Anda di halaman 1dari 16

Departemen Keperawatan Jiwa

ASUHAN KEPERAWATAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


DENGAN RISIKO PERILAKU SOSIAL

OLEH :

NADYA WIDIASARI, S. Kep


70900120013

Preseptor

Syisnawati S.Kep.,Ns.,M.Kep.,Sp.Kep.J

PROGRAM STUDI PROFESI NERS ANGKATAN XVII


FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN
UIN ALAUDDIN MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kahadirat Tuhan Yang Maha Esa karena berkat
limpahan rahmat, hidayah serta inayah-Nya sehingga laporan pendahuluan dapat
diselesaikan. Tak lupa pula kita kirimkan shalawat serta salam kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW sebagai sosok teladan bagi seluruh umat
Laporan pendahuluan ini dibuat untuk melaksanakan tugas yang diberikan
oleh dosen. Oleh karena itu saya mengucapkan banyak terima kasih kepada dosen
pembimbing mata kuliah yang telah senantiasa memberikan bimbingan serta arahan
kepada kami. saya juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
para pihak yang ikut berpartisipasi dalam penyusunan laporan pendahuluan ini yang
tidak dapat kami sebutkan.
Dalam penyusunan laporan pendahuluan ini, saya sebagai manusia biasa
menyadari bahwa laporan pendahuluan saya ini tidaklah sempurna dan tidak luput
dari kesalahan. Saya dari tim penyusun mengharapkan kiritik, saran serta masukan
yang membangun sehingga saya dapat meminimalisir kesalahan baik itu dari segi
penulisan, bahasa maupun dari segi penyusunan. Saya dari tim penyusun berharap
semoga apa yang dapat Saya sajikan di laporan pendahuluan ini dapat bermanfaat dan
menambah pengetahuan para pembaca. Akhir kata sekian dan terima kasih.
Gowa, Februari 2021

Nadya Widiasari
BAB I
TINJAUAN LITERATUR

A. Defenisi
Risiko perilaku kekerasan adalah suatu tindakan yang berisiko
membahayakan secara fisik, emosi dan atau seksual pada diri sendiri atau orang
lain (SDKI, 2016). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang
melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya
sendiri maupun orang lain, disertai amuk dan gaduh gelisah yang tak terkontrol
(Farida & Yudi, 2011). Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang
bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Berdasarkan
defenisi ini maka perilaku kekerasan dapat dilakukan secara verbal, diarahkan
pada diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Perilaku kekerasan dapat terjadi
dalam dua bentuk yaitu saat sedang berlangsung perilaku kekerasan atau riwayat
perilaku kekerasan. (Dermawan, Deden,dkk, 2013).

