Anda di halaman 1dari 11

GERAKAN MAHASISWA REVOLUSIONER :

TEORI DAN PRAKTEK


Oleh Ernest Mandel

Pengantar
Pada tahun 1968, seorang Marxist dari Belgia, Ernest  Mandel berbicara  di depan
33 perguruan tinggi di Amerika  Serikat  dan Kanada, dari Harvard ke Berkeley dan dari
Montreal ke Vancouver. Lebih  dari 600 orang memadati Education Auditorium di  New
York University   pada tanggal  21  September  1968  untuk  menghadiri "Majelis
Internasional Gerakan Mahasiswa Revolusioner". Presentasi  Mandel di tempat itu
dipandang sebagai kejadian yang  sangat menonjol oleh majelis dan salah satu saat penting
dari  seluruh perjalanannya.  Pidato  dan beberapa kutipan dari   diskusi   yang mengikutinya
menjadi dua bagian pertama dari pamflet ini.
Pidato  Mandel  adalah polemik yang  sangat  hebat  terhadap kecenderungan
"aktivisme" dan "spontanisme", yang belakangan  ini muncul  di  kalangan  kaum radikal di
dunia  Barat.  Ia kemudian berbicara  mengenai konsepsi Marxis tentang integrasi yang
tidak terpisahkan  antara teori dan praktek.  Selama  diskusi,  Mandel menjawab sejumlah
pertanyaan yang kontroversial di kalangan kaum radikal  dengan   argumen  panjang lebar.
Beberapa  di antaranya berbicara tentang azas sosial ekonomi dari Uni Sovyet,  "Revolusi
Kebudayaan"  di  Cina, perlunya dibentuk sebuah  partai Leninis, dorongan moral lawan
dorongan material, dan banyak hal lainnya.
Bagian  ketiga  pamflet  ini adalah  pidato  yang  diberikan Mandel   pada
Seminar  Ilmu dan Kesejahteraan yang diadakan  di Universitas Leiden, Negeri Belanda
pada tahun 1970, ketika sedang dilakukan perayaan 70 tahun universitas tersebut. Mandel
berpendapat bahwa kebutuhan kapitalisme saat ini akan tenaga kerja yang terlatih dalam
jumlah besar merangsang ekspansi universitas   yang cepat  dan  menghasilkan
"proletarianisasi"  tenaga  intelektual, yang  tunduk kepada tuntutan-tuntutan kapitalis dan
tidak  berhubungan dengan bakat perorangan atau kebutuhan manusia.
Makin  terasingnya  tenaga  kerja  intelektual  ini  sedikit banyak  menggerakkan
perlawanan mahasiswa yang, walaupun  tidak menduduki posisi sebagai pelopor kelas
buruh, dapat menjadi  picu peledak  di dalam masyarakat luas. Menurutnya mahasiswa
memiliki kewajiban menerjemahkan pengetahuan teoretis, yang mereka peroleh di
universitas, ke dalam kritik-kritik  yang  radikal terhadap keadaan masyarakat sekarang dan
tentunya relevan dengan mayoritas penduduk.  Mahasiswa harus berjuang di dalam
universitas  dan  di balik  itu  untuk masyarakat yang  menempatkan pendidikan untuk
rakyat di depan penumpukan barang.  

 
 
 

BAB I
Gerakan Mahasiswa Revolusioner : Teori dan Praktek

Rudi Dutshcke, pemimpin mahasiswa Berlin dan sejumlah  tokoh mahasiswa


lainnya di Eropa, telah menjadikan  konsep  menyatunya teori dan praktek (teori dan praktek
yang revolusioner  tentunya) sebagai gagasan sentral aktivitas mereka. Ini bukan pilihan  yang
sewenang-wenang.  Persatuan teori dan praktek ini dapat  dibilang pelajaran  yang paling
berharga dari rekaman sejarah yang  diukir oleh  revolusi-revolusi yang telah berlalu di Eropa,
Amerika  dan bagian dunia lainnya.
Tradisi  historis yang mengandung gagasan ini  dimulai  dari Babeuf melalui Hegel
dan sampai ke Marx. Penaklukan ideologis ini berarti bahwa pembebasan manusia harus
diarahkan pada usaha  yang sadar  untuk merombak tatanan masyarakat, untuk mengatasi
sebuah keadaan  di mana manusia didominasi oleh kekuatan ekonomi  pasar yang  buta  dan
mulai menggurat nasib dengan  tangannya  sendiri. Aksi  pembebasan  yang sadar ini tidak
dapat dijalankan  secara efektif,  dan  tentunya tidak dapat berhasil,  jika  orang  belum
menyadari dan mengenal lingkungan sosial tempatnya hidup, mengenal  kekuatan  sosial yang
harus dihadapinya, dan  kondisi  sosial ekonomi yang umum dari gerakan pembebasan itu.
Sama  seperti persatuan antara teori dan  praktek  merupakan penuntun  yang
mendasar bagi setiap gerakan pembebasan saat  ini, begitu  pula Marxisme mengajarkan
bahwa revolusi,  revolusi yang sadar,  hanya dapat berhasil jika orang mengerti azas
masyarakat tempatnya hidup, dan mengerti kekuatan pendorong yang menggerakkan
perkembangan sosial ekonomi masyarakat tersebut. Dengan  kata lain,  jika ia tidak mengerti
kekuatan yang menggerakkan  evolusi sosial, ia tidak akan sanggup mengubah evolusi itu
menjadi sebuah revolusi.  Ini  adalah konsepsi utama yang diberikan  Marxisme kepada
gerakan mahasiswa revolusioner di Eropa.
Kita  akan coba melihat bahwa kedua konsep  itu,  menyatunya teori dan praktek,
serta sebuah pemahaman Marxis terhadap kondisi obyektif masyarakat, yang telah ada jauh
sebelum gerakan mahasiswa  di Eropa lahir, ditemukan dan disatukan kembali  dalam  aksi-
aksi perjuangan mahasiswa Eropa, sebagai hasil dari pengalamannya sendiri.
