x
KEHILANGAN DAN BERDUKA
1. Kehilangan (loss)
sebelumnya ada, kemudian menjadi tidak ada, baik terjadi sebagian atau
Kehilangan adalah situasi aktual atau potensial ketika sesuatu (orang atau
objek) yang dihargai telah berubah, tidak ada lagi, atau menghilang. Seseorang
dapat kehilangan citra tubuh, orang terdekat, perasaan sejahtera, pekerjaan, barang
milik pribadi, keyakinan, atau sense of self baik sebagian ataupun keseluruhan.
Peristiwa kehilangan dapat terjadi secara tiba-tiba atau bertahap sebagai sebuah
kekurangan atau tidak ada dari sesuatu yang dulunya pernah ada atau pernah
yang sebelumnya ada menjadi tidak ada, baik sebagian ataupun seluruhnya.
dikenal, kehilangan orang terdekat, kehilangan aspek diri, dan kehilangan hidup.
x
1.1.1. Kehilangan objek eksternal
menjadi usang, berpindah tempat, dicuri, atau rusak karena bencana alam.
Bagi seorang anak benda tersebut mungkin berupa boneka atau selimut, bagi
tergantung pada nilai yang dimiliki orang tersebut terhadap benda yang
sakit. Kehilangan melalui perpisahan dari lingkungan yang telah di kenal dan
dikenal dapat mengancam harga diri dan membuat berduka menjadi lebih
sulit.
sekandung, guru, pendeta, teman, tetangga, dan rekan kerja. Artis atau atlet
yang telah terkenal mungkin menjadi orang terdekat bagi orang muda. Riset
ingatan, rasa humor, harga diri, percaya diri, kekuatan, respek atau cinta.
Kehilangan aspek diri ini dapat terjadi akibat penyakit, cedera, atau
terjadinya kematian. Perhatian utama sering bukan pada kematian itu sendiri
tetapi mengenai nyeri dan kehilangan kontrol. Meskipun sebagian besar orang
takut tentang kematian dan gelisah mengenai kematian, masalah yang sama
orang yang telah hidup sendiri dan menderita penyakit kronis lama dapat
mengalami kematian sebagai suatu perbedaan. Sebagian menganggap
hierarki kebutuhan, yang dimulai dengan kebutuhan fisiologis, (makanan, udara, air,
dan tidur), kemudian kebutuhan keselamatan (tempat yang aman untuk tinggal dan
terpenuhi, individu dimotivasi oleh kebutuhan harga diri yang menimbulkan rasa
percaya diri dan adekuat. Kebutuhan yang terakhir ialah aktualisasi diri, suatu upaya
untuk mencapai potensi diri secara keseluruhan. Apabila kebutuhan manusia tersebut
tidak terpenuhi atau diabaikan karena suatu alasan, individu mengalami suatu
kehilangan.
fungsi pankreas yang adekuat, kehilangan suatu ekstremitas, dan gejala atau
dalam rumah tangga dan kekerasan publik, dapat menjadi titik awal proses duka
cita yang panjang misalnya, sindrom stres pasca trauma. Terungkapnya rahasia
keselamatan psikologis sekunder akibat hilangnya rasa percaya antara klien dan
pemberi perawatan.
3. Kehilangan keamanan dan rasa memiliki: kehilangan terjadi ketika hubungan
makna suatu hubungan berubah, peran dalam keluarga atau kelompok dapat
4. Kehilangan harga diri: kebutuhan harga diri terancam atau dianggap sebagai
pekerjaan dan perubahan hubungan. Rasa harga diri individu dapat tertantang
atau dialami sebagai suatu kehilangan ketika persepsi tentang diri sendiri
berubah. Kehilangan fungsi peran sehingga kehilangan persepsi dan harga diri
5. Kehilangan aktualisasi diri: Tujuan pribadi dan potensi individu dapat terancam
pencapaian tujuan dan potensi tersebut. Perubahan tujuan atau arah akan
menimbulkan periode duka cita yang pasti ketika individu berhenti berpikir
kreatif untuk memperoleh arah dan gagasan baru. Contoh kehilangan yang
atau komposer.
selalu dibayangi oleh masa depan yang suram, biasanya sangat peka terhadap
situasi kehilangan.
regresi serta merasa takut untuk ditinggalkan atau dibiarkan kesepian. Pada masa
remaja atau dewasa muda, kehilangan dapat terjadi disintegrasi dalam keluarga,
dan pada masa dewasa tua, kehilangan khususnya kematian pasangan hidup
dapat menjadi pukulan yang sangat berat dan menghilangkan semangat hidup
2. Berduka (grief)
berduka, dalam hal ini dukacita adalah proses kompleks yang normal yang
mencakup respon dan perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, dan intelektual ketika
(NANDA, 2011).
dimiliki yang berpengaruh terhadap perilaku emosi, fisik, spiritual, sosial, maupun
menimbulkan respon berduka pada diri seseorang (Carpenito, 2006). Situasi yang
1. Patofisiologis
histerektomi).
