OLEH:
ISMAIL ARIPIN
61111004
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang
mana atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan tugas presentasi referat
pengetahuan serta pengalaman penulis, penulis menyadari bahwa ini tidak luput dari
kekurangan. Untuk itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.Aprilina SpAn
yang telah membimbing serta berbagai pihak yang telah membantu dalam penyelesaian
Penulis
2
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR…………………………………………………………… 2
DAFTAR ISI……………………………………………………………………... 3
DAFTAR GAMBAR…………………………………………………………….. 4
DAFTAR TABEL………………………………………………………………... 5
BAB I. PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang…………………………………………………….. 6
DAFTAR PUSTAKA
3
DAFTAR GAMBAR
Gamba
r
Gamba
r
Gamba
4
r
5
BAB I
PENDAHULUAN
I. LATAR BELAKANG
Sindrom gangguan pernapasan akut (Acute respiratory distress syndrome
-ARDS) merupakan manifestasi cedera akut paru-paru, biasanya akibat sepsis,
trauma, dan infeksi paru berat. Secara klinis, hal ini ditandai dengan dyspnea,
hipoksemia, fungsi paru-paru yang menurun, dan infiltrat difus bilateral pada
radiografi dada. Oksigenasi yang adekuat, pengistirahatan paru-paru, dan
perawatan suportif adalah dasar-dasar terapi. Pengelolaan sindrom gangguan
pernapasan akut sering membutuhkan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanik.
Pemberian volume tidal yang rendah dan tekanan ventilator yang rendah dianjurkan
untuk menghindari cedera akibat ventilator. Koreksi tepat waktu dari kondisi klinis
sangat penting untuk mencegah cedera lebih lanjut. Percobaan eksperimental
menunjukkan penggunaan berbagai obat-obatan yang diberikan sesuai patofisiologi
belum berkhasiat secara klinis. Komplikasi seperti pneumotoraks, efusi pleura, dan
6
pneumonia fokal harus diidentifikasi dan segera diobati. Selama dekade terakhir,
angka kematian telah menurun dari lebih dari 50% menjadi 32-45%. Kematian
biasanya terjadi akibat kegagalan organ multisystem daripada kegagalan
pernapasan saja.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
Gambar 1. Sistem Pernapasan
Saluran pernapasan dari hidung sampai bronkiolus dilapisi oleh membran
mukosa bersilia. Ketika udara masuk melalui rongga hidung, maka udara disaring,
dihangatkan, dan dilembabkan. Ketiga proses ini merupakan fungsi utama dari
mukosa respirasi yang terdiri dari sel epitel bertingkat, bersilia, dan bersel goblet.3
Permukaan epitel diliputi oleh lapisan mukus yang disekresi oleh sel goblet
dan kelenjar mukosa. Partikel debu yang kasar disaring oleh rambut-rambut yang
terdapat dalam lubang hidung, sedangkan partikel yang halus akan terjerat dalam
lapisan mukus. Gerakan silia mendorong lapisan mukus ke bagian posterior di
dalam rongga hidung dan ke bagian superior di dalam sistem pernapasan bagian
bawah menuju ke faring. Dari sini partikel halus akan tertelan atau dibatukkan
keluar. Lapisan mukus memberikan air untuk kelembaban, dan banyaknya
jaringan pembuluh darah di bawahnya akan menyuplai panas ke udara inspirasi.
Jadi udara inspirasi telah disesuaikan sehingga ketika mencapai faring hampir
bebas debu, bersuhu mendekati temperatur tubuh, dan kelembabannya mencapai
100%.3
8
Udara akan mengalir dari faring menuju laring. Laring terdiri dari rangkaian
cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-otot dan mengandung pita suara.
Laring juga mempunyai fungsi batuk untuk membantu menghalau benda-benda
asing dan sekret keluar dari saluran pernapasan bagian bawah. Di antara pita suara
terdapat ruang berbentuk segitiga (glotis) yang bermuara ke dalam trakea, dan
merupakan pemisah antara saluran napas bagian atas dan bawah. Trakea disokong
oleh cincin tulang rawan yang berbentuk seperti sepatu kuda. Struktur trakea dan
bronkus dianalogikan sebagai pohon trakeobronkial. Tempat trakea bercabang
menjadi bronkus utama kiri dan kanan disebut karina. Karina memiliki banyak
saraf dan dapat menyebabkan bronkospasme serta batuk yang berat jika
dirangsang.2
Bronkus utama kiri dan kanan tidak simetris. Bronkus utama kanan lebih
pendek dan lebar serta merupakan kelanjutan dari trakea yang arahnya hampir
vertikal. Sebaliknya, bronkus utama kiri lebih panjang dan sempit serta
merupakan kelanjutan dari trakea dengan sudut yang lebih tajam. Oleh sebab itu,
benda asing yang terhirup lebih sering tersangkut pada percabangan bronkus
kanan karena arahnya yang vertikal. Cabang utama bronkus kanan dan kiri akan
membentuk bronkus lobaris dan kemudian bronkus segmentalis. Percabangan ini
berjalan terus menjadi bronkus yang ukurannya lebih kecil sampai akhirnya
membentuk bronkiolus terminalis, yaitu saluran udara terkecil yang tidak
mengandung alveolus. Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang
merupakan unit fungsional paru sebagai temapat pertukaran udara. Asinus terdiri
dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, dan sakus alveolaris terminalis
yang merupakan struktur akhir paru. Alveolus merupakan bagian dari struktur
paru-paru yang sangat fungsional. Alveolus merupakan kantong bundar
berdiameter 0.2-0.5 mm.2
Paru-paru merupakan organ yang luas, berbentuk konkaf pada bagian
basalnya pada diafragma, serta berbentuk tumpul pada bagian apeksnya. Paru-
paru merupakan muara dari bronkus, pembuluh darah, pembuluh limfe, dan
nervus. Paru-paru kiri berukuran lebih kecil daripada yang kanan akibat
kemiringan jantung ke sisi kiri. Paru-paru kiri memiliki dua lobus, yaitu lobus
superior dan lobus inferior. Kedua lobus ini dipisahkan oleh fisura obliqua.
Sedangkan paru-paru kanan memiliki tiga lobus, yaitu lobus superior, lobus
9
medius, dan lobus inferior. Ketiga lobus tersebut dipisahkan oleh fisura obliqua
dan fisura horizontalis.2
Pleura merupakan suatu lapisan membran serosa yang menutupi paru-paru.
Pleura ada dua macam, yaitu pleura viseralis yang menjulur ke dalam fisura, serta
pleura parietalis yang melekat di mediastinum dan permukaan superior dari
diafragma. Di antara pleura parietalis dan pleura viseralis terdapat suatu ruangan
yang disebut pleural cavity, yang diisi oleh cairan pelumas dengan beberapa
fungsi, contohnya sebagai lubrikan. Cairan pleural bersifat licin sehingga dapat
mengurangi gesekan pada saat paru-paru mengembang. Selain itu, cairan pleural
juga akan menciptakan suatu gradien tekanan di dalam paru-paru.3
TRAKTUS RESPIRATORIUS
10
pada hidung, rongga hidung, sinus, faring, laring, dan trakea bagian atas.
Sedangkan saluran napas bagian bawah terdiri dari bagian-bagian yang
ditemukan dalam rongga dada: trakea bagian bawah dan paru-paru sendiri, yang
meliputi bronkial dan alveoli. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 1.3
Paru kiri memiliki dua lobus, dan paru kanan memiliki tiga lobus. Jalan
napas, pembuluh darah, dan limfatik memasuki setiap bagian paru pada akar atau
hilus. Paru dilapisi oleh suatu membran tipis yaitu pleura viseralis, yang
dilanjutkan oleh pleura parietalis yang melapisi permukaan bagian dalam tulang
rangka thoraks. Rongga tipis antarpleura berisi cairan pleura sebagai pelumas.4
Sinus
Sinus (paranasal sinus) adalah ruang udara yang terletak pada tulang
maksilaris, frontal, ethmoid, dan sphenoid dalam tulang tengkorak (Gambar 2).
