001). Infertilitas (pasangan mandul) adalah pasangan suami istri yang telah menikah
selama satu tahun dan sudah melakukan hubungan seksual tanpa menggunakan alat
kontrasepsi, tetap belum memiliki anak (Sarwono, 2000).
Klasifikasi Infertilitas terdiri dari 2 macam, yaitu:
i. Infertilitas primer yaitu jika perempuan belum berhasil hamil walaupun koitus
teratur dan dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan berturut
turut.
ii. Infertilitas sekunder yaitu disebut infertilitas sekunder jika perempuan pernah
hamil, akan tetapi kemudian tidak berhasil hamil lagi walaupun koitus teratur dan
dihadapkan kepada kemungkinan kehamilan selama 12 bulan berturut-turut.
c) Kista
Kista adalah suatu kantong tertutup yang dilapisi oleh selaput (membran) yang
tumbuh tidak normal di rongga maupun struktur tubuh manusia. Terdapat berbagai
macam jenis kista, dan pengaruhnya yang berbeda terhadap kesuburan. Hal penting
lainnya adalah mengenai ukuran kista. Tidak semua kista harus dioperasi mengingat
ukuran juga menjadi standar untuk tindakan operasi. Jenis kista yang paling sering
menyebabkan infertilitas adalah sindrom ovarium polikistik. Penyakit tersebut ditandai
amenore (tidak haid), hirsutism (pertumbuhan rambut yang berlebihan, dapat
terdistribusi normal maupun tidak normal), obesitas, infertilitas, dan pembesaran indung
telur. Penyakit ini disebabkan tidak seimbangnya hormon yang mempengaruhi
reproduksi wanita.
d) Kanker
Kanker merupakan suatu penyakit yang disebabkan oleh pertumbuhan sel-
sel jaringan tubuh yang tidak normal (tumbuh sangat cepat dan tidak terkendali),
menginfiltrasi/ merembes, dan menekan jaringan tubuh sehingga mempengaruhi organ
tubuh (Akmal, dkk., 2010). Kanker serviks merupakan penyakit keganasan yang
menempati urutan kedua pada wanita yang berada dalam usia subur di dunia setelah
kanker payudara. Di Indonesia, kanker ini menempati urutan pertama dari seluruh
kejadian kanker pada wanita dan lebih dari separuh penderitanya datang ke fasilitas
pengobatan sudah pada stadium lanjut. Pada pria, jenis kanker yang sering dialami
diantaranya adalah: kanker paru-paru, kanker usus, kanker testis, dan juga kanker penis.
e) Penyakit Menular Seksual (PMS)
PMS adalah penyakit infeksi yang ditularkan terutama melalui hubungan seksual
dan merupakan salah satu dari sepuluh penyebab pertama penyakit pada dewasa muda
laki laki dan penyebab kedua terbesar pada dewasa muda perempuan di negara
berkembang. Kasus PMS di Indonesia sendiri sejak tahun 2013 terus meningkat
dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya karena adanya penambahan kasus baru
akibat penularan melalui pengguna narkoba dengan jarum suntik. Beberapa faktor
penghambat dari perilaku PUS tentang PMS disebabkan masih kurangnya informasi-
informasi dan pengetahuan yang berhubungan dengan PMS itu sendiri, dan sikap dari
PUS tentang PMS tersebut. Cara penularan penyakit ini tidak hanya melalui hubungan
seksual tetapi dapat juga ditularkan langsung. Beberapa faktor penghambat dari perilaku
PUS tentang PMS disebabkan masih kurangnya informasi-informasi dan pengetahuan
yang berhubungan dengan PMS itu sendiri, dan sikap dari PUS tentang PMS tersebut.

Cara penularan PMS, meliputi:


