Anda di halaman 1dari 46

MAKALAH KONSEP KESEHATAN REPRODUKSI

Topik : Homeless, Wanita di Pusat Rehabilitasi dan Pekerja Seks Komersial


Dosen Pembimbing : Ningrum Paramita Sari, S.Keb.Bd, M.Biomed.

Oleh :

KEBIDANAN A

1. Yulia Afwinda Saputri (185070600111035)


2. Berliana Salsabila A. (185070600111036)
3. Intan Salsa Cahyani (185070600111037)
4. Widyasuci Ardwiyanti (185070601111001)
5. Sheila Alfaroz (185070601111002)

S1 KEBIDANAN
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2021

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, atas berkat rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah tugas mata kuliah Konsep Kesehatan
Reproduksi Blok Menopause dan Gangguan Reproduksi Wanita yang berjudul “Homeless, Wanita di
Pusat Rehabilitasi dan Pekerja Seks Komersial” ini dengan baik. Semoga hasil diskusi kami ini dapat
berguna bagi penulis dan para pembaca.

Makalah tugas mata kuliah Konsep Kesehatan Reproduksi Blok Menopause dan Gangguan
Reproduksi Wanita ini dapat terselesaikan berkat bantuan berbagai pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada yang kami hormati Ratna Diana Fransiska, SST., MPH. Selaku dosen
pembimbing dan teman-teman yang sudah ikut membantu dalam pembuatan makalah ini. Kami pun
menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, segala
kritik dan saran yang membangun sangat kami perlukan untuk perbaikan ke depannya.

Atas perhatiannya kami ucapkan terimakasih.

Malang, 24 Februari 2021

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................ii
DAFTAR ISI...................................................................................iii
BAB I. PENDAHULUAN
1.1
LatarBelakang......................................................................................................................................1
1.2 Rumusan
Masalah...............................................................................................................................3
1.3 Tujuan
………..........................................................................................................................................3
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Homeless
2.1.1
Definisi...........................................................................................................................................
....4
2.1.2 Ciri, kategori dan undang-undang yang mengatur homeless .............................................4
2.1.3 Faktor
penyebab............................................................................................................................5
2.1.4 Epidemiologi tunawisma
wanita.................................................................................................7
2.1.6 Penanggulangan dan pemberdayaan tunwisma atau homeless........................................11
2.1.8 Peran pemerintah dalam upaya penanganan homeless di Indonesia...............................14
2.2 Wanita di Pusat Rehabilitasi
2.2.1
Definisi...........................................................................................................................................
..16
2.2.2 Jenis
rehabilitasi.............................................................................................................................17
2.2.3 Program
rehabilitasi.....................................................................................................................18
2.2.4 Gejala penyakit yang banyak ditemui pada pusat rehabilitasi.........................................18
2.2.5 Pusat
rehabilitasi...........................................................................................................................19
2.2.6 Macam-macam pusat
rehabilitsi..............................................................................................21
2.3 Pekerja Seks Komersial

3
2.3.1
Definisi...........................................................................................................................................
.28
2.3.2 Ciri-ciri pekerja seks
komersial..................................................................................................29
2.3.3 Sejarah adanya pekerja seks
komersial..................................................................................29
2.3.4 Hukum yang mengatur
perpelacuran.....................................................................................30
2.3.5 Tipe pekerja seks
komersial........................................................................................................30
2.3.6 Faktor penyebab adanya pekerja seks
komerial..................................................................32
2.3.7 Dampak yang timbul akibat adanya
pelacuran...................................................................33
2.3.8 Penanganan yang tepat terhadap adanya perpelacuran...................................................35
2.3.9 Pihak-pihak yang dapat membantu menyeleaikan permasalahan PSK........................37
BAB III.PENUTUP
3.1 Kesimpulan……………………………....................................
…...................................................................39
3.2 Saran………………………........................................
……………………….........................................................39
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................40

4
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu negara yang sedang berkembang. Hal ini dapat
terjadi karena negara Indonesia masih dengan rata-rata pendapatan yang rendah, infrastruktur
yang relative terbelakang, dan indeks perkembangan manusia yang kurang dibandingkan
dengan global. Sehingga, menimbulkan dampak dari hal-hal tersebut dalam bentuk
kemiskinan. Dalam konteks ini kemiskinan merupakan masalah yang kompleks, karena
berkaitan dengan berbagai aspek kehidupan, seperti aspek psikologi, aspek kesehatan,
budaya, aspek hukum, dan keamanan bahkan secara sosial ekonomi. Salah satu contoh
dampak nyata dari kemiskinan adalah munculnya tunawisma/ homeless yang mempunya
angka cakupan cukup besar di Indonesia hingga saat ini. Persaingan hidup yang keras di
perkotaan, membuat mereka yang tidak memiliki keterampilan ataupun tingkat pendidikan
yang tinggi akan kehilangan peluang untuk mendapatkan penghidupan sebagaimana
mestinya. Ketidakmampuan seseorang dalam pemenuhan kebutuhannya bisa disebabkan
karena keadaan fisik yang cacat, keterampilan terbatas, pendidikan yang rendah, bahkan tidak
adanya ruang gerak bagi mereka untuk berkreasi dan berinovasi. Keadaan seperti ini yang
menjadi lingkaran tak berujung bagi masyarakat miskin. Tidak adanya kesempatan bagi
mereka untuk memiliki ruang gerak mengakibatkan mereka menjadi manusia yang tidak
produktif. Hasilnya mereka akan tetap berada pada garis kemiskinan, bahkan mereka lebih
memilih hidup menggelandang dari meminta-minta.

Timbulnya rasa keputusasaan dalam kelompok masyarakat dengan ekonomi kebawah


mendorong perilaku negative seperti pada wanita dengan Pekerja Seks Komersial (PSK).
Dimana wanita PSK dengan sengaja atau tanpa segaja melakukan pekerjaan tersebut demi
mendapatkan penghidupan yang layak dan pemenuhan hidupnya. Masalah prostitusi
merupakan masalah yang kompleks karena sangat berkaitan dengan tatanan nilai, norma
agama dan budaya masyarakat. Data tahun 2009 menunjukkan bahwa jumlah PSK di
Indonesia sebanyak 71.721 orang, naik sekitar 8000 orang dibandingkan tahun 2008. Namun
pada tahun 2015 Kementrian Sosial mensinyalir bahwa jumlah tersebut turun menjadi 56.000
pekerja seks yang tersebar di 164 lokalisasi. Penghidupan dari seorang PSK tentunya dapat
menimbulkan berbagai macam penyakit, baik secara fisik maupun psikologis.

Pelacuran merupakan suatu hal yang sangat meresahkan masyarakat, karena berbagai
sebab pula, dengan adanya pelacuran sering terjadi hal-hal yang dapat menimbulkan
gangguan. Diantaranya bidang kriminalitas yakni keamanan, pencurian, perampokan,
pembunuhan, serta akibat lain misalnya gangguan ekonomi, budaya dan sebagainya.Selain itu

1
dilihat dari segi yang lain, dapat menimbulkan gangguan terhadap keharmonisan rumah
tangga yang akhirnya mengarah pada perceraian, sebab pelacuran adalah bentuk perhubungan
kelamin di luar pernikahan.

Pekerja seks komersial adalah wanita yang beresiko memiliki penyakit kelamin
karena pekerjaan mereka yang memberikan jasa dengan alat kelaminnya atau melacur. Dan
juga para pekerja seks komersial adalah penyebar penyakit kelamin yang dapat
membahayakan apabila tidak di koordinasikan dengan baik antara pihak- pihak yang terkait.
Banyak penyakit menular melalui para pekerja seks komersial yang diantaranya adalah sifilis
atau raja singa dan juga yang sagat berbahaya adalah HIV AIDS

Salah satu program pemerintah untuk mengatasinya, adalah menyediakan adanya


Rehabilitasi untuk wanita. Rehabilitasi adalah program untuk membantu memulihkan
seseorang yang memilki penyakit kronis baik dari fisik ataupun psikologisnya. Banyak wanita
PSK yang berhenti dari pekerjaanya dan mendapatkan rehabilitasi baik secara fisik maupun
psikologis.

Masalah pelacuran atau prostitusi merupakan masalah sosial yang sangat kompleks
karena populasi setiap tahunnya masih terlihat sangat banyak. Kemudian perilaku para
pekerja pelacuran merupakan hal yang sangat bertentangan dengan norma dan nilai yang
berlaku didalam masyarakat. Oleh karena itu perlu adanya penanganan yang serius untuk
merespon permasalahan ini. Rehabilitasi sosial adalah salah satu intervensi yang dapat
digunakan untuk mengatasi permasalahan wanita tuna susila (WTS). Rehabilitasi adalah
program untuk membantu memulihkan seseorang yang memilki penyakit kronis baik dari
fisik ataupun psikologisnya. Banyak wanita PSK yang berhenti dari pekerjaanya dan
mendapatkan rehabilitasi baik secara fisik maupun psikologis. Rehabilitasi sosial juga
merupakan ranah praktik pekerjaan sosial, maka dari itu perlu adanya kontribusi dari pekerja
sosial dalam penanganan masalah tersebut. Salah satu lembaga pemerintah yang melaksakan
fungsi rehabilitasi sosial adalah Balai Rehabilitasi Sosial Karya Wanita (BRSKW). Adapun
waktu rehabilitasi dilakukan kurang lebih selama enam bulan.

Dari hal tersebut penulis tertarik untuk membuat makalah untuk dapat menjelaskan
sisi kehidupan wanita dengan kondisi Tunawisma/ Homeless, PSK dan Rehabilitasi wanita
dalam kaitanya dengan Kesehatan Reproduksi Wanita.

2
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah kehidupan wanita dengan kondisi tunawisma?
2. Bagaimanakah penanggulangan dan pemberdayaan tunawisma?
3. Bagaimanakah kehidupan wanita yang merupakan PSK?
4. Bagaimanakah penanggulangan dan pemberdayaan PSK?
5. Bagaimanakah program rehabilitasi wanita di Indonesia?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui kehidupan wanita dengan kondisi tunawisma.
2. Untuk mengetahui penanggulangan dan pemberdayaan tunawisma.
3. Untuk mengetahui kehidupan wanita yang merupakan PSK.
4. Untuk mengetahui penanggulangan dan pemberdayaan PSK.
5. Untuk mengetahui program rehabilitasi wanita di Indonesia.

3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA + KASUS

HOMELESS
DEFINISI TUNAWISMA / HOMELESS
Homeless atau gelandangan adalah orang-orang yang hidup dalam keadaan tidak sesuai
dengan norma kehidupan yang layak dalam masyarakat setempat, serta tidak mempunyai tempat
tinggal dan pekerjaan yang tetap di wilayah tertentu dan hidup mengembara di tempat umum.
Istilah homuresu berasal dari bahasa Inggris, yaitu homeless, yang artinya tidak memiliki
rumah, atau tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap. Sedangkan dalam bahasa Indonesia kita lebih
mengenal dengan istilah tunawisma.
Tunawisma atau gelandangan adalah orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan
berdasarkan berbagai alasan harus tinggal di bawah kolong jembatan, taman umum, pinggir jalan,
pinggir sungai, stasiun kereta api, atau berbagai fasilitas umum lain untuk tidur dan menjalankan
kehidupan sehari-hari. Sebagai pembatas wilayah dan milik pribadi, tunawisma sering menggunakan
lembaran kardus, lembaran seng atau aluminium, lembaran plastik, selimut, gerobak, atau tenda sesuai
dengan keadaan geografis dan negara tempat tunawisma berada. Untuk memenuhi kebutuhan hidup
sehari-hari seringkali hidup dari belas kasihan orang lain atau bekerja sebagai pemulung. (Achmad,
2019)
CIRI, KATEGORI DAN UNDANG – UNDANG YANG MENGATUR HOMELESS
Berdasarkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dalam pasal 34 ayat (1) “Fakir
miski dan anak-anak yang terlantar di pelihara oleh Negara”, ayat (2) “Negara mengembangkan
sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak
mampu sesuai martabat kemanusian” dan ayat (3) “Negara bertanggung jawab atas penyediaan
fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.
Undang - Undang Dasar 1945 pasal 27 ayat 2 yang menyatakan bahwa “tiap-tiap warga Negara
berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi manusia”.
Ciri Tunawisma
a) Para tunawisma tidak mempunyai pekerjaan;
b) Kondisi fisik para tunawisma yang dapat dibilang tidak sehat karena kondisi lingkungan yang
memprihatinkan;
c) Para tunawisma biasanya mencaricari barang atau makanan disembarang tempat demi
memenuhi kebutuhan hidupnya; dan
d) Para tunawisma hidup bebas, tidak bergantung kepada orang lain ataupun keluarganya.

Kategori tunawisma:

4
a) Tunawisma biasa, yaitu mereka mempunyai pekerjaan namun tidak mempunyai tempat
tinggal tetap;
b) Tunakarya, yaitu mereka yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mempunyai tempat
tinggal tetap; dan
c) Tunakarya cacat, yaitu mereka yang tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mempunyai tempat
tinggal, juga mempunyai kekurangan jasmani dan rohani.

