Anda di halaman 1dari 6

PAPER PKN

Nama Kelompok 3:

1. Tresia Anggraini Malau


2. Nia Aprilia Br Ginting
3. Lisa Sartika Br.Sitompul
4. Jusni Ekamastani Saragih

REGULAR C 2019

KEWAJIBAN DAN HAK

A. Kewajiban Dan Hak Negara Dan Warga Negara Menurut UU

Pasal 27 ayat (3) UUD 1945 yang berbunyi, "Setiap warga negara berhak dan wajib ikut
serta dalam upaya pembelaan negara”. Wajib menghormati hak asasi manusia orang lain. Di
mana tertuang dalam Pasal 28J ayat 1 yang berbunyi," Setiap orang wajib menghormatihak asai
manusia orang lain".

Jika setiap kemungkinan elemen hak asasi manusia dianggap penting atau perlu, maka
tidak ada yang akan diperlakukan seolah-olah itu benar-benar penting (Philip Alston, 2005).
Dalam hal ini bisa di lihat dontoh khasus yang actual dan marak di bicarakan saat ini. Seperti
yang kita ketahui baru-baru ini isu-isu mengenai Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja
(omnibus law).

Dalam wawancaranya dengan wartawan BBC News Karishma Vaswani, dia menyatakan,
“Prioritas yang saya ambil memang di bidang ekonomi terlebih dahulu. Tapi memang bukan
saya tidak senang dengan urusan HAM atau tidak senang dengan lingkungan. Tidak, kita juga
kerjakan itu…..Tapi memang, kita baru memberikan prioritas yang berkaitan dengan ekonomi
karena rakyat memerlukan pekerjaan. Rakyat perlu ekonominya lebih sejahtera.” (BBC,
13/2/2020). Konteks pernyataan tersebut terkait dengan kritik omnibus law atau RUU Cipta
Kerja. Memang, ditemukan sejumlah pasal yang berpotensi menghapus perlindungan hak,
merepresi kebebasan pers, dan melemahkan penegakan hukum lingkungan. Logika hukum nya
juga kacau dan jauh dari prinsip-prinsip pembentukan peraturan perundang-undangan.
B. Keseimbangan Antara Kewajiban Dan Hak Masing-Masing Pihak Dalam Undang-
Undang

Berkaitan dengan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja (omnibus law),


Komnas HAM RI berdasarkan mandat Pasal 89 Ayat 1 huruf (b) dan (e) Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, telah melakukan pengkajian atas RUU Cipta Kerja.
Hal ini karena materi muatan RUU Cipta Kerja bersinggungan langsung dan berpotensi
mengancam penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan HAM.

Berdasarkan hasil kajian atas RUU Cipta Kerja, Komnas HAM RI berkesimpulan bahwa:

1. Prosedur perencanaan dan pembentukan RUU Cipta Kerja tidak sejalan dengan tata cara atau
mekanisme yang telah diatur Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, yang masih berlaku dan memiliki kekuatan hukum yang
mengikat. Hal ini khususnya terkait dengan ketentuan Pasal 5 huruf g UU No. 12 Tahun 2011
yang menjamin hak untuk berpartisipasi dan asas keterbukaan yang menjadi elemen fundamental
dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

2. Terdapat penyimpangan asas hukum lex superior derogat legi inferior dimana dalam Pasal 170
Ayat (1) dan (2) RUU Cipta Kerja,Peraturan Pemerintah dapat mengubah peraturan setingkat
undangundang jika muatan materinya tidak selaras dengan kepentingan strategis RUU Cipta
Kerja.

3. RUU Cipta Kerja akan membutuhkan sekitar 516 peraturan pelaksanayang bertumpu pada
kekuasaan dan kewenangan lembaga eksekutif, sehingga berpotensi memicu terjadinya
penyalahgunaan wewenang (abuse of power)dan tidak sesuai dengan prinsip peraturan
perundang-undangan yang sederhana, efektif, dan akuntabe.

4. Tidak ada jenis undang-undang yang lebih tinggi atau superior atas undang-undang lainnya,
sehingga apabila RUU Cipta Kerja (omnibus law) disahkan, seakan-akan ada undang-undang
superior. Hal ini akan menimbulkan kekacauan tatananhukum dan ketidakpastian hokum.

5. Pemunduran atas kewajiban negara memenuhi hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
sehingga melanggar kewajiban realisasi progresif atas pemenuhan hak-hak sosial dan ekonomi.
Hal ini diantaranya terkait dengan politik hubungan kerja yang membuka seluas-luasnya praktik
perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT)/kontrak; kemudahan dalam proses/mekanisme
Pemutusan Hubungan Kerja; penurunan standar kelayakan dan kondisi kerja yang adil terkait
dengan upah, cuti dan istirahat; serta pemunduran dalam perlindungan hak untuk berserikat dan
berorganisasi.

6. Pelemahan atas kewajiban negara untuk melindungi hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat, yang tercermin dari pembatasan hak untuk berpartisipasi dan hak atas informasi. Hal ini
diantaranya terkait dengan ketentuan yang mengubah Izin Lingkungan menjadi Persetujuan
Lingkungan, berkurangnya kewajiban melakukan AMDAL bagi kegiatan usaha, pendelegasian
uji kelayakan lingkungan kepada pihak swasta, hilangnya Komisi Penilai Amdal, perubahan
konsep pertanggungjawaban mutlak sehingga mengurangi tanggung jawab korporasi dalam
melakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, serta berpotensi terjadinya alih
tanggung jawab kepada individu.

7. Relaksasi atas tata ruang dan wilayah demi kepentingan strategis nasional yang dilakukan
tanpa memerlukan persetujuan atau rekomendasi dari institusi/lembaga yang mengawasi
kebijakan tata ruang dan wilayah sehingga membahayakan keserasian dan daya dukung
lingkungan hidup.