Gerakan  mahasiswa mulai bermunculan di mana-mana  dan  di Amerika  Serikat
pun tidak berbedasebagai perlawanan  terhadap kondisi langsung yang dialami mahasiswa di
dalam lembaga akademis mereka, di universitas dan sekolah tinggi. Aspek ini sangat jelas di
dunia  Barat tempat kita hidup,  walaupun keadaannya  sangat berbeda di negara-negara
berkembang. Di sana, banyak kekuatan dan keadaan  lain yang mendorong anak muda di
universitas atau non-universitas untuk bangkit. Tapi selama dua dekade terakhir, anak muda
yang masuk ke universitas di dunia Barat tidak menemukan  di lingkungan rumah, kondisi
keluarga atau masyarakat lokalnya alasan-alasan yang mendesak untuk melakukan
perlawanan sosial.
Tentunya ada beberapa perkecualian. Komunitas kulit hitam di Amerika  Serikat
termasuk di dalam perkecualian itu;  para  buruh imigran  yang  dibayar  rendah di Eropa
Barat  juga termasuk  di dalamnya. Bagaimanapun, di kebanyakan negara-negara Barat,
mahasiswa yang berasal dari lingkungan proletariat yang miskin masih menjadi minoritas
yang sangat kecil. Mayoritas mahasiswa saat ini berasal dari lingkungan borjuis kecil atau
menengah atau golongan penerima  gaji  atau upah yang mendapat bayaran  lumayan.  Ketika
memasuki  universitas mereka secara umum  tidak  disiapkan  oleh hidup  yang mereka jalani
untuk sampai pada titik pemahaman yang jelas dan  lengkap  tentang  alasan-alasan  perlunya
perlawanan sosial.  Mereka  baru akan memahaminya ketika  berada  di dalam kerangka
universitas. Di sini aku tidak mengacu kepada sejumlah perkecualian  atau  golongan kecil
elemen-elemen  yang  memiliki pengetahuan  politik yang memadai, tapi kepada  massa
mahasiswa secara keseluruhan yang berhadapan dengan sejumlah kondisi,  yang membimbing
mereka pada jalan perlawanan
Singkatnya,  ini  sudah mencakup  organisasi,  struktur  dan kurikulum  universitas
yang amat tidak memadai dan  serangkaian fakta  material, sosial dan politik yang dialami
dalam kerangka universitas borjuis, yang semakin tidak dapat ditahan oleh kebanyakan
mahasiswa. Menarik untuk dicatat bahwa para teoretisi dan pendidik  borjuis yang berusaha
memahami perlawanan  mahasiswa, harus  memasukkan  sejumlah pernyataan di dalam
analisis mereka terhadap  lingkungan mahasiswa, yang telah lama  mereka  enyahkan dari
analisis umum terhadap masyarakat.
Beberapa  hari  yang lalu, ketika berada di  Toronto,  salah satu pendidik Kanada
yang terkenal memberikan kuliah umum tentang sebab-sebab terjadinya perlawanan
mahasiswa. Menurutnya,  alasan-alasan perlawanan itu "secara mendasar bersifat material.
Bukan berarti bahwa kondisi hidup mereka tidak memuaskan; bukan  karena mereka
diperlakukan  buruh seperti buruh abad XIX.  Tapi  karena secara sosial kita menciptakan
sejenis proletariat di universitas yang tidak  berhak berpartisipasi  dalam  menentukan
kurikulum, tidak  berhak, setidaknya untuk ikut menentukan kehidupan  mereka sendiri
selama empat, lima atau enam tahun yang mereka habiskan di universitas."Sekalipun aku
tidak dapat menerima definisi yang  non-Marxis tentang proletariat di atas, aku berpikir
bahwa pengajar  borjuis ini  sebagian  telah menelusuri salah satu akar dari perlawanan
mahasiswa.  Struktur universitas borjuis hanyalah  cerminan  dari struktur  hirarki  yang
umum dalam masyarakat  borjuis;  keduanya tidak dapat diterima oleh mahasiswa, bahkan
oleh tingkat kesadaran sosial yang sementara ini masih rendah. Kiranya terlalu berlebihan
kalau saat ini juga kita coba membahas akar-akar psikologis dan moral dari gejala itu. Di
beberapa negara di Eropa Barat, dan mungkin juga di Amerika Serikat, masyarakat borjuis
seperti  yang berkembang selama generasi terakhir ini, selama 25 tahun terakhir telah
menghantam banyak elemen di dalam keluarga borjuis. Sebagai anak muda, para mahasiswa
pembangkang diajarkan pertama-tama oleh pengalaman  langsung untuk mempertanyakan
semua bentuk wewenang, dimulai dengan wewenang orang tuanya.
Hal ini paling terasa di negara seperti Jerman sekarang ini. Jika kalian tahu sesuatu
tentang kehidupan di Jerman, atau mempelajari cerminannya di dalam kesusastraan Jerman,
maka kalian akan tahu  bahwa  sampai Perang Dunia II,  wewenang  paternal  paling sedikit
dipertanyakan  di negara itu.  Kepatuhan  anak  terhadap orang tua telah mendarah daging
dalam proses penciptaan masyarakat (fabric of society). Anak-anak muda Jerman kemudian
mengalami rangkaian pengalaman pahit yang dimulai dengan  adanya  generasi orang  tua  di
Jerman yang menerima Nazisme,  mendukung  Perang Dingin, dan hidup nyaman dengan
asumsi bahwa "kapitalisme rakyat" (disebut  juga ekonomi pasar yang sosial), tidak akan
menghadapi resesi,  krisis dan masalah sosial. Kegagalan yang beruntun  dari dua  atau tiga
generasi orang tua seperti itu  kini menghasilkan rasa  jijik  di kalangan anak muda terhadap
wewenang orang  tua mereka.  Perasaan ini membuat anak-anak tersebut,  saat  memasuki
universitas,  tidak menerima setiap bentuk wewenang begitu  saja, tanpa perlawanan.
Mereka  pertama-tama berhadapan dengan wewenang  para  dosen dan lembaga-
lembaga universitas yang paling tidak dalam  bidang ilmu sosialnyata tidak berhubungan
dengan realitas. Pelajaran yang mereka peroleh tidak memberikan analisis ilmiah yang
obyektif  tentang apa yang sedang terjadi di dunia atau negara-negara Barat lainnya.
Tantangan terhadap wewenang akademis dari  lembaga inilah  yang kemudian cepat bergeser
menjadi  tantangan terhadap isi pendidikannya.Sebagai tambahan, di Eropa kondisi material
untuk  universitas  masih sangat kurang. Terlalu penuh. Ribuan mahasiswa  harus mendengar
dosen-dosen berbicara melalui  sound  system. Mereka tidak  dapat  berbicara dengan dosen-
dosen  itu  atau  sedikitnya berhubungan, bertukar pikiran yang normal atau dialog.