FAKTOR PENYEBAB HOMELESS


Menurut Irawan (2013:20) ada beberapa faktor yang menyebabkan orang-orang melakukan kegiatan
menggelandang yaitu :
1. Merantau dengan modal nekad
Dari gelandangan yang berkeliaran dalam kehidupan masyarakat khususnya di kota-kota
besar, banyak dari mereka yang merupakan orang desa yang ingin sukses di kota tanpa
memiliki kemampuan ataupun modal yang kuat. Sesampainya di kota, mereka berusaha dan
mencoba meskipun hanya dengan kenekatan untuk bertahan menghadapi kerasnya hidup di
kota. Belum terlatihnya mental ataupun kemampuan yang terbatas, modal nekat, dan tidak
adanya jaminan tempat tinggal membuat mereka tidak bisa berbuat apa-apa di kota sehingga
mereka memilih menjadi gelandangan.
2. Malas berusaha
Perilaku dan kebiasaan meminta-minta agar mendapatkan uang tanpa usaha payah cenderung
membuat sebagian masyarakat menjadi malas dan bertingkah seenaknya tanpa berusaha
terlebih dahulu.
3. Cacat fisik
Adanya keterbatasan kemampuan fisik dapat juga mendorong seseorang untuk memilih
seseorang menjadi gelandangan dibidang kerja. Sulitnya lapangan kerja dan kesempatan bagi
penyandang cacat fisik untuk medapatkan pekerjaan yang layak membuat mereka pasrah dan
bertahan hidup dengan cara menjadi gelandangan.
4. Tidak adanya lapangan pekerjaan
Akibat sulitnya mencari pekerjaan, apalagi yang tidak bersekolah atau memiliki keterbatasan
kemampuan akademis akhirnya membuat langkah mereka seringkali salah yaitu menjadi
peminta-minta sebagai satu-satunya pekerjaan yang bisa dilakukan.
5. Harga kebutuhan pokok yang mahal
Bagi sebagian orang, dalam menghadapi tingginya harga kebutuhan pokok dan memenuhi
kebutuhannya adalah dengan giat bekerja tanpa mengesampingkan harga diri, namun ada
sebagian yang lainnya lebih memutuskan untk mengemis karena berfikir tidak ada cara lagi
untuk memenuhi kebutuhan hidup.
6. Tradisi yang turun temurun

5
Menggelandang dan mengemis merupakan sebuah tradisi yang sudah ada dari zaman kerajaan
dahulu bahkan berlangsung turun temurun kepada anak cucu
7. Mengemis daripada menganggur
Akibat kondisi kehidupan yang serba sulit dan didukung oleh keadaan yang sulit untuk
mendapatkan pekerjaan membuat beberapa orang mempunyai mental dan pemikiran dari pada
menganggur maka lebih baik mengemis dan menggelandang.
8. Kemiskinan dan terlilit masalah ekonomi yang akut
Kebanyakan gelandangan adalah orang tidak mampu dan tidak berdaya dalam menghadapi
masalah ekonomi yang berkelanjutan dalam hidupnya sehingga menjadi gelandangan dan
pengemis adalah sebagai jalan bagi mereka untuk bertahan hidup.
9. Ikut-ikutan saja
Kehadiran pendatang baru bagi gelandangan dan pengemis sangat sulit dihindari, apalagi
didukung oleh adanya pemberitaan tentang gelandangan dan pengemis yang begitu mudahnya
mendapat uang di kota yang akhirnya membuat mereka yang melihat fenomena tersebut ikut-
ikutan dan mengikuti jejak teman-temannya yang sudah lebih dahulu menjadi gelandangan
10. Disuruh orang tua
Biasanya alasan seperti ini ditemukan pada pengemis yang masih anak-anak mereka bekerja
karena diperintahkan oleh orangtuanya dan dalam kasus seperti inilah terjadi eksploitasi anak.
11. Menjadi korban penipuan
Penyebab seseorang menjadi gelandangan dan pengemis tidak menutup kemungkinan
disebabkan oleh karena kondisi mereka yang menjadi korban penipuan. Hal ini biasanya
terjadi di kota besar yang memang rentan terhadap tindak kejahatan apalagi bagi pendatang
baru yang baru sampai di kota. Pendatang baru ini sering mengalami penipuan seperti yang
disebabkan oleh hipnotis dan obat bius. Peristiwa seperti itu dapat membuat trauma bagi yang
mengalaminya dan akibat tidak adanya pilihan lain akhirnya merekapun memutuskan untuk
menjadi peminta-minta untuk bisa pulang dan bertahan hidup di kota.

Dari beberapa pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa faktorfaktor yang
menyebabkan munculnya gelandangan adalah merantau dengan modal nekat, malas berusaha, cacat
fisik, tidak adanya lapangan pekerjaan, harga kebutuhan pokok yang mahal, tradisi yang turun
temurun, mengemis daripada menganggur, kemiskinan dan terlilit masalah ekonomi yang akut, ikut-
ikutan saja, disuruh orangtua, dan menjadi korban penipuan. (Oktafiana, 2019).

HOMELESS DALAM MASYARAKAT


Persoalan dalam lingkup masyarakat yang berhubungan dengan homeless dalam berbagai
pendapat:
 Di kota-kota besar, para tunawisma memadati lampu merah, emperan toko dan kawasan tertentu
sehingga menjadi fenomena tersendiri di dalam kehidupan sosial perkotaan di Indonesia.

6
 Di negara kapitalis maju, pengangguran dipicu oleh pengurangan jam kerja dan jumlah tenaga
kerja yang dibutuhkan akibat penerapan mekanisasi dan teknologi modern di sektor industry.
Sementara di negara berkembang, pemicu utama pengangguran adalah gejala deindustrialisasi
akibat proyek neoliberal.
 Dampak secara fisik dari tunawisma:
 Kebersihan dan kesehatan. Perilaku hidup bersih mereka masih sangat kurang. Ventilasi dan
penerangan juga masih kurang yang menyebabkan munculnya berbagai masalah kesehatan.
Mereka tidak mempunya dana yang cukup untuk memelihara kesehatan dan pengobatan
mereka sendiri.
 Gizi kurang. Mereka tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan akibat rendahnya daya beli
makan, terutama makanan bergizi. Hal inilah yang mengakibatkan mereka mengalami gizi
buruk termasuk ibu hamil dan balita.
 Tindak kekerasan sesame tunawisma. Perebutan atau persaingan lahan pencari makan
menyebabkan mereka berkonflik.
 Pengguna narkoba. Banyak diantara mereka mengkonsumsi narkoba. Hal ini disebabkan oleh
lingkungan tempat tinggal mereka. Mereka rawan terkena HIV/AIDS dengan penggunaan
jarum suntik secara bergantian.
 Dimanfaatkan. Banyak anak-anak kecil yang dimanfaatkan untuk mengemis dan menyetorkan
sejumlah uang setiap harinya agar terhindar dari tindak kekerasan oleh pihak lain yang lebih
kuat atau oleh orang dewasa yang tidak bertanggung jawab.
 Pelecehan seksual. Orang dewasa tidak bertanggung jawab melakukan sodomi, pelecehan
seksual dengan imbalan uang atau dibawah ancaman mereka untuk melampiaskan nafsu
mereka

EPIDEMIOLOGI TUNAWISMA WANITA


Fenomena tunawisma akibat tidak terpenuhinya kebutuhan primer manusia yang dihadapi
oleh beberapa negara di dunia, tak terkecuali negara maju. Dilansir dari Indopress (2016) Komisi PBB
untuk Hak Asasi Manusia, diperkirakan ada 100 juta di dunia telah kehilangan tempat tinggalnya.
Kehilangan tempat tinggal banyak disebabkan oleh bencana alam, kebakaran rumah, pengusuran dan
lain-lain. Dalam catatan dunia, Filipina menjadi negara dengan konsentrasi tunawisma terbanyak,
disusul oleh kota-kota di negara eropa seperti New York, Los Angeles, dan lain-lain dimana
kebanyakan dari tunawisma tinggal di penampungan (Syahputra, 2020).

7
Penelitian yang dilakukan oleh Wagner dan Perrine (2008) mengindentifikasi bahwa
setidaknya 30% populasi tunawisma di wilayah Asia adalah wanita dan anak-anak. Wanita yang
menjadi tunawisma memiliki kenaikan jumlah yang signifikan secara kuantitas. Populasi wanita yang
menjadi tunawisma khususnya di wilayah Asia memiliki kenaikan yang paling tinggi selama tahun
2006-2014 (Walmsley, 2012 dalam Gentzler, 2014).
Fenomena tunawisma juga menjadi persoalan tersendiri bagi kota-kota besar di Indonesia.
Bahkan pada tahun 2019 jumlah gelandangan dan pengemis yang tersebar di kota-kota besar di
Indonesia diperkirakan mencapai 77.500 jiwa.Jumlah tersebut juga dapat jauh lebih besar akibat
adanya kemiskinan, penggusuran, bencana alam, dan lain-lain. Laju pertumbuhan penduduk yang
semakin meningkat tanpa diimbangi dengan upaya pencegahan juga dapat menimbulkan
permasalahan di dalam tatanan masyarakat, ditambah lagi dengan kondisi geografis Indonesia yang
berkepulauan, menyebabkan kemerataan penduduk yang tidak seimbang. (Syahputra, 2020)
PERMASALAHAN WANITA DENGAN HOMELESS
Bhogaonker (2012) menjelaskan bahwa fokus dari kebutuhan wanita tunawisma yang
menetap di tempat penampungan diikuti oleh 4 isu utama, yaitu isu tentang masalah kesehatan mental,
perilaku kecenderungan bunuh diri, masalah penggunaan obat-obatan, dan masalah kesehatan
reproduksi . Studi tentang trauma di antara para wanita tunawisma menunjukkan bahwa pengalaman
traumatis sering melatarbelakangi kehidupan wanita tunawisma. Wanita tunawisma biasanya
memiliki riwayat kekerasan fisik dan seksual pada masa kanak-kanak, tetapi wanita tunawisma juga
memiliki pengalaman traumatis selama episode menjadi tunawisma. Menjadi seorang tunawisma bagi
wanita itu sendiri dapat dikatakan sebagai pengalaman yang traumatis (Taylor & Sharpe, 2008).
1. Mental health

8
Kekerasan fisik dan kekerasan seksual sangat lazim dialami oleh banyak wanita
tunawisma dengan permasalahan kesehatan mental. Wanita tunawisma yang memiliki riwayat
kekerasan di masa lalunya cenderung memiliki permasalahan kesehatan mental yang
umumnya yaitu:
i. permasalahan bunuh diri,
ii. riwayat PTSD seumur hidup, dan
iii. masalah depresi (Netzley dkk, 2006).
Menurut Hudson (2010) Wanita yang memiliki riwayat kekerasan memiliki rasa
takut, harga diri rendah, kesepian, dan menarik diri dari kehidupan sosial. Kesehatan mental
yang buruk dan harga diri yang rendah menjadi faktor risiko yang penting bagi kalangan
wanita tunawisma. Faktor-faktor pribadi, psikologis (harga diri yang rendah, ide bunuh diri,
dan gejala depresi yang tinggi) lazim di kalangan wanita tunawisma, membuat mereka rentan
terhadap permasalahan kesehatan mental (Hudson dkk, 2010).
Data yang dihimpun oleh Mental Health Service Administration (Bhogaonker, 2012)
menyebutkan bahwa estimasi 26,2% tunawisma dewasa di wilayah Asia yang tinggal di
tempat penampungan (shelter) menderita penyakit mental yang parah. Penelitian yang
dilakukan oleh Taylor dan Sharpe (2008) menjelaskan bahwa wanita tunawisma rentan
memiliki permasalahan kesehatan mental yang bermacam-macam. Seringkali wanita
tunawisma usia produktif yang tidak mendapatkan penanganan, dapat menghalangi
kemampuan mereka dalam mempertahankan diri di masa depan. Wanita tunawisma denga
mental health dapat memperparah dan menjadi factor risiko munculnya penyakit reproduksi
(Samanta, 2019).
2. Kehilangan dukungan social
Thoits (2000, dalam Wagner & Perrine, 2008) menjelaskan bahwa dukungan sosial
adalah permasalahan utama yang menjadi stresor bagi wanita tunawisma. Hilangnya
dukungan sosial dapat meningkatkan risiko wanita tunawisma mengalami keinginan untuk
bunuh diri. Netzley dan kawan-kawan (2006) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa adanya
riwayat kekerasan pada masa kanak-kanak dan kurangnya dukungan sosial serta
permasalahan ekonomi merupakan kombinasi permasalahan yang dapat menempatkan wanita
menjadi tunawisma yang berisiko tinggi.
3. Kesehatan Reproduksi dan Penggunaan obat – obatan berbahaya
Perempuan beresiko lebih besar daripada pria untuk mengalami infeksi menular
seksual seperti infeksi klamidia, gonore dan Sifilis dan juga HIV , hal ini akibat dari perilaku
berisiko tinggi, termasuk pekerja seks dan kemungkinan peningkatan menjadi korban
pelecehan seksual (covington, 2007). Hasil survei yang diselenggarakan di Rusia pada tahun
2005 di kalangan tahanan anak, kaum Gelandangan dan perempuan yang berada di pusat
tahanan di Moskow mengungkapkan bahwa 58% tahanan anak-anak, perempuan mengalami

