Anda di halaman 1dari 71

LAPORAN PENDAHULUAN

DEFISIT PERAWATAN DIRI PADA GANGGUAN JIWA

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa

Dosen Pengampu : Rizki Muliani, S.Kp.,M.M

Oleh:

Intan Nursyahidah

(4180180020)

3A

FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG
2021
1. Definisi

Defisit perawatan diri merupakan salah satu masalah timbul pada pasien
gangguan jiwa. pasien gangguan jiwa kronis sering mengalami ketidak pedulian merawat
diri. Keadaan ini merupakan gejala perilaku negatif dan menyebabkan pasien dikucilkan
baik dalam keluarga maupunmasyarakat (Yusuf, Rizky & Hanik,2015:154)
Defisit perawatan diri adalah ketidakmampuan dalam : kebersihan diri,makan,
berpakaian, berhias diri, makan sendiri, buang air besar atau kecilsendiri (toileting)
(Keliat B. A, dkk, 2011).

2. Etiologi
a. Faktor Predisposisi.
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kurang perawatan diri adalah,
Perkembangan. Dalam perkembangan, keluarga yang terlalu melindungi dan
memanjakan klien dapat menimbulkan perkembangan inisiatif dan keterampilan. Lalu
faktor predisposisi selanjutnya adalah Faktor Biologis, beberapa penyakit kronis dapat
menyebabkan klien tidak mampu melakukan perawatan diri secara mandiri. Faktor
selanjutnya adalah kemampuan realitas yang menurun. Klien dengan gangguan jiwa
mempunyai kemampuan realitas yang kurang, sehingga menyebabkan ketidak pedulian
dirinya terhadap lingkungan termasuk perawatan diri. Selanjutnya adalah faktor Sosial,
kurang dukungan serta latihan kemampuan dari lingkungannya, menyebabkan klien
merasa
b. Faktor Presipitasi.
Yang merupakan factor presipitasi defisit perawatan diri adalah kurangnya atau
penurunan motivasi, kerusakan kognisi, atau perseptual, cemas, lelah / lemah yang
dialami individu sehingga menyebabkan individu kurang mampu melakukan perawatan
diri. Sedangkan menurut Depkes tahun 2000 faktor yang mempengaruhi personal
hygiene adalah body Image, praktik social, status sosial ekonomi, pengetahuan, budaya,
kebiasaan dan kondisi fisik.
3. Jenis-Jenis Defisit Perawatan Diri
Menurut Nanda (2012),jenis perawatan diri terdiri dari :
1. Defisit perawatan diri : mandi
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan mandi/beraktivitas
perawatan diri untuk diri sendiri.
2. Defisit perawatan diri : berpakaian
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas berpakaian
dan berhias untuk diri sendiri
3. Defisit perawatan diri : makan
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas makan
secara mandiri
4. Defisit perawatan diri : eliminasi / toileting
Hambatan kemampuan untuk melakukan atau menyelesaikan aktivitas eliminasi
sendiri.

4. Tanda dan Gejala


Adapun tanda dan gejala defisit perawatan diri menurut Fitria (2009) adalah sebagai
berikut :
1) Mandi/Hygiene
Klien mengalami ketidakmampuan dalam membersihkan badan,memperoleh atau
mendapatkan sumber air,mengatur suhu atau aliran air mandi,mendapatkan
perlengkapan mandi, mengeringkan tubuh, serta masuk dan keluar kamar mandi
2) Berpakaian/berhias
Klien mempunyai kelemahan dalam meletakkan atau mengambil potongan
pakaian ,menanggalkan pakaian,serta memperoleh atau menukar pakaian.Klien juga
memiliki ketidakmampuan untuk mengenakan pakaian dalam,memilih
pakaian,mengambil pakaian dan mengenakan sepatu
3) Makan
Klien mempunyai ketidakmampuan dalam menelan makanan,mempersiapkan
makanan,melengkapi makanan,mencerna makanan menurut cara yang diterima
masyarakat,serta mencerna cukup makanan dengan aman

4) Eliminasi
Klien memiliki keterbatasan atau ketidakmampuan dalam mendapatkan jamban atau
kamar kecil,duduk atau bangkit dari jamban,memanipulasi pakaian untuk
toileting,membersihkan diri setelah BAB/BAK dengan tepat,dan menyiram toilet
atau kamar kecil

5. Rentang Respon

Adaptif Maladaptif

Pola perawatan Kadang perawatan Tidak melakukan


diri seimbang diri tidak seimbang perawatan diri

Keterangan :
1. Pola perawatan diri seimbang : saat klien mendapatkan stresor dan mampu untuk
berperilaku adaptif, maka pola perawatan yang dilakukan klien seimbang, klien
masih melakukan perawatan diri.
2. Kadang perawatan diri kadang tidak : saat klien mendapatkan stresor kadang
kadang klien tidak memperhatikan perawatan dirinya.
3. Tidak melakukan perawatan diri : klien mengatakan dia tidak peduli dan tidak
bisa melakukan perawatan saat stresor.

6. Mekanisme Koping
Mekanisme koping berdasarkan penggolongan nya di bagi 2 (Stuart & Sundeen,
2000), yaitu :
 Mekanisme Koping Adaptif
Mekanisme koping yang mendukung fungsi integrasi, pertumbuhan, belajar
dan mencapai tujuan. Kategorinya adalah : Klien bisa memenuhi kebutuhan
perawatan diri secara mandiri.

 Mekanisme Koping Mal Adaptif


Mekanisme koping yang menghambat, fungsi integrasi, memecah
pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan.
Kategori nya adalah : Tidak mau merawat diri

7. Pohon Masalah
Effect Gangguan pemeliharaan
Kesehatan (BAB/BAK,
mandi, makan, minum)

Core problem Defisit perawatan diri

Causa Menurunnya motivasi dalam


Perawatan diri

Isolasi sosial : menarik diri

Gambar 2: Pohon Masalah Defisit Perawatan Diri


(Sumber : Keliat, 2006)

8. Diagnosa Keperawatan

 Defisit Perawatan Diri : Ketidakmampuan merawat kebersihan diri


 Menurunnya motivasi dalam merawat diri
9. Masalah Keperawatan dan data yang perlu dikaji :
Masalah yang ditemukan adalah : Defisit Perawatan Diri (SP 1 Kebersihan Diri, SP 1
Makan, SP 1 Toileting (BAB / BAK), SP 1 Berhias)
Contoh data yang biasa ditemukan dalam Defisit Perawatan Diri : Kebersihan Diri
adalah :
a) Data Subjektif :
Pasien merasa lemah,malas untuk beraktivitas,dan merasa tidak berdaya
b) Data Objektif :
Rambut kotor acak-acakan,badan dan pakaian kotor serta bau, mulut dan gigi
bau,kulit kusam dan kotor,kuku panjang dan tidak terawat.
c) Mekanisme Koping :
Regresi, penyangkalan, isolasi social menarik diri, intelektualisasi.
Defisit perawatan diri bukan merupakan bagian dari komponen pohon masalah
(causa,core problem,effect) tetapi sebagai masalah pendukung.
a) Effect
b) Core Problem
c) Causa
d) Defisit Perawatan Diri.
LAPORAN PENDAHULUAN

HALUSINASI

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa

Dosen Pengampu : Rizki Muliani, S.Kp.,M.M

Oleh:

Jihan Rahmawati (4180180022)

3A

FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG
2021
A. Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan sensori persepsi yang dialami oleh
pasien gangguan jiwa. Pasien merasakan sensasi berupa suara, penglihatan,
pengecapan, perabaan, atau penghiduan tanpa stimulus yang nyata Keliat, (2011) dalam
Zelika, (2015). Halusinasi adalah persepsi sensori yang salah atau pengalaman persepsi
yang tidak sesuai dengan kenyataan Sheila L Vidheak,( 2001) dalam Darmaja (2014).
Menurut Surya, (2011) dalam Pambayung (2015) halusinasi adalah hilangnya
kemampuan manusia dalam membedakan rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan
eksternal (dunia luar). Halusinasi adalah persepsi atau tanggapan dari pancaindera
tanpa adanya rangsangan (stimulus) eksternal (Stuart & Laraia, 2001).Halusinasi
merupakan gangguan persepsi dimana pasien mempersepsikan sesuatu yang
sebenarnya tidak terjadi.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas, yang dimaksud dengan halusinasi adalah
gangguan persepsi sensori dimana klien mempersepsikan sesuatu melalui panca indera
tanpa ada stimulus eksternal. Halusinasi berbeda dengan ilusi, dimana klien mengalami
persepsi yang salah terhadap stimulus, salah persepsi pada halusinasi terjadi tanpa
adanya stimulus eksternal yang terjadi, stimulus internal dipersepsikan sebagai sesuatu
yang nyata ada oleh klien.

B. Etiologi
Menurut Stuart dan Laraia (2001) dalam Pambayun (2015), faktor-faktor yang
menyebabkan klien gangguan jiwa mengalami halusinasi adalah sebagai berikut :
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor genetis
Secara genetis, skizofrenia diturunkan melalui kromosom-kromosom tertentu.
Namun demikian, kromosom ke berapa yang menjadi faktor penentu
gangguan ini sampai sekarang masih dalam tahap penelitian. Anak kembar
identik memiliki kemungkinan mengalami skizofrenia sebesar 50% jika salah
satunya mengalami skizofrenia, sementara jika dizigote, peluangnya sebesar
15%. Seorang anak yang salah satu orang tuanya mengalami skizofrenia
berpeluang 15% mengalami skizofrenia, sementara bila kedua orang tuanya
skizofrenia maka peluangnya menjadi 35%.
b. Faktor neurobiologis
Klien skizofrenia mengalami penurunan volume dan fungsi otak yang
abnormal. Neurotransmitter juga ditemukan tidak normal, khususnya
dopamin, serotonin, dan glutamat.
1) Studi neurotransmitter
Skizofrenia diduga juga disebabkan oleh adanya ketidakseimbangan
neurotransmitter. Dopamin berlebihan, tidak seimbang dengan kadar
serotonin.
2) Teori virus
Paparan virus influenza pada trimester ketiga kehamilan dapat menjadi
faktor predisposisi skizofrenia.
3) Psikologis
Beberapa kondisi psikologis yang menjadi faktor predisposisi skizofrenia
antara lain anak yang diperlakukan oleh ibu yang pencemas, terlalu
melindungi, dingin, dan tak berperasaan, sementara ayah yang mengambil
jarak dengan anaknya.
2. Faktor Presipitasi
a. Berlebihannya proses informasi pada sistem saraf yang menerima dan
memproses informasi di thalamus dan frontal otak.
1) Mekanisme penghantaran listrik di syaraf terganggu.
Kondisi kesehatan, meliputi : nutrisi kurang, kurang tidur,
ketidakseimbangan irama sirkadian, kelelahan, infeksi, obat-obat sistem
syaraf pusat, kurangnya latihan, hambatan untuk menjangkau pelayanan
kesehatan.
2) Lingkungan, meliputi : lingkungan yang memusuhi, krisis masalah di
rumah tangga, kehilangan kebebasan hidup, perubahan kebiasaan hidup,
pola aktivitas sehari-hari, kesukaran dalam hubungan dengan orang lain,
isolasi social, kurangnya dukungan sosial, tekanan kerja, kurang
ketrampilan dalam bekerja, stigmatisasi, kemiskinan, ketidakmampuan
mendapat pekerjaan.
3) Sikap/perilaku, meliputi : merasa tidak mampu, harga diri rendah, putus
asa, tidak percaya diri, merasa gagal, kehilangan kendali diri, merasa
punya kekuatan berlebihan, merasa malang, bertindak tidak seperti orang
lain dari segi usia maupun kebudayaan, rendahnya kernampuan sosialisasi,
perilaku agresif, ketidakadekuatan pengobatan, ketidakadekuatan
penanganan gejala.

C. Rentang Respon Halusinasi


Halusinasi merupakan salah satu respon maldaptive individual yang berbeda
rentang respon neurobiologi (Stuart and Laraia, 2005) dalam Yusalia 2015. Ini
merupakan persepsi maladaptive. Jika klien yang sehat persepsinya akurat, mampu
mengidentifisikan dan menginterpretasikan stimulus berdasarkan informasi yang
diterima melalui panca indera (pendengaran, pengelihatan, penciuman, pengecapan dan
perabaan) klien halusinasi mempersepsikan suatu stimulus panca indera walaupun
stimulus tersebut tidak ada.Diantara kedua respon tersebut adalah respon individu yang
karena suatu hal mengalami kelainan persensif yaitu salah mempersepsikan stimulus
yang diterimanya, yang tersebut sebagai ilusi. Klien mengalami jika interpresentasi
yang dilakukan terhadap stimulus panca indera tidak sesuai stimulus yang
diterimanya,rentang respon tersebut sebagai berikut:
Respon adaptif Respon maladaptif

Pikiran logis  Kadang-  Waham


 Persepsi akurat kadang proses  Halusinasi
 Emosi pikir terganggu  Sulit berespons
konsisten (distorsi  Perilaku
dengan pikiran disorganisasi
pengalaman  Ilusi  Isolasi sosial
 Perilaku sesuai  Menarik diri
 Hubungan  Reaksi emosi
sosial harmonis >/<
 Perilaku tidak
biasa
D. Jenis Halusinasi
Menurut  Stuart (2007) dalam Yusalia (2015), jenis halusinasi antara lain:
1. Halusinasi pendengaran (auditorik) 70 %
Karakteristik ditandai dengan mendengar suara, teruatama suara – suara orang,
biasanya klien mendengar suara orang yang sedang membicarakan apa yang sedang
dipikirkannya dan memerintahkan untuk melakukan sesuatu.
2. Halusinasi penglihatan (visual) 20 %
Karakteristik dengan adanya stimulus penglihatan dalam bentuk pancaran cahaya,
gambaran geometrik, gambar kartun dan / atau panorama yang luas dan kompleks.
Penglihatan bisa menyenangkan atau menakutkan.
3. Halusinasi penghidu (olfactory)
Karakteristik ditandai dengan adanya bau busuk, amis dan bau yang menjijikkan
seperti: darah, urine atau feses. Kadang – kadang terhidu bau harum.Biasanya
berhubungan dengan stroke, tumor, kejang dan dementia.
4. Halusinasi peraba (tactile)
Karakteristik ditandai dengan adanya rasa sakit atau tidak enak tanpa stimulus yang
terlihat. Contoh : merasakan sensasi listrik datang dari tanah, benda mati atau orang
lain.
5. Halusinasi pengecap (gustatory)
Karakteristik ditandai dengan merasakan sesuatu yang busuk, amis dan menjijikkan,
merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urin atau feses.
6. Halusinasi cenesthetik
Karakteristik ditandai dengan merasakan fungsi tubuh seperti darah mengalir
melalui vena atau arteri, makanan dicerna atau pembentukan urine.
7. Halusinasi kinesthetic
Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak.
E. Tanda Gejala
Beberapa tanda dan gejala perilaku halusinasi adalah tersenyum atautertawa yang
tidak sesuai, menggerakkan bibir tanpa suara, bicarasendiri,pergerakan mata cepat,
diam, asyik dengan pengalamansensori,kehilangan kemampuan membedakan
halusinasi dan realitas rentangperhatian yang menyempit hanya beberapa detik atau
menit, kesukaranberhubungan dengan orang lain, tidak mampu merawat
diri,perubahan.
Berikut tanda dan gejala menurut jenis halusinasi Stuart & Sudden, (1998)
dalam Yusalia (2015).
Jenis halusinasi Karakteriostik tanda dan gejala
Pendengaran Mendengar suara-suara / kebisingan,
paling sering suara kata yang jelas,
berbicara dengan klien bahkan sampai
percakapan lengkap antara dua orang
yang mengalami halusinasi. Pikiran
yang terdengar jelas dimana klien
mendengar perkataan bahwa pasien
disuruh untuk melakukan sesuatu
kadang-kadang dapat membahayakan.