Perumahan dan  makanan juga buruk. Faktor-faktor pendukung lainnya  makin menajamkan
kekuatan  pemberontakan mahasiswa.  Tapi,  perlu aku tekanan bahwa dorongan utama untuk
melakukan pemberontakan  akan tetap ada, sekalipun persoalan-persoalan di atas telah
dibenahi. Struktur  otoriter  dari universitas dan  substansi  yang  sangat lemah  dari
pendidikan, paling tidak dalam bidang  ilmu  sosial, lebih menjadi penyebab ketimbang
kondisi material di atas.
Inilah  alasan mengapa usaha-usaha mengadakan  reformasi  di universitas,  yang
disorongkan oleh sayap liberal dalam  keadaan-keadaan yang berbeda dalam masyarakat neo-
kapitalis barat mungkin menemui kegagalan. Reformasi ini tidak akan  mencapai  tujuannya
karena  tidak menyentuh persoalan dasar dari pemberontakan  mahasiswa.  Mereka  tidak
berusaha menekan  sebab-sebab  keterasingan mahasiswa, dan sekalipun melakukannya,
mereka hanya akan membuat mahasiswa makin terasing.
Lalu apa tujuan reformasi di universitas seperti yang diajukan  oleh kaum reformis
liberal di dunia barat? Dalam  kenyataan, rancangan  reformasi itu tidak lain untuk
meluruskan  organisasi universitas agar sesuai dengan kepentingan ekonomi  neo-kapitalis
dan  masyarakat  neo-kapitalis. Tuan-tuan itu  mengatakan: tentu sangat disayangkan  adanya
proletariat akademis;  sayang  sekali begitu  banyak  orang  yang meninggalkan  universitas
dan tidak berhasil  mendapat  pekerjaan. Ini  akan  menimbulkan  ketegangan sosial dan
ledakan sosial.
Bagaimana caranya mengatasi persoalan ini? Kita akan  membenahinya  dengan
reorganisasi universitas dan membagi-bagi  tempat belajar yang ada sesuatu dengan
kebutuhan ekonomi  neo-kapitalis. Di  tempat yang memerlukan 100.000 insinyur akan lebih
baik  jika dikirim 100.000  insinyur daripada 50.000  orang  sosiolog atau 20.000 filsuf yang
tidak akan mendapat pekerjaan yang layak.  Hal seperti inilah yang akan menghentikan
pemberontakan mahasiswa.Di bawah ini adalah suatu usaha menempatkan  fungsi  universitas
pada  posisi subordinat terhadap kebutuhan langsung dari  ekonomi neo-kapitalis  dan
masyarakat. Hal ini akan menggerakkan keterasingan mahasiswa yang makin besar. Jika
reformasi-reformasi  itu dilakukan maka mahasiswa tidak akan menemukan struktur universi-
tas  dan pendidikan yang sesuai dengan keinginan  mereka. Mereka bahkan tidak diizinkan
memilih karir, bidang studi, dan  disiplin ilmu yang mereka kehendaki dan berhubungan
dengan  keahlian  dan kebutuhan  mereka. Mereka akan dipaksa menerima pekerjaan,  disiplin
ilmu dan bidang studi yang berhubungan  dengan kepentingan penguasa  masyarakat
kapitalis,  dan  tidak berhubungan  dengan kebutuhan  mereka sebagai manusia. Jadi dengan
reformasi di  universitas, tingkat alienasi yang lebih tinggi pun akan terjadi. Aku tidak
mengatakan bahwa kita harus mengabaikan semua reformasi di dalam universitas. Penting
dicari beberapa slogan transisional untuk masalah-masalah universitas, sama seperti kaum
Marxis  coba mencari  slogan-slogan  transisional dalam  gerakan  sosial  lain dalam sektor
apapun. Misalnya, aku tidak mengerti kenapa slogan "student power"  tidak dapat  diangkat di
dalam lingkup universitas.  Dalam  masyarakat luas  slogan  ini memang dihindari karena
artinya bahwa  sebuah minoritas  kecil menempatkan dirinya sebagai  pemimpin  mayoritas
masyarakat. Tapi di dalam universitas slogan "student power" ini, atau  slogan lain yang
sejurus dengan ide "self-management"  oleh massa mahasiswa, jelas punya arti dan valid.
Tapi  di sinipun aku akan hati-hati karena banyak  persoalan yang  membuat
universitas berbeda dari  pabrik atau  komunitas produktif lainnya. Tidak benar, seperti
dikatakan sebagian teoretisi SDS Amerika, bahwa mahasiswa itu sama dengan buruh.
Kebanyakan  mahasiswa memang  akan menjadi buruh  atau  sudah setengah buruh.  Mereka
dapat dibandingkan dengan orang  yang  magang  di pabrik karena kedudukan mereka sama
--dari sudut kerja intelektual dengan  orang  magang di pabrik-- dari  sudut  kerja  manual.
Mereka  memiliki peranan sosal dan tempat transisional yang  khas dalam  masyarakat.
Karena itu kita  harus hati-hati  merumuskan slogan tentang transisi ini.
Bagaimanapun, kita tidak perlu memperpanjang perdebatan  ini sekarang.  Mari  kita
terima saja gagasan "student  power"  atau "student  control" sebagai slogan transisional di
dalam kerangka universitas borjuis. Tapi sudah jelas bahwa realisasi slogan  ini yang  tidak
akan mungkin bertahan untuk jangka waktu yang lama, tidak  akan mengubah akar-akar
alienasi mahasiswa karena  mereka tidak terletak di dalam universitas itu sendiri, melainkan
dalam masyarakat secara keseluruhan. Dan kita tidak akan sanggup mengubah  sebuah sektor
kecil dalam masyarakat borjuis, dalam hal  ini universitas  borjuis,  dan berpikir bahwa
masalah  sosial dapat diatasi  di segmen tertentu tanpa mengubah masalah  sosial  dalam
masyarakat sebagai keseluruhan.Selama kapitalisme masih ada, maka terus akan ada kerja
yang terasing,  baik  itu kerja manual maupun kerja  intelektual.  Dan karena itu tetap akan
ada mahasiswa yang terasing, seperti apapun aksi-aksi kita menghantam kemapanan dalam
lingkup universitas.
