Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Masih ingatkah anda tentang isi novel sejarah sebelumnya? Tentunya banyak hal
yang dapat anda kemukakan, mulai dari isi maupun aspek lainnya yang berkaitan
dengan novel sejarah. Pada bab ini, Anda akan diajak kembali mengapresiasi novel,
khususnya novel populer. Kegiatan apresiasi novel populer tersebut bertujuan
untuk memahami maksud pengarang terhadap kehidupan yang tergambar dalam
novel tersebut.

Sebuah pengakuan terhadap nilai-nilai yang diungkapkan oleh pengarang dalam


karyanya dapat kita apresiasikan. Bahkan, nilai-nilai positif dalam sebuah novel
dapat menjadi tuntunan sesuai salah satu fungsi karya sastra.

1.2 Tujuan

Untuk meningkatkan pembelajaran tentang Novel, meningkatan kemampuan


dalam berbahasa indonesia, secara baik dan benar, baik secara lisan maupun
tertulis.

Dalam Makalah Ini Akan Dibahas Mengenai :

1. Menafsirkan Panduan Pengarang

2. Menyajikan Hasil Interpretasi

3. Menganalisis Isi dan Kebahasaan

4. Merancang Novel

5. Menyusun Laporan Hasil Diskusi

1
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Menafsirkan Pandangan Pengarang terhadap Kehidupan dalam Novel

1. Menangkap maksud pengarang dalam novel

Seperti halnya dalam penulisan novel sejarah, penulis bisa saja


hanya mengandalkan studi literasi terhadap kondisi pada zaman tertentu. Penulis dapat
pula melakukan penelusuran terhadap situs-situs sejarah, tempat, maupun pelaku sejarah
yang kemungkinan masih hidup hingga waktu sekarang.

Berbeda dengan novel populer sekarang,penulis hidup dan merasakan kondisi


lingkungan dan sosial saat penulisan novelnya. Sebagai contoh, penulis novel Ronggeng
Dukuh Paruk, Ahmad Tohari, ikut merasakan situasi dan kondisi warga masyarakat yang
sangat kurang dalam hal pendidikan maupun perekonomian. Ahmad Tohari memberikan
pandangan bagaimana kehidupan masyarakat Dukuh Paruk yang masih berada dalam alam
pikiran mistis, miskin, longgar tatanan moralnya, dan bergantungan pada pertunjukan
ronggeng.

Begitu juga dengan pandangan Pramoednya Ananta Toer melalui novel Bumi
Manusia terhadap lingkungan dan sosial pada zaman itu. Pramoedya Ananta Toer berusaha
keras untuk mengungkapkan kondisi indonesia ditengah arus politik dan ekonomi kapitalis.
Dalam arus kapitalis, Indonesia terbagi dalam kelas-kelas sosial yang saling bertentangan
antara kelas penguasa dengan rakyat bawah. Di tengah pertentangan ini, lahir kelas
menengah yang kehadirannya merupakan pembelah kelas bawah.

PAGI itu, waktu aku masih kecil, aku duduk di bangku panjang di depan sebuah kelas.
Sebatang pohon tua yang riangmeneduhiku. Ayahku duduk di sampingku, memeluk
pundakku dengan kedua lengannya dan tersenyum mengangguk-angguk pada setiap
orangtua dan anak-anaknya yang duduk berderet-deret di bangku panjang lain di depan
kami. Hari itu adalah hari yang agak penting: hari pertama masuk SD. Di ujung bangku-
bangku panjang tadi ada sebuah pintu terbuka. Kosen pintu itu miring karena seluruh
bangunan sekolah sudah doyong seolah akan roboh. Di mulut pintu berdiri dua orang guru
seperti para penyambut tamu dalam perhelatan. Mereka adalah seorang bapak tua
berwajah sabar, Bapak K.A. Harfan Efendy Noor, sang kepala sekolah dan seorang wanita
muda berjilbab, Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus. Seperti ayahku, mereka berdua
juga tersenyum. Namun, senyum Bu Mus adalah senyum getir yang dipaksakan karena
tampak jelas beliau sedang cemas. Wajahnya tegang dan gerak-geriknya gelisah. Ia
berulang kali menghitung jumlah anak-anak yang duduk di bangku panjang. Ia
demikiankhawatir sehingga tak peduli pada peluh yang mengalir masuk ke pelupuk
matanya. Titik-titik keringat yang bertimbulan di seputar hidungnya menghapus bedak
tepung beras yang dikenakannya, membuat wajahnya coreng moreng seperti pameran