4. Maturasional
pekerjaan, fungsi, dan rumah dan berhubungan dengan kehilangan harapan dan
impian. Rasa berduka yang muncul pada setiap individu dipengaruhi oleh
keyakinan religius yang kuat, kesehatan mental yang baik, dan banyaknya sumber
gejala yang sering terlihat pada individu yang sedang berduka. Buglass
(2010) menyatakan bahwa tanda dan gejala berduka melibatkan empat jenis
reaksi, meliputi:
kerinduan.
ii. Reaksi fisik, misalnya sesak, mual, hipersensitivitas terhadap suara dan
Tanda dan gejala berduka juga dikemukan oleh Videbeck (2008), yang mencakup ke
dalam lima respon, yaitu respon kognitif, emosional, spiritual, perilaku, dan fisiologis yang
makna kehilangan;
hilang;
- Kebencian;
- Gelisah;
meninggal;
alkohol;
atau pembunuhan.
- Tidak bertenaga;
- Gangguan pencernaan;
b. Akibat berduka
berbeda. Tanpa melihat tingkat keparahannya, tidak ada respon yang bisa
c. Respon berduka
terjadi. Sebagai contoh, orang atau keluarga dari orang yang menerima
Reaksi fisik yang terjadi pada tahap ini adalah letih, lemah, pucat,
dan sering kali individu tidak tahu harus berbuat apa. Reaksi ini dapat
sering diproyeksikan kepada orang lain atau dirinya sendiri. Orang yang
menuduh dokter atau perawat tidak kompeten. Respon fisik yang sering
terjadi, antara lain muka merah, deyut nadi cepat, gelisah, susah tidur, tangan
kehilangan dan dapat mencoba untuk membuat kesepakatan secara halus atau
Tuhan.
Pada fase ini pasien sering menunjukkan sikap menarik diri, kadang-
keputusasaan, rasa tidak berharga, bahkan bisa muncul keinginan bunuh diri.
Gejala fisik yang ditunjukkan, antara lain, menolak makan, susah tidur, letih,
pikiran yang selalu berpusat pada objek yang hilang mulai berkurang atau
mulai memandang kedepan. Gambaran tentang objek yang hilang akan mulai
objek yang baru. Apabila individu dapat memulai tahap tersebut dan menerima
dengan perasaan damai, maka dia dapat mengakhiri proses berduka serta dapat
berduka akibat suatu kehilangan yang terdiri dari 4 fase yaitu, fase pertama
yang tetap ada, fase ketiga kekacauan kognitif dan keputusasaan emosional,
mengembalikan hidupnya.
berduka yaitu, fase pertama syok, menangis dengan keras, dan menyangkal,
fase kedua intrusi pikiran, distraksi, dan meninjau kembali kehilangan secara
obsesif dan fase ketiga menceritakan kepada orang lain sebagai cara
Rodebaugh (1999 dalam Videbeck, 2008) memandang proses berduka sebagai suatu
proses melalui empat tahap yaitu pertama terguncang (Reeling) klien mengalami syok, tidak
percaya, atau menyangkal, kedua merasa (feeling) klien mengekspresikan penderitaan yang
berat, rasa bersalah, kesedihan yang mendalam, kemarahan, kurang konsentrasi, gangguan
tidur, perubahan nafsu makan, kelelahan, ketidaknyamanan fisik yang umum, ketiga
menghadapi (dealing) klien mulai beradaptasi terhadap kehilangan dengan melibatkan diri
dalam kelompok pendukung, terapi dukacita, membaca, dan bimbingan spiritual, keempat
penderitaan yang akut berkurang. Pemulihan tidak berarti bahwa kehilangan tersebut
dilupakan atau diterima.