Sekali  lagi, ini bukan observasi teoretis yang  jatuh  dari langit.  Ini  adalah
pelajaran dari pengalaman praktek.  Gerakan mahasiswa Eropa, paling tidak sayap
revolusionernya, telah  melalui  pengalaman ini di seluruh negara-negara Eropa.  Dalam  garis
besar,  gerakan  mahasiswa dimulai dengan  isyu-isyu  kampus  dan dengan  cepat mulai
bergerak  keluar  batas-batas universitas. Gerakan  itu mulai menanggapi masalah-masalah
sosial dan  politik yang tidak langsung berhubungan dengan apa yang terjadi di  dalam
universitas. Apa yang terjadi di Kolumbia di mana masalah  penindasan  komunitas  kulit
hitam diangkat  oleh  sejumlah  mahasiswa pemberontak mirip dengan apa yang terjadi dalam
gerakan mahasiswa Eropa  Barat,  paling tidak di kalangan elemen  yang  maju,  yang paling
peka terhadap masalah-masalah yang  dihadapi  orang-orang paling tertindas dalam sistem
kapitalis dunia.
Mereka  terlibat  dalam  berbagai  aksi  solidaritas  dengan perjuangan  pembebasan
revolusioner di  negara-negara  berkembang seperti  Kuba,  Vietnam dan bagian-bagian
tertindas lainnya   Dunia Ketiga. Identifikasi bagian-bagian yang paling sadar  dalam gerakan
mahasiswa di Prancis dengan revolusi Aljazair, dan perjuangan  pembebasan Aljazair dari
imperialisme Prancis memainkan peranan besar. Ini mungkin kerangka pertama di mana
diferensiasi politik  yang nyata terjadi di kalangan gerakan  mahasiswa  kiri. Kalangan
mahasiswa yang sama kemudian akan mengambil  tempat  di depan  dalam perjuangan
mempertahankan revolusi Vietnamm  melawan perang agresi imperialisme Amerika.Di
Jerman, simpati kepada orang-orang terjajah dimulai  dari titik yang unik. Gerakan protes
mahasiswa yang besar dipicu  oleh aksi  solidaritas dengan buruh, petani dan mahasiswa dari
sebuah negara  Dunia Ketiga lainnya, yaitu Iran, saat Shah Iran  berkunjung ke Berlin.
Para  mahasiswa  pelopor tidak  sekadar  mengidentifikasikan diri  mereka  dengan
perjuangan di Aljazair, Kuba  dan  Vietnam: mereka memperlihatkan simpati kepada
perjuangan pembebabasan dari apa yang disebut Dunia Ketiga secara keseluruhan.
Perkembangannya dimulai dari sini. Di Prancis, Jerman, Italia --dan proses  yang sama sedang
berlangsung di Inggris-- tidak akan mungkin  memulai aksi  yang  revolusioner tanpa analisis
teori tentang  asas dari imperialisme, kolonialisme, dan kekuatan-kekuatan yang  mendorong
eksploitasi Dunia Ketiga dengan imperialisme, dan di sisi  lain, kekuatan yang mendorong
perjuangan pembebasan massa yang  revolusioner menentang imperialisme.Melalui  analisis
tentang  kolonialisme  dan imperialisme kekuatan gerakan mahasiswa Eropa yang paling maju
dan  terorganisir kembali kepada titik di mana Marxisme dimulai, yakni analisis tentang
masyarakat kapitalis dan sistem kapitalis  internasional di  mana  kita hidup. Jika kita tidak
memahami sistem  ini,  kita tidak akan dapat memahami alasan dilakukannya perang kolonial
dan gerakan pembebasan di negeri jajahan. Kita juga tidak akan dapat mengerti  kenapa kita
harus mengikatkan  diri kepada kekuatan-kekuatan ini di tingkat dunia.Di  Jerman misalnya,
proses ini terjadi dalam  waktu  kurang dari enam bulan. Gerakan mahasiswa dimulai dengan
mempertanyakan struktur  universitas  yang otoriter, dan  terus menuju masalah imperialisme
dan keadaan Dunia Ketiga, dan dengan menghubungkan diri dengan gerakan pembebasan
maja timbul kebutuhan menganalisis kembali neo-kapitalisme di tingkat dunia dan di negeri
di mana mahasiswa-mahasiswa  Jerman itu bergerak. Mereka  kembali kepada titik awal
analisis Marxis tentang masyarakat di mana kita hidup untuk  memahami  alasan-alasan
terdalam dari masalah  sosial  dan perlawanan.

Kesatuan Teori dan Aksi


Dalam proses keseluruhan kesatuan teori dan aksi yang  dinamis, teori kadang ada di
depan aksi dan sewaktu-waktu aksi tampil di  depan teori. Bagaimanapun, pada setiap titik
keharusan perjuangan mendesak para aktivis untuk memantapkan kesatuan ini pada tingkat
yang lebih tinggi.Untuk memahami proses yang dinamis ini kita harus  menyadari bahwa
mempertentangkan aksi langsung dengan studi yang  mendalam itu sepenuhnya keliru. Saya
tersentak ketika mengikuti Konferensi Sarjana Sosialis dan pertemuan lainnya yang saya ikuti
di Amerika selama dua minggu terakhir, melihat bagaimana pemisahan teori dan praktek terus
dipertahankan. Saya seperti sedang mengikuti perdebatan  di  antara orang-orang tuli, di mana
sebagian pengunjung mengatakan, "yang  penting  aksi! Tidak perlu  yang  lain,  yang penting
aksi!"  sementara  di pihak lain  ada yang mengatakan, "Tidak,  sebelum bisa aksi, kita harus
tahu apa yang  dikerjakan. Duduk, belajar, dan tulis buku." (tepuk tangan)
Jawaban  yang jelas dari pengalaman sejarah gerakan  revolusioner, bukan hanya
dari periode Marxis tapi bahkan dari  periode pra-Marxis, adalah kenyataan bahwa keduanya
tidak dapat dipisahkan (tepuk tangan) Aksi tanpa teori tidak akan efisien atau tidak akan
berhasil  melakukan perubahan yang mendasar, atau seperti saya  katakan sebelumnya, kita
tidak dapat  membebaskan manusia tanpa sadar. Di pihak lain, teori tanpa aksi tidak akan
mendapat watak ilmiah yang sejati karena tidak ada jalan lain untuk menguji teori kecuali
melalui aksi.