Penglihatan Stimulus penglihatan dalam kilatan


cahaya, gambar giometris, gambar
karton dan atau panorama yang luas dan
komplek. Penglihatan dapat berupa
sesuatu yang menyenangkan /sesuatu
yang menakutkan seperti monster.

Penciuman Membau bau-bau seperti bau darah,


urine, fases umumnya baubau yang
tidak menyenangkan. Halusinasi
penciuman biasanya sering akibat
stroke, tumor, kejang / dernentia.

Pengecapan Merasa mengecap rasa seperti rasa


darah, urine, fases.

Perabaan Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan


tanpa stimulus yang jelas rasa tersetrum
listrik yang datang dari tanah, benda
mati atau orang lain.
Merasakan fungsi tubuh seperti aliran
Sinestetik darah divera (arteri), pencernaan
makanan.

Kinestetik Merasakan pergerakan sementara


berdiri tanpa bergerak

F. Fase Halusinasi
Halusinasi yang dialami oleh klien bisa berbeda intensitas dan keparahannya Stuart &
Sundeen, (2006) dalam Bagus, (2014), membagi fase halusinasi dalam 4 fase
berdasarkan tingkat ansietas yang dialami dan kemampuan klien mengendalikan
dirinya. Semakin berat fase halusinasi, klien semakin berat mengalami ansietas dan
makin dikendalikan oleh halusinasinya.

Fase halusinasi Karakteristik Perilaku pasien


1 2 3
Fase 1 : Comforting- Klien mengalami keadaan Menyeringai atau
ansietas tingkat emosi seperti ansietas, tertawa yang tidak
sedang, secara kesepian, rasa bersalah, dan sesuai, menggerakkan
umum, halusinasi takut serta mencoba untuk bibir tanpa
bersifat berfokus pada penenangan menimbulkan suara,
menyenangkan pikiran untuk mengurangi pergerakan mata yang
ansietas. Individu mengetahui cepat, respon verbal
bahwa pikiran dan yang lambat, diam dan
pengalaman sensori yang dipenuhi oleh sesuatu
dialaminya tersebut dapat yang mengasyikkan.
dikendalikan jika ansietasnya
bias diatasi
(Non psikotik)
Fase II: Pengalaman sensori bersifat Peningkatan sistem
Condemning- menjijikkan dan menakutkan, syaraf otonom yang
ansietas tingkat klien mulai lepas kendali dan menunjukkan ansietas,
berat, secara umum, mungkin mencoba untuk seperti peningkatan
halusinasi menjadi menjauhkan dirinya dengan nadi, pernafasan, dan
menjijikkan sumber yang dipersepsikan. tekanan darah;
Klien mungkin merasa malu penyempitan
karena pengalaman kemampuan
sensorinya dan menarik diri konsentrasi, dipenuhi
dengan pengalaman
dari orang lain. sensori dan kehilangan
kemampuan
(Psikotik ringan) membedakan antara
halusinasi dengan
realita.
Fase III: Klien berhenti menghentikan Cenderung mengikuti
Controlling-ansietas perlawanan terhadap petunjuk yang diberikan
tingkat berat, halusinasi dan menyerah pada halusinasinya daripada
pengalaman sensori halusinasi tersebut. Isi menolaknya, kesukaran
menjadi berkuasa halusinasi menjadi menarik, berhubungan dengan
dapat berupa permohonan. orang lain, rentang
Klien mungkin mengalarni perhatian hanya
kesepian jika pengalaman beberapa detik atau
sensori tersebut berakhir. menit, adanya tanda-
(Psikotik) tanda fisik ansietas
berat : berkeringat,
tremor, tidak mampu
mengikuti petunjuk.
Fase IV: Conquering Pengalaman sensori menjadi Perilaku menyerang-
mengancam dan menakutkan teror seperti panik,
Panik, umumnya jika klien tidak mengikuti berpotensi kuat
halusinasi menjadi perintah. Halusinasi bisa melakukan bunuh diri
lebih rumit, melebur berlangsung dalam beberapa atau membunuh orang
dalam halusinasinya jam atau hari jika tidak ada lain, Aktivitas fisik
intervensi terapeutik. yang merefleksikan isi
halusinasi seperti amuk,
(Psikotik Berat) agitasi, menarik diri,
atau katatonia, tidak
mampu berespon
terhadap perintah yang
kompleks, tidak mampu
berespon terhadap lebih
dari satu orang.

G. Penatalaksanaan Medis
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), tindakan keperawatan untuk
membantu klien mengatasi halusinasinya dimulai dengan membina hubungan saling
percaya dengan klien. Hubungan saling percaya sangat penting dijalin sebelum
mengintervensi klien lebih lanjut. Pertama-tama klien harus difasilitasi untuk merasa
nyaman menceritakan pengalaman aneh halusinasinya agar informasi tentang
halusinasi yang dialami oleh klien dapat diceritakan secara konprehensif. Untuk itu
perawat harus memperkenalkan diri, membuat kontrak asuhan dengan klien bahwa
keberadaan perawat adalah betul-betul untuk membantu klien. Perawat juga harus
sabar, memperlihatkan penerimaan yang tulus, dan aktif mendengar ungkapan klien
saat menceritakan halusinasinya. Hindarkan menyalahkan klien atau menertawakan
klien walaupun pengalaman halusinasi yang diceritakan aneh dan menggelikan bagi
perawat. Perawat harus bisa mengendalikan diri agar tetap terapeutik.
Setelah hubungan saling percaya terjalin, intervensi keperawatan selanjutnya
adalah membantu klien mengenali halusinasinya (tentang isi halusinasi, waktu,
frekuensi terjadinya halusinasi, situasi yang menyebabkan munculnya halusinasi, dan
perasaan klien saat halusinasi muncul). Setelah klien menyadari bahwa halusinasi yang
dialaminya adalah masalah yang harus diatasi, maka selanjutnya klien perlu dilatih
bagaimana cara yang bisa dilakukan dan terbukti efektif mengatasi halusinasi. Proses
ini dimulai dengan mengkaji pengalaman klien mengatasi halusinasi. Bila ada beberapa
usaha yang klien lakukan untuk mengatasi halusinasi, perawat perlu mendiskusikan
efektifitas cara tersebut. Apabila cara tersebut efektif, bisa diterapkan, sementara jika
cara yang dilakukan tidak efektif perawat dapat membantu dengan cara-cara baru.
Menurut Keliat (2011) dalam Pambayun (2015), ada beberapa cara yang bisa
dilatihkan kepada klien untuk mengontrol halusinasi, meliputi :
1. Menghardik halusinasi.
Halusinasi berasal dari stimulus internal. Untuk mengatasinya, klien harus berusaha
melawan halusinasi yang dialaminya secara internal juga. Klien dilatih untuk
mengatakan, ”tidak mau dengar…, tidak mau lihat”. Ini dianjurkan untuk dilakukan
bila halusinasi muncul setiap saat. Bantu pasien mengenal halusinasi, jelaskan cara-
cara kontrol halusinasi, ajarkan pasien mengontrol halusinasi dengan cara pertama
yaitu menghardik halusinasi:
2. Menggunakan obat.
Salah satu penyebab munculnya halusinasi adalah akibat ketidakseimbangan
neurotransmiter di syaraf (dopamin, serotonin). Untuk itu, klien perlu diberi
penjelasan bagaimana kerja obat dapat mengatasi halusinasi, serta bagairnana
mengkonsumsi obat secara tepat sehingga tujuan pengobatan tercapai secara optimal.
Pendidikan kesehatan dapat dilakukan dengan materi yang benar dalam pemberian
obat agar klien patuh untuk menjalankan pengobatan secara tuntas dan teratur.
Keluarga klien perlu diberi penjelasan tentang bagaimana penanganan klien yang
mengalami halusinasi sesuai dengan kemampuan keluarga. Hal ini penting dilakukan
dengan dua alasan. Pertama keluarga adalah sistem di mana klien berasal. Pengaruh
sikap keluarga akan sangat menentukan kesehatan jiwa klien. Klien mungkin sudah
mampu mengatasi masalahnya, tetapi jika tidak didukung secara kuat, klien bisa
mengalami kegagalan, dan halusinasi bisa kambuh lagi. Alasan kedua, halusinasi
sebagai salah satu gejala psikosis bisa berlangsung lama (kronis), sekalipun klien
pulang ke rumah, mungkin masih mengalarni halusinasi. Dengan mendidik keluarga
tentang cara penanganan halusinasi, diharapkan keluarga dapat menjadi terapis begitu
klien kembali ke rumah. Latih pasien menggunakan obat secara teratur:
Jenis-jenis obat yang biasa digunakan pada pasien halusinasi adalah:
a. Clorpromazine ( CPZ, Largactile ), Warna : Orange
Indikasi:
Untuk mensupresi gejala – gejala psikosa : agitasi, ansietas, ketegangan,
kebingungan, insomnia, halusinasi, waham, dan gejala – gejala lain yang
biasanya terdapat pada penderita skizofrenia, manik depresi, gangguan
personalitas, psikosa involution, psikosa masa kecil.
Cara pemberian:
Untuk kasus psikosa dapat diberikan per oral atau suntikan intramuskuler.
Dosis permulaan adalah 25 – 100 mg dan diikuti peningkatan dosis hingga
mencapai 300 mg perhari. Dosis ini dipertahankan selama satu minggu.
Pemberian dapat dilakukan satu kali pada malam hari atau dapat diberikan
tiga kali sehari. Bila gejala psikosa belum hilang, dosis dapat dinaikkan
secara perlahan – lahan sampai 600 – 900 mg perhari.
Kontra indikasi:
Sebaiknya tidak diberikan kepada klien dengan keadaan koma, keracunan
alkohol, barbiturat, atau narkotika, dan penderita yang hipersensitif terhadap
derifat fenothiazine.
Efek samping:
Yang sering terjadi misalnya lesu dan mengantuk, hipotensi orthostatik,
mulut kering, hidung tersumbat, konstipasi, amenore pada wanita,
hiperpireksia atau hipopireksia, gejala ekstrapiramida. Intoksikasinya untuk
penderita non psikosa dengan dosis yang tinggi menyebabkan gejala
penurunan kesadaran karena depresi susunan syaraf pusat,
hipotensi,ekstrapiramidal, agitasi, konvulsi, dan perubahan gambaran irama
EKG. Pada penderita psikosa jarang sekali menimbulkan intoksikasi.
b. Haloperidol ( Haldol, Serenace ), Warna : Putih besar
Indikasi:
Yaitu manifestasi dari gangguan psikotik, sindroma gilies de la tourette pada
anak – anak dan dewasa maupun pada gangguan perilaku yang berat pada
anak – anak.
Cara pemberian:
Dosis oral untuk dewasa 1 – 6 mg sehari yang terbagi menjadi 6 – 15 mg
untuk keadaan berat. Dosis parenteral untuk dewasa 2 -5 mg intramuskuler
setiap 1 – 8 jam, tergantung kebutuhan. Kontra indikasi:
Depresi sistem syaraf pusat atau keadaan koma, penyakit parkinson,
hipersensitif terhadap haloperidol.
Efek samping:
Yang sering adalah mengantuk, kaku, tremor, lesu, letih, gelisah, gejala
ekstrapiramidal atau pseudoparkinson. Efek samping yang jarang adalah
nausea, diare, kostipasi, hipersalivasi, hipotensi, gejala gangguan otonomik.
Efek samping yang sangat jarang yaitu alergi, reaksi hematologis.
Intoksikasinya adalah bila klien memakai dalam dosis melebihi dosis
terapeutik dapat timbul kelemahan otot atau kekakuan, tremor, hipotensi,
sedasi, koma, depresi pernapasan.
c. Trihexiphenidyl ( THP, Artane, Tremin ), Warna: Putih kecil
Indikasi:
Untuk penatalaksanaan manifestasi psikosa khususnya gejala skizofrenia.
Cara pemberian:
Dosis dan cara pemberian untuk dosis awal sebaiknya rendah ( 12,5 mg )
diberikan tiap 2 minggu. Bila efek samping ringan, dosis ditingkatkan 25 mg
dan interval pemberian diperpanjang 3 – 6 mg setiap kali suntikan,
tergantung dari respon klien. Bila pemberian melebihi 50 mg sekali suntikan
sebaiknya peningkatan perlahan – lahan.
Kontra indikasi:
Pada depresi susunan syaraf pusat yang hebat, hipersensitif terhadap
fluphenazine atau ada riwayat sensitif terhadap phenotiazine. Intoksikasi
biasanya terjadi gejala – gejala sesuai dengan efek samping yang hebat.
Pengobatan over dosis ; hentikan obat berikan terapi simtomatis dan suportif,
atasi hipotensi dengan levarteronol hindari menggunakan ephineprine ISO,
(2008) dalam Pambayun (2015).
3. Berinteraksi dengan orang lain.
Klien dianjurkan meningkatkan keterampilan hubungan sosialnya. Dengan
meningkatkan intensitas interaksi sosialnya, kilen akan dapat memvalidasi
persepsinya pada orang lain. Klien juga mengalami peningkatan stimulus eksternal
jika berhubungan dengan orang lain. Dua hal ini akan mengurangi fokus perhatian
klien terhadap stimulus internal yang menjadi sumber halusinasinya. Latih pasien
mengontrol halusinasi dengan cara kedua yaitu bercakap-cakap dengan orang lain:
Beraktivitas secara teratur dengan menyusun kegiatan harian. Kebanyakan halusinasi
muncul akibat banyaknya waktu luang yang tidak dimanfaatkan dengan baik oleh
klien. Klien akhirnya asyik dengan halusinasinya. Untuk itu, klien perlu dilatih
menyusun rencana kegiatan dari pagi sejak bangun pagi sampai malam menjelang
tidur dengan kegiatan.
LAPORAN PENDAHULUAN