ISOLASI SOSIAL (ISOS)
adaptif maladaptif
c. Ketergantungan
Individu gagal mengembangkan rasa percaya diri dan kemampuan
yang dimiliki.
d. Impulsif
Ketidakmampuan merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari
pengalaman, tidak dapat diandalkan, mempunyai penilaian yang buruk dan
cenderung memaksakan kehendak.
e. Narkisisme
Harga diri yang rapuh,secara terus menerus berusaha mendapatkan
penghargaan dan pujian, memiliki sikap egosentris, pencemburu dan
marah jika orang lain tidak mendukung.
d) Faktor persipitasi
c. Stressor intelektual
i. Kurangnya pemahaman diri dalam ketidak mampuan
untuk berbagai pikiran dan perasaan yang mengganggu
pengembangan hubungan dengan orang lain.
ii. Klien dengan “kegagalan” adalah orang yang kesepian
dan kesulitan dalam menghadapi hidup. Mereka juga
akan sulit berkomunikasi dengan orang lain.
iii. Ketidakmampuan seseorang membangun kepercayaan
dengan orang lain akan persepsi yang menyimpang dan akan
berakibat pada gangguan berhubungan dengan orang lain
d. Stressor fisik
i. Kehidupan bayi atau keguguran dapat
menyebabkan seseorang menarik diri dari orang
lain
ii. Penyakit kronik dapat menyebabkan seseorang minder atau
malu 13 sehingga mengakibatkan menarik diri dari orang
lain
Pada klien isolasi sosial ketika menghadapi stresor tidak mampu menggunakan
mekanisme koping yang efektif. Mekanisme koping yang digunakan yaitu proyeksi,
splitting dan merendahkan orang lain. Proyeksi adalah memindahkan pikiran atau
dorongan atau impuls emosional atau keinginan- keinginan yang dapat diterima orang
lain. Pada orang-orang yang melakukan mekanisme koping proyeksi, ide atau
keinginan individu akan dialihkan kepada orang lain sampai orang lain yang diajak
berinteraksi dapat menerima idenya tersebut. Splitting adalah memandang orang atau
situasi semuanya baik atau semuanya buruk. Pada splitting individu mengalami
kegagalan dalam mengintegrasikan kualitas positif dan negatif dalam diri Sedangkan
merendahkan orang lain adalah mekanisme koping yang dilakukan seseorang dengan
memandang dirinya lebih baik dan lebih tinggi dari orang lain. Orang lain dianggap
tidak mempunyai kemampuan lebih dari diri klien (Townsend, 2009).
Menurut Stuart (2005), sumber koping yaang berhubungan dengan respon sosial
maladaptif meliputi keterlibatan dalam hubungan keluarga yang luasan teman,
hubungan dengan hewan peliharaan dan penggunaan kreatifitas untuk mengekspresikan
stress interpersonal misalnya kesenian, musik atau tulisan.
Halusinasi adalah persepsi yang salah atau palsu tetapi tidak ada rangsangan
yang menimbulkannya (tidak ada objeknya). Halusinasi muncul sebagai suatu proses
panjang yang berkaitan dengan kepribadian seseorang. Karena itu, halusinasi
dipengaruhi oleh pengalaman psikologis seseorang (Baihaqi, 2007).
Halusinasi merupakan persepsi yang salah pada semua rasa: pasien merasakan
suara atau bau meskipun sebenarnya tidak ada atau tidak terjadi (Craig, 2009).
Halusinasi yaitu pencerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca indra
seorang pasien, yang terjadi dalam keadaan sadar/bangun, sadarnya mungkin organik,
fungsional, psikotik, ataupun histerik (Maramis, 1980).
Halusinasi dapat didefinisikan sebagai terganggunya persepsi sensori seseorang,
dimana tidak terdapat stimulus. Tipe halusinasi yang sering adalah halusinasi
pendengaran (Auditory-hearing voices or sounds). Pasien merasakan stimulus yang
sebenarnya tidak ada, pasien merasa ada suara padahal tidak ada stimulus suara
(Varacolis, 2006).
Adaptif Maladaptif
b. Faktor Sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak diterima lingkungannya sejak bayi (unwanted
child) akan merasa disingkirkan, kesepian, dan tidak percaya pada lingkungannya
(Yosep, 2009).
c. Faktor Biokimia
Mempunyai pengaruh terhadap terjadinya gangguan jiwa. Adanya stres yang
berlebihan dialami seseorang maka di dalam tubuh akan dihasilkan suatu zat yang
dapat bersifat halusinogenik neurokimia seperti Buffofenon dan Dimetytranferase
(DMP). Akibat stress berkepanjangan menyebabkan teraktivasinya neurotransmitter
otak. Misalnya terjadi ketidakseimbangan acetylcholine dan dopamine (Yosep, 2009).
d. Faktor Psikolgis
Tipe kepribadian lemah dan tidak bertanggung jawab mudah terjerumus pada
ketidakmampuan pasien dalam mengambil keputusan yang tepat demi masa depannya.