Setiap  bentuk  teori yang tidak diuji  melalui  aksi  bukan teori yang sahih, dan
dengan sendirinya menjadi teori yang  tidak berguna  dari  sudut pandang pembebasan
manusia.  (tepuk tangan) Hanya  melalui usaha terus menerus memajukan keduanya  pada
saat bersamaan,  tanpa pemisahan kerja, maka kesatuan teori dan  aksi dapat dimantapkan,
sehingga gerakan revolusioner tersebut, apapun asal usul maupun tujuan sosialnya, dapat
mencapai hasilnya. Dalam hubungannya dengan pemisahan kerja, ada satu hal  lain yang
membuat  saya tersentak, dan benar-benar menyentak  karena diajukan  dalam  satu
pertemuan orang-orang  sosialis. Pemisahan teori dan aksi yang sudah begitu buruk, kini
diberi satu  dimensi baru  dalam gerakan sosialis ketika dikatakan: di satu pihak  ada para
aktivis, orang-orang awam yang kerja kasar. Di  pihak  lain adalah elit yang kerjanya berpikir.
Jika elit ini terlibat  dalam aksi demonstrasi,  maka mereka tidak akan punya  waktu  berpikir
atau  menulis  buku, dan dengan begitu maka ada  elemen berharga dalam perjuangan yang
akan hilang.
Saya  katakan bahwa setiap pernyataan yang  menyebut  adanya pemisahan kerja
manual dan kerja pikiran di dalam gerakan revolusioner,  yang memisahkan barisan aksi yang
kerja kasar dan  elit yang  kerja pikiran, secara mendasar bukan  pernyataan  sosialis.
Pernyataan  itu bertentangan dengan salah satu tujuan utama  dari gerakan sosialis, yang ingin
mencapai penghapusan pemisahan kerja manual dan intelektual (tepuk tangan) bukan hanya
dalam organisasi tapi, lebih penting lagi, dalam masyarakat secara keseluruhan. Orang-orang
sosialis  revolusioner pada 50 atau 100  tahun  yang lalu  belum  dapat  melihat hal ini dengan
jelas,  seperti  kita sekarang ini, saat sudah ada kemungkinan obyektif untuk  mencapai tujuan
itu. Kita sudah memasuki satu proses teknologi dan  pendidikan yang memungkinkan
tercapainya hal itu. Salah satu  pelajaran berharga yang harus kita  ambil  dari kemunduran
Revolusi Rusia, adalah jika pemisahan  antara  kerja manual dan kerja intelektual
dipertahankan pada masyarakat  yang sedang dalam transisi dari kapitalisme menuju
sosialisme  dalam bentuk  lembaga, maka hasilnya pasti meningkatkan birokrasi  dan
menciptakan ketimpangan baru dan bentuk-bentuk penindasan manusia yang tidak sesuai
dengan kemakmuran sosialis. (tepuk tangan)
Jadi kita harus mulai dengan menghapus sebisa mungkin setiap gagasan  tentang
pemisahan kerja manual dan kerja  pikiran  dalam gerakan  revolusioner. Kita harus bertahan
bahwa tidak akan ada teoretisi  yang  baik jika tidak terlibat dalam aksi,  dan  tidak akan ada
aktivis yang baik jika tidak dapat menerima,  memperkuat dan memajukan teori. (tepuk
tangan)
Gerakan  mahasiswa  Eropa  telah mencoba  mencapai  hal  ini sampai  tingkat
tertentu di Jerman, Prancis dan Italia.  Di  sana muncul pemimpin-pemimpin mahasiswa
agitator yang juga dapat, jika diperlukan, membangun barikade dan bertempur
mempertahankannya, dan pada saat yang dapat menulis artikel bahkan buku teoretis dan
berdiskusi  dengan sosiolog terkemuka, ahli politik  dan  ekonomi dan  mengalahkan mereka
dalam bidang ilmu mereka sendiri.  (tepuk tangan) Hal ini makin memperkuat keyakinan
bukan  hanya  tentang masa depan gerakan mahasiswa tapi juga tentang masa ketika orang-
orang ini sudah berhenti menjadi mahasiswa, dan harus berjuang di bidang lain.

Perlunya Organisasi Revolusioner 


Sekarang saya ingin berbicara tentang aspek lain dari kesatuan  teori dan aksi yang
sudah menjadi perdebatan dalam  gerakan mahasiswa  Eropa  dan Amerika Utara. Saya
secara  pribadi yakin bahwa  tanpa organisasi yang revolusioner, bukan  suatu  formasi yang
longgar  tapi sebuah organisasi yang  serius  dan permanen sifatnya,  maka kesatuan teori dan
praktek tidak  akan bertahan lama. (tepuk tangan)
Ada  dua alasan. Yang pertama berhubungan dengan  asas  dari mahasiswa  sendiri.
Status kemahasiswaan, hanya  berlaku  untuk jangka  waktu yang singkat, tidak seperti buruh.
Ia bisa menetap di universitas selama empat, lima, enam tahun, dan tidak ada yang dapat
memperkirakan apa yang terjadi  setelah ia  meninggalkan universitas. Pada kesempatan ini
saya sekaligus  ingin menjawab salah satu argumen demagogis yang telah digunakan
sejumlah pemimpin  partai-partai komunis di Eropa  yang  menentang  perlawanan
mahasiswa. Dengan nada sinis mereka mengatakan: "Siapa mahasiswa-mahasiswa itu? Hari
ini mereka berontak, besok mereka akan menjadi bos yang menindas kita. Kita tidak perlu
memperhitungkan aksi-aksi mereka dengan serius."
Ini adalah argumen yang tolol karena tidak  mempertimbangkan transformasi
revolusioner dari peranan lulusan universitas sekarang  ini. Jika mereka melihat angka-angka
statistik, maka mereka akan  tahu  bahwa hanya sebagian kecil dari  lulusan  universitas yang
bisa  menjadi kapitalis atau agen-agen langsung  dari  para kapitalis  ini. Apa yang mereka
khawatirkan mungkin saja  menjadi kenyataan  jika  jumlah  lulusan itu hanya 10.000,  15.000
atau 20.000 orang dalam satu tahun. Tapi sekarang ada satu juta, empat juta,  lima  juta
mahasiswa, dan tidak  mungkin kebanyakan  dari mereka  akan  menjadi kapitalis atau
manejer  perusahaan karena tidak ada lowongan sebanyak itu untuk mereka.
