“EPILEPSI”
Preceptor :
dr. Rini Sunarti, Sp.S
apt. Mutia Permata Sari, S.Farm
Disusun Oleh :
KELOMPOK 2
DESSY KURNIA RISMA (31 05 015)
GHENY SELWITRA INSANI (31 05 077)
SOFIA NOFIANTI (31 05 065)
PADANG PANJANG
2021
KATA PENGANTAR
laporan akhir ini dalam rangka Praktek Kerja Profesi Apoteker (PKPA) di Rumah
Sakit Umum Daerah Kota Padang Panjang. Salawat beriring salam tidak lupa kita
ucapkan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa umatnya dari zaman
jahiliyah kepada zaman yang penuh ilmu pengetahuan seperti yang kita rasakan
saat ini.
Laporan ini ditujukan sebagai salah satu syarat menyelesaikan Praktek Kerja
Profesi Apoteker (PKPA) pada Program Studi Profesi Apoteker, Fakultas Farmasi
khusus ini tidak terlepas dari dukungan, doa, dan semangat dari berbagai pihak.
1. Bapak Prof. Dr. apt. Elfi Sahlan Ben selaku Rektor di Universitas
3. Ibu apt. Mimi Aria, M.Farm selaku Ketua Program Studi Profesi
Padang.
[Type text]
4. Dr. Ardoni selaku direktur di Rumah Sakit Umum Daerah Kota Padang
6. Bapak ibu dosen, selaku pembimbing dari fakultas farmasi yang telah
7. Seluruh asisten apoteker dan karyawan Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari kesempurnaan. Kritik dan
saran guna perbaikan penulis harapkan. Penulis berharap semoga laporan ini dapat
Penulis
[Type text]
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui Untuk mengetahui gambaran karakteristik epilepsi
pada pasien anak di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Daerah
Padang Panjang.
1.4 Manfaat
Dapat menambah tingkat pengetahuan mengenai karakteristik epilepsi
pada anak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Epilepsi yang terjadi pada masa anak dan dewasa bervariasi namun
jenis epilepsi yang secara umum lebih sering terjadi adalah epilepsi
umum. (Pinzon, 2006) Pada usia anak kejadian epilepsi menurun. Epilepsi
pada kelompok usia ini biasanya dikarenakan cedera otak akut (kejang
akut simptomatik). Tipe kejang yang sering terjadi pada awal masa usia
dewasa adalah kejang umum idiopatik, terutama myoklonik dan tonik-
klonik. Setelah itu kejang parsial lebih banyak ditemukan (Brodie, 2001).
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan
berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yakni kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan
paroksimal. Epilepsi ditetapkan sebagai kejang epileptik berulang (dua
atau lebih), yang tidak dipicu oleh penyebab yang akut (Markand, 2009).
Bangkitan epilepsi adalah manifestasi klinis dari bangkitan serupa
yang berlebihan dan abnormal, berlangsung secara mendadak dan
sementara, dengan atau tanpa perubahan kesadaran, isebabkan oleh
hiperaktifitas listrik sekelompok sel saraf di otak yang bukan disebabkan
oleh suatu penyakit otak akut. Lepasnya muatan listrik yang berlebihan ini
dapat terjadi di berbagai bagian pada otak dan menimbulkan gejala seperti
berkurangnya perhatian dan kehilangan ingatan jangka pendek, halusinasi
sensoris, atau kejangnya seluruh tubuh (Miller, 2009).
Sindrom epilepsi adalah sekumpulan gejala dan tanda klinis
epilepsi yang terjadi bersama-sama meliputi berbagai etiologi, umur,
onset, jenis serangan, faktor pencetus dan kronisitas (Engel Jr, 2006).
2.2.2 Epidemiologi
Salah satu kejang idiopatik pada sindrom epilepsi. Kejang ini dapat di
stimulasi oleh kebisingan, ketika mengentar tidur (Shorvon, 2010). Kejang
Mioklonik berlangsung singkat, keras, terjadi kontraksi otot dan melibatkan
anggota tubuh pada satu atau kedua sisi tubuh atau seluruh batang otot
(Ropper, 2001).
Klonik Kejang
Klonik berupa gerakan ritmik tangan dan kaki biasanya terjadi pada
kedua sisi tubuh, kejang jenis ini jarang terjadi (Brashers, 2007).
