Anda di halaman 1dari 37

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep DM tipe II

2.1.1 Definisi

Menurut American Diabetes Association (ADA, 2016) DM tipe II

adalah suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik

hiperglikemia akibat dari kelainan sekresi insulin, kerja insulin, atau

keduanya sekaligus.

DM tipe II adalah penyakit kronis yang terjadi ketika pankreas

tidak lagi mampu membuat insulin, atau ketika tubuh tidak dapat

memanfaatkan insulin yang dihasilkannya dengan baik(IDF, 2019).

DM tipe II adalah suatu kondisi ketika tubuh tidak mampu

menghasilkan atau menggunakan insulin (hormon yang membawa

glukosa darah ke sel-sel tubuh dan menyimpannya sebagai glikogen)

sehingga menyebabkan hiperglikemia disertai kelainan metabolik

lainnya yang melibatkan kelainan metabolisme karbohidrat, protein,

dan lemak serta menimbulkan berbagai komplikasi kronis pada organ

tubuh (Mansjoer dkk., 2000; Sukarmin dan Riyadi, 2008; Tambayong,

2000 dalam Aini, 2016).

2.1.2 Etiologi

Faktor penyebab dari terjadinya DM tipe II yaitu resistensi insulin

atau kegagalan produksi insulin oleh sel β (ADA, 2019).

DM tipe II disebabkan karena adanya penurunan sensitivitas

terhadap insulin (resistensi insulin) atau akibat penurunan jumlah

insulin yang di produksi (Smeltzer, 2013).

7
8

Pada kondisi resistensi insulin, insulin dalam jumlah yang cukup

tidak dapat bekerja secara optimal sehingga menyebabkan kadar

gula dalam darah menjadi tinggi (PERKENI, 2015).

2.1.3 Faktor risiko

Berikut faktor risiko terjadinya DM tipe II, yaitu (Hupfeld, 2016) :

1. Genetik

DM tipe II sangat dipengaruhi oleh faktor genetik. Seorang

anak memiliki risiko 15 % menderita DM tipe II jika kedua salah

satu dari kedua orang tuanya menderita DM tipe II. Anak dengan

kedua orang tua menderita DM tipe II mempunyai risiko 75 %

untuk menderita DM tipe II dan anak dengan ibu menderita DM

tipe II mempunyai risiko 10-30 % lebih besar daripada anak

dengan ayah menderita DM tipe II (Garnita, 2016).

2. Stres

Stres kronik cenderung membuat seseorang mencari

makanan yang cepat saji kaya pengawet, lemak, dan gula.

Makanan ini sangat berpengaruh besar terhadap kerja pankreas.

Stres juga meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan

kebutuhan akan sumber energi yang berakibat pada peningkatan

erja pankreas. Beban kerja yang tinggi membuat pankreas mudah

rusak sehingga berdampak pada produksi insulin (Aini, 2016).

3. Lifestyle dan Nutrisi

Ada hubungan yang signifikan antara pola makan dengan

kejadian diabetes melitus tipe II. Pola makan yang buruk

merupakan faktor risiko yang paling berperan dalam kejadian

diabetes melitus tipe II. Pengaturan diet yang sehat dan teratur

sangat perlu diperhatikan terutama pada wanita. Pola makan


9

yang buruk dapat menyebabkan kelebihan berat badan dan

obesitas yang kemudian dapat menyebabkan DM tipe II (Aini,

2016).

Perilaku hidup sehat dapat dilakukan dengan melakukan

aktivitas fisik yang teratur. Manfaat dari aktivitas fisik sangat

banyak dan yang paling utama adalahmengatur berat badan dan

memperkuat sistem dan kerja jantung. Aktivitas fisik atau

olahraga dapat mencegah munculnya penyakit DM tipe II.

Sebaliknya, jika tidak melakukan aktivitas fisik maka risiko untuk

menderita penyakit DM tipe II akan semakin tinggi (Aini, 2016).

Terdapat hubungan yang signifikan antara kebiasaan

merokok dengan kejadian DM tipe II. Kebiasaan merokok

merupakan faktor risiko DM tipe II karena memungkinkan untuk

terjadinya resistensi insulin. Kebiasaan merokok juga telah

terbukti dapat menurunkan metabolisme glukosa yang kemudian

menimbulkan DM tipe II (Aini, 2016).

4. Obesitas

Pola makan yang buruk seperti terlalu banyak

mengkonsumsi karbohidrat, lemak dan protein dan tidak

melakukan aktivitas fisik merupakan faktor risiko dari obesitas.

Obesitas merupakan faktor risiko yang berperan penting dalam

DM tipe II karena obesitas dapat menyebabkan terjadinya

resitensi insulin di jaringan otot dan adipose (Aini, 2016).

Obesitas mengakibatkan sel-sel β pankreas mengalami

hipertrofi sehingga berpengaruh terhadap fungsinya dalam

memproduksi insulin. Pada kondisi obesitas juga menyebabkan

penurunan adiponektin, yaitu hormon yang dihasilkan adiposit


10

yang berfungsi untuk memperbaiki sensitivitas insulin dengan

cara menstimulasi peningkatan penggunaan glukosa dan oksidasi

asam lemak otot serta hati sehingga kadar trigliserida menurun.

Penurunan adiponektin menyebabkan resistensi insulin.

Aiponektin berkolerasi positif dengan HDL dan berkolerasi negatif

dengan LDL (Renaldy, 2009; Umar dan Adam, 2009 dalam Aini,

2016).

5. Usia

Usia yang semakin bertambah akan berbanding lurus

dengan peningkatan risiko menderita penyakit diabetes melitus

karena jumlah sel beta pankreas yang produktif memproduksi

insulin akan berkurang. Hal ini terjadi terutama pada umur yang

lebih dari 40 tahun. Penurunan fisiologis ini berisiko pada

penurunan funsi endokrin pankreas untuk memproduksi insulin

(Aini, 2016).

6. Jenis kelamin

Wanita lebih memiliki potensi untu menderita DM tipe II

daripada pria karena adanya perbedaan anatomi dan fisiologi.

Secara fisik wanita memilikipeluang untuk mempunyai indeks

massa tubuh di atas normal. Selain itu, adanya menopouse pada

wanita dapat mengakibatkan pendistribusian lemak tubuh tidak

merata dan cenderung terakumulasi (Aini, 2016).

2.1.4 Patofisiologi

DM merupakan suatu penyakit gangguan metabolik yang diawali

dengan berkurangnya sekresi insulin atau berkurangnya sensitivitas

jaringan terhadap insulin karena ketidakmampuan reseptor insulin

menyediakan transporter glukosa (Annisa, 2014).


11

Otot dan hati yang mengalami resistensi insulin menjadi penyebab

utama DM tipe II. Kegagalan sel beta pankreas untuk dapat bekerja

secara optimal juga menjadi penyebab dari DM tipe II (PERKENI,

2015).