Pasien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari dalam alam nyata menuju alam
khayal (Yosep, 2009).
e. Faktor Genetik dan Pola Asuh
Penelitian menunjukkan bahwa anak sehat yang diasuh oleh orang skizofrenia
akan mengalami skizofrenia. Hasil studi menunjukkan bahwa faktor keluarga
menunjukkan hubungan yang sangat berpengaruh pada penyakit ini (Yosep, 2009).
2. Faktor Presipitasi Perilaku
Respon pasien terhadap halusinasi dapat berupa respons curiga, ketakutan,
perasaan tidak aman, gelisah dan bingung, perilaku merusak diri, kurang perhatian,
tidak mampu mengambil keputusan serta tidak dapat membedakan keadaan nyata dan
tidak nyata. Menurut Rawlins dan Heacock (1993) unsur-unsur bio-psiko-sosio-
spiritual dari halusinasi dapat dilihat dari lima dimensi, yaitu:
1) Dimensi Fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan
yang luar biasa, penggunaan obat-obatan, demam hingga delirium, intoksikasi
alkohol dan kesulitan untuk tidur dalam waktu yang lama.
2) Dimensi Emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat
diatasi merupakan penyebab halusinasi itu terjadi.Isi dari halusinasi dapat berupa
perintah memaksa dan menakutkan. Pasien tidak sanggup lagi menentang perintah
tersebut hingga dengan kondisi tersebut pasien berbuat sesuatu terhadap ketakutan
tersebut.
3) Dimensi Intelektual
Dalam dimensi ini, menerangkan bahwa individu dengan halusinasi akan
memeperlihatkan adanya fungsi ego. Pada awalnya halusinasi merupakan usaha
dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun merupakan suatu hal
yang menimbulkan kewaspadaan yang dapat mengambil seluruh perhatian pasien
dan tak jarang akan mengontrol semua perilaku pasien.
4) Dimensi Sosial
Pasien mengalami gangguan interaksi sosial dalam fase awal dan
comforting, pasien menganggap bahwa hidup besosialisasi di alam nyata
merupakan sangat membahayakan. Pasien asyik dengan halusinasinya, seolah-olah
ia merupakan tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, control diri
dan harga diri yang tidak didapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi dijadikan
sistem kontrol oleh individu tersebut sehingga jika perintah halusinasi berupa
ancaman, dirinya atau orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu,
aspek penting dalam melaksanakan intervensi keperawatan pasien dengan
mengupayakan suatu proses interaksi yang menimbulkan pengalaman interpersonal
yang memuaskan, serta mengusahakan klien tidak menyendiri sehingga klien
selalu berinteraksi dengan lingkungannya dan halusinasi tidak berlangsung.
5) Dimensi Spiritual
Secara spiritual, pasien halusinasi mulai dengan kehampaan hidup, rutinitas
tidak bermakna, hilangnya aktivitas ibadah dan jarang berupaya secara spiritual
untuk menyucikan diri. Irama sirkadiannya terganggu, karena ia saring tidur larut
malam dan bangun sangat siang. Saat terbangun merasa hampa dan tidak jelas
tujuan hidupnya. Ia sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput
rejeki, menyalahkan lingkungan dan orang lain yang menyebabkan takdirnya
memburuk (Yosep, 2009).
C. Manifestasi Klinik
Selain fase pada halusinasi, terdapat manifestasi klinik lain dalam bentuk tahap,
yaitu :
1. Tahap 1 : Halusinasi bersifat tidak menyenangkan Gejala Klinis :
a. Menyeringai/tertawa tidak sesuai
b. Menggerakkan bibir tanpa bicara
c. Gerakan mata cepat
d. Bicara lambat
e. Diam dan pikiran dipenuhi sesuatu yang mengasikkan
2. Tahap 2 : Halusinasi bersifat menjijikan Gejala klinis :
a. Cemas
b. Konsentrasi menurun
c. Ketidakmampuan membedakan nyata dan tidak nyata (Keliat, 2009).
3. Tahap 3 : Halusinasi bersifat mengendalikan Gejala klinis :
a. Cenderung mengikuti halusinasi
b. Kesulitan berhubungan dengan orang lain
c. Perhatian atau konsentrasi menurun dan cepat berubah
d. Kecemasan berat (berkeringat, gemetar, tidak mampu mengikuti petunjuk).