Ruang-ruang sinus ini terbuka ke dalam rongga hidung dan dilapisi dengan
membran mukosa yang berkesinambungan dengan dinding rongga hidung.
Akibatnya, lendir-lendir ada saluran dari sinus ke rongga hidung. Selaput yang
meradang dan bengkak karena hidung infeksi atau reaksi alergi (sinusitis) dapat
blok ini drainase tekanan, peningkatan dalam sinus dan menyebabkan sakit
kepala. Sinus mengurangi berat tengkorak. Sinus juga digunakan sebagai ruang
resonansi yang mempengaruhi kualitas suara.4
11
Gambar 3. Saluran Napas Bagian Atas
Faring
Faring adalah saluran berbentuk lorong yang menghubungkan hidung dan
rongga mulut ke laring. Akibatnya, biasanya disebut sebagai "tenggorokan,"
Faring memiliki tiga bagian: nasofaring, dimana rongga hidung posterior terbuka
ke langit-langit lunak (palatum mole), yang orofaring, dimana bergabung dengan
rongga mulut dengan faring; dan laryngofaring, yang membuka ke pangkal
tenggorokan (laring). Palatum mole memiliki ekstensi lunak yang disebut uvula
yang dapat dilihat proyeksi ke orofaring tersebut. Amandel (tonsila palatina)
membentuk cincin pelindung di persimpangan rongga mulut dan faring. Tonsila
palatina menjadi jaringan limfatik, mengandung limfosit yang melindungi
terhadap invasi patogen. Di sini, kedua sel B dan sel T yang siap untuk
menanggapi untuk antigen yang kemudian dapat menyerang jaringan internal dan
cairan. Dengan cara ini, saluran pernapasan membantu kekebalan tubuh sistem
dalam mempertahankan homeostasis. Di tenggorokan, saluran udara dan saluran
makanan bersilangan karena laring, yang menerima udara, anterior dari
kerongkongan (esofagus), yang menerima makanan. Laring terletak di bagian atas
trakea. Laring dan trakea biasanya terbuka, sehingga udara untuk lewat, tapi
kerongkongan biasanya tertutup dan hanya terbuka ketika seseorang menelan.4
Laring
12
Laring ini adalah pembesaran di jalan napas superior dari trakea dan inferior
dari faring. Laring adalah sebuah jalan untuk udara masuk dan keluar dari trakea
dan mencegah benda asing masuk ke trakea. Laring juga rumah pita suara. Laring
yang terdiri dari kerangka otot dan terikat dengan jaringan tulang rawan elastis.
Terbesar dari kartilago adalah tiroid, krikoid, dan tulang rawan epiglotis (Gambar
4).4
Saat makanan ditelan, laring bergerak ke atas terhadap epiglotis (katup
tenggorok), sebuah flap jaringan yang mencegah makanan dari melewati celah
suara ke dalam laring. Dapat dideteksi gerakan dengan menempatkan tangan
dengan lembut pada pangkal tenggorokan dan menelan.4
Trakea
Trakea (tenggorokan) adalah tabung fleksibel sekitar 2,5 cm dengan
diameter dan 12,5 cm panjang. Memanjang ke bawah anterior kerongkongan dan
masuk ke rongga dada, di mana terbagi menjadi bronkus kiri dan bronkus kanan
(Gambar 4). Mukosa dari trakea diisi dengan silia yang mengandung banyak sel
goblet. Membran ini terus menyaring udara yang masuk dan untuk partikel yang
terjebak bergerak ke faring dimana lendir dapat ditelan. 5
13
Bronkus kanan dan bronkus kiri adalah cabang-cabang dari trakea yang
masuk ke paru-paru. Strukturnya adalah seperti yang trakea, dengan tulang rawan
berbentuk C dan epitel silia. Dalam paru-paru, masing-masing bercabang menuju
ke masing-masing lobus paru-paru (tiga kanan, dua kiri).3
Berturut-turut divisi dari cabang-cabang dari trakea (Gambar 4 dan 5) ke
mikroskopis kantung-kantung udara (alveoli) berikut:4
1. Bronkus utama (bronchus principalis) kiri dan kanan.
2. Bronkus sekunder, atau bronchus lobaris. Tiga cabang dari bronchus
principalis kanan, dan dua cabang dari kiri.
3. Bronkus tersier, atau bronchus segmentalis. Masing-masing cabang memasok
sebagian dari paru-paru disebut bronkopulmonalis segmen. Biasanya ada
sepuluh di segmen paru kanan dan delapan di segemen paru kiri.
4. Intralobular bronkiolus (intralobular bronchioles). Cabang kecil ini dari
bronchus segementalis yang masuk ke unit dasar paru, yaitu lobulus.
14
6. Bronchiolus respiratorius. Dua atau lebih bronchiolus respiratorius cabang dari
setiap bronchiolus terminalis. Pendek dan sekitar 0,5 milimeter dengan
diameter, ini struktur disebut "pernapasan" karena beberapa kantung udara dari
sisi, membuat dapat mengambil bagian dalam pertukaran gas.
7. Duktus alveolar (ductus alveolar). Panjang dua sampai sepuluh, merupakan
cabang dari bronchiolus respiratorius.
8. Kantung alveolar (sacus alveolar). kantung alveolar yang berdinding tipis, erat
dikemas dari duktus alveolar.
9. Alveoli. Alveoli yang berdinding tipis, mikroskopis kantung udara yang
terbuka ke kantung alveolar. Dengan demikian, udara dapat berdifusi bebas
dari duktus alveolar, melalui kantung alveolar dan masuk ke alveoli. 5
Paru-paru
15
Paru-paru berjumlah 2 (berpasangan), merupakan organ berbentuk kerucut
yang menempati rongga dada kecuali untuk mediastinum, daerah pusat yang
berisi bronkus utama, jantung, dan organ lainnya. Paru kanan memiliki tiga lobus
dan paru-paru kiri memiliki dua lobus, memungkinkan ruang untuk apeks hati.
Lobus kemudian dibagi menjadi lobulus, dan setiap lobulus memiliki bronkiolus
yang melayani banyak alveoli. Apeksnya (puncak) adalah bagian sempit superior
dari paru-paru, dan basis adalah bagian inferior yang luas kurva agar sesuai
dengan diafragma berbentuk kubah, otot yang memisahkan rongga dada dari
rongga perut. Lateral permukaan paru-paru mengikuti kontur tulang rusuk dalam
rongga dada.4
Setiap paru tertutup oleh lapisan ganda membran serosa disebut pleura.
Pleura viseralis melekat ke permukaan paru-paru, sedangkan pleura parietalis
yang melekat ke permukaan rongga toraks. Pleura ini menghasilkan cairan
pelumas serosa yang memungkinkan dua lapisan untuk bergeser terhadap satu
sama lain. Permukaan ketegangan adalah kecenderungan untuk molekul air untuk
berpegang teguh pada masing-masing lain (karena ikatan hidrogen antara
molekul) dan untuk membentuk sebuah tetesan. Tegangan permukaan memegang
dua lapisan pleura bersama-sama ketika paru-paru melakukan ekspirasi.4
Alveoli
Ada jutaan alveoli di masing-masing paru-paru, dan luas permukaan total
diperkirakan 700 sampai 800 kaki persegi.5 Setiap inhalasi, udara lewat melalui
bronkus serta cabang-cabangnya menuju alveoli. Sebuah kantung alveolar (sacus
alveolar) terdiri dari skuamosa epitel yang dikelilingi oleh kapiler darah (Gambar
6). Pertukaran gas terjadi antara udara dalam alveoli dan darah dalam kapiler.
