Anda di halaman 1dari 86

MAKALAH

EPIDEMIOLOGI PENYAKIT MENULAR

Tugas ini disusun untuk memenuhi mata kuliah Epidemiologi

Dosen Pengampu : Yuniarti, SSiT, M. Kes

Disusun oleh :

Duwi Kristiana P1337424420040


Riana Imawati P1337424420060
Dewi Riyanti K. S P1337424420065
Eryca Dea L. S P1337424420201

PRODI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN

POLTEKKES KEMENKES SEMARANG

TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmat dan karunia-Nya
yang diberikan kepada kami sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah
dengan judul “Epidemiologi Penyakit Menular” dengan baik.
Kami berharap makalah ini dapat bermanfaat dan digunakan dengan sebaik
baik nya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih belum senpurna, oleh karena itu
kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.
Kami sampaikan terimakasih kepada semua pihak yang telah berperan serta
dalam penyusunan makalah ini dari awal hingga akhir.

Semarang, Agustus 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................................................................................ii
DAFTAR ISI................................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
A. Latar Belakang....................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...............................................................................................2
C. Tujuan.................................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN...............................................................................................4
A. Penyakit Menular................................................................................................4
1. Definisi............................................................................................................4
2. Karakteristik Penyakit Menular......................................................................4
3. Kelompok Utama Penyakit Menular..............................................................5
4. Faktor Penyebab Penyakit Menular................................................................5
5. Sumber Penularan...........................................................................................6
6. Cara Penularan................................................................................................7
B. Macam-Macam Penyakit Menular.....................................................................8
1. Hepatitis B......................................................................................................8
2. Tuberkulosis Paru.........................................................................................21
3. Demam Berdarah Dengue.............................................................................36
4. Malaria..........................................................................................................44
5. HIV AIDS.....................................................................................................58
6. Infeksi Menular Seksual...............................................................................71
BAB III PENUTUP.....................................................................................................80
A. Kesimpulan.......................................................................................................80
B. Saran.................................................................................................................81
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................82

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Setiap manusia pasti pernah mengalami sakit. Penyakit yang diderita oleh
setiap orang pasti berbeda satu dengan yang lain. Sakit merupakan suatu keadaan
dimana tubuh tidak berada pada kondisi normal yang disebabkan oleh beberapa
faktor dari dalam maupun dari luar tubuh. Berdasarkan karakteristiknya penyakit
dapat digolongkan menjadi dua, yaitu penyakit menular dan penyakit tidak
menular. Penyakit menular mendapatkan perhatian yang lebih dari pemerintah
dibanding dengan penyakit tidak menular.
Penyakit menular adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri, virus,
atau parasit yang dapat ditularkan melalui media tertentu. Penyakit menular
sering disebut juga penyakit infeksi, karena penyakit ini diderita melalui infeksi
virus, bakteri, atau parasit yang ditularkan melalui berbagai macam media,
seperti udara, jarum suntik, tranfusi darah, tempat makan atau minum, dan lain
sebagainya.
Penyakit menular erat kaitan dengan epidemiologi. Epidemiologi berasal
dari bahasa Yunani, yaitu Epi yang berarti “pada”, Demos yang berarti
“penduduk”, dan Logos yang berarti “penduduk”. Jadi epidemiologi adalah ilmu
yang mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan masyarakat. Pada era dewasa ini
telah terjadi pergeseran pengertian epidemiologi, yang dulunya lebih menekan ke
arah penyakit menular ke arah-arah masalah kesehatan dengan ruang lingkup
yang sangat luas. Keadaan ini terjadi karena transisi pola penyakit yang terjadi
pada masyarakat, pergeseran pola hidup, peningkatan sosial, ekonomi
masyarakat, dan semakin luasnya jangkauan masyarakat.
Mula- mula epidemiologi mempelajari penyakit yang dapat menimbulkan
wabah melalui temuan-temuan tentang penyakit wabah, cara penularan dan

1
2

penyebab serta bagaimana penanggulangan penyakit wabah tersebut. Kemudian


tahap berikutnya, berkembang lagi menyangkut penyakit yang infeksi non
wabah. Lalu setelah itu, dengan mempelajari penyakit penyakit non infeksi
seperti jantung, karsinoma, hipertensi, dan lain sebagainya. Pergeseran ini pula
yang menyebabkan pergeseran definisi dalam epidemiologi, yang tadinya hanya
menekan pada penyakit-penyakit menular, yang meliputi pencegahan,
pemberantasan penyakit menular ke arah mempelajari masalah-masalah
kesehatan yang terjadi pada masyarakat atau sekelompok manusia yang
menyangkut frekuensi, distribusi masalah kesehatan dan faktor-faktor yang
mempengaruhinya.
Sekarang banyak penyakit-penyakit menular yang sedang mewabah di
tengah-tengah masyarakat, baik penyakit yang sudah ditemukan cara
pengobatannya maupun yang belum ditemukan cara pengobatannya

B. Rumusan Masalah
a. Apa pengertian dari penyakit menular?
b. Apa karakteristik dari penyakit menular?
c. Apa kelompok utama dari penyakit menular?
d. Apa saja faktor penyebab penyakit menular?
e. Bagaimana sumber penularan penyakit menular?
f. Bagaimana mekanisme atau cara penularan penyakit menular?
g. Bagaimana cara pencegahan dan penanggulangan penyakit menular?
h. Apa saja jenis-jenis penyakit menular?

C. Tujuan
a. Mengetahui apa sebenarnya pengertian dari penyakit menular.
b. Mengetahui karakteristik dari penyakit menular.
c. Mengetahui kelopok utama penyakit menular.
3

d. Mengetahui apa saja faktor penyebab penyakit menular.


e. Mengetahui sumber penularan penyakit menular.
f. Mengetahui bagaimana mekanisme atau cara penularan penyakit menular.
g. Mengetahui cara pencegahan dan penanggulangan penyakit menular.
h. Mengetahui apa saja jenis-jenis penyakit menular.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Penyakit Menular

1. Definisi
Penyakit menular merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme, seperti virus, bakteri, parasite, atau jamur, dan dapat
berpindah ke orang lain yang sehat. Beberapa penyakit menular di Indonesia
dapat dicegah melalui pemberian vaksinasi serta pola hidup bersih dan sehat.
Penyakit menular dapat ditularkan secara langsung maupun tidak
langsung. Penularan secara langsung terjadi ketika kuman pada orang yang
sakit berpindah melalui kontak fisik, misalnya lewat sentuhan dan ciuman,
melalui udara saat bersin dan batuk, atau melalui kontak dengan cairan tubuh
seperti urine dan darah. Orang yang menularkannya bias saja tidak
memperlihatkan gejala dan tidak tampak seperti orang sakit, apabila hanya
sebagai pembawa (carrier) penyakit.
Penyakit menular juga dapat berpindah secara tidak langsung.
Misalnya saat menyentuh kenop pintu, keran air, atau tiang besi pegangan di
kereta yang terkontaminasi. Kuman dapat menginfeksi jika anda menyentuh
mata, hidung, atau mulut tanpa mencuci tangan terlebih dahulu.

2. Karakteristik Penyakit Menular


Karakteristik utama penyakit menular adalah sebagai berikut:
a. Penyakit-penyakit tersebut sangat umum terjadi di masyarakat.
b. Beberapa penyakit dapat menyebabkan kematian atau kecacatan.
c. Beberapa penyakit dapat menyebabkan epidemik.
d. Penyakit-penyakit tersebut sebagian besar dapat dicegah dengan intervensi
sederhana.

4
5

3. Kelompok Utama Penyakit Menular


Adapun tiga kelompok utama dari suatu penyakit menular sebagai berikut:
a. Penyakit yang sangat berbahaya karena angka kematian cukup tinggi
b. Penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan kematian dan cacat,
walaupun akibatnya lebih ringan dari yang pertama.
c. Penyakit menular yang jarang menimbulkan kematian dan cacat tetapi
dapat mewabah yang menimbulkan kerugian materi.

