Anda di halaman 1dari 16

LAPORAN PENDAHULUAN

ISOLASI SOSIAL

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Keperawatan Jiwa

Dosen Pengampu : Rizki Muliani, S.Kp.,M.M

Oleh:

Intan Nursyahidah

(4180180020)

3A

FAKULTAS KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI DIPLOMA III KEPERAWATAN
UNIVERSITAS BHAKTI KENCANA BANDUNG
2021
1. Definisi
Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami
penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain
disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterimas, kesepian, dan tidak
mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain. (Purba, dkk, 2008).
Isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang merupakan
mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara
menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan (Dalami, dkk, 2009).
Isolasi sosial adalah pengalaman kesendirian seseorang individu yang diterima
sebagai perlakuan dari orang lain serta sebagai kondisi yang negatif atau mengancam
(Wilkinson, 2007).
Isolasi sosial adalah suatu keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang
karena orang lain menyatakan sikap yang negatif dan mengancam (Twondsend,
1998). Atau suatu keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan bahkan
sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya, pasien mungkin
merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang
berarti dan tidak mampu berinteraksi dengan orang lain (Budi Anna Keliat, 2006).
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain,
menghindari hubungan dengan orang lain (Pawlin, 1993 dikutip Budi Kelliat, 2001).
Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predisposisi terjadinya
perilaku isolasi sosial. (Budi Anna Kelliat, 2006).
2. Etiologi
1. Faktor Predisposisi
Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah :
a. Faktor Perkembangan
Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu dengan
sukses, karena apbila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi, akan
menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama
yang memberikan pwngalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan
orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian, dan kehangatan dari
ibu/pengasuh pada bayi bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat
menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa ketidakpercayaan tersebut
dapaat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun lingkungan
di kemudian hari. Komunikasi yang hangat sangaat penting dalam masa ini, agar
anak tidak merasa diperlakukan sebagai objek
Menurut Purba, dkk (2008) tahap-tahap perkembangan individu dalam
berhubungan terdiri dari :
1) Masa Bayi
Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan
biologis maupun psikologisnya. Konsistensi hubungan antara ibu dan anak,
akan menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang mendasar. Hal ini sangat
penting karena akan mempengaruhi hubungannya dengan lingkungan di
kemudian hari. Bayi yang mengalami hambatan dalam mengembangkan rasa
percaya pada masa ini akan mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan
orang lain pada masa berikutnya.
2) Masa Kanak-Kanak
Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri, mulai
mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai membina hubungan dengan
teman-temannya. Konflik terjadi apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu
dikontrol, hal ini dapat membuat anak frustasi. Kasih sayang yang tulus,
aturan yang konsisten dan adanya komunikasi yang terbuka dalam keluarga
dapat menstimulus anak tumbuh menjadi individu yang interdependen. Orang
tua harus dapat memberikan pengarahan terhadap tingkah laku yang diadopsi
dari dirinya, maupun sistem nilai yang harus diterapkan pada anak, karena
pada saat ini anak mulai masuk sekolah diman ia harus belajar cara
berhubungan, berkompetensi dan berkompromi dengan orang lain.
3) Masa Praremaja dan Remaja
Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang intim dengan teman
sejenis, yang mana hubungan akan mempengaruhi indivisu untuk mengenal
dan mempelajari perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Selanjutnya