Oksigen berdifusi melintasi alveolar dan dinding kapiler untuk masuk ke aliran
darah, sedangkan karbon dioksida berdifusi dari darah di dinding-dinding untuk
masuk ke alveoli. Alveoli harus tetap terbuka untuk menerima udara dihirup jika
gas pertukaran terjadi. Pertukaran gas terjadi di seluruh selaput selular yang
lembab namun tegangan permukaan air lapisan alveoli yang mampu menyebabkan
menutup. Alveoli dipenuhi dengan surfaktan, sebuah film dari lipoprotein yang
menurunkan tegangan permukaan dan mencegah dari penutupan.5
16
Gambar 7. Alveoli dan kapilernya
Traktus Respiratorius 4
Bagian Deskripsi Fungsi
Saluran napas bagian atas
Hidung Bagian dari wajah berpusat Menyediakan pintu masuk ke
di atas mulut dan di antara rongga hidung; bulu-bulunya mulai
kedua mata filter udara yang masuk
Rongga Rongga di belakang hidung Meneruskan udara ke faring;
Hidung Lapisan mukosanya memfilter,
menghangatkan, menyamakan suhu
dari udara yang masuk
Sinus Rongga-rongga dalam tulang Mengurangi berat tengkorak;
tengkorak berfungsi sebagai ruang resonansi
Faring Ruang posterior rongga Jalan untuk udara bergerak dari
mulut dan antara rongga rongga hidung ke tenggorokan dan
hidung dan laring makanan bergerak dari rongga
mulut ke kerongkongan
Laring Pembesaran di bagian atas Jalan untuk udara; mencegah benda
trakea asing dari memasuki trakea; tempat
pita suara
Saluran napas bagian bawah
Trakea Saluran fleksibel yang Jalan untuk udara; lapisan mukosa
menghubungkan laring lanjut memfilter udara
dengan bronkus
Bronkus Paduan saluran yang lebih Jalan untuk udara menuju paru-
rendah daripada trakea yang paru
masuk paru-paru
Bronkiolus Cabang saluran yang Jalan untuk udara menuju ke setiap
mengarah dari bronkus alveolus
17
menuju ke alveoli
Paru-paru Lembut, berbentuk kerucut Terdiri dari saluran udara, alveoli,
organ yang menempati pembuluh darah, jaringan ikat,
sebagian besar dalam rongga pembuluh limfatik, dan saraf pada
dada saluran pernafasan bagian bawah;
Pertukaran udara
Udara bergerak masuk dan keluar paru karena adanya selisih tekanan yang
terdapat antara atmosfer dan alveolus akibat kerja mekanik otot-otot. Diantaranya
itu perubahan tekanan intrapulmonar, tekanan intrapleural, dan perubahan volume
paru.5 Keluar masuknya udara pernapasan terjadi melalui 2 proses mekanik,
yaitu :5
1. Inspirasi : proses aktif dengan kontraksi otot-otot inspirasi untuk menaikkan
volume intratoraks, paru-paru ditarik dengan posisi yang lebih mengembang,
tekanan dalam saluran pernapasan menjadi negatif dan udara mengalir ke
dalam paru-paru.3
Inspirasi adalah fase aktif ventilasi karena ini adalah fase di mana
diafragma dan musculus intercostalis externus kontraksi (Gambar 7). Dalam
keadaan yang santai, diafragma berbentuk kubah; selama inspirasi dalam,
18
diafragma kontraksi dan mendatar (menurun). musculus intercostalis externus
kontraksi, dan tulang rusuk bergerak ke atas dan ke luar. Setelah kontraksi
diafragma dan musculus intercostalis externus, volume rongga dada akan
lebih besar daripada sebelumnya. Dengan meningkatnya volume toraks,
memperluas paru-paru. Sekarang udara tekanan dalam alveoli (disebut
tekanan intrapulmonari) menurun, menciptakan vakum parsial. Dengan kata
lain, tekanan alveolar sekarang kurang dari tekanan atmosfer (tekanan udara
luar paru-paru), dan udara secara alami akan mengalir dari luar tubuh ke
saluran pernapasan dan masuk ke alveoli.5
Penting untuk menyadari bahwa udara masuk ke dalam paru-paru
karena telah membuka; udara tidak memaksa paru-paru terbuka. Itulah
sebabnya mengapa terkadang dikatakan bahwa manusia bernapas dengan
tekanan negatif. Pembentukan vakum parsial dalam alveoli menyebabkan
udara masuk paru-paru. Sementara inspirasi adalah fase aktif bernapas, aliran
udara aktual ke alveoli bersifat pasif. 3
19
Gambar 8. Inspirasi
Inspirasi 3
1. Impuls saraf perjalanan pada saraf frenikus untuk serat otot di diafragma, dan
diafragma kontraksi
2. Diafragma bergerak ke bawah berbentuk kubah, rongga dada mengembang
20
3. Pada saat yang sama, musculus intercostalis externus kontraksi, meningkatkan dan
memperluas rusuk torakalis sehingga rongga lebih luas.
4. Penurunan tekanan intra-alveolar.
5. Tekanan atmosfer yang lebih besar di luar, membuat udara masuk ke saluran
pernapasan menuju alveoli.
6. Paru-paru terisi oleh udara.
2. Ekspirasi : proses pasif dimana elastisitas paru (elastic recoil) menarik dada
kembali ke posisi ekspirasi, tekanan recoil paru-paru dan dinding dada
seimbang, tekanan dalam saluran pernapasan menjadi sedikit positif sehingga
udara mengalir keluar dari paru-paru, dalam hal ini otot-otot pernapasan
berperan.6
Biasanya, ekspirasi adalah fase pasif dari ventilasi, dan tidak ada upaya
dibutuhkan untuk mewujudkannya. Selama ekspirasik, diafragma dan otot-otot
interkostal relaksasi. Oleh karena itu, diafragma membentuk kubah dan tulang
rusuk bergerak ke bawah (Gambar 8). Saat volume rongga toraks berkurang,
paru-paru bebas untuk mundur. Sekarang tekanan udara dalam alveoli
(tekanan intrapulmonari) meningkat di atas tekanan atmosfer udara secara
alami akan mengalir ke luar tubuh.6
Kehadiran surfaktan menurunkan tegangan permukaan dalam alveoli.
Surfaktan juga, sebagai pengerut paru-paru, tekanan antara dua lapisan pleura
menurun, dan ini cenderung membuat alveoli tetap terbuka. Pentingnya
tekanan intrapleural dikurangi ditunjukkan saat kecelakaan, yaitu udara
memasuki ruang intrapleural.6
Sementara inspirasi adalah fase aktif pernapasan, ekspirasi biasanya
pasif yaitu, diafragma dan musculus intercostalis externus relaksasi saat
berakhir. Namun, ketika bernapas lebih dalam dan / atau lebih cepat,
berakhirnya juga dapat aktif. Kontraksi musculus intercostalis internus dapat
memaksa tulang rusuk bergerak ke bawah dan ke dalam.3
21
Gambar 9.
Ekspirasi 4
1. Diafragma dan musculus intercostalis externus relaksasi.
2. Jaringan elastis paru-paru dan toraks kandang, yang yang membentang selama
inspirasi, tiba-tiba mengerut, dan tegangan permukaan dinding alveolar menurun
3. Jaringan sekitar paru-paru meningkatkan tekanan intra-alveolar.
4. Udara keluar dari paru-paru.
22
II. III DEFINISI
Definisi ARDS pertama kali dikemukakan oleh Asbaugh dkk (1967)
sebagai hipoksemia berat yang onsetnya akut, infiltrat bilateral yang
difus pada foto toraks dan penurunan compliance atau daya regang paru.8
Acute Lung Injury (ALI) dan ARDS didiagnosis ketika bermanifestasi
sebagai kegagalan pernafasan berbentuk hipoksemi akut, bukan karena
peningkatan tekanan kapiler paru . Bentuk yang lebih ringan dari ARDS
\
American European Concencus Conference Comittee(AECC) pada tahun
1994 merekomendasikan definisi ARDS, yaitu sekumpulan gejala dan tanda
yang terdiri dari empat komponen di bawah ini (dapat dilihat pada tabel 3).9
Tabel 3. Kriteria ARDS dan ALI menurut American European Consensus Conference
II. IV EPIDEMIOLOGI
Estimasi yang akurat tentang insiden ARDS terhalang oleh kurangnya
definisi yang seragam dan heterogenitas penyebab dan manifestasi klinis.