4. Faktor Penyebab Penyakit Menular


Ada beberapa faktor yang memegang peranan penting dalam proses
perjalanan penyakit menular di masyarakat yaitu adanya faktor penyebab
(agent) yakni organisme penyebab penyakit, adanya sumber penularan
(reservoir ataupu resources), adanya cara penularan khusus (mode of
transmission), adanya cara meninggalkan penjamu dan cara masuk ke
penjamu lainnya serta ketahanan penjamu itu sendiri.
Unsur penyebab penyakit menular adalah unsur biologis yang
merupakan unsur organisme hidup dimana membutuhkan tempat yang sesuai
untuk berkembang biak yang dapat menyebabkan penyakit pada manusia.
Unsur ini dapat dikelompokkan dalam beberapa kelompok di antaranya:
a. Kelompok arthropoda (serangga) seperti pada penyakit scabies,
pediculosis dan lain-lain.
b. Kelompok cacing baik cacing darah maupun cacing perut dan
sebagainya.
c. Kelompok protozoa seperti plasmodium, amuba dan lain-lain.
d. Fungi atau jamur baik uni maupun multiseluler.
e. Bakteri termasuk spirochaeta maupun ricketsia yang memiliki sifat
tersendiri.
f. Virus sebagai kelompok penyebab yang paling sederhana.
6

Cara keluar masuk dari sumber penular ke penjamu melalui:


a. Mukosa/ kulit
b. Saluran pencernaan
c. Saluran pernapasan
d. Saluran urogenital
e. Gigitan, suntikan, luka
f. Placenta

5. Sumber Penularan
a. Manusia sebagai reservoir
Tipe reservoir pada manusia adalah sebagai berikut:
1) Carrier
Adalah orang yang terkena infeksi tetapi belum memiliki tanda atau
gejala yang jelas dan dapat menularkan infeksi yang diderita kepada
orang lain. Beberapa tipenya yaitu:
a) Healthy carrier, adalah mereka yang tidak pernah menampakkan
menderita penyakit tersebut secara klinis akan tetapi mengandung
unsur penyebab yang dapat menularkan pada orang lain, seperti
penyakit poliomyelitis, hepatitis B dan meningococcus.
b) Incubatory carrier (masa tunas), adalah mereka yang masih
dalam masa tunas, tetpi berpotensi menularkan penyakit, seperti
pada penyakit cacar air, campak dan pada virus hepatitis.
c) Convalenscent carrier (baru sembuh klinis), adalah mereka yang
baru sembuh dari penyakit menular tertentu, tetapi masih
merupakan sumber penularan penyakit tersebut untuk masa
tertentu, yang masa penularannya kemungkinan hanya sampai
tiga bulan misalnya kelompok salmonella, pada hepatitis dan
pada difteri.
7

d) Chronic carrier (menahun), adalah sumber penularan yang cukup


lama, seperti pada penyakit typus abdominalis dan hepatitis B.
2) Orang yang terkolonisasi
Merupakan orang yang menyimpan suatu agen infeksius namun
orang tersebut tidak terinfeksi. Sebagai contoh, sekitar 20-30% orang
sehat membawa staphylococus aureus dalam nares anterior (hidung
bagian depan). Organisme ini dapat disebarkan ke orang lain atau
dapat masuk ke dalam kulit orang yang terkolonisasi yang terluka.
3) Orang yang sakit
Merupakan orang yang terinfeksi dan meiliki tanda gejala penyakit.
b. Reservoir binatang atau benda lain
Tipe reservoir binatang atau benda lain yaitu:
1) Orang yang makan daging binatang yang menderita penyakit.
2) Melalui gigitan binatang sebagai vektornya.
3) Binatang penderita penyakit langsung menggigit manusia.
4) Reservoir lingkungan.

6. Cara Penularan (Mode Of Transmissions)


Cara penularan penyakit menular secara garis besarnya terbagi menjadi dua
yaitu:
a. Penularan secara langsung
Yaitu penularan penyakit yang terjadi secara langsung dari penderita atau
reservoir langsung ke penjamu potensial yang baru. Dalam pengertian
ini, penularan secara langsung tidaklah berarti bahwa harus terjadi
persentuhan antara sumber dengan penjamu potensial tetapi dapat juga
dalam bentuk berada pada jarak yang dekat umpamanya pada penularan
dengan dorplet nuklei, atau bersentuhan dengan sumber penularan
lainnya.
8

1) Penularan dari orang ke orang


Sumber penularan adalah manusia. Misalnya penyakit kelamin
seperti sifilis, gonorrhoe, trichomonas vaginalis, herpes simplex.
2) Penularan langsung dari binatang ke orang
Pada kelompk ini dimaksudkan penyakit yang umumnya hanya
dijumpai pada binatang tetapi dapat menular dan menjangkiti orang
lain secara langsung.
3) Penularan dari tumbuhan ke orang
b. Penularan secara tidak langsung
Yaitu penularan penyakit terjadi dengan media tertentu seperti melalui
udara (air borne) dalam bentuk droplet dust, melalui benda tertentu
(vechicle borne), melalui vektor (vector borne).
1) Penularan melalui udara (air borne)
Penularan melalui udara dimaksudkan adalah cara penularan yang
terjadi tanpa kontak dengan penderita atau benda yang
terkontaminasi. Sebagian besar penularan melalui udara dapat juga
menular melalui kontak langsung, namun tidak jarang penyakit yang
sebagian besar penularannya adalah karena menghisap udara yang
mengandung unsur penyebab/ mikroorganisme penyebab.
2) Penularan melalui makanan, minuman dan benda lain
Adalah penularan kontak tidak langsung melalui benda mati seperti
makanan, minuman, susu, mainan anak, dan sebagainya.
3) Penularan melalui vektor (vector borne)

B. Macam-Macam Penyakit Menular

1. Hepatitis B
a. Definisi
Hepatitis B adalah penyakit yang sangan berbahaya, masuk ke
dalam tubuh secara parenteral dan bersifat asimtomatik. Respon antibodi
9

berhasi mengeliminasi sel-sel hepar yang terkena infeksi virus hepatitis B


(VHB). Hanya virus hepatitis B yang dapat menjadi hepatitis kronik.
Biasanya hepatitis kronik terjadi tanpa tanda-tanda infeksi hepatitis.
Virus hepatitis B (HBV) adalah virus DNA, suatu prototip virus
yang termasuk keluarga Hepadnaviridae (Boedina, 2013). Hepatitis B
menyerang semua umur, gender, dan ras di seluruh dunia (Widoyono,
2011). Hepatitis B dapat menyebabkan peradangan hati akut atau kronis
yang dapat beranjut menjadi sirosis hati atau kanker hati (Mustofa dan
Kurniawaty, 2013).
b. Etiologi
Penyakit ini disebabkan oleh virus hepatitis B yang berukuran
sekitar 42 mm. Virus ini mempunyai lapisan luar (selaput) yang berfungsi
sebagai antigen HBsAg. Virus ini mempunyai bagian inti dengan partikel
inti HBcAg dan HBeAg (Widoyono, 2011). Masa inkubasi berkisar
antara 15-180 hari dengan rata-rata 60-90 hari (Sudoyo et al. 2009).
Perubahan dalam tubuh penderita akibat infeksi virus hepatitis B terus
berkembang. Dari infeksi akut berubah menjadi kronis, sesuai dengan
umur penderita. Makin tua umur, makin besar kemungkinan menjai
kronis kemudian berlanjut menjadi pengkerutan jaringan hati yang
disebut sirosis. Bila umur masih berlanjut keadaan itu akan berubah
menjadi karsinoma hepatoseluler (Yatim, 2007).
c. Epidemiologi
Hepatitis virus merupaka sebuah fenomena gunung es, dimana
penderita yang tercatat atau yang dating ke layanan kesehatan lebih
sedikit dari jumlah penderita sesungguhnya. Mengingat ini adalah
penyakit kronis yang menahun, dimana pada saat orang tersebut telah
terinfeksi, kondisi masih sehat dan belum menunjukan gejala dan tanda
yang khas, tetapi penularan terus berjalan (Kementerian Kesehatan RI,
2014).
10

Penyakit hepatitis merupakan masalah kesehatan masyarakat di


dunia termasuk di Indonesia. Virus hepatitis b telah menginfeksi sejumlah
2 miliyar orang di dunia, dan sekitar 250 juta orang diantaranya menjadi
pengidap Hepatitis B kronis. Sekitar 15-40% dari pasien yang terinfeksi
kronis akan menjadi sirosis, menuju gagal hati dan atau kanker hati.
Setiap tahun, ada lebih dari 4 juta kasus karena infeksi kronis Hepatitis B
dan komplikasinya : sirosis atau kanker hati primer (Feld dan Janssen,
2015).
Prevalensi VHB dalam kehamilan di Amerika Serikat adalah 0,2%
sampai 6%. Dalam studi yang dilakukan di Florida yang melibatkan
hamper 1,7 juta wanita hamil,prevalensi virus hepatitis B 27 kalinlebih
tinggi di antara Asia-Amerika dan 5 kali lebih tinggi diantara Afrika-
Amerika dibandingkan dengan kulit putih.
Prevalensi VHB di Asia Timur 8% (Cina 2-18% dan Hongkong 4-
10%, tergantung pada daerah), sub-sahara afrika 8-12%, dan Asia
Tenggara 6% (Indonesia 2-9%, Thailand 1-25%, dan India 1-66%,
tergantung pada daerah) (Dunkelberg, dkk, 2014).
d. Etiopatogenesis
Hampir semua jenis virus hepatitis dapat menyerang manusia.Ibu
hamil yang terserang virus ini dapat menularkannya pada bayi yang ada
dalam kandungan atau waktu menyusui bayi itu. Bentuk penularan seperti
inilah yang banyak di jumpai pada penyakit hepatitis B. Pada saat ini
jenis hepatitis yang paling banyak di pelajari ialah hepatitis B. Walaupun
infeksi virus ini jarang terjadi pada populasi orang dewasa, kelompok
tertentu dan orang dengan cara hidup tertentu memiliki risiko tinggi.
Kelompok ini mencakup (Ferrari, dkk., 2003):
1) Imigran dari daerah endemis hepatitis B
2) Pengguna obat secara intravena (IV) yang sering bertukar jarum dan
alat suntik
11

