Anda di halaman 1dari 13

HUKUM MENIKAHI WANITA YANG PERNAH BERZINA

Rizki Kurniawan

Institute Agama Islam Negri Metro


Jl. Kihajar Dewantara 15a Iring Mulyo, Kota Metro, Lampung Indonesia, 34112
E-mail : rabizar41@gmail.com

Abstrak

Dalam islam menikah merupakan salah satu penyempurna ibadah yang mana
menikah memiliki lima hukum yang tertera dalam sudut pandang berbeda, menikah
dapat menjadi wajib, haram, Sunah, makruh dan juga mubah, hukum yang tertera
tersebut tergantung dengan kondisi dan situasi apa yang sedang dihadapi, didalam islam
juga dikatakan bahwa suatu ikatan pernikahan dapat memelihara dari suatu kerusakan,
dan tentunya dengan adanya pernikahan kan banyak manfaat yang dituai. Dimasa kini
banyak sekali pertanyaan pertanyaan yang muncul mengenai hukum dari menikahi
wanita yang mana telah berzina, di jurnal ini akan dibahas lebih rinci tentunya dengan
dan berdasarkan referensi yang dapat terpecaya dan dipertanggung jawabkan.

Abstrac

In Islam marriage is one of the perfections of worship in which marriage has five
laws listed in different points of view, marriage can be mandatory, haram, Sunnah,
makruh and also permissible, the listed law depends on the conditions and the situation
being faced, in Islam is also said that a marriage bond can maintain from a damage, and
of course with the marriage there are many benefits that are reaped. Nowadays there are
many questions that arise about the law of marrying women who have committed
adultery, in this journal will be discussed in more detail of course with and based on
references that can be trusted and accounted for.

A. Pendahuluan
Islam merupakan agama rahmat (universal). Agama yang mencakup semua sisi
kehidupan. Tidak ada masalah dalam kehidupan ini yang tidak diklarifikasi. Tidak ada
masalah yang tidak tersentuh oleh nilai-nilai Islam, meskipun masalah ini tampak kecil.
Itulah Islam, agama yang memberi rahmat bagi semua alam. 1 Dalam masalah
pernikahan, Islam telah berbicara. Dari mulai cara menemukan calon calon kriteria
hidup yang dekat, hingga bagaimana mengobatinya ketika secara resmi menjadi
pasangan suami-istri.
Apalagi Islam mengajarkan bagaimana cara mewujudkannya pesta pernikahan
atau walimatul dengan meriah, tetapi tetap mendapat endowmen dan tidak merusak
pedoman Sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, jadi pernikahannya sederhana tapi
tetap penuh pesona. Dalam afiliasi, Islam juga mendidik Anda untuk dapat memilih
teman di dalam asosiasi ilmu agama. Tunduk pada wanita yang menjadi sorotan sosial.
Berbicara tentang perkawinan atau pernikahan, tentu saja, ini mungkin tidak
terisolasi dari kerangka cinta kepada Tuhan, yang dilakukan oleh makhluk manusia
untuk membiakkan, melindungi dan melanjutkan kehidupan umat manusia itu sendiri.
Dalam ekspansi, sebagai ciptaan Tuhan yang juga diberikan insting seksual yang sama
kepada lawan jenis, pada saat itu pernikahan ini dapat memberikan cara yang aman dan
legal bagi pria dan wanita untuk hidup bersama di set dengan menjaga kehormatan
masing-masing. . Dalam dialek kita setiap hari, ada kosakata lain untuk mengatakan
kata nikah, yaitu perkawinan. Bagi mereka yang belum mengakses fonetik, tentu saja
ada sedikit kesulitan dalam mengklarifikasi dua kosakata yang hampir memiliki makna
komparatif dan makna yang sama.
Poin perdebatan sekarang biasanya dari seorang remaja. Kehidupan remaja adalah
kehidupan penuh tantangan. Dapat dipahami remaja sendiri sedang mencari hal-hal
yang baru untuk ditegaskan sebagai anak muda yang mendambakan. Karena itu,
perilaku menyimpang secara teratur terjadi seperti seks bebas dan perzinaan. Tidak adil
satu atau dua remaja, bahkan sekelompok anak muda dapat melakukan. Di sekitar hal
semacam ini bisa dijalani tata kehidupan memang bisa dibuang ke tempat sampah