Tonik
Kejang tonik berupa ekstensi leher, kontraksi otot-otot wajah dengan mata
membuka lebar dan kontraksi otot- otot pernafasan, biasanya berlangsung
selama 60 detik (Shorvon, 2010). Kejang ini sering terjadi pada saat pasien
tidur, apabila serangan terjadi pada saat pasien berdiri maka pasien akan jatuh
(Ikawati, 2011).
Tonik-klonik (Grand Mall)
Merupakan kejang yang menggambarkan epilepsi dalam persepsi umum
masyarakat. Kejang ini paling banyak terjadi yaitu pada 10% populasi
penderita epilepsi. Pasien yang awalnya berdiri akan tiba-tiba terjatuh jika
mengalami kejang ini, diawali dengan fase tonik selama 10-30 detik dimana
anggota badan akan kaku, rahang seperti terjepit dan terjadi sesak kemudian
diikuti dengan fase klonik dimana gerakan kejang berasal dari keempat
anggota badan, terjadi gangguan pernafasan dan keluar air liur atau bahkan
busa dari mulut (Fauci et al., 2008; Shorvon, 2010).
Atonik Kejang
Merupakan kategori kejang yang paling parah, kejang ini dapat terjadi
pada semua usia dan selalu berkaitan dengan meluasnya kerusakan otak dan
ketidakmampuan belajar (Shorvon, 2010). Jika seseorang mengalami kejang
ini akan tiba-tiba kehilangan masa otot sehingga seringkali terjatuh secara
mendadak, lebih sering terjadi pada anak- anak (Utama & Ganiswarna, 2009).
Spasme Infantil
Yang dikenal dengan west syndrome yang ditandai dengan adanya
sentakan tiba-tiba dan penegangan, lutut tertarik ke atas dan tubuh
membengkuk ke depan, biasanya terjadi pada penderita usia 3 sampai 12
bulan dan umumnya berhenti pada usia 2 sampai 4 tahun (Hantoro, 2013;
Ikawati, 2011).
2. Kejang Parsial
Adalah kejang yang terjadi jika aktivasi dimulai dari daerah tertentu
di otak (Ikawati, 2011). Kejang parsial atau fokal dibagi dalam beberapa
kategori antara lain kejang parsial sederhana, kejang parsial kompleks dan
kejang parsial general sekunder. Kejang parsial sederhana dicirikan ketika
tidak ada gangguan kesadaran, kejang ini sering timbul dari korteks
sensorimotor. Kejang parsial sederhana sendiri diklasifikasikan lebih
lanjut menurut manifestasi klinisnya menjadi motorik, sensorik dan
otonom atau psikis. Kejang parsial kompleks dicirikan bila disertai
gangguan kesadaran, memiliki fokus di lobus temporal (Ropper, 2001).
2. Terapi Farmakologi
a. Algoritma Terapi Gangguan Epilepsi
Tabel 2. Pilihan terapi untuk epilepsi oleh tiga badan professional berdasarkan
jenis kejangnya (Wells et al., 2015)
BAB III
TINJAUAN KASUS
Pekerjaan : Pelajar
Alamat : Paninjauan
Agama : Islam
3.2 Anamnesa
Tidak Ada
c. Pemeriksaan Umum :
Tekanan Darah : 117/73 mmHg
Frekuensi Nadi : 108 kali/menit
Epilepsi
Tidak Ada
Terapi yang diberikan di poli neurologi Rumah Sakit Daerah Kota padang
Panjang :
3.8 Follow Up
Tanggal S O A P
Fenitoin terikat sangat erat dengan protein plasma. Kadar plasma total
menurun jika presentase fenitoin yang terikat menurun seperti pada
uremia atau hipoalbuminemia, namun hubungan kadar obat bebas dengan
keadaan klinis tetap tidak jelas. Konsentrasi obat dalam cairan
serebrospinal sebanding dengan kadar obat bebas dalam plasma. Fenitoin
dapat menumpuk di otak, hati, otot, dan lemak.
Fenitoin dimetabolisasi menjadi metabolit inaktif yang dieksresi
melalui urine. Hanya sebagian kecil fenitoin yang dikeluarkan tanpa
mengalami perubahan. Eliminasi fenitoin bergantung pada dosisnya. Pada
kadar darah yang sangat rendah, metabolisme fenitoin mengikuti prinsip
kinetik orde pertama. Akan tetapi seiring meningkatnya kadar darah
fenitoin dalam rentang terapeutik, kapasitas maksimum hati untuk
memetabolisasi fenitoin mulai tercapai. Peningkatan dosis lebih lanjut,
walaupun elatif kecil, dapat menghasilkan perubahan yang sangat besar
dalam konsentrasi fenitoin. Dalam keadaan demikian , waktu paruh obat
meningkat tajam, kadar plasma yang stabil tidak akan diperoleh (karena
kadar plasma akan meningkat), dan pasien akan cepat memperlihatkan
tanda-tanda toksikasi.