3) Pelaku hubungan seksual dengan banyak orang atau dengan orang


yang terinfeksi
4) Pria homoseksual yang secara seksual aktif
5) Pasien rumah sakit jiwa
6) Narapidana pria
7) Pasien hemodialisis dan penderita hemofilia yang menerima produk
tertentu dari plasma
8) Kontak serumah dengan karier hepatitis
9) Pekerja sosial di bidang kesehatan, terutama yang banyak kontak
dengan darah
Bila hepatitis virus terjadi pada trimester I atau permulaan
trimester II maka gejala-gejalanya akan sama dengan gejala hepatitis
virus pada wanita tidak hamil. Meskipun gejala-gejala yang timbul relatif
lebih ringan dibanding dengan gejala-gejala yang timbul pada trimester
III, namun penderita hendaknya tetap dirawat di rumah sakit.
Hepatitis virus yang terjadi pada trimester III, akan menimbulkan
gejala-gejala yang lebih berat dan penderita umumnya menunjukkan
gejala-gejala fulminant. Pada fase inilah hepatitis nekrosis akut sering
terjadi, dengan menimbulkan mortalitas Ibu yang sangat tinggi,
dibandingkan dengan penderita tidak hamil. Pada trimester III, adanya
defisiensi faktor lipotropik disertai kebutuhan janin yang meningkat akan
nutrisi, menyebabkan penderita mudah jatuh dalam hepatitis nekrosis
akut. Tampaknya keadaan gizi ibu hamil sangat menentukan prognosa
(Ferrari, dkk., 2003).
Peneliti lain juga menyimpulkan, bahwa berat ringan gejala
hepatitis virus pada kehamilan sangat tergantung dari keadaan gizi ibu
hamil. Gizi buruk khususnya defisiensi protein, ditambah pula
meningkatnya kebutuhan protein untuk pertumbuhan janin, menyebabkan
infeksi hepatitis virus pada kehamilan memberi gejala-gejala yang jauh
12

lebih berat. Pengaruh kehamilan terhadap berat ringannya hepatitis virus,


telah diselidiki oleh Adam, yaitu dengan cara mencari hubungan antara
perubahan-perubahan koagulasi pada kehamilan dengan beratnya gejala-
gejala hepatitis virus. Diketahui bahwa pada wanita hamil, secara
fisiologik terjadi perubahan-perubahan dalam proses pembekuan darah,
yaitu dengan kenaikan faktor-faktor pembekuan dan penurunan aktivitas
fibrinolitik, sehingga pada kehamilan mudah terjadi DIC (Disseminated
Intra Vascular Coagulation).

Penularan virus ini pada janin, dapat terjadi dengan beberapa cara,
yaitu (Shao, dkk., 2011) :
1) Melewati plasenta
2) Kontaminasi dengan darah dan tinja Ibu pada waktu persalinan
3) Kontak langsung bayi baru lahir dengan Ibunya
4) Melewati Air Susu Ibu, pada masa laktasi.
Virus Hepatitis B dapat menembus plasenta, sehingga terjadi
hepatitis virus in utero dengan akibat janin lahir mati, atau janin mati
pada periode neonatal.Beberapa bukti, bahwa virus hepatitis dapat
menembus plasenta, ialah ditemukannya hepatitis antigen dalam tubuh
janin in utero atau pada janin baru lahir.Selain itu telah dilakukan pula
autopsi pada janin-janin yang mati pada periode neonatal akibat infeksi
hepatitis virus. Hasil autopsi menunjukkan adanya perubahan-perubahan
pada hepar, mulai dari nekrosis sel-sel hepar sampai suatu bentuk sirosis.
Perubahan-perubahan yang lanjut pada hepar ini, hanya mungkin terjadi
bila infeksi sudah mulai terjadi sejak janin dalam rahim.

Kelainan yang ditemukan pada hepar janin, lebih banyak terpusat


pada lobus kiri. Hal ini membuktikan, bahwa penyebaran virus hepatitis
dari ibu ke janin dapat terjadi secara hematogen. Angka kejadian
penularan virus hepatitis dari ibu ke janin atau bayinya, tergantung dari
13

tenggang waktu antara timbulnya infeksi pada ibu dengan saat persalinan.
Angka tertinggi didapatkan, bila infeksi hepatitis virus terjadi pada
kehamilan trimester III. Meskipun pada Ibu-Ibu yang mengalami hepatitis
virus pada waktu hamil, tidak memberi gejala-gejala ikterus pada bayinya
yang baru lahir, namun hal ini tidak berarti bahwa bayi yang baru lahir
tidak mengandung virus tersebut. Ibu hamil yang menderita hepatitis
virus B dengan gejala-gejala klinik yang jelas, akan menimbulkan
penularan pada janinnya jauh lebih besar dibandingkan dengan Ibu-Ibu
hamil yang hanya merupakan carrier tanpa gejala klinik (Shao, dkk.,
2011).

Virus Hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari


peredaran darah partikel Dane, yang merupakan lapisan permukaan dari
VHB atau dikenal dengan HBsAg, masuk ke dalam hati dan terjadi proses
replikasi virus. Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan
mensekresi partikel Dane utuh dengan bentuk bulat dan tubuler, dan
HBeAg yang tidak ikut membentuk partikel virus. VHB merangsang
respons imun tubuh, yang pertama kali dirangsang oleh respons imun
nonspesifik (innate immune response) karena dapat terangsang dalam
waktu pendek, dalam beberapa menit sampai jam. Proses eliminasi
nonspesifik ini terjadi tanpa restriksi HLA, yaitu dengan memanfaatkan
sel-sel NK dan NK-T (Shao, dkk., 2011).

Untuk proses eradikasi VHB lebih lanjut diperlukan respons imun


spesifik, yaitu dengan mengaktifkan sel limfosit T dan sel limfosit B.
Aktifasi sel T CD8+ terjadi setelah kontak reseptor sel T tersebut dengan
kompleks peptide VHB-MHC kelas I yang ada pada permukaan dinding
sel hati dan pada permukaan dinding Antigen Presenting Cell (APC) dan
dibantu rangsangan sel T CD 4+ yang sebelumnya sudah mengalami
kontak dengan kompleks peptide VHB-MHC kelas II pada dinding APC.
14

Peptide VHB yang ditampilkan pada permukaan dinding sel hati dan
menjadi antigen sasaran respons imun adalah peptide kapsid yaitu HBcAg
atau HBeAg. Sel T CD8+ selanjutnya akan mengeliminasi virus yang ada
di dalam sel hati yang terinfeksi. Proses eliminasi tersebut bias terjadi
dalam bentuk nekrosis sel hati yang akan menyebabkan meningkatnya
ALT atau mekanisme sitolitik. Di samping itu dapat juga terjadi eliminasi
virus intrasel tanpa kerusakan sel hati yang terinfeksi melalui aktivitas
interferon gamma dan Tissue Necrotic Factor (TNF)-α yang dihasilkan
oleh sel T CD8+ (mekanisme nonsitolitik) (Shao, dkk., 2011).

Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD4+ akan


menyebabkan produksi antibodi antara lain anti-HBs, anti-HBc dan anti
HBe. Fungsi anti-HBs adalah netralisasi partikel VHB bebas dan
mencegah virus kedalam sel. Dengan demikian anti HBs akan mencegah
penyebaran virus dari sel ke sel. Infeksi kronik VHB bukan disebabkan
gangguan produksi anti HBs. Buktinya pada pasien Hepatitis B kronik
ternyata dapat ditemukan adanya anti HBs yang tidak bisa dideteksi
dengan metode pemeriksaan biasa karena anti HBs bersembunyi dalam
kompleks dengan HBsAg (Shao, dkk., 2011).
Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi VHB
dapat diakhiri, sedangkan bila proses tersebut kurang efisien maka terjadi
infeksi VHB yang menetap. Proses eliminasi VHB oleh respons imun
yang tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor viral ataupun faktor
pejamu. Faktor viral antara lain: terjadinya imunotoleransi terhadap
produk VHB, hambatan terhadap CTL (Citotoksik T Limfosit) yang
berfungsi melakukan lisis sel-sel terinfeksi, terjadinya mutan VHB yang
tidak memproduksi HBeAg, integrasi genom VHB dalam genom sel hati.
Faktor pejamu antara lain: faktor genetik, kurangnya produksi IFN,
15

adanya antibodi terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit,


respons antiidiotipe, faktor kelamin atau hormonal (Shao, dkk., 2011).