- Hubungan seksual penetratif yang tidak terlindung, baik per vaginal, anal,
maupun oral. Hal ini merupakan cara penularan utama, yaitu lebih dari 90
persen. Saat melakukan hubungan seksual secara genitor-genital dapat
timbul luka-luka atau radang pada epitel dinding vagina, hubungan seksual
secara ano-genital juga lebih memudahkan perlukaan atau radang karena
epitel mukosa anus relatif lebih tipis dan lebih mudah terluka dibanding
epitel dinding vagina. Luka-luka tersebut merupakan jalan masuk
mikroorganisme penyebab PMS.
- Melalui transfusi darah, jarum suntik atau kontak langsung dengan cairan
darah (sifillis dan HIV/AIDS).
- Penularan terjadi karena hygien personal yang tidak baik, yaitu melalui
pakaian atau handuk yang sudah terkontaminasi dengan penyebab PMS dan
digunakan secara bergantian (Trikomoniasis vaginalis).
f) Anemia Zat Besi Pada Ibu Hamil
Anemia adalah suatu keadaan dimana kadar hemoglobin (Hb) dalam darah
kurang dari normal. Menurut World Health Organization (WHO) dikatakan anemia jika
kadar hemoglobin <11 gr/dl pada ibu kekurangan gizi karena pada masa kehamilan
terjadi peningkatan kebutuhan gizi untuk memenuhi kebutuhan ibu dan janin yang di
kandung. Pola makan yang salah pada ibu hamil berpengaruh terhadap terjadinya
gangguan gizi seperti anemia.
Badan kesehatan dunia WHO (World Health Organization) melaporkan
prevalensi ibu hamil yang mengalami defisiensi besi sekitar 35-75% semakin meningkat
seiring dengan pertambahan usia kehamilan dan diperkirakan 30-40% penyebab anemia
karena kekurangan zat besi. Kelainan ini ditandai oleh serum iron (SI) menurun, total
iron binding capacity (TIBC) meningkat, saturasi transferin menurun, feritin serum
menurun, pengecatan besi sumsum tulang negatif dan adanya respon terhadap
pengobatan dengan preparat besi.
Berdasarkan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT), prevalensi
anemia pada ibu hamil di Indonesia 40,1% dan pada tahun 2007 turun menjadi 24,5%.6
Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, prevalensi anemia
pada ibu hamil di Indonesia naik menjadi 37,1%. 7 Dengan demikian keadaan ini
mengindikasi bahwa anemia gizi besi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat.
Menurut WHO 40% kematian ibu dinegara berkembang berkaitan dengan anemia pada
kehamilan dan kebanyakan anemia pada kehamilan disebabkan oleh defisiensi besi.
Dari hasil penelitian sebelumnya, persalinan pada wanita hamil yang menderita anemia
defisiensi besi didapatkan 12-28% kematian janin, 30% kematian perinatal dan 7-10%
angka kematian neonatal.
g) Kurang Energi Kronis
Kekurangan Energi Kronik (KEK) adalah keadaan dimana remaja putri/wanita
mengalami kekurangan gizi (kalori dan protein) yang berlangsung lama atau menahun.
Risiko Kekurangan Energi Kronik (KEK) adalah keadaan dimana remaja putri/wanita
mempunyai kecenderungan menderita KEK. KEK pada ibu hamil dapat menyebabkan
risiko dan komplikasi pada ibu antara lain anemia, pendarahan, berat badan ibu tidak
bertambah secara normal, dan risiko penyakit infeksi. Pengaruh KEK terhadap proses
persalinan dapat mengakibatkan persalinan sulit dan lama, persalinan sebelum waktunya
(prematur), pendarahan setelah persalinan, serta persalinan dengan operasi cenderung
meningkat. KEK ibu hamil dapat mempengaruhi proses pertumbuhan janin dan dapat
menimbulkan abortus, bayi lahir mati, kematian neonatal, cacat bawaan, anemia pada
bayi, asfiksia intra partum, lahir dengan BBLR. Bila BBLR bayi mempunyai risiko
kematian, serta gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak.
Pola makanan adalah salah satu faktor yang berperan penting dalam terjadinya
KEK. Pola makanan masyarakat Indonesia pada umumnya mengandung sumber besi
heme (hewani) yang rendah dan tinggi sumber besi non heme (nabati), menu makanan
juga banyak mengandung serat dan fitat yang merupakan faktor penghambat
penyerapan besi. Kebiasaan dan pandangan wanita terhadap makanan, pada umumnya
wanita lebih memberikan perhatian khusus pada kepala keluarga dan anakanaknya. Ibu
hamil harus mengkonsumsi kalori paling sedikit 3000 kalori/hari. Jika ibu tidak punya
kebiasaan buruk seperti merokok, pecandu dsb, maka status gizi bayi yang kelak
