1. Mahfud MD mengatakan hubungan antara politik dan hukum terdapat tiga
asumsi yang mendasarinya, yaitu: a. Hukum determinan menentukan atas politik, dalam arti hukum harus menjadi arah dan pengendali semua kegiatan politik. b. Politik determinan atas hukum, dalam arti bahwa dalam kenyataannya, baik produk normatif maupun implementasi penegakan hukum itu, sangat dipengaruhi dan menjadi dependent variable atas politik. Contoh: undang- undang pilpres, usul IKAHI ditolak IKAHI, fatwa wirjono tentang masyumi. c. Politik dan hukum terjalin dalam hubungan yang saling bergantung seperti bunyi adagium, "politik tanpa hukum menimbulkan kesewenang-wenangan, hukum tanpa politik akan jadi lumpuh”. Contoh: hukum dan politik independen atau interdeterminan peralihan orba ke orde reformasi. Mahfud MD mengatakan, bahwa relasi hukum dan politik dapat dibagi menjadi tiga model hubungan. Pertama sebagai das sollen, hukum determinan atas politik karena setiap agenda politik harus tunduk pada aturan-aturan hukum. Kedua, sebagai das sein, politik determinan atas hukum karena dalam faktanya hukum merupakan produk politik sehingga hukum yang ada di depan kita tidak lebih dari kristalisasi dari kehendak kehendak politik yang saling bersaing. Ketiga, politik dan hukum berhubungan secara interdeterminan karena politik tanpa hukum akan zalim sedangkan hukum tanpa pengawalan akan lumpuh. Melihat kategorisasi yang ada secara normatif konsep relasi ke-3 adalah yang paling sesuai. Akan tetapi, kalau melihat dari iklim politik indonesia. Saat ini negara kita sedang terjadi relasi das sein di mana politisasi dominan terhadap produk hukum. Sehingga produk yang dihasilkan tak lebih dari kristalisasi tawar- menawar antar elite politik. Ilmu hukum juga merupakan ilmu bantu dalam ilmu politik. Hal ini dapat dipahami karena sejak dahulu terutama di eropa barat ilmu hukum dan politik memang sudah demikian erat. Kedua-duanya memiliki persamaan daya "mengatur dan memaksa kan undang-undang" (law enforcement) yang merupakan salah satu kewajiban negara yang begitu penting. Meskipun dari segi das sollen ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari segi "das sein", terbukti bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. 2. Hukum represif merupakan hukum sebagai alat kekuasaan Represif, hukum tunduk pada politik kekuasaan, ketidaktaatan dipandang sebagai penyimpangan, kritisme dipandang sebagai ketidak setiaan, mempertahankan status quo penguasa. Perhatian paling utama hukum Represif adalah dengan dipeliharanya atau diterapkannya tata tertib, ketenangan umum, pertahanan otoritas dan penyelesaian pertikaian. Meskipun hukum Represif dihubungkan dengan kekuasaan namun ia tidak boleh dilihat sebagai suatu tanda kekuatan kekuasaan. Hukum otonom adalah hukum sebagai Pranata yang mampu menetralisir/menjinakkan Represif dan melindungi integritas hukum itu sendiri titik tujuan hukum adalah legitimasi, hukum merdeka dari politik dan terdapat pemisahan kekuasaan timbulnya kritisme hukum. Hukum otonom memfokuskan perhatiannya pada kondisi sosial empiris dari kekuasaan berdasar hukum realitas- realitas institusional dalam mana cita-cita ini diejawantahkan, yaitu potensi- potensi khusus institusi-institusi ini untuk memberikan sumbangan kepada kepantasan dalam kehidupan sosial, tetapi juga limitasi-limitasinya. Hukum responsif adalah hukum sebagai suatu sarana respons terhadap ketentuan-ketentuan sosial dan aspirasi masyarakat. Tujuan hukum dalam kompetisi; legitimasi terletak pada keadilan substantif terdapat integrasi antara politik dan hukum. Pilihan untuk menegakkan supremasi hukum kini kembali kepada pemerintah itu sendiri dan para penegak hukumnya. Apakah Indonesia akan tetap menonjolkan kepartaian, lembaga parlemen dan dominasi dari eksekutif sebagaimana konsep hukum otoriter, atau beralih kepada konsep hukum responsif. Di mana hukum ditegakkan bukan saja hanya menjalankan undang-undang tetapi harus ada kepekaan sosial. Karena faktanya, masih banyak penegak hukum yang mengedepankan "rules" saja, tidak kepada "logic" nya. Seperti halnya khusus 10 anak yang ditangkap di Bandara Soekarno Hatta dengan tuduhan bermain judi ataupun kasus Raju serta kasus Prita Mulyasari yang sempat menarik perhatian pabrik. Nampak sekali bahwa hukum ditegakkan benar-benar mengedepankan "rules" tidak kepada "logika". Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kaitan hukum responsif kepada penegakan hukum di Indonesia sangat erat kaitannya. Bila penegakan hukum di Indonesia ingin segera diwujudkan, nampaknya konsep hukum responsif akan jauh lebih baik ketimbang menggunakan konsep hukum Represif dan konsep hukum otonom. 3. Arah pembangunan hukum masa depan harus mencakup lima aspek, sebagai berikut; a. Pembangunan hukum berlandaskan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia Dalam hal pembangunan hukum di segala sektor senantiasa harus melandaskan diri pada semangat tekad jiwa nasionalisme para founding fathers bangsa yang lebih mengedepankan kesatuan dan persatuan bangsa yang terbingkai dalam negara kesatuan republik Indonesia. Seluruh aspek sistem ketatanegaraan harus tetap dalam bingkai NKRI sehinga dapat memproteksi adanya disintegrasi dan separatisme yang berpotensi memecah belah keutuhan bangsa. Apabila dikaji secara lebih mendalam, pembagunan hukum tidak dapat dilepaskan dari Pembukaan UUD NRI Tahun 1945 yang telah menjadi modus vivendi (kesepakatan luhur) bangsa Indonesia untuk hidup bersama dalam ikatan satu bangsa yang majemuk. Ia juga dapat disebut sebagai tanda kelahiran (certificate of birth) yang di dalamnya memuat pernyataan kemerdekaan (proklamasi) serta identitas diri dan pijakan melangkah untuk mencapai cita-cita bangsa dan tujuan nasional.
Dalam penyelenggaraan negara hukum, harus dibangun suatu sistem
hukum nasional yang: 1) Bertujuan untuk menjamin integrasi bangsa dan negara baik secara ideologis maupun secara teritorial; 2) Berdasarkan atas kesepakatan rakyat baik diputuskan melalui musyawarah mufakat maupun pemungutan suara, dan hasilnua dapat diuji konsistensinya secara yuridis dengan rechtsidee; 3) Bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial; 4) Bertujuan untuk mewujudkan toleransi beragama yang berkeadaban, dalam arti tidak boleh mengistimewakan atau mendiskriminasikan kelompok-kelompok atau golongan-golongan tertentu.
b. Pembangunan hukum berlandaskan pada Welfare State
Sebagaimana telah diamanatkan oleh Founding Fathers Negara Kesatuan Republik Indonesia yang tertuang dalam dasar konstitusi Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Indonesia adalah negara kesejahteraan (Welfare State). Rumusan konsep Negara Welfare State tersebut termaktub dalam Pembukaan (Preambule ) UUD NRI Tahun 1945 alinea ke-empat yang berbunyi: “Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan. Tercapainya kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia adalah salah satu cita-cita yang diinginkan oleh para pendiri negara Indonesia.Proses pembangunan yang hanya memberikan kesempatan bagi sebagian kecil kelompok masyarakat untuk menikmati hasil-hasil pembangunan dan meminggirkan kelompok masyarakat lainnya adalah pengingakaran terhadap cita-cita tadi. Para peneliti ekonomi kerakyatan berpandangan bahwa proses pembangunan ekonomi di Indonesia telah semakin menjauh dari cita-cita keadilan sosial, kemakmuran dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini terjadi karena kebijakan pembangunan yang tidak berpihak pada rakyat dan kecenderungan pada ekonomi pasar sehingga siapa yang kuat akan mampu mengakses sumber- sumber ekonomi produktif lebih banyak sedangkanrakyat lebih dianggap sebagai obyek pembangunan sehingga dibiasakan untuk bersikap pasif dan pasrah menerima keadaaan. Konsekuensinya, kemiskinan dan ketimpangan sosial muncul sebagai akibat dari proses pembangunan tadi. c. Pembangunan hukum berlandaskan pada asas kemanusiaan Dalam kekuasaan ada segitiga yang satu sama lain sukar dapat berjalan beriringan secara simetris yaitu politik, hukum dan kemanusiaan. Hubungan antara politik dan kemanusiaan bagi kucing dan tikus, Keduanya tidak mungkin dapat disandingkan. Politik kerap hanya menjadikan kemanusiaan sebagai propaganda untuk meraih kemenangan. Sekedar jargon, namun ketika maksud telah tercapai, kemanusiaan kemudian menjelma menjadi kosakata asing. Dalam masyarakat yang berdemokrasi, hukum seharusnya berada di atas politik, akan tetapi tidak jarang hukum diintervensi oleh politik demi langgengnya kekuasaan. Bahkan hukum diciptakan atau direkayasa untuk menjadi payung politik agar terlegitimasi. Hukum seharusnya ditegakkan sesuai aturan demi kemanusiaan, tetapi penerapan yang kaku dan positivistik justru menciptakan ketidakadilan. Dalam arah pembangunan hukum nasional yang berlandaskan konstitusi dan kemanusiaan, keadilan haruslah dapat diakses semua kalangan masyarakat termasuk juga