Gangguan metabolisme tersebut dapat terjadi karena 2 hal yaitu

pertama karena kerusakan pada sel-sel beta pankreas karena

pengaruh dari luar seperti zat kimia, virus dan bakteri. Kedua,

penyebabnya adalah penurunan reseptor glukosa pada kelenjar

pankreas dan yang ketiga karena kerusakan reseptor insulin di

jaringan perifer (Fatimah, 2015).

Gangguan respons metabolik terhadap kerja insulin disebut

dengan resistensi insulin. Keadaan ini dapat disebabkan oleh

gangguan reseptor, pre reseptor dan post reseptor sehingga

dibutuhkan insulin yang lebih banyak dari biasanya untuk

mempertahankan kadar glukosa darah agar tetap normal. Sensitivitas

insulin untuk menurunkan glukosa darah dengan cara menstimulasi

pemakaian glukosa di jaringan otot dan lemak serta menekan

produksi glukosa oleh hati menurun. Penurunan sensitivitas tersebut

juga menyebabkan resistensi insulin sehingga kadar glukosa dalam

darah tinggi (Prabawati, 2012)

2.1.5 Manifestasi klinis

Manifestasi dari DM tipe II menurut (Aini, 2016), yaitu :

1. Poliuri (peningkatan pengeluaran urine), terjadi karena diuresis

dan hiperglikemia.

2. Polidipsi (peningkatan rasa haus), poliuri menyebabkan

hilangnya glukosa,elektrolit [na ,klorida,dan kalium] dan air

sehingga pasien mersa haus.


12

3. Polifagi (peningkatan rasa lapar), sel-sel tubuh mengurangi

kekurangan energi karena glukosa tidak dapat masuk ke

sel,akibatnya pasien merasa sering lapar.

4. Rasa lemah dan kekerasan otot.

Kekurangan energi sel menyebabkan pasien cepat lelah

dan lemah,selain itu kondisi ini juga terjadi karena katabolisme

protein dan kehilangan kalium lewat urine (Aini, 2016)

5. Kelainan ginekologis (keputihan dengan penyebab tersering yaitu

jamur terutama kandida)

DM tipe II akan menurunkan sistem kekebalan tubuh

secara umum, sehingga tubuh rentan terhadap infeksi. Selain itu

jamur dan bakteri mampu berkembang biak pesat di lingkungan

yang tinggi gula (hiperglikimia) (Aini, 2016)

6. Kepala.

Rambut tipis dan mudah rontok, telinga sering mendenging

(berdesing) dan jika keadaan ini tidak segera diobati dapat

menjadi tuli. Mata dapat menjadi katarak, glaukoma (peningkatan

bola mata), produksi air mata menurun, dan rerinopati diabetik

(penyempitan bulu darah kapiler yang disertai eksudasi dan

pendarahan pada retina sehingga mata pendertita menjadi kabur

dan tidak dapat sembuh dengan kacamata bahkan menjadi buta)

(Aini, 2016).

7. Rongga mulut.

Lidah terasa membesar atau tebal, kadang-kadang timbul

gangguan rasa pengecapan. Ludah penderita diabetes melitus

sering kali lebih kental, sehingga mulut terasa kering yang

disebut xerostomia diabetik. keadaan ludah kental ini dapat


13

mengganggu kesehatan rongga mulut dan mudah mengalami

infeksi. Kadang-kadang terasa ludah yang amat berlebihan yang

disebut hipersalivasi diabetilk (Aini, 2016).

Jaringan yang mengikat gigi pada rahang/periodontium

mudah rusak sehingga gigi penderita diabetes melitus mudah

goyah bahkan mudah lepas. Gusi penderita diabetes melitus

mudah mengalami infeksi, kadang-kadang bernanah dan karena

sering mengalami infeksi, rongga mulut dan ludah penderita

diabetes mwlitus semakin mengental sehingga bau mulut

penderita sering kurang enak (foetor ex oris diabetic) (Aini,

2016).

8. Paru-Paru dan jantung.

Penderita DM tipe II bila batuk biasannya berlangsung

lama karena pertahanan tubuh menurun dan penderita diabetes

melitus lebih mudah menderita TBC penderita DM juga lebih

mudah menderita infark jantung dan daya pompa otot antung

lemah sehingga penderita mudah sesak napas ketika jalan atau

naik tangga (payah jantung atau dekompensansi kordis) (Aini,

2016).

9. Hati

Penderita DM tipe II yang tidak dirawat dengan baik, akan

mengalami atau menderita penyakit liver akibat dari diabetesnya,

bukan karena kekurangan glukosa dalam dietnya. Penyakit ini

disebut dengan pnenyakit parlemakan hati non-alkohol, yang

terjadi dalam kurun waktu 5 tahun setelah menderita obesitas

atau DM tipe 2. Mekanisme terjadi penyakit ini karena akumulasi

lemak hepatosit melaluli mekalisme lipolisis dan hiperinsulisme.


14

Penderita diabetes melitus juga lebih mudah mengidap penyakit

radang hati karena virus hipatitis B dan C dibandingkan dengan

penderita non-diabetes (Aini, 2016).

10. Saluran pencernaan

a. Lambung

Serabut saraf yang memelihara lambung akan merusak

sehingga fungsi lambung untuk meng hancurkan makanan

menjadi lemah,kemudian lambung menggelembung sehingga

proses pengosongan lambung terganggu dan makanan lebih

lama tertinggal di dalam lambung.keadaan ini tertumbul rasa

mual, perut terasa penuh,kembung,makanan tidak dapat

turun,kadang-kadang timbul rasa sakit di uluh hati,atau

makanan terhenti di dalam dada (Aini, 2016).

b. Usus

Gangguan pada usus yang paling sering dialami penderita

diabetes melitus adalah sukar buang air besar,perut

kembung,kotoran keras,buang air besar hanya sekali dalam

2-3 hari.kadang terjadi sebaliknya yaitu penderita

menunjukkan keluhan diare 4-5 kali sehari,kotoran banyak

mengandung air,sering timbul pada malam hari.semua ini

akibat komplikasi saraf pada usus besar (Aini, 2016).

11. Ginjal dan kandung kemih

a. Ginjal

Dibandingkan dengan ginjal orang normal,penderita

diabetes melitus mempunyai kecenderungan 17 kali lebih

mudah mengalami gangguan fungsi ginjal.semuanya ini

disebabkan oleh faktor infeksi berulang yang sering timbul


15

dan adanya faktor penyempitan pembulu darah kapiler

yang disebut mikroangiopati diabetik di ginjal (Aini, 2016).

b. Kandung kemih

Penderita sering mengalami infeksi saluran kemih

(ISK) yang berulang. Saraf yang memelihara kandung

kemih sering merusak,sehingga dinding kandung kemih

menjadi lemah. Kandung kemih akan menggelembung dan

kadang-kadang penderita tidak dapat BAK secara

spontan,urine tertimbun dan tertahan di kandung

kemih.Keadaan ini disebut retensio urine. Sebaliknya,bila

kontrol saraf terganggu,penderita sering ngompol atau

urine keluar sendiri yang di sebut inkonyinesia urine (Aini,

2016).

