Anda di halaman 1dari 20

Mitigasi Bencana Dan Peran Perawat Pada Bencana “ Kebakaran

Hutan”
D
I
S
U
S
U
N
Oleh:
KELOMPOK I
1. Dwi Putri T. 17.11.051
2. Eme Triska 17.11.057
3. Evitri Octavia P 17.11.062
4. Fitria Agustina 17.11.220
5. Panji Al-nahar 17.11.145
6. Rismala 17.11.160
7. Sarah Samauly 17.11.167
8. Sulistiani 17.11.182
9. Tania Putri 17.11.254

Dosen Mata Kuliah : Ns. Hizkianta Sembiring, S.Kep, CWCCA


PROGRAM STUDY ILMU KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA
FAKULTAS KEPERAWATAN
INSTITUT KESEHATAN DELIHUSADA DELITUA
TA. 2020/2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hutan merupakan suatu nikmat yang sangat besar yang dianugerahkan


oleh Tuhan Yang Maha Kuasa kepada seluruh manusia terkhususnya bangsa
Indonesia. Dari hutan manusia dapat menghirup oksigen dengan leluasa dan
juga sebagai tempat yang sangat berharga bagi hewan yang hidup didalamya.
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi dengan lebat oleh pepohonan
dan tumbuhan. Kawasan-kawasan semacam ini terdapat di wilayah-wilayah
yang luas di dunia dan berfungsi sebagai penampung karbon dioksida (carbon
dioxide sink), habitat hewan, modulator arus hidrologika, serta pelestari tanah,
dan merupakan salah satu aspek biosfer Bumi yang paling penting.

Indonesia sebagai salah satu Negara yang memiliki sumber daya hutan
terbesar kedua sedunia ini merupakan paru-paru dunia. Lebih kurang 4000
jenis tumbuhan yang tumbuh pada berbagai formasi hutan dan tipe hutan telah
diketahui (terutama di Hutan Hujan Tropis) dan sekitar 400 jenis pohon telah
diketahui nilai komersial kayunya.

Kebakaran hutan merupakan suatu peristiwa yang sangat merugikan


semua pihak, baik dari kalangan manusia yang berekonomi rendah, sedang
bahkan tingkat atas dan juga sangat berdampak pada turunnya populasi hewan
bahkan bisa punah. Kebakaran hutan terkhusus di Indonesia umumnya
dilatarbelakangi oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dan seperti
penambang kayu hutan, para petani yang ingin membuat lahan baru atau
memperluas lahan dan juga para pendiri pabrik yang menginginkan
keuntungan yang sangat besar dengan mendirikan pabriknya hanya dengan
modal yang kecil bahkan tanpa modal. Pembabat hutan secara ilegal disebut
dengan Illegal Loging. Kebakaran merupakan salah satu fenomea yang
menggangu aktivitas manusia, baik dari segi ekologi, sosial, budaya, ekonomi
maupun kerusakkan lingkungan dan lain-lain. Hanya saja wawasan
masyarakat akan pentingnya pengetahuan penyebab, dampak, proses,
pencegahan dan penanggulangan dinilai masih cukup kurang bahkan tidak ada
rasa kepedulian sama sekali. Walaupun sudah diteapkan peraturan dan
perundangan tentang kehutanan (Undang-undang Republik Indonesia nomor
41 tahun 1999 Tentang kehutanan) tetap saja masyarakat belum mengetahui
isi keseluruhan peraturan tersebut.

1.2 Rumusan Masalah

1. Apa definisi Kebakaran Hutan ?


2. Apa penyebab terjadinya Kebakaran Hutan ?
3. Apa saja Bentuk Mitigasi bencana tersebut ?
4. Bagaimana Peran perawat dalam menangani situasi dari bencana tersebut ?
1.3 Tujuan Penulisan 
a. Untuk memenuhi tugas mata kuliah
b. Untuk mengetahui cara pencegahan terjadinya kebakaran hutan
c. Untuk mengetahui cara pengendalian kebakaran hutan
d. Untuk mengetahui peran perawat dalam situasi menangani bencana
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Definisi Kebakaran Hutan

Kebakaran liar, atau juga kebakaran hutan, kebakaran vegetasi,


kebakaran rumput, atau kebakaran semak, adalah sebuah kebakaran yang
terjadi di alam liar, tetapi dapat juga memusnahkan rumah-rumah atau sumber
daya pertanian. Penyebab umum termasuk petir, kecerobohan manusia, dan
pembakaran. Musim kemarau dan pencegahan kebakaran hutan kecil adalah
penyebab utama kebakaran hutan besar.