hubungan intim dengan teman sejenis akan berkembang menjadi hubungan
intim dengan lawan jenis. Pada masa ini hubungan individu dengan kelompok
maupun teman lebih berarti daripada hubungannya dengan orang tua. Konflik
akan terjadi apabila remaja tidak dapat mempertahankan keseimbangan
hubungan tersebit, yang seringkali menimbulkan perasaan tertekan maupun
tergantung pada remaja.
4) Masa Dewasa Muda
Individu meningkatkan kemandiriannya serta mempertahankan hubungan
interdependen antara teman sebaya maupun orang tua. Kematangan ditandai
dengan kemampuan mengekspresikan perasaan pada orang lain dan menerima
perasaan orang lain serta peka terhadap kebutuhan orang lain. Individu siap
untuk membentuk suatu kehidupan baru dengan menikah dan mempunyai
pekerjaan. Karakteristik hubungan interpersonal pada dewasa muda adalah
saling memberi dan menerima (mutuality).
5) Masa Dewasa Tengah
Individu mulai terpisahdengan anak-anaknya, ketergantungan anak-anak
terhadap dirinya menurun. Kesempatan ini dapat digunakan individu untuk
mengembangkan aktivitas baru yang dapat meningkatkan pertumbuhan diri.
Kebahagiaan akan dapat diperoleh dengan tetap mempertahankan hubungan
yang interdependen antara orang tua dan anak.
6) Masa Dewasa Akhir
Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan keadaan fisis,
kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman, maupun pekerjaan atau peran.
Dengan adanya kehilangan tersebut ketergantungan pada orang lain akan
meningkat, namun kemandirian yang masih dimiliki harus dapat
dipertahankan.
b. Faktor Komunikasi Dalam Keluarga
Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk
mengembangkan gangguan tingkah laku.
1) Sikap bermusuhan/hostilitas
2) Sikap mengancam, merendahkan, dan menjelek-jelekkan anak
3) Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk
mengungkapkan pendapatnya
4) Kurang kehangtan, kurang memperhatikak ketertarikan pada pmbicaraan anak,
hubungan yang kaku antara anggota keluarga, kurang tegur sapa, komunikasi
kurang terbuka, terutama dalam pemecahan masalah tidak diselesaikan secara
terbuka dengan musyawarah
5) Ekspresi emosi yang tinggi
6) Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan yang
membuat bingung dan kecemasan meningkat)
c. Faktor Sosial Budaya
Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupkan faktor pendukung
terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh karena norma-
norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga seperti anggota tidak produktif
diasingkan dari lingkungan sosial.
d. Faktor Biologis
Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden tertinggi
skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarga yang menderita
skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada kembar monozigot apabila salah
diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi kembar dizigot
petsentasenya 8%. Kelainan pada struktur otak seperti atropi, pembesaran
ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan struktur limbik,
diduga dapat menyebabkan skizofrenia.
2. Faktor Presipitasi
Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal
maupun eksternal, meliputi :
a. Stressor Sosial Budaya
Stressor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya
penurunan stabilitas keluarga seperti : perceraian, berpisah dengan orang yang
dicintai kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena sitinggal jauh,
dirawat dirumah sakit atau penjara.
b. Stressor Giokimic
Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta traktus saraf
dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.
c. Stressor Biologic dan Lingkungan Sosial
Beberapa penelitian membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi
akibat interaksi antara individu, lingkungan, maupn biologis.
d. Stressor Psikologis
Kecemasan yang tertinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan
individu untuk berhubungan dengan orang lain. Ego pada klien psikotik
mempunyai kemampuan terbatas untuk mengatsi stress.
Rentang Respon Sosial :
RESPON ADAPTIF  Merasa sendiri RESPON
(loneliness) MALADAPTIF
 Menyendiri
 Menarik diri
 Otonomi  Manipulasi
 Tergantung
 Bekerjasama  Implisive
(dependen)
(mutualisme)  Narcisisisme
 Saling
keterganungan