12. Impotensi

Penyebab utama terjadi inpotensi pada diabetes adalah

neuropati (kerusakan saraf) sehingga tidak terjadi pada

A.Helicina penis.Ini menyebabkan saluran darah dalam penis

tidak lancar sehingga penis tidak dapat ereksi (Aini, 2016).

13. Kondisi saraf

Peningkatan dalam glukosa dalam darah akan merusak

urat saraf penderita.keadaan ini disebut neuropati

diabetik.Berikut adalah gejala-gejala neuropati diabetik (Aini,

2016) :

a. Kesemutan

b. Rasa panas atau rasa tertusuk-tusuk jarum.

c. Rasa tebal ditelapak kaki sehingga penderita merasa

seperti berjalan di atas kasur.


16

d. Kram.

e. Keseluruhan merasa sakit terutama pada malam hari

f. Kerusakan yang terjadi pada banyak serabut saraf yang di

sebut polineuropati diabetik. Pada keadaan ini jalan

penderita akan pincang dan otot-otot kakinya mengecil

(atrofi)

14. Pembuluh darah

Komplikasi DM tipe II yang paling berbahaya adalah

komplikasi pada pembuluh darah. Pembulu darah penderita

diabetes melitus muda menyempit dan tersumbat oleh

gumpalan darah. Penyempitan pembulu darah pada penderita

diabetes melitus disebut angiopati diabetik. Angiopati diabetik

pada pembulu darah besar atau sedang disebut

makroangiopati diabetik, sedangkan pada pembulu darah

kapiler disebut mikroangiopati diabetik (Aini, 2016).

15. Kulit

Pada umumnya kulit penderita DM tipe II kurang sehat

atau kuat dalam hal pertahananmya, sehingga mudah terkena

infeksi dan penyakit jamur (Aini, 2016).

2.1.6 Diagnosis

Kriteria diagnosis DM tipe II (ADA, 2019) :

1. Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah

kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam, atau

2. Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2 jam setelah Tes

Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram,

atau
17

3. Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan

keluhan klasik (poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat

badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya), atau

4. Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang

terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization

Program (NGSP).

2.1.7 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan pada pasien DM tipe II menurut Perkeni (2015)

dan Aini, dkk., (2016) dibedakan menjadi 2 macam yaitu :

1. Penatalaksanaan Farmakologis

Pemberian terapi farmakologi harus diikuti dengan pengaturan

pola makan dan pola hidup sehat. Terapi farmakologi terdiri dari

obat oral dan obat injeksi, yaitu :

a. Obat antihiperglikemia oral

Menurut Perkeni (2015), berdasarkan cara kerjanya obat

ini dibedakan menjadi beberapa golongan, antara lain :

1) Pemicu sekresi insulin

Obat golongan ini adalah Sulfonilurea dan Glinid.

Efek utama dari obat sulfonilurea adalah memicu sel β

pankreas untuk memproduksi insulin. Sedangkan, fungsi

dari obat glinid adalah melakukan penekanan pada

peningkatan sekresi insulin fase pertama sehingga

mengatasi kondisi hiperglikemia post prandial (Perkeni,

2015; Aini, 2016).

2) Penurunan sensitivitas terhadap insulin

Obat golongan ini adalah Metformin dan

Tiazolidindion. Efek utama dari obat metformin adalah


18

mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis) dan

memperbaiki glukosa perifer. Sedangkan, fungsi dari obat

tiazolidindion (TZD) adalah mengurangi resistensi insulin

dengan jumlah protein pengangkut glukosa sehingga

meningkatkan glukosa perifer (Perkeni, 2015; Aini, 2016).

3) Penghambat absorpsi glukosa

Obat ini adalah penghambat glukosidase alfa, yang

bekerja dengan memperlambat absorpsi glukosa dalam

usus sehingga berefek menurunkan kadar glukosa darah

sesudah makan (Perkeni, 2015; Aini, 2016).

4) Penghambat Dipeptydil Peptidase-IV (DPP-IV)

Obat golongan penghambat DPP-IV berfungsi

untuk menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga glucose

like peptide-1 (GLP-1) tetap dalam konsentrasi yang tinggi

dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan

sekresi insulin dan menekan sekresi glukagon sesuai

kadar glukosa darah (glucose dependent) (Perkeni, 2015;

Aini, 2016).

b. Kombinasi obat oral dan injeksi

Kombinasi obat oral antihiperglikemia dan insulin yang

banyakdigunakanadalah kombinasi obat oral antihiperglikemia

oral dan insulin basal (insulin yang bekerja menengah atau

insulin kerja panjang) yang diberikan pada malam hari

sebelum tidur. Terapi tersebut biasanya dapat mengendalikan

kadar glukosa darah dengan baik jika dosis insulin kecil atau

cukup. Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit

yang diberikan sekitar pukul 22.00, kemudian dievaluasi dosis


19

tersebut dengan melihat nilai kadar glukosa darah puasa

keesokan harinya. Ketika kadar glukosa darah sepanjang hari

masih tidak terkendali meskipun sudah mendapat insulin

basal, maka perlu diberikan terapi kombinasi insulin basal dan

prandial, serta pemberian obat antihiperglikemiaoral dihentikan

(Perkeni, 2015; Aini, 2016).

2. Penatalaksanaan Non-farmakologis

Terapi non-farmakologi menurut Perkeni (2015) dan Aini

(2016), yaitu :

a. Edukasi

Edukasi bertujuan untuk promosi kesehatan supaya hidup

menjadi sehat. Hal ini perlu dilakukan sebagai upaya

pencegahan dan bisa digunakan sebagai pengelolaan

diabetes melitus secara holistik (Perkeni, 2015; Aini, 2016).

Edukasi sangat komprehensif serta upaya motivasi sangat

dibutuhkan untuk tercapainya perubahan perilaku. Perubahan

perilku bertujuan agar penderita diabetes melitus dapat

menjalani pola hidup sehat. Beberapa perubahan perilaku

yang diharapkan seperti mengikuti pola amkaan sehat,

meningkatkan kegiatan jasmani, menggunakan obat diabetes

dan obat-obat pada keadaan khusus, melakukan Pemantauan

Glukosa Darah Mandiri (PGDM) dan memanfaatkan data

yang ada, melakukan perawatan kaki secara berkala, memiliki

kemampuan untuk mengenal dan menghadapi keadaan sakit

akut dengan tepat, mempunyai keterampilan mengatasi

masalah yang sederhana dan mau bergabung dengan

kelompok penyandang diabetes, mengajak keluarga untuk


20

mengerti pengelolaan penderita diabetes serta memnfaatkan

pelayanan kesehatan yang ada (Perkeni, 2015; Aini, 2016).

b. Terapi Nutrisi Medis

Penderita diabetes melitus perlu diberikan pengetahuan

tentang jadwal makan yang teratur, jenis makanan yang baik

beserta jumlah kalorinya (3J) terutama pada pasien yang

menggunakan obat penurun glukosa darah maupun insulin

(Perkeni, 2015; Aini, 2016).