1
Fatah Idris dan A. Ahmadi, Fiqh Islam Lengkap (Jakarta: Rineka Cipta, 1994).
umum. Koneksi yang lebih muda adalah mode yang Dijawab atau tren mode Barat,
pengaruhnya sangat negatif bagi remaja.
Salah satu penyebab perzinahan berubah dalam masyarakat yang menyebabkan
kehamilan sebelum pernikahan yang sah bukanlah keluarga setuju dengan upaya anak-
anak untuk melakukan pernikahan karena beberapa alasan. Kondisi ini menyebabkan
dorongan dari antara berfikir dengan cara yang lebih sederhana adalah dengan
membujuk hamil terlebih dahulu baru menikah. Kemudian mereka berpikir tanpa ragu
keluarga akan memberikan persetujuan. Keegoisan remaja untuk mencapai bukti cinta,
biasanya juga merupakan faktor penyebab keajaiban. Melalui budaya mungkar yang
berpacaran dengan isu remaja saat ini, perilaku seks bebas di antara judul dalam cinta
palsu kemudian berselingkuh, sebagai konfirmasi kebenaran cinta yang palsu.2
Pernikahan adalah salah satu aturan Allah SWT. yang menjadi Melakukan
perjalanan dan membuat permohonan ke dunia untuk membuat hidup memiliki harga
diri dan makna. Pernikahan adalah kasih sayang dasar dan harga diri yang tulus.
Pernikahan adalah kerja sama dalam kehidupan dan bahu membantu membingkai
sebuah keluarga. Sebagaimana anak muda menjelaskan bahwa, Islam tidak perlu
seorang pria Muslim dilemparkan ke dalam wanita zina.3
Adanya permasalahan ini banyak sekali pendapat-pendapat mengenai hukum
menikahi seorang wanita yang pernah melakukan zina, hal ini banyak yang memberikan
pendapatnya dan menjadi beredar, oleh sebab itu, penulis akan menyajikan jukum
menikahi seoarang wanita yang mana pernah melakukan zina dalam islam, yang
diperoleh dari sumber-sumber yang telah digali secara rinci berdasarkan ayat yang
memberikan dan memperkuat argumentasi lebih.

B. Pengertian Menikah Dalam Islam


2
M, Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1999).
3
A. Syarifuddin, Hukum Pernikahan Islam di Indonesia. Antara Fiqh Munakahat dan Undang-
Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2006).
“Kata pernikahan berasal dari bahasa arab, yakni an-nikah. Secara bahasa, kata
nikah memiliki dua makna. Pertama, nikah berarti jimak, atau hubungan seksual. Selain
itu, nikah juga bisa bermakna akad, yaitu ikatan atau kesepakatan”
Adapun secara istilah, definisi nikah berbeda-beda menurut ulama fikih dari empat
mazhab.4
a. mahzab Hanafi: Pernikahan mungkin merupakan kontrak yang menyiratkan
mendapatkan hak kepemilikan untuk melakukan hubungan seksual dengan
seorang wanita yang tidak memiliki pencegah untuk memasang syariah.
b. mahzab Maliki : Pernikahan bisa menjadi kontrak yang melegitimasi hubungan
seksual dengan wanita yang bukan mahram, bukan majus, bukan budak, dan
penyalin, dengan sighah. Pendapat
c. Mahzab syafii: Perkawinan mungkin merupakan kontrak yang menggabungkan
pengadaan hubungan seksual dengan konjungsi lafaz, tazwij atau lafaz yang
implikasinya identik.
d. Mazhab Hambali: Nikah adalah akad perkawinan atau akad yang diakui di
dalamnya lafaz nikah, tazwij dan lafaz yang punya makna sepadan.
Secara bahasa menikah itu berasal dari bahasa Arab yakni An nikahun dan yang
berasal dari istilah fikih menggunakan istilah nikah atau zawaj, 5 sedangkan jika ditelisik
dari bahasa indonesia penikahaan disebut dengan istilah perkawinan. Namun saat ini
banyak yang membedakan antara pernikahan dengan perkawinan, namun hal itu
sebenarnya tidak berbeda hanya terletak kepada penarikan akar katanya saja.6
Perkawinan memiliki arti bahwa ada hubungan antara pria dan wanita yang
mengerti dalam kontrak atau pemahaman, di mana awal hukum hubungan adalah
haram, menjadi hubungan hukum wajib. Dimana hubungan tersebut menunjuk pada
pembentukan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah. Karenanya, masing-masing
pihak memiliki tugas masing-masing yang harus dipenuhi. Di Indonesia perkawinan ini
telah terlalu diarahkan pada hukum, yang menjelaskan arti pernikahan atau perkawinan