ISOLASI SOSIAL

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa

Dosen Pengampu : Rizki Muliani, S.Kp.,M.M

Oleh:

Jihan Rahmawati (4180180022)

3A

FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG
2021
1. Definisi
Isolasi sosial merupakan kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan
diterima sebagai ketentuan orang lain sebagai suatu keadaan yang negative atau
mengancam (Towsent alih bahasa,Daulima,1998).
Isolasi sosial adalah keadaan dimana individu mengalami penurunan atau bahkan
sama sekali tidak mampu berinteaksi dengan orang lain disekitarnya (Damaiyanti, 2012).
Klien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina
hubungan yang berarti dengan orang lain (Keliat, 2011). Isolasi sosial juga merupakan
kesepian yang dialami individu dan dirasakan saat didorong oleh keberadaan orang lain
sebagai pernyataan negatif atau mengancam (NANDA-I dalam Damaiyanti, 2012).
Isolasi sosial merupakan kondisi ketika individu atau kelompok mengalami, atau
merasakan kebutuhan, atau keinginan untuk lebih terlibat dalam aktivitas bersama orang
lain, tetapi tidak mampu mewujudkannya (Carpenito, 2009).

2. Rantang Respon Sosial


Reantang Respon

Respon Adatif Respon Maladatif


Solitut Kesepian Manipulasi
Otonomi Menarik diri Impulsif
Kebersamaan Ketergantungan Narkisme
Saling ketergantungan

Keterangan dari rentang respon sosial :


1) Solitut (Menyendiri) Solitut atau menyendiri merupakan respon yang dibutuhkan
seorang untuk merenung apa yang telah dilakukan di lingkungan sosialnya dan suatu
cara untuk menentukan langkahnya.
2) Otonomi Kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide, pikiran,
perasaan dalam hubungan sosial.
3) Kebersamaan (Mutualisme) Perilaku saling ketergantungan dalam membina
hubungan interpersonal.
4) Saling ketergantungan (Interdependent) Suatu kondisi dalam hubungan interpersonal
dimana hubungan tersebut mampu untuk saling memberi dan menerima.
5) Kesepian Kondisi dimana seseorang merasa sendiri, sepi, tidak danya perhatian
dengan orang lain atau lingkungannya.
6) Menarik diri Kondisi dimana seseorang tidak dapat mempertahankan hubungan
dengan orang lain atau lingkungannya.
7) Ketergantungan (Dependent) Suatu keadaan individu yang tidak menyendiri,
tergantung pada orang lain.
8) Manipulasi Individu berinteraksi dengan pada diri sendiri atau pada tujuan bukan
berorientasi pada orang lain. Tidak dapat dekat dengan orang lain.
9) Impulsive Keadaan dimana individu tidak mampu merencanakan sesuatu.
Mempunyai penilaian yang buruk dan tidak dapat diandalkan.
10) Narkisme Secara terus menerus berusaha mendapatkan penghargaan dan pujian.
Individu akan marah jika orang lain tidak mendukungnya. (Townsend M.C,199
3. Etiologi
Penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah yaitu perasaan negative terhadap
diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan yang ditandai
dengan adanya perasaan malu terhadap diri sendiri, rasa bersalah terhadap diri sendiri,
gangguan hubungan sosial, merendahkan martabat, percaya diri kurang dan juga dapat
mencederai diri, (Carpenito,L.J, 1998)
1) Faktor predisposisi Ada berbagai faktor yang menjadi pendukung terjadinya perilaku
menarik diri
a. Faktor perkembangan Tiap gangguan dalam pencapaian tugas perkembangan dari
masa bayi sampai dewasa tua akan menjadi pencetus seseoarang sehingga
mempunyai masalah respon sosial menarik diri. Sistem keluarga yang terganggu
juga dapat mempengaruhi terjadinya menarik diri. Organisasi anggota keluarga
bekerja sama dengan tenaga profesional untuk mengembangkan gambaran yang
lebih tepat tentang hubungan 5 antara kelainan jiwa dan stress keluarga.
Pendekatan kolaboratif sewajarnya dapat mengurangi masalah respon sosial
menarik diri.
b. Faktor Biologik Faktor genetik dapat menunjang terhadap respon sosial
maladaptive. Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa.
Kelainan struktur otak, seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan
volume otak serta perubahan limbik diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
c. Faktor Sosiokultural Isolasi sosial merupakan faktor dalam gangguan
berhubungan. Ini merupakan akibat dari norma yang tidak mendukung
pendekatan terhadap orang lain, atau tidak menghargai anggota masyarakat yang
tidak produktif, seperti lansia, orang cacat dan berpenyakit kronik. Isolasi dapat
terjadi karena mengadopsi norma, perilaku, dan system nilai yang berbeda dari
yang dimiliki budaya mayoritas. Harapan yang tidak realistis terhadap hubungan
merupakan faktor lain yang berkaitan dengan gangguan ini (Stuart and Sundeen,
1998).
2) Faktor persipitasi Ada beberapa faktor persipitasi yang dapat menyebabkan
seseorang menarik diri. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari berbagai stressor
antara lain : 6
a. Stressor Sosiokultural Stressor sosial budaya dapat menyebabkan terjadinya
gangguan dalam membina hubungan dengan orang lain, misalnya menurunnya
stabilitas unit keluarga, berpisah dari orang yang berarti dalam kehidupannya,
misalnya karena dirawat di rumah sakit.
b. Stressor psikologik Ansietas berat yang berkepanjangan terjadi bersamaan
keterbatasan kemampuan untuk mengatasinya. Tuntutan untuk berpisah dengan
orang terdekat atau kegagalan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya hal ini
dapat menimbulkan ansietas tinggi bahkan dapat menimbulkan seseorang
mengalami gangguan hubungan (menarik diri) (Stuart & Sundeen, 1998)
c. Stressor intelektual
- Kurangnya pemahaman diri dalam ketidak mampuan untuk berbagai pikiran
dan perasaan yang mengganggu pengembangan hubungan dengan orang lain.
- Klien dengan “kegagalan” adalah orang yang kesepian dan kesulitan dalam
menghadapi hidup. Mereka juga akan sulit berkomunikasi dengan orang lain.
- Ketidakmampuan seseorang membangun kepercayaan dengan orang lain akan
persepsi yang menyimpang dan akan berakibat pada gangguan berhubungan
dengan orang lain
d. Stressor fisik
- Kehidupan bayi atau keguguran dapat menyebabkan seseorang menarik diri
dari orang lain.
- Penyakit kronik dapat menyebabkan seseorang minder atau malu sehingga
mengakibatkan menarik diri dari orang lain (Rawlins, Heacock,1993)
4. Tanda dan Gejala

Menurut Towsend M.C (1998:192-193) dan Carpenito,L.J. (1998:381) Isolasi


sosial : menarik diri sering ditemukan adanya tanda dan gejala sebagai berikut : kurang
spontan, apatis, ekspresi wajah tidak berseri, tidak memperhatikan kebersihan diri,
komunikasi verbal kurang, menyendiri, tidak peduli lingkungan, asupan makanan
terganggu, retensi urine dan feses, aktivitas menurun, posisi baring seperti fetus, menolak
berhubungan dengan orang lain.

Menurut Yosep (2009)tanda dan gejala klien isolasi sosial bisa dilihat dari dua
cara yaitu secara objektif dan subjektif. Berikut ini tanda dan gejala klien dengan isolasi
sosial:

1) Gejala subjektif
a. Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.
b. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
c. Respons verbal kurang dan sangat singkat.
d. Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
e. Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
f. Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
g. Klien merasa tidak berguna.
2) Gejala objektif
a. Klien banyak diam dan tidak mau bicara.
b. Tidak mengikuti kegiatan.
c. Klien berdiam diri di kamar.
d. Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat.
e. Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.
f. Kontak mata kurang.
g. Kurang spontan.
h. Apatis
i. Ekspresi wajah kurang berseri.
j. Mengisolasi diri
k. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar.
l. Aktivitas menurun.
Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya
rendah, segera timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain. Bila
tidak dilakukan intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan perubahan
persepsi sensori: halusinasi dan resiko mencederai diri, orang lain, bahkan
lingkungan (Herman Ade, 2011).
5. Mekanisme koping
Digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu
kesepian nyata yang mengancam dirinya. Kecemasan koping yang sering digunakan
adalah regresi, represi dan isolasi. Sedangkan contoh sumber koping yang dapat
digunakan misalnya keterlibatan dalam hubungan yang luas dalam keluarga dan teman,
hubungan dengan hewan peliharaan, menggunakan kreativitas untuk mengekspresikan
stress 8 interpersonal seperti kesenian, musik, atau tulisan (Stuart and Sundeen,
1998:349)
6. Komplikasi
Kliendengan isolasi sosial semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku masa
lalu primitif antara lain pembicaraan yang austistik dan tingkah laku yang tidak sesuai
dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi resiko gangguan sensosi persepsi:
halusinasi, mencederai diri sendri, orang lain serta lingkungan dan penurunan aktifitas
sehingga dapat menyebabkan defisit perawatan diri (Damaiyanti, 2012).