9
infeksi si satu atau lebih bakteri penyakit menular seksual. Infeksi N. Gonorrhea dan
Chlamydia trachomatis.
Menurut penelitian dari Pusat Penelitian HIV & AIDS Unika Atma Jaya tahun 2015
Anak jalanan (wanita) dengan tunawisma, bahwa kehidupan jalanan memberikan kemudahan
serta peluang untuk perilaku seksual. Sebuah penelitian di Jakarta, Bandung, Surabaya, &
Medan pada 1284 anak jalanan menyebutkan sebanyak 6,9% pernah melakukan hubungan
seksual (Rikawarstuti, 2003). Hasil tersebut sesuai dengan uraian Yayasan Bahtera yang
menyatakan bahwa pada beberapa anak jalanan terbiasa berperilaku seks menyimpang seperti
melakukan sodomi dengan sesama anak jalanan dan terbiasa berhubungan seks dengan
pekerja seks komersil. Sebanyak 12,4% anak jalanan mengaku pernah melakukan hubungan
sejenis, 46,1% mengaku melakukannya dengan pacar, bahkan 12,4% pernah melakukannya
dengan pekerja seks (Rikawarstuti,2003).
Bagi sebagian anak perempuan jalanan, kehidupan seks merupakan bagian dari
kehidupan mereka di jalanan sehingga mereka mulai terbiasa untuk melakukan prostitusi agar
memperoleh uang. Hubungan seks ini seringkali ditukar dengan imbalan uang, tempat tinggal,
makanan, atau obat-obatan terlarang dari kehidupan jalanan, seperti memiliki banyak
pasangan seksual, penggunaan kondom yang tidak konsisten, dan aktivitas seksual berisiko
tinggi (Irwanto, 1995; Haley, 2004). Kecenderungan perilaku seksual di kalangan remaja
jalanan menempatkan mereka pada risiko tinggi untuk terkena HIV dan infeksi menular
seksual lainnya (IMS). Kebanyakan anak-anak jalanan yang berhubungan seks, langsung atau
tidak langsung dan baik secara sukarela atau melalui paksaan oleh orang dewasa atau anak-
anak lain (Irwanto, 1995).
Mereka berada dalam situasi atau lingkungan yang berpotensi besar terhadap
penyalahgunaan narkoba. Dimulai dengan penyalahgunaan obat terlarang, alkohol, rokok,
penggunaan tato dan tindik, serta jenis napza yang dioplos sesuai dengan eksperimen di
jalanan. Penyalahgunaan NAPZA dan Alkohol sebanyak cenderung cukup tinggi, seperti
yang dilaporkan oleh Mughnizah (2012) bahwa 24% dari sampel penelitian di Makassar
menggunakan napza atau alkohol.
Tekanan secara fisik seperti pemerkosaan, pemukulan dan teror psikologis seperti
intimidasi sangat dekat dengan dunia anak jalanan. Lingkungan yang keras dan tidak berpihak
mempengaruhi citra diri anak jalanan secara positif. Sepanjang waktu dengan hidup dijalanan
membuat anak jalanan yang mengalami ganguan psikologis seperti stress dan ganguan mental
(Haley, 2004). Anak jalanan yang lebih tua sering menjadikan anak jalanan yang lebih muda
sebagai pelampiasan berhubungan seksual secara anal sebagai ritual “melindungi” anak-anak
jalanan yang lebih muda. (Irwanto, 1999, 2001; Beazely, 2003).
Sedangkan menurut review yang dilakukan oleh Samantha dan Kanneth tahun 2000 –
2016 pada ras Amerika – Afrika / Hitam menjelaskan bahwa kejadian homeless lebih banyak

10
mengindikasi kejadian penyakit menular seksual dan HIV lebih tinggi daripada penduduk
yang tinggal menetap. Hal ini disebabkan, pada kondisi homeless rentan dengan berbagai
penyakit dan infeksi karena kebersihan yang kurang, dan lingkungan yang miskin dan kumuh.
Serta keadaan ekonomi yang rendah mempersulit mereka untuk mendapatkan akses
kesehatan.
4. Kecenderungan Bunuh Diri
Sebanyak 51% tunawisma berisiko tinggi terhadap ide bunuh diri, perilaku bunuh diri,
dan pernah melakukan percobaan bunuh diri (Grabbe dkk, 2010 dalam Bhogaonker, 2012). Desai
dan kawan-kawan (2013) menjelaskan sejumlah alasan mengapa tunawisma mungkin sangat
rentan terhadap risiko mengalami ide bunuh diri, Alasan-alasan tersebut akan dijabarkan berikut
ini:
 Beberapa literatur secara konsisten menunjukkan bahwa tunawisma memiliki tingkat
gangguan mental dan penyalahgunaan zat yang tinggi, keduanya terkait dengan
peningkatan risiko bunuh diri.
 Banyak faktor yang berkontribusi terhadap tunawisma juga meningkatkan risiko untuk
bunuh diri, misalnya, trauma masa kanak-kanak, ketidakstabilan keluarga, perawatan
asuh, riwayat keluarga dengan penyakit kejiwaan, dan keterlibatan peradilan pidana.
 Kurangnya akses ke layanan perawatan kesehatan yang dapat menyebabkan kegagalan
untuk mengidentifikasi dan mengelola gejala-gejala bunuh diri. Akhirnya, efek
demoralisasi menjadi tunawisma dapat berfungsi sebagai pemicu utama untuk
mengalami ide bunuh diri dan melakukan upaya bunuh diri.

Faktor risiko ide bunuh diri dan usaha bunuh diri di antara populasi sebuah komunitas
tampaknya berbeda berdasarkan ras dan gender. Secara khusus, hidup sendiri dan diabaikan oleh
keluarga terkait dengan meningkatnya keinginan bunuh diri untuk tunawisma, terutama wanita.
Berdasarkan gender, wanita tunawisma dianggap kurang mandiri dan tidak mampu hidup sendiri
apabila dibandingkan dengan tunawisma berjenis kelamin pria (Yu & Sung, 2015).

PENANGGULANGAN DAN PEMBERDAYAAN TUNAWISMA / HOMELESS


1. Penanggulangan Secara Umum
Penanggulangan tunawisma dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu:
 Tahap persiapan
Tunawisma biasanya tidak mempunyai tempat tinggal, maka suatu hal yang esensial bila
mereka ditanggulangi dengan memotivasi mereka untuk bersama-sama dikumpulkan
dalam suatu tempat. Tahap ini bertujuan untuk berusaha memasuki atau mengenal
aktivitas atau kehidupan para tunawisma.
 Tahap penyesuaian diri

11
Setelah para tunawisma dikumpulkan, maka mereka harus belajar untuk menyesuaikan
diri mereka pada lingkungannya yang baru dimana berlaku aturan-aturan khusus. Agar
nantinya mereka lebih disiplin dan teratur.
 Tahap pendidikan yang berkelanjutan
Setelah para tunawisma diadakan evaluasi mengenai potensi yang mereka miliki untuk
belajar dengan maksud supaya mendapatkan pendidikan yang lebih layak.

Dengan mekanisme yang lebih menyentuh pada permasalahan dasar para tunawisma,
diharapkan tunawisma di kota besar dapat teratasi tanpa menciderai hak-hak individu mereka dan
malah dapat membawa para gelandangan kepada kehidupan yang lebih baik. Namun, mekanisme
di atas merupakan tindakan jangka panjang yang membutuhkan waktu yang lama untuk dapat
terealisasi. Untuk itu, diperlukan kerjasama yang baik antar generasi kepemerintahan agar hal
tersebut dapat terwujud dan pada akhirnya kesejahteraan bangsa dapat lebih mudah dicapai. Dan
tentunya mekanisme tersebut harus dilakukan secara terus menerus dan paling tidak berangsur
agar hasil yang dicapai dari mekanisme tersebut akan sesuai harapan baik pemerintah maupun
tunawisma itu sendiri. Namun masih ada kendala dalam penanganan homeless. Kendala-kendala
tersebut ialah:

a. Alokasi dana untuk penanganan tunawisma relatif kecil;


b. Upaya penanganan terhadap tunawisma seringkali hanya berhenti di pendekatan
punitive-represif;
c. Upaya penanganan sering tidak didukung oleh kebijakan Pemerintah Daerah
(PEMDA);
d. Kurangnya partisipasi dan perhatian dari pemerintah; dan
e. Belum teratasinya kemiskinan.

Kebijakan yang dilakukan pemerintah, khususnya Pemerintah Daerah (PEMDA) selama


ini cenderung kurang menyentuh stakeholdernya, atau pihak-pihak yang terkait dengan
permasalahan dalam peraturan. Mekanisme yang saat ini dijalankan adalah dibangunnya Panti
Sosial untuk tunawisma (gelandangan). Namun, efektifitasnya dirasa kurang karena Panti Sosial
ini sebenarnya belum menyentuh permasalahan yang sebenarnya dari para tunawisma, yaitu
keengganan untuk kembali ke kampong halaman. Sehingga yang terjadi di dalam praktek
pembinaan sosial ini ialah para tunawisma yang keluar masuk panti social

PEMBERDAYAAN WANITA HOMELESS


Pemberdayaan gelandangan dan pengemis yang dilakukan oleh pihak dinas sosial bersifat
kompleks, artinya bahwa sebelum diadakannya pelatihan para gepeng terlebih dahulu diberikan
bimbingan-bimbingan, serta pelatihan keterampilan yang prosesnya adalah sebagai berikut :

12
 Bimbingan mental
Bimbingan mental ini dilakukan secara intensif oleh pihak dinas sosial kepada para
PMKS. Bagian ini merupakan bagian yang sangat penting guna menumbuhkan rasa
percaya diri serta spiritualitas para gelandangan dan pengemis. Karena pada dasarnya
mereka memiliki semangat dan rasa percaya diri yang selama ini tersimpan jauh di dalam
dirinya. Selain itu mereka juga mempunyai potensi yang cukup besar, hanya saja belum
memiliki penyaluran atau sarana penghantar dalam memanfaatkan potensi-potensi
tersebut. Pada saat pertama kali para gelandangan dan pengemis (gepeng) yang tercakup
dalam razia, keadaan mereka sangat memprihatinkan, ada yang memasang muka memelas
ada juga yang dengan santainya mengikuti semua proses dalam therapy ini, dalam therapy
individu dilakukan pengecekan terhadap semua gelandangan dan pengemis (gepeng) satu
persatu secara psikis.
 Bimbingan kesehatan
Sebelum pihak dinas kesehatan melakukan bimbingan kesehatan, terlebih dahulu para
penyandang masalah kesejahteraan sosial (PMKS) diberikan fasilitas penanganan
kesehatan yaitu pemeriksaan kesehatan bagi mereka yang sedang sakit. Kemudian
kegiatan bimbingan kesehatan dimulai dengan penyadaran tentang pentingnya kesehatan
badan atau jasmani. Mulai dari hal kecil seperti pentingnya mandi, gosok gigi dan
memakai pakaian bersih. Melihat selama ini kehidupan di jalanan yang sangat keras dan
serba tidak sehat, para gelandangan dan pengemis (gepeng) tentu masih merasa kesulitan
untuk menerapkan gaya hidup sehat sehingga apa yang diperoleh dalam bimbingan
kesehatan tidak diterapkan sepenuhnya dalam kehidupan mereka.
 Bimbingan ketertiban
Bimbingan ketertiban ini diisi oleh Satpol PP yang dilakukan 1 bulan sekali, dengan
tujuan memberikan pengarahan tentang tata tertib lalu lintas, serta peraturan di jalan raya,
sehingga para gelandangan dan pengemis tidak lagi berkeliaran dijalan raya, karena
keberadaan mereka di jalanan sangat mengganggu keamanan serta ketertiban lalu lintas.
Dalam proses bimbingan ketertiban ini biasanya pihak dinas sosial mendatangkan
narasumber dari Satpol PP atau pihak kepolisian setempat. Menurut pengamatan peneliti
pada saat pertama mengikuti wejangan dari pak polisi para gelandangan dan pengemis
(gepeng) terlihat sangat antusias. Mungkin mereka takut berhadapan dengan polisi,
karena pada dasarnya para gelandangan dan pengemis (gepeng) dijalanan sangat berhati-
hati terhadap polisi, takut ditangkap dan kemudian dipenjarakan.
 Bimbingan keagamaan
Bimbingan keagamaan dilakukan secara intensif oleh pihak dinas sosial, guna untuk
menguatkan kembali spiritualitas para gelandangan dan pengemis. Faktor Pendorong dan

13
Faktor Penghambat Proses Penanganan Gelandangan dan Pengemis di Liponsos
(Zefianningsih, 2016).

PERAN PEMERINTAH DALAM UPAYA PENANGANAN HOMELESS DI INDONESIA

(18/2/2021) Wakil Presiden Ma'ruf Amin meresmikan Sentra Kreasi Asistensi Rehabilitasi Sosial
(Atensi) milik Kementerian Sosial ( Kemensos) di Balai Karya Pangudi Luhur, Bekasi, Jawa Barat,
Kamis (18/2/2021). Dalam peresmian tersebut, Wapres Ma'ruf turut didampingi oleh Menteri Sosial
Tri Rismaharini dan Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil. Ma'ruf mengapresiasi inisiatif Kemensos
untuk memberikan ruang kepada para eks pemulung dan tunawisma tersebut untuk berkreasi.
Kegiatan tersebut antara lain pemberdayaan kuliner, pertanian, hidroponik, peternakan ayam petelur,
kerajinan tangan, dan daur ulang sampah nonorganik, pemberdayaan jasa layanan refleksi, salon
kecantikan, dan konveksi. Ma'ruf meyakini bahwa melalui program Atensi tersebut, berbagai upaya
pemerintah bersama seluruh stakeholders bisa dirasakan manfaatnya oleh masyarakat secara langsung.
Di samping itu, Ma'ruf juga meminta balai-balai rehabilitasi sosial di lingkungan Kementerian Sosial
dan pemerintah daerah proaktif merespons berbagai kebutuhan dasar dan khusus.
Di samping meresmikan Sentra Kreasi Atensi, Wapres juga meninjau lokasi rencana pembangunan
rumah susun (rusun) yang diperuntukkan bagi eks pemulung dan tunawisma oleh Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

14
Kepala Bagian Publikasi dan Pemberitaan Kementerian Sosial (Kemensos) Herman Koswara
menanggapi pertanyaan sejumlah pihak yang mempertanyakan  keberadaan tunawisma di kawasan
Sudirman-Thamrin, Jakarta Pusat.