23
Perkiraan awal oleh Institut Kesehatan Nasional (NIH) di Amerika Serikat adalah
75 per 100.000 populasi. Studi terbaru melaporkan insiden lebih rendah 1,5-8,3
per 100,000.27-29 Namun, studi epidemiologi pertama yang menggunakan
definisi konsensus tahun 1994 melaporkan kejadian jauh lebih tinggi di
Skandinavia: 17,9 per 100.000 untuk ALI dan 13,5 per 100.000 untuk ARDS.10
II. V ETIOLOGI
Penyebab spesifik ARDS masih belum pasti, banyak faktor
penyebab yang dapat berperan pada gangguan ini menyebabkan ARDS
24
Gambar 10. Multiple Hit Model antara faktor predisposisi, faktor modifier dan
II. VI PATOGENESIS
Epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular mengalami
25
pada membran basal epitel yang gundul (dapat dilihat pada gambar 1).
Neutrofil memasuki endotel kapiler yang rusak dan jaringan interstitial
dipenuhi cairan yang kaya akan protein.9
Gambar 11. Keadaan alveoli normal dan alveoli yang mengalami kerusakan saat fase
akut pada ALI dan ARDS7
26
Cairan bercampur dengan cairan alveoli dan merusak surfaktan
sehingga paru menjadi kaku, keadaan ini akan memperberat atelektasis yang
telah terjadi. Mikroatelektasis akan menyebabkan shunting intrapulmoner,
ketidakseimbangan (mismatch) ventilasi-perfusi (VA/Q) dan menurunnya
KRF, semua ini akan menyebabkan terjadinya hipoksemia berat dan
progresivitas yang ditandai dengan pernapasan cepat dan dalam. Shunting
27
Starling yang menyatakan filtrasi melewati endotel dan ruang intertisial adalah
Q = K (Pc-Pt) – D (c-t)
ke dalam vena.17,18
Kerusakan endotel kapiler atau epitel alveoli atau keduanya pada ARDS
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapiler (terutama sel
pneumosit tipe I) sehingga cairan kapiler merembes dan berkumpul didalam
jaringan interstitial, jika telah melebihi kapasitasnya akan masuk ke dalam rongga
alveoli (alveolar flooding) sehingga alveoli menjadi kolaps (mikroatelektasis)
dan compliance paru akan lebih menurun. Merembesnya cairan yang banyak
mengandung protein dan sel darah merah akan mengakibatkan perubahan
tekanan osmotik.17,19,21
Cairan bercampur dengan cairan alveoli dan merusak surfaktan sehingga
paru menjadi kaku, keadaan ini akan memperberat atelektasis yang telah terjadi.
Mikroatelektasis akan menyebabkan shunting intrapulmoner,
28
ketidakseimbangan (mismatch ) ventilasi-perfusi (VA/Q) dan menurunnya
KRF, semua ini akan menyebabkan terjadinya hipoksemia berat dan progresivitas
yang ditandai dengan pernapasan cepat dan dalam. Shunting intrapulmoner
29
pemeriksaan analisa gas darah serta foto toraks. Analisa ini pada awalnya
menunjukkan alkalosis respiratorik (PaO2 sangat rendah, PaCO2 normal atau
rendah, serta peningkatan pH). Foto toraks biasanya memperlihatkan infiltrat
alveolar bilateral difus yang mirip dengan edema paru atau batas-batas jantung,
namun siluet jantung biasanya normal. Bagaimanapun, belum tentu kelainan pada
foto toraks dapat menjelaskan perjalanan penyakit sebab perubahan anatomis
yang terlihat pada gambaran sinar X terjadi melalui proses panjang di balik
perubahan fungsi yang sudah lebih dahulu terjadi.1
PaO2 yang sangat rendah kadang-kadang bersifat menetap meskipun
konsentrasi oksigen yang dihirup (FiO2) sudah adekuat. Keadaan ini merupakan
indikasi adanya pintas paru kanan ke kiri melalui atelektasis dan konsolidasi unit
paru yang tidak terjadi ventilasi. Keadaan inilah yang menandakan bahwa paru
pasien sudah mengalami bocor di sana-sini, bentuk yang tidak karuan, serta
perfusi oksigen yang sangat tidak adekuat.10
Setelah dilakukan perawatan hipoksemia, diagnosis selanjutnya ditegakkan
dengan bantuan beberapa alat. Untuk menginvestigasi adanya gagal jantung dapat
dipasang kateter Swan-Ganz, dari sini dapat dilihat bahwa pulmonary arterial
wedge pressure (PAWP) akan terukur rendah (<18 mmHg) pada ARDS serta
meningkat (>20 mmHg) pada gagal jantung. Jika terdapat emboli paru (keadaan
yang menyerupai ARDS) mesti dieksplorasi hingga pasien stabil sambil mencari
sumber trombus yang mungkin terdapat pada pasien, misalnya dari DVT.
Pneumosystis carinii dan infeksi-infeksi paru lainnya patut dijadikan diagnosis
diferensial, terutama pada pasien-pasien imunokompromais.24
30
nafas menurun lebih dari 1 paru – paru dapat menunjukkan pneumotoraks atau
tabung endotrakeal turun bronkus utama kanan.10
Manifestasi dari penyebab yang mendasari misalnya, temuan perut akut
dalam kasus ARDS disebabkan oleh pankreatitis. Pada pasien septik tanpa
sumber yang jelas, perhatikan selama pemeriksaan fisik untuk
mengidentifikasi penyebab potensial dari sepsis, termasuk tanda-tanda
konsolidasi paru-paru atau temuan konsisten dengan abdomen akut. Hati-hati
memeriksa situs garis intravaskuler, luka bedah, situs tiriskan, dan ulkus
dekubitus untuk bukti infeksi. Periksa subkutan udara, manifestasi infeksi atau
barotrauma. Karena edema paru kardiogenik harus dibedakan dari ARDS,
hati-hati mencari tanda-tanda gagal jantung kongestif atau kelebihan beban
volume intravaskular, termasuk distensi vena jugularis, murmur jantung dan
gallop, hepatomegali, dan edema.10
b. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium
Selain hipoksemia, gas darah arteri sering awalnya menunjukkan
alkalosis pernapasan. Namun, dalam ARDS terjadi dalam konteks sepsis,
asidosis metabolik yang dengan atau tanpa kompensasi respirasi dapat
terjadi.23
Bersamaan dengan penyakit yang berlangsung dan pernapasan
meningkat, tekanan parsial karbon dioksida (PCO2) mulai meningkat.
Pasien dengan ventilasi mekanik untuk ARDS dapat dikondisikan untuk
tetap hiperkapnia (hiperkapnia permisif) untuk mencapai tujuan volume
tidal yang rendah yang bertujuan menghindari cedera paru-paru terkait
ventilator.23
Kelainan lain yang diamati pada ARDS tergantung pada penyebab
yang mendasarinya atau komplikasi yang terkait dan mungkin termasuk
yang berikut:23
- Hematologi. Pada pasien sepsis, leukopenia atau leukositosis dapat
dicatat. Trombositopenia dapat diamati pada pasien sepsis dengan
adanya koagulasi intravaskular diseminata (DIC). Faktor von
Willebrand (vWF) dapat meningkat pada pasien beresiko untuk ARDS
dan dapat menjadi penanda cedera endotel.