7. Penatalaksanaan
8 Penatalaksanaan Penatalaksaan yang dapat diberikan kepada klien dengan isolasi sosial
antara lain pendekatan farmakologi, psikososial, terapi aktivitas, terapi okupasi,
rehabilitasi, dan program intervensi keluarga (Yusuf, 2019).
1) Terapi Farmakologi
a. Chlorpromazine (CPZ) Indikasi: Untuk Syndrome Psikosis yaitu berdaya berat
dalam kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai norma
sosial dan titik diri terganggu. Berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental: waham,
halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali,
berdaya berat dalam fungsi kehidupan seharihari, tidak mampu bekerja,
hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin. Efek samping: sedasi, gangguan
otonomik (hipotensi, antikolinergik/ parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam
miksi dan defikasi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi,
gangguan irama jantung), gangguan endokrin, metabolik, biasanya untuk
pemakaian jangka panjang.
b. Haloperidol (HLP) Indikasi: Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita
dalam fungsi netral serta dalam kehidupan sehari-hari. Efek samping: Sedasi dan
inhibisi prikomotor, gangguan otonomik.
c. Trihexy Phenidyl (THP) Indikasi: Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk
paksa ersepalitis dan idiopatik, sindrom Parkinson, akibat obat misalnya reserpine
dan fenotiazine. Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor gangguan
otonomik.
2) Terapi Psikososial
Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan bagian penting dalam
proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan rasa aman dan
tenang, menciptakan lingkungan yang terapeutik, bersifat empati, menerima pasien
apa adanya, memotivasi pasien untuk dapat mengungkapkan perasaannya secara
verbal, bersikap ramah, sopan, dan jujur kepada pasien (Videbeck, 2012).
3) Terapi Individu
Terapi individual adalah metode yang menimbulkan perubahan pada individu
dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan perilaku-perilakunya. Terapi
ini meliputi hubungan satu-satu antara ahli terapi dan klien(Videbeck, 2012). Terapi
individu juga merupakan salah satu bentuk terapi yang dilakukan secara individu
oleh perawat kepada kliensecara tatap muka perawat-klien dengan cara yang
terstruktur dan durasi waktu tertentu sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai
(Zakiyah, 2018). Salah satu bentuk terapi individu yang bisa diberikan oleh perawat
kepada klien dengan isolasi sosial adalah pemberian strategi pelasanaan (SP). Dalam
pemberian strategi pelaksanaan klien dengan isolasi sosial hal yang paling penting
perawat lakukan adalah berkomunikasi dengan teknik terapeutik. Komunikasi
terapeutik adalah suatu interaksi interpersonal antara perawat dank klien, yang
selama interaksi berlangsung, perawat berfokus 14 pada kebutuhan khusus klien
untuk meningkatkan pertukaran informasi yang efektif antara perawat dan Klien
(Videbeck, 2012). Semakin baik komunikasi perawat, maka semakin bekualitas pula
asuhan keperawatan yang diberikan kepadaklien karena komunikasi yang baik dapat
membina hubungan saling percaya antara perawat dengan klien, perawat yang
memiliki keterampilan dalam berkomunikasi secara terapeutik tidak saja mudah
menjalin hubungan saling percaya dengan klien, tapi juga dapat menumbuhkan sikap
empati dan caring, mencegah terjadi masalah lainnya, memberikan kepuasan
profesional dalam pelayanan keperawatan serta memudahan dalam mencapai tujuan
intevensi keperawatan (Sarfika, 2018)
4) Terapi Aktivitas Kelompok Menurut Keliat (2015)
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi merupakan suatu rangkaian kegiatan
kelompok dimana klien dengan masalah isolasi sosial akan dibantu untuk melakukan
sosialisasi dengan individu yang ada di sekitarnya. Sosialissai dapat pula dilakukan
secara bertahap dari interpersonal, kelompok, dan massa). Aktivitas yang dilakukan
berupa latihan sosialisasi dalam kelompok, dan akan dilakukan dalam 7 sesi dengan
tujuan:
a. Sesi 1 : Klien mampu memperkenalkan diri
b. Sesi 2 : Klien mampu berkenalan dengan anggota kelompok
c. Sesi 3 :Klien mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok
d. Sesi 4 : Klien mampu menyampaikan dan membicarakan topik percakapan
e. Sesi 5 : Klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi
pada orang lain
f. Sesi 6 : Klien mampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok
g. Sesi 7 : Klien mampu menyampaikan pendapat tentang mamfaat kegiatan
TAKS yang telah dilakukan.
5) Terapi Okupasi
Terapi okupasi yaitu Suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi
seseorang dalam melaksanakan aktifitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan
maksud untuk memperbaiki, memperkuat, meningkatkan harga diri seseorang, dan
penyesuaian diri dengan lingkungan. Contoh terapi okupasi yang dapat dilakukan di
rumah sakit adalah terapi berkebun, kelas bernyanyi, dan terapi membuat kerajinan
tangan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan klien dalam keterampilan
dan bersosialisasi (Elisia, 2014).
6) Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata juga banyak manfaat.
Misalnya angkat rawat inap pada klien skizofrenia yang mengikuti kegiatan
keagamaaan lebih rendah bila dibandingan dengan mereka yang tidak mengikutinya
(Dadang, 1999 dalam Yosep 2009). Menurut Zakiah Darajat, perasaan berdosa
merupakan faktor penyebab gangguan jiwa yang berkaitan dengan penyakit-penyakit
psikosomatik. Hal ini diakibatkan karena seseorang merasa melakukan dosa tidak
bisa terlepas dari perasaan tersebut (Yosep, 2009).
Penerapan psikoreligius terapi di rumah sakit jiwa menurut Yosep (2009)
meliputi:
a. Perawat jiwa harus dibekali pengetahuan yang cukup tentang agamanya/
kolaborasi dengan agamawan atau rohaniawan.
b. Psikoreligius tidak diarahkan untuk mengubah agama Kliennya tetapi
menggali sumber koping.
c. Memadukan milieu therapy yang religius; kaligrafi, ayat-ayat, fasilitas
ibadah, bukubuku, music/lagu keagamaan.
d. Dalam terapi aktifitas diajarkan kembali cara-cara ibadah terutama untuk
pasien rehabilitasi.
e. Terapi kelompok dengan tema membahas akhlak, etika, hakikat hidup
didunia, dan sebagainya. Untuk klien dengan isolasi sosial terapi psikoreligius
dapat bermanfaat dari aspek autosugesti yang dimana dalam setiap kegiatan
religius seperti sholat, dzkir, dan berdoa berisi ucapan-ucapan baik yang
dapat memberi sugesti positif kepada diri klien sehingga muncul rasa tenang
dan yakin terhadap diri sendiri (Thoules, 1992 dalam Yosep, 2010). Menurut
Djamaludin Ancok (1989) dan Ustman Najati (1985) dalam Yosep (2009)
aspek kebersamaan dalam shalat berjamaah juga mempunyai nilai terapeutik,
dapat menghindarkan seseorang dari rasa terisolir, terpencil dan tidak
diterima.
7) Rehabilitasi Program
Rehabilitasi biasanya diberikan di bagian lain rumah sakit yang dikhususkan
untuk rehabilitasi. Terdapat banyak kegiatan, antaranya terapi okupasional yang
meliputi kegiatan membuat kerajinan tangan, melukis, menyanyi, dan lain-lain. Pada
umumnya program rehabilitasi ini berlangsung 3-6 bulan (Yusuf, 2019).
8) Program Intervensi Keluarga
Intervensi keluarga memiliki banyak variasi, namun pada umumnya intervensi
yang dilakukan difokuskan pada aspek praktis dari kehidupan sehari-hari,
memberikan pendidikan kesehatan pada keluarga tentang isolasi sosial, mengajarkan
bagaimana cara berhubungan yang baik kepada anggota keluarga yang memiliki
masalah kejiwaan (Yusuf, 2019).
8. Masalah Keperawatan
1) Isolasi sosial : menarik diri
2) Perubahan sensori persepsi : halusinasi
3) Kekerasan, resiko tinggi
4) Gangguan konsep diri : harga diri rendah
5) Motivasi perawatan diri kurang
6) Defisit perawatan diri
7) Koping keluarga inefektif : ketidak mampuan keluarga untuk merawat klien di rumah
(Keliat,B.A,2005:201).

POHON MASALAH
9. Diagnose keperawatan
Menurut Sutejo (2017) diagnosis keperawatan dirumuskan berdasarkan tanda dan gejala
isolasi sosial yang ditemukan. Jika hasil pengkajian menunjukkan tanda dan gejala isolasi
sosial, maka diagnosis keperawatan yang ditegakkan adalah:
1) Isolasi sosial
2) Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
3) Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi

Keliat, B. A. (2005) merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan gangguan


isolasi sosial :

menarik diri, sebagai berikut :

1) Isolasi sosial  
2) Gangguan konsep diri : harga diri rendah
3) Perubahan persepsi sensori : halusinasi d. Koping individu tidak efektif 
4) Defisit perawatan diri
5) Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan

10. Perencanaan Keperawatan

Menurut (Workshop Standar Asuhan & Bimbingan Keperawatan Jiwa RSJ   Prof. Dr.
Soeroyo Magelang, 2007 )

strategi pelaksanaan tindakan keperawatan menggunakan SP, yaitu :

1) Diagnosa
1. Isolasi Sosial Tujuan: Dapat berinteraksi dengan orang lain secara bertahap I. Pasien
SP 1 (pasien) :
- Membina hubungan saling percaya
- Mengidentifikasi penyebab isolasi sosia pasien.
- Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain.
- Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang
lain.
- Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang.
- Menganjurkan pasien memasukan kegiatan latihan berbincang-bincang
dengan orang lain dalam kegiatan harian.
2. SP 2 (pasien) :
- Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
- Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekan cara berkenalan
dengan dua orang.
- Membantu pasien memasukan kegiatan berbincang-bincang dengan orang
lain sebagai salah satu kegiatan harian.
3. SP 3 (pasien) :
- Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
- Memberikan kesempatan kepada pasien berkenalan dengan dua orang atau
lebih.
- Menganjurkan pasien memasukan dalam jadwal kegiatan harian.
2) Keluarga
1. SP 1 (keluarga) :
- Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien.
- Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang dialami pasien
beserta proses terjadinya.
- Menjelaskan cara-cara merawat pasien isolasi sosial
2. SP2 (keluarga) :
Melatih keluarga mempraktekan cara merawat pasien dengan isolasi sosial.
- Melatih keluarga cara merawat langsung kepada pasien isolasi sosial
3. SP 3 (keluarga) :
- Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum
obat (discharge planning).
- Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
-
2. Diagnosa 2.
Perubahan konsep diri : harga diri rendah
Tujuan: Pasien mempunyai konsep diri yang positif  I Pasien
1) SP 1 (Pasien)
- Mengidenfikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien.
- Membantu pasien menilai kemampuan pasien yang masih dapat digunakan.
- Membantu pasien memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan
kemampuan pasien.
- Melatih pasien kegiatan yang dipilih sesuai kemampuan.
- Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
2) SP 2 (Pasien)
- Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
- Melatih kegiatan kedua (atau selanjutnya) yang dipilih sesuai kemampuan
- Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

II. Keluarga

1) SP 1 (Keluarga)
- Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
- Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah yang dialami
pasien beserta proses terjadinya
- Menjelaskan cara-cara merawat pasien harga diri rendah
2) SP 2 (Keluarga)
- Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan harga diri
rendah
- Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien harga diri
rendah
3) SP 3 (Keluarga)
- Mebantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum obat
( Discharge planning )
- Menjelaskan follow up pasien setelah pulang asalah secara baik

11. Implementasi

Pelaksanaan tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan


keperawatan. Sebelum melaksanakan tindakan keperawatan yang telah direncanakan,
perawat perlu memvalidasi apakah rencana tindakan keperawatan masih dibutuhkan dan
sesuai dengan kondisi klien saat ini (Damaiyanti, 2012).

Selain itu, salah satu hal yang penting dalam pelaksanaan rencana tindakan
keperawatan adalah teknik komunikasi terapeutik. Teknik ini dapat digunakan dengan
verbal; kata pembuka, informasi, fokus. Selain teknik verbal, perawat juga harus
menggunakan teknik non verbal seperti; kontak mata, mendekati kearah klien, tersenyum,
berjabatan tangan, dan sebagainya. Kehadiran psikologis perawat dalam komunikasi
terapeutik terdiri dari keikhlasan, menghargai, empati dan konkrit (Yusuf, 2019).

12. Evaluasi
Menurut Trimelia (2011) evaluasi dilakukan dengan berfokus pada perubahan perilaku
Klien setelah diberikan tindakan keperawatan. Keluarga juga perlu dievaluasi karena
merupakan sistem pendukung yang penting. Ada beberapa hal yang perlu dievaluasi pada
Klien dengan isolasi sosial yaitu:
1. Apakah klien dapat menyebutkan penyebab isolasi sosial
2. Apakah klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan
kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
3. Apakah klien dapat melakukan hubungan sosial secara bertahap: klien-perawat,
Klien-perawat-perawat lain, klien-perawat-klien lain, klien-kelompok, dan
klienkeluarga.
4. Apakahklien dapat mengungkapkan perasaan setelah berhubungan dengan orang lain.
5. Apakah klien dapat memberdayakan sistem pendukungnya atau keluarga nya untuk
memfasilitasi hubungan sosialnya.
6. Apakah klien dapat mematuhi minum obat
LAPORAN PENDAHULUAN

HARGA DIRI RENDAH (HDR)

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa

Dosen Pengampu : Rizki Muliani, S.Kp.,M.M

Oleh:
Jihan Rahmawati (4180180022)

3A

FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG
2021

A. Definisi
Keliat B.A mendefinisikan harga diri rendah adalah penilaian tentang pencapaian
diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Perasaan tidak
berharga, tidak berarti dan rendah diri yang berkepanjangan akibat evaluasi negatif
terhadap diri sendiri dan kemampuan diri (Fajariyah, 2012)
Harga diri rendah adalah semua pemikiran, kepercayaan dan keyakinan yang
merupakan pengetahuan individu tentang dirinya dan mempengaruhi hubungannya
dengan orang lain. Harga diri terbentuk waktu lahir tetapi dipelajari sebagai hasil
pengalaman unik seseorang dalam dirinya sendiri, dengan orang terdekat dan dengan
realitas dunia (Stuart,2006) Gangguan harga diri rendah adalah evaluasi diri dan perasaan
tentang diri atau kemampuan diri yang negatif yang dapat secara langsung atau tidak
langsung diekspresikan ( Townsend, 2001 ).
Dapat disimpulkan harga diri rendah adalah kurangnya rasa percaya diri sendiri
yang dapat mengakibatkan pada perasaan negatif pada diri sendiri, kemampuan diri dan
orang lain. Yang mengakibatkan kurangnya komunikasi pada orang lain.
B. Rentang Respon
Respon Adaptif Respon Maladaptif
Aktualisasi Diri Konsep Diri Harga Diri Rendah Keracunan Identitas Depersonalisasi
Positif

Rentang Respon Konsep Diri Rendah Sumber : (Fajariyah, 2012)

1. Akualisasi diri adalah pernyataan diri positif tentang latar belakang pengalaman nyata
yang sukses diterima.
2. Konsep diri positif adalah mempunyai pengalaman yang positif dalam beraktualisasi
diri.
3. Harga diri rendah adalah transisi antara respon diri adaptif dengan konsep diri
maladaptif.
4. Keracunan identitas adalah kegagalan individu dalam kemalangan aspek psikososial
dan kepribadian dewasa yang harmonis
5. Depersonalisasi adalah perasaan yang tidak realitis terhadap diri sendiri yang
berhubungan dengan kecemasan, kepanikan serta tidak dapat membedakan dirinya
dengan orang lain. (Fajariyah, 2012)

C. Etiologi
Penyebab terjadi harga diri rendah adalah :
1. Pada masa kecil sering disalahkan, jarang diberi pujian atas keberhasilannya.
2. Saat individu mencapai masa remaja keberadaannya kurang dihargai, tidak diberi
kesempatan dan tidak diterima.
3. Menjelang dewasa awal sering gagal disekolah, pekerjaan, atau pergaulan
4. Harga diri rendah muncul saat lingkungan cenderung mengucilkan dan menuntut
lebih dari kemampuannya.