Salah satu contoh peran imunotoleransi terhadap produk VHB


dalam persistensi VHB adalah mekanisme persistensi infeksi VHB pada
neonatus yang dilahirkan oleh ibu HBsAg dan HBeAg positif. Diduga
persistensi tersebut disebabkan adanya imunotoleransi terhadap HBeAg
yang masuk ke dalam tubuh janin mendahului invasi VHB, sedangkan
persistensi pada usia dewasa diduga disebabkan oleh kelelahan sel T
karena tingginya kadar partikel virus. Persistensi infeksi VHB dapat
disebabkan karena mutasi pada daerah precore dari DNA yang
menyebabkan tidak dapat diproduksinya HBeAg. Tidak adanya HBeAg
pada mutan tersebut akan menghambat eliminasi sel yang terinfeksi VHB
(Shao, dkk., 2011).
e. Penularan
Penularan secara parenteral terjadi melalui suntikan, tranfusi
darah, operasi, tusuk jarum, rajah kulit (tato), dan hubungan seksual, serta
melalui transmisi vertikal dari ibu ke anak. Masa inkubasinya sekitar 75
hari ( Widoyono, 2011). Penanda HBsAg telah diindentifikasi pada
hampir setiap cairan dari orang yang terinfeksi yaitu saliva, air mata,
cairan seminal, cairan serebrospinal, asites, dan air susu ibu. Beberapa
cairan ini (terutama semen dan salive) telah diketahui infeksius (Thedja,
2012).
Jalur penularan infeksi VHB di indoensia yang terbanyak adalah
secara parenteral yaitu secara vertikal (transmisi) meternal-neonatal atau
horizontal (kontak antar individu yang sangat erat dan lama, seksual,
iatrogenic, penggunaan jarum suntik). Virus Hepatitis B dapat didekteksi
pada semua sekret dan cairan tubuh manusia, dengan konsentrasi tertinggi
pada serum (Juffrie et al, 2010).
16

f. Patofisiologi
Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis B.
Virus Hepatitis B mula-mula melekat pada resptor spesifik di membram
sel hepar kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar.
Virus melepaskan mantelnya di sitoplasma, sehingga melepaskan
nukleokapsid. Selajutnya nukleokapsid akan menembus sel dinding hati.
Asam nukleat VHB akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel
pada DNA hospes dan berintergrasi pada DNA tersebut. Proses
selanjutnya adalah DNA VHB memerintahkan sel hati untuk membentuk
protein bagi virus baru. Virus Hepatitis B dilepaskan ke peradangan
darah, terjadi mekanisme kerusakan hati yang kronis disebabkan karena
respon imunologik penderita terhadap infeksi (Mustofa dan Kurniawaty,
2013).
Proses replikasi virus tidak secara langsung bersifat toksik
terhadap sel, terbukti banyak carrier VHB asimtomatik dan hanya
menyebabkan kerusakan hati ringan. Respon imun host terhadap antigen
virus merupakan factor penting terhadap kerusakan hepatoseluler dan
proses klirens virus, makin lengkap respon imun, makin besar klirens
virus dan semakin berat kerusakan sel hati. Respon imun host dimediasi
oleh respon seluler terhadap epitope protein VHB, terutama HBsAg yang
ditansfer ke permukaan sel hati. Human Leukocyte Antigen (HLA)class I-
restriced CD8+ cell mengenali fragmen peptide VHB setelah mengalami
proses intrasel dan dipresentasikan ke permukaan sel hati oleh molekul
Major Histocompability Complex (MHC) kelas I. Proses berakhir dengan
penghancuran sel secara langsung oleh Limfosit T sitotoksik CD8+
(Hardjoeno, 2007).
g. Manifestasi Klinis
Manisfestasi kinis infeksi VHB pada pasien hepatitis akut
cenderung ringan. Kondisis asimtomatis ini terbukti dari tingginya angka
17

pengidap tanpa adanya riwayat hepatitis akut. Apabila menimbulkan


gejala hepatitis, gejalanya menyerupai hepatitis virus yang lain tetapi
dengan intensitas yang lebih berat (Juffrie et al, 2010). Gejala hepatitis
akut terbagi menjadi 4 tahap yaitu :
1) Fase Inkubasi
Merupakan waktu antara masuknya virus dan timbulnya
gejalan atau icterus. Fase inkubasi Hepatitis B berkisar antara 15-180
hari dengan rata-rata 60-90 hari.
2) Fase prodromal
Fase diantara timbulnya keluhan-keluhan pertama dan
timbulnya gejala ikterus. Awitannya singkat atau insidious ditandai
dengan malaise umum, myalgia, artalgia, mudah lelah, gejala saluran
napas atas dan anoreksia. Diare atau konstipasi dapat terjadi. Nyeri
abdomen biasanya ringan dan menetap di kuadran kanan atas atau
epigastrum, kadang diperberat dengan aktivitas akan tetapi jarang
menimbulkan kolestitis.
3) Fase icterus
Ikterus muncul setelah 5-10 hari, tetapi dapat juga muncul
bersamaan dengan munculnya gejala. Banyak kasus pada fase icterus
tidak terdeteksi. Setelah timbul icterus jarang terjadi perburukan
gejala prodromal, tetapi justru akan terjadi perbaikan klinis yang
nyata.
4) Fase konvalesen (penyembuhan)
Diawali dengan menghilangnya icterus dan keluhan lain,
tetapi hepatomegaly dan abnormalitas fungsi hati tetap ada. Muncul
perasaan sudah lebih sehat dan kembalinya nafsu makan. Sekitar 5-
10% kasus perjalanan klinisnya mungkin lebih sulit ditangani, hanya
<1% yang menjadi fulminant (Sudoyo et al, 2009).
18

Hepatitis B kronis didenfinisikan sebagai peradangan hati yang


berlanjut lebih dari enam bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit.
Perjalanan hepatitis B kronik dibagi menjadi tiga fase yaitu :
1) Fase imunotoleransi
Sistem imun tubuh toloren terhadap VHB sehingga
konsentrasi virus tinggi dalam darah, tetapi terjadi peradangan hati
yang berarti. Virus Hepatitis B berada dalam fase replikatif dengan
titer HBsAg yang sangat tinggi.
2) Fase Imunoaktif (clearance)
Sekitar 30% individu persisten dengan VHB akibat terjadinya
replikasi virus yang berkepanjangan, terjadi proses nekroinflamasi
yang tampak dari kenaikan konsentrasi ALT. Fase clearance
menandakan pasien sudah mulai kehilangan toleransi imun terhadap
VHB.
3) Fase Residual
Tubuh berusaha menghancurkan virus dan menimbulkan
pecahnya sel-sel hati yang terinfeksi VHB. Sekitar 70% dari individu
tersebut akhirnya dapat menghilangkan sebagian besar partikel virus
tanpa ada kerusakan sel hati yang berarti. Fase residual ditandai
dengan titer HBsAg rendah, HBeAg yang menjadi negative dan anti-
HBe yang menjadi positif, serta konsentarsi ALT normal (Sudoyo el
al, 2009).
h. Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Anamnesis umumnya tanpa keluhan, perlu
digali riwayit transmisi seperti pernah transfuse, seks bebas, riwayat
sakit kuning sebelumnya. Pemeriksaan fisik didaptkan hepatomegaly.
Pemeriksaan penjunjang terdiri dari pemeriksaan laboratorium, USG
abdomen dan Biopsi hepar (Mustofa dan Kurniawaty, 2013).
19

Pemeriksaan laboratorium pada VHB terdiri dari pemeriksaan biokimia.


Serologis dan molekuler (Hardjoeno, 2007). Pemeriksaan USG
abdomen tampak gambaran hepatitis kronis, selanjutnya pada biopsy
hepar dapat menunjukkan gambaran peradangan dan fibrosis hati
(Mustofa dan Kurniawaty, 2013). Pemeriksaan laboratorium pada VHB
terdiri dari :
1) Pemeriksaan Biokimia
Stadium akut VHB ditandai AST dan ALT meningkat >10
kali nilai normal, serum bilirubin normal atau hanya meningkat
sedikit, peningkatan Alkali Fosfatase (ALP) >3 kali nilai normal,
dan kadar albumin serta kolesterol dapat mengalami penurunan.
Stadium kronik VHB ditandai dengan AST dan ALT kembali
menurun 2-10 kali nilai normal dan kadar albumin rendah tetapi
kadar globulin meningkat (Hardjoeno, 2007).
2) Pemeriksaan serologis
Indikator serologi awal dari VHB akut dan kunci diagnosis
penanda infeksi VHB kronik adalah HBaAg, dimana infksi bertahan
di serum >6 bulan (EASL, 2009). Pemeriksaan HBsAg
berhubungan dengan selubung permukaan virus. Sekitar 5-10%
pasien, HBsAg menetap di dalam darah yang menandakan
terjadinya hepatitis kronis atau carrier (Hardjoeno, 2007).
Setelah HBsAg menghilang, anti-HBs terdeteksi dalam
serum pasien dan terdeteksi dalam serum pasien dan terdeteksi
sampai waktu yang tidak terbatas sesudahnya. Karena terdapat
variasi dalam waktu timbulnya anti-HBs, kadang terdapat suatu
tenggang waktu (window period) beberapa minggu atau lebih yang
memisahkan hilangnya HBsAg dan timbulnya anti-HBs. Selama
periode tersebut, anti-HBc dapat menjadi bukti serologic pada
infeksi VHB (Asdie et al, 2012). Hepatitis B core antigen dapat
20

ditemukan pada sel hati yang terinfeksi, tetapi tidak terdeteksi di


dalam serum (Hardjoeno, 2007).
Hal tersebut dikarenakan HBcAg terpencil di dalam mantel
HBsAg. Penanda Anti-HBc dengan cepat terlihat dalam serum,
dimulai dalam 1 hingga 2 minggu pertama timbulnya HBsAg dan
mendahului terdeteksinya kadar anti-HBs dalam beberapa minggu
hingga beberapa bulan (Asdie et al, 2012). Penanda serologik lain
adalah anti HBc, antibody ini timbul saat terjadinya gejala klinis.
Saat infeksi akut, anti HBc IgM umumnya muncul 2 minggu setelah
HBsAg terdeteksi dan akan menetap ± 6 bulan. Pemeriksaan anti-
HBc IgM penting untuk diagnosis infeksi akut terutama bila HBsAg
tidak terdeteksi (window period). Penanda anti-HBc IgM
menghilang, anti-HBc IgG muncul dan akan menetap dalam jangka
waktu lama (Harjoeno, 2007).