31
- Ginjal. Nekrosis tubular akut (ATN) sering terjadi kemudian dalam
perjalanan ARDS, mungkin dari iskemia ke ginjal. Fungsi ginjal harus
diawasi secara ketat.
- Hepatik. Kelainan fungsi hati dapat dicatat baik dalam pola cedera
hepatoseluler atau kolestasis.
- Sitokin. Beberapa sitokin, seperti interleukin (IL) -1, IL-6, dan IL-8,
yang meningkat dalam serum pasien pada risiko ARDS.
2. Radiologi
Pada pasien dengan onset pada paru langsung, perubahan fokal
dapat terlihat sejak dini pada radiograf dada. Pada paien dengan onset tidak
langsung pada paru, radiograf awal mungkin tidak spesifik atau mirip
dengan gagal jantung kongestif dengan efusi ringan. Setelah itu, edema
paru interstisial berkembang dengan infiltrat difus (Gambar 1). Seiring
dengan perjalanan penyakit, karakteristik kalsifikasi alveolar dan retikuler
bilateral difus menjadi jelas (Gambar 2). Komplikasi seperti pneumotoraks
dan pneumomediastinum mungkin tidak jelas dan sulit ditemuakn,
terutama pada radiografi portabel dan dalam menghadapi kalsifikasi paru
difus. Gambaran klinis pasien mungkin tidak parallel dengan temuan
radiografi. Dengan resolusi penyakit, gambaran radiografi akhirnya
kembali normal.1
32
Gambar 14. Akhir tahap ARDS menunjukkan kalsifikasi alveolar dan retikuler
bilateral dan difus.1
Gambar 15. CT-scan dada menunjukkan infiltrat difus, ground glass appearance, dan
air bronchograms.1
33
Kateter arteri pulmonal melalui introducer yang ditempatkan dalam
vena sentral, biasanya vena jugularis atau subklavia kanan internal. Hal ini
memungkinkan pengukuran tekanan atrium kanan, tekanan ventrikel
kanan, tekanan arteri pulmonalis, dan tekanan oklusi arteri paru (PAOP).23
Dengan posisi kateter yang tepat, PAOP mencerminkan tekanan
pengisian pada kiri jantung dan, secara tidak langsung, volume
intravaskular. PAOP rendah dari 18 mmHg biasanya konsisten dengan
edema paru noncardiogenic, meskipun faktor-faktor lain, seperti tekanan
onkotik plasma rendah, memungkinkan terjadi edema paru kardiogenik.23
Kateter arteri paru-paru juga menyediakan informasi lain yang
mungkin dapat membantu dalam diagnosis diferensial baik dan pengobatan
pasien. Sebagai contoh, perhitungan resistensi vaskular sistemik
berdasarkan output thermodilution jantung, tekanan atrium kanan, dan
tekanan arteri rata-rata dapat memberikan dukungan bagi kecurigaan klinis
dari sepsis.23
Karena menghindari overload cairan bermanfaat dalam pengelolaan
ARDS, penggunaan kateter vena sentral atau kateter arteri paru dapat
memfasilitasi manajemen cairan yang tepat. Hal ini sangat membantu pada
pasien dengan hipotensi atau gagal ginjal. Meskipun kateter arteri paru-
paru memberikan informasi yang cukup, penggunaannya masih
kontroversi. Kateter arteri paru-paru memberikan komplikasi terkait kateter
dua kali lebih banyak, terutama aritmia.23
4. Bronkoskopi
Bronkoskopi dapat dipertimbangkan untuk mengevaluasi
kemungkinan infeksi pada pasien akut dengan infiltrat paru bilateral.
sampel dapat diperoleh dengan bronkoskop bronkus subsegmental dalam
dan mengumpulkan cairan yang dihisap setelah meberikan cairan garam
nonbacteriostatic (bronchoalveolar lavage; UUPA). Cairan dianalisis untuk
diferensial sel, sitologi, perak noda, dan Gram stain dan pemeriksaan
kuantitatif. 23
5. Pemeriksaan histology
34
Perubahan histologis dalam ARDS adalah kerusakan alveolar difus.
Fase eksudatif terjadi dalam beberapa hari pertama dan ditandai oleh
edema interstisial, perdarahan dan edema alveolar, kolaps alveolar,
kongesti kapiler paru, dan pembentukan membran hialin (Gambar 4).
Perubahan-perubahan histologis tidak spesifik dan tidak memberikan
informasi yang akan memungkinkan ahli patologi untuk menentukan
penyebab ARDS. 23
c. Diagnosis Banding23
- Edema paru kardiogenik
- Infeksi paru : viral, bakterial, fungal
- Edema paru yang berhubungan dengan ketinggian (high – altitude
pulmonary edema = HAPE)
- Edema paru neurogenik
- Edema paru diinduksi laringospasme
- Edema paru diinduski obat : heroin, salisilat, kokain
- Pneumonitis radiasi
- Sindrom emboli lemak
- Stenosis mitral dengan perdarahan alveolar
- Vaskulitis
- Pneumonitis hipersensitivitas
- Penyakit paru interstisial
II. X PENATALAKSANAAN
35
Penatalaksanaan ARDS terdiri atas penatalaksanaan terhadap penyakit dasar
yang dikombinasi dengan penatalaksanaan suportif terutama mempertahankan
oksigenasi yang adekuat dan optimalisasi fungsi hemodinamik sehingga
diharapkan mekanisme kompensasi tubuh akan bekerja dengan baik bila terjadi
gagal multiorgan. Penatalaksanaan penyakit dasar sangat penting, misalnya
penatalaksanaan hipotensi dan eradikasi sumber infeksi pada sepsis. Khas pada
ARDS, hipoksemia yang terjadi refrakter terhadap terapi oksigen dan hal ini
kemungkinan diakibatkan adanya shunting (pirau) darah melalui daerah paru yang
tidak terventilasi yang disebabkan alveoli terisi eksudat protein dan terjadi
atelektasis.10
Prinsip Manajemen ARDS10
Lakukan penentuan klinis dini kesulitan pernapasan.
Lakukan penilaian obyektif dengan gas darah arteri dan radiografi dada.
Menyediakan oksigen, saturasi memantau, dan menyelidiki faktor-faktor risiko untuk
ARDS.
Tentukan kebutuhan untuk intubasi dan ventilasi mekanik.
Gunakan volume tidal yang rendah, tekanan dataran rendah, paru-pelindung strategi
ventilator.
Optimalkan status cairan, nutrisi, dan toilet paru, dan mengobati komplikasi.
Pertimbangkan transfer ke pusat-pusat tersier untuk uji klinis dan teknik canggih.
36
dengan sepsis (vasodilatasi sistemik). Inhalasi NO telah digunakan sebagai
vasodilator arteri pulmonal yang selektif. Karena diberikan secara inhalasi
sehingga terdistribusi pada daerah di paru-paru yang menyebabkan vasodilatasi.
Vasodilatasi yang terjadi pada alveoli yang terventilasi akan memperbaiki
disfungsi ventilasi/perfusi sehingga dengan demikian fungsi pertukaran gas
membaik. NO secara cepat diinaktivasi oleh hemoglobin mencegah reaksi
sistemik.10,24
ARDS seringkali menyebabkan deplesi volum intravaskular akibat terapi
diuresis, inisiasi PPV yang mengurangi aliran balik vena, atau mungkin akibat
sepsis. Pada keadaan ini, yang paling penting ialah monitoring volume vaskular,
jangan sampai dehidrasi atau hipervolemia. Pada keadaan ARDS, meskipun
terdapat edema alveolar, infus tetap diberikan jika diperlukan untuk
mengembalikan perfusi perifer, keluaran urin, serta menstabilkan tekanan darah.