4
Ahmad Sarwat, Ensiklopedia Fikih Indonesia: Pernikahan (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2019).
5
Kamal Mukhtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan (Jakarta: Bulan Bintang, 1974).
6
Sudarsono, Hukum Keluarga Nasional (Jakarta: Rineka Cipta, 1997).
adalah "ikatan internal dan eksternal antara seorang pria dan wanita sebagai pasangan
dan pasangan, dengan alasan membentuk keluarga yang ceria dan abadi (keluarga) serta
berdasarkan pada Ketuhanan yang maha esa.
“Sedangkan Undang-undang perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dalam memberikan
definisi perkawinan sebagai berikut. Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara
seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan yang Maha
Esa. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu”
Dalam klarifikasi UU No. 1 tahun 1974, dijelaskan bahwa, sebagai negara
berdasarkan Pancasila, di mana untuk memulai dengan undang-undang adalah, "Tuhan
Yang Mahakuasa" maka pernikahan mengandung hubungan yang sangat dekat dengan
agama atau kepercayaan, sehingga pernikahan tidak hanya memiliki komponen
kelahiran (fisik) tetapi komponen internal (dunia lain) yang juga di dalamnya memiliki
bagian penting, untuk secara spesifik untuk tujuan membentuk perdamaian keluarga
(saki nah), berbagi rasa sayang (mawaddah), dan saling berbagi cinta (rahmah).
Dari pemahaman ini dapat dipahami, bahwa selain diizinkan untuk melakukan interupsi
lebih lanjut dalam pemahaman ini berisi sudut pandang hasil yang sah, untuk saling
mendapatkan hak dan komitmen, dan poin untuk mengadakan hubungan berdasarkan itu
akan ideal jika Anda menawarkan bantuan, mengamankan, memastikan, mencintai dan
memuja. Di Indonesia, sebagian besar orang melihat bahwa hukum akarnya adalah
mubah perkawinan. Biasanya banyak mempengaruhi kesimpulan Ulama 'Syafi'i.
Dari beberapa resolusi di atas Sebagian besar peneliti fiqh klasik (salaf)
menerjemahkan pernikahan sebagai kontrak yang sesuai dengan alasan kontrak seorang
pria (zauj) dapat melakukan hubungan seksual (jima ') secara sah (halal) dengan seorang
wanita (zaujah) . Kemajuan Islam dalam periode klasik diperpanjang dari tahun (650-
1250).7
C. Tujuan Dan Hukum Menikah Dalam Islam

7
Djaman Nur, Fiqh Munakahat (Semarang: Dina Utama Semarang, 1993).
Pria dan wanita adalah satu jiwa. Satu dalam karakteristik penciptaannya,
meskipun ada fakta bahwa ada perbedaan dalam hal kapasitas dan kewajiban, tetapi
perbedaan ini mengandung kedalaman makna. Salah satunya adalah bahwa satu pihak
merasa damai dan nyaman di pihak lain untuk pasangan mereka.
Perkawinan adalah alasan Syariah yang dibawa Nabi Saw, untuk lebih spesifik
jalannya masalah manusia dalam kehidupan bersama dan ukhrowi. Dengan persepsi
ceroboh, pada badan pengajar Yurisprudensi, dapat dilihat bahwa ada empat jalur
tindakan, untuk lebih spesifik: Rub 'alibadat, yang mengatur hubungan manusia sebagai
asosiasi dengan multiply. Gosok 'al-muamalat, yang mengawasi hubungan sosial
manusiawi yang mendalam dengan bergabung bersama untuk memenuhi kebutuhan
yang biasa dihabiskan. Gosok 'al-munakahat, itulah yang mengatur hubungan manusia
dalam Lingkungan Keluarga. Dan Rub 'al-jinayat, yang mengatur perisai dengan cara
yang efisien secara sosial yang menjamin ketentraman.8
Alasan pernikahan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan fisik manusia
dan kehidupan duniawi lainnya, serta untuk membentuk keluarga dan mendukung serta
meneruskan keturunan dalam menjalani kehidupannya di dunia ini, terlebih lagi
mengantisipasi perzinahan, sehingga dapat membentuk kedamaian dan ketenangan jiwa
untuk kepedulian, kedamaian keluarga dan masyarakat.9
Nilai asasi yang meliputi Harga diri yang akan disepakati saat pasangan tenang,
Jika itu diwarnai kehidupan domestik, pada saat itu ia akan memberikan produk-produk
manusia yang unggul, era yang berkembang dalam keluarga yang pasti dapat
mengharapkan kewajiban dan memberikan persetujuan untuk peradaban manusia.