Faktor-faktor yang menentukan kebutuhan kalori antara

lain jenis kelamin, umur, aktivitas fisik atau pekerjaan, dan

berat badan. Hal yang terpenting adalah tidak terlalu

mengurangi jumlah makanan karena akan mengakibatkan

kadar glukosa darah menurun atau rendah (hipoglikemia) dan

juga tidak terlalu banyak mengonsumsi makanan yang

memperparah konsisi penyakit DM (Perkeni, 2015; Aini,

2016).

Menurut Perkeni (2015) dalam Aini (2016), komposisi

makanan yang dianjurkan terdiri atas beberapa unsur gizi

penting berikut :

1. Karbohidrat

a. Karbohidrat yang dianjurkan sebesar 45-65% total

asupan energi.

b. Pembatasan karbohidrat total < 130 g/hari tidak

dianjurkan.

c. Makanan harus mengandung karbohidrat terutama

yang berserat tinggi.


21

d. Gula dalam bumbu diperbolehkan sehingga penderita

diabetes dapat makan dengan jenis makanan yang

sama dengan anggota keluarga yang lain.

e. Sukrosa tidak bleh lebih dari 5% total asupan energi.

f. Pemanis alternatif dapat digunakan sebagai pengganti

gula, asalkan tidak melebihi batas aman konsumsi

harian (Accepted Daily Intake).

g. Makan tiga kali sehari untuk mendistribusikan asupan

karbohidrat dalam sehari, kalau diperlukan dapat

diberikan makanan selingan buah atau makanan lain

sebagi bagian dari kebutuhan kalori sehari.

2. Lemak

a. Asupan lemak dianjurkan sekitar 20-25% kebutuhan

kalori, tidak diperkenankan melebihi 30% total asupan

energi.

b. Lemak jenuh <7% kebutuhan kalori.

c. Lemak tidak jenuh ganda < 10% selebihnya dari lemak

tidak jenuh tunggal.

d. Bahan makanan yang perlu dibatasi adalah yang

banyak mengandung lemak jenuh dan lemak trans

antara lain daging berlemak dan susu penuh (whole

milk).

e. Anjuran konsumsi kolesterol , 300 mg/hari.

3. Protein

a. Dibutuhkan sebesar 10-20% total asupan energi

b. Sumber protein yang baik adalah seafood (ikan, udang,

cumi dan lain-lain), daging tanpa lemak, ayam tanpa


22

kulit, produk susu rendah lemak, kacang-kacangan,

tahu, dan tempe.

c. Pasien dengan nefropati perlu penurunan asupan

protein menjadi 0,8 g/kgBB per hari atau 10% dari

kebutuhan energi dan 65% harusnya bernilai biologis

tinggi.

4. Natrium

a. Anjuran asupan natrium untuk penderita diabetes sama

dengan anjuran untuk masyarakat umum yaitu tidak

boleh lebih dari 3.000 mg atau sama dengan 6-7 g (1

sendoh teh) garam dapur.

b. Pada penderita hipertensi, pembatasan natrium sampai

2.400 mg garam garam dapur.

c. Sumber natrium antara lain adalah garam dapur, vetsin,

soda, dan dahan pengawet seperti natrium benzoat dan

natrium nitrit.

5. Serat

a. Seperti halnya masyarakat umum penderita diabetes

dianjurkan mengonsumsi cukup serat dari kacang-

kacangan, buah, dan sayur-sayuran serta sumber

karbohidrat yang tinggi serat. Oleh karena mengandung

vitamin, mineral, serat, dan bahan lain yang baik untuk

kesehatan

b. Anjurkan konsumsi serat adalah kurang lebih 25

g/1.000 kkal/hari.

6. Pemanis alternatif
23

a. Pemanis dikelompokkan menjadi pemanis bergizi dan

tak bergizi

b. Pemanis bergizi adalah gula alkohol dan fruktosa. Gula

alkohol antara lain isomalt, lacticol, maltitol, sorbitol,

dan xylitol. Penggunaan pemanis bergizi perlu

diperhitungkan kandungan kalorinya sebagai bagian

dari kebutuhan kalori sehari. Fruktosa tidak dianjurkan

penggunaannya bagi penderita diabetes karena efek

samping pada lemak darah.

c. Pemanis tak bergizi termasuk aspartam, sakarin,

acesulfame potasium, sukralose, dan neotame.

d. Pemanis alternatif penggunaannya tidak akan

mengganggu kesehatan sepanjang tidak melebihi batas

aman (Accepted Daily Intake).

c. Latihan Jasmani dan Olahraga

Olahraga selain untuk menjaga kebugaran , namun juga

dapat menurunkan berat badan dan memperbaiki sensitivitas

insulin, sehingga akan memperbaiki kendali glukosa darah.

Latihan jasmani yang dianjurkan adalah yang bersifat aerobik

seperti jalan kaki, bersepeda santai, jogging, dan berenang.

Latihan jasmani sebaiknya disesuaikan dengan umur dan

status kesegaran jasmani (Perkeni, 2015; Aini, 2016).

Prinsip lahraga pada pasien DM tipe II adalah :

1. Continue (terus-menerus)
24

Latihan harus berkesinambungan terus-menerus

tanpa berhenti dalam waktu tertentu, contohnya speerti

berlari, istirahat lalu mulai berlari lagi (Aini, 2016).

2. Rhytmical (berirama)

Olahraga harus dipilih yang berirama, yaitu otot

berkontraksi dan relaksasi secara teratur, contohnya

jalan kaki, berlari, berenang, dan bersepeda (Aini,

2016).

3. Interval (berselang)

Latihan dilakukan secara berselang-selang antara

gerak lambat atau cepat, contohnya lari dapat diselingi

dengan jalan cepat atau jalan cepat diselingi jalan

biasa (asalkan tidak berhenti) (Aini, 2016).

4. Progressive (meningkat)

Latihan dilakukan meningkat secara bertahap

sesuai kemampuan dari ringan sampai sedang hingga

mencapai 30-60 menit dengan intensitas latihan

mencapai 60-70% maximum heart rate (MHR).

Sementara frekuensi latihan dilakukan 3-5 kali

perminggu (Aini, 2016).

5. Endurance (daya tahan)

Latihan harus ditujukan pada latihan daya tahan

untuk meningkatkan kemampuan pernapasan dan

jantung. Contoh aktivitasnya berupa jalan kaki,

berenang, atau bersepeda (Aini, 2016).