Herman mengatakan dua orang tunawisma yang ditemukan Mensos Tri Rismaharini di Thamrin saat
ini sedang melatih keterampilan kerja di Balai Rehabilitas Sosial eks Gelandangan dan Pengemis
(BRSEG) Pangudi Luhur, Bekasi. (7/1/2021)

15
19/4/2016 Program Desaku Menanti adalah program penanganan gelandangan dan pengemis di
perkotaan yang komprehensif dan mengedepankan keterpaduan dalam rehabilitasi sosial gelandangan
dan pengemis dilakukan secara terpadu berbasis desa. Program “Desaku Menanti” adalah sebuah
model pertama kali dikembangkan oleh Kementerian Sosial sejak tahun 2014 di Pasuruan. 40 kepala
keluarga (KK) gelandangan dan pengemis yang ikut program Desaku Menanti, dibantu material
bangunan rumah senilai Rp30 juta. Juga diberikan bantuan usaha ekonomi produktif Rp5 juta,
bantuan untuk membeli peralatan rumah tangga Rp1,5 juta dan bantuan jaminan hidup diberikan
selama 3 bulan.

WANITA DI PUSAT REHABILITASI

A. Pengertian
a. Wanita
Wanita adalah sebutan yang digunakan untuk spesies manusia berjenis kelamin betina.
Wanita adalah kata yang umum digunakan untuk menggambarkan perempuan dewasa.
Perempuan yang sudah menikah juga biasa dipanggil dengan sebutan ibu. Untuk
perempuan yang belum menikah atau berada antara umur 16 hingga 21 tahun disebut juga
dengan anak gadis. Perempuan yang memiliki organ reproduksi yang baik akan memiliki
kemampuan untuk mengandung, melahirkan dan menyusui.
b. Rehabilitasi
Rehabilitasi adalah program untuk membantu memulihkan orang yang memilki penyakit
kronis baik dari fisik ataupun psikologisnya. Program Rehabilitasi individu adalah

16
program yang mencangkup penilaian awal, pendidikan pasien, pelatihan, bantuan
psikologis, dan pencegahan penyakit. Selain itu, ada beberapa definisi tentang rehabilitasi
yang tercantum dalam ketentuanketentuan yaitu:
1. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Narkotika, Rehabilitasi
Medis adalah “suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu untuk membebaskan
pecandu dari ketergantungan narkotika”.
2. Menurut Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika Rehabilitasi
Sosial adalah ”suatu proses kegiatan pemulihan secara terpadu baik fisik, mental
maupun sosial agar bekas pecandu narkotika dapat kembali melaksanakan fungsi
sosial dalam kehidupan masyarakat”.
3. Menurut KEPMENKES 996/MENKES/SK/VIII/2002 tentang Pedoman
Penyelenggaraan Sarana Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan
NAPZA. Rehabilitasi adalah ”Upaya kesehatan yang dilakukan secara utuh dan
terpadu melalui pendekatan non-medis, psikologis, sosial dan religi agar pengguna
NAPZA yang menderita sindroma ketergantungan dapat mencapai kemampuan
fungsional seoptimal mungkin”.
4. KEPMENKES 996/MENKES/SK/VIII/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Sarana Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA, Sarana
Pelayanan Rehabilitasi adalah ”tempat yang digunakan untuk menyelenggarakan
pelayanan rehabilitasi penyalahgunaan dan ketergantungan NAPZA, berupa Kegiatan
Pemulihan dan Pengembangan secara terpadu baik fisik, mental, sosial dan agama”.

B. Jenis Rehabilitasi
Dengan prinsip utama bahwa rehabilitasi tersebut adalah dalam upaya melakukan pemulihan
terhadap korban secara komprehensif (baik medis mapun sosial) dan dalam prinsip untuk
memanusiakan-manusia. Pada dasarnya Rehabilitasi yang diatur dalam regulasi
KEPMENKES 996/MENKES/SK/VIII/2002 tersebut ada 2 yaitu:
a. Rehabilitasi Medis
Rehabilitasi medis adalah suatu bentuk layanan kesehatan terpadu di bawah naungan
rumah sakit yang dikoordinasi dokter spesialis rehabilitasi medis
b. Rehabilitasi Sosial
Rehabilitasi sosial adalah proses refungsionalisasi dan pengembangan untuk
memungkinkan seseorang mampu melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar dalam
kehidupan masyarakat.
Tim rehabilitasi medik:
1. Dokter spesialis rehabilitasi medik: penanggung jawab tim, coordinator, dokter
fungsional dan terapis rehabilitasi medik.

17
2. Fisioterapis: tindakan terapi fisik.
3. Terapis Wicara.
4. Terapis Okupasi.
5. Psikolog.
6. Ortotis/Prostetis.
7. Petugas sosial medis.
8. Perawat rehabilitasi medik.

Rehabilitasi medik membantu penanganan: ·


1. Gangguan tumbuh kembang/cacat bawaan sejak bayi hingga dewasa. ·
2. Ancaman kecacatan karena penyakit atau cidera. ·
3. Kecacatan penyakit atau cidera. ·
4. Dampak psikologis sosial budaya dan vokasional. ·
5. Kecuali cacat pada mata, telinga, dan gangguan jiwa.

C. Program Rehabilitasi
Program Rehabilitasi diantaranya yaitu, program rehabilitasi yang lamanya 3 bulan yang
mencakup :
a. Pendidikan agama (kognitif, afektif, dan psikomotor).
b. Psikoterapi kelompok (group psychotherapy) dan psikoterapi perorangan (Individual
Psychotherapy).
c. Pendidikan umum.
d. Pendidikan keterampilan.
e. Pendidikan jasmani (olahraga).
f. Rekreasi.
Hasil yang diharapkan sesuai dari program rehabilitasi adalah:
a. Beriman dan bertakwa.
b. Memiliki kekebalan fisik maupun mental terhadap NAPZA.
c. Memiliki keterampilan.
d. Dapat kembali berfungsi secara wajar (layak) dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah
(keluarga), di sekolah/kampus, di tempat kerja, maupun masyarakat.

D. Gejala Penyakit yang Banyak Ditemui pada Pusat Rehabilitasi


Pusat rehabilitasi menggunakan berbagai metode yang berbeda terhadap pasien,
perawatanpun disesuaikan menurut penyakit pasien dan seluk-beluk dari awal terhadap pasien
tersebut. Waktu juga menentukan perbedaan perawatan antar pasien. Dan pengobatan rawat
jalan adalah program yang sangat bermanfaat bagi para pasien di tahap awal, khususnya bagi

18
pasien yang kecanduan atau addiction. Gejala penyakit yang banyak ditemui pada pusat
Rehabilitasi:
1. Watak Pemarah.
2. Perilaku yang aneh.
3. Kehilangan nafsu makan.
4. Kehilangan berat badan.
Para pasien yang masuk di pusat Rehabilitasi kebanyakan menderita rendah diri dan
kurangnya pandangan positif terhadap kehidupan, oleh karena itu psikologi memainkan
peranan yang sangat besar dalam program Rehabilitasi, dan hal ini juga sangat penting untuk
menjaga pasien dari teman-teman dan lingkungan yang memungkinkan kecanduan kembali
terhadap obat-obat terlarang. Sangat dianjurkan untuk tidak memilih pusat Rehabilitasi yang
terletak dekat dengan rumah pasien, uangpun memainkan peranan penting dalam perawatan,
tidak lupa kesabaran juga merupakan faktor yang penting baik itu dari pihak individu dan
keluarganya sendiri. Beberapa tips menjaga pasien agar tidak mengulang kesalahannya
setelah pulang dari pusat Rehabilitasi:
1. Menemukan kembali hobi yang positif atau perkerjaan yang tetap bagi pasien.
2. Menjaga hubungan baik antara lingkungan keluarga dan sekitar.
3. Bertemu dengan konsultan kejiwaan atau psikiater secara berkala.
4. Kesabaran dan keyakinan dari pasien itu sendiri akan proses pemulihan dari obat dan
kecanduan.

E. Pusat Rehabilitasi
Pusat rehabilitasi adalah tempat atau sarana yg digunakan untuk proses pemulihan atau
perbaikan untuk kembali seperti semula misal ketergantungan narkoba, penyandang cacat
baik fisik atau mental dan masalah yg lain.
1. Subyek Rehabilitasi
a. Pribadi korban narkoba.
b. Orang-orang terdekat.
c. Masyarakat sekitar dan umum.
d. Gembong dan pengedar narkoba.
2. Sarana Dan Prasarana Rehabilitasi
a. Tersedia dukungan, pertolongan dan harapan.
b. Perpustakaan dan buku, bahan audiovisual dan alat peraga.
c. Sarana peningkatan minat dan ketrampilan.
d. Sarana rekreasi.
e. Jadwal harian atau program kegiatan.
f. Fasilitas angkutan dan komunikasi.

19
g. Tenaga professional seperti dokter, psikiater, psikolog, sosiolog, ahli kerohanian,
TOGA, fisioterapi.
3. Pola Dasar Rancangan Rehabilitasi
a. Tahap I yaitu proses transisi awal (1-8minggu), melewati 3 titik penting. Yaitu :
 Informasi adanya masalah
 Informasi klinis dan keputusan untuk menempuh rehabilitasi
 Persiapan akhir lewat detoksifikasi dan stabilitasi awal
b. Tahap II yaitu proses rehabilitasi intensif (3-18 bulan), melewati 3 titik penting:
 Tahap konsolidasi : secara sadar dan tekun melepaskan diri dari berbagai
penyakit dan akibat lain.
 Tahap pengakuan diri : menemukan jati diri, menguasai ketrampilan kerja,
dibina pengungkapan pengungkapan diri
 Tahap positif thinking and doing : secara sadar dan dengan inisiatif untuk
mencapai prestasi.
c. Tahap III yaitu proses transisi akhir (1-6 tahun), melewati 3 titik penting. Yaitu :
 Terjadi perdamaian & penesuaian kembali dengan lingkungan
 Berdamai dengan dirinya, menatap kedepan dan membuat pilihan hidup
 Merasa puas menerima dirinya apa adanya lalu mempercayakan dirinya ke
orang lain.
d. Tahap IV yaitu pemeliharaan lanjut (seumur hidup). melewati 3 titik penting. Yaitu :
 mengubah dan menjauhi nostalgia kesenangan nakoba
 setia mengikuti program-program dan acara affect care kurang lebih 2 tahun
 tidak ada salahnya untuk ikut terlbat dlam gerakan kelompok bersih narkoba.
4.
4. Jenjang Proses Kesembuhan
a. Jenjang Transisi.
Gejala mulai kesadaran bahwa ia kehilangan sesuatu yang berharga : kewarasan,
hidup normal dalam hati kecil, ulai mengakui bahwa ia sedang ketagihan,
ketergantungan dan sulit untuk meninggalkan narkoba
b. Jenjang stabilisasi Dini.
Mulai memenahi diri dengan cara sendiri, dan butuh bantuan orang lain. Cara
mensabilkan diri :
 Mengakui perlunya jasa mendamping
 Melangkah mengatasi gejala putus asa
 Melangkah mengatasi masalah psikologis
 Memelajari metode mengatasi stress tanpa obat-obatan.

20
c. Jenjang kesembuhan awal.
Merubah seluruh system keyakinan menempuh arah baru, kehidupan berlawanan
dengan masalah:
 Mengakui bahaya dari masalahnya
 Bersedia menerima bantuan dari orang lain
 Berusaha membangun hidup baru
 Yakin akan menerima keberanian, kekuatan dan harapan dari tuhan
d. Jenjang kesembuhan menengah
Pola hidup yang masih rancu, yang perlu dibenahi :
 Menanggulangibahaya patah semangat
 Memperbaiki gangguan
 Mengusahakan peningkatan emosi diri
 Membangun gaya hidup yang seimbang
 Menata perubahan dan pertumbuhan diri
e. Jenjang akhir kesembuhan.
Dalam jenjang akhir ini perhatian dipusatkan pada masalah yang berukuran pada
pecandu seperti : masalah DNA, penularan,keyakinan dan kepercayaan.
f. Jenjang Pemantapan
 Memelihara program kesembuhan
 Mengubah pola hidup
 Bertambah dan berkembang
 Mampu menyesuaikan diri

F. Macam-Macam Pusat Rehabilitasi


Pusat Rehabilitasi terdiri dari berbagai macam, diantaranya:
1. Pusat Rehabilitasi Pengguna Narkoba/NAPZA
Penggunaan rutin obat-obatan terlarang oleh pengguna narkoba yang terus
berlangsung, dapat menimbulkan masalah yang semakin bertambah. Biasanya mereka
melakukan berbagai cara untuk mendapatkan obat-obatan, seperti mereka mencari
pinjaman dari teman dan keluarga dengan alasan yang dibuat-buat, serta tidak jarang
harta benda keluarga dijual di bawah harga yang seharusnya untuk membeli obat-obatan
tersebut. Berbohong dan manipulasi juga menjadi cara untuk menutupi penggunaan obat.
Menyadari banyaknya masalah yang ditimbulkan akibat penggunaan narkoba maka
diperlukan perhatian khusus untuk menanggulangi masalah tersebut, seperti diadakannya
rehabilitasi untuk pengguna narkoba. Dalam rehabilitasi terdapat treatment yang dapat
membantu dalam proses penyembuhan pengguna narkoba.

21
Ada beberapa hak-hak umum yang disediakan bagi korban dan keluarga korban
narkoba yang meliputi:
a. Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya. Pemberian
ganti kerugian ini dapat diberikan oleh pelaku atau pihak lainnya, seperti negara atau
lembaga khusus yang bentuk untuk menangani masalah ganti kerugian korban.
b. Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi.
c. Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku.
d. Hak untuk memperoleh bantuan hukum.
e. Hak untuk memperoleh hak (harta) miliknya.
f. Hak untuk memperoleh akses pelayanan medis.
g. Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara
atau pelaku buron dari tahanan.
h. Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dengan
kejahatan yang menimpa korban.
i. Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti merahasiakan nomor
telepon atau identitas korban lainnya.
Demikian juga pada pasal 6 undang-undang menyatakan: korban dalam pelanggaran
hak asasi manusia yang berat, selain berhak atas hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal
5, juga berhak untuk mendapatkan:
a. Bantuan medis.
b. Bantuan rehabilitasi psiko-sosial
Yang dimaksud dengan “bantuan rehabilitasi psiko-sosial” adalah bantuan yang
diberikan oleh psikolog kepada korban yang menderita trauma atau masalah kejiwaan
lainnya untuk memulihkan kembali kondisi kejiwaan korban.