Kebakaran hutan dalam bahasa Inggris berarti "api liar" yang berasal
dari sebuah sinonim dari Api Yunani, sebuah bahan seperti-napalm yang
digunakan di Eropa Pertengahan sebagai senjata maritim.

Kebakaran dan pembakaran merupakan sebuah kata dengan kata dasar


yang sama tetapi mempunyai makna yang berbeda. Kebakaran indentik
dengan kejadian yang tidak disengaja sedangkan pembakaran identik dengan
kejadian yang sengaja diinginkan tetapi tindakan pembakaran dapat juga
menimbulkan terjadinya suatu kebakaran. Penggunaan istilah kebakaran hutan
dengan pembakaran terkendali merupakan suatu istilah yang berbeda.
Penggunaan istilah ini sering kali mengakibatkan timbulnya persepsi yang
salah terhadap dampak yang ditimbulkannya.

Kebakaran hutan adalah “Suatu keadaan dimana hutan dilanda api


sehingga mengakibatkan kerusakan hutan dan atau hasil hutan yang
menimbulkan kerugian ekonomis dan atau nilai lingkungan.”1

Adapun definisi oleh pakar kehutanan, Saharjo B.H bahwa kebakaran


hutan adalah “Pembakaran yang penjalaran apinya bebas serta mengkonsumsi
bahan bakar alam dari hutan seperti serasah, rumput, ranting/cabang pohon

1
mati yang tetap berdiri, log, tunggak pohon, gulma, semak belukar, dedaunan
dan pohon-pohon.”2

Dapat dijabarkan definisi dari kebakaran hutan adalah terkabakarnya


pepohonon, rumput dan sejenisnya didalam hutan baik yang disengaja
ataupun tidak disengaja sehingga menimbulkan kerusakan ekosistem yang
berdampak kurangnya produksi oksigen dan terjadinya pemanasan suhu serta
mengecilkan atau menghilangkan lingkungan bagi hewan yang hidup didalam
hutan.

2.2 Jenis Kebakaran Hutan

Jenis Kebakaran Hutan dikategorikan menjadi tiga tipe, yaitu Surface


Fire, Crown Fire dan Ground Fire. Atau dapat diuraikan sebagai berikut.

A. Surface Fire (Kebakaran Permukaan)

Kebakaran permukaan mengkonsumsi bahan bakar yang terdapat di


lantai hutan, baik berupa serasah, jatuhan ranting, dolok-dolok yang
bergelimpangan di lantai hutan, tumbuhan bawah, dan sebagainya yang
berada di bawah tajuk pohon dan di atas permukaan tanah.

B. Crown Fire (Kebakaran Tajuk)

Jenis lain kebakaran hutan adalah Crown Fire di mana mahkota pohon
dan semak terbakar, seringkali ditopang oleh api permukaan. Api mahkota
terutama sangat berbahaya di hutan jenis konifera karena bahan resinous
diberikan dari pembakaran kayu membakar marah. Pada lereng bukit, jika api
mulai menurun, menyebar dengan cepat seperti udara dipanaskan berdekatan
dengan lereng cenderung mengalir ke atas lereng penyebaran api bersama
dengan itu. Jika api mulai menanjak, ada kemungkinan kurang dari itu
menyebar ke bawah.

2
C. Ground Fire (Kebakaran Bawah)

Kebakaran ini biasanya berkombinasi dengan kebakaran permukaan,


kebakaran yang terjadi dipermukaan akan merambat mengkonsumsi bahan
bakar berupa material organik yang terdapat di bawah permukaan tanah/lantai
hutan melalui pori-pori tanah atau akar pohon sehingga kadang hanyai
dijumpai asap putih yang keluar dari permukaan tanah. Kebakaran ini umum
terjadi pada lahan gambut.

2.3 Penyebab Terjadinya Kebakaran Hutan

Kebakaran hutan terjadi bukan dikarenakan illegal loging saja, tetapi


sangat banyak penyebabnya mulai dari faktor alam sampai yang disebabkan
oleh manusia. Berikut uraian penyebab terjadinya kebakaran hutan.