B. Faktor Predisposisi
Menurut Direja (2011) faktor-faktor yang menyebabkan perilaku kekerasan pada
pasien gangguan jiwa antara lain
a. Faktor psikologis
1) Terdapat asumsi bahwa seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami
hambatan akan timbul dorongan agresif yang memotivasi perilaku
kekerasan.
2) Berdasarkan penggunaan mekanisme koping individu dan masa kecil yang
tidak menyenangkan.
3) Rasa frustasi.
4) Adanya kekerasan dalam rumah, keluarga, atau lingkungan.
5) Teori psikoanalitik, teori ini menjelaskan bahwa tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego
dan membuat konsep diri yang rendah. Agresi dan kekerasan dapat
memberikan kekuatan dan prestise yang dapat meningkatkan citra diri serta
memberikan arti dalam kehidupannya. Teori lainnya berasumsi bahwa
perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan secara
terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri
pelaku tindak kekerasan.
6) Teori pembelajaran, perilaku kekerasan merupakan perilaku yang
dipelajari, individu yang memiliki pengaruh biologik dipengaruhi oleh
contoh peran eksternal dibandingkan anak-anak tanpa faktor predisposisi
biologik.
b. Faktor sosial budaya
Seseorang akan berespons terhadap peningkatan emosionalnya secara agresif
sesuai dengan respons yang dipelajarinya. Sesuai dengan teori menurut
Bandura bahwa agresif tidak berbeda dengan respon-respon yang lain.
Faktor ini dapat dipelajari melalui observasi atau imitasi, dan semakin sering
mendapatkan penguatan maka semakin besar kemungkinan terjadi. Budaya
juga dapat mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya norma dapat
membantu mendefinisikan ekspresi marah yang dapat diterima dan yang
tidak dapat diterima. Kontrol masyarakat yang rendah dan kecenderungan
menerima perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaiannya masalah perilaku
kekerasan merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan.
c. Faktor biologis
Berdasarkan hasil penelitian pada hewan, adanya stimulus elektris ringan
pada hipotalamus (pada sistem limbik) ternyata menimbulkan perilaku
agresif, dimana jika terjadi kerusakan fungsi limbik (untuk emosi dan
perilaku), lobus frontal (untuk pemikiran rasional), dan lobus temporal
(untuk interpretasi indra penciuman dan memori) akan menimbulkan mata
terbuka lebar, pupil berdilatasi, dan hendak menyerang objek yang ada di
sekitarnya. Selain itu berdasarkan teori biologik, ada beberapa hal yang
dapat mempengaruhi seseorang melakukan perilaku kekerasan, yaitu sebagai
berikut
1) Pengaruh neurofisiologik, beragam komponen sistem neurologis
mempunyai implikasi dalam memfasilitasi dan menghambat impuls
agresif. Sistem limbik sangat terlibat dalam menstimulasi timbulnya
perilaku bermusuhan dan respon agresif.
2) Pengaruh biokimia, menurut Goldstein dalam Townsend (1996)
menyatakan bahwa berbagai neurotransmitter (epinefrin, norepinefrin,
dopamine, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam
memfasilitasi dan menghambat impuls agresif. Peningkatan hormon
androgen dan norepinefrin serta penurunan serotonin dan GABA (6 dan
7) pada cairan serebrospinal merupakan faktor predisposisi penting yang
menyebabkan timbulnya perilaku agresif pada seseorang.
3) Pengaruh genetik, menurut penelitian perilaku agresif sangat erat
kaitannya dengan genetik termasuk genetik tipe kariotipe XYY, yang
umumnya dimiliki oleh penghuni penjara tindak kriminal (narapidana)
4) Gangguan otak, sindrom otak organik berhubungan dengan berbagai
gangguan serebral, tumor otak (khususnya pada limbik dan lobus
temporal) trauma otak, apenyakit ensefalitis, epilepsi (epilepsi lobus
temporal) terbukti berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak
kekerasan.

C. Faktor Presipitasi
1. Pemikiran waham atau delusi
2. Curiga pada orang lain
3. Halusinasi
4. Berencana bunuh diri
5. Disfungsi sistem keluarga
6. Kerusakan kognitif
7. Disorientasi atau konfusi
8. Kerusakan kontrol impuls
9. Persepsi pada lingkungan tidak akurat
10. Alam perasaan depresi
11. Riwayat kekerasan pada hewan
12. Kelainan neurologis
13. Lingkungan tidak teratur
14. Penganiayaan atau pengabaian anak
15. Riwayat atau ancaman kekerasan terhadap diri sendiri atau orang lain atau
destruksi property orang lain
16. Impulsif
17. Ilusi (SDKI, 2016)

D. Respon Rentang Marah

Adaptif Maladaptif

Asertif Frustasi Pasif Agresif Violence


(Ermawati Dalami, dkk 2014)