Waktu paruh fenitoin berkisar antara 12-36 jam, rata-rata 24 jam pada
sebagian besar paisen dalam terapi fenitoin kadar rendah atau menengah.
Banyak waktu paruh yang lebih lama terlihat pada konsentrasi yang lebih
tinggi. Pada kadar fenitoin dalam darah yang rendah, dibutuhkan 5-7 hari
untuk mencapai kadar darah yang stabil pada setiap perubahan dosis; pada
kadar yang lebih tinggi, waktu yang dibutuhkan dapat mencapai 4-6
minggu sebelum kadar darah stabil.
Kadar dan Dosis Terapeutik : Kadar plasma terapeutik fenitoin
pada sebagian besar pasien berkisar antara
10 dan 20 mcg/ mL. Dosis beban dapat diberikan per oral atu intravena;
pemberian fosfenitoin intravena merupakan metode pilihan pada status
epileptikus konvulsif. Ketika memulai terapi oral , dosis dewasa biasanya
300 mg/hari, tanpa memperlihatkan berat badan pasien. Dosis ini mungkin
dapat diterima oleh beberapa pasien, tetapi dosis ini sering hanya
menimbulkan kadar darah stabil dibawah 10 mcg/mL, yang merupakan
kadar terapeutik minimum sebagian besar pasien. Jika kejang berlanjut,
biasanya diperlukan dosis yang lebih tinggi untuk mencapai kadar plasma
dalam batas atas rentang terapeutik. Karena kinetik obat ini bergantung
pada dosis, beberapa keracunan dapat terjadi hanya dengan peningkatan
dosis yang kecil. Peningkatan dosis fenitoin tiap kalinya hanya dapat
dilakukan sebesar 25-30 mg pada dewasa, dan perlu waktu yang cukup
untuk mencapai keadaan stabil yang baru sebelum dilakukan penambahan
dosis berikutnya. Kesalahan klinis yang biasanya terjadi adalah
meningkatkan dosis langsung dari 300 mg /hari ke 400 mg/hari ;
keracunan biasanya terjadi pada waktu- waktu berbeda setelahnya. Pada
anak, dosis 5 mg/kg/hari perlu diikuti dengan penyesuaian setelah kadar
stabil tercapai.
Dua jenis natrium fenitoin oral yang terdapat di Amerika, berbeda hanya
dalam laju pelarutannya; yang satu diabsorbsi cepat dan yang lain
diabsobsi lebih lambat. Hanya formulasi lepas-lambat, kerja-
berkepanjanganlah yang dapat diberikan dalam dosis tunggal, dan perlu
hati-hati jika berganti merk. Meskipun beberapa pasien yang diberi
fenitoin dalam jangka panjang telah terbukti mempunyai kadar darah
rendah karena absorbsi sedikit atau metabolisme cepat, penyebab tersering
terjadinya kadar rendah tersebut adalah kurangnya kepatuhan pasien.
Natrium fosfenitoin tersedia untuk penggunaan intravena atau
intramuskular dan menggantikan natrium fenitoin intravena, yakni bentuk
obat yang lebih sulit-larut.
Fenitoin telah terbukti menginduksi enzim mikrosomal yang
bertanggung jawab dalam metabolisme berbagai obat. Namun,
autostimulasi metabolisme fenitoin sendiri tampaknya tidak begitu
mencolok. Obat-obat lain, terutama fenobarbital dan karbamazepin,
menyebabkan penurunan konsentrasi kondisi stabil fenitoin melalui
induksi enzim mikrosomal hati. Sebaliknya, isoniazid menghambat
metabolisme fenitoin, mengakibatkan peningkatan konsentrasi kondisi
stabil fenitoin jika kedua obat diberikan bersamaan.
b.) Asam folat
Asam folat bekerja atau berperan dalam sintesa erytropoesis dan
nukleoprotein.