dilahirkannya juga baik dan sebaliknya.
h) Pernikahan Dini
Di Indonesia masalah pernikahan dini menjadi masalah yang bisa dikatakan
serius. Masalah pernikahan dini ini juga menjadi salah satu masalah yang timbul
pada psanagan usia subur. Hukum perkawinan di negeri ini mengacu pada Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, yang mana salah satu poin dalam
undang undang tersebut mensyaratkan, batas usia pernikahan adalah minimal 16 tahun
untuk perempuan.
Poin dalam undang-undang tentang perkawinan itu bertabrakan dengan
kampanye Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) dan Badan
Penasihat Perkawinan dan Perceraian Kementerian Agama yang justru
mengkampanyekan bahwa usia siap menikah ialah pada usia 21 tahun untuk perempuan
dan 25 tahun untuk laki-laki.
Pada riset United Nations Children’s Fund (UNICEF) mencatat, satu dari enam
anak perempuan di Indonesia menikah sebelum usia 18 tahun. Angkanya 340.000
anak per tahun. Adapun yang di bawah usia 15 tahun mencapai 50.000 anak per tahun.
Demgam demikan, United National Development Economic and Social Affair
(UNDESA), menempatkan Indonesia pada peringkat ke-37 dunia dan peringkat ke-2 se
ASEAN sebagai salah satu negara dengan angka pernikahan usia dini yang tinggi.
Mengapa isu pernikahan dini menjadi krusial? Isu pernikahan dini adalah salah satu
topik yang menjadi perhatian penting pada kerangka kerjasama Sustainable
Development Goals. Pemerintah di seluruh dunia sudah bersepakat
menghapus perkawinan anak pada 2030. Seringkali pernikahan dini yang biasanya
berlangsung tanpa kesiapan mental dari pasangan berakhir dengan perceraian. Ada pula
dampaknya pada kesehatan perempuan. Karena dilakukan pada usia muda, seringkali
organ reproduksi perempuan belum siap, sehingga bisa menyebabkan kesakitan, trauma
seks berkelanjutan, pendarahan, keguguran, bahkan sampai yang fatal, kematian ibu saat
melahirkan.
B. Keluarga Berencana (KB)
1. Pengertian Keluarga Berencana
Keluarga Berencana (KB) menurut WHO (Expert Commite, 1970) adalah tindakan yang
membantu individu/pasutri untuk mendapatkan objektif objektif tertentu, menghindari kelahiran
yang tidak diinginkan, mendapatkan kelahiran yang diinginkan, mengatur interval diantara
kehamilan, dan menentukan jumlah anak dalam keluarga (Sulistyawati, 2011). Menurut UU RI
No. 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, yang
dimaksud dengan Keluarga Berencana (KB) adalah upaya mengatur kelahiran anak, jarak dan
usia ideal melahirkan, mengatur kehamilan, melalui promosi, perlindungan, dan bantuan sesuai
dengan hak reproduksi untuk mewujudkan keluarga yang berklualitas (Depkes RI, 2009 dalam
Alfiah 2015).
Program KB adalah suatu program yang dimaksudkan untuk membantu para pasangan
dan perorangan dalam mencapai tujuan reproduksi, mencegah kehamilan yang tidak diinginkan
dan mengurangi insiden kehamilan beresiko tinggi, kesakitan dan kematian, membuat
pelayanan yang bermutu, terjangkau, diterima dan mudah diperoleh bagi semua orang yang
membutuhkan, meningkatkan mutu nasehat, komunikasi, edukasi, konseling dan pelayanan,
meningkatkan partisipasi dan tanggung jawab pria dalam praktek KB, dan meningkatkan
pemberian Air Susu Ibu (ASI) untuk penunjangan kehamilan (Rachmayani, 2015).
Penyelenggaraan program KB yaitu untuk mewujudkan penduduk tumbuh seimbang
dan keluarga berkualitas. Program ini dilaksanakan untuk membantu calon atau pasangan suami
istri dalam mengambil keputusan dan mewujudkan hak reproduksi secara bertanggung jawab
tentang usia ideal perkawinan, usia ideal untuk melahirkan, jumlah anak ideal, jarak ideal
kelahiran anak dan penyuluhan kesehatan reproduksi (Alfiah, 2015). Secara umum (KB) dapat
diartikan sebagai suatu usaha yang mengatur banyaknya kehamilan sedemikian rupa sehingga
berdampak positif bagi ibu, bayi, ayah serta keluarganya yang bersangkutan tidak akan
menimbulkan kerugian sebagai akibat langsung dari kehamilan tersebut. Diharapkan dengan
adanya perencanaan keluarga yang matang kehamilan merupakan suatu hal yang memang
sangat diharapkan sehingga akan terhindar dari perbuatan untuk mengakhiri kehamilan dengan
aborsi (Suratun, 2008).