2
emban bagi permaisuri dalam Dul Muluk, sandiwara kuno kampung kami. “Sembilan orang
… baru sembilan orang Pamanda Guru, masih kurang satu…,” katanya gusar pada bapak
kepala sekolah. Pak Harfan menatapnya kosong. Aku juga merasa cemas. Aku cemas
karena melihat Bu Mus yang resah dan karena beban perasaan ayahku menjalar ke sekujur
tubuhku. Meskipun beliau begitu ramah pagi ini tapi lengan kasarnya yang melingkari
leherku mengalirkan degup jantung yang cepat. Aku tahu beliau sedang gugup dan aku
maklum bahwa tak mudah bagi seorang pria berusia empat puluh tujuh tahun, seorang
buruh tambang yang beranak banyak dan bergaji kecil, untuk menyerahkan anak laki-
lakinya ke sekolah. Lebih mudah menyerahkannya pada tauke pasar pagi untuk jadi tukang
parut atau pada juragan pantai untuk menjadi kuli kopra agar dapat membantu ekonomi
keluarga. Menyekolahkan anak berarti mengikatkan diri pada biaya selama belasan tahun
dan hal itu
bukan perkara gampang bagi keluarga kami. “Kasihan ayahku ….. Maka aku tak sampai
hati memandang wajahnya. “Barangkali sebaiknya aku pulang saja, melupakan keinginan
sekolah, dan mengikuti jejak beberapa abang dan sepupu-sepupuku, menjadi kuli ….. Tapi
agaknya bukan hanya ayahku yang gentar. Setiap wajah orangtua di depanku
mengesankan bahwa mereka tidak sedang duduk di bangku panjang itu, karena pikiran
mereka, seperti pikiran ayahku, melayang-layang ke pasar pagi atau ke keramba di tepian
laut membayangkan anak lelakinya lebih baik menjadi pesuruh di sana. Para orangtua ini
sama sekali tak yakin bahwa pendidikan anaknya yang hanya mampu mereka biayai paling
tinggi sampaiSMP akan dapat mempercerah masa depan keluarga. Pagi ini mereka
terpaksa berada di sekolah ini untuk menghindarkan diri
dari celaan aparat desa karena tak menyekolahkan anak atau sebagai orang yang terjebak
tuntutan zaman baru, tuntutan memerdekakan anak dari buta huruf. Aku mengenal para
orangtua dan anak-anaknya yang duduk di depanku. Kecuali seorang anak lelaki kecil kotor
berambut keriting merah yang meronta-ronta dari pegangan ayahnya. Ayahnya itu tak
beralas kaki dan bercelana kain belacu. Aku tak mengenal anak beranak itu. Selebihnya
adalah teman baikku. Trapani misalnya, yang duduk di pangkuan ibunya, atau Kucai yang
duduk di samping ayahnya, atau Syahdan yang tak diantar siapa-siapa. Kami bertetangga
dan kami adalah orang-orang Melayu belitong dari sebuah komunitas yang paling miskin di
pulau itu. Adapun sekolah
ini, SD Muhammadiyah, juga sekolah kampung yang paling miskin di Belitong. Ada tiga
alasan mengapa para orangtua mendaftarkan-anaknya di sini. Pertama, karena sekolah
Muhammadiyah tidak menetapkan iuran dalam bentuk apa pun, para orangtua hanya
menyumbang sukarela semampu mereka. Kedua, karena firasat,-anak-anak mereka
dianggap memiliki karakter yang mudah disesatkan iblis sehingga sejak usia muda harus
mendapatkan pendadaran Islam yang tangguh. Ketiga, karena anaknya memang tak
diterima di sekolah mana pun. Bu Mus yang semakin khawatir memancang pandangannya
ke jalan raya di seberang lapangan sekolah berharap kalau-kalau masih ada pendaftar baru
. Kami prihatin melihat harapan hampa itu. Maka tidak seperti suasana di SD lain yang
penuh kegembiraan ketika menerima murid angkatan baru, suasana hari pertama di SD
Muhammadiyah penuh dengan kerisauan, dan yang paling risau adalah Bu Mus dan Pak
Harfan. Guru-guru yang sederhana ini berada dalam situasi genting karena Pengawas