Argumen  demagogis  ini ada  benarnya.  Lingkungan  akademis memang  memiliki
konsekuensi tertentu terhadap tingkat  kesadaran sosial  dan aktivitas politik seorang
mahasiswa. Selama ia  tetap di  universitas, maka lingkungannya mendukung aktivitas
politik. Ketika ia meninggalkan universitas, lingkungan ini tidak ada lagi di sekelilingnya, dan
ia makin mudah ditekan oleh  ideologi  dan kepentingan borjuasi atau borjuasi kecil (petty-
bourgeoisie). Ada ancaman bahwa ia akan melibatkan dirinya dalam lingkungan  sosial yang
baru  ini, apapun bentuknya.  Ada  kemungkinan  terjadinya proses  mundur ke posisi
intelektual reformis atau liberal  kiri yang tidak lagi berhubungan dengan aktivitas
revolusioner.
Penting untuk mempelajari sejarah SDS Jerman, yang dalam hal ini  adalah  gerakan
mahasiswa revolusioner yang  paling  tua  di Eropa.  Setelah dikeluarkan dari kalangan Sosial
Demokrat  Jerman sembilan tahun yang lalu satu generasi mahasiswa SDS yang militan
meninggalkan  universitas. Setelah beberapa tahun, dengan  tidak adanya organisasi
revolusioner, kebanyakan  orang-orang  militan ini, terlepas dari keinginan mereka untuk
tetap teguh dan menjadi aktivis  sosialis,  tidak  aktif lagi dalam  politik  dari  sudut pandang
revolusioner. Jadi, untuk memelihara kelanjutan aktivitas revolusioner  ini,  kita harus punya
organisasi yang lebih luas jangkauannya  dari organisasi mahasiswa biasa, sebuah  organisasi
di mana mahasiswa dan bukan mahasiswa dapat bekerja sama.Dan ada alasan yang lebih
penting lagi, di balik kepentingan kita memiliki  satu organisasi partai. Karena  tanpa
organisasi semacam itu, tidak akan dapat dicapai kesatuan aksi dengan  kelas buruh  industri,
dalam pengertian yang  paling  umum sekalipun. Sebagai  Marxis,  saya tetap yakin bahwa
tanpa aksi  kelas  buruh tidak  akan mungkin masyarakat borjuis ini ditumbangkan  dan  itu
berarti  tidak mungkin juga dibangun masyarakat sosialis.  (tepuk tangan)
Di sini sekali lagi kita lihat bagaimana pengalaman  gerakan mahasiswa,  pertama  di
Jerman, lalu Prancis dan Italia,  sudah berhasil  mencapai  kesimpulan teoretis tersebut  dalam
praktek. Diskusi  yang  sama  tentang relevan atau tidaknya  kelas  buruh industri  bagi  aksi
revolusioner dilakukan setahun  atau  bahkan enam bulan yang lalu di negara-negara seperti
Jerman dan Italia.Masalah  ini  ditempatkan  dalam praktek  bukan  hanya oleh peristiwa
revolusioner selama Mei-Juni 1968 di Prancis, tapi juga oleh aksi bersama mahasiswa di
Turin dengan buruh Fiat di Italia. Ini  juga diperjelas dengan usaha-usaha sadar  dari  SDS
Jerman untuk melibatkan bagian dari kelas buruh di dalam agitasi mereka di  luar universitas
menentang perusahaan penerbit Springer dan kampanyenya dalam mencegah diberlakukannya
undang-undang  darurat yang akan mencegah kebebasan sipil.
Pengalaman  seperti  ini mengajarkan  gerakan  mahasiswa  di Eropa  Barat bahwa
mereka harus menemukan jembatan  dengan  kelas buruh industri. Masalah ini memiliki
sejumlah aspek yang  berbeda dengan tingkatan yang berbeda pula. Ada masalah programatik
yang tidak dapat saya jabarkan sekarang. Hal yang diungkapkan di  sini adalah bagaimana
mahasiswa dapat mendekati buruh, bukan  sebagai guru,  karena buruh tentunya menolak
hubungan seperti itu,  tapi dengan cara masuk ke dalam lapangan kepentingan yang sama.
Terutama diuraikan masalah organisasi partai. Selain  pengalaman  kalah beberapa kali untuk
membangun kolaborasi di  tingkat rendahan dalam aksi-aksi langsung antara sejumlah kecil
mahasiswa dan  sejumlah  kecil buruh, setelah tiga  sampai  delapan  bulan, persekutuan itu
akan hilang. Bahkan jika kalian memulai lagi dari awal,  dan  saat keseimbangan sudah
tercapai, maka  sedikit  saja yang tersisa.
Kegunaan organisasi revolusioner yang permanen adalah  untuk menyediakan
integrasi timbal balik antara mahasiswa dan  perjuangan  kelas buruh oleh para pelopornya
secara terus menerus.  Ini bukan sekadar kesinambungan yang sederhana  dalam  batas  waktu
tertentu,  tapi sebuah kelanjutan ruang antara kelompok-kelompok sosial  yang berbeda yang
memiliki tujuan sosialis  revolusioner yang sama.Kita  harus kritis  melihat apakah  integrasi
seperti  ini memang mungkin secara obyektif. Melihat pengalaman  di  Prancis, Italia,  dan
sejumlah negara Eropa Barat  lainnya,  maka  dengan mudah  kita bisa bilang ya. Dan garis
inipun dapat  dipertahankan di Amerika Serikat. Dengan alasan-alasan historis yang juga tidak
dapat  saya  uraikan sekarang, sebuah situasi  khusus muncul  di Amerika Serikat di mana
mayoritas kelas buruh, yakni kelas buruh kulit putih, belum menerima gagasan sosialis
tentang aksi revolusioner. Ini fakta yang tidak dapat ditandingi.
Tentu  saja  hal ini dengan cepat  dapat  berubah.  Sejumlah orang  berpendapat
seperti itu di Prancis, hanya beberapa  minggu sebelum  tanggal 10 Mei 1968. Namun, bahkan
di  Amerika Serikat, ada  minoritas  dalam kelas buruh industri  yang  penting,  yaitu buruh
kulit hitam. Tak seorangpun bisa mengatakan bahwa  setelah dua  tahun terakhir mereka tidak
dapat menerima gagasan  sosialis atau  tidak mampu menjalankan aksi revolusioner. Di  sini
paling tidak  ada kemungkinan langsung terjadinya kesatuan antara  teori dan praktek di
sebagian kalangan kelas buruh.