D. Tanda Gejala
Tanda gejala harga diri rendah menurut (Carpenito 2003) antara lain yaitu
perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan akibat tindakan terhadap
penyakit, rasa bersalah terhadap diri sendiri, merendahkan martabat, gangguan hubungan
sosial, seperti menarik diri, tidak ingin bertemu dengan orang lain, lebih suka sendiri,
percaya diri kurang, sukar mengambil keputusan, mencederai diri. Akibat harga diri yang
rendah disertai harapan yang suram, ingin mengakhiri kehidupan. Tidak ada kontak mata,
sering menunduk, tidak atau jarang melakuakan kegiatan seharihari, kurang
memperhatikan perawatan diri, berpakaian tidak rapi, berkurang selera makan, bicara
lambat dengan nada lemah.
E. Akibat Terjadinya Harga Diri Rendah
Menurut Karika (2015) harga diri rendah dapat berisiko terjadinya isolasi sosial : menarik
diri, isolasi soasial menarik diri adalah gangguan kepribadian yang tidak fleksibel pada
tingkah laku yang maladaptif mengganggu fungsi seseorang dalam hubungan sosial. Dan
sering dirtunjukan dengan perilaku antara lain :
Data subyektif
1. Mengungkapkan enggan untuk memulai hubungan atau pembicaraan.
2. Mengungkapkan perasaan malu untuk berhubungan dengan orang lain.
3. Mengungkapkan kekhawatiran terhadap penolakan oleh orang lain.
Data obyektif
1. Kurang spontan ketika diajak bicara.
2. Apatis.
3. Ekspresi wajah kosong.
4. Menurun atau tidak adanya komunikasi verbal.
5. Bicara dengan suara pelan dan tidak ada kontak mata saat bicara

F. Proses Terjadinya Harga Diri Rendah


Harga diri rendah kronis terjadi merupakan proses kelanjutan dari harga diri
rendah situasional yang tidak diselesaikan. Atau dapat juga terjadi karena individu tidak
pernah mendapat feed back dari lingkungan tentang perilaku klien sebelumnya bahkan
mungkin kecenderungan lingkungan yang selalu memberi respon negatif mendorong
individu menjadi harga diri rendah. Harga diri rendah kronis terjadi disebabkan banyak
faktor. Awalnya individu berada pada suatu situasi yang penuh dengan stressor (krisis),
individu berusaha menyelesaikan krisis tetapi tidak tuntas sehingga timbul pikiran bahwa
diri tidak mampu atau merasa gagal menjalankan fungsi dan peran. Penilaian individu
terhadap diri sendiri karena kegagalan menjalankan fungsi dan peran adalah kondisi
harga diri rendah situasional, jika lingkungan tidak memberi dukungan positif atau justru
menyalahkan individu dan terjadi secara terus menerus akan mengakibatkan individu
mengalami harga diri rendah kronis (Direja, 2011).

G. Pohon Masalah

Pohon masalah yang muncul menurut Fajariyah (2012) :


Resiko Tinggi Perilaku Kekerasan

Perubahan Persepsi Sensori : Halusinasi


Isolasi Sosial : Menarik Diri

Koping Individu Tidak Efektif

H. Diagnosa Keperawatan
1. Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
2. Isolasi sosial : Menarik diri
3. Perubahan persepsi sensori : Halusinasi

LAPORAN PENDAHULUAN

WAHAM

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa

Dosen Pengampu : Rizki Muliani, S.Kp.,M.M

Oleh:
Jihan Rahmawati (4180180022)

3A

FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG
2021

A. Definisi
Waham adalah suatu keyakinan yang dipertahankan secara kuat terus-menerus,
tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. (Budi Anna Keliat, 2006).
Waham adalah keyakinan seseorang yang berdasarkan penilaian realitas yang
salah. Keyakinan klien tidak konsisten dengan tingkat intelektual dan latar belakang
budaya klien (Aziz R, 2003).

B. Etiologi
1. Faktor Predisposisi
a. Genetis : diturunkan, adanya abnormalitas perkembangan sistem saraf yang
berhubungan dengan respon biologis yang maladaptif.
b. Neurobiologis : adanya gangguan pada korteks pre frontal dan korteks limbic
c. Neurotransmitter : abnormalitas pada dopamine, serotonin dan glutamat.
d. Psikologis : ibu pencemas, terlalu melindungi, ayah tidak peduli.
2. Faktor Presipitasi
a. Proses pengolahan informasi yang berlebihan
b. Mekanisme penghantaran listrik yang abnormal.
c. Adanya gejala pemicu
C. Tanda dan Gejala
1. Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakinninya (tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
dengan kenyataan.
2. Klien tampak tidak mempunyai orang lain
3. Curiga
4. Bermusuhan
5. Merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan
6. Takut dan sangat waspada
7. Tidak tepat menilai lingkungan/realitas
8. Ekspresi wajah tegang
9. Mudah tersingung

D. Masalah Keperawatan Yang Sering Muncul


1. Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan
2. Kerusakan komunikasi : verbal
3. Perubahan isi pikir : waham

E. Akibat Yang Sering Muncul


1. Gangguan fungsi kognitif (perubahan daya ingat)
Cara berpikir magis dan primitif, perhatian, isi pikir, bentuk dan pengorganisasian
bicara (tangensial, neologisme, sirkumtansial)
2. Fungsi persepsi
Depersonalisasi dan halusinasi
3. Fungsi emosi
Afek datar, afek tidak sesuai, reaksi berlebihan, ambivalen
4. Fungsi motorik
Imfulsif gerakan tiba-tiba dan spontan, manerisme, stereotopik gerakan yang
diulang-ulang, tidak bertujuan, tidak dipengaruhi stimulus yang jelas, katatonia.
5. Fungsi sosial : kesepian
6. Isolasi sosial, menarik diri dan harga diri rendah.

F. Mekanisme Koping
Perilaku yang mewakili upaya untuk melindungi klien dari pengalaman yang
menakutkan dengan respon neurobiologist yang maladaptive meliputi: regresi
berhubungan dengan masalah proses informasi dengan upaya untuk mengatasi ansietas,
proyeksi sebagai upaya untuk menjelaskan kerancuan persepsi, menarik diri, pada
keluarga: mengingkari.

G. Fase-fase
Proses terjadinya waham dibagi menjadi enam yaitu :
1. Fase Lack of Human need
Waham diawali dengan terbatasnya kebutuhn-kebutuhan klien baik secara fisik
maupun psikis. Secar fisik klien dengan waham dapat terjadi pada orang-orang
dengan status sosial dan ekonomi sangat terbatas. Biasanya klien sangat miskin dan
menderita. Keinginan ia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya mendorongnya untuk
melakukan kompensasi yang salah. Ada juga klien yang secara sosial dan ekonomi
terpenuhi tetapi kesenjangan antara Reality dengan selft ideal sangat tinggi. Misalnya
ia seorang sarjana tetapi menginginkan dipandang sebagai seorang dianggap sangat
cerdas, sangat berpengalaman dn diperhitungkan dalam kelompoknya. Waham terjadi
karena sangat pentingnya pengakuan bahwa ia eksis di dunia ini. Dapat dipengaruhi
juga oleh rendahnya penghargaan saat tumbuh kembang ( life span history ).
2. Fase lack of self esteem
Tidak ada tanda pengakuan dari lingkungan dan tingginya kesenjangan antara self
ideal dengan self reality (kenyataan dengan harapan) serta dorongan kebutuhan yang
tidak terpenuhi sedangkan standar lingkungan sudah melampaui kemampuannya.
Misalnya, saat lingkungan sudah banyak yang kaya, menggunakan teknologi
komunikasi yang canggih, berpendidikan tinggi serta memiliki kekuasaan yang luas,
seseorang tetap memasang self ideal  yang melebihi lingkungan tersebut. Padahal self
reality-nya sangat jauh. Dari aspek pendidikan klien, materi, pengalaman, pengaruh,
support system semuanya sangat rendah.
3. Fase control internal external
Klien mencoba berfikir rasional bahwa apa yang ia yakini atau apa-apa yang ia
katakan adalah kebohongan, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Tetapi menghadapi kenyataan bagi klien adalah sesuatu yang sangat berat,
karena kebutuhannya untuk diakui, kebutuhan untuk dianggap penting dan diterima
lingkungan menjadi prioritas dalam hidupnya, karena kebutuhan tersebut belum
terpenuhi sejak kecil secara optimal. Lingkungan sekitar klien mencoba memberikan
koreksi bahwa sesuatu yang dikatakan klien itu tidak benar, tetapi hal ini tidak
dilakukan secara adekuat karena besarnya toleransi dan keinginan menjaga perasaan.
Lingkungan hanya menjadi pendengar pasif tetapi tidak mau konfrontatif
berkepanjangan dengan alasan pengakuan klien tidak merugikan orang lain.
4. Fase environment support
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungannya
menyebabkan klien merasa didukung, lama kelamaan klien menganggap sesuatu yang
dikatakan tersebut sebagai suatu kebenaran karena seringnya diulang-ulang. Dari
sinilah mulai terjadinya kerusakan kontrol diri dan tidak berfungsinya norma ( Super
Ego ) yang ditandai dengan tidak ada lagi perasaan dosa saat berbohong.
5. Fase comforting
Klien merasa nyaman dengan keyakinan dan kebohongannya serta menganggap
bahwa semua orang sama yaitu akan mempercayai dan mendukungnya. Keyakinan
sering disertai halusinasi pada saat klien menyendiri dari lingkungannya. Selanjutnya
klien lebih sering menyendiri dan menghindar interaksi sosial ( Isolasi sosial ).
6. Fase improving
Apabila tidak adanya konfrontasi dan upaya-upaya koreksi, setiap waktu
keyakinan yang salah pada klien akan meningkat. Tema waham yang muncul sering
berkaitan dengan traumatik masa lalu atau kebutuhan-kebutuhan yang tidak terpenuhi
( rantai yang hilang ). Waham bersifat menetap dan sulit untuk dikoreksi. Isi waham
dapat menimbulkan ancaman diri dan orang lain. Penting sekali untuk mengguncang
keyakinan klien dengan cara konfrontatif serta memperkaya keyakinan relegiusnya
bahwa apa-apa yang dilakukan menimbulkan dosa besar serta ada konsekuensi sosial.
H. Jenis Waham
Tanda dan gejala waham berdasarkan jenisnya meliputi :
a) Waham kebesaran: individu meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan
khusus yang diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Misalnya, “Saya
ini pejabat di separtemen kesehatan lho!” atau, “Saya punya tambang emas.”
b) Waham curiga: individu meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok yang berusaha
merugikan/mencederai dirinya dan siucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai
kenyataan. Contoh, “Saya tidak tahu seluruh saudara saya ingin menghancurkan
hidup saya karena mereka iri dengan kesuksesan saya.”
c) Waham agama: individu memiliki keyakinan terhadap terhadap suatu agama secara
berlebihan dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh, “Kalau
saya mau masuk surga, saya harus menggunakan pakaian putih setiap hari.”
d) Waham somatic: individu meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu
atau terserang penyakit dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai dengan
kenyataan. Misalnya, “Saya sakit kanker.” (Kenyataannya pada pemeriksaan
laboratorium tidak ditemukan tanda-tanda kanker, tetapi pasien terus mengatakan
bahwa ia sakit kanker).
e) Waham nihilistik: Individu meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di
dunia/meninggal dan diucapkan berulang kali, tetapi tidak sesuai kenyataan.
Misalnya, ”Ini kan alam kubur ya, sewmua yang ada disini adalah roh-roh”.
f) Waham sisip pikir : keyakinan klien bahwa ada pikiran orang lain yang disisipkan ke
dalam pikirannya.
g) Waham siar pikir : keyakinan klien bahwa orang lain mengetahui apa yang dia
pikirkan walaupun ia tidak pernah menyatakan pikirannya kepada orang tersebut
h) Waham kontrol pikir : keyakinan klien bahwa pikirannya dikontrol oleh kekuatan di
luar dirinya.

I. Rentang Respon
Rentang respon gangguan adaptif dan maladaptif dapat dijelaskan sebagai  berikut
:
J. POHON MASALAH
Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan

Perubahan Proses Pikir: Waham

Harga Diri Rendah

K. MASALAH KEPERAWATAN DAN DATA YANG PERLU DIKAJI


Masalah Keperawatan : Perubahan Isi Pikir : Waham
1) Data subjektif :
Klien mengungkapkan sesuatu yang diyakininya ( tentang agama, kebesaran,
kecurigaan, keadaan dirinya) berulang kali secara berlebihan tetapi tidak sesuai
kenyataan.
2) Data objektif :
Klien tampak tidak mempunyai orang lain, curiga, bermusuhan, merusak (diri,
orang lain, lingkungan), takut, kadang panik, sangat waspada, tidak tepat menilai
lingkungan / realitas, ekspresi wajah klien tegang, mudah tersinggung.