Keterangan rentang respons:


1) Respons adaptif adalah respons yang diterima oleh norma sosial dan kultural dimana
individu tersebut menjelaskan masalah dalam batas normal. Adapun respons adaptif
tersebut:
a) Menyendiri
Respons yang dibutuhkan untuk menentukan apa yang telah dilakukan
dilingkungan sosialnya dan merupakan suatu cara mengawasi diri dan
menentukan langkah berikutnya.
b) Otonomi
Suatu kemampuan individu untuk menentukan dan menyampaikan ide-ide
individu.
c) Kebersamaan
Suatu keadaan dalam hubungan interpersonal dimana individu tersebut mampu
untuk memberi dan menerima.
d) Saling Ketergantungan
Saling ketergantungan individu dengan orang lain dalam hubungan interpersonal.
2) Respon maladatif adalah respon yang dilakukan individu dalam menyelesaikan
masalah yang menyimpang dari norma–norma sosial dan kebudayaan suatu tempat.
Karakteristik dari perilaku maladatif tersebut adalah sebagai berikut:
a) Kesepian
Keadaan dimana seseorang menemukan kesulitan dalam membina hubungan
secara terbuka kepada orang lain.
b) Menarik diri
Gangguan yang terjadi apabila seseorang memutuskan untuk tidak berhubungan
dengan orang lain untuk mencari ketenangan sementara waktu.
c) Ketergantungan
Individu gagal mengembangkan rasa percaya diri dan kemampuan yang dimiliki.
d) Manipulasi
Orang lain diperlakukan seperti objek, hubungan terpusat pada masalah
pengendalian, berorientasi pada diri sendiri atau pada tujuan, bukan berorientasi
pada orang lain.
e) Impulsif
Tidak mampu merencanakan sesuatu, tidak mampu belajar dari pengalaman,
penilaian yang buruk, tidak dapat diandalkan.
f) Narkisisme
Harga diri yang rapuh secara terus-menerus berusaha mendapatkan penghargaan
dan pujian, sikap egoisentris, pencemburuan, marah jika orang lain tidak
mendukung.
3. Manifestasi Klinis
1. Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
2. Menghindar dari orang lain (menyendiri)
3. Klien tampak memisahkan diri dari orang lain misalnya pada saat makan
4. Tidak merawat dan memperhatikan kebersihan diri
5. Komunikasi kurang / tidak ada
6. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain / perawat
7. Tidak ada kontak mata : klien lebih sering menunduk
8. Mengurung diri di kamar / tempat terpisah, klien kurang dalam mobilitas
9. Menolak berhubungan dengan orang lain
10. Tidak melakukan kegiatan sehari-hari, artinya perawatan diri dan kegiatan
rumah tangga sehari-hari tidak dilakukan
Menurut Towsend M.C (1998:192-193) dan Carpenito,L.J. (1998:381)
Isolasi sosial : menarik diri sering ditemukan adanya tanda dan gejala sebagai
berikut : kurang spontan, apatis, ekspresi wajah tidak berseri, tidak
memperhatikan kebersihan diri, komunikasi verbal kurang, menyendiri, tidak
peduli lingkungan, asupan makanan terganggu, retensi urine dan feses, aktivitas
menurun, posisi baring seperti fetus, menolak berhubungan dengan orang lain.
Menurut Yosep (2009)tanda dan gejala klien isolasi sosial bisa dilihat dari
dua cara yaitu secara objektif dan subjektif. Berikut ini tanda dan gejala klien
dengan isolasi sosial:

1) Gejala subjektif
a. Klien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain.
b. Klien merasa tidak aman berada dengan orang lain.
c. Respons verbal kurang dan sangat singkat.
d. Klien mengatakan hubungan yang tidak berarti dengan orang lain.
e. Klien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu.
f. Klien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan.
g. Klien merasa tidak berguna.
2) Gejala objektif
a. Klien banyak diam dan tidak mau bicara.
b. Tidak mengikuti kegiatan.
c. Klien berdiam diri di kamar.
d. Klien menyendiri dan tidak mau berinteraksi dengan orang yang terdekat.
e. Klien tampak sedih, ekspresi datar dan dangkal.
f. Kontak mata kurang.
g. Kurang spontan.
h. Apatis
i. Ekspresi wajah kurang berseri.
j. Mengisolasi diri
k. Tidak atau kurang sadar terhadap lingkungan sekitar.
l. Aktivitas menurun.
Perilaku ini biasanya disebabkan karena seseorang menilai dirinya
rendah, segera timbul perasaan malu untuk berinteraksi dengan orang lain.
Bila tidak dilakukan intervensi lebih lanjut, maka akan menyebabkan
perubahan persepsi sensori: halusinasi dan resiko mencederai diri, orang lain,
bahkan lingkungan (Herman Ade, 2011).

4. Mekanisme koping
Digunakan klien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan
suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Kecemasan koping yang sering
digunakan adalah regresi, represi dan isolasi. Sedangkan contoh sumber koping
yang dapat digunakan misalnya keterlibatan dalam hubungan yang luas dalam
keluarga dan teman, hubungan dengan hewan peliharaan, menggunakan
kreativitas untuk mengekspresikan stress 8 interpersonal seperti kesenian, musik,
atau tulisan (Stuart and Sundeen, 1998:349)
5. Komplikasi
Klien dengan isolasi sosial semakin tenggelam dalam perjalanan dan tingkah laku
masa lalu primitif antara lain pembicaraan yang autistik dan tingkah laku
yang tidak sesuai dengan kenyataan, sehingga berakibat lanjut menjadi resiko
gangguan sensori persepsi: halusinasi, mencederai diri sendiri, orang lain
serta lingkungan dan penurunan aktifitas sehingga dapat menyebabkan defisit
perawatan diri (Damaiyanti, 2012).

6. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat diberikan kepada klien dengan isolasi sosial antara
lain pendekatan farmakologi, psikososial, terapi aktivitas, terapi okupasi,
rehabilitasi, dan program intervensi keluarga (Yusuf, 2019).
1) Terapi Farmakologi
a. Chlorpromazine (CPZ) Indikasi: Untuk Syndrome Psikosis yaitu berdaya
berat dalam kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya nilai
norma sosial dan titik diri terganggu. Berdaya berat dalam fungsi-fungsi
mental: waham, halusinasi, gangguan perasaan dan perilaku yang aneh atau
tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan seharihari, tidak
mampu bekerja, hubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin. Efek
samping: sedasi, gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/ parasimpatik,
mulut kering, kesulitan dalam miksi dan defikasi, hidung tersumbat, mata
kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama jantung), gangguan
endokrin, metabolik, biasanya untuk pemakaian jangka panjang.
b. Haloperidol (HLP) Indikasi: Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita
dalam fungsi netral serta dalam kehidupan sehari-hari. Efek samping: Sedasi
dan inhibisi prikomotor, gangguan otonomik.
c. Trihexy Phenidyl (THP) Indikasi: Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk
paksa ersepalitis dan idiopatik, sindrom Parkinson, akibat obat misalnya
reserpine dan fenotiazine. Efek samping: Sedasi dan inhibisi psikomotor
gangguan otonomik.
2) Terapi Psikososial
Membutuhkan waktu yang cukup lama dan merupakan bagian penting dalam
proses terapeutik, upaya dalam psikoterapi ini meliputi: memberikan rasa aman
dan tenang, menciptakan lingkungan yang terapeutik, bersifat empati, menerima
pasien apa adanya, memotivasi pasien untuk dapat mengungkapkan perasaannya
secara verbal, bersikap ramah, sopan, dan jujur kepada pasien (Videbeck, 2012).
3) Terapi Individu
Terapi individual adalah metode yang menimbulkan perubahan pada individu
dengan cara mengkaji perasaan, sikap, cara pikir, dan perilaku-perilakunya.
Terapi ini meliputi hubungan satu-satu antara ahli terapi dan klien (Videbeck,
2012). Terapi individu juga merupakan salah satu bentuk terapi yang dilakukan
secara individu oleh perawat kepada klien secara tatap muka perawat-klien
dengan cara yang terstruktur dan durasi waktu tertentu sesuai dengan tujuan yang
ingin dicapai (Zakiyah, 2018). Salah satu bentuk terapi individu yang bisa
diberikan oleh perawat kepada klien dengan isolasi sosial adalah pemberian
strategi pelaksanaan (SP). Dalam pemberian strategi pelaksanaan klien dengan
isolasi sosial hal yang paling penting perawat lakukan adalah berkomunikasi
dengan teknik terapeutik. Komunikasi terapeutik adalah suatu interaksi
interpersonal antara perawat dan klien, yang selama interaksi berlangsung,
perawat berfokus 14 pada kebutuhan khusus klien untuk meningkatkan
pertukaran informasi yang efektif antara perawat dan Klien (Videbeck, 2012).
Semakin baik komunikasi perawat, maka semakin bekualitas pula asuhan
keperawatan yang diberikan kepada klien karena komunikasi yang baik dapat
membina hubungan saling percaya antara perawat dengan klien, perawat yang
memiliki keterampilan dalam berkomunikasi secara terapeutik tidak saja mudah
menjalin hubungan saling percaya dengan klien, tapi juga dapat menumbuhkan
sikap empati dan caring, mencegah terjadi masalah lainnya, memberikan
kepuasan profesional dalam pelayanan keperawatan serta memudahan dalam
mencapai tujuan intervensi keperawatan (Sarfika, 2018)
4) Terapi Aktivitas Kelompok Menurut Keliat (2015)
Terapi aktivitas kelompok sosialisasi merupakan suatu rangkaian kegiatan
kelompok dimana klien dengan masalah isolasi sosial akan dibantu untuk
melakukan sosialisasi dengan individu yang ada di sekitarnya. Sosialisasi dapat
pula dilakukan secara bertahap dari interpersonal, kelompok, dan massa).
Aktivitas yang dilakukan berupa latihan sosialisasi dalam kelompok, dan akan