Dalam setiap orang terdapat kapasitas untuk berperilaku pasif, asertif, dan
agresif/perilaku kekerasan.
a. Perilaku asertif merupakan perilaku individu yang mampu menyatakan atau
mengungkapkan rasa marah atau tidak setuju tanpa menyalahkan atau menyakiti
orang lain sehingga perilaku ini dapat menimbulkan kelegaan pada individu.
b. Perilaku pasif merupakan perilaku individu yang tidak mampu untuk
mengungkapkan perasaan marah yang sedang dialami, dilakukan dengan tujuan
menghindari suatu ancaman nyata.
c. Agresif/perilaku kekerasan. Merupakan hasil dari kemarahan yang sangat tinggi
atau ketakutan (panik).
d. Stress, cemas, harga diri rendah dan rasa bersalah dapat menimbulkan kemarahan
yang dapat mengarah pada perilaku kekerasan. Respon rasa marah bisa
diekspresikan secara eksternal (perilaku kekerasan) maupun internal (depresi dan
penyakit fisik). Mengekspresikan marah dengan perilaku konstrukstif,
menggunakan kata-kata yang dapat dimengerti dan diterima tanpa menyakiti hati
orang lain, akan memberikan persaan lega, menurunkan ketegangan sehingga
perasaan marah diekspresikan dengan perilaku kekerasan biasanya dilakukan
individu karena ia merasa kuat. Cara demikian tidak menyelesaikan masalah,
bahkan dapat menimbulkan kemarahan berkepanjangan dan perilaku destruktif.
Perilaku yang tidak asertif seperti menekan perasaan marah dilakukan individu
seperti pura-pura tidak marah atau melarikan diri dari perasaan marahnya
sehingga rasa marah tidak terungkap. Kemarahan demikian akan menimbulkan
rasa bermusuhan yang lama dan suatu saat akan menimbulkan perasaan
destruktif yang ditujukan kepada diri sendiri. (Dermawan, Deden, 2013).

E. Tanda dan Gejala


Menurut Direja (2011) tanda dan gejala yang terjadi pada perilaku
kekerasanterdiri dari :
1. Fisik; Mata melotot/pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup,
wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku.
2. Verbal; Mengancam, mengumpat dengan kata-kata kotor, berbicara dengan
nada keras, kasar, ketus.
3. Perilaku; Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/orang lain, merusak
lingkungan, amuk/agresif.
4. Emosi; Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam,
jengkel,tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi,
menyalahkan, dan menuntut.
5. Intelektual; Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak
jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
6. Spiritual
Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral, dan
kreativitas terhambat.
7. Sosial
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran.
8. Perhatian
Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual

F. Mekanisme Koping
Mekanisme koping adalah tiap upaya yang diarahkan pada penatalaksanaan
stress, termasuk upaya penyelesaian masalah langsung dan mekanisme
pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri (Stuart dan Sudden, 1998).
Kemarahan merupakan ekspresi dari rasa cemas yang timbul karena adanya
ancaman. Beberapa mekanisme koping yang dipakai pada klien marah untuk
melindungi diri antara lain:
1. Sublimasi: menerima suatu sasaran pengganti artinya saat mengalami suatu
dorongan, penyaluran ke arah lain. Misalnya seseorang yang sedang marah
melampiaskan kemarahannya pada objek lain meremas adonan kue, meninju
tembok dan sebagainya, tujuannya adalah untuk mengurangi ketegangan
akibat rasa marah.
2. Proyeksi: menyalahkan orang lain, mengenal kesukarannya atau keinginannya
yang tidak baik. Misalnya seseorang wanita muda yang menyangkal bahwa ia
mempunyai perasaan seksual terhadap rekan kerjanya, berbalik menuduh
bahwa temannya tersebut mencoba merayu dan mencumbunya
3. Represi: mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke
alam sadar. Misalnya seseorang anak yang sangat benci kepada orang tuanya
yang tidak disukainya. Akan tetapi menurut ajaran atau didikan yang
diterimanya sejak kecil, membenci orang tua merupakan hal yang tidak baik
dan dikutuk oleh Tuhan sehingga perasaan benci itu ditekannya dan akhirnya
ia dapat melupakannya.
4. Reaksi formasi: mencegah keinginan yang berbahaya bisa diekspresikan
dengan berlebih-lebihan sikap dan perilaku yang berlawanan dan
menggunakannya sebagai rintangan. Misalnya seorang yang tertarik pada
teman-teman suaminya, akan memperlakukan orang tersebut dengan kasar.
5. Displacement: melepaskan perasaan yang tertekan, melampiaskan pada objek
yang tidak begitu berbahaya seperti yang pada mulanya yang membangkitkan
emosi itu. Misalnya Timmy berusia 4 tahun yang marah karena ia baru saja
mendapat hukuman dari ibunya karena menggambar di dinding kamarnya,
mulai bermain perang-perangan dengan teman-temannya. (Muhith, 2015).