kepastian dalam mendapatkan keadilan. Lamanya proses hukum di pengadilan terkadang membuat masyarakat semakin sulit meraih keadilan hakiki. Oleh karena itu perlu terobosan hukum agar peradilan tetap konsisten menerapkan asas peradilan cepat, sederhana, dan berbiaya ringan. Dengan cara demikian akan terhindarkan pula adanya proses peradilan yang berlarut-larut yang mengakibatkan berlarut-larutnya pula upaya penegakan keadilan yang pada akhirnya justru dapat menimbulkan pengingkaran terhadap keadilan itu sendiri. Keadilan yang tertunda adalah keadilan yang tertolak (“justice delayed justice denied”). Dengan kata lain, rasa keadilan yang ditunda adalah sama halnya dengan menciptakan ketidakadilan. d. Pembangunan hukum bertitik tolak pada affirmative action (tindakan afirmatif) Dalam Pembukaan UUD 1945, dinyatakan secara eksplisit bahwa salah satu dasar terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah untuk mencapai keadilan sosial (social justice) bagi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai oleh konsep akses terhadap keadilan yaitu mencapai suatu keadilan sosial. Sistem ekonomi dan pembangunan yang tidak liberalistik dan menindas kaum lemah dan terpinggirkan. Satu hal lain adalah tentang perlunya affirmative action. Dalam masyarakat yang penuh dengan ketidaksamaan dalam banyak aspek kehidupan, menyatakan secara formal (oleh hukum) tentang keharusan adanya kesamaan hukum di antara para anggota masyarakat, adalah sama saja dengan mempertahankan atau mengabadikan ketidaksamaan yang nyata dalam masyarakat.Tindakan afirmatif berarti keberanian untuk melakukan pembebasan dari praktik konvensional dan menegaskan satu cara yang lain (melakukan terobosan). Dalam rangka mewujudkan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945, maka kesinambungan peningkatan pelaksanaan pembangunan nasional yang berasaskan kekeluargaan harus senantiasa dipelihara dengan baik melalui sistem dan pranata hukum yang modern, tetapi tetap berakar pada nilai-nilai wawasan kebangsaan dan kepentingan nasional. Oleh karena itu, pentingnya hukum untuk dibangun agar hukum dapat benar benar menjadi sarana pembangunan dan pembaharuan masyarakat yang kita harapkan. Hukum dapat berperan sebagai objek pembangunan dalam rangka mewujudkan hukum yang ideal sesuai dengan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Tetapi juga hukum dapat menjadi subjek pembangunan manakala hukum itu telah berfungsi di masyarakat sebagai penggerak dan pengaman pembangunan dan hasil-hasilnya.
e. Pembangunan hukum mencerminkan checks and balances
Sistem Presidensial yang dianut politik Indonesia telah membentuk sebuah konfigurasi lembaga negara yang saling mengontrol dan mengimbangi satu sama lain. Pelaksanaan checks and balances tersebut tidak hanya terjadi antara lembaga eksekutif dan legislatif saja tapi juga merata kepada lembaga negara lain seperti yudikatif dan auditatif sebagaimana diatur dalam konstitusi. Konsep checks and balances memungkinkan suatu cabang kekuasaan negara tertentu untuk menjalankan fungsi dan cabang kekuasaan negara lainnya. Di Indonesia, konsepsi dan implementasi checks and balances diatur pada UUD NRI 1945. Secara definitif, UUD NRI 1945 menata siklus checks and balances antar lembaga negara agar bisa saling mengawasi secara efektif. Pemahaman sistem checks and balances dalam konteksi ini antara lain adalah bahwa antara lembaga negara harus saling kontrol dan saling mengimbangi. Dalam penyelenggaraan negara tidak lagi ada lembaga yang tertinggi dari lembaga negara yang lain. Semua lembaga negara mempunyai kedudukan yang sejajar. Semua lembaga negara dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan yang ditentukan secara proporsional oleh Undang-Undang Dasar yang dielaborasi lebih lanjut ke dalam berbagai macam undang-undang. 4. Menurut Kelsen, norma yang validitasnya tidak dapat diperoleh dari norma lain yang lebih tinggi disebut sebagai norma dasar. Semua norma yang validitasnya dapat ditelusuri ke satu norma dasar yang sama membentuk suatu sistem norma, atau sebuah tatanan norma. Norma dasar yang menjadi sumber utama ini merupakan pengikat diantara semua norma yang berbeda-beda yang membentuk suatu tatanan norma. Bahwa suatu norma termasuk ke dalam sistem suatu norma, ke dalam tatanan normatif tertentu, dapat diuji hanya dengan mengonfirmasikan bahwa norma tersebut memperoleh validitasnya dari norma dasar yang membentuk tatanan norma tersebut.