Tes-tes yang sangat sensitive telah banyak dikembangkan


secara luas untuk menegakkan diagnosis Hepatitis B dalam kasus-
kasus ringan, sub klinis atau yang menetap (Handojo, 2004).
Beberapa metode yang digunakan untuk mendiagnosis hepatitis
adalah Immunochromatography (ICT), ELISA, EIA, dan PCR.
Metode EIA dan PCR tergolong mahal dan hanya tersedia pada
laboratorium yang memiliki peralatan lengkap. Perlatan rapid
diagnostic ICT adalah pilihan yang tepat digunakan karena lebih
murah dan tidak memerlukan peralatan kompleks (Rahman et al,
200).

3) Pemeriksaan Molekuler
Pemeriksaan molekuler menjadi standar pendekatan secara
laboratorium untuk deteksi dan pengukuran DNA VHB dalam
serum atau plasma. Pengukuran kadar secara rutin bertujuan untuk
21

mengidentifikasi carrier, menetukan prognosis, dan monitoring


efikasi pengobatan antiviral.
Metode pemeriksaan antara lain:
a) Radioimmunoassay (RIA) mempunyai keterbatasan karena
waktu paruh pendek dan diperlukan penanganan khusus dalam
prosedur kerja dan limbahnya.
b) Hybrid Capture Chemiluminascence (HCC) merupakan teknik
hibridisasi yang lebih sensitive dan tidak menggunakan
radioisotope karena system deteksinya menggunakan substrat
chemiluminescence.
c) Amplifikasi signal (metode branched DNA/ bDNA) bertujuan
untuk menghasilkan sinyal yang dapat dideteksi hanya dari
beberapa target molekul asam nukleat.
d) Amplifikasi targer (metode Polymerase Chain Reaction/PCR)
telah dikembangkan teknik real-time PCR untuk pengukuran
DNA VHB. Amplifikasi DNA dan kuantifikasi produk PCR
terjadi secara bersamaan dalam suatu alat pereaksi tertutup
(Hardjoeno, 2007).

2. Tuberkulosis Paru
a. Definisi
Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksius, yang
terutama menyerang penyakit parenkim paru. Nama Tuberkulosis berasal
dari tuberkel yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu
sistem kekebalan membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru.
Tb paru ini bersifat menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan
granuloma dan menimbulkan nekrosis jaringan.
Tb paru dapat menular melalui udara, waktu seseorang dengan Tb
aktif pada paru batuk, bersin atau bicara. Pengertian Tuberkulosis adalah
22

suatu penyakit menular langsung yang disebabkan karena kuman TB


yaitu Myobacterium Tuberculosis. Mayoritas kuman TB menyerang paru,
akan tetapi kuman TB juga dapat menyerang organ Tubuh yang lainnya.
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh
kuman TB (Mycobacterium Tuberculosis) (Werdhani, 2011).
Tuberkulosis atau biasa disingkat dengan TBC adalah penyakit
kronis yang disebabkan oleh infeksi kompleks Mycobacterium
Tuberculosis yang ditularkan melalui dahak (droplet) dari penderita TBC
kepada individu lain yang rentan (Ginanjar, 2008). Bakteri
Mycobacterium Tuberculosis ini adalah basil tuberkel yang merupakan
batang ramping, kurus, dan tahan akan asam atau sering disebut dengan
BTA (bakteri tahan asam). Dapat berbentuk lurus ataupun bengkok yang
panjangnya sekitar 2-4 μm dan lebar 0,2 –0,5 μm yang bergabung
membentuk rantai. Besar bakteri ini tergantung pada kondisi lingkungan
(Ginanjar, 2010).
b. Etiologi
Agen infeksius utama, M. tuberculosis adalah batang aerobic
tahan asam yang tumbuh dengan lambat dan sensitive terhadap panas dan
sinar matahari. M. bovis dan M. avium adalah kejadian yang jarang yang
berkaitan dengan terjadinya infeksi tuberkulosis (Wijaya dan Putri, 2013).
M. tuberculosistermasuk famili Mycobacteriaceace yang
mempunyai berbagai genus, salah satunya adalah Mycobaterium dan
salah satu speciesnya adalah M. tuberculosis. Bakteri ini berbahaya bagi
manusia dan mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam. Bakteri
ini memerlukan waktu untuk mitosis 12 – 24 jam. M. tuberculosis sangat
rentan terhadap sinar matahari dan sinar ultraviolet sehingga dalam
beberapa menit akan mati. Bakteri ini juga rentan terhadap panas – basah
sehingga dalam waktu 2 menit yang berada dalam lingkungan basah
sudah mati bila terkena air bersuhu 1000 C. Bakteri ini juga akan mati
23

dalam beberapa menit bila terkena alkhohol 70% atau Lysol 5%


(Danusantoso, 2012).
M. tuberculosis berbentuk batang berwarna merah dengan ukuran
panjang 1- 10 mikron, dan lebar 0,2- 0,6 mikron. Kuman mempunyai sifat
tahan asam tehadap pewarnaan metode Ziehl Neelsen. Memerlukan media
khusus untuk biakan contoh media lowenstein jensen dan media ogawa.
Tahan terhadap suhu rendah dan dapat mempertahankan hidup dalam
jangka waktu lama bersifat dorment ( tidur dan tidak berkembang ) pada
suhu 4o C sampai – 70 Co. Kuman bersifat sangat peka terhadap panas,
sinar matahari dan sinar ultraviolet. Jika terpapar langsung dengan sinar
ultraviolet, sebagain besar kuman akan mati dalam waktu beberapa menit.
Kuman dalam dahak pada suhu antara 30 – 70 oC akan mati dalam waktu
kurang lebih 1 minggu (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
c. Epidemiologi
Tuberkulosis adalah salah satu penyakit menular yang menjadi
perhatian di dunia. Dengan berbagai upaya pengendalian yang telah
dilakukan, insidens dan kematian akibat turberkulosis sudah menurun.
Pada tahun 2014 tuberkulosis diperkirakan menyerang 9,6 juta orang dan
menyebabkan kematian 1,2 juta jiwa. India, Indonesia dan China
merupakan negara dengan penderita tuberkulosis terbesar di dunia
(Kementerian Kesehatan RI, 2016).
Tuberkulosis adalah salah satu dari sepuluh penyakit yang
menyebabkan angka kematian terbesar di dunia. Pada tahun 2015 jumlah
penderita TB baru di seluruh dunia sekitar 10,4 juta yaitu laki – laki 5,9
juta, perempuan 3,5 juta dan anak – anak 1,0 juta. Diperkirakan 1.8 juta
meninggal antara lain 1,4 juta akibat TB dan 0,4 juta akibat TB dengan
HIV (WHO, 2016).
TB adalah masalah kesehatan dunia, WHO melaporkan sejak
dahulu dan faktanya menurut estimasi WHO prevalensi TB setiap tahun
24

selalu meningkat. Menurut Global Tubercolosis Report 2019 yang dirilis


oleh WHO pada 17 Oktober 2019, dunia tidak berada di jalur yang tepat
untuk mencapai tujuan strategi END tahun 2020 yaitu mengurangi TB
sebesar 20% dari jumlah kasus tahun 2015-2018. Namun, antara 2015-
2018, penurunan kumulatif kasus TB hanya sebesar 6,3%. Begitu juga
penurunan jumlah total kematian akibat TB antara 2015-2018 secara
global sebesar 11% yang berarti kurang dari sepertiga target yang sebesar
35% pada tahun 2020.
Epidemiologi TB di Indonesia, walaupun prevalensinya
menunjukkan penurunan yang signifikan survei epidemiologi tahun 1980-
2004 secara nasional telah mencapai target yang sudah ditetapkan tahun
2015 yaitu 221 per 100.000 penduduk dan WHO memprediksikan kurang
lebih 690.000 atau 289/1000 terdapat penderita TB di Indonesia. Angka
insiden TB Indonesia pada tahun 2018 sebesar 316 per 100.000 penduduk
dan angka kematian sebesar 40 per 100.000 penduduk. Pada tahun 2019
jumlah kasus TB Indonesia ditemukan sebanyak 543.874 kasus, menurun
jika dibandingkan tahun 2018 sebesar 566.623 kasus. TB merupakan
penyebab kematian kedua setelah stroke pada usia 15 tahun ke atas dan
penyebab kematian pada bayi dan balita (Nizar, 2017).
Sumber infeksi yang paling sering adalah manusia yang
mengekskresikan dari saluran pernafasan sejumlah besar bakteri M.
tuberculosis. Riwayat kontak (contoh dalam keluarga ) dan sering
terpapar ( petugas medis ) menyebabkan kemungkinan tertular melalui
droplet. Kerentanan terhadap bakteri M. tuberculosis merupakan faktor
yang ditentukan oleh resiko untuk mendapatkan infeksi dan resiko
munculnya penyakit klinis setelah infeksi terjadi. Orang beresiko tinggi
terkena TB yaitu bayi, usia lanjut, kurang gizi, daya tahan tubuh yang
rendah, dan orang yang mempunyai penyakit penyerta (Brooks, Carroll,
Butel, Morse, dan Mietzner, 2010).
25

