Anda di halaman 1dari 7

KAJIAN TENTANG HAKIKAT MANUSIA

A. Pandangan Ilmu Pengetahuan Tentang Manusia

Para ahli telah banyak mengkaji perbedaan antara manusia dengan makhluk-
makhluk lainnya terutama dengan makhluk yang agak dekat dengan manusia yaitu
hewan. Secara biologis pada dasarnya manusia tidak banyak berbeda dengan hewan,
bahkan Ernst Haeckel (1834-1919) mengemukakan bahwa manusia dalam segala hal
sungguh-sungguh adalah binatang beruas tulang belakang, yakni binatang menyusui,
demikian juga Lamettrie (1709-1751) menyatakan bahwa tidaklah terdapat perbedaan
antara binatang dan manusia dan karenanya bahwa manusia itu adalah mesin
(Zelhendri, 2014;53).

Jadi, nampak bahwa ada sudut pandang yang cenderung merendahkan manusia,
dan ada yang mengagungkannya, semua sudut pandang tersebut memang diperlukan
untuk menjaga keseimbangan memaknai manusia. Blaise Pascal (1623-1662) (dalam
Zelhendri, 2014;53) menyatakan bahwa adalah berbahaya bila kita menunjukkan
manusia sebagai makhluk yang mempunyai sifat-sifat binatang dengan tidak
menunjukkan kebesaran manusia sebagai manusia. Sebaliknya adalah bahaya untuk
menunjukkan manusia sebagai makhluk yang besar dengan tidak menunjukkan
kerendahan, dan lebih berbahaya lagi bila kita tidak menunjukkan sudut kebesaran
dan kelemahannya sama sekali.

Pendapat beberapa para ahli tentang manusia yaitu:

1. Plato (427-348).Dalam pandangan plato manusia dilihat secara dualistik yaitu


unsur jasad dan unsur jiwa, jasad akan musnah sedangkan jiwa tidak, jiwa
mempunyai tiga fungsi (kekuatan) yaitu logystikon (berfikir/rasional), thymoeides
(keberanian), dan epithymetikon (keinginan).

2. Aristoteles (384-322 SM). Manusia itu adalah hewan yang berakal sehat, yang
mengeluarkan pendapatnya, yang berbicara berdasarkan akal pikirannya.
Manusia itu adalah hewan yang berpolitik (Zoon Politicion/Political Animal),
hewan yang membangun masyarakat diatas famili-famili menjadi
pengelompokan impersonal dari pada kampung dan negara.

3. Ibnu Khaldun (1332-1406). Manusia adalah hewan dengan kesanggupan berfikir,


kesanggupan ini merupakan sumber dari kesempurnaan dan puncak dari segala

1
kemuliaan dan ketinggian di atas makhluk-makhluk lain.

4. Ibnu Sina (980-1037). Manusia adalah mahkluk yang mempunyai kesanggupan :

a) Makan,

b) Tumbuh,

c) Berkembang biak,

d) Pengamatan hal-hal yang istimewa,

e) Pergerakan dibawah kekuasaan,

f) Ketahuan (pengetahuan tentang) hal-hal yang umum, dan

g) Kehendak bebas.

Menurut dia, tumbuhan hanya mempunyai kesanggupan a), b), dan c) serta hewan
mempunyai kesanggupan a), b), c), d) dan e).

5. Ibnu Miskawaih. Menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang mempunyai


kekuatan-kekuatan yaitu:

a) Al-Quwwatul Aqliyah (kekuatan/akal),

b) Al-Quwwatul Godhbiyyah (marah), dan

c) Al-Quwwatul Syahwiyah (syahwat).