A. Definisi Rehabilitasi dalam konteks pemulihan korban NAPZA


Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa dari perspektif viktimologi,
Pecandu NAPZA adalah merupakan korban sehingga berhak untuk mendapatkan hak
atas rehabilitasi. Hak ini sesungguhnya telah diatur dalam beberapa peraturan
perundang-undangan nasional yang terkait dengan pecandu NAPZA diantaranya
adalah:
1. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika;
2. Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika;
3. KEPMENKES 996/MENKES/SK/VIII/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Sarana Pelayanan Rehabilitasi Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA;
4. KEPMENKES 996/MENKES/SK/VIII/2002 tentang Pedoman Penyelenggaraan
Sarana Pelayanan Rehabilitasi.

22
B. Penyalahgunaan dan Ketergantungan NAPZA
Vonis rehabilitasi bukanlah satu-satunya jalan mewujudkan dekriminalisi untuk
mengembalikan hak-hak korban NAPZA. Berbagai hal dapat dilakukan sebagaimana
yang dilakuan oleh negara-negara lain termasuk tetangga dekat kita Malaysia. Setidaknya
amandemen terhadap peraturan perundang-undangan tentang NAPZA seyognya
memperhatikan perkembangan masyarakat termasuk menempatkan pengguna dalam
kedudukannya sebagai korban dan juga mempunyai upaya untuk mengurangi dampak
buruk dari penggunaan NAPZA. Regulasi yang dibentuk tidak lagi meletakan seolah-
olah pengguna NAPZA adalah satusatunya faktor ”perusak” tatanan masyarakat padahal
banyak faktor utama lainnya yang menyebabkan gencarnya peredaran gelap napza.
Sudah saatnya pengguna dilihat dalam kedudukannya sebagai korban baik secara formil
maupun materiil sehingga hak untuk direhabilitasi sebagai wujud dekriminalisasi
terhadap korban NAPZA harus dilakukan. Apapun bentuknya, esensi dari dekriminalisasi
adalah mengembalikan hak korban sehingga tidak terjadi viktimisasi.
C. Bentuk Rehabilitasi
Tujuan umum pendirian Pusat Rehabilitasi Penyalahgunaan NAPZA Terpadu adalah
untuk memberikan jaminan penanganan paripurna kepada korban penyalahgunaan
NAPZA melalui aspek hukum, aspek medis, aspek sosial, aspek spiritual, serta
pengembangan pendidikan dan pelatihan dalam bidang NAPZA secara terpadu
sedangkan tujuan khususnya adalah:
a. Terhindarnya korban dan institusi dan penetrasi pengedar;
b. Terhindarnya kerusakan mental dan masa depan para penyalahguna NAPZA yang
akan membunuh potensi pengembangan mereka;
c. Terhindarnya korban-korban baru akibat penularan penyakit seperti Hepatitis,
HIV/AIDS, dan penyakit menular lainnya;
d. Terwujudnya penanganan hukum yang selaras dengan pelayanan rehabilitasi
medis/sosial;
e. Terwujudnya proses pengembangan penanganan korban NAPZA dan aspek ilmiah,
serta keilmuan yang dinamis, sesuai dengan perkembangan zaman sebagai pusat
jaringan informasi terpadu dan mewujudkan teknis penanganan penyalagunaan
narkotika dan obat-obatan terlarang bagi daerah sekitarnya maupun nasional.

Tujuan-tujuan yang termaktub diatas sesungguhnya sejalan dengan upaya-upaya


untuk melakukan pemulihan korban serta sebagai upaya perlindungan terhadap korban
NAPZA. Namun tujuan-tujuan tersebut seringkali tidak berjalan secara ideal dalam
prakteknya. Selama ini program rehabilitasi terhadap korban terfokus pada rehabilitasi

23
secara medis, sedangkan rehabilitasi sosial sering diabaikan. Padahal rehabilitasi sosial
memegang peranan yang sama pentingnya dengan rehabilitasi medis. Sekalipun
rehabilitasi medis telah berhasil menghilangkan kecanduan seseorang terhadap
psikotropika, jika tidak diikuti dengan rehabilitasi sosial, orang tersebut akan dengan
mudah kembali ke tempat lingkungan lamanya, kemudian akan menjadi pecandu obat-
obat terlarang. Problematika ini seringkali dihadapi oleh para pengguna NAPZA.
Rehabilitasi medis dalam prakteknya kerap menerapkan metode isolasi sebagai upaya
pemulihan medis terhadap korban. Metode ini tentunya punya konsekwensi logis, bahwa
para korban kehilangan “persentuhan sosial” selama proses tersebut dijalankan. Pada
tingkat yang sama, ketika para korban sudah selesai pada tahapan rehabilitasi medis,
kerap tidak diikuti dengan rehabilitasi sosial sehingga ketika pecandu tersebut kembali ke
kehidupan masyarakat, mereka “gagap sosial”. Seringkali terjadi ketidaksiapan untuk
beradaptasi dalam kehidupan sosial sehingga korban punya kans besar untuk kembali ke
lingkungan lamanya yang dianggap lebih nyaman dan kemudian kembali kecanduan
(relaps). Dari hal-hal tersebut maka bentuk dari rehabilitasi yang ideal yaitu:
1. Pusat Rehabilitasi adalah dalam upaya untuk memenuhi hak-hak korban NAPZA
bertujuan untuk pemulihan korban baik medis maupun sosial.
2. Pusat Rehabilitasi harus jauh dari model sistem pemenjaraan, hal ini penting agar
Pusat Rehabilitasi betul-betul adalah tempat bagi pemulihan korban baik secara
medis maupun sosial dan bukan merupakan penjara dalam bentuk lain.
3. Pusat Rehabilitasi ini adalah hasil dari refleksi dari praktek/program rehabilitasi yang
selama ini telah berjalan, dimana lebih menitikberatkan pada rehabilitasi medis dan
cenderung mengabaikan rehabilitasi sosial. Untuk lebih lanjut, dalam merumuskan
suatu penjabaran dari konsepsi rehabilitasi dapat mencari referensi sebagai
perbandingan tentang konsepsi rehabilitasi di negara-negara yang telah menerapkan
vonis rehabilitasi.

2. Pusat Rehabilitasi PSK


PSK (Pekerja Seks Komersial) adalah profesi yang menjual jasa untuk memuaskan
kebutuhan seksual pelanggan. Biasanya pelayanan ini dalam bentuk menyewakan
tubuhnya. Dikalangan masyarakat Indonesia, pelacuran dipandang negatif, dan mereka
yang menyewakan atau menjual tubuhnya sering dianggap sebagai sampah masyarakat.
Ada pula pihak yang menganggap pelacuran sebagai sesuatu yang buruk, malah jahat,
namun dibutuhkan (evil necessity). Pandangan ini didasarkan pada anggapan bahwa
kehadiran pelacuran bisa menyalurkan nafsu seksual pihak yang membutuhkannya
(biasanya kaum lakilaki); tanpa penyaluran itu, dikhawatirkan para pelanggannya justru
akan menyerang dan memperkosa perempuan mana saja.

24
Masalah prostitusi merupakan masalah yang kompleks karena sangat berkaitan
dengan tatanan nilai, norma agama dan budaya masyarakat. Terdapat beberapa faktor
yang menyebabkan seorang wanita menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK), antara lain:
kemiskinan, kebodohan, lapangan kerja yang terbatas dan rendahnya self esteem pada diri
seorang wanita. Maka dari itu setiap individu termasuk pula pada PSK haruslah memiliki
rasa optimis dalam menghadapi masa depannya, karena sikap optimis adalah modal
utama bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya dan meraih
keberhasilan di masa yang akan datang.
Pekerja seks yang terjaring dalam lokalisasi hanyalah mereka yang tergolong kelas
menengah ke bawah. Dr. Nafsiah Mboy, DSA, MPH, pemerhati kesehatan perempuan,
memperkirakan jumlah pekerja seks yang berada di lokalisasi hanya sekitar 10%. Hal ini
berarti, jumlah pekerja seks yang berada di luar lokalisasi masih jauh lebih besar. Setelah
lokalisasi diresmikan, sikap pemerintah terhadap pekerja seks pun ternyata masih
mendua. Di satu sisi, pemerintah mengambil keuntungan dengan menarik pajak dari
mereka. Dipihak lain, belum ada peraturan yang secara tegas melindungi pekerjaan
mereka, karena statusnya yang ilegal. Upaya rehabilitasi pun dinilai masih banyak
memiliki kelemahan. Kelemahan dari rehabilitasi itu adalah karena kurang sesuai dengan
kebutuhan pekerja seks. Selain itu, program yang telah mengeluarkan biaya yang besar ini
juga dianggap tidak tepat sasaran, karena banyak pekerja seks yang telah menjalani
rehabilitasi ternyata tidak menggunakan dan mengembangkan ketrampilan yang
didapatkan. Ketrampilan yang diberikan pun dianggap mubadzir kalau tidak
memperhitungkan suara pelaku dan sistem pemasaran hasil keterampilan yang diajarkan.
Pemberdayaan perempuan di lokalisasi pertama-tama harus berurusan dengan mental,
bukan berurusan dengan soal ketrampilan. Yang harus diubah adalah mental mereka agar
tidak tergantung pada laki-laki. Karena itu, diperlukan transformasi dari mental pasif
menjadi mental aktif, dimana mereka secara sadar mengambil tanggung jawab atas hidup
mereka sendiri. Setelah urusan mental bisa diselesaikan, barulah kemudian dilanjutkan
dengan pendidikan, training, dan sistem penempatan.

3. Pusat Rehabilitasi Kanker Payudara


Kanker Payudara adalah penyakit di mana sel-sel (kanker) yang ganas terdeteksi
dalam jaringan payudara. Sel-sel kanker ini kemudian bisa menyebar di dalam jaringan
atau organ tubuh dan juga bisa menyebar ke bagian tubuh yang lain. Faktor pemicu
kanker jenis ini masih belum diketahui. Kanker ini bisa terkait dengan riwayat kanker
payudara dalam keluarga, menstruasi dini atau kemungkinan faktor risiko lainnya. Karena
sukar dipastikan, maka semua orang berisiko, khususnya ketika berusia 40 tahun ke atas.

25
Meskipun faktor-faktor penyebabnya masih belum diketahui, penyembuhan sempurna
sudah mungkin terjadi berkat deteksi dini melalui pemeriksaan payudara yang teratur.
Tanda-Tanda Peringatan Kanker Payudara:
1. Benjolan yang tidak menyakitkan di payudara
2. Rasa gatal dan ruam merah yang tidak kunjung sembuh di putting.
3. Perdarahan atau lendir yang tidak normal dari putting
4. Kulit payudara membengkak dan menebal.
5. Cekungan atau kerutan pada kulit payudara.
6. Puting tertarik masuk.

Pengobatan
Sebagian besar adalah pembedahan untuk mengangkat kanker. Bentuk pembedahannya
antara lain:
1. Bedah yang mempertahankan payudara:
 Lumpektomi; pengangkatan kanker dan sedikit jaringan di sekitarnya.
 Mastektomi; pengangkatan seluruh payudara dengan atau tanpa kelenjar
getah bening di bawah ketiak
2. Pengobatan lain
Biasanya pembedahan diikuti dengan terapi sistematis, yang bisa mencakup
rehabilitasi, kemoterapi, radioterapi dan/atau terapi hormon untuk meningkatkan
peluang kesembuhan.

Langkah-Langkah Untuk Rehabilitasi


a. Rehabilitasi fisik; mencakup:
 Latihan bahu setelah pembedahan.
 Perawatan lengan atas untuk mencegah pembekakan kerusakan getah
bening.
 Gizi seimbang dan perubahan gaya hidup untuk meningkatkan
kesembuhan.
b. Rehabilitasi mental; mencakup:
 Dukungan yang kuat dari pasangan, keluarga, teman & kelompok
pendukung.
 Wanita bisa merasa aman jika dia tahu kemungkinannya untuk sembuh.
 Memeriksakan diri ke dokter secara teratur.