2.3.1 Faktor Alam

a. Sambaran petir

petir memiliki energi yang berubah menjadi percikan api yang apabila
terkena pada dedaunan dan kayu kering dapat menimbulkan titik api yang
lebih besar.

b. Benturan longsuran batu

Satu batu dengan batu lainnya apabila bergesekkan akan menimbulkan


energi yang dapat berubah menjadi oercikan api yang sproses selanjutnya
sama seperti di atas.

c. Singkapan batu bara

Batubara merupakan salah satu bahan bakar, apabila iklim suhu terlalu
tinggi dapat membakar batu bara dengan sendirinya.

d. Tumpukan daun kering


e. Fenomena iklim El-Nino
El Nino adalah fenomena alam dan bukan badai, secara ilmiah
diartikan dengan meningkatnya suhu muka laut di sekitar Pasifik Tengah dan
Timur sepanjang ekuator dari nilai rata-ratanya dan secara fisik El Nino tidak
dapat dilihat.  Fenomena El Nino menyebabkan curah hujan di sebagian besar
wilayah Indonesia berkurang, tingkat berkurangnya curah hujan ini sangat
tergantung dari intensitas El Nino tersebut. Namun karena posisi geografis
Indonesia yang dikenal sebagai benua maritim, maka tidak seluruh wilayah
Indonesia dipengaruhi oleh fenomena El Nino yang pernah menimbulkan
kekeringan panjang di Indonesia. Curah hujan berkurang dan keadaan
bertambah menjadi lebih buruk dengan meluasnya kebakaran hutan dan asap
yang ditimbulkannya.

2.3.2 Faktor Ulah Tangan Dan Kecerobohan Manusia

a. Sistem perladangan tradisional dari penduduk setempat yang berpindah-pindah.


Perladangan berpindah merupakan upaya pertanian tradisional di kawasan
hutan dimana pembukaan lahannya selalu dilakukan dengan cara pembakaran karena
cepat, murah dan praktis. Namun pembukaan lahan untuk perladangan tersebut
umumnya sangat terbatas dan terkendali karena telah mengikuti aturan turun temurun
(Dove, 1988). Kebakaran liar mungkin terjadi karena kegiatan perladangan hanya
sebagai kamuflasa dari penebang liar yang memanfaatkan jalan HPH dan berada di
kawasan HPH.
b. Pembukaan hutan oleh para pemegang Hak Pengusahaan Hutan (HPH) untuk
insdustri kayu maupun perkebunan kelapa sawit.
c. Pembukaan hutan oleh pemegang HPH dan perusahaan perkebunan untuk
pengembangan tanaman industri dan perkebunan umumnya mencakup areal yang
cukup luas. Metoda pembukaan lahan dengan cara tebang habis dan pembakaran
merupakan alternatif pembukaan lahan yang paling murah, mudah dan cepat. Namun
metoda ini sering berakibat kebakaran tidak hanya terbatas pada areal yang disiapkan
untuk pengembangan tanaman industri atau perkebunan, tetapi meluas ke hutan
lindung, hutan produksi dan lahan lainnya. 
d. Kecerobohan dengan merokok dan membuang puntung rokok di hutan.

Sikap waspada di hutan dengan tidak menyalakan sumber api


sembarangan sangat di perlukan, karena menghindari terjadinya sambaran api
dari sumber api ke dedaunan atau kayu kering yang ada dihutan.

e. Membiarkan bara api setelah berkemah, dll.


f. Bara api yang tidak dipadamkan secara benar-benar padam dapat tertiup udara
bebas dan akhirnya menimbulkan nyala api yang lebih besar dan menyambar ke
dedaunan atau kayu kering yang ada dihutan.

2.4. Akibat Dan Dampak Kebakaran Hutan


Kebakaran hutan sungguh sangat merugikan negara, masyarakat bahkan hewan
yang beruanglingkup dihutan. Hutan yang dijadikan sebagai sumber oksigen bagi
semua makhluk hidup dan tempat hidup bagi hewan akan.Akibat dan dampak
kebakaran hutan dapat dikelompokkan dalam beberapa bidang.
2.4.1 Dampak Terhadap Ekologis dan Kerusakan Lingkungan
A. Tercemarnya udara, oleh gas CO dan CO2.
B. Reaksi oksidasi  yang terjadi pada proses pembakaran zat organik pada kayu atau
daun kering akan menghasilkan gas CO dan CO2, terutama gas CO2 yang akan
membuat suhu bumi meningkat.
C. Hilangnya sejumlah spesies flora & fauna.