Penderita DM tipe II harus berolahraga secara

teratur yaitu 3 sampai 5 hari dalam seminggu selama


25

30-45 menit dengan total 150 menit perminggu dan

dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari

berturut-turut. Jenis latihan yang dianjurkan bersifat

aerobik dengan intensitas sedang yaitu 50% sampai

70% denyut jantung maksimal seperti berjalan cepat,

sepeda santai, berenang dan jogging (Aini, 2016).

2.1.8 Komplikasi

Komplikasi dari DM tipe II dibedakan menjadi 2 yaitu (Aini, 2016) :

1. Komplikasi akut

a. Koma hipoglikemia, kondisi ini ditandai dengan adanya

penurunan glukosa darah kurang dari 60 mg/dl yang

disebabkan oleh puasa disertai olahraga. Gejala hipoglikemia

dibedakan menjadi gejala ringan, sedang, dan berat. Gejala

ringan hipoglikemia meliputi tremor, takikardia, palpitasi,

gelisah dan rasa lapar. Gejala sedang hipoglikemia meliputi

penurunan konsentrasi, sakit kepala, vertigo, gerakan tidak

terkoordinasi, bicara pelo, kebas pada bibir dan lidah,

perubahan emosional, serta gejala beratnya adalah kejang

dan kehilangan kesadaran.

b. Krisis hiperglikemia,

1) Ketoasidosis diabetes (KAD), adalah dampak dari

patogenesis primer DM yaitu defisiensi insulin. KAD pada

penderita Dm tipe II dikarenakan ketidakmampuan

transpor glukosa ke dalam sel dan metabolisme glukosa

seluler menyebabkan tubuh menggunakan lemak sebagai

sumber energi dan akibatnya terjadi peningkatan kadar

glukosa darah dari 300 hingga 800 mg/dl. Lemak akan


26

dipecah menjadi asam aseto asetat, asam beta

hidroksibutirat, dan aseton. Ketoasidosis pada pasien DM

adalah asidosis metabolik ditandai dengan gejala mual,

muntah, haus dan dehidrasi, poliuri, penurunan elektrolit,

nyeri abdomen, nafas bau keton, hipotermia pernafasan

Kussmaul dan penurunan kesadaran.

2) Hiperglikemia hiperosmolar nonketonik (HHNK)

Terjadi pada DM tipe 2 yang merupakan akibat dari

tingginya kadar glukosa darah dan kekurangan insulin

secara relatif, biasanya ditemukan pada orang dewasa

dan lansia yang mengonsumsi makanan tinggi

karbohidrat. Perbedaaannya dengan ketoasidosis adalah,

pada HHNK tidak terjadi ketosis karena kadar insuli n

masih cukup sehingga tidak terjadi lipolisis besar-besaran.

Kadar gula darah yang tinggi meningkatkan dehidrasi

hipertonik sehingga terjadi penurunan komposisi cairan

intrasel dan ekstrasel karena pengeluaran urine berlebih.

Dalam kondiis ini terjadi pengeluaran urine berliter-liter,

defisit cairan sekitar 6 sampai 10 liter dan potasium

(kalium) sekitar 400 mEq. Gejala lainnnya meliputi

hipotensi, dehidrasi berat (membran mukosa kering, turgor

kulit jelek), takikardia ( nadi lemah dan cepat), rasa haus

yang hebat, hipokalemia berat, tidak ada hiperventilasi

dan bau napas serta tanda-tanda neurologis (perubahan

sensori, kejang, hemiparesis) (Hudak dan Gallo, 1996;

Corwin, J.E., 2001 dalam Aini 2016).

3) Efek Somogyi
27

Efek simogyi adalah penurunan unik kadar glukosa

pada malam hari, di ikuti oleh peningkatan rebound pada

paginya Ditemukan oleh ilmuan Hongaria,Michael

somogyi pada tahun 1949. Penyebab hipoglikimia malam

hari kemungkinan besar berkaitan dengan penyuntikan

insulin disore harinya. Hipoglikimia itu sendiri kemudian

menyebabkan peningkatan glukagon, katekolamin,

kortisol, dan hormon pertumbuhan. Hormon-hormon ini

merangsang glukoneogenesis sehingga pada pagi harinya

terjadi hiperglikimia. Resiko terjadi efek somogyi juga

meningkatkan dengan menggunakan insulin NPH dalam

terapi diabetes. Oleh karena menyebab utama efek

simogyi adalah dosis insulin yang berlebihan, maka

langkah pertama pencegahan adalah denga

memodofikasi dosis insulin, misalnya mengganti NPH

dengan apeaklees analog long-acting, seperti glargine

atau detemir (Corwin,J.E.,2001; Rybicka,M, dkk.,2011

dalam Aini, 2016).

4) Fenomena fajar (dawn phenomenon)

Fenomena fajar adalah hiperglikimia pada pagi hari

(antara jam 5 dan 9, referensi lainya menyebutkan antara

jam 3 dan 5 pagi)yang tampak di sebabkan oleh

peningkatan sirkadian kadar glukosa pada pagi hari.

Fenomena ini dapat di jumpai pada penderita diabetes

tipe 1 dan 2. Hormon lain yang melihatkan variasi

sirkardian pada pagi hari adalah kortisol dan hormon

pertumbuhan, yang keduanya merangsang


28

glukoneogenesis (Corwin,J.E.,2001., Rybicka,M,

dkk.,2011 dalam Aini, 2016).

2. Komplikasi kronik

a. Makroangiopati yang mengenai pembuluh darah

besar,pembuluh darah jantung, pembuluh darah tepi, dan

pembuluh darah otak. Pembuluh darah besar dapat

mengalami aterosklerosis sering terjadi pada NIDDM.

Komplikasi makroangiopati adalah penyakit vaskular otak

(stroke), penyakit arteri koroner, dan penyakit vaskuler perifer

(hipertensi dan gagal ginjal).

b. Mikroangiopati yang mengenai pembuluh darah kecil,

retinopati diabetik, nefropati diabetik, dan neuropati. Nefropati

terjadi karena perubahan mikrovaskular pada struktur dan

fungsi ginjal yang menyebabkan komplikasi pada pelvis ginjal.

Retinopati (perubahan dalam retina) terjadi karena penurunan

protein dalam retina dan kerusakan endotel pembuluh

darah.Perubahan ini dapat berakibat gangguan dalam

penglihatan (Aini, 2016).

Neuropati terjadi karena perubahan metabolik dalam

diabetes mengakibatkan fungsi sensorik dan motorik saraf

menurun,yang selanjutnya akan menyebabkan penurunan

persepsi nyeri. Neuropati dapat terjadi pada tungkai dan kaki

(gejala yang paling di rasakan adalah kesemutan, kebas),

saluran pencernaan (neuropati pada saluran pencernaan

menyebabkan diare dan konstipasi), kandungan kemih

(kencing tidak lancar), dan reproduksi (impotensi) (Aini, 2016).

c. Kaki diabetik
29

Perubahan mikroangiopati, makroangiopati, dan neuropati

menyebabkan perubahan pada ekstremitas bawah.