4. Tahap 4 : Halusinasi bersifat menaklukkan Gejala klinis :
a. Pasien mengikuti halusinasi
b. Tidak mampu mengendalikan diri
c. Tidak mampu mengikuti perintah nyata
d. Beresiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan (Keliat, 2009).
D. Pohon Masalah
Masalah keperawatan untuk kasus halusinasi pendengaran dapat digambarkan dalam
pohon masalah sebagai berikut:
1. Pengertian
Banyak ahli mendefiniskan mengenai perilaku kekerasan diantaranya, menurut Berkowitz (1993),
perilaku kekerasan bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Citrome dan
Volavka (2002, dalam Mohr, 2006) menjelaskan bahwa perilaku kekerasan merupakan respon perilaku
manusia untuk merusak sebagai bentuk agresif fisik yang dilakukan oleh seseorang terhadap orang lain dan
atau sesuatu.Pendapat senada diungkapkan Stuart dan Laraia (2005),yang menyatakan bahwa perilaku
kekerasan merupakan hasil dari marah yang ekstrim atau ketakutan sebagai respon terhadap perasaan
terancam, baik berupa ancaman serangan fisik atau konsep diri. Perasaan terancam ini dapat berasal dari
lingkungan luar (penyerangan fisik, kehilangan orang berarti dan kritikan dari orang lain) dan lingkungan
dalam (perasaan gagal di tempat kerja, perasaan tidak mendapatkan kasih sayang dan ketakutan penyakit
fisik).
Menurut Keliat, (2011), perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Herdman (2012) mengatakan bahwa risiko perilaku
kekerasan merupakan perilaku yang diperlihatkan oleh individu. Bentuk ancaman bisa fisik, emosional
atau seksual yang ditujukan kepada orang lain Sehingga dapat disimpulkan bahwa perilaku kekerasan
merupakan:
a. Respons emosi yang timbul sebagai reaksi terhadap kecemasan yang meningkat dan dirasakan sebagai
ancaman (diejek/dihina).
b. Ungkapan perasaan terhadap keadaan yang tidak menyenangkan (kecewa, keinginan tidak tercapai, tidak
puas).
c. Perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
Proses terjadinya perilaku kekerasan pada pasien akan dijelaskan dengan menggunakan konsep
a. Faktor Predisposisi
Hal-hal yang dapat mempengaruhi terjadinya perilaku kekerasan, meliputi : 1) Faktor Biologis
Hal yang dikaji pada faktor biologis meliputi adanya faktor herediter yaitu adanya anggotakeluarga
yang sering memperlihatkan atau melakukan perilaku kekerasan, adanya anggota keluarga yang mengalami
gangguan jiwa, adanyan riwayat penyakit atau trauma kepala, dan riwayat penggunaan NAPZA (narkoti,
2) Faktor Psikologis
Pengalaman marah merupakan respon psikologis terhadap stimulus eksternal, internal maupun
lingkungan.Perilaku kekerasan terjadi sebagai hasil dari akumulasi frustrasi.Frustrasi terjadi apabila
keinginan individu untuk mencapai sesuatu menemui kegagalan atau terhambat.Salah satu kebutuhan
manusia adalah “berperilaku”, apabila kebutuhan tersebut tidak dapat dipenuhi melalui berperilaku
konstruktif, maka yang akan muncul adalah individu tersebut berperilaku destruktif. 3) Faktor Sosiokultural
Teori lingkungan sosial (social environment theory)menyatakan bahwa lingkungan sosial sangat
mempengaruhi sikap individu dalam mengekspresikan marah.Norma budaya dapat mendukung individu
untuk berespon asertif atau agresif.Perilaku kekerasan dapat dipelajari secara langsung melalui proses
b. Faktor Presipitasi
Faktor presipitasi perilaku kekerasan pada setiap individu bersifat unik, berbeda satu orang dengan
yang lain.Stresor tersebut dapat merupakan penyebab yang brasal dari dari dalam maupun luar individu.
Faktor dari dalam individu meliputi kehilangan relasi atau hubungan dengan orang yang dicintai atau
berarti (putus pacar, perceraian, kematian), kehilangan rasa cinta, kekhawatiran terhadap penyakit fisik, dll.
Sedangkan faktor luar individu meliputi serangan terhadap fisik, lingkungan yang terlalu ribut, kritikan
Marah yang dialami setiap individu memiliki rentang dimulai dari respon adaptif sampai maladaftif.