dilakukan dalam 7 sesi dengan tujuan:
a. Sesi 1 : Klien mampu memperkenalkan diri
b. Sesi 2 : Klien mampu berkenalan dengan anggota kelompok
c. Sesi 3 :Klien mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok
d. Sesi 4 : Klien mampu menyampaikan dan membicarakan topik
percakapan
e. Sesi 5 : Klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah
pribadi pada orang lain
f. Sesi 6 : Klien mampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi
kelompok
g. Sesi 7 : Klien mampu menyampaikan pendapat tentang mamfaat
kegiatan TAKS yang telah dilakukan.
5) Terapi Okupasi
Terapi okupasi yaitu Suatu ilmu dan seni untuk mengarahkan partisipasi
seseorang dalam melaksanakan aktifitas atau tugas yang sengaja dipilih dengan
maksud untuk memperbaiki, memperkuat, meningkatkan harga diri seseorang,
dan penyesuaian diri dengan lingkungan. Contoh terapi okupasi yang dapat
dilakukan di rumah sakit adalah terapi berkebun, kelas bernyanyi, dan terapi
membuat kerajinan tangan yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan klien
dalam keterampilan dan bersosialisasi (Elisia, 2014).
6) Terapi Psikoreligius
Terapi keagamaan pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata juga banyak
manfaat. Misalnya angkat rawat inap pada klien skizofrenia yang mengikuti
kegiatan keagamaan lebih rendah bila dibandingkan dengan mereka yang tidak
mengikutinya (Dadang, 1999 dalam Yosep 2009). Menurut Zakiah Darajat,
perasaan berdosa merupakan faktor penyebab gangguan jiwa yang berkaitan
dengan penyakit-penyakit psikosomatik. Hal ini diakibatkan karena seseorang
merasa melakukan dosa tidak bisa terlepas dari perasaan tersebut (Yosep, 2009).
Penerapan psikoreligius terapi di rumah sakit jiwa menurut Yosep (2009)
meliputi:
a. Perawat jiwa harus dibekali pengetahuan yang cukup tentang agamanya/
kolaborasi dengan agamawan atau rohaniawan.
b. Psikoreligius tidak diarahkan untuk mengubah agama Kliennya tetapi
menggali sumber koping.
c. Memadukan milieu therapy yang religius; kaligrafi, ayat-ayat, fasilitas
ibadah, buku-buku, music/lagu keagamaan.
d. Dalam terapi aktifitas diajarkan kembali cara-cara ibadah terutama untuk
pasien rehabilitasi.
e. Terapi kelompok dengan tema membahas akhlak, etika, hakikat hidup
didunia, dan sebagainya. Untuk klien dengan isolasi sosial terapi
psikoreligius dapat bermanfaat dari aspek autosugesti yang dimana dalam
setiap kegiatan religius seperti sholat, dzkir, dan berdoa berisi ucapan-
ucapan baik yang dapat memberi sugesti positif kepada diri klien sehingga
muncul rasa tenang dan yakin terhadap diri sendiri (Thoules, 1992 dalam
Yosep, 2010). Menurut Djamaludin Ancok (1989) dan Ustman Najati
(1985) dalam Yosep (2009) aspek kebersamaan dalam shalat berjamaah
juga mempunyai nilai terapeutik, dapat menghindarkan seseorang dari
rasa terisolir, terpencil dan tidak diterima.
7) Rehabilitasi Program
Rehabilitasi biasanya diberikan di bagian lain rumah sakit yang dikhususkan
untuk rehabilitasi. Terdapat banyak kegiatan, antaranya terapi okupasional yang
meliputi kegiatan membuat kerajinan tangan, melukis, menyanyi, dan lain-lain.
Pada umumnya program rehabilitasi ini berlangsung 3-6 bulan (Yusuf, 2019).
8) Program Intervensi Keluarga
Intervensi keluarga memiliki banyak variasi, namun pada umumnya intervensi
yang dilakukan difokuskan pada aspek praktis dari kehidupan sehari-hari,
memberikan pendidikan kesehatan pada keluarga tentang isolasi sosial,
mengajarkan bagaimana cara berhubungan yang baik kepada anggota keluarga
yang memiliki masalah kejiwaan (Yusuf, 2019).
7. Masalah Keperawatan
1) Isolasi sosial : menarik diri
2) Perubahan sensori persepsi : halusinasi
3) Kekerasan, resiko tinggi
4) Gangguan konsep diri : harga diri rendah
5) Motivasi perawatan diri kurang
6) Defisit perawatan diri
7) Koping keluarga inefektif : ketidak mampuan keluarga untuk merawat klien di
rumah (Keliat,B.A,2005:201).

