Anda di halaman 1dari 4

katanya

kamu cantik

tapi jerawatan, katanya.

kamu cantik

tapi gendut, katanya.

jangan bahas berat badan

kamu kan sensitive sama masalah itu, katanya.

Katanya, katanya, katanya, seling faktanya.

Sepertiga malam adalah waktu dimana semua katanya berenang dalam kepalaku.

Ini rahasia, tapi tuhan boleh tau.

Aku meringis tanpa pernah menangis pada kenyataan yang bengis.

Cih, Munafik. Begitu kata diriku

Mana bisa ada ribuan belati yang beradu,

tanpa pernah menjatuhkan salah satu,

Pilu atau mental ku.

Hari yang indah, tetapi kebahagaiaan terenggut

Oleh bagian tubuh manusia yang tidak bertulang, membuatku takut.

Membeku pada panasnya suhu membuatku merengut.

Apa yang telah ku perbuat?

Mereka manatapku dengan mata membulat.

Menyerangku hanya dengan apa yang mereka lihat.

Tajamnya tatapan itu merobek diriku dalam-dalam.

Tangan kecilku berusaha menutup mulut yang kejam,

Tetapi tak kala redam, semakin menikam.


Ah, aku lupa.

Kedua tanganku tak cukup untuk membuat mereka bungkam.

Tetapi, cukup untuk menutup telingaku dari kecam.

Renggang

Di dalam ruang renggang

Ada sisi kanak-kanak yang hidup lenggang,

Sebagai kunci dari jati diri serta kisah aligori.

Kaki ku berjalan beriringan dengan deru,

Menuju stasiun serta hiruk-pikuknya.

Kereta berjalan begitu cepat,

Membuat bayang seorang lelaki tua terlintas lekas membekas.

Pandangannya hilang, tumpas.

Aku yang membenci diriku menatap kosong pada pandangan yang lepas.

Bagaimana jika keadaan berbalik? Tanya ku pelik.

Berada dan beradu dengan bisingnya decitan kereta yang melenguh setiap harinya,

Sungguh sibuknya.

Aku berjalan cepat agar tak terlihat,

Menunduk, berlindung dari tatapan buas terasa sesak seperti lapas.

Aku sampai, pada tempat terjadi hangatnya dekapan ibu.

Melepas penat seharian dengan Bahasa kalbu.

Tak lama, awan tak sanggup membendung dukanya,

Menumpahkannya pada dunia.


Aku membencinya, hujan.

Bahkan rasa sakit ikut menjadi bagian, ikut campur dalam perasaan.

Sebanyak air yang jatuh, sebanyak itu aku membenci diriku.

Tidak menarik, bodoh, dan aneh.

Setidaknya itulah yang aku dengar.

Bagaimana dengan lelaki tua itu?

Apakah dia membenci hujan sama denganku?

Tidak, dia menyukainya.

Dia bersyukur masih ada air yang jatuh diatas kepalanya tanpa meminta imbalan.

Aku menatap keluar dengan penasaran,

lalu, mengapa aku begitu membeci hujan padahal ada atap yang menaungiku?

Bahkan tidak sepercik airnya pun menyentuh diriku?

Sebenarnya, tidak, sejujurnya aku tidak benar-benar membenci hujan

Aku menyukai petrikor setelahnya.

Aku menghembuskan nafas dalam bersamaan dengan dendam.

Kini semua usai,

Berdamailah aku dengan diriku,

Masa lalu yang terbengkalai,

Bertaut dengan rasa rindu akan diriku.

Aku tersadar,

Rasa syukur yang dikemas dalam bentuk berbeda adalah nikmat dari sang pencipta

Anda mungkin juga menyukai