Sekarang marilah kita bersama-sama mempelajarinya untuk mempermudah pemahaman Anda dibawah ini
Keterangan
Pasif : Respon lanjutan dimana pasien tidak mampu mengungkapkan perasaannya Agresif : Perilaku
a. Hierarki Perilaku Kekerasan Setelah Anda memahami rentang respon marah, sekarang marilah kita
Berdasarkan konsep yang telah sama-sama kita pelajari, maka dapat kita simpulkan perbedaan
antara perilaku agresif, asertif dan pasif seperti bagan dibawah ini.
4. Tanda dan Gejala
Tanda dan gejala perilaku kekerasan dapat dinilai dari ungkapan pasien dan didukung dengan hasil
observasi.
a. Data Subjektif:
b. Data Objektif:
2) Pandangan tajam
4) Mengepalkan tangan
5) Bicara kasar
1. Pengkajian
Pengkajian dilakukan dengan cara wawancara dan observasi pada pasien dan keluarga. Tanda dan gejala
risiko perilaku kekerasan dapat ditemukan dengan wawancara melalui pertanyaan sebagai berikut:
d. Sikap atau perilaku atau tindakan apa yang dilakukan saat Anda marah?
g. Menurut Anda apakah ada cara lain untuk mengungkapkan kemarahan Anda
Tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan yang dapat ditemukan melalui observasi adalah sebagai berikut:
b. Pandangan tajam
d. Mengepalkan tangan
e. Bicara kasar
f. Mondar mandir
2. Diagnosis Keperawatan
PERILAKU KEKERASAN
4. Tindakan Keperawatan
Tindakan keperawatan untuk mengatasi risiko perilaku kekerasan, dilakukan terhadap pasien dan
keluarga. Saat melakukan pelayanan di Puskesmas dan kunjungan rumah,, perawat menemui keluarga
terlebih dahulu sebelum menemui pasien. Bersama keluarga, perawat mengidentifikasi masalah yang
dialami pasien dan keluarga. Setelah itu, perawat menemui pasien untuk melakukan pengkajian,
mengevaluasi dan melatih satu cara lagi untuk mengatasi masalah yang dialami pasien. Jika pasien telah
mendapatkan terapi psikofarmaka (obat), maka hal pertama yang harus dilatih perawat adalah pentingnya
Setelah perawat selesai melatih pasien, perawat menemui keluarga untuk melatih cara merawat
pasien. Selanjutnya perawat menyampaikan hasil tindakan yang telah dilakukan terhadap pasien dan tugas
yang perlu keluarga yaitu untuk mengingatkan pasien melatih kemampuan mengatasi masalah yang telah
Tindakan Keperawatan
Tindakan yang harus dilakukan dalam rangka membina hubungan saling percaya adalah:
b) Perkenalkan diri : nama, nama panggilan yang Perawat sukai, serta tanyakan nama dan nama panggilan
d) Buat kontrak asuhan : apa yang Perawat akan lakukan bersama pasien, berapa lama akan dikerjakan dan
tempatnya dimana
e) Jelaskan bahwa
2) Diskusikan bersama pasien penyebab rasa marah/perilaku kekerasan saat ini dan yang lalu.
4) Diskusikan bersama pasien perilaku kekerasan yang biasa dilakukan pada saat marah secara: Verbal
c) terhadap lingkungan
c) Sosial/verbal: bicara yang baik: mengungkapkan, menolak dan meminta rasa marahnya
Tindakan keperawatan terhadap pasien dapat dilakukan minimal empat kali pertemuan dan dilanjutkan
b. Tindakan keperawatan untuk keluarga pasien risiko perilaku kekerasan Tujuan: Keluarga mampu:
3) Merawat pasien risiko perilaku kekerasan dengan mengajarkan dan mendampingi pasien berinteraksi
secara bertahap, berbicara saat melakukan kegiatan rumah tangga dan kegiatan sosial
4) Memodifikasi lingkungan yang konsusif agar pasien mampuberinteraksi dengan lingkungan sekitar
6) Keluarga dapat meneruskan melatih pasien dan mendukung agar kemampuan pasien risiko perilaku
kekerasan.
5) Melatih keluarga menciptakan suasana keluarga dan lingkungan yang mendukung pasien untuk
mengontrol emosinya.