Kebakaran bukan hanya meluluh lantakkan berjenis-jenis pohon namun


juga menghancurkan berbagai jenis habitat satwa lainnya. Umumnya satwa
yang ikut musnah ini akibat terperangkap oleh asap dan sulitnya jalan keluar
karena api telah mengepung dari segala penjuru. Belum ada penelitian yang
mendalam seberapa banyak spesies yang ikut tebakar dalam kebakaran hutan
diIndonesia.
D. Ancaman erosi

Kebakaran yang terjadi di lereng-lereng pegunungan ataupun di


dataran tinggi akan memusnahkan sejumlah tanaman yang juga berfungsi
menahan laju tanah pada lapisan atas untuk tidak terjadi erosi. Pada saat hujan
turun dan ketika run off terjadi, ketiadaan akar tanah - akibat terbakar -
sebagai pengikat akan menyebabkan tanah ikut terbawa oleh hujan ke bawah
yang pada akhirnya potensial sekali menimbulkan bukan hanya erosi tetapi
juga longsor.
E. Perubahan fungsi pemanfaatan dan peruntukan lahan.

Hutan sebelum terbakar secara otomatis memiliki banyak fungsi. Sebagai


catchment area, penyaring karbondioksida maupun sebagai mata rantai dari suatu
ekosistem yang lebih besar yang menjaga keseimbangan planet bumi. Ketika hutan
tersebut terbakar fungsi catchment area tersebut juga hilang dan karbondioksida tidak
lagi disaring namun melayang-layang diudara. Dalam suatu ekosistem besar, panas
matahari tidak dapat terserap dengan baik karena hilangnya fungsi serapan dari hutan
yang telah terbakar tersebut.
F. Hutan itu sendiri mengalami perubahan peruntukkan menjadi lahan-lahan
perkebunan dan kalaupun tidak maka ia akan menjadi padang ilalang yang akan
membutuhkan waktu lama untuk kembali pada fungsinya semula.
G. Penurunan kualitas air.

Kebakaran hutan memang tidak secara signifikan menyebabkan perubahan


kualitas air. Kualitas air yang berubah ini lebih diakibatkan faktor erosi yang muncul
di bagian hulu. Ketika air hujan tidak lagi memiliki penghalang dalam menahan
lajunya maka ia akan membawa seluruh butir tanah yang ada di atasnya untuk masuk
kedalam sungai-sungai yang ada. Akibatnya adalah sungai menjadi sedikit keruh. Hal
ini akan terus berulang apabila ada hujan di atas gunung ataupun di hulu sungai sana.
H. Terganggunya ekosistem terumbu karang.

Terganggunya ekosistem terumbu karang lebih disebabkan faktor


asap. Tebalnya asap menyebabkan matahari sulit untuk menembus dalamnya
lautan. Pada akhirnya hal ini akan membuat terumbu karang dan beberapa
spesies lainnya menjadi sedikit terhalang untuk melakukan fotosintesa.
I. Sedimentasi di aliran sungai.

Tebalnya lumpur yang terbawa erosi akan mengalami pengendapan di bagian


hilir sungai. Ancaman yang muncul adalah meluapnya sungai bersangkutan akibat
erosis yang terus menerus.

2.4.2 Dampak Terhadap Sosial, Budaya dan Ekonomi


A. Hilangnya sejumlah mata pencaharian masyarakat yang tinggal di pinggiran dan
sekitar hutan.

Sejumlah masyarakat yang selama ini menggantungkan hidupnya dari hasil


hutan tidak mampu melakukan aktivitasnya. Asap yang ditimbulkan dari
kebakaran tersebut sedikit banyak mengganggu aktivitasnya yang secara otomatis
juga ikut mempengaruhi penghasilannya. Setelah kebakaran usaipun dipastikan
bahwa masyarakat kehilangan sejumlah areal dimana ia biasa mengambil hasil
hutan tersebut seperti rotan, karet.
B. Terganggunya aktivitas sehari-hari.