Nikah memiliki hukum yang berbeda-beda tergantung kepada kondisi yang


dihadapi, hukum menikah dalam islam yaitu:

8
Tihami dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat (Jakarta: Rajawali Pers, 2010).
9
Mardani, Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011).
1. Wajib

Menikah dapat menjadi wajib apabila seseorang tersebut sudah matang atau siap dalam
segala hal atau“Apabila seseorang sudah mampu untuk menikah, kebutuhan biologisnya
sudah mendesak dan dia takut terjerumus kepada perzinahan. Maka menikah untuk
menjauhkan diri dari hal yang haram adalah suatu hal yang wajib”, seperti firman Allah
yakni:10

َ H‫ين يَ ۡبتَ ُغ‬


‫ون‬H ۡ َ‫ا َحتَّ ٰى ي ُۡغنِيَهُ ُم ٱهَّلل ُ ِمن ف‬HH‫ون نِ َكا ًح‬
َ ‫لِ ِۗۦه َوٱلَّ ِذ‬H ‫ض‬ َ ‫ ُد‬H‫ين اَل يَ ِج‬ َ ‫ف ٱلَّ ِذ‬ِ ِ‫تَ ۡعف‬H ‫َو ۡليَ ۡس‬
ِ ‫وهُم ِّمن َّم‬HHُ‫ ٗر ۖا َو َءات‬HH‫اتِبُوهُمۡ إِ ۡن َعلِمۡ تُمۡ فِي ِهمۡ َخ ۡي‬HH‫ب ِم َّما َملَ َك ۡت أَ ۡي ٰ َمنُ ُكمۡ فَ َك‬
ِ ‫ال ٱهَّلل‬ َ َ‫ۡٱل ِك ٰت‬
‫ض‬
َ ‫ َر‬H‫وا َع‬H ُّ ‫ٓا ِء إِ ۡن أَ َر ۡد َن تَ َح‬HH‫وا فَتَ ٰيَتِ ُكمۡ َعلَى ۡٱلبِ َغ‬H
ْ H‫ ٗنا لِّتَ ۡبتَ ُغ‬H ‫ص‬ ْ Hُ‫ي َءاتَ ٰى ُكمۡۚ َواَل تُ ۡك ِره‬ ٓ ‫ٱلَّ ِذ‬
٣٣ ‫يم‬ٞ ‫ور َّر ِح‬ ٞ ُ‫ۡٱل َحيَ ٰو ِة ٱل ُّد ۡنيَ ۚا َو َمن ي ُۡك ِرهه َُّّن فَإِ َّن ٱهَّلل َ ِم ۢن بَ ۡع ِد إِ ۡك ٰ َر ِه ِه َّن َغف‬
Artinya:

“Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan budak-budak yang
kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan
mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada
mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah
kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri
mengingini kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. Dan
barangsiapa yang memaksa mereka, maka sesungguhnya Allah adalah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu” (Q.S
An-Nur: 33)
2. Sunnah
Individu yang telah disunahkan atau dianjurkan untuk menikah adalah seseorang
yang sudah memiliki kapasitas untuk menikah dan sekarang dapat menjaga diri dari

