Anda di halaman 1dari 3

Merebut Ruang Kota (Surabaya)

Inilah yang dialami oleh penduduk Surabaya semenjak tahun 1900. Industrialisasi,
politisasi, dan perang telah membuat warga kehilangan rumah dan terlunta di kawasan
kumuh Surabaya, membuat kota ini menjadi “kota gelandangan”. Maka, gelombang
pencarian “identitas” pun terjadi melalui akuisisi ruang di Surabaya.

“Merebut Ruang Kota”, sebuah buku hasil disertasi Purnawan Basundoro, merekam
jejak akuisisi ruang yang dilakukan rakyat miskin Surabaya dari tahun 1900 hingga
1960. Kemiskinan di sini berarti mereka tak memiliki akses ruang di kota ini.
Setidaknya, ada dua kelompok miskin yang disebut dalam buku terbitan Marjin Kiri ini.

Kelompok pertama adalah rakyat desa yang melakukan urbanisasi. Industrialisasi


membuat warga desa, yang tak lagi berpenghasilan, beranjak ke kota (dalam hal ini
Surabaya). Tapi bukannya mendapatkan pekerjaan dan penghasilan, karena keterbatasan
dan perebutan ruang, mereka tak berhasil meningkatkan taraf hidupnya, tetap menjadi
miskin, tak memiliki rumah, dan hidup di jalanan. Surabaya pun tersendat-sendat
kewalahan dengan lubernya rakyat pendatang.

Perang menjadi penyebab munculnya kelompok miskin kedua. Surabaya, yang kerap
menjadi arena pertempuran terutama sekitar tahun 1945-47, telah memaksa
penduduknya untuk mengungsi di luar Surabaya sedikitnya selama dua tahun. Ketika
akhirnya mereka pulang kembali ke Surabaya, banyak sekali dari mereka mendapati
rumah mereka telah diambil penduduk lain. Surat-surat legal kerapkali hilang di
pengungsian dan mereka tak mampu mendapatkan kembali lahan dan harta mereka.
Mereka menjadi terasing di “rumah sendiri”.

Dalam usaha bertahan hidup, rakyat miskin mulai merebut ruang-ruang yang ada untuk
ditinggali. Rumah-rumah yang ditinggalkan oleh pengungsi perang menjadi arena
perebutan pertama. Saat ratusan bahkan ribuan mengungsi keluar Surabaya, ratusan
pendatang dari daerah mengisi rumah-rumah tanpa pemilik. Saat tak ada lagi ruang
privat tersisa, ruang publik pun diakuisisi rakyat miskin.
Tanah partikelir menjadi sasaran empuk perebutan ruang. Misalnya kawasan milik
Baswedan yang membentang dari kawasan UNAIR hingga Pucang dan Karang
Menjangan. Ratusan warga membuat blok-blok tempat tinggal, mengambil alih lahan
umum menjadi ruang privat.

Selain itu, ada pula fenomena perebutan wilayah pemakaman sebagai tempat tinggal,
terutama makam Tionghoa. Mereka tak punya kekuatan bersaing dengan manusia hidup
akhirnya berebut dengan yang telah mati. “Saat proses pematokan (lahan), mayat
banyak bergelimpangan di jalan,” tutur Purnawan. Begitu wilayah makam berubah
menjadi tempat tinggal. Bahkan, ada salah satu keluarga pemilik makam sebelumnya
yang bahkan dilarang untuk menguburkan mayat di lahan “miliknya” tersebut.

Kisah historis perebutan ruang di atas tertuang secara lengkap dalam buku Purnawan.
Hasil risetnya begitu hidup, penuh dengan tanggal-tanggal penting dalam pembangunan
kota, perspektif ruang Surabaya, serta kisah-kisah ringan seputar kehidupan warga
selama akuisisi, seperti kisah Tante Dolly membentuk wisma pelacuran serta manipulasi
isu komunis untuk membersihkan lahan para gelandangan.

Sejarah menunjukkan bahwa bahwa perebutan ruang akan selalu terjadi. Yang menarik
sebenarnya adalah menurut Purnawan, bukti sejarah di Surabaya menunjukkan bahwa
rakyat miskin dapat dan berdaya dalam menciptakan ruang bagi mereka sendiri untuk
bertahan hidup. Ada banyak kejadian di Surabaya di mana masyarakat dapat mengatur
sendiri lahan tanpa intervensi top-down, dan pemerintah akhirnya menyetujui
legalisasinya.

“Buku ini menegaskan kota bukan hanya milik kaum elit,” ungkap Purnawan dalam
bedah buku di C2O Senin malam lalu, “perebutan kota akan berhenti manakala terjadi
ekuilibrium.” Namun, pengajar sejarah di UNAIR tersebut yakin, ekuilibrium tak akan
pernah terjadi, dan akan terus ada upaya dinamis untuk mencapai ekuilibrium tersebut.
Bagaimanapun, masalah-masalah urban seperti kesediaan lahan, macet, polusi, adalah
masalah orang miskin maupun kaya. Yang mungkin perlu diperhatikan oleh pemerintah,
dan juga kita, adalah bagaimana menciptakan kanal-kanal kota demi penyediaan lahan
dan akses yang lebih merata.
Sumber ; http://ayorek.org/2013/06/merebut-ruang-kota-aksi-rakyat-miskin-kota-
surabaya-1900-1960an/#sthash.n3BF94Rn.dpbs

Anda mungkin juga menyukai