2. Tujuan Program Keluarga Berencana


a) Tujuan utama dari program KB Nasional adalah untuk memberikan pelayanan KB dan
kesehatan reproduksi yang berkualitas kepada masyarakat, menurunkan tingkat
kematian ibu dan bayi serta penanggulangan masalah kesehatan reproduksi dalam
rangka membangun keluarga kecil berkualitas (Asisah 2016).
b) Tujuan umumnya adalah membentuk keluarga kecil sesuai dengan kekuatan sosial
ekonomi suatu keluarga, dengan cara pengaturan kelahiran anak agar diperoleh suatu
keluarga bahagia dan sejahtera yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Tujuan lain
meliputi pengaturan kelahiran, pendewasaan usia perkawinan, peningkatan ketahanan
dan kesejahteraan keluarga (Sulistyawati, 2011). Untuk menunjang dan mempercepat
pencapaian tujuan pembangunan KB telah ditetapkan beberapa kebijakan, yaitu
perluasan jangkauan, pembinaan terhadap peserta KB agar secara terus menerus
memakai alat kontrasepsi, pelembagaan dan pembudayaan Norma Keluarga Kecil
Bahagia Sejahtera (NKKBS) serta peningkatan keterpaduan pelaksanaan keluarga
berencana. Selanjutnya untuk mendukung pelaksanaan kebijakan tersebut terus
dimantapkan usaha-usaha operasional dalam bentuk upaya pemerataan pelayanan KB,
peningkatan kualitas baik tenaga, maupun sarana pelayanan KB, penggalangan
kemandirian, peningkatan peran serta generasi muda, dan pemantapan pelaksanaan
program di lapangan (Rachmayani 2015).

3. Ruang Lingkup Program Keluarga Berencana


Ruang lingkup program KB mencakup sebagai berikut:
a) Ibu
Dengan jalan mengatur jumlah dan jarak kelahiran. Adapun manfaat yang
diperoleh oleh ibu adalah sebagai berikut: (1) Tercegahnya kehamilan yang berulang
kali dalam jangka waktu yang terlalu pendek, sehingga kesehatan ibu dapat terpelihara
terutama kesehatan organ reproduksinya, (2) Meningkatkan kesehatan mental dan sosial
yang dimungkinkan oleh adanya waktu yang cukup untuk mengasuh anak-anak dan
beristirahat yang cukup karena kehadiran akan anak tersebut memang diinginkan.
b) Suami
Dengan memberikan kesempatan suami agar dapat melakukan hal berikut: (1)
Memperbaiki kesehatan fisik dan (2) Mengurangi beban ekonomi keluarga yang
ditanggungnya.
c) Seluruh keluarga
Dilaksanakannya program KB dapat meningkatkan kesehatan fisik, mental, dan sosial
setiap anggota keluarga; dan bagi anak dapat memperoleh kesempatan yang lebih besar
dalam hal pendidikan serta kasih sayang orang tuanya.
Ruang lingkup KB secara umum adalah sebagai berikut :
1) Keluarga berencana
2) Kesehatan reproduksi remaja
3) Ketahanan dan pemberdayaan keluarga
4) Penguatan pelembagaan keluarga kecil berkualitas
5) Keserasian kebijakan penduduk
6) Pengelolaan SDM aparatur
7) Penyelenggaraan pimpinan kenegaraan dan kepemerintahan
8) Peningkatan pengawasan dan akuntabilitas aparatur negara (Sulistyawati, 2011).