L. DIAGNOSA KEPERAWATAN
 Perubahan Proses Pikir: Waham
M. RENCANA TINDAKAN KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan: Perubahan Proses Pikir: Waham
1. Tujuan umum :
Klien tidak terjadi perubahan proses pikir: waham
2. Tujuan khusus :
1) Klien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat
Tindakan :
a. Bina hubungan. saling percaya: salam terapeutik, perkenalkan diri, jelaskan
tujuan interaksi, ciptakan lingkungan yang tenang, buat kontrak yang jelas
topik, waktu, tempat).
b. Jangan membantah dan mendukung waham klien: katakan perawat
menerima keyakinan klien “saya menerima keyakinan anda” disertai ekspresi
menerima, katakan perawat tidak mendukung disertai ekspresi ragu dan
empati, tidak membicarakan isi waham klien.
c. Yakinkan klien berada dalam keadaan aman dan terlindungi: katakan
perawat akan menemani klien dan klien berada di tempat yang aman,
gunakan keterbukaan dan kejujuran jangan tinggalkan klien sendirian.
d. Observasi apakah wahamnya mengganggu aktivitas harian dan perawatan
diri.
2) Klien dapat mengidentifikasi kemampuan yang dimiliki
Tindakan :
a. Beri pujian pada penampilan dan kemampuan klien yang realistis.
b. Diskusikan bersama klien kemampuan yang dimiliki pada waktu lalu dan
saat ini yang realistis.
c. Tanyakan apa yang biasa dilakukan kemudian anjurkan untuk melakukannya
saat ini (kaitkan dengan aktivitas sehari hari dan perawatan diri).
d. Jika klien selalu bicara tentang wahamnya, dengarkan sampai kebutuhan
waham tidak ada. Perlihatkan kepada klien bahwa klien sangat penting.
3) Klien dapat mengidentifikasikan kebutuhan yang tidak terpenuhi
Tindakan :
a. Observasi kebutuhan klien sehari-hari.
b. Diskusikan kebutuhan klien yang tidak terpenuhi baik selama di rumah
maupun di rumah sakit (rasa sakit, cemas, marah)
c. Hubungkan kebutuhan yang tidak terpenuhi dan timbulnya waham.
d. Tingkatkan aktivitas yang dapat memenuhi kebutuhan klien dan memerlukan
waktu dan tenaga (buat jadwal jika mungkin).
e. Atur situasi agar klien tidak mempunyai waktu untuk menggunakan
wahamnya.
4) Klien dapat berhubungan dengan realitas
Tindakan :
a. Berbicara dengan klien dalam konteks realitas (diri, orang lain, tempat dan
waktu).
b. Sertakan klien dalam terapi aktivitas kelompok : orientasi realitas.
c. Berikan pujian pada tiap kegiatan positif yang dilakukan klien
5) Klien dapat menggunakan obat dengan benar
Tindakan :
a. Diskusikan dengan kiten tentang nama obat, dosis, frekuensi, efek dan efek
samping minum obat
b. Bantu klien menggunakan obat dengan priinsip 5 benar (nama pasien, obat,
dosis, cara dan waktu).
c. Anjurkan klien membicarakan efek dan efek samping obat yang dirasakan
d. Beri reinforcement bila klien minum obat yang benar.
6) Klien dapat dukungan dari keluarga
Tindakan :
a. Diskusikan dengan keluarga melalui pertemuan keluarga tentang: gejala
waham, cara merawat klien, lingkungan keluarga dan follow up obat.
b. Beri reinforcement atas keterlibatan keluarga
LAPORAN PENDAHULUAN

PERILAKU KEKERASAN

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa

Dosen Pengampu : Rizki Muliani, S.Kp.,M.M

Oleh:
Jihan Rahmawati (4180180022)

3A

FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG
2021

1) Definisi
Perilaku kekerasan atau agresif merupakan bentuk perilaku yang bertujuan untuk
melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Marah tidak memiliki tujuan khusus,
tapi lebih merujuk pada suatu perangkat perasaan – perasaan tertentu yang biasanya
disebut dengan perasaan marah (Dermawan dan Rusdi, 2013).
Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai
seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan definisi ini maka perilaku
kekerasan dapat di lakukan secara verbal, di arahkan pada diri sendiri, orang lain dan
lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi dalam dua bentuk yaitu saat sedang
berlangsung perilaku kekerasan atau riwayat perilaku kekerasan (Dermawan dan Rusdi,
2013).
Suatu keadaan di mana klien mengalami perilaku yang dapat membahayakan
klien sendiri, lingkungan termasuk orang lain dan barang – barang (Fitria, 2010).
2) Tanda dan Gejala
Fitria (2010) mengungkapkan fakta tanda dan gejala risiko perilaku kekerasan adalah
sebagai berikut :
 Fisik : mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah
memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
 Verbal : mengancam, mengumpat dengan kata – kata kotor, berbicara dengan
nada keras, kasar dan ketus.
 Perilaku : menyerang orang lain, melukai diri sendiri/oranglain, merusak
lingkungan, amuk/agresif.
 Emosi : tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam
jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan
dan menuntut.
 Intelektual : mendominasi cerewet, kasar, berdebat, meremehkan dan tidak jarang
mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
 Spiritual : merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral
dan kreativitas terhambat.
 Sosial : menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan dan sindiran.
 Perhatian : bolos, melarikan diri dan melakukan penyimpangan sosial.

3) Rentan Respon

Faktor Predisposisi

Faktor presipitasi

Respon terhadap stressor

Sumber koping

Mekanisme koping

Respon Marah
Adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif


Amuk/PK

Gambar 1.1 .Rentang Respon Perilaku Kekerasan


Sumber : (Fitria, 2010)
Keterangan
- Asertif : Kemarahan yang diungkapkan tanpa menyakiti orang lain
- Frustasi : Kegagalan mencapai tujuan karena tidak realistis/ terhambat
- Pasif : Klien tidak mampu mengungkapkan Perasaannya
- Agresif : Perilaku destruktif tapi masih terkontrol
- Amuk : Perilaku destruktif dan tidak terkontrol

Perbandingan Perilaku Pasif, Asertif dan Agresif

Karakteristik Pasif Asertif Agresif


Isi bicara 1. Negatif 1. Positif 1. Berlebihan
2. Menghina 2. Menghargai diri 2. Menghina orang
3. Dapatkah saya sendiri lain
lakukan 3. Saya dapat/akan 3. Anda selalu/ tidak
4. Dapatkah ia lakukan pernah
lakukan
Nada suara 1. Diam 1. Diatur 1. Tinggi
2. Lemah 2. Menuntut
3. Merengek
Posture/ 1. Melotot 1. Tegak 1. Tenang
sikap tubuh 2. Menundukkan 2. Rileks 2. Bersandar ke depan
kepala
Personal 1. Orang lain dapat 1. Menjag jarak 1. Memasuki teritorial
space masuk pada yang orang lain
teritorial mneyenangkan
pribadinya 2. Mempertahankan
hak tempat/
teritorial
Gerakan 1. Minimal 1. Memperlihatkan 1. Mengancam,
2. Lemah gerakan yang ekspansi gerakan
3. Resah sesuai
Kontak mata 1. Sedikit atau tidak 1. Sekali-sekali 1. Melotot
(intermiten)
2. Sesuai dengan
kebutuhan
interaksi

4) Etiologi
1. Faktor Predisposisi
a. Faktor Biologis
Neurologi faktor, beragam komponen dari sistem syaraf mempunyai peran
memfasilitasi atau menghambat rangsangan dan pesan-pesan yang akan
mempengahuri sifat agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulus
timbulnya perilaku bermusuhan dan respon agresif.
1) Genetik faktor, adanya faktor gen yang diturunkan melalui orang tua,
menjadi potensi perilaku agresif.
2) Cyrcardian Rhytm, memegang peranan pada individu. Menurut
penelitian pada jam-jam tertentu manusia mengalami peningkatan
cortsiol terutama pada jam-jam sibuk seperti menjelang masuk kerja dan
menjelang berakhirnya pekerjaan sekitar jam 09.00 dan jam 13.00. pada
jam tertentu orang lebih mudah terstimulasi untuk bersikap agresif.
3) Biochemistry faktor (faktor biokimia tubuh) seperti neurotransmiter di
otak (epinephrine, norephinephrine, asetikolin dan serotonin) sangat
berperan dalam penyampaian informasi melalui sistem persyarafan dalam
tubuh.
4) Brain Area Disorder, gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal,
sindrom otak organik, tumor otak, trauma otak, penyakit ensepalitis,
epilepsi di temukan sangat berpengaruh terhadap perilaku agresif dan
tindakan kekerasan.

b. Faktor Psikologis
1) Teori psikonalisa, Agresivitas dan kekerasan dapat di pengaruhi oleh
riwayat tumbuh kembang seseorang teori ini menjelaskan bahwa adanya
ketidakpuasan fase oral antara usia 0-2 tahun dimana anak tidak
mendapat kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan air susu yanag cukup
cenderung mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah
dewasa sebagai konpensansi ketidakpuasannya. Tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego
dan membuat konsep diri yang rendah.
2) Imitation, modeling and information processing theory, menurut teori ini
perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang menolerir
kekerasan.
3) Learning theory, menurut teori ini perilaku kekerasan merupakan hasil
belajar dari individu terhadap lingkungan terdekatnya. Ia mengamati
bagaimana respon ibu saat marah.

c. Faktor Sosial Budaya


1) Latar Belakang Budaya
- Budaya permissive : Kontrol sosial yang tidak pasti terhadap
perilaku kekerasan akan menciptakan seolah-olah perilaku
kekerasan diterima.
- Agama dan Kenyakinan
a. Keluarga yang tidak solid antara nilai keyakinan dan praktek,
serta tidak kuat terhadap nilai-nilai baru yang rusak.
b. Kenyakinan yang salah terhadap nilai dan kepercayaan
tentang marah dalam kehidupan. Misal Yakin bahwa penyakit
merupakan hukuman dari Tuhan.
- Keikutsertaan dalam Politik
a. Terlibat dalam politik yang tidak sehat
b. Tidak siap menerima kekalahan dalam pertarungan politik.
- Pengalaman sosial
a. Sering mengalami kritikan yang mengarah pada penghinaan.
b. Kehilangan sesuatu yang dicintai ( orang atau pekerjaan )
c. Interaksi sosial yang provaktif dan konflik
d. Hubungan interpersonal yang tidak bermakna
e. Sulit memperhatikan hubungan interpersonal.
- Peran sosial
a. Jarang beradaptasi dan bersosialisasi.
b. Perasaan tidak berarti di masyarakat.
c. Perubahan status dari mandiri ketergantungan (pada lansia)
d. Praduga negatif.
e. Adanya budaya atau norma yang menerima suatu ekspresi
marah.
2. Faktor Presipitasi
Yosep (2011) faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku keerasan seringkali
berkaitan dengan :
a. Ekspresi diri, ingin menunjukan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti
dalam sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian massal
dan sebagainya.
b. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
c. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak
membiasakan dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan
kekerasan dalam menyelesaikan konflik.
d. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan
menempatkan dirinya sebagai seorang yang dewasa.
e. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan
alkoholisme dan tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi
rasa frustasi.
f. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan
tahap perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
5) Mekanisme koping
Perawat perlu mengidentifikasi mekanisme orang lain. Mekanisme koping klien sehingga
dapat membantu klien untuk mengembangkan mekanisme koping yang konstruktif dalam
mengekspresikan marahnya. Yosep (2011) Mekanisme koping yang umum di gunakan
adalah mekanisme pertahanan ego seperti :
1) Displacement, Melepaskan perasaan tertekannya bermusuhan pada objek yang begitu
seperti pada mulanya yang membangkitkan emosi.
2) Proyeksi, Menyalahkan orang lain mengenai keinginan yang tidak baik.
3) Depresi, Menekan perasaan orang lain yang menyakitkan atau konflik ingatan dari
kesadaran yang cenderung memperluas mekanisme ego lainnya.
4) Reaksi formasi, Pembentukan sikap kesadaran dan pola perilaku yang berlawanan
dengan apa yang benar-benar di lakukan orang lain.

6) Psikopatologi
a. Ancaman kebutuhan, marah, stress, cemas yang dapat menimbulkan marah. Respon
terhadap marah dapat diekspresikan secara eksternal maupun internal. Secara
eksternal ekspresi marah dapat berupa perilaku konstruktif maupun destruktif.
b. Mengekpresikan rasa marah dengan perilaku konstruktif dengan kata-kata yang dapat
dimengerti dan diterima tanpa menyakiti hati orang lain, sehingga rasa marah tersebut
dapat dipahami oleh orang lain. Selain akan memberikan rasa lega , ketegangan akan
menurun dan akhirnya perasaan marah dapat teratasi.
c. Rasa marah yang diekspresikan secara destruktif, misalnya dengan perilaku agresif
dan menantang biasanya cara tersebut justru menjadikan masalah berkepanjangan dan
dapat menimbulkan amuk yang diunjukan pada diri sendiri orang lain dan
lingkungan.
d. Perilaku yang yang submatif seperti menekan perasaan marah karena merasa tidak
kuat, individu akan berpura-pura tidak marah atau melarikan diri dari rasa marahnya,
sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan yang demikian akan menimbulkan
rasa bermushuan yang lama dan suatu saat dapat

7) Pathway
8) Pohon Masalah

9) Diagnosa Keperawatan

A. Diagnosa keperawatan
1) Perilaku kekerasan.
2) Risiko mencederai diri sendiri, orang laindan lingkungan.
3) Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
4) Isolasi sosial
5) Perubahan persensi sensori : Halusinasi
6) Berduka disfungsional
7) Inefektif proses therapi
8) Koping keluarga inefektif

LAPORAN PENDAHULUAN

RESIKO BUNUH DIRI

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa

Dosen Pengampu : Rizki Muliani, S.Kp.,M.M


Oleh:

Jihan Rahmawati (4180180022)

3A

FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG
2021

A. Pengertian
Resiko bunuh diri adalah resiko untuk mencederai diri sendiri yang dapat mengancam
kehidupan. Bunuh diri merupakan kedaruratan psikiatri karena merupakan perilaku untuk mengakhiri
kehidupannya. Perilaku bunuh diri disebabkan karena stress yang tinggi dan berkepanjangan dimana
individu gagal dalam melakukan mekanisme koping yang digunakan dalam mengatasi masalah.
Beberapa alasan individu mengakhiri kehidupan adalah kegagalan untuk beradaptasi, sehingga tidak
dapat menghadapi stress, perasaan terisolasi, dapat terjadi karena kehilangan hubungan interpersonal/
gagal melakukan hubungan yang berarti, perasaan marah/ bermusuhan, bunuh diri dapat merupakan
hukuman pada diri sendiri, cara untuk mengakhiri keputusasaan (Stuart, 2006).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Bunuh diri merupakan keputusan terakhir dari individu untuk memecahkan masalah yang
dihadapi (Captain, 2008). Menciderai diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan
dapat mengakhiri kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terakhir dari individu untuk
memecahkan masalah yang dihadapi (Captain, 2008).
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat mengakhiri
kehidupan. Bunuh diri mungkin merupakan keputusan terkahir dari individu untuk memecahkan
masalah yang dihadapi.  (Budi Anna Kelihat, 2000).
Bunuh diri menurut Gail W. Stuart dalam buku “Keperawatan Jiwa” dinyatakan sebagai suatu
aktivitas yang jika tidak dicegah, dimana aktivitas ini dapat mengarah pada kematian (2007). 
Menurut Maris, Berman, Silverman, dan Bongar (2000), bunuh diri memiliki 4 pengertian,
antara lain:
1) Bunuh diri adalah membunuh diri sendiri secara intensional
2) Bunuh diri dilakukan dengan intensi
3) Bunuh diri dilakukan oleh diri sendiri kepada diri sendiri
4) Bunuh diri bisa terjadi secara tidak langsung (aktif) atau tidak langsung (pasif), misalnya dengan
tidak meminum obat yang menentukan kelangsungan hidup atau secara sengaja berada di rel
kereta api.