d. Patofisiologi
Tempat masuk kuman Mycobacterium Tuberculosis adalah
saluran pernafasan, saluran pencernaan dan luka terbuka pada kulit.
Kebanyakan infeksi tuberkulosis (TBC) terjadi melalui udara, yaitu
melalui inhalasi droplet yang mengandung kuman-kuman basil tuberkel
yang berasal dari orang yang terinfeksi.
Tuberkulosis adalah penyakit yang dikendalikan oleh respon
imunitas dengan melakukan reaksi inflamasi bakteri dipindahkan melalui
jalan nafas, basil tuberkel yang mencapai permukaan alveolus biasanya di
inhalasi sebagai suatu unit yang terdiri dari satu sampai tiga basil,
gumpalan yang lebih besar cenderung tertahan di saluran hidung dan
cabang besar bronkhus dan tidak menyebabkan penyakit. Setelah berada
dalam ruang alveolus, basil tuberkel ini membangkitkan reaksi
peradangan. Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan
memfagosit bakteri namun tidak membunuh organisme tersebut. Setelah
hari-hari pertama leukosit diganti oleh makrofag. Alveoli yang terserang
akan mengalami konsolidasi dan timbul gejala Pneumonia akut.
Pneumonia seluler ini dapat sembuh dengan sendirinya, sehingga
tidak ada sisa yang tertinggal, atau proses dapat juga berjalan terus, dan
bakteri terus difagosit atau berkembangbiak di dalam sel. Basil juga
menyebar melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional.
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan sebagian
bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang dikelilingi oleh
limfosit. Reaksi ini membutuhkan waktu 10-20 hari.
Nekrosis bagian sentral lesi memberikan gambaran yang relatif
padat dan seperti keju, isi nekrosis ini disebut nekrosis kaseosa. Bagian
ini disebut dengan lesi primer. Daerah yang mengalami nekrosis kaseosa
dan jaringan granulasi di sekitarnya yang terdiri dari sel epiteloid dan
fibroblast, menimbulkan respon yang berbeda. Jaringan granulasi menjadi
26

lebih fibrosa membentuk jaringan parut yang akhirnya akan membentuk


suatu kapsul yang mengelilingi tuberkel.
Lesi primer paru-paru dinamakan fokus Ghon dan gabungan
terserangnya kelenjar getah bening regional dan lesi primer dinamakan
kompleks Ghon. Respon lain yang dapat terjadi pada daerah nekrosis
adalah pencairan, dimana bahan cair lepas kedalam bronkhus dan
menimbulkan kavitas. Materi tuberkular yang dilepaskan dari dinding
kavitas akan masuk kedalam percabangan trakheobronkial. Proses ini
dapat terulang kembali di bagian lain di paru-paru, atau basil dapat
terbawa sampai ke laring, telinga tengah, atau usus. Lesi primer menjadi
rongga-rongga serta jaringan nekrotik yang sesudah mencair keluar
bersama batuk. Bila lesi ini sampai menembus pleura maka akan terjadi
efusi pleura tuberkulosa.
Kavitas yang kecil dapat menutup sekalipun tanpa pengobatan dan
meninggalkan jaringan parut fibrosa. Bila peradangan mereda lumen
bronkhus dapat menyempit dan tertutup oleh jaringan parut yang terdapat
dekat perbatasan rongga bronkus. Bahan perkejuan dapat mengental
sehingga tidak dapat mengalir melalui saluran penghubung sehingga
kavitas penuh dengan bahan perkejuan, dan lesi mirip dengan lesi
berkapsul yang tidak terlepas. Keadaan ini dapat menimbulkan gejala
dalam waktu lama atau membentuk lagi hubungan dengan bronkus dan
menjadi tempat peradangan aktif.
Penyakit dapat menyebar melalui getah bening atau pembuluh
darah. Organisme yang lolos melalui kelenjar getah bening akan
mencapai aliran darah dalam jumlah kecil, yang kadang-kadang dapat
menimbulkan lesi pada berbagai organ lain. Jenis penyebaran ini dikenal
sebagai penyebaran limfo hematogen, yang biasanya sembuh sendiri.
Penyebaran hematogen merupakan suatu fenomena akut yang
biasanya menyebabkan Tuberkulosis milier. Ini terjadi apabila fokus
27

nekrotik merusak pembuluh darah sehingga banyak organisme masuk


kedalam sistem vaskuler dan tersebar ke organ-organ tubuh. Komplikasi
yang dapat timbul akibat Tuberkulosis terjadi pada sistem pernafasan dan
di luar sistem pernafasan. Pada sistem pernafasan antara lain
menimbulkan pneumothoraks, efusi pleural, dan gagal nafas, sedang
diluar sistem pernafasan menimbulkan Tuberkulosis usus, Meningitis
serosa, dan Tuberkulosis milier (Kowalak, 2011).
e. Klasifikasi TB
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting
dilakukan untuk menetapkan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang
sesuai dan dilakukan sebelum pengobatan dimulai.
Klasifikasi penyakit tuberkulosis paru :
1) Tuberculosis Paru
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TBC Paru dibagi dalam :
a) Tuberkulosis Paru BTA (+)
Kriteria hasil dari tuberkulosis paru BTA positif adalah Sekurang-
kurangnya 2 pemeriksaan dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya
BTA (+) atau 1 spesimen dahak SPS hasilnya (+) dan foto rontgen
dada menunjukan gambaran tuberculosis aktif.
b) Tuberkulosis Paru BTA (-)
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (-) dan foto
rontgen dada menunjukan gambaran Tuberculosis aktif. TBC Paru
BTA (-), rontgen (+) dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambaran foto rontgan dada memperlihatkan gambaran kerusakan
paru yang luas.
2) Tuberculosis Ekstra Paru
TBC ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu :
28

a) TBC ekstra-paru ringan


Misalnya : TBC kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
b) TBC ekstra-paru berat
Misalnya : meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa duplex, TBC tulang belakang, TBC usus, TBC saluran
kencing dan alat kelamin.
3) Tipe Penderita
Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, ada beberapa tipe
penderita yaitu:
a) Kasus Baru
Adalah penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis
harian).
b) Kambuh (Relaps)
Adalah penderita Tuberculosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan Tuberculosis dan telah dinyatakan sembuh, kemudian
kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA (+).
c) Pindahan (Transfer In)
Adalah penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu
kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.
Penderita pindahan 19082020tersebut harus membawa surat
rujukan/pindah (Form TB.09).
d) Setelah Lalai (Pengobatan setelah default/drop out)
Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan
berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali dengan hasil
pemeriksaan dahak BTA (+).
29

f. Manifestasi Klinis
Tanda dan gejala yang sering terjadi pada tuberkulosis adalah
batuk yang tidak pesifik tetapi progresif. Penyakit tuberkulosis paru
biasanya tidak tampak adanya tanda dan gejala yang khas. Biasanya
keluhan yang muncul adalah:
1) Demam terjadi lebih dari satu bulan, biasanya pada pagi hari.
2) Batuk, terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini
membuang / mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk
kering sampai batuk purulent (menghasilkan sputum)
3) Sesak nafas, terjadi bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai
setengah paru
4) Nyeri dada. Nyeri dada ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila
infiltrasi radang sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
5) Malaise ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit
kepala, nyeri otot dan keringat di waktu di malam hari
g. Diagnosis TB
Diagnosis TB secara teoritis berdasarkan atas:
1) Anamnesa
Anamnesa suspek TB dengan keluhan umum ( malaise,
anorexia, berat badan turun, cepat lelah ), keluhan karena infeksi
kronik ( keringat pada malam hari), keluhan karena ada proses
patologis di paru ( batuk lebih dari 2 minggu, batuk bercampur darah,
sesak nafas, demam dan nyeri dada )
2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dilakukan dengan memeriksa fungsi
pernafasan antara lain frekuensi pernafasan, jumlah dan warna dahak,
frekuensi batuk serta pengkajian nyeri dada. Pengkajian paru – paru
terhadap konslidasi dengan mengevaluasi bunyi nafas, fremitus serta
30