10
Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah (Beirut: Dar Al-Fikr, 1992).
segala tindakan yang dilarang. Rasulullah S.AW melarang seseorang untuk hidup
sendiri tanpa menikah.
3. Makruh
Seseorang akan menikah dan belum masuk akal untuk menikah, belum
memiliki keinginan untuk menikah, dan belum memiliki pengaturan untuk menikah.
Tetapi ada juga individu yang memiliki pengaturan untuk membujuk menikah, tetapi
cacat fisik, seperti kelemahan, penyakit, dan kekurangan fisik lainnya.
4. Haram
Seseorang memang dilarang untuk menikah terlepas dari kenyataan bahwa
sudah ada kemampuan, tetapi jika Dia melakukan pernikahan dia akan menyebabkan
atau memberikan kemudharatan kepada pasangannya, seperti; orang gila, orang yang
suka membahayakan, atau memiliki kualitas yang dapat membahayakan pasangan
mereka atau bahkan individu yang ada di sekitarnya, atau terlalu individu yang tidak
dapat membentuk penutupan memenuhi kelahiran internal pasangannya, juga kebutuhan
biologis tidak mendesak, di saat itu orang tersebut dilarang menikah.
“Dari beberapa definisi yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa
suatu hukum pernikahan dapat berubah sewaktu-waktu sesuai dengan keadaan orang
yang akan melakukan pernikahan tersebut, sesuai dengan penjelasan sebelumnya.
Apabila dia sudah memenuhi kriteria dengan beberapa hukum di atas, maka dia harus
melaksanakannya, karena dalam Islam, pernikahan merupakan sesuatu yang sakral dan
juga merupakan suatu bentuk pengamalan ibadah kita kepada Allah S.W.T”.

D. Pengertian Dan Hukum Zina


Menurut fuqaha dari kalangan mazhab Hanafi, zina adalah hubungan seksual yang
dilakukan oleh seorang pria secara sadar terhadap wanita yang diajak oleh kepentingan
seksual dan di antara mereka tidak ada atau tidak ada ikatan perkawinan yang sah atau
ikatan namun perkawinan yang meragukan, untuk pernikahan khusus yang diambil jauh
dari legitimasinya seperti ikatan pernikahan tanpa wali nikah, tanpa saksi, atau kawin
mut’at,11
“Menurut Ibnu Rusyd, zina adalah setiap persetubuhan yang terjadi bukan karena
pernikahan yang sah, bukan karena syubhat, dan bukan pula karena pemilikan (budak).
Secara garis besar, pengertian ini telah disepakati para ulama Islam, meski mereka
masih berselisih pendapat tentang mana yang dikatakan syubhat yang menghindar had
dan mana pula yang tidak menghindarkan hukuman tersebut”12
Sedangkan zina memiliki hukum haram yang mana perbuatan keji dan
mengakibatkan adanya had, hal ini berdasarkan Firman Allah:

َ ‫ٱلزنَ ٰۖ ٓى إِنَّهۥُ َك‬


٣٢ ‫ان ٰفَ ِح َش ٗة َو َسٓا َء َسبِياٗل‬ ْ ‫َواَل تَ ۡق َرب‬
ِّ ‫ُوا‬
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati zina; sesungguhnya zina itu adalah suatu
perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk”. (Al-Isra:32)
“Hadd zina bagi perawan yaitu hukuman cambuk. Sementara hukuman rajam bagi
orang muhshan telah disepakati para ulama. Bahkan hukumnya telah ditetapkan
berdasarkan dalil hadits mutawatir yang diterima seutuhnya, di mana Rasulullah
bersabda: “pernah menghukum rajam Ma‟iz bin Malik al-Aslami dan seorang
perempuan keturunan Ghanidiyah, Beliau pernah menghukum rajam seorang lelaki dari
kabilah Aslam, seorang lelaki keturunan Yahudi, dan seorang perempuan.”

E. Hukum menikahi wanita yang telah berzina


Sudah sangat jelas tertera dalam Al-Quran bahwasanya pezina itu tidak akan
menikah kecuali dengan sesama pezina pula atau juga oran yang musrik, dan sudah
dijelaskan bahwa diharamkan bagi kaum beriman menikahi maupun dinikahi oleh
mereka, hal ini telah dijelaskan oleh Allah dalam Firmannya:

11
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 6, cet. 1 (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve,
1996).
Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqh Para Mujtahid, Cet. III (Jakarta: Pustaka
12

amani, 2007).
‫ۚك‬ٞ ‫ ِر‬H ‫ٓا إِاَّل َزا ٍن أَ ۡو ُم ۡش‬HHَ‫ةُ اَل يَن ِك ُحه‬H َ‫ ِر َك ٗة َوٱل َّزانِي‬H ‫ةً أَ ۡو ُم ۡش‬H َ‫ َّزانِي اَل يَن ِك ُح إِاَّل َزانِي‬H ‫ٱل‬
٣ ‫ين‬ َ ِ‫ك َعلَى ۡٱل ُم ۡؤ ِمن‬ َ ِ‫َوحُرِّ َم ٰ َذل‬
Artinya:
Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau
perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh
laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas
oran-orang yang mukmin. (Q.S. An-Nur:03).
“Ini berarti, seorang pezina tidak akan berzina kecuali dengan pezina seperti
dirinya atau orang musyrik. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, ayat ini
merupakan kabar dari Allah, seorang pezina tidak akan berzina kecuali dengan pezina
atau orang musyrik. Dalam artian, tidak akan ada yang mau mengikuti kemauannya
untuk berzina kecuali pezina”
Namun ada juga pendapat yang menyatakan bahwa ayat diatas telah dimansukh atau
telah dihapus hukumnya oleh Q.S An-Nur:32 yang mana berbunyi:

‫ َرٓا َء ي ُۡغنِ ِه ُم‬H َ‫وا فُق‬H


ْ Hُ‫ٓائِ ُكمۡۚ إِن يَ ُكون‬HH‫ا ِد ُكمۡ َوإِ َم‬HHَ‫ين ِم ۡن ِعب‬ َّ ٰ ‫ُوا ٱأۡل َ ٰيَ َم ٰى ِمن ُكمۡ َوٱل‬
َ ‫صلِ ِح‬ ْ ‫َوأَن ِكح‬
٣٢ ‫يم‬ٞ ِ‫ضلِ ِۗۦه َوٱهَّلل ُ ٰ َو ِس ٌع َعل‬
ۡ َ‫ٱهَّلل ُ ِمن ف‬
Artinya:
Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang
layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu
yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-
Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (Q.S An-Nur:32)
Ayat diatas memberikan gambaran mengenai membedakan orang yang sendirian,
apakah orang tersebut telah melakukan zina ataupun tidak melakukan atau dalam artian
belum. Sehingga orang yang telah melakukan zina baik itu perempuan maumpun dia
merupakan seorang laki-laki, yang termasuk golongan senduirian yang mana memiliki
perintah atau diperintahkan untuk dinikahi
Meskipun harus dipertimbangkan, penolakan untuk menikahi seorang pezina
adalah pada kesempatan bahwa pezina diketahui secara bebas atau individu yang perlu
menikah pada saat ini telah melakukan zina dan belum diketahui . Sementara itu, jika
orang yang menikah tidak mengetahui orang yang akan dia nikahkan telah melakukan
zinan, perkawinan itu sah. Selama individu yang terikat dengan individu yang
melakukan zina, baik pria maupun wanita, tidak tahu kaki tangan mereka yang telah
melakukan zina, pernikahan itu sah menurut hukum. Selain itu, jika diketahui bahwa
orang yang telah melakukan zina telah menebus atau bertaubat dan kembali ke jalan
Allah, dapat dan secara sah menikah dengannya.
Sedangkan untuk orang perempuan ataupun laki-laki yang mana telah melakukan
zina, dan kemudian ia bertaubat dengan bersungguh-sungguh atau nasuha, hendaknya ia
menutup aib yang pernah dilakukannya dan menjaani kehidupan yang lebih baik dan
diridhai oleh Allah bahkan tidak memberi tahukan aib tersebut kepada pasanganya,
karena pada sesungguhnya Allah telah menutub aibnya tersebut. Adapun jika
mengetahui seseorang yang pernah melakukan zna dan seseorang tersebut telah
bertaubat maka hendaknya tidak menyebarkan atau memberitahukan aib, dan jika
seseorang mengetahui orang lain yang melakukan perbuatan tersebut maka hendaknya
dinasihati dan untuk menyadarkan dirinya tersebut.
Jadi dalam masalah seorang pria yang melakukan perzinahan dengan saudara
perempuan dari seorang wanita dua kali. Ulama Hanafiyah dan Hanbali berpendapat,
seorang lelaki yang melakukan perzinaan wanita lain (kerabat) adalah hal yang tabu
bagi orang tua dan ayahnya, tidak diperbolehkan bagi wanita untuk menikahi ayah dan
anak. Selain itu, anak laki-laki tidak boleh menikahi anak perempuan yang berzina, baik
yang lahir. Jadi, menikah dengan ibu dan nenek perempuan adalah dilarang, dan
baginya saudara perempuan yang melakukan zina diizinkan. Adapun Ulama Syafi'i, dan
pertarungan Ulama Maliki, satu pria menikahi wanita atau wanita yang tidak dicurangi
haram, tetapi seolah-olah makruh hukum.
“Selain keterangan pendapat Imam Abu Hanifah yang telah dikutip oleh al-
Mawardi di atas, Abdurrahman al-Jaziri juga mengutip pendapatnya Imam Abu Hanifah
dalam Kitabnya al-Fiqh „ala alMadzahib al-„Arba‟ah, yaitu apabila seorang lelaki yang
melakukan zina dengan sorang perempuan, maka diharamkan baginya untuk menikahi
orang tuanya sampai ke atas (ibu, nenek dst) dan anaknya sampai ke bawah (anak, cucu
dst)”.
“Maka dengan demikian tidak diperbolehkan bagi ayahnya orang laki-laki yang
berzina untuk menikahi perempuan yang telah di zinahi oleh anak laki-lakinya tersebut,
begitu juga bagi anak laki-laki yang berzina tidak boleh menikahi terhadap perempuan
yang telah di zinahi oleh ayahnya”