4. Akseptor Keluarga Berencana (KB)


Akseptor KB adalah pasangan usia subur (PUS) yang sedang menggunakan salah satu
alat metode atau alat kontrasepsi. Macam-macam akseptor KB yaitu :
a. Akseptor KB baru
Akseptor KB baru adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang baru pertama kali
menggunakan alat kontrasepsi setelah mengalami persalinan atau keguguran.
b. Akseptor KB Aktif
Akseptor KB aktif adalah peserta KB yang terus menggunakan alat kontrasepsi tanpa
diselingi kehamilan.
c. Akseptor KB ganti cara
Akseptor KB ganti cara adalah peserta KB yang berganti pemakaian dari suatu metode
kontrasepsi lainnya tanpa diselingi kehamilan. Untuk menyiapkan akseptor KB ini
menggunakan cara komunikasi, informasi dan edukasi (KIE).
Berdasarkan pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa pengertian dari akseptor KB
adalah Pasangan Usia Subur (PUS) yang masih menggunakan salah satu metode atau alat
kontrasepsi (Rizki, 2014).

C. Kontrasepsi
1. Pengertian Kontrasepsi
Kontrasepsi berasal dari kata kontra berati “mencegah” atau “melawan” dan konsepsi
yang berati pertemuan antara sel telur yang matang dan sperma yang mengakibatkan
kehamilan. Maksud dari kontrasepsi adalah menghindari atau mencegah terjadinya kehamilan
sebagai akibat pertemuan antara sel telur yag matang dengan sperma. Untuk itu, maka yang
membutuhkan kontrasepsi adalah pasangan yang aktif melakukan hubungan intim/seks dan
keduanya memiliki kesuburan normal namun tidak menghendaki kehamilan (Suratun, 2008).
2. Efektivitas (daya guna) Kontrasepsi
Efektivitas atau daya guna suatu cara kontrasepsi dapat dinilai pada 2 tingkat, yaitu
sebagai berikut :
a) Daya guna teoritis (theoretical effectiveness), yaitu kemampuan suatu cara kontrasepsi
untuk mengurangi terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan, apabila cara tersebut
digunakan terus-menerus dan sesuai dengan petunjuk yang diberikan.
b) Daya guna pemakaian (use effectivennes), yaitu kemampuan kontrasepsi dalam keadaan
sehari-hari dimana pemakaiannya dipengaruhi oleh faktor faktor seperti pemakai tidak
hati-hati, kurang taat pada peraturan, dan sebagainya (Wiknjosastro, 2005).

3. Faktor-faktor yang Berperan dalam Pemilihan Kontrasepsi


Beberapa faktor yang mempengaruhi akseptor dalam memilih metode kontrasepsi
antara lain sebagai berikut:
a. Faktor pasangan dan motivasi, meliputi:
1) Umur
2) Gaya Hidup
3) Frekuensi senggama
4) Jumlah keluarga yang diinginkan
5) Pengalaman dengan metode kontrasepsi yang lalu
b. Faktor kesehatan, meliputi:
1) Status kesehatan
2) Riwayat haid
3) Riwayat keluarga
4) Pemeriksaan fisik dan panggul
c. Faktor metode kontrasepsi
1) Efektivitas
2) Efek samping
3) Biaya (Proverawati, 2010).

4. Metode Kontrasepsi
 Kontrasepsi Hormonal
Kontrasepsi hormonal adalah kontrasepsi yang di dalamnya mengandung
hormon estrogen dan progesteron. Metode kontrasepsi hormonal dibagi menjadi dua
yaitu kombinasi (mengandung hormon progesteron dan estrogen sintetik) dan yang
hanya berisi progesteron saja. Sedangkan kontrasepsi hormonal yang berisi progesteron
terdapat pada pil, suntik, dan implant.
Mekanisme kerja kontrasepsi hormonal dibedakan berdasarkan jenis hormon
yang terkandung didalamnya (Furry 2016). Berikut jenis kontrasepsi hormonal:
a. Kontrasepsi Oral/Pil
Kontrasepsi pil adalah suatu cara kontrasepsi untuk wanita yang berbentuk pil atau
tablet didalam strip yang berisi gabungan hormon estrogen dan progesterone atau yang
hanya terdiri dari hormon progesterone saja. Kebijaksanaan penggunaan pil diarahkan
terhadap pemakaian pil dosis rendah, tetapi meksipun demikian pil dosis tinggi masih
disediakan terutama untuk membina peserta KB lama yang menggunakan dosis tinggi
(Suratun, 2008).
Kontrasepsi oral/pil dikenal dengan 4 tipe kontrasepsi oral, yakni tipe kombinasi, tipe
sekuensial, pil mini, dan pil pasca senggama (morning after pill). Tetapi yang banyak
digunakan adalah tipe kombinasi dan mini pil karena dikenal dengan efektivitasnya
yang tinggi (Ganiswarna, 1995).

b. Kontrasepsi Suntik
Menurut Hartanto (2003: 142) dua kontrasepsi suntikan berdaya kerja lama yang
sekarang banyak dipakai adalah :
1) Suntik Kombinasi (1 bulan)
Kontrasepsi suntik bulanan merupakan metode suntikan yang pemberiannya tiap bulan
dengan jalan penyuntikan secara intramuscular sebagai usaha pencegahan kehamilan
berupa hormon progesterone dan estrogen pada wanita usia subur. Penggunaan
kontrasepsi suntik mempengaruhi hipotalamus dan hipofisis yaitu menurunkan kadar
FSH dan LH sehingga perkembangan dan kematangan folikel de Graaf tidak terjadi
(Mulyani dan Rinawati, 2013).\
Jenis suntikan 1 bulan antara lain:
- Suntikan kombinasi adalah 25 mg Depo Medroksiprogesterone Asetat dan 5 mg
Estradiol
- Sipionat yang diberikan injeksi intramuscular (IM) sebulan sekali (Cyclofem)
dan 50 mg Noretindron Enantat dan 5 mg Estradiol Valerat yang diberikan
injeksi IM sebulan sekali (Mulyani dan Rinawati, 2013).
2) Suntik Progestin (Tribulan)
Suntik tribulan merupakan metode kontrasepsi yang diberikan secara intramuscular
setiap tiga bulan. Keluarga berencana suntik merupakan metode kontrasepsi efektif
yaitu metode yang dalam penggunaannya mempunyai efektifitas atau tingkat
kelangsungan pemakaian relatif lebih tinggi serta angka kegagalan relatif lebih rendah
bila dibandingkan dengan alat kontrasepsi sederhana (BKKBN, 2002).
Jenis kontrasepsi tribulan yaitu DMPA (Depo Medroxy Progesterone Asetat) atau Depo
Provera yang diberikan tiap tiga bulan dengan dosis 150 mg yang disuntik secara Intra
Muscular (Mulyani dan Rinawati, 2013).