Adanya gangguan asap secara otomatis juga mengganggu aktivitas yang


dilakukan manusia sehari-hari. Misalnya pada pagi hari sebagianorang tidak dapat
melaksanakan aktivitasnya karena sulitnya sinar matahari menembus udara yang
penuh dengan asap. Demikian pula terhadap banyak aktivoitas yang menuntut
manusia untuk berada di luar ruangan. Adanya gangguan asap akan mengurangi
intensitas dirinya untuk berada di luar ruangan.
C. Peningkatan jumlah hama,

Sejumlah spesies dikatakan sebagai hama bila keberadaan dan aktivitasnya


mengganggu proses produksi manusia. Bila tidak “mencampuri” urusan produksi
manusia maka ia akan tetap menjadi spesies sebagaimana spesies yang lain.
Sejumlah spesies yang potensial untuk menjadi hama tersebut selama ini berada
di hutan dan melakukan interaksi dengan lingkungannya membentuk rantai
kehidupan. Kebakaran yang terjadi justru memaksanya terlempar dari rantai
ekosistem tersebut. Dan dalam beberapa kasus ‘ia’ masuk dalam komunitas
manusia dan berubah fungsi menjadi hama dengan merusak proses produksi
manusia yang ia tumpangi atau dilaluinya.
D. Hama

Hama itu sendiri tidak harus berbentuk kecil. Gajah dan beberapa binatang
bertubuh besar lainnya ‘harus’ memporak porandakan kawasan yang dilaluinya
dalam upaya menyelamatkan diri dan dalam upaya menemukan habitat barunya
karena habitat lamanya telah musnah terbakar.
E. Terganggunya kesehatan masyarakat (karena asapnya),

Peningkatan jumlah asap secara signifikan menjadi penyebab utama munculnya


penyakit ISPA atau Infeksi Saluran Pernafasan. Gejalanya bisa ditandai dengan
rasa sesak di dada dan mata agak berair. Untuk Riau kasus yang paling sering
terjadi menimpa di daerah Kerinci, Kabupaten Pelalawan (dulu Kabupaten
Kampar) dan bahkan di Pekanbaru sendiri lebih dari 200 orang harus dirawat di
rumah sakit akibat asap tersebut.
F. Produktivitas masyarakat menurun,

Munculnya asap juga menghalangi produktivitas manusia. Walaupun kita


bisa keluar dengan menggunakan masker tetapi sinar matahari dipagi hari tidak
mampu menembus ketebalan asap yang ada. Secara otomatis waktu kerja
seseorangpun berkurang karena ia harus menunggu sedikit lama agar matahari
mampu memberikan sinar terangnya. Ketebalan asap juga memaksa orang
menggunakan masker yang sedikit banyak mengganggu aktivitasnya sehari-hari.
G. Menurunnya devisa negara.