4. Pusat Rehabilitasi Osteoporosis

26
Osteoporosis merupakan penyakit tulang yang ditandai dengan berkurangnya massa
tulang, sehingga tulang menjadi rapuh dan resiko terjadinya patah tulang meningkat.
Dalam keadaan Fisiologis/normal, tulang kita juga mengalami pengeroposan yang diikuti
dengan pembentukan sel-sel tulang baru di bagian tulang yang keropos, sedangkan pada
penyakit tulang osteoporosis, pengeroposan tulang terjadi berlebihan dan tidak diikuti
proses pembentukan yang cukup sehingga tulang jadi lebih tipis dan rapuh. Sekitar 80%
persen penderita penyakit osteoporosis adalah wanita, termasuk wanita muda yang
mengalami penghentian siklus menstruasi (amenorrhea). Hilangnya hormon estrogen
setelah menopause meningkatkan risiko terkena osteoporosis.
Penyakit osteoporosis yang kerap disebut penyakit keropos tulang ini ternyata
menyerang wanita sejak masih muda. Tidak dapat dipungkiri penyakit osteoporosis pada
wanita ini dipengaruhi oleh hormon estrogen. Namun, karena gejala baru muncul setelah
usia 50 tahun, penyakit osteoporosis tidak mudah dideteksi secara dini. Penderita
osteoporosis rentan mengalami patah tulang. Karena itu, jika sudah mengalami gejala
seperti nyeri di pinggang, ada baiknya langsung melakukan pemeriksaan tulang. Dan
kalau terdeteksi osteoporosis, terang dia lagi, harus dilakuan kombinasi pengobatan
dengan perubahan gaya hidup termasuk memperbaiki asupan nutrisi, melakukan olahraga
seperti senam rehabilitasi osteoporosis, menggunakan obatan-obatan untuk osteoporosis,
serta mengurangi risiko patah tulang dengan mencegah kejatuhan.
Rehabilitasi untuk penyakit osteoporosis dapat dilakukan dengan cara senam
osteoporosis yang bisa membantu penderita osteoporosis dengan meningkatkan kepadatan
tulang, menguatkan otot, memperbaiki kelenturan, serta mengurangi rasa sakit. Para
penderita osteoporosis disarankan untuk melakukan senam 3 kali per minggu. Selain
senam, penderita sebaiknya menghindari risiko jatuh. Patah tulang seringkali terjadi
akibat jatuh. Dan untuk mencegah jatuh, penderita sebaiknya memperhatikan semua hal
termasuk hal-hal yang sederhana di rumah. Jika rumah dilengkapi tangga, sebaiknya
dipasang pegangan, hindari alas kaki yang licin, hindari kabel-kabel atau sepatu
berserakan, serta jangan naik ke atas kursi saat hendak meletakkan atau menjangkau
sesuatu dari tempat yang tinggi. Perawatan ketiga, adalah mengikuti terapi dengan obat-
obatan osteoporosis. Ketiga cara ini, bukanlah pilihan. Tetapi, sebaiknya dikombinasikan
untuk mendapatkan hasil yang maksimal. Sebuah studi di tahun 2008 menunjukan, hasil
kombinasi olahraga dengan terapi obat jauh lebih baik. Selain itu untuk mendapatkan
hasil masksimal, penggunaan obat osteoporosis ini paling tidak harus dilakukan selama 1
tahun.
PEKERJA SEKS KOMERSIAL

A. DEFINISI PEKERJA SEKS KOMERSIAL

27
PSK yaitu orang yang menggunakan tubuhnya untuk memuaskan nafsu seks untuk
mendapatkan imbalan. Pekerja seks komersial di Indonesia paling mudah terlihat di kompleks
rumah bordil resmi (lokalisasi). Kendati demikian, manifestasi kerja seks komersial ini tidak
hanya dapat ditemui di tempat ini, karena industri seks juga beroperasi di sejumlah lokasi dan
konstelasi yang jumlahnya terus bertambah, yaitu rumah bordil, hotel, bar, rumah makan,
gerai kudapan,bar karaoke, escort services, dan panti pijat. Lebih lanjut, aktivitas sektor seks
termasuk semua jasa seksual yang ditawarkan secara komersial, bahkan ketika hal itu terjadi
di lokasi yang tidak dirancang sebagai tempat untuk melakukan transaksi seks
(Sulistyaningsih, 2015).
Pelacur, lonte, Pekerja Seks Komersial (PSK), wanita tuna susila (WTS), prostitute
adalah sedikit diantara sederet panjang istilah yang kerap terdengar ketika seseorang
menunjuk pada sesosok perempuan penjaja seks. Istilah pelacur berkata dasar “lacur” yang
berarti malang, celaka, gagal, sial atau tidak jadi. Kata lacur juga memiliki arti buruk laku.
Pengertian PSK adalah wanita yang pekerjaannya menjual diri kepada banyak laki-laki yang
membutuhkan pemuasan nafsu seksual, dan wanita tersebut mendapat sejumlah uang sebagai
imbalan, serta dilakukan di luar pernikahan. Pengertian PSK sangat erat hubungan-nya
dengan pengertian pelacuran. (Wahyuni, 2014).
Indonesia, melalui Kementrian Sosial mencanangkan bahwa Indonesia Bebas
Lokalisasi Prostitusi pada tahun 2019. Komitmen politik ini direspon positif oleh sebagian
besar masyarakat yang memandang komersialisasi seks sebagai praktik yang bertentangan
dengan norma-norma agama dan norma-norma sosial masyarakat serta mengakibatkan
berbagai dampak negatif terhadap ketahanan keluarga dan masyarakat. Di lain sisi, sebagian
kelompok masyarakat menanggapi rencana tersebut dengan pesimis karena hanya menangani
masalah di permukaan mengingat kompleksitas pelacuran di Indonesia serta kurangnya
konsistensi pemerintah dalam pencegahan dan penanganan komersialisasi seks di Indonesia.
Tidak tersedia data yang valid untuk mengungkapkan secara tepat jumlah pekerja
seks di Indonesia. Data yang tersedia di Kementrian Sosial Indonesia umumnya mencatat
jumlah pekerja seks yang terdaftar, yaitu mereka yang terdaftar di lokalisasi-lokalisasi yang
tersebar di wilayah Indonesia. Data tahun 2009 menunjukkan bahwa jumlah WTS di
Indonesia sebanyak 71.721 orang, naik sekitar 8000 orang dibandingkan tahun 2008. Namun
pada tahun 2015 Kementrian Sosial mensinyalir bahwa jumlah tersebut turun menjadi 56.000
pekerja seks yang tersebar di 164 lokalisasi. Tentu saja data tersebut menafikan keberadaan
pekerja seks yang tidak terdaftar baik yang beroperasi secara individual (freelance) atau
berkelompok di luar lokalisasi seperti di jalan-jalan, hotel, suatu kecenderngan umum bahwa
jumlah pekerja seks yang dilaporkan pengelola lokalisasi seringkali lebih rendah
dibandingkan yang sebenarnya (Jones dkk, 1998, dalam Lim, 1998).

28
B. CIRI-CIRI PEKERJA SEKS KOMERISAL
- Wanita, lawan pelacur ialah gigolo (pelacur pria, lonte laki-laki).
- Cantik, molek, rupawan, manis, atraktif menarik, baik wajah maupun tubuhnya. Bisa
merangsang selera seks kaum pria.
- Masih muda-muda. 75% dari jumlah pelacur di kota-kota ada di bawah usia 30 tahun.
Yang terbanyak adalah usia 17-25 tahun.
- Pakaiannya sangat mencolok, beraneka warna, sering aneh-aneh (eksentrik) untuk
menarik perhatian kaum pria. Mereka sangat memperhatikan penampilan lahiriahnya,
yaitu wajah, rambut, pakaian, alat-alat kosmetik dan parfum yang wangi semerbak.
- Bersifat sangat mobil, kerap berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Biasanya
mereka memakai nama samaran dan sering berganti nama, juga berasal dari tempat
lain, bukan di kotanya sendiri, agar tidak dikenal oleh banyak orang.
- Mayoritas berasal dari strata ekonomi dan strata sosial rendah. Mereka pada
umumnya tidak mempunyai keterampilan (skill) khusus dan kurang pendidikannya.
Modalnya adalah kecantikan dan kemudaannya. (Wahyuni,2014)

C. SEJARAH ADANYA PEKERJA SEKS KOMERSIAL


PSK merupakan profesi yang sangat tua usianya, setua umur kehidupan manusia itu
sendiri. Pelacuran selalu ada sejak zaman purba sampai sekarang. Pada masa lalu pelacuran
selalu dihubungkan dengan penyembahan dewa-dewa dan upacara-upacara keagamaan
tertentu. Ada praktek-praktek keagamaan yang menjurus pada perbuatan dosa dan tingkah
laku cabul yang tidak ada bedanya dengan kegiatan pelacuran. Pada zaman kerajaan Mesir
kuno, Phunisia, Assiria, Chalddea, Ganaan dan di Persia, penghormatan terhadap dewa-dewa
Isis, Moloch, Baal, Astrate, Mylitta, Bacchus dan dewa-dewa lain disertai orgie-orgie (orgia)
adalah pesta korban untuk para dewa, khususnya pada dewa Bacchus yang terdiri atas upacara
kebaktian penuh rahasia dan bersifat sangat misterius disertai pesta-pesta makan dengan rakus
dan mabuk secara berlebihan. Orang-orang tersebut juga menggunakan obat-obat pembangkit
dan perangsang nafsu seks untuk melampiaskan hasrat berhubungan seksual secara terbuka.
Sehubungan dengan itu kuil-kuil pada umumnya dijadikan pusat perbuatan cabul.
Di Indonesia pelacuran telah terjadi sejak zaman kerajaan Majapahit. Salah satu bukti
yang menunjukkan hal ini adalah penuturan kisah-kisah perselingkuhan dalam kitab
Mahabarata. Semasa zaman penjajahan Jepang tahun 1941-1945, jumlah dan kasus pelacuran
semakin berkembang. Banyak remaja dan anak sekolah ditipu dan dipaksa menjadi pelacur
untuk melayani tentara.
Jepang. Pelacuran juga berkembang di luar Jawa dan Sumatera. Hal ini bisa dilihat
dari pernyataan dua bekas tentara Jepang yang melaporkan bahwa pada tahun 1942 di

29
Sulawesi Selatan terdapat setidaknya 29 rumah bordil yang dihuni oleh lebih dari 280 orang
pelacur (111 orang dari Toraja, 67 orang dari Jawa dan 7 orang dari Madura).

D. HUKUM YANG MENGATUR PERPELACURAN


Sampai saat ini prostitusi di Indonesia terus berkembang, hampir di setiap kota besar
selalu ada resosialisasi pelacuran. Pemerintah sampai saat ini juga belum tegas menghadapi
masalah yang satu ini. Dibuktikan sampai saat ini belum ada undang–undang yang melarang
menjual jasa seks atau melakukan aktivitas lain sejenisnya. Pidana merupakan bagian mutlak
dari hukum pidana, karena pada dasarnya hukum pidana memuat dua hal, yakni syarat-syarat
untuk memungkinkan penjatuhan pidana dan pidananya itu sendiri. Dalam Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana (KUHP) Indonesia, terdapat ketentuan yang mengatur tentang
prostitusi, yaitu pada pasal 296 dan 506 KUHP. Pada pasal 296 mengatur tentang orang yang
dengan sengaja mempermudah terjadinya perbuatan cabul oleh orang lain dan menjadikannya
sebagai pekerjaan. Sedangkan dalam Pasal 506 KUHP menyebutkan mengenai perbuatan dari
germo yaitu “Barang siapa menarik keuntungan dari perbuatan cabul seorang wanita dan
menjadikannya sebagai pencarian, diancam dengan pidana kurungan paling lama satu tahun.
Melihat isi dari kedua pasal KUHP diatas, terlihat bahwa KUHP hanya mengatur
pidana untuk para penyedia jasa prostitusi (Germo atau Mucikari) saja, namun tidak mengatur
pidana terhadap para pengguna jasa ataupun para Pekerja Seks Komersial (PSK) yang terlibat
dalam perbuatan prostitusi tersebut. Padahal jika dilihat dari dampak dan norma yang ada di
Indonesia, para pengguna jasa ataupun PSK juga seharusnya dikenakan sanksi pidana karena
sudah melanggar norma-norma dan kaidah yang ada di Indonesia.

E. TIPE PEKERJA SEKS KOMERSIAL


Pelacuran memiliki beragam bentuk yang tumbuh dan berkembang sesuai
perkembangan jaman. Ada pelacuran yang prakteknya dapat didentifikasi dengan mudah,
seperti halnya di rumah bordil/lokalisasi, kawasan remang-remang (jalur lalu lintas jarak
jauh) atau di antara pelacur jalanan yang berkeliaran di tempat-tempat terbuka untuk
menjajakan dirinya. Ada pula praktek pelacuran yang terselubung yang tidak mudah dikenali
karena pelakunya berkedok menjalankan aktivitas non-prostitusi.
Secara umum, Surtees (2004) mengkategorisasi tipe pelacuran di Indonesia ke dalam
2 kelompok yaitu: tipe tradisional (umum) dan tipe non-tradisional. Yang termasuk dalam
pelacuran tipe umum adalah pelacuran yang sebagian besar dilakukan di wilayah lokalisasi
yang dilakukan oleh perempuan untuk tujuan mendapatkan uang. Dengan kata lain dalam
kelompok ini, hanya uang yang menjadi alat pembayaran. Para penjual jasa seks di kelompok
ini umumnya berasal dari keluarga miskin, memiliki tingkat pendidikan rendah dan menjadi
pekerja seks karena kesulitan ekonomi.