c. Kontrasepsi Implant
Kontrasepsi Implant adalah suatu alat kontrasepsi yang mengandung Levonogestrel
yang dibungkus dalam kapsul silastic silicon (polydimethylsiloxane) dan dipasang
dibawah kulit. Sangat efektif (kegagalan 0,2 – 1 kehamilan per 100 perempuan)
(Mulyani dan Rinawati, 2013).
Terdapat 3 jenis Implant, yaitu:
a) Norplant
Terdiri dari 6 batang silastik lembut berongga dengan panjang 3,4 cm dengan diameter
2,4 mm yang diisi dengan 36 mg Levonogestrel dan lama kerjanya 5 tahun.
b) Implanon dan Sinoplant
Terdiri dari 1 batang putih lentur dengan panjang kira-kira 40 mm dan diameter 2 mm,
yang diisi dengan 68 mg 3-Keto-desogestrel dan lama kerjanya 3 tahun.
c) Jadena dan Indoplant
Terdiri dari 2 batang yang diisi dengan 75 mg Levonogestrel dengan lama kerjanya 3
tahun (Mulyani dan Rinawati, 2013).

 Kontrasepsi Non Hormonal


Kontrasepsi non hormonal adalah kontrasepsi yang tidak mengandung hormone
baik estrogen maupun progesterone. Jenis-jenis kontrasepsi non hormonal meliputi
metode sederhana (metode kalender, metode suhu basal, metode lendir serviks, metode
simptotermal, senggama terputus atau coitus interuptus, kondom, diafragma dan
spermisida), dan metode modern (IUD tanpa hormon, MOW, MOP) (Hartanto, 2004).
a. Metode Kalender
Metode kalender atau pantang berkala merupakan metode Keluarga Berencana Alamiah
(KBA) yang paling tua. Metode kalender atau pantang berkala adalah metode
kontrasepsi sederhana yang dilakukan oleh pasangan suami istri dengan tidak
melakukan senggama atau hubungan seksual pada masa subur atau ovulasi. Knaus
berpendapat bahwa ovulasi terjadi tepat 14 hari sebelum menstruasi berikutnya
(Mulyani dan Rinawati, 2013).
b. Metode Suhu Basal
Metode suhu basal adalah suhu terendah yang dicapai oleh tubuh selama istirahat atau
dalam keadaan istrirahat (tidur). Pengukuran suhu basal dilakukan pada pagi hari segera
setelah bangun tidur dan sebelum melakukan aktivitas lainnya. Ibu dapat mengenali
masa subur ibu dengan mengukur ushu badan secara teliti menggunakan termometer
khusus yang bisa mencatat perubahan suhu sampai 0,1°C untuk mendeteksi, bahkan
suatu perubahan kecil suhu tubuh (Mulyani dan Rinawati, 2013). Suhu normal tubuh
sekitar 36 – 37°C. Pada waktu ovulasi, suhu akan turun terlebih dahulu dan naik
menjadi 37 – 38°C kemudian tidak akan kembali pada suhu 35°C. Pada saat itulah
terjadi masa subur atau ovulasi. Kondisi kenaikan suhu tubuh ini akan terjadi sekitar 3 -
4 hari, kemudian akan turun kembali sekitar 2°C dan akhirnya kembali suhu tubuh
normal sebelum menstruasi. Hal ini terjadi karena produksi progesteron menurun
(Proverawati, 2010).
c. Metode Lendir Serviks
Metode lendir serviks merupakan metode Keluarga Berencana Alamiah (KBA) dengan
cara mengenali masa subur dari siklus menstruasi dengan mengamati lendir serviks dan
perubahan rasa pada vulva menjelang hari-hari ovulasi. Bila disekitar alat kelamin terasa
basah memasuki masa subur. Bila disekitar alat kelamin terasa kering maka memasuki
masa tidak subur (Proverawati, 2010).
d. Metode Simpto-thermal
Metode simpto-thermal merupakan metode keluarga berencana alamiah (KBA) yang
mengidentifikasi masa subur dari siklus menstruasi wanita. Metode simpto-thermal
mengkombinasikan metode suhu basal dan mukosa serviks (Proverawati, 2010).
e. Metode Coitus interuptus (senggama terputus)
Metode senggama terputus adalah metode keluarga berencana alamiah (KBA), dimana
pria mengeluarkan alat kelaminnya (penis) dari vagina sebelum mencapai ejakulasi
(Mulyani dan Rinawati, 2013).
f. Kondom
Kondom merupakan selubung atau sarung karet yang terbuat dari berbagai bahan
diantaranya karet (lateks), plastik (vinil) atau bahan alami (produksi hewani) yang
dipasang pada penis untuk menampung sperma ketika seorang pria mencapai ejakulasi
saat berhubungan seksual. Kondom terbuat dari karet sintetis yang tipis, berbentuk
silinder dengan muaranya berpinggir tebal yang digulung berbentuk rata. Standar
kondom dilihat dari ketebalannya, yaitu 0,02 mm. Jenis-jenis kondom meliputi kondom
dengan aroma dan rasa, kondom berulir, kondom ekstra tipis, kondom bintik, kondom
wanita, kondom getar, kondom baggy dan kondom biasa (Mulyani dan Rinawati, 2013).
g. Diafragma
Diafragma adalah kap berbentuk bulat cembung, terbuat dari karet (lateks) yang
diinsersikan ke dalam vagina sebelum berhubungan seksual dan menutup serviks
(Mulyani dan Rinawati, 2013).
h. Spermisida
Spermisida merupakan sediaan kimia (biasanya non oksinol-9) yang dapat membunuh
sperma. Tersedia dalam bentuk busa vagina, krim, gel dan suppositoria. Spermisida
ditempatkan di vagina sebelum berhubungan seksual. Kontrasepsi ini juga menyediakan
barier fisik ke sperma (Mulyani dan Rinawati, 2013).
i. Intra Uterine Device (IUD)
IUD merupakan alat kontrasepsi yang paling banyak digunakan, karena dianggap sangat
efektif dalam mencegah kehamilan dan memiliki manfaat yang relatif banyak dibanding
alat kontrasepsi lainnya. Diantaranya tidak mengganggu saat coitus (hubungan badan),
dapat digunakan sampai menopause dan setelah IUD dikeluarkan dalam rahim, bisa
dengan mudah subur kembali (Mulyani dan Rinawati, 2013).
j. Tubektomi
Tubektomi adalah setiap tindakan pada kedua saluran telur wanita yang mengakibatkan
wanita tersebut tidak akan mendapatkan keturunan lagi. Jenis kontrasepsi ini bersifat
permanen, karena dilakukan penyumbatan pada saluran terlur wanita yang dilakukan
dengan cara diikat, dipotong, ataupun dibakar (Proverawati, 2010).
k. Vasektomi
Vasektomi adalah metode sterilisasi dengan cara mengikat saluran sperma (vas
deferens) pria. Beberapa alternatif untuk mengikat saluran sperma tersebut, yaitu dengan
mengikat saja, memasang klip tantalum, kauterisasi, menyuntikkan sclerotizing agent,
menutup saluran dengan jarum, dan kombinasinya (Proverawati, 2010).