hasil pemeriksaan perkusi. Kesiapan emosional pasien dan persepsi


tentang tuberculosis perlu dikaji (Humaira, 2013).
3) Tes Tuberkulin
Tes ini bertujuan untuk memeriksa kemampuan reaksi
hipersensivitas tipe lambat yang mencerminkan potensi sistem imun
seseorang khususnya terhadap M. tuberculosis. Pada seseorang
belum terinfeksi M. tuberculosis, sistem imunitas seluler tentunya
belum terangsang untuk melawan M. tuberculosis maka tes
tuberkulin hasilnya negatif. Sebaliknya bila seseorang pernah
terinfeksi M. tuberculosis dalam keadaan normal sistem imun ini
sudah terangsang secara efektif 3 – 8 minggu setelah infeksi primer
dan tes tuberkulin menjadi positif.
4) Foto Rontgen Paru
Foto rontgen paru memegang peranan penting karena
berdasar letak, bentuk, luas dan konsistensi kelainan dapat diduga
adanya lesi TB. Foto rontgen paru dapat menggambarkan secara
objektif kelainan anatomic paru dan kelainan – kelainan bervariasi
mulai dari bintik kapur, garis fibrotic, bercak infiltrate, penarikan
trakea, kavitas. Kelainan ini dapat berdiri sendiri atau ditemukan
bersama – sama.
5) Pemeriksaan Serologi
Berbeda dengan tes tuberkulin, tes serologi menilai Sistem
Imunitas Humoral ( SIH ) khususnya kemampuan produksi antibodi
dari kelas IgG terhadap sebuah antigen dalam M. tuberculosis. Bila
seseorang belum pernah terinfeksi M. tuberculosis, SIH- nya belum
diaktifkan maka tes serologi negatif. Sebaliknya bila seseorang sudah
pernah terinfeksi M. tuberculosis, SIH- nya sudah membentuk IgG
tertentu sehingga hasil tes akan positif.
31

6) Pemeriksaan Bakteriologi
Pemeriksaan bakteriologi meliputi pemeriksaan dahak, sekret
bronkus dan bahan aspirasi cairan pleura. Pemeriksaan dahak antara
lain pemeriksaan mikroskopis, kultur dan tes resistensi. Tentunya
nilai tertinggi pemeriksaan dahak adalah hasil kultur yang positif,
yakni yang tumbuh adalah M. tuberculosis yang sesungguhnya.
Namun kultur ini tidak dapat dilakukan di semua laboratorium di
Indonesia dan pemeriksaan ini cukup mahal dan memakan waktu
yang lama sekitar 3 minggu. Oleh sebab itu pemeriksaan dahak
secara mikroskopis sudah dianggap pada TB paru dan tidak
dibenarkan mendiagnosis TB dengan tes tuberkulin saja. Untuk
kepentingan diagnosis dengan cara pemeriksaan dahak secara
mikroskopis langsung dari penderita TB dengan contoh uji dahak
SPS ( sewaktu – pagi – sewaktu ) (Kementerian Kesehatan RI, 2014).
Semua suspek TB diperiksa 3 spesimen dahak dalam waktu 2
hari yaitu sewaktu, pagi dan sewaktu. Diagnosis TB paru pada orang
dewasa ditegakkan dengan penemuan kuman TB ( BTA ). Pada
program TB nasional dengan penemuan kuman TB pada pemeriksaan
dahak secara mikroskopis merupakan diagnosis yang utama.
Pemeriksaan lain yaitu pemeriksaan rontgen ( foto toraks ), biakan
dan uji kepekaaan yang digunakan sebagai penunjang diagnosis
sepanjang sesuai dengan indikasinya. Tidak dibenarkan mendiagnosis
dengan pemeriksaan foto toraks saja karena foto toraks tidak selalu
menggambarkan khas pada paru TB. Gambaran kelainan foto toraks
tidak selalu menunjukkan aktivitas penyakit (Kementerian Kesehatan
RI, 2009)
Dahak adalah bahan yang infeksius, saat mengeluarkan dahak
aerosol/ percikan dapat menulari orang yang ada di sekitarnya, oleh
karena tempat untuk mengeluarkan dahak harus dibuat secara khusus
32

dan jauh dari kerumunanan orang. Saat berdahak harus


memperhatikan arah angin agar droplet tidak mengenai petugas.
Tempat untuk pengumpulan dahak harus di ruangan terbuka dan
mendapat sinar matahari langsung atau ventilasi baik, untuk
mengurangi kemungkinan penularan akibat percikan yang infeksius
dan harus dilengkapi dengan prosedur mengeluarkan dahak, tempat
cuci tangan dengan air mengalir dan sabun. Jangan mengeluarkan
dahak di ruangan tertutup dengan ventilasi buruk contoh kamar kecil,
cukup untuk menentukan diagnosis TB dan sudah dibenarkan
pemberian pengobatan dalam rangka penyembuhan penderita TB
(Danusantoso, 2012)
Dalam upaya pengendalian TB secara nasional maka
diagnosis TB paru untuk orang dewasa ditegakkan terlebih dahulu
dengan pemeriksaan bakteriologis yaitu pemeriksaan mikroskopis
langsung, biakan dan tes cepat. Apabila pemeriksaan secara
bakterilogis negatif maka penegakkan diagnosis TB dengan
pemeriksaan foto toraks. Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya
berdasarkan pemeriksaan foto toraks saja karena foto toraks tidak
selalu memberikan gambaran yang spesifik ruangan kerja ( ruang
pendaftaran, ruang obat,ruang laboratorium), ruang tunggu dan ruang
umun lainnya (Kementerian Kesehatan RI, 2012).
Persiapan penderita pengumpulan contoh uji dahak :
penderita diberitahu bahwa contoh uji dahak sangat penting untuk
menentukan status penyakitnya. Oleh karena itu anjuran pemeriksaan
dahak SPS untuk penderita baru dan SP untuk penderita dalam
pemantuan pengobatan harus dipenuhi. Dahak yang dikeluarkan
berasal dari saluran nafas bagian bawah, berupa lendir berwarna
kuning kehijauan ( mukopurulen) sebelumnya harus berkumur
terlebih dahulu. Jika kesulitan berdahak penderita harus olahraga
33

ringan atau diberi obat ekspektoran untuk merangsang pengeluaran


dahak dan diminum pada malam hari sebelumnya.
Penderita saat mengeluarkan dahak harus sesuai dengan prosedur
mengeluarkan dahak dan berhati – hati kemudian mencuci tangan
(Kementerian Kesehatan RI, 2012).
Persiapan alat dianjurkan wadah / pot dahak yang sekali pakai
dan harus selalu bersih, tidak mudah pecah, tidak mudah bocor
dengan mulut yang lebar, transparan, bertutup ulir. Setiap wadah
harus diberi label pada badannya bukan tutupnya. Label yang
drekatkan sebelum pengumpulan dahak. Data meliputi tanggal
pengambilan dahak, nama penderita, nomor register laboratorium
(Fujiki, 2007).
Petugas menjelaskan petunjuk / prosedur mengeluarkan dahak
pada penderita antara lain : sisa- sisa makanan dibersihkan dengan
cara berkumur dengan air, jika memakai gigi palsu, dilepaskan
sebelum berkumur, tarik nafas dalam 2 sampai 3 kali dan setiap kali
nafas dihembuskan dengan kuat, tutup pot dibuka dan didekatkan ke
mulut, berdahak dengan kuat dan dimasukkan ke dalam pot dahak,
dahak dimasukkan pada pot harus hati – hati agar tidak
mengkontaminasi bagian luar pot. Jika bagian luar pot
terkontaminasi, basuh dengan kertas kecil dan kertas kecil
dimasukkan dalam pot dahak, segera tutup pot dengan rapat dengan
cara tutup pot diputar, penderita harus mencuci tangan dengan air dan
sabun, bila perlu hal di atas perlu diulangi sampai mendapatkan
dahak yang berkualitas baik dengan volume yang cukup, jika dahak
sulit dikeluarkan lakukan olahraga ringan atau malam hari sebelum
tidur minum banyak air/ 1 tablet gliseril guayakolat 200 mg, pot
berisi dahak diserahkan kepada petugas laboratorium dengan
34

menempatkan pot dahak di tempat yang telah disediakan


(Kementerian Kesehatan RI, 2012)..
Dahak mengandung partikel solid atau purulen yang
dbatukkan keluar dari dalam paru – paru. Cegah dahak menjadi encer
( mukokoloid) karena diletakkan pada suhu ruang dalam waktu lama.
Biasanya dahak yang mengandung darah lebih sedikit kuman
tuberkulosis karena darah bersentuhan dengan luka hanya sebentar
sebelum dihentikan. Air liur dan lendir hidung bukan spesimen yang
baik untuk diperiksa (Fujiki, 2007).
Pemeriksaan dahak bertujuan untuk menegakkan diagnosis,
menilai keberhasilan pengobatan dan untuk menentukan potensi
penularan. Pemeriksaan dahak dengan mengumpulkan 3 contoh uji
dahak yang dikumpulkan 2 hari kunjungan yaitu dahak
sewaktu,dahak pagi dan dahak sewaktu ( SPS).
a) Dahak sewaktu ( S ) adalah dahak yang dikeluarkan oleh
penderita suspek TB saat pertama berkunjung ke fasyankes. Pada
saat pulang, penderita membawa pot pagi untuk mengeluarkan
dahak pagi ( P ) setelah bangun tidur.
b) Dahak pagi ( P ) adalah dahak yang dikeluarkan di rumah setelah
bangun tidur kemudian pot dibawa dan diserahkan kepada
petugas laboratorium fasyankes
c) Dahak sewaktu ( S ) adalah dahak yang dikeluarkan setelah
penderita menyerahkan dahak pagi kepada petugas laboratorium
(Kementerian Kesehatan RI, 2014)
h. Komplikasi
Komplikasi dari TB paru adalah :
1) Pleuritis tuberkulosa
2) Efusi pleura (cairan yang keluar ke dalam rongga pleura)
3) Tuberkulosa milier
35