3
Sekolah dari Depdikbud Sumsel telah memperingatkan bahwa jika SD Muhammadiyah
hanya mendapat murid baru kurang dari sepuluh orang maka sekolah paling tua diBelitong
ini harus ditutup. Karena itu sekarang Bu Mus dan Pak Harfan cemas sebab sekolah mereka
akan tamat riwayatnya, sedangkan para orangtua cemas karena biaya, dan kami, sembilan
anak-anak kecil ini yang terperangkap di tengah cemas kalau- kalau kami tak jadi sekolah.
Tahun lalu SD Muhammadiyah hanya mendapatkan sebelas siswa, dan tahun ini Pak
Harfan pesimis dapat memenuhi target sepuluh. Maka diam-diam beliau telah
mempersiapkan sebuah pidato pembubaran sekolah di depan para orangtua murid pada
kesempatan pagi ini. Kenyataan bahwa beliau hanya memerlukan satu siswa lagi untuk
memenuhi target itu menyebabkan pidato ini akan menjadi sesuatu yang menyakitkan hati.
“Kita tunggu sampai pukul sebelas,” kata Pak Harfan pada Bu Mus dan seluruh orangtua
yang telah pasrah. Suasana hening. Para orang tua mungkin menganggap kekurangan satu
murid sebagai pertanda bagi anak-anaknya bahwa mereka memang sebaik nya
didaftarkan pada para juragan saja. Sedangkan aku dan agaknya juga anak-anak yang lain
merasa amat pedih: pedih pada orangtua kami yang tak mampu, pedih menyaksikan detik-
detik terakhir sebuah sekolah tua yang tutup justru pada hari pertama kami ingin sekolah,
dan pedih pada niat kuat kami untuk belajar tapi tinggal selangkah lagi harus terhenti
hanya karena kekurangan satu murid. Kami menunduk dalam-dalam. Saat itu sudah pukul
sebelas kurang lima dan Bu Mus semakin gundah. Lima tahun pengabdiannya di sekolah
melarat yang amat ia cintai dan tiga puluh dua tahun pengabdian tanpa pamrih pada Pak
Harfan, pamannya, akan berakhir di pagi yang sendu ini. “Baru sembilan orang Pamanda
Guru …,” ucap Bu Mus bergetar sekali lagi. Ia sudah tak bisa berpikir jernih. Ia berulang kali
mengucapkan hal yang sama yang telah diketahui semua orang. Suaranya berat
selayaknya orang yang tertekan batinnya. Akhirnya, waktu habis karena telah pukul
sebelas lewat lima dan jumlah murid tak juga genap sepuluh. Semangat besarku
untuksekolah perlahan-lahan runtuh. Aku melepaskan lengan ayahku dari pundakku.
Sahara menangis terisak-isak mendekap ibunya karena ia benar-benar ingin sekolah di SD
Muhammadiyah. Ia memakai sepatu, kaus kaki, jilbab, dan baju, serta telah punya buku-
buku, botol air minum, dan tas punggung yang semuanya baru. Pak Harfan menghampiri
orangtua murid dan menyalami mereka satu per satu. Sebuah pemandangan yang pilu.
Para orangtua menepuk-nepuk bahunya untuk membesarkan hatinya.
Mata Bu Mus berkilauan karena air mata yang menggenang. Pak Harfan berdiri di depan
para orangtua, wajahnya muram. Beliaubersiap-siap memberikan pidato terakhir.
Wajahnya tampak putus asa. Namun ketika beliau akan mengucapkan kata pertama
Assalamu’alaikum seluruh hadirin terperanjat karena Tripani berteriak sambil menunjuk ke
pinggir lapangan rumput luas halaman
sekolah itu. “Harun!. Kami serentak menoleh dan di kejauhan tampak seorang pria kurus
tinggi berjalar terseok-seok. Pakaian dan sisiran rambutnya
sangat rapi. Ia berkemeja lengan panjang putih yang dimasukkan ke dalam. Kaki dan
langkahnya membentuk huruf x sehingga jika berjalan seluruh tubuhnya bergoyang-goyang
hebat. Seorang wanita gemuk setengah baya yang berseri-seri susah payah
memeganginya. Pria itu adalah Harun, pria jenaka sahabat kami semua, yang sudah
berusia lima belas tahun dan agak terbelakang mentalnya. Ia sangat gembira dan berjalan