30
Sementara itu pelacuran non-tradisonal umumnya dilakukan oleh mereka yang
berlatar belakang social ekonomi menengah ke atas dan pendidikan tinggi di kota-kota besar.
Termasuk di dalamnya praktek pelacuran yang dilakukan oleh para pelajar atau mahasiswa
(dalam modus pecun, perek, wanita panggilan) dan para profesional atau mereka yang sudah
memiliki pekerjaan tetap (seperti pada kasus Sekretaris Plus). Menurut Surtees (2004),
berbeda dengan selain motif ekonomi, pekerja seks non-tradisional ini menjadi pekerja seks
untuk tujuan petualangan dan eksperimen. Di samping menerima pembayaran dalam bentuk
uang, tidak jarang mereka juga menerima balas jasa berupa barang-barang mewah/mahal
seperti telepon genggam, pakaian, parfum, tiket masuk klub bergengsi, dan sebagainya.
Umumnya mereka beroperasi di salon kecantikan, spa, karaoke, mall, hotel, dan sebagainya.
Sejalan dengan perkembangan teknologi informasi, sejak pertengahan tahun 2000,
tipe lain dari pelacuran non-tradisional yang masuk dalam kategori cyber prostitution juga
mulai marak di Indonesia. Dalam cyber prostitution, pengelola menawarkan jasa pelayanan
seks komersial melalui sebuah website, termasuk yang melibatkan para artis atau selebritis.
Dalam website tersebut ditampilkan gambar-gambar pekerja seks dalam pose yang sangat
sensual serta nomor kontak yang bisa dihubungi oleh para peminat. Jika telah terjadi transaksi
maka pengelola/mucikari akan membawa pekerja seks yang dipesan ke tempat yang telah
ditentukan oleh pemesan seperti hotel atau apartemen. Jenis praktek pelacuran kontemporer
tersebut sangat sulit untuk diidentifikasi karena parkateknya bersifat sangat tertutup dan
selektif.
Surtees (2004) juga membedakan tipe pelacur di Indonesia berdasarkan cara masuk
(entry method) yang terdiri atas 3 (tiga) cara yang berbeda. Pertama, cara masuk yang
mengikat (bonded entry) yang umumnya terjadi karena orangtua, pasangan, wali atau
perantara keluarga seorang perempuan mendapatkan pembayaran uang muka dari para
mucikari/perekrut. Kasus-kasus bonded entry ini umumnya terjadi di wilayah pedesaan
miskin. Kedua, melalui pemaksaan (involuntary entry) di mana seseorang menjadi pekerja
seks karena adanya paksaan atau ancaman. Para korban umumnya mengalami penipuan atau
penculikan baik oleh pihak yang mereka kenal atau pihak asing, seperti yang terjadi pada
kasus-kasus perdagangan manusia (human trafficking) untuk tujuan eksploitasi seks. Ketiga,
pelacuran atas keinginan sendiri (voluntary entry) yang menurut Surtees (2004) menjadi cara
masuk bagi para pekerja seks di Indonesia umumnya.

F. FAKTOR PENYEBAB ADANYA PEKERJA SEKS KOMERSIAL


Menurut Wahyuni 2014, ada beberapa alasan utama seseorang melakukan prostitusi :
- Seseorang melakukan praktek prostitusi adalah masalah ekonomi
- Rendahnya/terbatasnya akses pendidikan yang pernah dienyamnya
- Persaingan ketat, dalam pencarian pekerjaan

31
- Pendidikan moral yang kurang (perkembangan moral dianggap kurang )
- Ketidakpuasan dengan posisinya saat ini (merasa berharga bila memiliki barang-
barang mahal)
Sedangkan menurut Koentjoro (2004;53) ada beberapa faktor perempuan menjadi
pelacur, diantaranya adalah rendahnya standar moral, kemiskinan, rendahnya pendapatan
keluarga, rendahnya pendidikan, dan keinginan untuk memperoleh status sosial. Beberapa hal
yang termasuk ke dalam faktor sosio-kultural yang menyebabkan perempuan menjadi PSK :
- Orang setempat yang menjadi model pelacur yang sukses. Bahwa ketika pelacur
kembali ke desanya, mereka memamerkan gaya hidup mewah dengan maksud
memancing kecemburuan orang lain.
- Sikap permisif dari lingkungannya. Bahwa ada desa tertentu yang bangga dengan
reputasi bisa mengirimkan banyak pelacur ke kota. Banyak keluarga pelacur yang
mengetahui dan bahkan mendukung kegiatan anak atau istri mereka karena mereka
dapat menerima uang secara teratur. Para pelacur sangat sering membagikan makanan
dan materi yang dimilikinya kepada para tetangganya. Wajar jika kemudian banyak
pelacur dikenal sebagai orang yang dermawan di desa mereka. Keadaan tersebut
berangsur angsur menimbulkan sikap toleran terhadap keberadaan pelacuran.
- Adanya peran instigator (penghasut). Instigator sering diartikan sebagai pihak-pihak
tertentu yang memberikan pengaruh buruk. Dalam hal ini adalah orang yang
mendorong seseorang menjadi pelacur.
- Diantaranya adalah Peran sosialisasi. Di beberapa daerah di Jawa, ada kewajiban
yang dibeban -kan di pundak anak untuk menolong, mendukung dan
mempertahankan hubungan baik dengan orangtua ketika orangtua mereka lanjut usia.
- Ketidakefektifan pendidikan dalam meningkatkan status sosial ekonomi. Jika anak
perempuan dianggap sebagai ladang padi atau barang dagangan, maka harapan
orangtua semacam ini secara sadar atau tidak, akan mempengaruhi anak perempuan
mereka. Karena pelacuran telah menjadi produk budaya, maka dapat di-asumsikan
bahwa sosialisasi pelacuran telah terjadi sejak usia dini.
- Orangtua, suami, pelacur, bekas pelacur atau mucikari (mereka adalah suami yang
menjual istri atau orangtua yang menjual anak -anaknya untuk mendapatkan barang-
barang mewah)

Berikut merupakan persoalan-persoalan psikologis yang melatar belakangi seseorang


menjadi PSK :
- Akibat gaya hidup modern
Seseorang perempuan pastinya ingin tampil dengan keindahan tubuh dan barang-
barang yang dikenalakannya. Namun ada dari beberapa mereka yang terpojok karena

32
masalah keuangan untuk pemenuhan keinginan tersebut maka mereka mengambil
jalan akhir dengan menjadi PSK untuk pemuasan dirinya.
- Broken home
Kehidupan keluarga yang kurang baik dapat memaksa seseorang remaja untuk
melakukan hala-hal yang kurang baik di luar rumah dan itu dimanfaatkan oleh
seseorang yang tidak bertanggung jawab dengan mengajaknya bekerja sebagai PSK
- Kenangan masa kecil yang buruk
Tindak pelecehan yang semakin meningkat pada seorang perempuan bahkan adanya
pemerkosaan pada anak kecil bisa menjadi faktor dia menjadi seorang PSK
(Wahyuni,2014)

G. DAMPAK-DAMPAK YANG TIMBUL AKIBAT ADANYA PELACURAN


a. Dampak pelacuran terhadap kehidupan bermasyarakat
Dampak negatif yang bersifat langsung maupun tidak langsung yang ditimbulkan
oleh praktek pelacuran merupakan salah satu sumber justifikasi untuk menjadikan prostitusi
sebagai masalah sosial, sumber maksiat dan kejahatan, serta penyakit masyarakat yang harus
diberantas. Pelacuran dipandang membawa beragam dampak yang tidak diinginkan terhadap
berbagai aspek kehidupan masyarakat. Dari sudut pandang hak asasi manusia kemanusiaan,
pelacuran dipandang sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan nilai-nilai kemanusiaan.
Dari aspek kesehatan, pelacuran seringkali dipandang sebagai media penyebaran
penyakit menular berbahaya seperti HIV/AIDS, hepatitis, penyakit menular seksual, terutama
untuk praktek seks komersial yang tidak aman. Merujuk pernyataan Menteri Kesehatan
Indonesia, BBC Indonesia News (2012) mengungkapkan bahwa pekerja seks dan pengguna
jasa prostitusi termasuk kelompok yang paling rentan untuk mengidap penyakit menular
seksual dan HIV/AIDS. Selain pihak-pihak yang terlibat langsung alam praktek prostitusi,
penularan penyakit seksual berbahaya dan mematikan juga menulari kelompok yang dianggap
‘tidak berdosa’ seperti pasangan sah (istri) pengguna jasa seks komersial.
b. Berpengaruh buruk terhadap psikis
Selain aspek kesehatan fisik, pelacuran juga menimbulkan dampak negatif terhadap
kesehatan jiwa pekerja seks. Berbagai studi menunjukkan bahwa pelacur seringkali
mengalami tindak kekerasan seksual dari konsumennya atau mengalami kekerasan fisik,
emosional dan tindakan eksploitatif lainnya yang dilakukan oleh pengelola pelacuran dan atau
pengguna jasa Ketergantungan pekerja seks terhadap pengelola pelacuran seringkali
menghambat korban untuk keluar dari kondisi kekerasan tersebut. Pengalaman tindak
kekerasan ini dapat mempengaruhi kesehatan jiwa/emosi korban. Selain itu, dampak negatif
terhadap kesehatan jiwa terkait dengan pola hidup para pelacur yang umumnya terisolasi
karena pembatasan-pembatasan interaksi atau mobilitas untuk mengontrol para pekerja seks.

33
c. Dampak terhadap aspek sosial
Dari aspek sosial, pelacuran dipandang mengancam norma-norma sosial dan agama
serta lembaga keluarga dan perkawinan. Pelacuran juga dipandang dapat menggoyahkan
kesakralan dan ketahanan embaga perkawinan (misal: perselingkuhan dan perceraian ) atau
menimbulkan dampak negatif terhadap perilaku seksual anggota masyarakat , termasuk para
generasi muda (demoralisasi/degradasi akhlak). Misalnya, Coleman dan Cressy (1987)
memandang bahwa pelacuran dapat ‘memancing” pria yang sebelumnya tidak tertarik
menjadi tertarik pada pelacuran. Pelacuran juga dapat menimbulkan pelabelan negatif
terutama kepada anak-anak yang lahir dari ibu yang berpraktek sebagai seorang pekerja seks.
Stigma tersebut dapat saja bertahan untuk beberapa generasi sehingga menumbuhkan
diskriminasi terhadap pekerja seks dan keturunannya
d. Dampak terhadap ekonomi
Dari sudut pandang ekonomi, pelacuran meningkatkan biaya sosial untuk
melaksanakan program-program penegakan hukum termasuk razia atau pelayanan rehabilitasi
sosial, terutama bagi para pekerja seks. Pemerintah dan masyarakat juga harus terlibat
membiayai penyediaan pelayanan kesehatan yang mahal untuk mengobati dan merawat
penderita yang mengalami penyakit-penyakit menular berbahaya yang ditularkan melalui
praktek seks komersial. Selain itu, pelacuran juga dipandang berdampak negatif terhadap
berkembangnaya kriminalitas. Menurut Lim (1998), pelacuran berpotensi tinggi menjadi
media bagi praktek-praktek kriminal yang menawarkan keuntungan tinggi. Termasuk di
dalamnya peredaran obat-obat terlarang, premanisme, penyalahgunaan wewenang dan
kekuasaan oleh aparat pemerintah serta kejahatan terorganisir yang melibatkan jaringan baik
di dalam maupun luar negeri. Selanjutnya, prostitusi sangat rentan untuk terjadinya berbagai
kegiatan pelanggaran hukum lainnya seperti perdagangan perempuan dan anak, pemaksaan
pelacuran, pelacuran anak dan kejahatan seks terhadap anak-anak, atau bentuk perbudakan
seks lainnya.
Selain itu, biaya membeli layanan seks komersial dapat membebani kehidupan
keluarga dan masyarakat karena menjadi penghamburan di mana sumber ekonomi
dialokasikan kepada aspek yang bersifat divestasi. Mengutip laporan Havoscope, sebuah
lembaga riset aktivitas pasar gelap, Indonesia termasuk negara di dunia dengan pengeluaran
terbesar untuk pembelian jasa seks komersial yang nilainya mencapai 30 trilyun per tahun
(Koran Sindo, 2016).

H. PENANGANAN YANG TEPAT TERHADAP ADANYA PERPELACURAN


a. Rehabilitasi Pekerja Seks Komersial
Menurut Jones dkk. (1998), Indonesia dapat digolongkan sebagai negara yang
menerapkan pendekatan quasi-legalized karena ‘’melegalkan’’ prostitusi yang berada di

34
lokalisasi pelacuran. Lokalisasi yang terdaftar diwajibkan untuk melaporkan jumlah pekerja
seks beserta ata demografi mereka. Para pekerja seks juga diwajibkan melakukan
pemeriksaan kesehatan secara teratur dan mendapatkan pembinaan dari Dinas Sosial dan
Dinas Kesehatan. Pendekatan ini dianggap Indonesia sebagai paling masuk akal karena
pemberantasan pelacuran dianggap tidak memungkinkan.
Karenanya kebijakan sosial dalam penanganan komersialisasi seks berfokus pada
pekerja seks. Salah satu kebijakan atau program sosial yang langsung terkait dengan
penanganan pelacuran di Indonesia berbentuk rehabilitasi atau resosialisasi atau re-edukasi
pekerja seks/ mantan pekerja seks yang dilaksanakan oleh Kementrian Sosial Republik
Indonesia melalui Direktorat Rehabilitasi Sosial Tuna Sosial dan Korban Perdagangan Orang.
Pelaksanaan rehabilitasi ditujukan kepada pekerja seks yang berniat untuk
meninggalkan pekerjaannya dan beralih profesi serta berintegrasi kembali ke dalam
masyarakat luas namun terkendala oleh kepercayaan diri atau kemampuan lainnya.
Rehabilitasi tersebut berbasis panti (residence) di mana para peserta diwajibkan tinggal di
suatu asrama sekitar 3 sampai dengan 6 bulan untuk mendapatkan pembinaan mental, sosial,
fisik, dan keterampilan kerja untuk mengubah cara pandang mereka tentang prostitusi dan
mempersiapkan mereka untuk meninggalkan pekerjaan sebagai pekerja seks dan berintegrasi
dengan masyarakat. Keterampilan yang dipelajari dalam proses rehabilitasi diharapkan dapat
didayagunakan sebagai sumber penghasilan untuk menjalani kehidupan.
Rehabilitasi pekerja seks dilaksanakan oleh unit pelaksana teknis di tingkat nasional
maupun tingkat daerah. Saat ini ada lebih dari 20 panti rehabiltasi perempuan eks pekerja seks
yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia (Balai/ Panti Sosial Karya Wanita).
Pelaksanaan rehabilitasi pekerja seks yang diselenggarakan pemerintah secara luas
menunjukkan keseriusan pemerintah untuk membantu para mantan pekerja seks untuk lebih
berdaya sehingga dapat hidup normal di dalam masyarakat.
Beberapa penulis mengkaji model-model konseptual yang dapat dijadikan rujukan
untuk membangun intervensi untuk membantu pekerja seks meninggalkan profesinya, namun
sangat sedikit yang melaksanakan kajian empirik terhadap model-model tersebut. Beberapa
kajian yang ada umumnya dilakukan di negara-negara Barat terhadap pelacuran di jalanan
(street prostitution). Dengan kata lain tidak mudah untuk menemukan model seperti apa yang
paling efektif untuk membantu para pekerja seks untuk beralih profesi namun beberapa
praktik terbaik mungkin dapat dijadikan rujukan oleh pemerintah Indonesia untuk mendesain
program rehabilitasi yang efektif.
Beberapa ahli menjabarkan beberapa prinsip penting yang dapat dijadikan rujukan
sebagai praktek terbaik dalam pelayanan yang membantu pekerja seks meninggalkan
pekerjaan mereka. Mayhew dan Mossman (2007) menjabarkan prinsip-prinsip tersebut
sebagai berikut.