Jadi, manusia itu yaitu:

a. Secara fisikal, manusia sejenis hewan juga.

b. Manusia punya kemampuan untuk bertanya. Maksud dari point ini adalah
manusia memiliki kemampuan dalam melakukan tanya jawab. Dengan
kemampuan ini Manusia bisa menambah dan wawasan pengetahuan.

c. Manusia punya kemauan bebas. Maksud nya kemauan bebas yaitu


kemampuan manusia untuk memilih di antara berbagai rencana tindakan
yang berbeda menurut kehendaknya sendiri tanpa ada yang memaksa.
Contohnya dalam memilih agama manusia memiliki hak untuk memilih
agama nya tanpa ada yang memaksa dirinya tersebut.

d. Manusia bisa berprilaku sesuai norma (bermoral).contohnya manusia

2
Memiliki dan menerapkan budaya malu, budaya tertib dan budaya bersih,
mentaati peraturan dan tata tertib sekolah, tidak melakukan tindakan yang
melanggar aturan/peraturan yang berlaku.

e. Manusia adalah makhluk yang bermasyarakat dan berbudaya. contoh dalam


masyarakat hakikat manusia sebagai makhluk budaya adalah seperti
kebiasaan di daerah bali yang biasa melakukan upacara pemakaman yang
biasa disebut dengan ngaben. Dan kebiasaan masyarakat untuk mengadakan
sholawatan dalam rangka menyambut maulid nabi besar Muhammad SAW.

f. Manusia punya kemampuan berfikir reflektif dalam totalitas dengan sadar


diri.

g. Manusia adalah makhluk yang punya kemampuan untuk percaya pada tuhan.

Dengan demikian nampaknya terdapat perbedaan sekaligus persamaan antara


manusia dengan makhluk lain khususnya hewan, secara fisikal/biologis perbedaan
manusia dengan hewan lebih bersifat gradual dan tidak prinsipil, sedangkan dalam
aspek kemampuan berfikir, bermasyarakat dan berbudaya, serta berTuhan
perbedaannya sangan asasi/prinsipil, ini berarti jika manusia dalam kehidupannya
hanya bergerak dalam urusan-urusan fisik biologis seperti makan, minum,
beristirahat, makakedudukannya tidaklah jauh berbeda dengan hewan, satu-satunya
yang bisa mengangkat manusia lebih tinggi adalah penngunaan akal untuk berfikir
dan berpengetahuan serta mengaplikasikan pengetahuannya bagi kepentingan
kehidupan sehingga berkembanglah masyarakat beradab dan berbudaya, disamping
itu kemampuan tersebut telah mendorong manusia untuk berfikir tentang sesuatu yang
melebihi pengalamannya seperti keyakinan pada Tuhan yang merupakan inti dari
seluruh ajaran Agama. Oleh karena itu carilah ilmu dan berfikirlah terus agar posisi
kita sebagai manusia menjadi semakin jauh dari posisi hewan dalam konstelasi
kehidupan di alam ini (Zelhendri, 2014;53).

Salah satu konsep kependidikan yang banyak dianjurkan pada lembaga-lembaga


pendidikan guru umumnya menggambarkan pendidikan sebagai bantuan pendidik
untuk membuat subjek didik menjadi dewasa. Manusia yang belum dewasa, proses
perkembangan kepribadiannya menuju pembudayaan maupun proses pematangan
disebut sebagai objek pendidikan (individu yang dibina).

3
Hakekat manusia sebagai subjek didik mengandung arti sebagai berikut:

1. Manusia bertanggung jawab atas pendidikannya sesuai wawasan pendidikan


seumur hidup.

2. Manusia punya potensi baik fisik maupun psikis yang berbeda-beda.

3. Manusia adalah insan yang aktif.

4. Masalah jasmani dan rohani.

B. Masalah Jasmani dan Rohani

Ilimu yang mempelajari tentang hakikat manusia disebut Antropologi Filsafat.


Hakikat berarti adanya berbicara mengenai apa manusia itu, ada empat aliran yang
dikemukakan yaitu :

1. Aliran Serba Zat. Aliran serba zat ini mengatakan yang sungguh-sungguh ada, itu
hanyalah zat materi, alam ini adalah zat atau materi dan manusia adalah unsur
dari alam, maka dari itu manusia adalah zat atau materi.