Karena pengobatan yang terpenting ialah menjaga volum intravaskular,
pemantauan pasien difokuskan pada perfusi kulit, status mental, keluaran urin,
hipoksemia, serta tekanan vena sentral secara intensif. Dalam mengukur volum
infus, digunakan kateter Swan-Ganz terutama jika terdapat ventilasi buatan
dengan PEEP. Dalam penanganan emergensi yang intensif ini sebaiknya pasien
dijaga dalam keadaan 'kering', yakni dalam kondisi diuresis dan restriksi cairan.25
Jika terjadi sepsis akibat ARDS, terapi empirik antibiotik mesti dimulai
selagi kultur dikerjakan. Kultur yang dipakai bisa berasal dari sputum atau
aspirasi trakea. Kultur ini membantu mendeteksi superinfeksi paru secara dini
serta memantau terapi antibiotik. Untuk memperkuat imunitas pencernaan,
sebaiknya dalam 48 hingga 72 jam pasien sudah harus dibiasakan makan dengan
saluran pencernaan normal alias jalur enteral.25
Tidak ada bukti kortikosteroid bisa memberi keuntungan dalam menangani
ARDS akut. Malah kortikosteroid membuka peluang terjadi infeksi paru.
Sedangkan sampai sekarang belum ditemukan terapi yang benar-benar efektif
dalam melawan ARDS, semisal antibodi monoklonal terhadap endotoksin,
antibodi monoklonal terhadap tumor necrosis factor, antagonis reseptor
interleukin-1, profilaksis PEEP, oksigenasi membran ekstrakorporeal serta
mengurangi CO2 ekstrakorporeal, IV albumin, obat-obatan untuk ekspansi volum
dan kardiotonik untuk oksigenasi, kortikosteroid untk ARDS akut, ibuprofen
37
parenteral untuk menghambat siklooksigenase, prostaglandin E 1, serta
pentoxifylline.1
Demi menjaga efektivitas pernapasan ARDS, telah terbukti bahwa posisi
pasien yang dibaringkan secara tengkurap akan mengalami perbaikan yang
berarti. Kemungkinan posisi ini memperbesar perfusi dan pertukaran gas seperti
pada keadaan normal. Meski menelungkupkan pasien juga tidak mudah
dikerjakan, namun posisi seperti ini telah lama diaplikasikan dan membawa hasil
yang tidak buruk bagi pasien. Ketokonazol terbukti bermanfaat untuk pasien
ARDS karena bisa mensupresi makrofag dalam pelepasan tumor necrosis factor.
Pemberian surfaktan sintetik tidak memberi hasil yang memuaskan, sementara
surfaktan alami terbukti memberi efek yang sangat baik meskipun tergolong
jarang digunakan.1
Kebanyakan pasien memerlukan intubasi endotrakea dan ventilasi buatan
dengan ventilator mekanis. Intubasi endotrakea dan PPV face mask mesti
dikerjakan jika frekuensi napas lebih dari 30 kpm atau jika FiO 2 lebih besar dari
60%. Tindakan ini dapat menjaga PO2 arteri tetap berada sekitar 70 mmHg selama
lebih dari beberapa jam. Sebagai alternatif intubasi, continous positive airway
pressure (CPAP) dapat memberikan PEEP pasien ARDS sedang atau berat secara
efektif. Pemasangan masker napas ini mesti dipertimbangkan pada pasien yang
mengalami penurunan kesadaran karena berisiko aspirasi dan mesti digantikan
dengan ventilator jika pasien mengalami perburukan gejala ARDS.1
Pengaturan ventilator secara konvensional pada ARDS ialah kisaran volum
tidal 10 hingga 15 mL/kg, PEEP 5-10 cm H 2O, FiO2 ≤60%, dengan mode
pengontrolan yang dipicu oleh pasien (patient-triggered assisted-control mode).
Ventilasi dilakukan secara intermiten dengan irama awal sebesar 10 hingga 12
napas permenit tentunya dengan PEEP.1
Terdapat beberapa pendapat yang menyakan bahwa ventilator dengan
tekanan dan volum yang tinggi dapat memperburuk keadaan paru pasien ARDS,
namun sampai sekarang pendapat ini belum bisa dibuktikan dengan baik. Justru
PEEP yang terlalu rendah yang dapat merusak paru karena menyebabkan bagian
distal paru yang tidak stabil dipaksa untuk terbuka dan tertutup berulang-ulang.10
Masalah ini dapat diatasi dengan penyetelan volum tidal yang rendah (hanya
6 sampai 8 mL/kg) namun PEEP yang lebih tinggi (antara 10 hingga 18 cm H 2O).
Tujuan penyetelan volum tidal yang kecil ialah mencegah pernapasan berlebih
38
yang dipaksa oleh ventilator akibat titik infleksi (defleksi) yang melebihi batas
kurva tekanan napas pasien tersebut, keadaan ini bisa juga menyebabkan
overdistensi paru. Akibatnya, paru-paru tetap akan bertambah kaku, serta terjadi
peningkatan tekanan plateau ventilator karena tekanan yang diperlukan untuk
menjaga paru dan inflasi dinding dada telah habis terpakai. Untuk alasan teknis,
titik infleksi atas paru sering tidak dihitung secara langsung. Taktiknya, dengan
menyetel tekanan plateau ventilator tidak lebih dari 25 hingga 30 cm H 2O, insya
Allah pasien tidak akan tersiksa akibat ventilator ini. Apalagi dengan penurunan
volum tidal paru, frekuensi napas dari ventilaor dapat ditingkatkan untuk
mengatur pH dan PCO2 yang cukup. Jika pH arteri turun di bawah 7.20, akan
terjadi infusi bikarbonat secara perlahan-lahan. Beberapa pasien mungkin akan
menunjukkan hiperkapina dan asidosis respiratorik, namun biasanya keadaan ini
dapat terkompensasi dengan baik. Daripada ambil risiko menyetel pernapasan
pasien terlalu tinggi dengan paksa, lebih baik menurunkan setelan namun tetap
dijaga dengan pemantauan yang intensif.10
Secara teoretis, PEEP yang dipilih mesti beberapa cm H2O di atas titik
infleksi bawah kurva tekanan napas pasien. Tindakan ini bertujuan agar makin
banyak alveolus yang bisa berfungsi lagi serta mencegah inflasi yang berlebihan.