Sebagai  tambahan, kiranya penting untuk menganalisa  kecenderungan sosial dan
ekonomi yang dalam jangka panjang akan  mengguncang  ketidakpedulian  politik yang
platen  dan konservatisme kelas buruh kulit putih. Pelajaran dari Jerman dengan  lingkungan
yang  sangat mirip membuktikan bahwa hal  itu  mungkin terjadi. Beberapa  tahun lalu di
kalangan kelas buruh di Jerman  mengendap stabilitas,  konservatisme,  dan integrasi
masyarakat  kapitalis yang tidak terguncang,  sama seperti Amerika  Serikat  di  mata banyak
orang sekarang ini. Hal ini sudah mulai berubah. Kasus ini memperlihatkan bahwa pergeseran
kecil di dalam perimbangan kekuatan, yaitu penurunan tingkat ekonomi, dan serangan dari
pengusaha terhadap  struktur serikat buruh tradisional dan  hak-hak  dapat menciptakan
ketegangan sosial yang mampu mengubah banyak hal.
Tugas saya di sini tidak lebih dari memberi informasi kepada kalian tentang
masalah-masalah perjuangan kelas kalian  sementara tugas kalian adalah menyadari bahwa
kalian harus bergabung dengan buruh.  Saya hanya akan menunjukkan satu di antara sekian
banyak saluran tempat  kesadaran sosialis  dan  aktivitas revolusioner dapat menghubungkan
mahasiswa dan buruh,  seperti  ditunjukkan bukan  hanya  oleh Eropa Barat tapi juga oleh
Jepang. Rangkaian penghubung  ini adalah pemuda dari kalangan kelas buruh.  Sebagai
konsekuensi dari perubahan teknologi selama beberapa tahun terakhir  yang  mempengaruhi
struktur kelas buruh,  sistem pendidikan borjuis tidak dapat mempersiapkan buruh-buruh
muda, atau sebagian dari  buruh muda ini, untuk memainkan peran baru dalam  teknologi
yang  telah  berubah  bahkan dari sudut pandang para kapitalis sendiri. Amerika Serikat
adalah contoh yang jelas tentang  kehancuran  total dari pendidikan bagi buruh muda berkulit
hitam  yang tingkat  penganggurannya  sama tinggi seperti tingkat  rata-rata pengangguran
seluruh kelas buruh di masa depresi. Kenyataan  ini memperlihatkan  apa yang tengah terjadi
di kalangan pemuda  kulit hitam negeri itu. Ini hanyalah ekspresi dari kecenderungan umum
yang mendikte kepekaan ekstrem terhadap segala sesuatu yang terjadi di kalangan muda.
Kebusukan dan kemacetan sistem sosial sekarang  ini  jelas menunjukkan ketidakberpihakan
para penguasanya kepada kaum  muda. Para penguasa Prancis selama peristiwa Mei tidak
membeda-bedakan antara  mahasiswa, pegawai dan buruh muda. Mereka memperlakukan
semuanya sebagai musuh.Contoh  kongkret  dari ini adalah insiden  di Flins  ketika terjadi
demonstrasi besar. Setelah seorang anak sekolah  dibunuh oleh  polisi muncul kegelisahan
besar. Polisi bergerak masuk  dan mulai memerika para demonstran, memerika kartu identitas
orang-orang  yang  lewat. Setiap orang yang berusia di bawah 30 tahun ditangkap karena
dianggap potensial sebagai pemberontak,  sebagai orang yang akan bergerak menghantam
polisi. (tepuk tangan)
Jika  kalian  secara  seksama  membaca  buku-buku  sekarang, industri  film dan
bentuk-bentuk refleksi kenyataan  sosial  yang lain di dalam suprastruktur budaya selama lima
atau sepuluh tahun terakhir,  kalian akan lihat bahwa di samping  semua  pembicaraan yang
palsu tentang kenakalan remaja, kaum borjuis telah menggambarkan jenis pemuda yang
dihasilkan sistemnya dan juga  semangat memberontak  dari  kaum muda. Ini tidak terbatas
bagi mahasiswa atau  kelompok  minoritas seperti orang kulit  hitam  di  Amerika Serikat. Ini
juga berlaku bagi buruh-buruh muda.Kiranya perlu dipelajari apa yang ada lingkungan buruh-
buruh muda karena perjuangan memenangkan mereka kepada kesadaran sosialis, kepada
gagasan-gagasan revolusi sosialis kelihatannya  penting  bagi  negeri-negeri Barat selama
sepuluh  sampai  limabelas tahun mendatang.  Jika kita berhasil mengangkat kaum  muda
yang terbaik menjadi sosialis revolusioner --saya  pikir  ini  sudah mulai dilakukan di negeri-
negeri Eropa Barat-- kita  bisa yakin tentang kemajuan  gerakan kita. Jika kemungkinan ini
lepas  dan kebanyakan  orang muda berpihak ke kalangan ekstrem kanan,  maka kita  akan
kalah dalam perjuangan yang menentukan dan akan  masuk ke  dalam liang kubur bersama
sosialis Eropa dan gerakan revolusioner di tahun 1930-an.
Persatuan  teori dan praktek juga berarti bahwa  serangkaian gagasan  kunci  dari
gerakan sosialis  dan tradisi revolusioner telah  ditemukan kembali sekarang. Aku tahu bahwa
sebagian orang dalam  gerakan mahasiswa di Amerika  Serikat  ingin  menciptakan sesuatu
yang  sama sekali baru. Aku sepenuh hati  setuju dengan setiap  usulan yang menginginkan
sesuatu yang lebih baik,  karena apa  yang  telah dicapai oleh generasi-generasi  sebelumnya
juga kurang  meyakinkan dari  sudut  pandang  pembangunan  masyarakat sosialis. Tapi
penting juga aku utarakan peringatan. Jika  kalian menyangka  sedang menciptakan sesuatu
yang baru, yang  sebenarnya sedang  dilakukan adalah mundur ke masa lalu  yang  jauh  lebih
terbelakang dari masa lalu Marxisme.