POHON MASALAH

ASUHAN KEPERAWATAN
1. Diagnose keperawatan

Menurut Sutejo (2017) diagnosis keperawatan dirumuskan berdasarkan tanda dan


gejala isolasi sosial yang ditemukan. Jika hasil pengkajian menunjukkan tanda
dan gejala isolasi sosial, maka diagnosis keperawatan yang ditegakkan adalah:
1) Isolasi sosial
2) Gangguan konsep diri : Harga diri rendah
3) Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi

Keliat, B. A. (2005) merumuskan diagnosa keperawatan pada klien dengan


gangguan isolasi sosial :

menarik diri, sebagai berikut :


1) Isolasi sosial  
2) Gangguan konsep diri : harga diri rendah
3) Perubahan persepsi sensori : halusinasi d. Koping individu tidak efektif 
4) Defisit perawatan diri
5) Resiko tinggi mencederai diri, orang lain dan lingkungan

2. Perencanaan Keperawatan

Menurut (Workshop Standar Asuhan & Bimbingan Keperawatan Jiwa RSJ   Prof. Dr.
Soeroyo Magelang, 2007 )

strategi pelaksanaan tindakan keperawatan menggunakan SP, yaitu :

1) Diagnosa
1. Isolasi Sosial Tujuan: Dapat berinteraksi dengan orang lain secara bertahap I.
Pasien SP 1 (pasien) :
- Membina hubungan saling percaya
- Mengidentifikasi penyebab isolasi sosia pasien.
- Berdiskusi dengan pasien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang
lain.
- Berdiskusi dengan pasien tentang kerugian tidak berinteraksi dengan
orang lain.
- Mengajarkan pasien cara berkenalan dengan satu orang.
- Menganjurkan pasien memasukan kegiatan latihan berbincang-bincang
dengan orang lain dalam kegiatan harian.
2. SP 2 (pasien) :
- Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
- Memberikan kesempatan kepada pasien mempraktekan cara berkenalan
dengan dua orang.
- Membantu pasien memasukan kegiatan berbincang-bincang dengan orang
lain sebagai salah satu kegiatan harian.
3. SP 3 (pasien) :
- Mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien.
- Memberikan kesempatan kepada pasien berkenalan dengan dua orang atau
lebih.
- Menganjurkan pasien memasukan dalam jadwal kegiatan harian.
2) Keluarga
1. SP 1 (keluarga) :
- Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien.
- Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala isolasi sosial yang dialami
pasien  beserta proses terjadinya.
- Menjelaskan cara-cara merawat pasien isolasi sosial
2. SP2 (keluarga) :
Melatih keluarga mempraktekan cara merawat pasien dengan isolasi sosial.
- Melatih keluarga cara merawat langsung kepada pasien isolasi sosial
3. SP 3 (keluarga) :
- Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum
obat (discharge planning).
- Menjelaskan follow up pasien setelah pulang.
-
2. Diagnosa 2.
Perubahan konsep diri : harga diri rendah
Tujuan: Pasien mempunyai konsep diri yang positif  I Pasien
1) SP 1 (Pasien)
- Mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki pasien.
- Membantu pasien menilai kemampuan pasien yang masih dapat
digunakan.
- Membantu pasien memilih kegiatan yang akan dilatih sesuai dengan
kemampuan pasien.
- Melatih pasien kegiatan yang dipilih sesuai kemampuan.
- Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian.
2) SP 2 (Pasien)
- Memvalidasi masalah dan latihan sebelumnya.
- Melatih kegiatan kedua (atau selanjutnya) yang dipilih sesuai kemampuan
- Membimbing pasien memasukkan dalam jadwal kegiatan harian

II. Keluarga

1) SP 1 (Keluarga)
- Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat pasien
- Menjelaskan pengertian, tanda dan gejala harga diri rendah yang dialami
pasien beserta proses terjadinya
- Menjelaskan cara-cara merawat pasien harga diri rendah
2) SP 2 (Keluarga)
- Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat pasien dengan harga diri
rendah
- Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada pasien harga
diri rendah
3) SP 3 (Keluarga)
- Membantu keluarga membuat jadwal aktivitas di rumah termasuk minum
obat ( Discharge planning )
- Menjelaskan follow up pasien setelah pulang asalah secara baik

Anda mungkin juga menyukai