Jika titik bawah infleksi masih tidak bisa ditentukan secara langsung, dibutuhkan
PEEP dengan nilai 10 hingga 15 cm H 2O. Jika telah ditentukan nilai PEEP yang
tepat, FiO2 ventilator biasanya akan turun hingga ke batas yang normal <50 atau
60%. Artinya, akan tercapai PaO2 yang memuaskan, yakni ≥60% atau saturasi O2
≥90%. Untuk perfusi O2 yang adekuat ke jaringan, indeks kardiak mesti ≥3
L/min/m2, bahkan kadang-kadang infusi volum atau obat-obatan kardiotonik
parenteral dibutuhkan.10
Ventilator dapat dilepas jika fungsi paru sudah membaik (misalnya
kebutuhan O2 dan PEEP sudah berkurang), hasil röntgen sudah menunjukkan
perbaikan, serta sudah tidak ada takipnea. Biasanya, pasien yang memang tidak
memiliki riwayat penyakit paru yang parah sebelumnya, akan lebih mudah
dilepas. Kesulitan pelepasan alat bantu napas biasanya akibat adanya infeksi yang
baru atau infeksi lama yang tidak diterapi dengan baik, overhidrasi,
bronkospasme, anemia, gangguan elektrolit, disfungsi kardiak, atau status gizi
yang sangat jelek yang menyebabkan kelemahan otot. Jika penyulit-penyulit
tersebut berhasil diperbaiki, ventilator dapat dilepas perlahan-lahan dengan
39
penyetelan ventilator intermiten, frekuensi napas yang diturunkan, sering pula
dengan ventilasi yang didukung oleh pengaturan tekanan napas, atau dilepas
begitu saja dengan meletakkan pipa T pada pipa endotrakeal. Pada proses ini
disetel PEEP yang rendah (sekitar 5 cm H 2O) agar nantinya pasien bisa bernapas
kembali dengan normal. Untuk penanganan lebih detail serta rawat jalan yang
baik, setelah fase emergensi selesai, terapi difokuskan pada etiologi yang
menyebabkan pasien menjadi ARDS. Dengan demikian dapat mencegah
kemungkinan timbulnya episode ARDS serupa di kemudian hari.10
40
Kegagalan ventilasi biasanya disertai penurunan Kapasitas
residual fungsional (KRF) yaitu adalah volume udara yang tetap
berada di dalam paru pada akhir ekspirasi tidal normal karena tidak
41
rasio I:E melebihi 1:1. Manfaat IRV pada ARDS masih
kontroversial dan ketidaknyamanan yang berkaitan dengan cara ini
sering kali memerlukan sedasi dan paralisis otot yang kuat bagi
pasien.9
Metode APRV didesain untuk menghantarkan volume tidal
saat terjadi penurunan sementara tekanan intratoraks dan
mempertahankan tekanan inspriasi yang konstan dengan peningkatan
PEEP sehingga memperbaiki oksigenasi pasien ARDS. Metode
APRV menggunakan tekanan tinggi secara kontinyu untuk mendorong
recruitment alveolar dan mempertahankan volume paru yang adekuat.
Saat fase pelepasan tekanan akan menurun dalam ventilasi semenit
secara spontan sehingga memungkinkan terjadinya pernapasan spontan
tanpa restriksi selama siklus ventilator sehingga membuat ventilasi
yang lebih baik pada daerah paru dependent, mengurangi atelektasis
dan memperbaiki volume paru akhir ekspirasi pada cedera paru. Hal
tersebut dapat mengakibatkan perbaikan ventilasi -perfusi serta
oksigenasi yang lebih baik.9
Metode ECMO didesain dengan menegakkan sirkuit
ekstrakorporal, baik pola vena ke arteri (V-A ECMO) maupun vena
ke vena (V-V ECMO). Pola VA-ECMO meningkatkan oksigenasi
melalui oksigenator membran ekstrakorporeal dan cardiac output
dengan sistem pompa, tetapi V-V ECMO hanya dapat memperbaiki
oksigenasi jaringan. Metode ECCO 2R menggunakan suatu sirkuit
venovenosa dan CO2 darah dapat dihilangkan oleh suatu mesin
ekstrakorporeal. Meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan
efek menguntungkan dari ECMO atau ECCO2R, tetapi terapi tersebut
masih belum direkomendasikan untuk penatalaksanaan rutin pasien
ARDS.9
Ventilasi mekanis cair dengan perfluorocarbon, paru akan
terisi sebagian oleh cairan yang dapat melarutkan lebih banyak
oksigen dan mengkonsumsi lebih sedikit surfaktan dibandingkan
dengan ventilasi konvensional serta memiliki tekanan permukaan
yang lebih rendah dan mengurangi respons inflamasi. Metode ini
42
digunakan sebagai terapi alternatif baru yang menjanjikan bagi pasien
ARDS.12
43
menyebabkan distensi yang berlebihan pada alveoli, peningkatan
permeabilitas vaskular paru, inflamasi akut, perdarahan alveolar dan
shunt intrapulmoner sehingga untuk keberhasilan pengunaan ventilasi
mekanis invasif pada ARDS maka AECC merekomendasikan
barotrauma.14
Penelitian prospektif secara random yang membandingkan
antara pasien ARDS yang mendapat volume tidal tinggi dan mendapat
volume tidal rendah terdapat penurunan mortalitas dari 40% menjadi
31%. Pemakaian volume tidal rendah saat ini dipertimbangkan sebagai
terapi penunjang pasien ARDS karena dapat menurunkan angka
44
ARDS mengakibatkan jumlah jaringan paru yang normal menjadi
pasien ARDS.14
Secara spesifik, direkomendasikan penggunaan protokol
ventilasi yang digariskan oleh peneliti ARDS Network dalam suatu
publikasi Respiratory Management in ALI/ARDS (ARMA) tahun 2000.
Protokol ini menyebutkan lebih banyak mengenai penggunaan volume
45
peningkatan PaCO 2 yang akut dapat mengakibatkan abnormalitas
fisiologis seperti vasodilatasi, takikardi, dan hipotensi. Tahun 2000,
ARMA merekomendasikan penggunaan sedasi dengan tujuan untuk
kenyamanan pasien. Timbulnya hiperkapnea yang ringan dapat diterima
dan ditoleransi oleh sebagian besar pasien ARDS, bila pasien disertai
asidosis metabolik harus secepatnya dikoreksi dan ARMA
merekomendasikan dengan meningkatkan respiratory rate (hingga 35
5-12 cm H2O.28
46
ARDS, posisi prone dapat memperbaiki oksigenasi, menghasilkan
peningkatan Pa02 yang signifikan, memperbaiki bersihan sekret dan
dapat dipertimbangkan jika pasien membutuhkan PEEP >12 cm H2O
dan FiO2 >0,60 dan paling baik dilakukan pada ARDS dengan onset
kurang dari 36 jam. Mekanisme yang terjadi pada posisi prone adalah
terjadinya rekrutmen paru dorsal bersamaan dengan kolapsnya paru
b. Terapi Farmakologi
Pilihan terapi farmakologis pada manajemen ARDS masih
sangat terbatas. Penggunaan surfaktan dalam manajemen ARDS pada
anak-anak memang bermanfaat, namun penggunaanya pada orang
dewasa masih kontroversi. Studi review yang dilakukan Cochrane
dkk tidak menemukan manfaat penggunaan surfaktan pada ARDS
dewasa. 30
Penggunaan kortikosteroid juga masih kontroversi. Beberapa
randomized controlled study dan studi kohort mendukung penggunaan
kortikosteroid sedini mungkin dalam penatalaksanaan ARDS berat.
Kortikosteroid seperti methiprednisolon diberikan dengan dosis
1mg/kg.bb/hari selama 14 hari lalu ditapering off. Penggunaan
kortikosteroid dapat menurunkan kebutuhan penggunaan ventilator
47
dalam hitungan hari, walaupun penggunaan kortikosteroid tidak
48
Superinfeksi bakteri paru berupa bakteri gram negatif (Klebsiella,
Pseudomonas, dan Proteus spp) serta bakteri gram positif Staphylococcus aureus
yang resisten merupakan penyebab utama meningkatnya mortalitas dan
morbiditas akibat ARDS. Tension pneumothorax juga bisa terjadi akibat
pemasangan kateter vena sentral dengan positive pressure ventilation (PPV) serta
positive end-expiratory pressure (PEEP). Pasien ARDS yang dirawat dengan
bantuan ventilasi mekanis akan mengalami penurunan volume intravaskular serta
penekanan curah jantung hingga berakibat penurunan transpor O2 dan kegagalan
organ. Lemah, lesu, tak bergairah, seakan di ambang kematian, merupakan gejala
umum yang dirasakan pasien ARDS.24
49
up diperlukan. Uji neuropsychologic dapat menunjukkan defisit yang signifikan
pada pasien yang mengalami hypoxemia. parah dan berlarut-larut.1
BAB III
KESIMPULAN
50
DAFTAR PUSTAKA
1. Udobi KF, Touijer K. Acute Respiratory Distress Syndrome. Am Fam Physician. 2003
Januari 15; 67 (2) :315-322.
2. Price & Wilson. 2007. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi 6.
Volume 2. EGC : Jakarta.