Indikasi
- Anemia megaloblastik dan makrositik akibat defisiensi asam folat
- Keadaan meningginya kebutuhan asam folat
- Keadaan yang membutuhkan suplemen asam folat
Kontra indikasi
Pasien dengan anemia perniciosa
Efek samping
Pemakaian dosis besar dapat menyebabkan urine berwarna
Interaksi obat
- dengan analgesik, antikonvulsan dan antibiotik
- dengan phenytoin, akan menurunkan efek dari phenytoin
- dengan Trimetoprim akan menginhibisi dihidrofolat reduktase
Peringatan
– bila asam folat digunakan tanpa dasar yang kuat dapat menghasilkan
perbaikan terselubung pada anemia perniciosa untuk pengobatan
anemia megaloblastik atau anemia perniciosa, asam folat diberikan
bersama-sama dengan hidroksokobalamin anemia perciosa harus
disingkirkan terlebih dahulu, sebeb terapi dengan asam folat
menghilangkan gejala hematologik anemia, sedangkan kerusakan
syaraf berjalan terus (irreversibel) jangan diberikan sebelum diagnosa
ditetapkan.
Posologi
Dewasa
Defisiensi asam folat: dosis awal 0,25 -1,0 mg / hari sampai ada
respon dosis penunjang: 0,25 mg/ hari (0,8 mg pada keadaan hamil
dan laktasi) suplemen diet: 0,1 – 1,0 mg/ hari pada keadaan hamil
pada keadaan kebutuhan asam folat meningkat, dosis dapat dinaikan
sampai 0,5–1,0 mg/hari
Anak-anak:
Defisiensi asam folat: dosis awal 0,25-1,0 mg/hari sampai ada respon
pada keadaan kebutuhan asam folat meningkat, dosis dapat dinaikkan
sampai 0,5-1,0mg/hari.
Dosis penunjang: bayi 0,1 mg/ hari
anak-anak < 4 tahun: sampai 0,3 mg/hari
anak-anak > 4 tahun: sampai 0,4 mg/hari
BAB IV
Check
No Drug Therapy Problem Rekomendasi
List
1. Terapi obat yang tidak diperlukan
Terdapat terapi tanpa indikasi medis Pasien telah mendapatkan terapi sesuai de
-
medis.
Pasien mendapatkan terapi tambahan Pasien telah mendapatkan terapi sesuai de
-
yang tidak diperlukan medis.
Pasien masih memungkinkan menjalani - karena pasien sempat berhenti mengkonsu
terapi non farmakologi tahun 2019 tanpa anjuran dokter, seh
-
kekambuhan lagi
Bentuk sediaan tidak tepat Bentuk sediaan telah disesuaikan dengan kond
- - Phenytoin 2x100 mg (PO)
- Asam folat 1x1 mg (PO)
Terdapat kontra indikasi Tidak ditemukan adanya kontra indikasi
-
pengobatan.
Kondisi pasien tidak dapat Dapat disembuhkan oleh obat
-
disembuhkan oleh obat
Obat tidak diindikasikan untuk kondisi Pasien telah mendapatkan terapi sesuai dengan
-
pasien
Terdapat obat lain yang lebih efektif Pasien tidak mendapatkan terapi yang tida
- Terapi yang diberikan sesuai dengan indikasi
pasien.
3. Dosis tidak tepat
Dosis terlalu rendah Dosis obat sudah tepat
Dosis terlalu tinggi -
Frekuensi penggunaan tidak tepat Frekuensi penggunaan obat yang diberikan sud
-
Proses penyimpanan obat sudah diletakan pad
sesuai pada tempatnya. Dimana obat dis
Penyimpanan tidak tepat tempat obat pasien.
- 1. Phenytoin : simpan pada suhu di bawah
dan terlindung dari cahaya
2. Asam Folat : simpan pada suhu di
kering dan terlindung dari cahaya
Administrasi obat tidak tepat Administrasi sudah tepat.
- - Phenytoin 2x100 mg (PO)
- Asam Folat 1x1 mg (PO)
Terdapat interaksi obat Terdapat interaksi antara phenytoin dan asam
Iya
dapat diatasi dengan menjarakkan pemakaiann
4. Reaksi yang tidak diinginkan
Obat tidak aman untuk pasien Obat yang diberikan telah aman digunakan
- Pemberian terapi pada pasien telah disesu
dosis yang tepat untuk pasien.
Terjadi reaksi alergi Pasien tidak mengalami alergi.
-
Terjadi interaksi obat Terdapat interaksi antara phenytoin dan asam
Ada
dapat diatasi dengan menjarakkan pemakaiann
Dosis obat dinaikkan atau diturunkan Tidak ada perubahan dosis obat yang di pak
-
terlalu cepat yang digunakan sama selama menjalani peraw
Muncul efek yang tidak diinginkan Tidak ada tanda dan gejala yang timbul pada
Tidak
minum obat
Administrasi obat yang tidak tepat - Administrasi sudah tepat.