Menurut Shives (2008) mengemukakan rentang harapan putus harapan merupakan rentang
adaptif maladaptif. Respon adaptif merupakan respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial
dan kebudayaan yang secara umum berlaku, sedangkan respon maladaptif merupakan respon yang
dilakukan individu dalam menyelesaikan masalah yang kurang dapat diterima oleh norma-norma
sosial dan budaya setempat. Respon maladaptif antara lain:

1) Ketidakberdayaan, keputusasaan, apatis.


Individu yang tidak berhasil memecahkan masalah akan meninggalkan masalah, karena merasa
tidak mampu mengembangkan koping yang bermanfaat sudah tidak berguna lagi, tidak mampu
mengembangkan koping yang baru serta yakin tidak ada yang membantu.
2) Kehilangan, ragu-ragu
Individu yang mempunyai cita-cita terlalu tinggi dan tidak realistis akan merasa gagal dan
kecewa jika cita-citanya tidak tercapai. Misalnya :
Kehilangan pekerjaan dan kesehatan, perceraian, perpisahan individu akan merasa gagal dan
kecewa, rendah diri yang semuanya dapat berakhir dengan bunuh diri.
a) Depresi
Dapat dicetuskan oleh rasa bersalah atau kehilangan yang ditandai dengan kesedihan dan
rendah diri. Biasanya bunuh diri terjadi pada saat individu ke luar dari keadaan depresi
berat.
b) Bunuh diri
Adalah tindakan agresif yang langsung terhadap diri sendiri untuk mengkahiri kehidupan.
Bunuh diri merupakan koping terakhir individu untuk memecahkan masalah yang dihadapi
(Laraia, 2005).

Respon Adaptif Respon Mal-


adaptif

Self Growth Indirect Self Self Suicide


Enchancement Promoting Destructive Injury
Risk Taking Behavior

B. Klasifikasi
Perilaku bunuh diri terbagi menjadi tiga kategori (Stuart, 2006):
1) Ancaman bunuh diri yaitu peringatan verbal atau nonverbal bahwa seseorang tersebut
mempertimbangkan untuk bunuh diri. Orang yang ingin bunuh diri mungkin mengungkapkan
secara verbal bahwa ia tidak akan berada di sekitar kita lebih lama lagi atau mengomunikasikan
secara non verbal.
2) Upaya bunuh diri yaitu semua tindakan terhadap diri sendiri yang dilakukan oleh individu yang
dapat menyebabkan kematian jika tidak dicegah.
3) Bunuh diri yaitu mungkin terjadi setelah tanda peringatan terlewatkan atau diabaikan. Orang yang
melakukan bunuh diri dan yang tidak bunuh diri akan terjadi jika tidak ditemukan tepat pada
waktunya.
Sementara itu, Yosep (2010) mengklasifikasikan terdapat tiga jenis bunuh diri, meliputi:
1) Bunuh diri anomik
Bunuh diri anomik adalah suatu perilaku bunuh diri yang didasari oleh faktor lingkungan yang
penuh tekanan (stressful) sehingga mendorong seseorang untuk bunuh diri.

2) Bunuh diri altruistik


Bunuh diri altruistik adalah tindakan bunuh diri yang berkaitan dengan kehormatan seseorang
ketika gagal dalam melaksanakan tugasnya.
3) Bunuh diri egoistik
Bunuh diri egoistik adalah tindakan bunuh diri yang diakibatkan faktor dalam diri seseorang
seperti putus cinta atau putus harapan.

C. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala menurut Fitria (2009):
1) Mempunyai ide untuk bunuh diri
2) Mengungkapkan keinginan untuk mati
3) Impulsif
4) Menunjukan perilaku yang mencurigakan
5) Mendekati orang lain dengan ancaman
6) Menyentuh orang lain dengan cara menakutkan
7) Latar belakang keluarga

D. Faktor yang mempengaruhi


1) Faktor Mood dan Biokimiawi otak
Ghansyam pandey menemukan bahwa aktivitas enzim di dalam manusia bisa
mempengaruhi mood yang memicu keinginan mengakhiri nyawa sendiri. Pandey mengetahui
faktor tersebut setelah melakukan eksperimen terhadap otak 34 remaja yang 17 diantaranya
meninggal akibat bunuh diri. Ditemukan bahwa tingkat aktivitas protein kinase C (PKC) pada
otak pelaku bunuh diri lebih rendah dibanding mereka yang meninggal bukan karena bunuh diri.
2) Faktor riwayat gangguan mental
Dalam otak kita gterdapat berbagai jaringan, termasuk pembuluh darah. Di dalamnya
juga terdapat serotonin, adrenalin, dan dopamin. Ketiga cairan dalam otak itu bisa menjadi
petunjuk dalam neurotransmiter(gelombang/ gerakan dalam otak) kejiwaan manusia. Karena itu,
kita harus waspadai bila terjadi peningkatan kadar ketiga cairan itu di dalam otak. Biasanya, bila
kita lihat dari hasil otopsi para korban kasus bunuh diri, cairan otak ini tinggi, terutama serotonin.
3) Faktor meniru, imitasi, dan pembelajaran
Dalam kasus bunuh diri, dikatakan ada Proses Pembelajaran. Para korban memiliki
pengalaman dari salah satu keluarganya yang pernah melakukan percobaan bunuh diri atau
meninggal karena bunuh diri. Tidak hanya itu, bisa juga terjadi pembelajaran dari pengetahuan
lainnya. Proses pembelajran di sini merupakan asupan yang masuk ke dalam memori seseorang.
Memori itu bisa menyebabkan perubahan kimia lewat pembentukan protein-protein yang erat
kaitannya dengan memori. Sering kali banyak yang idak menyadari Proses Pembelajaran ini
sebagai keadaan yang perlu diwaspadai. Bahkan, kita baru paham kalau pasien sudah diperiksa
psikiater/dokter. Kita perlu memperhatikan bahwa orang yang pernah mencoba bunuh diri
denngan cra yang halus, seperti minum racun bisa melakukan cara lain yang lebih keras dari yang
pertama bila yang sebelumnya tidak berhasil.
4) Faktor isolasi sosial dan Human Relations
Secara umum, stress muncul karena kegagalan beradaptasi. Ini dapat terjadi di
lingkungan pekerjaan, keluarga, sekolah, pergaulan dalam masyarakat, dan sebagainya. Demikian
pula bila seseorang merasa terisolasi, kehilangan hubungan atau terputusnya hubungan dengan
orang lain yang disayangi. Padahal hubungan interpersonal merupakan sifat alami manusia.
Bahkan keputusan bunuh diri juga bisa dilakukan karena perasaan bersalah. Suami membunuh
istri, kemudian dilanjutkan membunuh dirinya sendiri, bisa dijadikan contoh kasus.
5) Faktor hilangnya perasaan aman dan ancaman kebutuhan dasar
Penyebab bunuh diri yang lain adalah rasa tidak aman. Rasa tidak aman merupakan
penyebab terjadinyabanyak kasus bunuh diri di Jakarta dan sekitarnya akhir-akhir ini. tidak
adanya rasa aman untuk menjalankan usaha bagi warga serta ancaman terhadap tempat tinggal
mereka berpotensi kuat memunculkan gangguan kejiwaan seseorang hingga tahap bunuh diri.

Stuart (2006) menyebutkan bahwa faktor predisposisi yang menunjang perilaku resiko bunuh diri
meliputi:

1) Diagnosis psikiatri
Tiga gangguan jiwa yang membuat pasien berisiko untuk bunuh diri yaitu gangguan alam
perasaan, penyalahgunaan obat, dan skizofrenia.
2) Sifat kepribadian
Tiga aspek kepribadian yang berkaitan erat dengan peningkatan resiko bunuh diri adalah rasa
bermusuhan, impulsif, dan depresi.
3) Lingkungan psikososial
Baru mengalami kehilangan, perpisahan atau perceraian, kehilangan yang dini, dan
berkurangnya dukungan sosial merupakan faktor penting yang berhubungan dengan bunuh diri.
4) Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan faktor resiko untuk perilaku
resiko bunuh diri
5) Faktor biokimia
Proses yang dimediasi serotonin, opiat, dan dopamine dapat menimbulkan perilaku resiko bunuh
diri.

E. Stressor pencetus
Stuart (2006) menjelaskan bahwa pencetus dapat berupa kejadian yang memalukan, seperti
masalah interpersonal, dipermalukan di depan umum, kehilangan pekerjaan, atau ancaman
pengurungan. Selain itu, mengetahui seseorang yang mencoba atau melakukan bunuh diri atau
terpengaruh media untuk bunuh diri, juga membuat individu semakin rentan untuk melakukan
perilaku bunuh diri.

F. Penilaian stressor
Upaya bunuh diri tidak mungkin diprediksikan pada setiap tindakan. Oleh karena itu, perawat
harus mengkaji faktor resiko bunuh diri pada pasien.

G. Sumber koping
Pasien dengan penyakit kronis, nyeri, atau penyakit yang mengancam kehidupan dapat
melakukan perilaku destruktif-diri. Sering kali pasien secara sadar memilih untuk bunuh diri.

H. Mekanisme koping
Stuart (2006) mengungkapkan bahwa mekanisme pertahanan ego yang berhubungan dengan
perilaku destruktif-diri tidak langsung adalah penyangkalan, rasionalisasi, intelektualisasi, dan
regresi.

I. Gambaran klinis dan diagnosis


Dalam mengenali pasien yang cenderung bunuh diri merupakan satu tugas yang penting
namun sulit dilaksanakan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa resiko bunuh diri yang berhasil
akan meningkat pada jenis pria, berkulit putih, umur lanjut, dan isolasi sosial. Pasien dengan riwayat
keluarga percobaan bunuh diri atau bunuh diri yang berhasil membuat resiko makin tinggi juga,
demikian pula pasien dengan nyeri kronik, pembedahan yang baru terjadi, atau mengidap penyakit
fisik kronik. Demikian pula pasien yang tidak mempunyai pekerjaan, tinggal sendiri, yang mengatur
masalah– masalahnya secara teratur, dan hari ulang tahun dari kematian anggota keluarga.
Delapan puluh persen pasien yang melaksanakan bunuh diri dan berhasil, biasanya mengidap
gangguan afetif dan 25% biasanya bergantung pada alkohol. Bunuh diri merupakan 15% sebab
kematian pada kedua kelompok orang diatas. Sedangkan resiko tinggi untuk peminum alkohol dalam
kurun waktu 6 bulan setelah suatu kehilangan anggota keluarga. Skizofrenia merupakan gangguan
yang jarang, oleh sebab itu menjadi faktor pengurangan angka bunuh diri pada kasus ini, namun 10%
dari para pasien skizofrenik meninggal akibat bunuh diri.
Harapan yang terbaik bagi upaya pencegahan bunuh diri terletak pada penemuan dan terapi
sedini mungkin dari gangguan psikiatri yang menyebabkannya.
Peran dari upaya bunuh diri yang terdahulu dalam menilai resiko bunuh diri saat mendatang
amat kompleks, kebanyakan dari para korban bunuh diri yang berhasil tidak pernah mencoba pada
masa sebelumnya, biasanya mereka akan berhasil pada percobaan pertama. Walaupun para pelaku
yang mencoba bunuh diri masa lampau menunjukkan perilaku yang mampu merusak diri, hanya 10%
para pelaku percobaan bunuh diri yang berhasil dalam 10 tahun.
Sejumlah cukup besar orang yang secara sengaja melakukan tindak merusak diri seperti
memotong nadi atau membakar diri dengan cara yang jelas tidak mematikan tanpa keinginan sungguh
untuk membunuh diri. Berbagai motif mungkin berada dibelakang ini, termasuk manipulasi secara
sengaja dan amarah yang tak sadar terhadap orang lain yang berarti dalam hidupnya. Secara
diagnostik, pasien dapat memenuhi kriteria untuk gangguan anti sosial atau ambang, atau perilaku itu
dapat berada bersama dengan gagasan aneh yang lain dan perilaku skizofrenik.
Yang paling merisaukan dan menantang secara medikolegal ialah peristiwa parasuisida
(usaha percobaan bunuh diri) berulang, dan biasanya berperilaku bunuh diri yang mendekati letal
sedangkaan ia menyangkal adanya gagasan bunuh diri itu. Varian yang paling sering dijumpai ialah
pasien yang minum obat overdosis secara berulang dan tidak bertujuan. Pasien macam ini biasanya
mempunyai gangguan kepribadian tanpa gejala psikiatrik gawat. Mereka sering meminta dipulangkan
dari rumah sakit secepatnya setelah pulih dari intosikasi akutnya, kadang lebih cepat lebih senang,
dan ternyata sulit untuk menentukan perawatan dengan agak paksa. Namun demikian, lebih bijaksana
untuk menahan orang semacam ini secara paksa atau involunter bila frekuensi perilaku
parasuisidanya meningkat.