2. Aliran Serba Ruh. Aliran ini berpendapat bahwa segala hakikat sesuatu yang ada
didunia ini ialah ruh, juga hakikat manusia adalah ruh, adapun zat itu adalah
manifestasi dari pada ruh diatas dunia ini. Dasar pikiran aliran ini ialah bahwa ruh
itu lebih berharga, lebih tinggi nilainya dari pada materi. Contoh dari aliran serba
ruh ini mereka buktikan dalam kehidupan sehari-hari, yang mana betapapun kita
mencintai seseorang jika ruhnya pisah dengan badannya, maka materi/jasadnya
tidak ada artinya. Dengan demikian aliran ini menganggap ruh itu ialah hakikat,
sedangkan badan ialah penjelmaan atau bayangan.

3. Aliran Dualisme. Aliran ini mengganggap bahwa manusia itu pada hakikatnya
terdiri dari dua subtansi, yaitu jasmani dan rohani. Keduanya subtansi ini masing-
masing merupakan unsur asal, yang adanya tidak tergantung satu sama lain. Jadi
badan tidak berasal dari ruh dan tidak berasal dari badan. Perwujudannya
manusia serba dua, jasad dan ruh. Antara badan dan ruh terjadi sebab akibat yang
mana keduanya saling mempengaruhi.

4. Aliran Eksistensialisme. Aliran filsafat modern berfikir tentang hakikat manusia

4
merupakan eksistensi atau perwujudan sesungguhnya dari manusia. Jadi intinya
hakikat manusia itu, yaitu apa yang menguasai manusia secara menyeluruh.
Disini manusia dipandang tidak dari sudut serba zat atau serba ruh atau dualisme
dari dua aliran itu, tetapi memandangnya dari segi eksistensi itu sendiri di dunia
ini.

Terlalu banyak sebutan dan istilah yang diberikan untuk makhluk-makhluk


berakal pikiran ciptaan Tuhan, seperti homo sapiens, homo rasional, animal social, al-
insan, dan lain sebagainya. Bentuk sebutan itu mencerminkan keragaman sifat dan
sikap manusia. Hal itu dapat terjadi karena didalam diri manusia itu sendiri terdapat
enam rasa yang menjadi satu, yaitu rasa intelek, rasa agama, rasa susila, rasa sosial,
rasa seni dan rasa harga diri.

Maka tidak heran kalau sejak dulu manusia tiada henti-hentinya berusaha
membedakan antara unsur manusia yang bersifat lahiria dan maknawiah. Kebanyakan
ahli filsafat Yunani berpendapat bahwa ruh itu merupakan satu unsur yang harus,
yang dapat meninggalkan badan. Jika dia pergi dari badan, dia kembali ke alamnya
yang tinggi, meluncur ke angkasa luar dan tidak mati, sebagaimana ungkapan
phytagoras kepada diasgenes (Zelhendri, 2014;53).

Islam berpandangan bahwa hakikat manusia merupakan perakitan antara badan


dan ruh. Islam mengatakan dengan tegas bahwa kedua substansi ini adalah substansi
alam. Islam memandang permasalahan roh/ruh merupakan suatu hal yang terbatas
untuk dipelajari secara mendalam. Hal itu menjadi landasan bukti walaupun banyak
ilmu yang telah dimiliki oleh manusia, namun sampai kapanpun ia tidak akan
melebihi Tuhannya, dalam kaitan masalah ruh.

Itulah yang membedakan hasil yang telah dicapai islam dari segi sistem
kerohaniannya yang tampak pada manusia adalah sosok tubuhnya, dalam hal
efektivitas dirinya bersumber pada jiwa dan ruh. Karena itu hidup seorang muslim
haruslah diarahkan atas kerjasama yang sempurna antara kepentingan dan kebutuhan
jasmani-rohani.