D. Asuhan Keperawatan Keluarga Pasangan Usia Subur


Asuhan keperawatan Keluarga adalah keperawatan kesehatan yang ditunjukkan atau
dipasarkan pada keluarga sebagai unit atau satu kesatuan yang dirawat, dengan sehat sebagai
tujuannya yang dilakukan oleh perawat profesional dengan proses keperawatan yang
berpedoman pada standart praktek keperawatan dengan berlandaskan etik atau etika
keperawatan dalam lingkup dan wewenang serta tanggung jawab keperawatan (Setiadi, 2010).
1. Pengkajian
Proses pengkajian keluarga ditandai dengan pengumpulan informasi yang terus
menerus dan keputusan profesional yang mengandung arti terhadap informasi yang
dikumpulkan. Dengan kata lain data dikumpulkan secara sistematik menggunakan alat
pengkajian keluarga, kemudian diklasifikasikan dan dianalisis untuk
menginterprestasikan artinya (Doengoes, 2010). Menurut Setiadi (2010), pengkajian
keperawatan keluarga meliputi :
 Pengkajian keluarga meliputi :
Pengkajian data umum :
a) Nama KK
b) Umur
c) Alamat
d) Pekerjaan KK
e) Pendidikan KK
f) Komposisi keluarga
g) Genogram
h) Tipe keluarga
i) Suku bangsa
j) Agama
k) Status sosial ekonomi keluarga
l) Aktivitas rekreasi keluarga
 Riwayat dan tahap perkembangan keluarga
a) Tahap keluarga saat ini
Tahapan perkembangan keluarga saat ini ditentukan oleh usia anak tertua dari keluarga
inti.
b) Tugas tahapan perkembangan yang belum terpenuhi
Menjelaskan tentang tugas keluarga yang belum terpenuhi dan kendala yang dialami
keluarga.
c) Riwayat keluarga inti
Menjelaskan tentang riwayat kesehatan keluarga inti, riwayat kesehatan anggota
keluarga, upaya dalam pencegahan suatu penyakit.
d) Riwayat keluarga sebelumnya
Menjelaskan riwayat kesehatan generasi keluarga dari penyakit menular dan keturunan.
e) Data Lingkungan
(1) Karakteristik rumah
(a) Ukuran rumah.
(b) Kondisi dalam rumah dan luar rumah.
(c) Kebersihan rumah.
(d) Ventilasi rumah.
(e) Saluran pembuangan air limbah.
(f) Pengolahan sampah.
(g) Kepemilikan rumah.
(h) Kamar mandi.
(i) Denah rumah.
(2) Karakteristik tetangga dan komunitas
Menjelaskan tentang karakteristik dari tetangga dan komunitas setempat dan meliputi
kebiasaan, nilai dan norma serta budaya penduduk setempat.
(3) Mobilisasi geografi keluarga
Menjelaskan mobilisasi keluarga dan anggota keluarga.
(4) Perkumpulan keluarga dan interaksi dengan masyarakat
Menjelaskan mengenai waktu yang digunakan keluarga untuk berkumpul dan
berinteraksi dengan masyarakat.
(5) Sistem pendukung keluarga
Menjelaskan jumlah anggota keluarga yang sehat dan fasilitas keluarga yang
mendukung kesehatan.
f) Struktur komunikasi keluarga
(1) Pola komunikasi keluarga
Menjelaskan bagaimana komunikasi dalam keluarga dan bagaimana anggota keluarga
menciptakan komunikasi.
(2) Struktur kekuatan keluarga
Menjelaskan kemampuan keluarga untuk mempengaruhi dan mengendalikan anggota
keluarga untuk mengubah perilaku yang berhubungan dengan kesehatan.
(3) Struktur Peran
Menjelaskan tentang peran anggota keluarga secara formal maupun informal baik di
lingkungan keluarga maupun di lingkungan masyarakat.
(4) Nilai dan norma budaya
Menjelaskan mengenai sistem norma yang dianut keluarga dan berhubungan dengan
kesehatan.
g) Fungsi keluarga
Secara umum fungsi keluarga dibagi menjadi 5 yaitu :
(1) Fungsi afektif
Yaitu fungsi mempertahankan kepribadian memfasilitasi stabilisasi kepribadian orang
dewasa, memenuhi kebutuhan psikologis anggota keluarga.
(2) Fungsi Sosialisasi dan status sosial
Yaitu fungsi memfasilitasi sosialisasi primer anak yang bertujuan menjadikan anak
sebagai anggota masyarakat yang produktif, serta memberikan status pada anggota
keluarga.
(3) Fungsi Reproduksi
Yaitu fungsi untuk mempertahankan kontinuitas keluarga selama beberapa generasi
untuk keberlangsungan hidup masyarakat.
(4) Fungsi Ekonomi
Yaitu fungsi menyediakan sumber ekonomi yang cukup dan alokasi efektifnya.
(5) Fungsi perawatan kesehatan
Yaitu menyediakan kebutuhan fisik: makanan, pakaian, tempat tinggal dan perawatan
kesehatan.
h) Stress dan koping keluarga
(1) Stressor jangka pendek dan jangka panjang
Stressor jangka pendek yaitu stressor yang dialami keluarga dan memerlukan
penyelesaian dalam waktu kurang dari 6 bulan. Sedangkan stressor jangka panjang
adalah stressor yang memerlukan penyelesaian lebih dari 6 bulan.
(2) Kemampuan keluarga berespon terhadap stressor dan situasi mengkaji sejauh mana
keluarga berespon terhadap stressor dan situasi.
(3) Strategi koping yang digunakan
Menjelaskan strategi seperti apa yang digunakan keluarga bila ada permasalahan.
(4) Harapan keluarga
Menjelaskan harapan keluarga terhadap kesehatan.
(5) Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisik anggota keluarga meliputi: pengkajian mental, pengkajian fisik,
pengkajian emosi, pengkajian sosial dan pengkajian spritual.
2. Diagnosa keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon manusia terhadap
gangguan kesehatan atau proses kehidupan atau kerentanan respon dari seorang
individu, keluarga, kelompok, atau komunitas (Herdman, 2015). Menurut Sudiharto
(2012), ada tiga komponen penting dalam suatu diagnosis keperawatan yaitu :
a. Problem
Dapat didefinisikan sebagai respons manusia terhadap masalah masalah kesehatan yang
aktual atau potensial sesuai dengan data data yang didapat dari pengkajian yang
dilakukan.
b. Etiologi
Dapat didefinisikan sebagai petunjuk pengalaman – pengalaman individu yang telah
lalu, pengaruh genetika, faktor – faktor lingkungan yang ada saat ini, atau perubahan –
perubahan patofisiologis.
c. Sign and sympton
Menggambarkan sesuatu yang dikatakan oleh sesuatu yang dikatakan oleh klien dan
sesuatu yang diobservasi oleh perawat yang mengidentifikasikasikan adanya masalah
tertentu.
Diagnosa keperawatan keluarga yang bisa diambil berdasarkan masalah menurut
Herdman (2015), yaitu :
1) Gangguan proses keluarga berhubungan dengan pergeseran pada status kesehatan
anggota keluarga.
2) Ketidakefektifan manajemen kesehatan keluarga berhubungan dengan konflik
pengambilan keputusan.
3) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang sumber pengetahuan.
4) Disfungsi seksual berhubungan dengan gangguan fungsi tubuh.
5) Ansietas berhubungan dengan stresor.
3. Skoring Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan Bailon & Maglaya tabel skala untuk menentukan prioritas asuhan
keperawatan keluarga (Andarmoyo, 2012).

4. Prioritas Diagnosa Keperawatan


Berdasarkan Bailon & Maglaya menentukan prioritas masalah pada asuhan
keperawatan keluarga adalah dengan menggunakan skala menyusun prioritas atau
skoring (Andarmoyo, 2012).
5. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan merupakan serangkaian tindakan untuk mencapai setiap tujuan
khusus. Intervensi keperawatan meliputi : perumusan tujuan, tindakan dan penilaian
rangkaian asuhan keperawatan (Sudiharto, 2012). Menurut Bulechek (2013), intervensi
yang dapat disusun berdasarkan masalah keperawatan pada tahap perkembangan
pasangan baru dengan keluarga berencana yaitu :
1) Gangguan proses keluarga berhubungan dengan pergeseran pada status kesehatan
anggota keluarga. Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama waktu yang
ditentukan. Menurut Moorhead (2016), diharapkan gangguan proses keluarga
berhubungan dengan pergeseran pada status kesehatan anggota keluarga dapat teratasi
dengan kriteria hasil :
a) Kesehatan fisik anggota keluarga tidak terganggu
b) Aktivitas fisik anggota keluarga tidak terganggu
c) Skrining kesehatan anggota keluarga sesuai usia
d) Sumber daya perawatan kesehatan yang tepat
Intervensi :
a) Identifikasi bagaimana keluarga menyelesaikan masalah kesehatannya
b) Identifikasi peran yang biasa dalam sistem keluarga
c) Berikan pendidikan dan informasi mengenai status kesehatan
d) Bantu keluarga meningkatkan strategi koping yang ada
e) Fasilitasi strategi untuk menurunkan stres dalam keluarga