J. Pedoman wawancara dan psikoterapi


Awali pembicaraan dengan bertanya pada pasien apakah ia pernah merasa ingin menyerah
saja terhadapa hidup ini? atau mereka merasa lebih baik mati. Pendekatan seperti ini membewa
stigma kecil saja dan dapa diterima oleh kebanyakan orang. Lalu bicaralah soal tepatnya apa yang
dipikirkan oleh pasien? Dan catatlah semua pikiran itu. Begitu masalahnya telah mulai
diperbincangkan, gunakan kata seperti “bunuh diri” dan mati daripada “cidera” atau “melukai” karena
beberapa pasien bingung dengan kata-kata itu dan kebanyakan mereka tidak mau mencederai dirinya,
walaupun bila mereka ingin membunuh dirinya.
Ajukan pertanyaan seperti : berapa sering pikiran bunuh diri anda? Apakah pikiran bunuh diri
anda makin meningkat? Apakah anda hanya punya pikiran yang kurang baik saja atau pernahkah
anda merencanakan cara bunuh dirinya? Apakah pikiran bunuh diri anda hanya sepintas saja atau
benar-benar serius? Pertimbangkan umur pasien dan kecanggihan serta keinginan dan cara bunuh
dirinya. Cocokkan ucapan dan rencana dari cara yang akan dilakukan itu.

K. Pohon Masalah

Resiko perilaku kekerasan Akibat

Resiko Bunuh Diri Core Problem

Isolasi Sosial
Penyebab

Harga Diri Rendah Penyebab

L. Peran Perawat dalam Perilaku Mencederai Diri


1) Pengkajian
a) Lingkungan dan upaya bunuh diri : perawat perlu mengkaji peristiwa yang menghina atau
menyakitkan, upaya persiapan, ungkapan verbal, catatan, lukisan, memberikan benda yang
berharga, obat, penggunaan kekerasan, racun.
b) Gejala : perawat mencatat adanya keputusasaan, celaan terhadap diri sendiri, perasaan gagal
dan tidak berharga, alam perasaan depresi, agitasi gelisah, insomnia menetap, berat badan
menurun, bicara lamban, keletihan, withdrawl.
c) Penyakit psikiatrik : uoaya bunuh diri sebelumnya, kelainan, afektif, zat adiktif, depresi
remaja, gangguan mental lansia
d) Riwayat psikososial: bercerai, putus hubungan, kehilangan pekerjaan, stress multiple (pindah,
kehilangan,putus hubungan, masalah sekolah, krisis disiplin), penyakit kronik.
e) Faktor kepribadian: impulsive, agresif, bermusuhan, kognisi negative dan kaku, putus asa,
harga diri rendah, antisocial
f) Riwayat keluarga : riwayat bunuh diri, gangguan afektif, alkoholisme.

2) Diagnosa Keperawatan
Resiko tinggi mutilasi diri/kekerasan pada diri sendiri sehubungan dengan takut terhadap
penolakan, alam perasaan yang tertekan, reaksi kemarahan, ketidakmampuan mengungkapkan
perasaan secara verbal, ancaman harga diri karena malu, kehilangan pekerjaan dan sebagainya.
a) Sasaran jangka pendek : klien akan mencari bantuan staf bila ada perasaan ingin mencederai
diri.
b) Saran jangka panjang : klien tidak akan mencederai diri

3) Intervensi dan Rasional


a) Observasi perilaku kliem lebih sering melalui aktivitas dan interaksi rutin, hindari kesan
pengamatan dan kecurigaan pada klien (observasi ketat dibutuhkan supaya intervensi dapat
terjadi jika dibutuhkan untuk memastikan keamanan klien).
b) Tetapkan kontrak verbal dengan klien bahwa ia akan meminta bantuan jika keinginan untuk
bunuh diri dirasakan (mendiskusikan perasaan ingin bunuh diri dengan orang yang
dipercaya memberikan derajat keringanan untuk klien, sikap penerimaan klien sebagai
individu dapat dirasakan)
c) Jika mutilasi diri terjadi, rawat luka klien dengan tidak mengusik penyebabnya jangan
berikan reinforcement positif untuk perilaku tersebut (kurangnya perhatian untuk perilaku
maladaptive dalat menurunkan pengulangan mutilasi).
d) Dorong klien untuk bicara tentang perasaan yang dimilikinya sebelum perilaku ini terjadi
(agar memecahkan masalah dan memahami faktor pencetus).
e) Bertindak sebagai model dalam mengekspresikan kemarahan yang tepat (perilaku bunuh diri
dipandang sebagai marah yang diarahkan pada diri sendiri)
f) Singkirkan semua benda yang berbahaya dari lingkungan klien (keamanan klien merupakan
prioritas keperawatan)
g) Arahkan kembali perilakku mutilasi dengan penyaluran fisik (latihan fisik merupakan cara
yang aman untuk menyalurkan ketegangan yang terpendam)
h) Komitmen semua staf untuk memberikan spirit kepada klien(bukti control terhadap situasi
dan memberikan kemanan fisik serta semangat hidup)
i) Berikan obat-obatan sesuai hasil kolaborasi, pantau keefektifan, dan efek samping (obat
penenang seperti ansiolotik/ antipsikotik dapat memberikan efek menenangkan pada klien
dan mencegah perilaku agresif)
j) Gunakan restrain mekanis bila keadaan memaksa sesuai prosedur tetap (bila klien menolak
obat-obatan dan situasi darurat, restrain diperlukan pada jam-jam tertentu)
k) Observasi klien dalam restrain tiap 15 menit/ sesuai prosedur tetap dengan
mempertimbangan keamanan, sirkulasi darah, kebutuhan dasar (keamanan klien merupakan
prioritas keperawatan)

4) Intervensi Klien Bunuh Diri


a) Listening, Kontrak, Kolaborasi dengan Keluarga
Klien bisa ditolong dengan terapi dan bisa hidup lebih baik, jika ia mau berbicara dan
mendengar dalam upaya memecahkan persoalan, serta tidak ada alasan melalui kesulitan
sendirian tanpa bantuan orang lain. Selain itu, bila mendapati ada orang yang hendak
melakukan bunuh diri, sebaiknya dengarkan apa yang dia keluhkan. Berikan dukungan agar
dia tabah dan tetap berpandangan bahwa hidup ini bermanfaat, buat lingkungan tempat dia
tinggal aman dengan cara menjauhkan alat-alat yang bisa digunakan untuk bunuh diri. “Kalau
perlu buatlah semacam ‘kontrak’ pada dia untuk tidak melakukan bunuh diri, meski tingkat
keberhasilan ini sangat kecil. “Kesulitan utama yang dihadapi apabila orang yang akan
melakukan bunuh diri itu tidak menunjukkan gejala-gejala tersebut. Pada tingkat permukaan
dia tampak mengerti dan memahami arti hidup, serta terkesan tidak akan melakukan bunuh
diri, tetapi tiba-tiba dia sudah mati bunuh diri. Lingkungan sosial, termasuk keluarga, juga
menjadi sarana yang baik untuk membantu mengurangi atau menghilangkan keinginan orang
untuk bunuh diri.
b) Pahami Persoalan dari “Kacamata” Mereka
Menghadapi orang yang berniat bunuh diri atau gagal melakukan bunuh diri, perlu sikap
menerima, sabar dan empati. Perawat berupaya agar tidak bersikap memvonis, memojokkan,
apalagi menghakimi mereka yang punya niat bunuh diri atau gagal melakukan bunuh diri.
“Kalau mereka merasa dipojokkan kemungkinan bunuh diri akan semakin cepat”. Yang
paling penting disini adalah mencoba menampung segala keluhannya dan menjadi pendengar
yang baik. Hindari argumentasi dan nasihat-nasihat. Jangan harap kata-kata anda bisa
menjadi senjata ajaib untuk menyadarkannya. Pada dasarnya dalam diri orang yang ingin
bunuh diri tersimpan sikap mendua atau ambivalen. Sebagian dari dirinya ingin tetap hidup,
tapi sebagian lagi ingin segera mati untuk mengakhiri penderitaannya. Karena sedang
menderita itulah, sebenarnya ia sangat membutuhkan orang lain. Ia butuh ventilasi untuk
mengalirkan masalah dan perasaannya. Namun, orang yang berniat bunuh diri biasanya takut
untuk mencoba mencari pertolongan. Ia takut usaha itu justru akan menambah beban
penderitaannya karena bisa saja ia akan dibilang bodoh, sinting, berdosa, atau diberi cap
negatif lainnya.
c) Pentingnya Partisipasi Masyarakat
Gangguan kejiwaan sebenarnya bisa sembuh hanya perlu terus dievaluasi karena bisa
sewaktu-waktu kambuh. Masih banyak stigma atau penilaian negatif di masyarakat kepada
klien gangguan kejiwaan. Namun, bila dibandingkan dulu, stigma sekarang sudah menurun.
Bahkan stigma membuat pihak keluarga klien juga tidak memahami karakter anggota
keluarganya yang menderita gangguan jiwa. Keluarga jadi bersikap apatis dan sering
mengelak bila diajak konsultasi ke psikiater.Padahal, dukungan keluarga sangat penting
untuk upaya penyembuhan klien gangguan kejiwaan. Keluarga perlu didukung masyarakat
sekitarnya agar klien gangguan jiwa dianggap sama dengan penyakit-penyakit fisik lain
seperti Decomp, DM,hepatitis, dan sebagainya. Yang membutuhkan perawatan dan tenaga
ahli serta dianggap sebagai cobaan yang bisa menimpa siapa saja.
d) Express Feeling
Perlu ada dukungan dari lingkungan. Istilah ngetopnya sharing atau curhat, sehingga
membantu meringankan beban yang menerpa. Salah satu solusi yang ditawarkan selain
mengontrol emosi, lebih mendekatkan diri kepada Yang Maha Kuasa. Express feeling sangat
penting agar masalah yang menekan semakin ringan.
e) Lakukan Implementasi khusus
1. Semua ancaman bunuh diri secara verbal dan non verbal harus ditanggap serius oleh
perawat, Laporkan sesegera mungkin dan lakukan tindakan pengamatan
2. Jauhkan semua benda yang berbahaya dari lingkungan klien.
3. Jika klien beresiko tinggi untuk bunuh diri, observasi secara ketat meskipun di tempat
tidur/kamar mandi.
4. Observasi dengan cermat saat klien makan obat, periksa mulut, pastikan bahwa obat telah
ditelan, berikan obat dalam bentuk cair bila memungkinkan.
5. Jelaskan semua tindakan pengamanan kepada klien, komunikasikan perhatian dan
kepedulian perawat
6. Waspadai bila klien terlihat tenang sebab mungkin saja ia telah selesai merencanakan
bunuh diri.

M. Evaluasi dan Pengelolaan


1) Bila mengevaluasi pasien yang cenderung bunuh diri, jangan tinggalkan mereka sendiri,
singkirkan semua benda yang potensial berbahaya.
2) Bila megevaluasi pasien yang baru saja mencoba bunuh diri, nilailah apakah usaha itu telah
direncanakan atau impulsif saja sambil menentukan derajat letalitasnya, kemungkinan pasien
pulih kembali.
3) Pengelolaan bergantung sebagian besar pada diagnosis. Pasien dengan depresi berat dapat diobati
sebagai pasien berobat jalan bila keluarganya dapat mengawasi mereka dengan seksama dan
terapi dapat dimulai dengan segera. Bila tidak, perawatan inap di rumah sakit diperlukan.
4) Gagasan bunuh diri dari pasien alkoholik biasanya akan membaik dalam beberapa hari dengan
abstinensi. Kebanyakan tidak ada terapi spesifik yang perlu diberikan. Bila depresi tetap bertahan
setelah gejala abstinensi mereda, dugaan besar adalah gangguan depresi berat. Semua pasien yang
cenderung bunuh diri yang mengalami intoksikasi alkohol atau obat harus dinilai ulang saat
mereka lepas pengaruh alkoholnya.
5) Gagasan bunuh diri pada pasien skizofrenik harus diperhatikan secara serius karena mereka
cenderung mempergunakan cara yang keras dan aneh dengan derajat letalitas tinggi.
6) Pasien dengan gangguan kepribadian akan mengambil manfaat dari bantuan dan konfrotasi
empatik, dan perlu dilanjutkan pendekatan secara rasional, bertanggung jawab pada masalah yang
mencetuskan dan menyebabkan krisis tersebut. Keikutsertaan keluarga atau teman dan manipulasi
lingkungan dapat membantu untuk menyelesaikan krisis yang membawa pasien untuk bunuh diri.
7) Perawatan inap di rumah sakit jangka panjang dianjurkan bagi kasus dengan kecenderungan
mutilasi diri, namun perawatan inap jangka pendek tidak akan mempengaruhi perilaku yang
berulang ini. Parasuisida juga mungkin akan mendapatkan manfaat yang baik dari rehabilitasi
jangka panjang, dan stabilisasi jangka pendek juga diperlukan dari waktu ke waktu, tetapi terapi
jangka pendek tidak akan dapat mempengaruhi secara berarti perjalanan gangguan ini.

N. Terapi obat
Pasien dalam krisis karena kematian orang terdekat atau peristiwa lain dengan perjalanan
waktu yang terbatas akan berfungsi lebih baik setelah menerima sedasi ringan seperlunya, terutama
bila sebelum itu tidurnya terganggu. Benzodiazepin merupakan obat terpilih dan ramuan yang khas
ialah Lorazepam (Ativan) 1 mg 1-3x sehari untuk 2 minggu. Iritabilitas pasien mungkin meningkat
dengan penggunaan teratur Benzodiazepin dan iritabilitas ini merupakan satu resiko untuk bunuh diri,
maka Benzodiazepin harus digunakan secara hati-hati pada pasien yang bersikap keras dan
bermusuhan. Hanya sejumlah kecil dari medikasi itu harus disediakan, dan pasien harus diikuti dalam
beberapa hari.
Antidepresiva merupakan terapi yang pasti bagi semua pasien yang menampilkan diri dengan
gagasan bunuh diri, tetapi tidak biasanya untuk mulai memberikan antidepresiva di UGD. Bila diberi
resep, harus diadakan perjanjian untuk pemeriksaan lanjutan, sebaiknya keesokan harinya.
Rujukan-Silang : Putus alkohol, depresi, hospitalisasi, mutilasi-diri

Anda mungkin juga menyukai