Turunnya produktivitas secara otomatis mempengaruhi perekonomian mikro


yang pada akhirnya turut mempengaruhi pendapatan negara.
2.4.3 Dampak Terhadap Hubungan Antar Negara
Asap yang ditimbulkan dari kebakaran tersebut sayangnya tidak mengenal batas
administratif. Asap tersebut justru terbawa angin ke negara tetangga sehingga
sebagian negara tetangga ikut menghirup asap yang ditimbulkan dari kebakaran di
negara Indonesia. Akibatnya adalah hubungan antara negara menjadi terganggu
dengan munculnya protes keras dari Malaysia dan Singapura kepada Indonesia agar
kita bisa secepatnya melokalisir kebakaran hutan agar asap yang ditimbulkannya
tidak semakin tebal. Yang menarik, justru akibat munculnya protes dari tetangga
inilah pemerintah Indonesia seperti kebakaran jenggot dengan menyibukkan diri dan
berubah fungsi sebagai barisan pemadam kebakaran. Hilangnya sejumlah spesies dan
berbagai dampak yang ditimbulkan ternyata kalah penting dibanding jeweran dari
tetangga.
       Tebalnya asap juga mengganggu transportasi udara. Sering sekali terdengar
sebuah pesawat tidak bisa turun di satu tempat karena tebalnya asap yang
melingkungi tempat tersebut. Sudah tentu hal ini akan mengganggu bisnis pariwisata
karena keengganan wisatawan untuk berada di tempat yang dipenuhi asap.
2.5 Upaya Pengendalian Kebakaran Hutan
Dalam kebakaran hutan dikenal istilah segitiga api. Segitiga api adalah
bentuk sederhana untuk menggambarkan proses pembakaran dan aplikasinya.
Tiga unsur segitiga api itu adalah bahan bakar, oksigen dan panas/sumber
penyulut.
Ketiga unsur komponen penyusun segitiga api inilah yang mendasari
pengendalian kebakaran hutan karena hilangnya satu atau lebih dari sisi segitiga ini
akan mengakibatkan tidak terjadinya pembakaran. Segitiga api dapat divisualisasikan
sebagai dasar hubungan reaksi berantai dari pembakaran. Pemincangan salah satu
atau lebih dari sisi segitiga ini akan merusak atau menghancurkan mata rantai
tersebut. Itu berarti bahwa, kalau bahan bakar tersedia dalam jumlah banyak, akan
tetapi apabila oksigen pada saat pembakaran berlangsung terlalu sedikit atau terlalu
banyak maka pembakaran tidak dapat berlangsung. Begitu juga bila pembakaran
tidak mencapai titik penyalaan yang berkisar antara 220-250oC maka pembakaran
tidak mungkin terjadi. Melemahnya satu atau lebih dari sisi segitiga ini juga akan
melemahkan rantai tersebut dan mengurangi laju pembakaran serta intensitas
kebakarannya.
Selain berpegang pada prinsip segitiga api, hal yang paling mungkin dilakukan
adalah dengan melakukan manajemen bahan bakar. Manajemen bahan bakar adalah
tindakan atau praktek yang ditujukan untuk mengurangi kemudahan bahan bakar
untuk terbakar (fuel flammability) dan mengurangi kesulitan dalam pemadaman
kebakaran hutan. Manajemen bahan bakar dapat dilakukan secara mekanik, kimiawi,
biologi atau dengan menggunakan api. Perlakuan bahan bakar adalah setiap
manipulasi bahan bakar agar bahan bakar itu tidak mudah terbakar, dengan cara
pemotongan, penyerpihan, penghancuran, penumpukan dan pembakaran. Terdapat
beberapa hal yang dapat dilakukan dalam memanajemen bahan bakar yaitu,
melakukan modifikasi, pengurangan dan isolasi bahan bakar.
Jika kebakaran tetap terjadi meski tindakan pencegahan telah dilakukan maka
tindakan pemadaman harus segera dilakukan. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya prinsip pemadaman kebakaran adalah dengan cara menghilangkan salah
satu sisi dari segitiga api tersebut, upaya yang dapat dilakukan sesuai dengan prinsip
pemadaman kebakaran diantaranya adalah sebagai berikut.
a. Pendinginan. Api dapat dipadamkan dengan cara menurunkan suhu sampai di
bawah suhu penyulutan, dengan menggunakan air atau tanah basah pada bahan
yang sedang terbakar.
b. Pengurangan oksigen. Api dapat dipadamkan dengan cara menghilangkan
oksigen dari bahan bakar yang sedang terbakar. Hal ini dapat dilakukan dengan
cara memukul nyala api dengan alat pemukul api khusus, punggung bilah
sungkup, menimbun dengan tanah, atau menggunakan air.
c. Melaparkan. Api dapat “dilaparkan” dengan cara menghilangkan pasokan bahan
bakar yang tersedia atau dengan cara membiarkan api untuk membakar ke arah
penghalang alami.
d. Bakar Balas. Strategi ini dilakukan jika sama sekali tidak tersedia peralatan
pemadam, serta personil yang sedikit, yaitu dengan cara membakar bahan bakar
berlawanan arah jalaran api. Dengan cara demikian api dari dua arah akan
bertemu ditengah dan karena bahan bakar habis maka api padam. Untuk
melakukan bakar balas biasanya areal pinggir sungai atau jalan yang merupakan
sekat bakar dengan areal penting untuk dilindungi.

2.6 Pencegahan Dan Penanggulangan Kebakaran Hutan


A. Sosialisasi kepada masyarakat  tentang pengelolaan hutan yang baik.

Sosialisasi merupakan media yang baik bagi masyarakat, karena dengan adanya
sosialisasi bagaimana cara mengelola hutan yang baik, cara menindaklanjuti jika
terjadi kebakaran hutan, mulai dari pengenalan, proses pengelolahan, dan pencapaian
hasil
B. Memperkecil jumlah titik api

Suatu kebakaran dapat terjadi karena adanya titik api yang di area hutan.
Dengan adaya gas oksigen dan alat yang mudah terbakarmembantuberkembangnya
api. Api yang bermula hanya titik atau berupa sumber dengan adanya faktor
pendukung maka terjadilah kobaran api yang besar.
C. Mengembangkan sistem peringatan dini (early warning system)

Pemberitahuan kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinnya


kebakaran hutan, atau untuk mencegah agar tidak terjadi kebakaran hutan
perlu diberikan peringatan dan aturan-aturan yang berkaitan dengan penyebab
kebakaran hutan dan dampak bagi masyarakat sekitar.
D. Membangun satuan-satuan pemadam kebakaran hutan (brigade kebakaran) di tiap
daerah yang rawan gangguan kebakaran hutan dengan dukungan dana, sarana dan
prasarana yang memadai