Komplikasinya dapat terjadi gangguan sirkulasi,terjadi

infeksi,gangren,penurunan sensasi dan hilangnya fungsi saraf

sensorik. Semua ini dapat menunjang terjadi trauma atau

tidak terkontrolnya infeksi yang akhirnya menjadi gangren

(Aini, 2016).

2.2 Konsep Kadar Glukosa Darah

2.2.1 Definisi

Kadar gula darah merupakan terjadinya suatu peningkatan

setelah makan dan mengalami penurunan diwaktu pagi hari setelah

bangun tidur. Bila seseorang mengalami hyperglikemia keadaan gula

darah dalam tubuh mengalami kenaikan di atas normal, sedangkan

hypoglikemia suatu keadaan dimana seseorang mengalami

penurunannilai gula dalam darah di bawah normal (PERKENI, 2015 ;

Desita P Y, 2019).

Di dalam darah, kadar glukosa darah selalu fluktuatif bergantung

pada asupan makanan. Kadar paling tinggi tercapai pada satu jam

setelah makan. Glukosa di dalam darah akan mencapai kadar paling

tinggi, normalnya tidak melebihi 180 mg per 100 cc darah (180 mg/dl).

Kadar 180 mg/dl disebut ambang ginjal dimana ginjal bisa menahan

gula pada kadar tesebut. Lebih dari angka tersebut ginjal tidak dapat

menahan gula dan kelebihan gula akan keluar bersama urin. Pada

diabetes terdapat masalah dengan efek kerja insulin dalam hal ini

pemasukan gula ke dalam sel tidak sempurna sehingga gula darah

tetap tinggi.
30

2.2.2 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kadar Glukosa Darah

Faktor yang mempengaruhi kadar glukosa darah menurut (ADA,

2015; Desita P Y, 2019) yaitu:

1. Konsumsi karbohidrat

Karbohidrat merupakan salah satu bahan makanan utama

yang diperlukan oleh tubuh.Sebagian besar karbohidrat yang kita

konsumsi terdapat dalam bentuk polisakarida yang tidak dapat

diserapsecara langsung.Karena itu, karbohidrat harus dipecah

menjadi bentuk yang lebih sederhana untuk dapat diserap melalui

mukosa saluran pencernaan. Kebanyakan karbohidrat dalam

makanan akan diserap ke dalam aliran darah dalam bentuk

monosakarida glukosa. Jenis gula lain akan diubah oleh hati

menjadi glukosa.

2. Aktifitas fisik

Aktifitas fisik mempengaruhi kadar glukosa darah. Ketika

aktifitas tubuh tinggi, penggunaan glukosa oleh otot akan ikut

meningkat. Ketika tubuh tidak dapat mengoprasikan kebutuhan

glukosa yang tinggi akibat aktivitas fisik yang berlebihan, maka

kadar glukosa tubuh akan menjadi terlalurendah (hipoglikemia).

Sebaliknya, jika kadar glukosa darah melebihi kemampuan tubuh

untuk menyimpannya disertai dengan aktifitas fisik yang kurang,

maka kadar glukosa darah menjadi lebih tinggi dari normal

(hiperglikemia).

3. Penggunaan obat

Berbagai obat dapat mempengaruhi kadar glukosa dalam

darah, diantaranya adalah obat antipsikotik dan steroid. Obat

antipsikotik atpikal mempunyai efek simpang terhadap proses


31

metabolisme. Penggunaan klozapin dan olanzapin sering kali

dikaitkan dengan penambahan beret badan sehingga pemantauan

akan asupan karbohidrat sangat diperlukan. Penggunaan

antipsikotik juga dikaitkan dengan kejadian hiperglikemia walaupun

mekanisme jelasnya belum diketahui.Hal ini kemungkinan

disebabkan oleh penambahan berat badan akibat retensi insulin.

4. Stress

Stress baik secara fisik maupun neurogenik, akan

merangsang pelepasan ACTH (adrenocorticotropic hormone) dari

kelenjar hipofisis anterior. Selanjutnya, ACTH akan merangsang

kelenjar adrenal untuk melepaskan hormon adrenokortikoid, yaitu

kortisol. Hormon kortisol ini kemudian akan menyebabkan

peningkatan kadar glukosa dalam darah.

2.2.3 Pemeriksaan kadar glukosa darah

Pemeriksaan kadar gula darah menurut (ADA, 2015; Desita P Y,

2019) bisa dilakukan dengan berbagai cara diantaranya:

1. Tes gula darah sewaktu

Kadar gula darah sewaktu sering disebut juga kadar gula darah

acak atau tes gula darah sewaktu yng dilakukan kapan saja.

Tabel 2.1 Klasifikasi kadar glukosa darah sewaktu pada penderita DM

Hasil Kadar gula darah sewaktu

Normal 180 mg/dl

Tinggi >200 mg/dl

Rendah <200 mg?dl

2.3 Konsep Brisk Walking


32

2.3.1 Definisi

Jalan cepat atau brisk walking merupakan salah satu olahraga

aerobik yang dapat menjaga kadar gula darah dalam rentang normal.

Selain bermanfaat untuk menjaga kadar gula darah olahraga yang

bersifat aerobik juga dapat bermanfaat untuk menurunkan resiko

diabetes tipe 2, penyakit jantung dan stroke (Darwin, 2013, dalam

fadilah A, 2017 ).

2.3.2 Manfaat

a. Meningkatkan kapasitas maksimal denyut jantung, merangsang

kontraksi otot, pemecahan glikogen dan peningkatan oksigen

jaringan.

b. Dapat mengurangi pembentukan plak melalui peningkatan

penggunaan lemak dan peningkatan penggunaan glukosa.

c. Dapat menurunkan tekanan darah, kolesterol baik HDL

meningkat, dan darah tidak saling lengket, sehingga resiko

penggumpalan darah yang berpotensi menyumbat darah menjadi

berkurang.

d. Dapat meningkatkan kekuatan otot, kelenturan persendian dan

kelincahan gerak (Nadesul 2006, dalam Efendi M, 2018)

2.3.3 Kontraindikasi

Kontraindikasi melakukan aktivitas fisik dan atau Brisk walking

pada individu hipertensi sama dengan perlatihan jasmani secara

umum adalah sebagai berikut: angina tidak stabil, hipertensi yang

tidak terkontrol ( TDS = 160 mmHg dan TDD =100 mmHg ), aritmia

ventrikel yang tidak terkendali, gagal jantung kongestif akut, stenosis

aorta berat,blok AV derajat 3, miokarditis akut, perikarditis,

endokarditis, penyakit metabolik yang tidak terkontrol, kardiomiopati


33

hipertrofi, kelainan muskuloskeletal (Williams & Wilkins 2006 dalam

Efendi M, 2018)

2.3.4 Waktu

Dimana dalam seminggu melakukan latihan 3-4 kali selama

kurang lebih 30 menit yang sifatnya sesuai dengan kemampuan.