4
cepat setengah berlari tak sabar menghampiri kami. Ia tak menghiraukan ibunya yang
tercepuk-cepuk kewalahan menggandeng-nya. Mereka berdua hampir kehabisan napas
ketika tiba di depan Pak Harfan. “Bapak Guru …, ” kata ibunya terengah-engah. “Terimalah
Harun, Pak, karena SLB hanya ada di Pulau Bangka, dan kami tak punya biaya untuk
menyekolahkannya kesana. Lagi pula lebih baik kutitipkan dia disekolah ini daripada di
rumah ia hanya mengejar -ngejar anak-anak ayamku ….. Harun tersenyum lebar
memamerkan gigi-giginya yang kuning panjang-panjang. Pak Harfan juga terseyum, beliau
melirik Bu Mus sambil mengangkat bahunya. “Genap sepuluh orang …,” katanya. Harun
telah menyelamatkan kami dan kami pun bersorak.
Sahara berdiri tegak merapikan lipatan jilbabnya & menyandang tasnya dengan gagah, ia
tak mau duduk lagi. Bu Mus tersipu. Air mata guru muda ini surut dan ia menyeka keringat
di wajahnya yang belepotan karena bercampur dengan bedak tepung beras.

Bagaimana hasil pembacaan atas cuplikan novel di atas? Tentunya Anda sudah bisa
menangkap maksud pengarang terhadap Kehidupan yang terjadi pada masa tertentu.

2 Menerangkan Maksud Pengarang Terhadap Kehidupan dalam Novel

Bagaimana Kemampuan Anda dalam menangkap maksud pengarang pada


sebuah novel? Tentunya Anda sudah mencoba menafsirkan beberapa hal mengenai
hal tersebut. Seorang pengarang yang sedang mengutarakan maksud tertentu,
tentunya tidak akan terlepas dari latar belakang kehidupannya. Seperti halnya
dalam novel Laskar Pelangi, Adrea Hirata berusaha menghadirkan berbagai hal yang
mengusik pikirannya yang pernah dialaminya ketika waktu kecil . Hal tersebut
berkaitan dengan permasalahan yang dialami, baik dirasakan secara pribadi
maupun oleh masyarakat sekitar pulau Beli tong.

Masalah sosial yang terlihat dalam novel Laskar Pelangi adalah penduduk
Belitong yang pada umumnya hidup dibawah garis kemiskinan. Kemiskinan adalah
dasar dan muara dari berbagai masalah sosial yang terdapat dalam novel ini.

2.2 Menyajikan Hasil Interpretasi Terhadap Pandangan Pengarang

Karya sastra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai


Kehidupan masyarakat dalam kurung waktu dan situasi budaya tertentu. Didalam
karya sastra dilukiskan keadaan dan kehidupan sosial suatu masyarakat, peristiwa-
peristiwa, ide dan gagasan, serta nilai-nilai yang diamanatkan pencipta lewat tokoh-
tokoh cerita. Lantas, bagaimana kita menyajikan hasil interpretasi terhadap
pandangan pengarang dalam novelnya?

5
2.3 Menganalisis Isi dan Kebahasaan Novel

1. Menganalisis Unsur Intristik Novel

Melalui sebuah novel, seorang pengarangdapat menceritakan semua


aspek kehidupan manusia secara mendalam, termasuk berbagai perilaku
manusia didalamnya, karena bersifat fiksi.

A. Tema, merupakan ide yang mendasari sebuah cerita sehingga


berperan juga sebagai pangkal tokoh pengarang dalam memaparkan
karya yang diciptakannya.