Penanggulangan kebakaran hutan dilakukan dengan cara sebagai berikut.


a) Pembangunan jejaring kerja antar daerah dalam upaya penanggulangan
kebakaran hutan yang efektif dan sinergis.
b) Dalam jangka panjang penanggulangan kebakaran hutan dilaksanakan dengan
membangun kelembagaan daerah dengan dukungan pusat yang melibatkan
peran aktif masyarakat di dalam dan sekitar hutan.
c) Melakukan rehabilitasi dan penghijauan

Upaya yang telah dilakukan untuk mencegah kebakaran hutan dilakukan antara lain
(Soemarsono, 1997):
1. Memantapkan dengan membentuk Sub Direktorat Kebakaran Hutan dan
Lembaga non struktural berupa Pusdalkarhutnas, Pusdalkarhutda dan Satlak serta
Brigade-brigade pemadam kebakaran hutan di masing-masing HPH dan HTI;
2. Melengkapi perangkat lunak berupa pedoman dan petunjuk teknis pencegahan
dan penanggulangan kebakaran hutan;
3. Melengkapi perangkat keras berupa peralatan pencegah dan pemadam
kebakaran hutan;
4. Melakukan pelatihan pengendalian kebakaran hutan bagi aparat pemerintah,
tenaga BUMN dan perusahaan kehutanan serta masyarakat sekitar hutan;
5. Kampanye dan penyuluhan melalui berbagai Apel Siaga pengendalian
kebakaran hutan;
6. Pemberian pembekalan kepada pengusaha (HPH, HTI, perkebunan dan
Transmigrasi), Kanwil Dephut, dan jajaran Pemda oleh Menteri Kehutanan dan
Menteri Negara Lingkungan Hidup;
7. Dalam setiap persetujuan pelepasan kawasan hutan bagi pembangunan non
kehutanan, selalu disyaratkan pembukaan hutan tanpa bakar.

Disamping melakukan pencegahan, pemerintah juga melakukan


penanggulangan melalui berbagai kegiatan sebagaimana termaktub dalam
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.12/Menhut-Ii/2009 Tentang
Pengendalian Kebakaran Hutan antara lain (Soemarsono, 1997):
1. Memberdayakan posko-posko kebakaran hutan di semua tingkat, serta
melakukan pembinaan mengenai hal-hal yang harus dilakukan selama siaga I
dan II.
2. Mobilitas semua sumberdaya (manusia, peralatan & dana) di semua
tingkatan, baik di jajaran Departemen Kehutanan maupun instansi lainnya,
maupun perusahaan-perusahaan.
3. Meningkatkan koordinasi dengan instansi terkait di tingkat pusat melalui
PUSDALKARHUTNAS dan di tingkat daerah melalui PUSDALKARHUTDA
Tk I dan SATLAK kebakaran hutan dan lahan.
4. Meminta bantuan luar negeri untuk memadamkan kebakaran antara lain:
pasukan BOMBA dari Malaysia untuk kebakaran di Riau, Jambi, Sumsel dan
Kalbar; Bantuan pesawat AT 130 dari Australia dan Herkulis dari USA untuk
kebakaran di Lampung; Bantuan masker, obat-obatan dan sebagainya dari
negara-negara Asean, Korea Selatan, Cina dan lain-lain.

Upaya pencegahan dan penanggulangan yang telah dilakukan selama ini


ternyata belum memberikan hasil yang optimal dan kebakaran hutan masih terus
terjadi pada setiap musim kemarau. Kondisi ini disebabkan oleh berbagai faktor
antara lain.
1. Kemiskinan dan ketidak adilan bagi masyarakat pinggiran atau dalam
kawasan hutan.
2. Kesadaran semua lapisan masyarakat terhadap bahaya kebakaran masih
rendah.
3. Kemampuan aparatur pemerintah khususnya untuk koordinasi, memberikan
penyuluhan untuk kesadaran masyarakat, dan melakukan upaya pemadaman
kebakaran semak belukar dan hutan masih rendah.
4. Upaya pendidikan baik formal maupun informal untuk penanggulangan
kebakaran hutan belum memadai.