F. Penutup
Perkawinan memiliki arti bahwa ada hubungan antara pria dan wanita yang
mengerti dalam kontrak atau pemahaman, di mana awal hukum hubungan adalah
haram, menjadi hubungan hukum wajib. Dimana hubungan tersebut menunjuk pada
pembentukan keluarga sakinah, mawaddah wa rahmah,
Lalu mengenai hukum pernikahan itu sesuai dengan kondisi yang ada atau yang
sedang dihadapi, setiap hukum memiliki alasan yang berbeda dalam menentukan hukum
pernikahan, selain mengenai hukum pernikahan sendiri, dibahas pula mengenai hukum
menikahi wanita yang pernah melakukan zina.
Seperti yang telah kita ketahui bahwa hukum zina itu adalah haram, dan yang
melakukan akan mendapat had atau hukuman atas apa yang dilakukan tersebut. Sealin
itu Sudah sangat jelas tertera dalam Al-Quran bahwasanya pezina itu tidak akan
menikah kecuali dengan sesama pezina pula atau juga oran yang musrik, dan sudah
dijelaskan bahwa diharamkan bagi kaum beriman menikahi maupun dinikahi oleh
mereka, hal ini telah dijelaskan oleh Allah dalam Firmannya.
G. Referensi

A. Syarifuddin. Hukum Pernikahan Islam di Indonesia. Antara Fiqh Munakahat dan


Undang-Undang Perkawinan. Jakarta: Kencana, 2006.
Abdul Aziz Dahlan. Ensiklopedi Hukum Islam, jilid 6, cet. 1. Jakarta: Ichtiar Baru Van
Hoeve, 1996.
Ahmad Sarwat. Ensiklopedia Fikih Indonesia: Pernikahan. Jakarta: PT Rineka Cipta,
2019.
Djaman Nur. Fiqh Munakahat. Semarang: Dina Utama Semarang, 1993.
Fatah Idris, dan A. Ahmadi. Fiqh Islam Lengkap. Jakarta: Rineka Cipta, 1994.
Ibnu Rusyd. Bidayatul Mujtahid, Analisa Fiqh Para Mujtahid, Cet. III. Jakarta: Pustaka
amani, 2007.
Kamal Mukhtar. Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan. Jakarta: Bulan Bintang,
1974.
M, Yunus. Hukum Perkawinan dalam Islam. Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1999.
Mardani. Hukum Perkawinan Islam di Dunia Islam Modern. Yogyakarta: Graha Ilmu,
2011.
Sayyid Sabiq. Fiqh Sunnah. Beirut: Dar Al-Fikr, 1992.
Sudarsono. Hukum Keluarga Nasional. Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Tihami dan Sohari Sahrani. Fikih Munakahat. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Anda mungkin juga menyukai