6) Mendiskusikan tanda dan gejala kekambuhan yang memerlukan rujukan segera ke fasilitas pelayanan
kesehatan
5. Evaluasi
a. Evaluasi kemampuan pasien mengatasi risiko perilaku kekerasan berhasil apabila pasien dapat:
• secara sosial/verbal: meminta, menolak, dan mengungkapkan perasaan dengan cara baik
• secara spiritual
• terapi psikofarmaka
b. Evaluasi kemampuan keluarga (pelaku rawat) risiko perilaku kekerasan berhasil apabila keluarga dapat:
1) Mengenal masalah yang dirasakan dalam merawat pasien (pengertian, tanda dan gejala, dan proses
6. Dokumentasi
Hasil Asuhan Keperawatan Pendokumentasian dilakukan setiap selesai melakukan pertemuan dengan
pasien dan keluarga. Berikut adalah contoh dokumentasi asuhan keperawatan risiko perilaku kekerasan
5. Genogram
Ket: = Laki-laki
= Perempuan
= Meninggal
= Klien
Jelaskan : Ibu klien sudah meninggal, Klien 5 bersaudara, klien mempunyai 3 orang anak dan satu
sudah meninggal dunia.
Masalah Keperawatan :
IV. FISIK
Tanda Vital : TD:- N: - S: - RR: -
Ukur :TB: - BB: -
Keluhan Fisik :-
Jelaskan : Tidak dilakukan pengkajian
Masalah Keperawatan: -
V. PSIKOSOSIAL
1. Konsep Diri :
a. Gambaran diri : Keluarga klien mengatakan klien merasa dirinya tidak sakit dan tidak
mengalami masalah gangguan jiwa
b. Identitas : Keluarga Klien mengatakan jika ditanya mengenai diri klien, ia masih
mengenali siapa namanya, berapa anaknya, dengan syarat yang bertanya adalah keluarga
klien sendiri bukan orang lain.
c. Peran : Peran klien sebagai seorang suami dan ayah sudah tidak dijalankan klien
lagi dan sekarang yang menjadi tulang punggung dalam keluarga adalah istri klien.
d. Ideal Diri : Klien tidak sadar kalua dirinya sedang dalam keadaan kurang sehat dan
menganggap orang lainlah yang kurang sehat.
e. Harga Diri : Keluarga mengatakan klien tidak mau berjumpa dan berkomunikasi dengan
orang lain selain keluarga dan bahkan Ketika berkomunikasipun focus pembicaraan
seringkali tidak nyambung.
Masalah Keperawatan: -
2. Hubungan Sosial:
a. Orang yang Berarti : Anaknya
b. Peran serta dalam kegiatan Kelompok/Masyarakat : Klien tidak pernah mengikuti kegiatan
dimasyarakat
c. Hambatan Dalam Berhubungan dengan Orang lain:Klien belakangan ini slalu dirumah dan
belakangan ini tidak mau berinteraksi dengan orang lain, sering diam dan menghayal dan
ketika diajak berkomunikasi oleh keluarga sering tidak nyambung dengan pembicaraan.
Masalah Keperawatan:
3. Spiritual:
a. Nilai dan Keyakinan : Klien beragama islam
b. Kegiatan Ibadah : tidak mengerjakan
3. Aktivitas Motorik
Apatis Tegang Gelisah Lesu
Tik Grimasen Tremor Kompulsif
Jelaskan: keluarga mengatakan Klien tampak tidak peduli dengan apapun yang ada disekitarnya seperti
seseorang yang kehilangan semangat.
Masalah Keperawatan: -
4. Alam Perasaan :
Jelaskan : Keluarga mengatakan klien merasa lesu putus asa setelah kematian putrinya beberapa bulan yang
lalu
Masalah Keperawatan : -
5. Afek:
Datar - Tumpul - Labil - Tidak Sesuai
Jelaskan: keluarga klien mengatakan Ketika ada hal lucupun ekspresi klien sama saja datar tanpa ada
perubahan mimic pada wajah klien.
Masalah Keperawatan : -
6. Interaksi Selama Wawancara:
Bermusuhan Tidak Kooperatif Defensif
Kontak Mata Kurang Mudah Tersinggung Curiga
Jelaskan: Keluarga klien mengatakan ketika berinteraksi, klien mudah tersinggung dengan lawan bicara
karena ia merasa ia sedang dalam keadaan baik-baik saja tidak ada yang salah dengan kejiwaannya dan
akibatnya ia tidak mau bersosialisasi dengan orang lain kecuali keluarga.
Masalah Keperawatan : -
7. Persepsi:
Pendengaran Perabaan Penglihatan
Pengecapan Penghirupan
Jelaskan: Keluarga klien mengatakan, awal mula klien sakit klien mengatakan seperti ada yang membakar
punggung klien.
Masalah Keperawatan : Halusinasi Perabaan.