G. Penatalaksanaan
1. Antianxiaty dan sedative-hypnotics, obat-obatan ini mengendalikan agitasi
yang akut. Benzodiazepines seperti Lorazepam dan Clonazepam sering
digunakan dalam kedaruratan psikiatrik untuk menenangkan perlawanan
klien. Tapi obat ini tidak direkomendasikan untuk penggunaan dalam waktu
lama karena dapat menyebabkan kebingungan dan ketergantungan, juga bisa
memperburuk symptom depresi. Selanjutnya, pada beberapa klien yang
mengalami disinhibiting effect dari benzodiapzepines, dapat mengakibatkan
peningkatan perilaku agresif. Buspiron obat anxiety, efektif dalam
mengendalikan perilaku kekerasan yang berkaitan dengan kecemasan dan
depresi. Ini ditunjukkan dengan menurunnya perilaku agresif dan agitasi klien
dengan cedera kepala, demensia, dan development disability.
2. Antidepressants, penggunaan obat ini mampu mengontrol impulsive dan
perilaku agresif klien yang berkaitan dengan perubahan mood. Amitriptyline
dan trazodone, efektif untuk menghilangkan agresitivitas yang berhubungan
dengan cedera kepala dan gangguan mental organic. Mood Stabilizer
penelitian menunjukkan bahwa pemberian lithium efektif untuk agresif karena
manic. Pada beberapa kasus, pemberiannya untuk menurunkan perilaku
agresif yang disebabkan oleh gangguan lain seperti RM, cedera kepala,
skizofrenia, gangguan kepribadian. Pada klien dengan epilepsy lobus
temporal, bisa meningkatkan perilaku agresif. Pemberian carbamazepines
dapat mengendalikan perilaku agresif pada klien dengan kelainan
(electroencephalograms).
3. Antipsyhoyic, obat-obatan ini biasanya dipergunakan untuk perawatan
perilaku agresif. Bila agitasi terjadi karena delusi, halusinasi atau perilaku
psikotik lainnya, maka pemberian obat ini dapat membantu, namun diberikan
hanya untuk 1-2 minggu sebelum efeknya dirasakan. Medikasi lainnya,
banyak kasus menunjukkan bahwa pemberian naltrexone (antagonis opiat)
dapat menurunkan perilaku mencederai diri. Betablockers seperti propanolol
dapat menurunkan perilaku kekerasan pada anak dan pada klien dengan
gangguan mental organic. (Muhith, 2015).

H. Pohon Masalah

Resiko Tinggi Mencederai, Orang Lain, dan Lingkungan

Perilaku Kekerasan PPS : Halusinasi

Regimen Terapeutik
Inefektif

Harga Diri Rendah Isolasi Sosial :


Kronis Menarik Diri

Koping Keluarga Berduka Disfungsional


Tidak Efektif
Gambar 2.2 Pohon Masalah Perilaku Kekerasan
Sumber
BAB II : (Fitria, 2010)
KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Menurut Keliat (2014) data perilaku kekerasan dapat diperolah melalui observasi
atau wawancara tentang perilaku berikut ini:
1. Wajah merah dan tegang
2. Pandangan tajam
3. Mengarupkan rahang dengan kuat
4. Mengepalkan tangan
5. Jalan mondar-mandir
6. Bicara kasar
7. Suara tinggi, menjerit atau berteriak
8. Mengancam secara verbal atau fisik
9. Melempar atau memukul benda /orang lain
10. Merusak barang atau benda
11. Tidak mempunyai kemampuan untuk mencegah atau mengontrol perilaku
kekerasan.