3. Scanlon VC, Sanders T. Essential of Anatomy and Physiology. 5th ed. Philadelphia ;
F. A. Davis ; 2007
4. Ward JP, Clark RW, Linden RW. At a Glance Fisiologi. Jakarta : Erlangga : 2009
5. Guyton AC, Hall JE. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. 11th ed. In: Irawati, editor.
Jakarta: EGC; 2007.
6. Yulaekah, Siti. 2007. Paparan Debu & Gangguan Fungsi Paru Pada Pekerja Industri
Batu Kapur. Available from
http://eprints.undip.ac.id/18220/1/SITI_YULAEKAH.pdf, di akses Juni 2017.
7. Ware LB, Matthay MA. The acute respiratory distress syndrome. N Engl
J Med. 2000;342(18):1334-1349.
8. Fanelli V, Vlachou A, Simonetti U, Slutsky AS, Zhang H. Acute respiratory
distress syndrome: new definition, current and Fanelli V, future
therapeutic options. Journal of Thoracic Disease. 2013, 5(3): 326-334.
9. Amin Z, Purwoto J. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). In:
Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai
Penerbit FK UI; 2009. Hal:4072-4079.
10. Ware LB, Matthay MA. The Acute Respiratory Distress Syndrome. N Engl J Med
2000; 342:1334-1349
51
11. Rubenfeld GD, Caldwell E, Peabody E, et al. Incidence and outcomes of acute
lung injury. N Engl J Med. 2005;353(16):1685-1693.
12. Haro C, Martin-Loeches I, Torrents E& Artigas A. Acute respiratory distress
syndrome: prevention and early recognition. Annals of Intensive Care 2013, :
11
13. Gattinoni L, Caironi P, Carlesso E. How to ventilate patients with acute lung
injury and acute respiratory distress syndrome. Current Opinion in Critical
Care 2005; 11: 69 -76.
14. Girard TD, Bernard GR. Mechanical ventilation in ARDS: A state-of-the-art
review. Chest 2007;131:921-9.
15. Terragni PP, Rosboch G, Tealdi A, Corno E, Menaldo E, Davini O, et
al. Tidal hyperinflation during low tidal volume ventilation in acute
respiratory distress syndrome. Am J Respir Crit Care Med 2007; 175:160-6.
16. Saguil A& Fargo M. Acute Respiratory Distress Syndrome: Diagnosis and
Management . Am Fam Physician. 2012;85(4):352-358
17. Piantadosi CA, Schwartz DA. The acute respiratory distress syndrome. Ann
Intern Med 2004; 141:460-70.
18. Oh TE. Adult respiratory distress syndrome. In: Oh TE, ed. Intensive Care
P, eds. Pulmonary Physiology. 5th ed. New York: McGraw- Hill; 1999.p.13-54.
23. Harman EM. Acute Respiratory Distress Syndrome Work Up. Updated: Juni 2017.
Diunduh dari: http://emedicine.medscape.com/article/165139-workup
24. Farid. Acute Respiratory Distress Syndrome. Maj Farm 2006;4: 12
52
25. Harman EM. Acute Respiratory Distress Syndrome Treatment & Management.
Updated: Juni 2017. Diunduh dari:
http://emedicine.medscape.com/article/165139-treatment
26. Koh Y. Update in acute respiratory distress syndrome. Journal of Intensive Care.
2014, 2:2.
27. Jonathan A, Fergusson ND. Clinical review: Acute respiratory distress syndrome
– clinical ventilator management and adjunct therapy. Critical Care 2013,
17:225
28. Ariano RE. Acute respiratory distress syndrome. Acute respiratory distress
syndrome.Intensive Care Med. 2004.30:51-61.
29. Wilson DF, Thomas NJ, Markovitz BP, Bauman LA, DiCarlo JV, Pon S, et al.
Effect of exogenous surfactant (calfactant) in pediatric acute lung injury.
A randomized controlled trial. JAMA 2005; 293:470-476.
30. Peter JV, John P, Graham PL, Moran JL, George IA, Bersten A.
Corticosteroids in the prevention and treatment of acute respiratory
distress syndrome (ARDS) in adults: meta - analysis. BMJ.
2008;336(7651):1006-1009.
31. Leaver SK, Evans TW. Acute respiratory distress syndrome. BMJ.
2007;335(7616):389-394.
53
TUGAS
54
3. Bagaimana gejala awal dan khas dari ARDS?
ARDS biasanya timbul dalam waktu 24 hingga 48 jam setelah kerusakan awal pada
paru. Setelah 72 jam 80% pasienn menunjukkan gejala klinis ARDS yang jelas.
Awalnya pasien akan mengalami dispnea, kemudian biasanya diikuti dengan
pernapasan yang cepat dan dalam. Sianosis terjadi secara sentral dan perifer, bahkan
tanda yang khas pada ARDS ialah tidak membaiknya sianosis meskipun pasien sudah
diberi oksigen. Sedangkan pada auskultasi dapat ditemui ronkhi basah kasar, serta
kadang wheezing.
dipastikan.27
Metode IRV didesain untuk memperpanjang fase siklus ventilasi
inspirasi, yang mengakibatkan peningkatan tekanan saluran pernapasan,
sehingga memperbaiki oksigenasi. Rasio I:E normal adalah 1:2 dan IRV dapat
55
memperpanjang fase inspirasi menjadi rasio I:E melebihi 1:1. Manfaat IRV
pada ARDS masih kontroversial dan ketidaknyamanan yang berkaitan
dengan cara ini sering kali memerlukan sedasi dan paralisis otot yang kuat
bagi pasien.9
Metode APRV didesain untuk menghantarkan volume tidal saat terjadi
penurunan sementara tekanan intratoraks dan mempertahankan tekanan inspriasi
yang konstan dengan peningkatan PEEP sehingga memperbaiki oksigenasi pasien
ARDS. Metode APRV menggunakan tekanan tinggi secara kontinyu untuk
mendorong recruitment alveolar dan mempertahankan volume paru yang adekuat.
Saat fase pelepasan tekanan akan menurun dalam ventilasi semenit secara spontan
sehingga memungkinkan terjadinya pernapasan spontan tanpa restriksi selama
siklus ventilator sehingga membuat ventilasi yang lebih baik pada daerah paru
dependent, mengurangi atelektasis dan memperbaiki volume paru akhir
ekspirasi pada cedera paru. Hal tersebut dapat mengakibatkan perbaikan ventilasi
-perfusi serta oksigenasi yang lebih baik. 9
Metode ECMO didesain dengan menegakkan sirkuit ekstrakorporal, baik
pola vena ke arteri (V-A ECMO) maupun vena ke vena (V-V ECMO). Pola
VA-ECMO meningkatkan oksigenasi melalui oksigenator membran
ekstrakorporeal dan cardiac output dengan sistem pompa, tetapi V-V ECMO
hanya dapat memperbaiki oksigenasi jaringan. Metode ECCO 2R menggunakan
suatu sirkuit venovenosa dan CO2 darah dapat dihilangkan oleh suatu mesin
ekstrakorporeal. Meskipun beberapa penelitian telah menunjukkan efek
menguntungkan dari ECMO atau ECCO2R, tetapi terapi tersebut masih belum
56
5. Mengapa terapi dengan surfaktan pada dewasa tidak memberikan efek yang
bermakna?
Penggunaan surfaktan dalam manajemen ARDS pada anak-anak memang
bermanfaat, namun penggunaanya pada orang dewasa masih kontroversi.
Studi review yang dilakukan Cochrane dkk tidak menemukan manfaat
penggunaan surfaktan pada ARDS dewasa.
Hal ini dikarenakan pada anak pembentukan parunya belum matang sehingga
pemberian surfaktan sangat berguna dalam pematangan paru terutama pada bayi
sedangkan pada dewasa pemberian surfaktan tidak memberikan efek yang bermakna
karena telah terjadi pematangan paru.
57