8. Pemunduran atas upaya menghormati, melindungi, dan memenuhi hak atas kepemilikan tanah
melalui perubahan UU No. 2 Tahun 2012 terkait dengan pengadaan tanah untuk kepentingan
umum, dengan membuka semakin luasnya obyek yang masuk kategori kepentingan umum,
padahal tidak terkait langsung dengan hajat hidup orang banyak. Serta, kemudahan atas prosedur
penitipan uang ganti kerugian (konsinyasi) ke Pengadilan Negeri sehingga berpotensi memicu
meluasnya penggusuran paksa atas nama pembangunan.

9. Pemunduran atas upaya pemenuhan hak atas pangan dan ketimpangan akses dan kepemilikan
sumber daya alam terutama tanah antara masyarakat dengan perusahaan (korporasi). Hal ini
diantaranya terkait dengan penghapusan kewajiban pembangunan kebun plasma untuk
masyarakat minimal 20% dari luasan izin HGU, pembentukan Bank Tanah yang akan
menjadikan lahan sekadar kepentingan komoditas ekonomi dengan luasan pengelolaan tanah
yang tidak dibatasi dan jangka waktu hak yang diberikan selama 90 (sembilan puluh) tahun.
10. Politik penghukuman dalam RUU Cipta Kerja bernuansa diskriminatif, karena lebih
menjamin kepentingan sekelompok orang/kelompok pelaku usaha/korporasi sehingga
menciderai hak atas persamaan di depan hukum. Hal ini terkait dengan perubahan ketentuan
penghukuman dari sanksi pidana penjara menjadi sanksi administrasi denda untuk pelanggaran
awal, dimana sanksi pidana penjara baru berlaku apabila sanksi administrasi denda tidak
dibayarkan.

C. Simpulan Mengenai Ruu Cipta Kerja (Omnibus Law)

Secara garis besar, bahwa Omnibus Law CLK yang sedang disusun berpotensi besar
melanggar hak-hak dasar masyarakat Indonesia. Berdasarkan catatan kritis yang telah
disampaikan, memberikan rekomendasi kepada Pemerintah dan DPR untuk:

1. Menyusun omnibus law secara transparan dan melibatkan seluruh pemangku kepentingan
(termasuk masyarakat yang terdampak dan/atau berkepentingan) dalam proses penyusunan, baik
di tingkat pemerintah maupun di DPR, serta terbuka dengan segala pendapat yang disampaikan.

2. Mengkaji kembali pilihan-pilihan pendekatan berbasis risiko dan memastikan bahwa


perlindungan lingkungan hidup menjadi salah satu pertimbangan utama dalam pembuatan
kebijakan. Perlu diberikan perhatian secara khusus untuk:

a. tidak mengunci perizinan dan pengawasan hanya kepada kegiatan yang berisiko tinggi, karena
terdapat risiko yang mudah berubah intensitasnya (volatile) maupun risiko yang rendah tetapi
bersifat sistemik.

b. identifikasi dan pemeringkatan risiko yang seharusnya dilakukan secara periodik dengan
mekanisme yang transparan dan melibatkan masyarakat.

3. Mempertahankan izin lingkungan dengan pertimbangan sebagai berikut:

a. Izin lingkungan merupakan instrumen yang strategis untuk melakukan pengawasan penaatan
pelaku usaha terhadap peraturan dan standar kualitas lingkungan hidup.

b. Keberadaan izin lingkungan lebih menjamin akses bagi masyarakat untuk dapat berpartisipasi
dalam keputusan lingkungan hidup dan mendapatkan keadilan ketika haknya terlanggar.
c. Memastikan adanya instrumen yang dapat mencegah terjadinya pencemaran dan kerusakan
lingkungan serta kerugian bagi masyarakat akibat pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup.

d. Pemilihan instrumen yang tepat dalam pengelolaan lingkungan hidup perlu dibangun tahapan
proses pembuatan kebijakan yaitu penemuan problem lingkungan hidup, penentuan berbagai
alternatif penyelesaian masalahnya, pengkajian dari berbagai alternatif tersebut, berbagai pilihan
kebijakan, implementasi dan evaluasi.

5. Mempertahankan ancaman sanksi pidana bagi pelanggaran administrasi (termasuk


pelanggaran izin) karena:

a. Pelaku usaha yang sudah mendapatkan sanksi administrasi tidak patuh atau mengulangi
perbuatannya lagi;

b. Ada perbuatan yang bila dilakukan tanpa izin akan menimbulkan bahaya yang sangat besar
bagi lingkungan hidup dan tidak dapat dipulihkan lagi (irreversible damage); sehingga
diperlukan sanksi yang lebih berat (sanksi pidana) untuk memastikan efek jera dan menegakkan
keadilan.

5. Tetap mempertahankan, bahkan memperkuat, aturan terkait pelibatan masyarakat agar sejalan
dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Dengan demikian kebijakan mendorong
percepatan investasi dan pembangunan yang dipilih lebih inklusif dan mendapatkan dukungan
dari masyarakat (legitimate).

Daftar Pustaka

https://www.komnasham.go.id/index.php/siaran-pers/2020/08/13/104/keterangan-pers-nomor-
035-humas-kh-viii-2020-pembahasan-ruu-cipta-kerja-omnibus-law-agar-tidak-dilanjutkan.html

https://icel.or.id/kertas-kebijakan/hukum-dan-kebijakan-lingkungan-dalam-poros-percepatan-
investasi-catatan-terhadap-wacana-omnibus-law-cipta-lapangan-kerja/

https://www.jawapos.com/opini/10/03/2020/omnibus-law-dan-ham/

Anda mungkin juga menyukai