35
1. Intervensi holistik
Intervensi perlu mengintegrasikan beberapa pendekatan untuk membantu
memperkuat motivasi pekerja seks serta meningkatkan rasa percaya diri serta
kemampuan mereka untuk berani meninggalkan profesinya. Dengan kata lain
intervensi harus mampu membantu menangani berbagai isu atau hambatan yang
seringkali dihadapi oleh pekerja seks. Termasuk di dalamnya hambatan-hambatan
psikologis yang bersumber dari trauma masa kecil dan atau kondisi eksploitatif yang
dialami selama menjalani pekerjaan sebagai pekerja seks.

2. Kemudahan akses
Intervensi haruslah pro-aktif, tidak memaksa namun aktif menjangkau pekerja seks.
Pengjangkauan akan memaksimalkan kesempatan untuk menemukan pekerja seks
yang berminat keluar dari pekerjaannya dan membutuhkan penguatan. Selain itu,
pelayanan haruslah berlokasi di wilayah yang mudah dijangkau oleh pekerja seks.
Paksaan untuk mengikuti kegiatan rehabilitasi karena terjaring razia berdampak
negative terhadap efektivitas rehabilitasi. Selain itu, layanan-layanan rehabilitasi
dapat disebar di titik-titik yang mudah diakses oleh pekerja seks dan tidak terkesan
ekslusif sehingga dapat mengurangi stigma sosial.
3. Mengantisipasi perubahan motivasi/minat
Intervensi harus dilakukan dengan kesabaran. Harus ada pemahaman bahwa niat
peerja seks untuk meninggalkan profesinya seringkali berubah-ubah. Kesabaran dan
penguatan yang konsisten diperlukan dalam intervensi terhadap mereka.
4. Hubungan didasarkan atas rasa saling percaya
Intervensi perlu membangun kepercayaan para pekerja seks terhadap para pelaksana
intervensi dan sebaliknya. Sebaliknya, hubungan yang didasarkan atas kecurigaan,
sikap menyalakan, stigma dan diskriminasi dapat berpengaruh negative terhadap
interaksi penyedia layanan dan peserta sehingga menghambat pencapaian hasil
kegiatan.
5. Pelayanan yang berdedikasi dan didukung oleh sumber yang memadai
Termasuk di dalamnya program yang jelas dan terukur, Fasilitas sarana dan prasarana
yang mendukung, sumber pendanaan yang memadai, serta sumber daya manusia
yang berdedikasi dan kompeten.

I. PIHAK-PIHAK YANG DAPAT MEMBANTU MENYELESAIKAN


PERMASALAHAN PSK
- Keluarga

36
a. Meningkatkan pendidikan anak-anak terutama mengenalkan pendidikan seks secara
dini agar terhindar dari perilaku seks bebas.
b. Meningkatkan bimbingan agama sebagai tameng agar terhindar dari perbuatan dosa.

- Masyarakat
Meningkatkan kepedulian dan melakukan pendekatan terhadap kehidupan PSK atau mantan
PSK. Dengan tidak menghakimi, dan melakukan penekanan dalam bentuk apapun
- Pemerintah
a. Memperbanyak tempat atau panti rehabilitasi.
b. Meregulasi undang-undang khusus tentang PSK.
c. Meningkatkan keamanan dengan lebih menggiatkan razia lokalisasi PSK untuk
dijaring dan mendapatkan rehabilitasi.
- Pihak Swasta
a. Memberikan kesempatan menjalin kerja sama dan memberikan ketrampilan
pengelola home industri untuk ikut melakukan pembinaan, sehingga para mantan
PSK makin bisa mengembangkan diri .
b. Memberikan pinjaman modal dengan bunga lunak (Bank)
- Profesional
a. Para Rohaniawan
Bimbinglah mereka untuk menemukan Tuhan Allah SWT yang Maha Pengasih lagi
Maha Penyayang yang selalu siap dan terbuka dalam mengampuni dosa hamba-
hambanya yang tidak musyrik. Buatlah bimbingan konseling secara berkelompok
maupun secara individu yang berlandaskan agama.
b. Psikolog
Memberikan konseling bagaimana meningkatkan rasa percaya diri terutama dalam
menghadapi tekanan sosial pasca berhenti menjadi PSK (Wahyuni,2014)

37
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Krisis multidimensional yang dialami Negara Indonesia mengakibatkan keadaan
ekonomi masyarakat semakin sulit, hal tersebut menjadi salah satu alasan untuk
menghalalkan segala cara dengan dalih untuk mencari sesuap nasi, salah satunya adalah
dengan jalan eksploitasi seksual komersial dan juga menjadi homeless. Meski begitu, bukan
kemiskinan saja yang menjadi salah satu faktor timbulnya eksploitasi seksual komersial dan
maraknya homeless. Kemiskinan akan menjadi suatu yang sangat parah, apabila akses
pendidikan, kesehatan baik secara fisik maupun psikologis, dan kurangnya dukungan. Hal ini
menunjukan persoalan struktur akses yang bersifat relative dan sangat menentukan
kesejahteraan masyarakat. Pemerintah tidak akan pernah bisa menyelesaikan semua
permasalahan ini apabila pemerintah dan masyarakat tidak tidak saling bekerja sama untuk
mengatasi keberadaan suatu masalah. Cara paling efektif dalam menanggulangi hal ini adalah
diselesaikan dengan kebersamaan. Tidak hanya pemerintah yang bekerja aktif, namun diikuti
oleh pihak-pihak tokoh masyarakat atau para kader dan edukasi ke masyarakat melalui
berbagai pendekatan seperti pendekatan agamis, pendekatan sosial, pendekatan psikologis dan
sebagainya.

B. Saran

38
Sebagai calon tenaga kesehatan khususnya bidan, kita harus mampu mengayomi dan
memberikan pembinaan kepada masyarakat. Pembinaan merupakan upaya untuk
meningkatkan kapasitas masyarakat dan pemberian kesempatan yang seluas-luasnya bagi
setiap penduduk, terutama kategori miskin, untuk melakukan kegiatan sosial ekonomi yang
produktif, sehingga mampu menghasilkan nilai tambah yang lebih tinggi dan pendapat yang
lebih besar. Kita juga dapat memberikan dukungan moral dan psikologi bagi mereka nyang
membutuhkan serta tidak perlu menghakimi bahwasannya apa yang mereka perbuat
merupakan sebuah kesalahan besar dan patut dipersalahkan atas segalanya, tetapi kita justru
harus dapat membantu proses mendengarkan demi pemulihan/ rehabilitasi emosional dan
psikologisnya supaya mereka dapat menerima apa yang disampaikan dan diharapkan mampu
mengubah arah pandangnya serta dapat menjadi pribadi yang lebih baik lagi, baik untuk
dirinya sendiri, orang lain, maupun dalam kehidupan bermasyarakat.

DAFTAR PUSTAKA

ACHMAD, I., 2019. KONDISI SOSIAL PENYANDANG TUNAWISMA DITENGAH


MASYARAKAT KOTA MAKASSAR.

Aktual. 11 PSK dijaring razia Satpol PP di Bandung. Aktual, 26 Januari 2016.Diunduh melalui
https://www.aktual.com/11-psk-dijaring-razia-satpol-pp-di-bandung/
Astrini, R.A. and Herdiana, I., 2020. Gambaran Risiko Bunuh Diri pada Wanita Tunawisma di
Pondok Sosial Surabaya: Studi Kasus. Psikologia: Jurnal Psikologi, 3(1), pp.1-10.

Baker, L. M., Dalla, R. L., & Williamson, C. (2010). Exiting prostitution: an integrated model.
Violence Against Women, 16(5), 579–600
Bhogaonker, P. (2012). Impact of Brief Meditation Training on Stress, Distress, and Quality of Life
for Homeless Adults (UMI number 3544996). California Institute of Integral Studies:
Proquest LLC.

Bhogaonker, P. (2012). Impact of Brief Meditation Training on Stress, Distress, and Quality of Life
for Homeless Adults (UMI number 3544996). California Institute of Integral Studies:
Proquest LLC.

Desai, R.A.; Mares, W.L.; Dausey, D.J.; Rosenheck, R.A. (2013). Suicidal Ideation and Suicide
Attempts in a Sample of Homeless People with Mental Illness. Journal of Nervous and
Mental Disease, Vol. 191, No. 6.

39
Dttman, M. (2004). Getting prostitutes off the street. American Psychology Association News, 35
Farley, M., Freed, W., Kien, S. P., Golding, J.M. (2012) A Thorn in the Heart: Cambodian Men who
Buy Sex. Presented July 17, 2012 at conference co-hosted by Cambodian Women's Crisis
Center and Prostitution Research & Education: Focus on Men who Buy Sex: Discourage Men's
Demand for Prostitution, Stop Sex Trafficking. Himawari Hotel, Phnom Penh, Cambodia.
Harjanti, K.A.D. and Wongso, L.V., 2015. Apakah Anak Jalanan Perlu Diperhatikan dalam
Penanggulangan AIDS?.

Hudson, A.L.; Wright, K.; Bhattacharya, D.; Sinha, K.; Nyamathi, A.; Marfisee, M. (2010). Correlates
of Adult Assault among Homeless Women. Journal of Health care for the Poor and
Underserved, Vol. 21: 1250-1262.

Kamaliah, A. Pekerja seks rentan alami kekerasan seksual. Detikhealth, 4 September 2018.
Kementrian Sosial Republik Indonesia. Kemensos Berhasil Menutup 118 Lokalisasi Prostitusi dan
Memulangkan 20.000 PSK Kembali Kekeluarganya. Diunduh melalui
https://www.kemsos.go.id/berita/kemensos-berhasil-menutup-118-lokalisasi-prostitusi-dan-
memulangkan-20000-psk-kembali
Koentjoro, K. (2013).Pelacuran Sebuah Fenomena Sosial Multi Perspektif. Diunduh melalui
http://koentjoro-psy.staff.ugm.ac.id/wp-content/uploads/Pelacuran_Dinso.pdf
Koentjoro. “On The Spot Tutur Dari Sarang Pelacur” . Yogyakarta : Tinta, 2004
Koran Sindo. Belanja prostitusi orang Indonesia Rp. 30 trilyn per tahun. (29 Februari 2016).
Netzley, S.D.; Hurlburt, M.S.; Hough, R.L. (2006). Childhood Abuse as a Precursor to Homelessness
for Homeless Women with Severe Mental Illness. Journal Violence and Victims, Vol. 11,
No. 2.

Oktafiana, S.D. 2019. SKRIPSI “BERTAHAN HIDUP DI JALANAN” (STUDI KASUS LIFE
SURVIVAL STRATEGY PADA HOMELESS FAMILY DI KOTA SEMARANG).

Syahputra, A.S. and Saputra, A., 2020. Pola Perilaku Tunawisma saat Bermalam di Ruang Publik
Kota Surakarta. Prosiding (SIAR) Seminar Ilmiah Arsitektur 2020.

Taylor, K.M. & Sharpe, L. (2008). Trauma and Post-Traumatic Stress Disorder among Homeless
Adults in Sydney. Journal of Psychiatry, Vol. 42: 206- 213.

Wahyuni, H., 2014. PSK dan Tekanan Sosial Pasca Penutupan Gang Dolly Surabaya. Personifikasi,
5(1), pp.1-18.
Williams, S.P. and Bryant, K.L., 2018. Sexually transmitted infection prevalence among homeless
adults in the United States: A systematic literature review. Sexually transmitted
diseases, 45(7), p.494.

40
Yu, S.V. & Sung, H. (2015). Suicidal Ideation of Probationers: Gender Differences. Journal of Crisis,
Vol. 36 (6), 424-432.

Zefianningsih, B.D., Wibhawa, B. and Rachim, H.A., 2016. Penanggulangan Gelandangan Dan
Pengemis Oleh Panti Sosial Bina Karya “Pangudi Luhur” Bekasi. Prosiding Penelitian dan
Pengabdian kepada Masyarakat, 3(1).

Daftar Pustaka

Aji Binuko, 2011. Wanita di tempat kerja dan rehabilitasi : Jakarta


Awalia nur baeti. 2010. Wanita di Pusat Rehabilitasi: Jakarta
Endah Purnasari, 2010. Permasalahan kesehatan dalam dimensi sosial dan upaya mengatasinya :
Jakarta
Ginar Prastiwi Purbosari. 2017. Kesehatan Reproduksi dan Keluarga Berencana Wanita di Pusat
Rehabilitasi. Akademi Kesehatan Rajekwesi Bojonegoro.

41
Nos Magna Obstetrix, 2011. Kesehatan reprosukdi wanita dipusat rehabilitasi. Jakarta
Nuraini, Dian et al. 2018. Wanita Dipusat Rehabilitasi. STIKES Abdi Nusantara Jakarta
Ramadhani, Widya Suci et al. 2017. Proses Rehabilitasi Sosial Wanita Tuna Susila di Balai
Rehabilitasi Sosial Karya Wanita (Brskw) Palimanan Kabupaten Cirebon. Departemen
Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran.

42

Anda mungkin juga menyukai