B. Penokohan, penokohan dalam novel tersebut secara garis besar


dapat dibagi menjadi tokoh utama, yaitu tokoh yang terus-menerus
muncul serta tokoh tamhan, yaitu tokoh yang hanya sesekali
muncul.

a) Tokoh Utama

b) Tokoh Tambahan

C. Latar, merupakan lingkungan terjadinya peristiwa, termasuk


didalamnya tempat, waktu dan latar kehidupan sosial dalam cerita.

1) Latar Tempat

2) Latar Waktu

3) Latar Sosial

D. Sudut Pandang, merupakan masalah teknis yang digunakan


pengarang untuk menyampaikan makna, karya, artistiknya untuk
sampai dan berhubungan dengan pembaca.

E. Amanat, merupakan suatu pesan moral yang ingin disampaikan oleh


pengarang.

2. Menganalisis Kebahasaan Novel

Dalam sebuah karya sastra, terutama novel, pasti banyak ditemukan


penggunaan bahasa figuratif. Hal itu tak terlepas dari fungsi bahasa figuratif
itu sendiri yaitu sebagai sarana retorika yang mampu menghidupkan lukisan
dan menyegarkan pengungkapan.

6
a) Idiom dalam novel, khususnya novel Laskar Pelangi bertujuan untuk
lebih memperdalam makna tuturan dan membuat indah deskripsi
cerita.

b) Metafora, adalah semacam analogi yang membandingkan dua hal


secara langsung.

c) Metinim, merupakan gaya bahasa yang menggunakan kata tertentu


sebagai pengganti kata sebenarnya karena pertalian yang begitu
dekat.

d) Personifikasi, adalah gaya bahasa kiasan yang menggambarkan


benda-benda mati atau barang-barang yang tidak bernyawa seolah-
olah memiliki sifat kemanusian.

2.4 Merancang Novel

Pada pembelajaran sebelumnya, Anda sudah memahami berbagai hal


tentang novel. Pada tahap awal, anda dapat menangkap dan menjelaskan
maksud pengarang dalam novelnya. Begitu pun dengan aktivitas menganalisis
unsur intrinsik dan gaya bahasa yang terdapat dalam sebuah novel.

Semua hal yang telah anda pahami ssbelumnya merupakan sebuah bekal
dalam dalam merancang cerita sebuah novel.

1. Proses Awal Menulis Novel

Proses awal penulisan merupakan fondasi yang diharus dilakukan


dengan cermat oleh seorang penulis. Seperti yang sudah anda pelajari
sebelumnya, penulis melalui karyanya memiliki maksud yang akan disampaikan.

a) Tahap Prapenulisan Novel

Hal yang harus anda lakukan adalah curah gagasan mengenai


ide dan tema. Ide merupakan gambaran umum tetang cerita yang
akan ditulis, sedangkan tema lebih mengerucutkan lagi dari ide
tersebut.

b) Tahap Penyusunan Kerangka Novel

Apabila tema sudah ditemukan dengan berbagai


pertimbangan, langkah selanjutnya adalah menyusun kerangka
novel. Penyusun kerangka novel tidak akan terlepas dari unsur
intrinsik novel yang sudah anda pelajari sebelumnya, seperti

7
penokohan, latar, alur, sudut pandang, gaya bahasa, dan amanat
yang akan disampaikan.

1) Karakter/Penokohan

2) Latar

3) Alur dan Pengaluran

4) Sudut Pandang

5) Gaya Bahasa

6) Amanat

2. Proses Menulis Novel

Setelah kerangka novel disusun dengan baik, langkah selanjutnya adalah


menulis novel dengan cara mengembangkan kerangkan yang sudah dibuat. Agar
lebih tertata dengan rapi, cerita dapat dibagi ke dalam beberapa penggalan
(bagian/chapter). Apabila penulisan naskah yang sudah selesai, tahap berikutnya
adalah memeriksa kembali naskah yang sudah anda tulis.

3. Proses Akhir Menulis Novel

Agar novel yang anda tulis menuju kedapa naskah yang sempurna,
tahap yang harus anda lakukan adalah proofreading. Untuk membantu
tahap proofreading ini, lakukanlah hal-hal berikut.

a) Carilah seorang proofreader yang dapat memberikan penilaian terhadap


naskah tersebut.

b) Anda dapat meminta teman anda untuk memberi penilaian. Selain itu, minta
juga pendapat dari keluarga maupun orang yang berkecimpung dalam dunia
penerbitan.

c) Selain meminta penilaian, anda juga bisa meminta catatan kecil atau
testimoni terhadap karya yang anda buat.

d) Jika testimoni tersebut sudah terkumpul banyak, cobalah menyimpulkan


berbagai hal yang menjadi masukan terhadap naskah novel tersebut.