Terdapat kondisi yang tidak diterapi Pasien telah mendapatkan terapi sesuai ind
-
obat yang digunakan telah tepat untuk terapi p
Pasien membutuhkan obat lain yang Terapi obat yang diberikan telah sinergis s
-
sinergis perlukan lagi terapi lain.
Pasien membutuhkan terapi profilaksis Pasien tidak membutuhkan terapi profilaksis
Tidak
BAB V
PEMBAHASAN
Seorang remaja wanita bernama Nn. LF 13 tahun 2 bulan Alamat
Paninjauan, Pasien datang ke poli neurologi RSUD Padang Panjang pada
tanggal 7 Agustus 2019 dengan keluhan mengalami kejang disertai mulut
berbusa setiap kali ada beban fikiran seperti banyak tugas sekolah dan saat
akan melaksanakan ujian. Pasien medapatkan terapi Depakote (Sodium 2
x 250 mg per hari dan asam folat 2x1 mg per hari. Dari keterangan
keluarga yakni ibu pasien mengatakan bahwa setalah melakukan
pengobatan pasien kembali sembuh.
Pada agustus 2020 Nn LF 14 tahun 2 bulan, kembali mengalami
kejang disertai mulut berbusa setelah pasien melaksanakan ujian tengah
semester lalu pasien berobat ke RSSN Bukittinggi dan medapatkan tiga
jenis obat. Berdasarkan hasil wawancara terhadap pasien dan ibu pasien,
pasien mengatakan kalau dia sudah lupa dengan tiga jenis obat yang
dikonsumsi sebelumnya.
Sumber:Layanan Kefarmasian untuk orang dengan Gangguan Epilepsi direktorat BINFAR komunitas dan
klinik dirjen BINFAR dan ALKES DEPKES RI 2009
Dan untuk asam folat juga sudah tepat karena kegunaan asam folat
pada terapi ini terbukti mengurangi kejadian cacat saraf pada anak-anak
atau remaja (Kenya National Guidelines For The Management Of
Epilepsy 2016)
BAB IV
4.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
Ariani, April T. 2012. Sistem Neurobehaviour. Jakarta : Salemba Medika
Bertram G. Katzung., Susan B. Masters., Anthony J. Trevor. Farmakologi Dasar
& Klinik. 2013. Alih Bahasa, Brahm U. Pendit ; Editor Edisi Bahasa
Indonesia, Ricky Soeharsono, et al. 2013. Ed. 12. Jakarta : EGC. Hal 254
–1039.
Bertram G. Katzung. 2010. Farmakologi Dasar & Klinik. Alih Bahasa,
Aryandhito Widhi Nugroho, Leo Rendy, Linda wijayanthi; Editor Edisi
Bahasa Indonesia, Windriya Kerta Nirmala, et al. Ed. 10. Jakarta :EGC.
J. Corwin Elizabeth. 2007. Buku Saku Patofisiologi. Edisi Ketiga. Jakarta : Buku
Kedokteran ECG
Kahle, L.R. 2000, “Social Values And Social Change: Adaptation To Life
In America”, New York:Praeger.
Moore KL, Dalley AF, Agur AMR, Moore ME.2013. Anatomi
Berorientasi klinis.Edisi ke-5. Jakarta: Erlangga.
Mutschler, E., 1999, Dinamika Obat : Buku Ajar Farmakologi dan
Toksikologi, diterjemahkan oleh Widianto, M.B., dan Ranti, A.S., Edisi
Kelima, Penerbit ITB, Bandung.
Nordli, D.R., Pedley, De Vivo, 2006. Buku Ajar Pediatri Rudolph vol. 3,
Jakarta : EGC, hal 1023, 1034, 2135-2138.
PERDOSSI., 2011. Kelompok Studi Epilepsi Perhimpunan Dokter Spesialis
Saraf Indonesia. Pedoman Tatalaksana Epilepsi. Jakarta
Satyanegara, Roslan Yusni Hasan, et al., eds Ilmu Bedah Syaraf IV- Prof Dr.
Satyanegara MD. IV. Jakarta. PT. Gramedia Media Utama, 2010.
Tjay, Tan Hoan dan Kirana Rahardja, 2007, Obat-Obat Penting Khasiat,
Penggunaan dan Efek-Efek Sampingnya, Edisi Keenam, 262, 269-271,
PT. Elex Media Komputindo, Jakarta