Salah satu contoh latihan ringan yang bisa dilakukan oleh penderita

diabetes adalah berjalan kaki selama 30 menit dan berjalan cepat (

brisk walking) selama 20 menit selama 4 minggu (Suyono, 2011,

dalam Fadilah A, 2017).

2.3.5 Prosedur pelaksanan

Waktu pelaksanaan brisk walking yang disarankan sekitar 15-30

menit, namun jika belum mampu mencapai waktu tersebut bisa

dilakukan secara bertahap.Brisk walking dilakukan minimal 3 kali

seminggu.Efek brisk walking dapat dilihat dalam seminggu latihan.

Dalam olahraga jalan cepat (brisk walking) terdapat teknik dasar

danbeberapa tahapan yang harus dipelajari, antara lain:

a. Tahap pertama adalah melangkahkan satu kaki ke depan

Saat melakukan jalan cepat, secepat apapun ketika berjalan, tidak

ada saat melayang di udara.Kaki depan harus menyentuh tanah

sebelum kaki belakang diangkat. Kesalahan yang sering terjadi

pada tahap ini adalah sikap badan terlalu kaku, langkah kaki yang

kurang pas, tergesa-gesa, lutut ditekuk, masih terlihat lari karena

masih ada saat melayang diudara, kurang adanya keseimbangan

dan tidak diikuti gerak lanjut.


34

Gambar 2.2. Melangkahkan Satu Kaki Ke

Depan

b. Tahap dua melakukan tarikan kaki

belakang ke depan

Pada tahap ini kaki setelah kaki depan menyentuh tanah segera

kaki belakang ditarik ke depan untuk melanjutkan langkah-langkah

jalan cepat. Bagian tumit menyentuh tanah terlebih dahulu.Yang

harus dihindari dalam fase ini adalah jangan terlalu kaku ketika

melakukan tarikan kaki belakang adalah langkah kaki jangan

terlalu kecil-kecil dan jangan terlalu lebar.Jangan sampai

kehilangan keseimbangan.

Gambar 2.3. Tarikan Kaki Belakang Ke Depan

c. Tahap relaksasi

Tahap relaksasi adalah tahap antara tahap awal ketika

melangkahkan kaki ke depan dan ketika akan melakukan tarikan

kaki belakang. Pada tahap ini pinggang berada pada posisi yang

sama dengan bahu, sedangkan lengan vertika dan parallel

disamping badan.

Gambar 2.4. Tahap Relaksasi


35

d. Tahap Dorongan

Pada tahap ini adalah gerakan ketika ketiga tahap diatas selesai

dilakukan.Tahap dorongan ini adalah mempercepat laju jalan kaki

dengan dorongan tenaga penuh untuk mendapatkan rentang

waktu yang sesingkat-singkatnya ketika melakukan langkah-

langkah kaki, namun langkah kaki jangan terlalu pendek dan

jangan terlalu panjang, jaga keseimbangan tubuh. (Nadesul, 2006,

dalam Efendi M, 2018)

Gambar 2.5. Tahap Dorongan

2.3.6 Pengaruh brisk walking terhadap kadar gula darah

Sistem pembuluh darah terdiri dari jantung dan pembuluh

darah.Darah memegang peranan penting dalam menyalurkan zat

makanan serta oksigen yang diperlukan dalam proses pembakaran.

Darah juga mengatur penyaluran zat buangan, oksida karbon, serta

panas.Jantung merupakan pusat dari sistem pembuluh darah dan

pompa yang memungkinkan darah mengalir melalui pembuluh darah.

Jantung hanya dapat memompa sejumlah darah sebagaimana

yang terdapat didalamnya dengan kegiatan fisik (brisk walking) yang

lebih besar, maka jumlah darah yang dalam tiap-tiap denyutan dapat

dipompa keluar juga akan lebih besar. Ini disebabkan oleh beberapa

faktor:
36

a. Pernafasan yang lebih dalam mengakibatkan perubahan

tekanan dalam rongga dada. Karena perubahan ini, maka

darah lebih mudah mengalir ke dalam jantung

b. “Pengisapan” oleh jantung ditunjang oleh kontraksi serta

pelemasan terus menerus, mendorong darah dalam pembuluh

untuk mengalir ke arah jantung.

Melalui proses ini darah bisa mencapai pembuluh terkecil dan

jumlah oksigen yang diserap lebih banyak. Dalam keadaan istirahat

denyut jantung per menit 70 kali / menit sedangkan dalam aktifitas

fisik jumlah denyut jantung bisa meningkat 180 kali/ menit.Brisk

walking dapat meningkatkan pertumbuhan pembuluh darah kapiler

yang baru dan jalan darah yang baru. Dengan demikian hal yang

menghambat pengaliran darah dapat dihindari atau dikurangi, yang

berarti menurunkan tekanan darah (Reed, 2006, dalam Efendi M,

2018)

Jalan cepat (brisk walking) tidak hanya dapat menurunkan kadar

kolesterol yang menyebabkan penyumbatan pembuluh darah saja,

namun jalancepat (brisk walking) juga efektif dalam pembakaran

kalori yang menyebabkan kegemukan pada penderita hipertensi, jalan

cepat (brisk walking) juga dapat meningkatkan kadar kolesterol baik

HDL yang diperlukan oleh tubuh, dan juga membuat darah tidak

saling lengket atau mengental hingga mengganggu aliran pembuluh

darah yang dapat menyebabkan penyumbatan pembuluh darah, hal

ini akan menyebabkan tekanan darah menurun.

Membiasakan badan bergerak juga meningkatkan kolesterol baik

High Density Lipoprotein ( HDL) dan mengurangi kolesterol jahat Low

Density Lipoprotein ( LDL). Dengan demikian, kebutuhan obat-obatan


37

bagi penderita hipertensi dapat dikurangi, seperti penggunaan obat

antikolesterol.Dengan melakukan olahraga jalan cepat (brisk walking)

maka penderita hipertensi dapat meminimalisir penggunaan obat-

obatan (Reed, 2006 dalam, Efendi M, 2018).

2.4 Konsep Deep Breathing

2.4.1 Definisi

Relaksasi napas dalam atau slow deep breathing merupakan

suatu teknik bernapas, berhubungan dengan perubahan fisiologis

yang dapat membantu memberikan respon relaksasi (rileks).

Relaksasi napas dalam juga dapat diartikan sebagai suatu teknik

relaksasi sederhana, dimana paru-paru menghirup oksigen sebanyak

mungkin, merupakan gaya pernapasan yang pada dasarnya

dilakukan dengan lambat, dalam dan rileks sehingga memungkinkan

seseorang merasa lebih tenang (Nipa, 2017).