2.5 Menyusun Laporan Hasil Diskusi Buku

8
Pembahasan novel yang telah anda pelajari, mulai dari mengintepretasi
novel, menganalisis novel, sampai pada kegiatan menulis novel, merupakan
kegiatan apresiasi karya sastra.

1. Menentukan Unsur Penting Buku yang Dibaca

Ketika membaca buku, baik fiksi maupun nonfiksi, anda bukan


membaca selintas saja. Ringkasan isi buku nonfiksi berupa ringkasan yang
masih memperlihatkan urutan dasar atau rangkaian isi bukunya. Bagian ini
biasanya berisi penilaian, mulai dari kejelasan isi, penyampaian materi,
penguasaan penulis terhadap masalah yang dijelaskan dalam buku, hingga
permasalahan cara penyampaian dan penulisan yang berkaitan dengan
ejaan, diksi, kalimat, serta kesatuan dan kepaduan antar paragraf.

2. Menyusun Laporan Buku yang Dibaca

a. Tahap Penulis

Berdasarkan unsur-unsur penting yang telah anda catat sebelumnya,


cobalah untuk menulis laporan hasil membaca. Dalam hal ini, laporan yang
ditulis adalah laporan hasil baca buku pengayaan nonfiksi. Laporan hasil
membaca buku nonfiksi terdiri atas tiga bagian, yaitu pembukaan, bagian isi,
dan simpulan.

1) Pembukaan Laporan

2) Bagian Isi

3) Simpulan

b. Tahap Evaluasi Hasil Penulis

Pada bagian evaluasi, anda dapat melakukan dua hal, yaitu membaca
tulisan tersebut dan menyusun ulang bagian-bagian tertentu, serta
memeriksa tulisan untuk meminimalisasi kesalahan ejaan.

1) Membaca Ulang Tulisan.

2) Memeriksa Tulisan dari Kesalahan Ejaan.

9
BAB III

Penutup

3.1 Kesimpulan

1. Pandangan penulis dalam sebuah novel biasanya berkaitan dengan


nilai-nilai yang terkandung dalam tulisannya. Hal tersebut bisa
berkaitan dengan permasalahan dalam lingkungan sosial masyarakat,
seperti kemiskinan, pendidikan, pekerjaan, dan perekonomian.

2. Karya sastra merupakan pengalaman batin penciptanya mengenai


kehidupan masyarakat dalam kurun waktu dan situasi budaya
tertentu. Di dalam karya sastra dilukiskan keadaan dan kehidupan
sosial suatu masyarakat, peristiwa-peristiwa, ide dan gagasan, serta
nilai-nilai, yang diamanatkan pencipta lewat tokoh-tokoh cerita.

3. Unsur pembangun novel terdiri atas tema, penokohan, alur, latar,


amanat, hingga sudut pandang. Sementara itu, kaidah kebahasaan
novel terdiri atas penggunaan bahasa figuratif di dalamnya, seperti
penggunaan idiom, metafora, metonimia, dan personifikasi.

4. Merancang novel terdiri atas tiga tahapan, yaitu proses awal


penulisan, proses penulisan, dan proses akhir penulisan.

a. Proses awal

b. Proses menulis

c. Proses akhir

3.2 Saran

1. Hendaknya dilakukan pembinaan untuk siswa-siswa yang berpotensi


dan berminat dalam pembuatan karya tulis, khususnya novel.

2. Hendaknya diadakan semacam kompetisi karya sastra, agar para


siswa lebih giat lagi mengembangkan bakat yang ada di dalam dirinya.

10
Daftar Pustaka

Bagtayan, Zilfa Ahmad. 2014. “Pandangan Dunia Andrea Hirata dalam Novel
Laskar Pelangi”.Tesis pada Program Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya
UGM. Yogyakarta.

11

Anda mungkin juga menyukai