8. Proses Pikir:
Sirkumstansial Tangensial Pengulangan Pembicaraan/persepsi
Jelaskan:Keluarga klien mengatakan ketika diajak berbicara klien tidak akan nyambung dan akan lari dari
topik pembicaraan.
Masalah Keperawatan : Gangguan proses pikir
9. Isi Pikir:
Obsesi Fobia Hipokondria
Deporsonalisasi Ide yang terkait Pikiran Magis
Waham :
Agama Somatik Kebesaran Curiga
Nihilstik Sisip Pikir Siap Pikir Kontrol Pikir
Jelaskan:
Masalah Keperawatan :
11. Disorientasi
- Waktu - Tempat - Orang
Jelaskan: Klien dalam keadaan sadar, tetapi ia tidak sadar bahwa ia memiliki penyakit gangguan jiwa.
Masalah Keperawatan: -
12. Memori
- Gangguan daya ingat jangka panjang Gangguan daya ingat jangka pendek
Jelaskan : Klien mampu menilai mana yang lebih di utamakan , terutama tentang pengobatan pada dirinya
Masalah Keperawatan : -
14. Daya Tilik Diri
Bab/Bak
Transportasi
Perawatan Uang
Kesehatan
Jelaskan :Klien sudah tidak mau bekerja
Masalah Keperawatan : -
Mandi - - Bab/Bak - -
b. Nutrisi
Ya Tidak
Apakah anda puas dengan pola makan anda ?
Apakah anda makan memisahkan diri ?
Jika Ya, jelaskan alasannya : -
Frekuensi makan/hari :2-3kali/hari
Frekuensi minum/hari :+ 2500ml/hari
- - - -
Nafsu makan:
Berat Badan : - BB Tertinggi : - BB Terendah : -
Diet Khusus : -
Jelaskan : Makan dan minum klien dalam keadaan baik, nafsu makan klien normal tidak meningkat dan tidak
menurun
Masalah Keperawatan : -
c. Tidur
Ya Tidak
Apakah ada masalah ?
Lamanya/jam: -
Waktu tidur malam : 6-8 Jam Waktu bangun: Jam 6 pagi
Beri Tanda " √" sesuaidengan keadaan klien
5. Apakah klien menikmati saat bekerja, kegiatan yang menghasilkan atau hobi?
Ya Tidak
Jelaskan: Klien sudah tidak mau lagi bekerja dan istrilah yang menjadi tulang punggung keluarga
Masalah Keperawatan: -
VIII. Mekanisme Koping
Adaptif Maladaptif
Bicara dengan oranglain Minum alcohol
Mampu menyelesaikan masalah Reaksi lambat/berlebihan
Tehnik relaksasi Bekerja berlebihan
Aktivitas kontruktif Menghindar
Olahraga Mencederai diri
Lainnya Lainnya
Masalah keperawatan:
Data Objek :
- Pasien suka menyendiri
- Klien sulit memulai pembicaraan
- Klien bicara pelan dan lamban
2 DS : Halusinasi (Rabaan)
Keluarga klien mengatakan klien
pernah mengatakan seperti ada yang
membakar punggungnya
DO : -
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Isolasi sosial
2. Halusinasi (rabaan)
j. menghakimi).
SP II : 1.
Memvalidasi masalah dan
latihan sebelumnya.
2. Melatih pasien cara
mengontrol perilaku
kekerasan fisik II (memukul
bantal/ kasur)
3. Membimbing pasien
memasukan dalam jadwal
kegiatan harian.
SP III :
1. Memvalidasi masalah
dan latihan sebelumnya.
2. Melatih pasien cara
mengontrol perilaku
kekerasan secara verbal
(meminta, menolak dan
mengungkapkan marah
secara baik)
3. Membimbing pasien
memasukan dalam
jadwal kegiatan harian.
SP IV :
1. Memvalidasi masalah
dan latihan
sebelumnya
2. Melatih pasien cara
mengontrol perilaku
kekerasan secara
spiritual (berdoa,
berwudhu, sholat)
3. Membimbing pasien
memasukan dalam
jadwal kegiatan harian
SP V :
1. Memvalidasi masalah
dan latihan
sebelumnya
2. Menjelaskan cara
mengontrol perilaku
kekerasan dengan
meminum obat
(prinsip 6 benar
minum obat)
3. Membimbing pasien
memasukan dalam
jadwal kegiatan harian
DAFTAR KEGIATAN HARIAN (ADL)
HARI/TANGGAL/JAM KEGIATAN KETERANGAN