2.7. Peran Perawat

1. Peran perawat dalam fase pre-impact


a. Perawat mengikuti pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kesehatan dalam
penanggulangan ancaman bencana untuk setiap fasenya.
b. Perawat ikut terlibat dalam berbagai dinas pemerintah,organisasi
lingkungan, palang merah nasional maupun lembaga lembaga
kemasyarakatan dalam memberikan penyuluhan.dan simulasi persiapan
menghadapi ancaman bencana kepada masyarakat.
c. Perawat terlibat didalam program promosi kesehatan untuk meningkatkan
kesiapan masyarakat dalam menghadapi bencana yang meliputi hal-hal:
usaha pertolongan diri sendiri(pada masyarakat tersebut) prlatihan
pertolongan pertama dalam keluarga seperti menolong anggota keluarga
yang lain.
Pembekalan informasi tentang bagaimana menyimpan dan membawa
persediaan makanan dan penggunaan air yang aman. Perawat juga dapat
memberikan informasi tentang penampungan atau posko posko bencana.

2. Peran perawat dalam fase impact


a. Bertindak cepat
b. Do not promise, perawat seharusnya tiak menjajikan apapun dengan pasti
dengan bermaksud memberikan harapan yang besar pada korban selamat.
c. Berkonsentrasi penuh pda apa yang dilakukan
d. Berkordinasi dan menciptakan kepemimpinan (coordination and create
leadership)
e. Untuk jangka panjang bersama-sama pihak yang terkait dapat
mendiskusikan dan merancang master plan of revitalizing.
3. Peran perawat dalam fase post-impact
a. Bencana tentu memberikan bekas khusus bagi keadaan fisik,sosia, dan
psikologi korban
b. Stress psikologis yang terjadi dapat terus berkembang hingga terjadi post-
traumatic stress disorder(PTSD) yang merupakan sindrom dengan tiga
criteria utama
1. Pertama gejala trauma pasti dapat dikenali
2. Kedua individu tersebut mengalami gejala ulang trauma melalui
flashback,mimpi ataupun peristiwa yang memacunya.
3. Individu akan mengalami gangguan fisi. Selain hal tersebut individu
dengan PTSD dapat pula mengalami penurunn konsentrasi,perasaan
bersalah,gangguan memori
c. Tim kesehatan bersama masyarakat dan profesi lain yang terkait
bekerjasama dengan unsure lintas sector menangani masalah kesehatan
masyarakat pasca gawat darurat serta mempercepat fase pemulihan
(recovery) menuju keadaan sehat dan aman
BAB III
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Hutan merupakan sumber daya alam yang tidak ternilai harganya karena
didalamnya terkandung keanekaragaman hayati sebagai sumber plasma nutfah,
sumber hasil hutan kayu dan non-kayu, pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi
serta kesuburan tanah, dan sebagainya.
Kebakaran hutan menimbulkan kerugian yang sangat besar dan dampaknya
sangat luas, bahkan melintasi batas negara. Di sisi lain upaya pencegahan dan
pengendalian yang dilakukan selama ini masih belum memberikan hasil yang
optimal. Oleh karena itu perlu perbaikan secara menyeluruh, terutama yang terkait
dengan kesejahteraan masyarakat pinggiran atau dalam kawasan hutan.
Berbagai upaya perbaikan yang perlu dilakukan antara lain dibidang
penyuluhan kepada masyarakat khususnya yang berkaitan dengan faktor-faktor
penyebab kebakaran hutan, peningkatan kemampuan aparatur pemerintah terutama
dari Departemen Kehutanan, peningkatan fasilitas untuk mencegah dan menanggulagi
kebakaran hutan, pembenahan bidang hukum dan penerapan sangsi secara tegas.

4.2 Saran
Dalam mengantisipasi dan mengurangi kejadian kebakaran hutan, maka perlu
tindak nyata pada semua pihak terkait/stakeholder secara jelas, pasti dan cepat
sehingga degradasi lingkungan dan hutan dapat diatasi. Hal ini dapat melalui jalan
pendekatan dengan berbagai metode pada semua pelaku peran baik dari lembaga
pemerintah sebagai pihak yang merupakan produk izin, pengusaha yang bergerak
dalam kegiatan ini, masyarakat sebagai peran lainnya, tenaga ahli yang memahami
teori dengan benar dan pihak-pihak pengamat yang membantu meluruskan adanya
kekeliruan dalam hal ini lembaga swadaya masyarakat baik lokal maupun
internasional, perguruan tinggi dan sebagainya.

Anda mungkin juga menyukai