Semua gagasan baru yang dimajukan dalam gerakan mahasiswa di Eropa selama
tiga atau empat tahun terakhir, dan menjadi  populer di  kalangan mahasiswa Amerika Serikat,
sebenarnya sudah  sangat tua umurnya. Alasannya sangat sederhana. Kecenderungan logis
dari evolusi  sosial dan kecenderungan kritik  sosialis dikembangkan dalam  jalur  para
pemikir besar abad 18 dan  19. Terlepas  dari kalian  suka atau tidak, hal itu memang benar,
dan berlaku  bagi ilmu sosial sekaligus ilmu alam yang rangkaian hukumnya  diciptakan  di
masa lalu. Jika kalian ingin mengembangkan  kecenderungan baru,  kalian harus maju dari
landasan yang merupakan hasil  terbaik dari generasi-generasi sebelumnya. Keinginan  untuk
senantiasa menciptakan sesuatu  yang baru hanyalah  satu  aspek  awal dari radikalisme
mahasiswa.  Ketika gerakan  sudah  berkembang menjadi besar dan  bisa  memobilisasi massa
yang besar maka yang akan terjadi adalah sebaliknya seperti ditunjukkan para sosiologis
Prancis ketika melihat kejadian bulan Mei 1968. Saat itu massa mahasiswa revolusioner yang
luas berjuang  menemukan kembali tradisi sejarah dan  akar-akar historis mereka. Mereka
seharusnya sadar bahwa mereka akan lebih  kuat  jika mengatakan: perjuangan kami adalah
perpanjangan dari  perjuangan untuk kebebasan yang dimulai 150 tahun lalu, atau  bahkan
2.000 tahun  lalu  ketika budak-budak  pertama memberontak   terhadap tuannya. Ini akan
jauh lebih meyakinkan daripada mengatakan: kami melakukan sesuatu yang sama sekali baru
yang terputus dari sejarah  dan  terisolasi dari keseluruhan masa lalu seakan masa  lalu tidak
pernah mengajarkan apa-apa kepada kita dan tidak ada  yang dapat kita pelajari dari itu.
(tepuk tangan)
Masalah ini akhirnya akan membawa aktivis mahasiswa  kembali pada beberapa
konsep historis dasar dari sosialisme dan Marxisme. Kita  telah melihat bagaimana gerakan
mahasiswa di Prancis,  Jerman,  Italia dan sekarang Inggris kembali kepada  gagasan-gagasan
revolusi  sosialis dan demokrasi buruh. Bagi  seseorang  seperti saya, sangat menggembirakan
melihat bagaimana gerakan revolusioner  Prancis mempertahankan hak kebebasan berbicara,
dan menghubungkannya dengan  tradisi terbaik  dari  sosialisme.  Pertemuan kalian sekarang
ini juga memperbarui kembali tradisi internasionalisme  dari  sosialisme lama dan Marxisme
ketika kalian  bilang bahwa perlawanan mahasiswa bersifat mendunia dan  bahwa  gerakan
mahasiswa itu bersifat internasional. Ini adalah internasionalisme yang sama, dengan akar-
akar dan tujuan yang sama seperti internasionalisme dari sosialisme,  sama seperti
internasionalisme  dari kelas  buruh. Masalah-masalah internasional  yang  dihadapi adalah
masalah  solidaritas  dengan kawan-kawan kita di Meksiko, Argentina dan Brasil yang
memimpin perjuangan  besar,  yang  mengangkat revolusi  Amerika  Latin  ke tingkat lebih
tinggi setelah menderita kekalahan karena  kepemimpinan  yang buruh, reaksi internal dan
represi imperialis  selama tahun-tahun belakangan ini. Kita harus menyanjung kekuatan
mahasiswa-mahasiswa Mexico. (tepuk tangan) Dalam beberapa hari mereka telah mengubah
situasi politik secara mendasar di negeri itu  dan membuang topeng demokrasi palsu yang
dipasang pemerintah  Mexico untuk  menerima  jutaan dolar dari penonton-penonton
Olimpiade. Sekarang setiap orang yang menonton Olimpiade akan tahu bahwa  ia telah
mengunjungi  negeri di mana para  pemimpin  serikat  buruh kereta apinya ditahan bertahun-
tahun setelah masa tahanan  mereka berakhir; negeri di mana banyak pemimpin politik
kalangan  kiri dipenjara  bertahun-tahun tanpa  pengadilan,  di  mana pemimpin mahasiswa
dan ribuan milisi mahasiswa ditahan di  penjara  tanpa landasan  hukum. Protes mereka yang
heroik  memiliki konsekuensi bagi  masa depan politik Meksiko dan perjuangan kelas  di
negeri itu. (tepuk tangan)
Penting  juga kiranya mengutarakan beberapa patah kata  tentang  mahasiswa
tahanan di negeri-negeri semi kolonial  lainnya, yang  tidak pernah dibicarakan orang, seperti
pemimpin mahasiswa Kongo yang telah ditahan selama hampir satu tahun karena  mengor-
ganisir sebuah demonstrasi kecil menentang perang Vietnam ketika wakil presiden Humphrey
bertandang ke sana. Kita tidak boleh lupa bahwa pemimpin-pemimpin mahasiswa Tunisia
yang ditahan selama dua belas tahun dengan alasan yang sama, memimpin sebuah
demonstrasi. Duabelas tahun di penjara! Kita harus menyadarkan masyarakat agar kejahatan
penindas seperti ini tidak akan terlupakan.
Akhirnya, kita tidak boleh lupa perjuangan melawan intervensi  Amerika  Serikat di
Vietnam, yang  tetap menjadi  perjuangan utama  di dunia sekarang ini. Dengan dimulainya
negosiasi itu  di Paris,  tidak  berarti bahwa tidak ada yang  dapat  kita  lakukan untuk
membantu perjuangan kawan-kawan kita di Vietnam. Untuk itu, saya  mengajak kalian ikut
dalam aksi dunia yang  dimulai  oleh gerakan mahasiswa Jepang, Zengakuren, Federasi
Mahasiswa  Revolusioner Inggris bersama dengan Kampanye Solidaritas Vietnam,  dan
Komite Mobilisasi Mahasiswa di sini. Ini adalah Minggu  Solidaritas  untuk revolusi
Vietnam, dari tanggal 21 sampai  27  Oktober. Minggu  ini ratusan ribu mahasiswa, buruh
muda  dan  revolusioner muda  akan turun ke jalan bersamaan untuk mencapai  tujuan-tujuan
yang  diajukan kawan-kawan Vietnam! Perlihatkan pada dunia  bahwa di  Amerika  Serikat
ada ratusan ribu  orang  yang menginginkan penarikan  kembali pasukan Amerika dari
Vietnam. Itu  pasti  akan berhasil. (terputus oleh tepuk tangan)

Anda mungkin juga menyukai