Smeltzer & Bare (2013) menyebutkan relaksasi napas sebagai

salah satu bentuk asuhan keperawatan dimana perawat mengajarkan

klien cara melakukan relaksasi napas dalam dan lambat secara

maksimal. Slow deep breathing merupakan teknik pernapasan yang

berfungsi meningkatkan relaksasi, yang dapat menurunkan tingkat

kecemasan (Nusantoro & Listyaningsih, 2018). Jadi, terapi relaksasi

slow deep breathing adalah suatu bentuk asuhan keperawatan

berupa teknik bernapas secara lambat, dalam, dan rileks, yang dapat

memberikan respon relaksasi.


38

2.4.2 Manfaat

Manfaat teknik relaksasi slow deep breathing (relaksasi napas

dalam) menurut (Wardan, 2015 ; Ulinnuha N, 2017) adalah sebagai

berikut:

1. Ketentraman hati

2. Berkurangnya rasa cemas, khawatir dan gelisah

3. Tekanan darah dan ketegangan jiwa menjadi rendah

4. Detak jantung lebih rendah

5. Mengurangi tekanan darah

6. Meningkatkan keyakinan

7. Kesehatan mental menjadi lebih baik

2.4.3 Indikasi

Menurut (Setyoadi, 2011, dalam Ulinnuha N, 2017) indikasi

relaksasi nafas dalam adalah sebagai berikut:

1. Mengurangi rasa nyeri

2. Adanya ansietas

3. Meningkatkan relaksasi otot

4. Meningkatkan kkemampuan konsentrasi

5. Mengurangi kecemasan

2.4.4 Kontraindikasi

Relaksasi nafas dalam tidak diperbolehkan diberikan kepada

individu yang mengalami sesak nafas akut, asma atau memiliki

riwayat masalah pernafasan (Setyoadi, 2011, dalam Ulinnuha N,

2017).
39

2.4.5 Waktu

Teknik relaksasi nafas dalam dilakukan 2 minggu 2 kali dalam

sehari dengan durasi 15 menit (Tarwoto & Widagdo W, 2012 dalam,

Suwarto T, 2019).

2.4.6 Prosedur pelaksanaan

Langkah-langkah teknik relaksasi nafas dalam menurut

( Tambuna, 2009, dalam Ulinnuha N, 2017)

a. Atur pasien pada posisi yang nyaman

b. Minta pasien untuk menarik nafas melalui hidung secara perlahan

dan merasakan kembang kempisnya perut

Gambar 2.6. Menarik Nafas Melalui Hidung

c. Minta pasien untuk menahan nafas selama beberapa detik

kemudian keluarkan nafas secara perlahan melalui mulut

Gambar 2.7 Menahan nafas

d. Beritahukan pasien bahwa pada saat mengeluarkan nafas, mulut

pada posisi mecucu


40

Gambar 2.8. Posisi Mecucu

e. Minta pasien untuk mengeluarkan nafas sampai mengempis

f. Lakukan latihan nafas ini 2-4 kali

2.4.7 Prinsip deep breathing

Gejala yang timbul akibat kecemasan dapat berupa fisik maupun

psikis, dimana dari beberapa gejala yang timbul dapat mengakibatkan

peningkatan saraf simpatis.Respon peningkatan saraf simpatis

berupa peningkatan tekanan darah, mempercepat denyut jantung,

meningkatkan ketegangan otot, dan keringat berlebih yang

disebabkan oleh meningkatnya kinerja otak akibat pikiran berlebih dan

tidak pasti.Sehingga menjadikan kerja otot pernapasan dikendalikan

oleh otak tidak stabil yang kemudian menyebabkan napas terengah-

engah, dan mengakibatkan kekurangan suplai oksigen hingga sistem

metabolisme tubuh terganggu. Gejala fisik seperti mual, ketegangan

otot, mudah lelah, sakit kepala, pusing, pernapasan cepat, keringat

dingin, peningkatan tekanan darah dan palpitasi pun dapat muncul

diiringin dengan gejala psikologis seperti gelisah, khawatir, takut, tidak

tenang, sulit berkonsentrasi hingga sulit tidur (Barbara & Al., 2010;

Nipa, 2017).

2.4.8 Pengaruh deep breathing terhadap kadar gula darah


41

Slow deep breathing merupakan tindakan yang disadari untuk

mengatur pernapasan secara dalam dan lambat. Pengendalian

pengaturan pernapasan secara sadar dilakukan oleh korteks serebri,

sedangkan pernapasan yang spontan atau automatik dilakukan oleh

medulla oblongata.Napas dalam lambat dapat menstimulasi respons

saraf otonom, yaitu dengan menurunkan respons saraf simpatis dan

meningkatkan respons parasimpatis.Stimulasi saraf simpatis

meningkatkan aktivitas tubuh, sedangkan respons parasimpatis lebih

banyak menurunkan ativitas tubuh sehingga dapat menurunkan

aktivitas metabolik. Penurunan aktivitas metabolik diharapkan dapat

menurunkan kebutuhan insulin sehingga kadar gula darah dapat

menurun (Siswanti H, 2019).

Relaksasi diketahui dapat membantu menurunkan kadar gula

darah pada pasien diabetes karena dapat menekan pengeluaran

hormone-hormon yang dapat meningkatkan kadar gula darah, yaitu

epinefrin, kortisol, glucagon, adrenocorticotropic hormone (ACTH),

kortikosteroid, dan tiroid (Smeltzer & Bare, 2008 ; Siswanti H, 2019).

Epinefrin beraksi pada hati meningkatkan konversi glikogen

menjadi glukosa dalam keaadan stress. Sedangkan kortisol memiliki

efek meningkatkan metabolism glukosa, sehingga asam amino, laktat,

dan pirufat diubah di hati menjadi glukosa (glukoneogenesis) akhirnya

menaikkan kadar gula darah. Glukagon meningkatkan kadar gula

darah dengan cara menkonversi glikogen di hati ( bentuk karbohidrat

yang tersimpan pada mamalia) menjadi glukosa, sehingga gula darah

menjadi naik. ACTH dan glukokortikoid pada korteks adrenal dapat

meningkatkan kadar gula darah dengan cara meningkatkan

pembentukan glukosa baru oleh hati. ACTH dan glukokortikoid juga


42

meningkatkan lipolisis dan katabolisme karbohidrat ( Smeltzer& Bare,

2008 ; Siswanti H, 2019).

Relaksasi dapat membantu menurunkan kadar glukosa darah

dengan cara:

a. Menekan pengeluaran epinefrin sehingga menghambat

konversi glikogen menjadi glukosa.

b. Menekan pengeluaran kortisol menghambat metabolisme

glukosa, sehingga asam amino, laktat dan pirufat tetap

disimpan di hati dalam bentuk glikogen sebagai energi

cadangan.

c. Menekan pengeluaran glukagon menghambat mengkonversi

glikogen dalam hati menjadi glukosa.

d. Relaksasi dapat menekan ACTH dan glukokortikoid pada

korteks adrenal sehingga dapat menekan pembentukan

glukosa baru oleh hati, selain itu lipolisis dan katabolisme

karbohidrat dapat ditekan yang dapat menurunkan kadar gula

darah.
43

Anda mungkin juga menyukai