C. Pandangan Antropologi Metafisik

Secara garis besar antropologi metafisik bertujuan menyelidiki, menginterpretasi


dan memahami gejala-gejala atau ekspresi-ekspresi manusia sebagaimana halnya

5
dengan ilmu-ilmu tentang manusia. Adapun secara spesifik bermaksud memahami
hakikat atau esensi manusia dengan mencari dan menemukan jawaban sesungguhnya
tentang manusia.

Menurut Christian Wolf (1679-1754) (dalam Zelhendri, 2014;53), metafisika


terbagi menjadi dua jenis, yaitu:

1. Metafisika Generalis, yakni ilmu yang membahas mengenai yang ada atau
pengada atau yang lebih dikenal sebagai ontology.

2. Metafisika Spesialis yang terbagi menjadi tiga bagian besar:

a) Antropologi, yang menelaah mengenai hakikat manusia, tentang diri dan


kedirian, tentang hubungan jiwa dan raga. cotohnya seperti bagaimana asal
mula Manusia dan bagaimana Cara manusia itu Hidup.

b) Kosmologi, yang membahas asal-usul alam semesta dan hakikat sebenarnya.

c) Teologi, membahas mengenai Tuhan secara rasional.

Sementara itu Driyarkara menyamakan metafisika dengan ontologi, ia


menyatakan bahwa filsafat tentang ada dan sebab-sebab pertama adalah metafisika
atau ontologi, yang disamping membahas tentang ada dan sebab-sebab pertama
tersebut, juga membahas mengenai apakah kesempurnaan itu, apakah tujuan, apakah
sebab-akibat, apa yang merupakan dasar yang terdalam dalam setiap barang yang ada
(hylemorfism), intinya adalah, apakah hakikat dari segala sesuatu (Zelhendri,
2014;53).

Metafisika ternyata mendapat penentangan dari beberapa ilmuwan, antara lain


adalah yang menganut paham positivisme logis dengan menyatakan bahwa metafisika
tidak bermakna. Misal, Katsoff menyatakan bahwa agaknya Ayer berupaya untuk
menunjukkan bahwa naturalisme, materialisme, dan lainnnya merupakan pandangan
yang sesat. Ayer menunjang argumentasinya dengan membuat criterion of
verifiability atau keadaan yang dapat diverifikasi. Penentang lain Ludwig
Wittgenstein menyatakan bahwa metafisika bersifat the Mystically, hal-hal yang tak
dapat diungkapkan (inexpressible) kedalam bahasa yang bersifat logis dan sebaiknya
didiamkan saja.

Namun pada kenyataannya banyak Ilmuwan besar, terutama Albert Einstein,

6
yang merasakan perlunya membuat formula konsepsi metafisika sebagai konsekuensi
dari penemuan ilmiahnya. Manfaat metafisika bagi pengembangan ilmu dikatakan
oleh Thomas Khuhnn terletak pada awal terbentuknya paradigma ilmiah, yakni ketika
kumpulan kepercayaan belum lengkap faktanya, maka ia mesti dipasok dari luar,
antara lain adalah ilmu pengetahuan lain, peristiwa sejarah, pengalaman personal, dan
metafisika. Misalnya adalah, upaya-upaya untuk memecahkan masalah yang tak dapat
dipecahkan oleh paradigma keilmuan yang lama dan selama ini dianggap mampu
memecahkan masalah membutuhkan paradigma baru, pemecahan masalah baru, hal
ini hanya dapat dipenuhi dari hasil permenungan metafisik yang dalam banyak hal
memang bersifat spekulatif dan intutitif, hingga dengan kedalaman kontempasi serta
imajinasi akan dapat membuka kemungkinan-kemungkinan (peluang-peluang) konsep
teoritis, asumsi, postulat, tesis, dan paradigma baru untuk memecahkan masalah yang
ada (Zelhendri, 2014;53).

Anda mungkin juga menyukai