2) Ketidakefektifan manajemen kesehatan keluarga berhubungan dengan konflik


pengambilan keputusan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama waktu yang ditentukan. Menurut
Moorhead (2016), diharapkan ketidakefektifan manajemen kesehatan keluarga
berhubungan dengan konflik pengambilan keputusan dapat teratasi dengan kriteria hasil:
a) Mampu mengidentifikasi informasi yang relevan
b) Mampu mengidentifikasi alternatif pilihan
c) Mampu memilih alternatif - alternatif pilihan
Intervensi :
a) Bangun komunikasi sedini mungkin sejak bertemu dengan keluarga
b) Informasikan pada keluarga mengenai pandangan – pandangan atau solusi alternatif
dengan cara yang jelas dan mendukung
c) Berikan informasi sesuai permintaan keluarga
d) Tentukan apakah terdapat perbedaan antara pandangan keluarga dan pandangan
penyedia perawatan kesehatan mengenai kondisi keluarga
e) Bantu menjelaskan keputusan pada keluarga sesuai dengan kebutuhan
f) Fasilitasi percakapan keluarga mengenai perawatan

3) Defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang sumber pengetahuan.


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama waktu yang ditentukan. Menurut
Moorhead (2016), diharapkan defisiensi pengetahuan berhubungan dengan kurang
sumber pengetahuan dapat teratasi dengan kriteria hasil :
a) Keluarga mengetahui bagaimana konsepsi terjadi
b) Keluarga mengetahui pengaruh nilai personal dalam pemilihan metode kontrasepsi
c) Keluarga mengetahui bagaimana kontrasepsi yang dipilih bekerja
d) Keluarga mengetahui penggunaan kontrasepsi pilihan yang tepat
e) Keluarga mengetahui efektifitas metode kontrasepsi pilihan
Intervensi :
a) Gali pengetahuan dan pemahaman keluarga terhadap pilihan kontrasepsi
b) Diskusikan metode - metode kontrasepsi (misalnya, bebas obat, barier, hormonal,
spiral, IUD dan sterilisasi) termasuk efektifitas, efek samping, kontraindikasi dan tanda
gejala yang perlu dilaporkan ke petugas kesehatan.
c) Instruksikan keluarga mengenai fisiologi reproduksi manusia, termasuk sistem
reproduksi laki - laki dan perempuan
d) Instruksikan aktivitas seks yang aman sesuai indikasi.
e) Tentukan kemampuan dan motivasi klien dalam menggunakan metode tertentu.

4) Disfungsi seksual berhubungan dengan gangguan fungsi tubuh.


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama waktu yang ditentukan. Menurut
Moorhead (2016), diharapkan disfungsi seksual berhubungan dengan gangguan fungsi
tubuh dapat teratasi dengan kriteria hasil :
a) Keluarga mengetahui fungsi anatomi seksual
b) Keluarga mengetahui pengaruh sosial terhadap perilaku seksual
c) Keluarga mengetahui praktik seksual yang aman
d) Keluarga mengetahui strategi untuk mencegah penyakit menular seksual
Intervensi :
a) Ciptakan suatu suasana menerima dan tidak menghakimi
b) Jelaskan anatomi dan fisiologi reproduksi manusia
c) Diskusikan tanda - tanda kesuburan (terkait dengan siklus ovulasi dan menstruasi)
d) Informasikan keluarga mengenai manfaat - manfaat untuk menunda aktivitas seksual
e) Diskusikan manfaat pantang seks

5) Ansietas berhubungan dengan stresor.


Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama waktu yang ditentukan. Menurut
Moorhead (2016), diharapkan Ansietas berhubungan dengan stresor dapat teratasi
dengan kriteria hasil :
a) Distress tidak ada
b) Kekurangan kepercayaan diri tidak ada
c) Kesulitan memecahkan masalah tidak ada
d) Ketakutan tidak ada
e) Kepanikan tidak ada
Intervensi :
a) Kaji kemampuan klien dalam mengambil keputusan
b) Identifikasi pada saat terjadi perubahan tingkat kecemasan
c) Berikan pendekatan yang tenang dan meyakinkan
d) Bantu kelurga mengidentifikasi situasi yang memicu kecemasan
e) Berikan informasi faktual terkait diagnosis, perawatan dan prognosis
f) Dorong keluarga untuk mendampingi klien dengan cara yang tepat

6. Implementasi keperawatan
Implementasi atau tindakan adalah pengelolaan dan perwujudan dan rencana
keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan. Pada tahap ini, perawat
sebaiknya tidak bekerja sendiri, tetapi perlu melibatkan secara integrasi semua profesi
kesehatan yang menjadi tim perawatan kesehatan dirumah (Setiadi, 2010).
7. Evaluasi keperawatan
Tahap terakhir dari proses keperawatan adalah evaluasi. Tahap penilaian atau
evaluasi adalah perbandingan yang sistematis dan terencana tentang kesehatan keluarga
dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengan cara bersinambungan dengan
melibatkan klien dengan tenaga kesehatan lainnya. Tujuan evaluasi adalah untuk
melihat kemampuan keluarga dalam mencapai tujuan (Setiadi, 2010).

Anda mungkin juga menyukai