B. Diagnosis Keperawatan
Menurut Keliat (2014) daftar masalah yang mungkin muncul pada perilaku
kekerasan yaitu :
a. Perilaku Kekerasan.
b. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan.
c. Perubahan persepsi sensori: halusinasi.
d. Harga diri rendah kronis.
e. Isolasi sosial.
f. Berduka disfungsional.
g. Penatalaksanaan regimen terapeutik inefektif.
h. Koping keluarga inefektif.

C. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan disesuaikan dengan diagnosa keperawatan yang
muncul setelah melakukan pengkajian dan rencana keperawatan dilihat pada tujuan
khusus sebagai berikut:
DIAGNOSA Resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan
berhubungan dengan perilaku kekerasan/amuk
TUJUAN UMUM Klien tidak mencederai diri sendiri, orang lain dan
lingkungan
TUJUAN KHUSUS Rencana Tindakan:
Klien dapat membina 1. Bina hubungan saling percaya: salam terapeutik,
hubungan saling empati, sebut nama dan jelaskan tujuan interaksi
percaya 2. Panggil klien dengan nama panggilan yang disukai
3. Bicara dengan sikap tenang, rileks dan tidak
menantang
4. Jelaskan tentang kontrak yang akan dibuat
5. Beri rasa aman dan sikap empati
6. Lakukan kontak singkat tapi sering
Klien dapat Rencana Tindakan:
mengidentifikasi 1. Beri kesempatan mengungkapkan perasaan
penyebab perilaku 2. Bantu klien mengungkapkan perasaan jengkel/kesal
kekerasan 3. Dengarkan ungkapan rasa marah dan perasaan
bermusuhan klien dengan sikap tenang
Klien dapat Rencana Tindakan:
mengidentifikasi 1. Anjurkan klien mengungkapkan yang dialami dan
tanda-tanda perilaku dirasakan saat jengkel/kesal
kekerasan 2. Observasi tanda perilaku kekerasan
3. Simpulkan bersama klien tanda-tanda jengkel/kesal
yang dialami klien
Klien dapat Rencana Tindakan:
mengidentifikasi 1. Anjurkan mengungkapkan perilaku kekerasan yang
perilaku kekerasan biasa dilakukan
yang biasa dilakukan 2. Bantu bermain peran sesuai dengan perilaku
kekerasan yang biasa dilakukan
3. Tanyakan: apakah dengan cara yang dilakukan
masalahnya selesai?
Klien dapat Rencana Tindakan:
mengidentifikasi 1. Bicarakan akibat/kerugian dari cara yang dilakukan
akibat perilaku 2. Bersama klien menyimpulkan akibat dari cara yang
kekerasan digunakan
3. Tanyakan apakah ingin mempelajari cara baru yang
sehat
Klien dapat Rencana Tindakan:
mengidentifikasi cara 1. Tanyakan kepada klien apakah ia ingin mempelajari
konstruktif dalam cara baru yang sehat
berespon terhadap 2. Beri pujian jika mengetahui cara lain yang sehat
kemarahan 3. Diskusikan dengan klien cara lain yang sehat
a. Secara fisik: tarik nafas dalam jika sedang kesal,
berolahraga, memukul bantal/kasur atau pekerjaan
yang memerlukan tenaga
b. Secara verbal: katakan bahwa anda sedang marah
atau kesal/tersinggung
c. Secara sosial: lakukan dengan kelompok cara marah
yang sehat, latihan asertif, latihan manajemen
perilaku kekerasan
d. Secara spiritual: berdoa, sembahyang, memohon
kepada Tuhan untuk diberi kesabaran
Klien dapat Rencana Tindakan:
mendemonstrasikan 1. Bantu memilih cara yang paling tepat
cara mengontrol 2. Bantu mengidentifikasi manfaat cara yang telah
perilaku kekerasan dipilih
3. Bantu menstimulasikan cara yang telah dipilih
4. Beri reinforcement positif atas keberhasilan yang
dicapai dalam stimulasi
5. Anjurkan menggunakan cara yang telah dipilih saat
jengkel/marah
6. Susun jadwal melakukan cara yang telah dipilih
Klien dapat 1. Jelaskan jenis-jenis obat yang diminum klien pada
menggunakan obat klien dan keluarga
dengan benar (sesuai 2. Diskusikan manfaat minum obat dan kerugian
program) berhenti minum obat tanpa seizin dokter
3. Jelaskan prinsip 5 benar minum obat (nama klien,
obat, dosis, cara dan waktu)
4. Anjurkan untuk membicarakan efek samping obat
yang perlu diperhatikan
5. Anjurkan klien melaporkan pada perawat/dokter
jika merasakan efek yang tidak menyenangkan
6. Beri pujian jika klien minum obat dengan benar
Klien mendapat Rencana Tindakan:
dukungan dari 1. Identifikasi kemampuan keluarga merawat klien
keluarga dalam dari sikap keluarga selama ini
mengontrol perilaku 2. Jelaskan peran serta keluarga dalam merawat klien
kekerasan 3. Jelaskan cara-cara merawat klien
a. Cara mengontrol perilaku marah secara konstruktif
b. Sikap tenang, bicara tenang, dan jelas
c. Membantu klien mengenal penyebab ia marah
4. Bantu keluarga mendemonstrasikan cara merawat
klien
5. Bantu keluarga mengungkapkan perasaannya
setelah melakukan demonstrasi
Klien mendapat Rencana Tindakan:
perlindungan dari 1. Bicara tenang, gerakan tidak terburu-buru, nada
lingkungan untuk suara rendah, tunjukkan kepedulian
mengontrol perilaku 2. Lindungi agar klien tidak mencederai orang lain
kekerasan dan lingkungan
3. Jika tidak dapat diatasi, lakukan pembatasan gerak
atau pengekangan
(Muhith, 2015)

D. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai tindakan keperawatan
pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon klien terhadap
tindakan keperawatanyang telah dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi menjadi
dua, yaitu evaluasi proses atau formatif dilakukan setiap selesai melaksanakan
tindakan, evaluasi hasil atau sumatif dilakukan dengan membandingkan respon
klien pada tujuan khusus dan umum yang telah ditentukan.Evaluasi dapat
dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP, sebagai pola pikir. Adapun
hasil tindakan yang ingin dicapai pada pasien dengan perilaku kekerasan antara
lain
a. Klien dapat mengontrol atau mengendalikan perilaku keekrasan.
b. Klien dapat membina hubungan saling pecaya.
c. Klien dapat mengenal penyebab perilaku kekerasan yang dilakukakannya.
d. Klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan.
e. Klien dapat mengidentifikasi perilaku kekerasan yang pernah dilakukan.
f. Klien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan.
g. Klien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam mengungkapkan
kemarahan.
h. Klien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
i. Klien mendapatkan dukungan dari keluarga untuk mengontrol perilaku
kekerasan.
j. Klien menggunakan obat sesuai program yang telah ditetapkan.
(Fitria, 2010).
DAFTAR PUSTAKA

Dermawan, Deden,dkk, (2013). Keperawatan Jiwa Konsep dan Kerangka Kerja Asuhan
Keperawatan Jiwa; penerbit Gosyen Publishing, Yogyakarta.
Direja, A. H. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Ermawati, Dalami. (2010). Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta:
Trans Info Media
Farida, K., & Yudi, H. 2011. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: Salemba
Medika.
Muhith, Abdul, (2015). Pendidikan Keperawatan Jiwa; Penerbit CV Andi
Offset,Yogyakarta.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2017. Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI) Edisi 1 Cetakan 3(Revisi) . Jakarta : Dewan Pengurus Pusat PPNI
Fitria, N. 2010. Prinsip Dasar dan aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP dan SP). Jakarta: Salemba
Medika.
Keliat, D. B. 2014. Keperawatan Kesehatan Jiwa Komunitas. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.

Anda mungkin juga menyukai