4) Meningitis tuberkulosa
i. Penatalaksanaan
Pengobatan TBC Paru
Pengobatan tetap dibagi dalam dua tahap yakni:
a) Tahap intensif (initial), dengan memberikan 4–5 macam obat
anti TB per hari dengan tujuan mendapatkan konversi sputum
dengan cepat (efek bakteri sidal), menghilangkan keluhan dan
mencegah efek penyakit lebih lanjut, mencegah timbulnya
resistensi obat
b) Tahap lanjutan (continuation phase), dengan hanya memberikan
2 macam obat per hari atau secara intermitten dengan tujuan
menghilangkan bakteri yang tersisa (efek sterilisasi), mencegah
kekambuhan pemberian dosis diatur berdasarkan berat badan
yakni kurang dari 33 kg, 33 – 50 kg dan lebih dari 50 kg.
Kemajuan pengobatan dapat terlihat dari perbaikan klinis
(hilangnya keluhan, nafsu makan meningkat, berat badan naik dan lain-
lain), berkurangnya kelainan radiologis paru dan konversi sputum
menjadi negatif. Kontrol terhadap sputum BTA langsung dilakukan
pada akhir bulan ke-2, 4, dan 6. Pada yang memakai paduan obat 8
bulan sputum BTA diperiksa pada akhir bulan ke-2, 5, dan 8. BTA
dilakukan pada permulaan, akhir bulan ke-2 dan akhir pengobatan.
Kontrol terhadap pemeriksaan radiologis dada, kurang begitu berperan
dalam evaluasi pengobatan. Bila fasilitas memungkinkan foto dapat
dibuat pada akhir pengobatan sebagai dokumentasi untuk perbandingan
bila nantsi timbul kasus kambuh.
j. Perawatan Penderita TB
Perawatan yang harus dilakukan pada penderita tuberculosis adalah :
1) Awasi penderita minum obat, yang paling berperan disini adalah
orang terdekat yaitu keluarga.
36

2) Mengetahui adanya gejala efek samping obat dan merujuk bila


diperlukan
3) Mencukupi kebutuhan gizi seimbang penderita
4) Istirahat teratur minimal 8 jam per hari
5) Mengingatkan penderita untuk periksa ulang dahak pada bulan
kedua, kelima dan enam
6) Menciptakan lingkungan rumah dengan ventilasi dan pencahayaan
yang baik
k. Pencegahan TB
Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah :
1) Menutup mulut bila batuk
2) Membuang dahak tidak di sembarang tempat. Buang dahak pada
wadah tertutup yang diberi lisol
3) Makan makanan bergizi
4) Memisahkan alat makan dan minum bekas penderita
5) Memperhatikan lingkungan rumah, cahaya dan ventilasi yang baik
6) Untuk bayi diberikan imunisasi BCG (Depkes RI, 2010)
3. Demam Berdarah Dengue / Dengue Hemoragic Fever
a. Definisi
Demam dengue / DF dan DBD atau DHF adalah penyakit infeksi
yang disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam,
nyeri otot dan nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia dan diathesis hemoragik (Sudoyo, 2010).
Penyakit DBD mempunyai perjalanan penyakit yang sangat cepat
dan sering menjadi fatal karena banyak pasien yang meninggal akibat
penanganan yang terlambat. Demam berdarah dengue (DBD) disebut juga
dengue hemoragic fever (DHF), dengue fever (DF), demam dengue, dan
dengue shock sindrom (DDS) (Widoyono, 2008).
37

b. Etiologi
Penyakit DBD disebabkan oleh virus dengue dari kelompok
arbovirus B, yaitu arthropod-born envirus atau virus yang disebarkan
oleh artropoda. Vector utama penyakit DBD adalah nyamuk aedes
aegypti (didaerah perkotaan) dan aedes albopictus (didaerah pedesaan)
(Widoyono, 2008).
Sifat nyamuk senang tinggal pada air yang jernih dan tergenang,
telurnya dapat bertahan berbulan-bulan pada suhu 20-420C. Bila
kelembaban terlalu rendah telur ini akan menetas dalam waktu 4 hari,
kemudian untuk menjadi nyamuk dewasa ini memerlukan waktu 9 hari.
Nyamuk dewasa yang sudah menghisap darah 3 hari dapat bertelur 100
butir (Murwani, 2011).
c. Epidemiologi
Sejak 20 tahun terakhir, terjadi peningkatan frekuensi infeksi virus
dengue secara global. Di seluruh dunia 50-100 milyar kasus telah
dilaporkan. Setiap tahunnya sekitar 500.000 kasus DBD perlu perawatan
di rumah sakit, 90% diantaranya adalah anak – anak usia kurang dari 15
tahun. Angka kematian DBD diperkirakan sekitar 5% dan sekitar 25.000
kasus kematian dilaporkan setiap harinya (J Clin Microbiol 2006). Di
Indonesia kasus DBD yang dilaporkan pada tahun 2019 sebanyak
138.127 kasus, meningkat dibandingkan pada tahun 2018 sebesar 65.602
kasus. Kematian karena DBD pada tahun 2019 ini juga mengalami
peningkatan dibandingakan tahun 2018 yaitu dari 467 menjadi 919
kematian.
d. Patofisiologi
Virus dengue yang telah masuk ketubuh penderita akan
menimbulkan viremia. Hal tersebut akan menimbulkan reaksi oleh pusat
pengatur suhu di hipotalamus sehingga menyebabkan ( pelepasan zat
bradikinin, serotinin, trombin, Histamin) terjadinya: peningkatan suhu.
38

Selain itu viremia menyebabkan pelebaran pada dinding pembuluh darah


yang menyebabkan perpindahan cairan dan plasma dari intravascular ke
intersisiel yang menyebabkan hipovolemia. Trombositopenia dapat terjadi
akibat dari, penurunan produksi trombosit sebagai reaksi dari antibody
melawan virus (Murwani, 2011).
Pada pasien dengan trombositopenia terdapat adanya perdarahan
baik kulit seperti petekia atau perdarahan mukosa di mulut. Hal ini
mengakibatkan adanya kehilangan kemampuan tubuh untuk melakukan
mekanisme hemostatis secara normal. Hal tersebut dapat menimbulkan
perdarahan dan jika tidak tertangani maka akan menimbulkan syok. Masa
virus dengue inkubasi 3-15 hari, rata-rata 58 hari (Soegijanto, 2006).
Menurut Ngastiyah (2005) virus akan masuk ke dalam tubuh
melalui gigitan nyamuk aedes aeygypty. Pertama tama yang terjadi adalah
viremia yang mengakibatkan penderita menalami demam, sakit kepala,
mual, nyeri otot pegal pegal di seluruh tubuh, ruam atau bintik bintik
merah pada kulit, hiperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin
terjadi pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati
(hepatomegali).
Kemudian virus bereaksi dengan antibodi dan terbentuklah
kompleks virus antibodi. Dalam sirkulasi dan akan mengativasi sistem
komplemen. Akibat aktivasi C3 dan C5 akan akan di lepas C3a dan C5a
dua peptida yang berdaya untuk melepaskan histamin dan merupakan
mediator kuat sebagai faktor meningkatnya permeabilitas dinding kapiler
pembuluh darah yang mengakibtkan terjadinya pembesaran plasma ke
ruang ekstraseluler. Pembesaran plasma ke ruang eksta seluler
mengakibatkan kekurangan volume plasma, terjadi hipotensi,
hemokonsentrasi dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (syok).
Hemokonsentrasi (peningatan hematokrit >20%) menunjukan atau
menggambarkan adanya kebocoran (perembesan) sehingga nilai
39

hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intravena


(Noersalam, 2005).
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler di buktikan
dengan ditemukan cairan yang tertimbun dalam rongga serosa yaitu
rongga peritonium, pleura, dan pericardium yang pada otopsi ternyata
melebihi cairan yang diberikan melalui infus. Setelah pemberian cairan
intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukan kebocoran plasma
telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus di kurangi
kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadi edema paru dan gagal
jantung, sebaliknya jika tidak mendapat cairan yang cukup, penderita
akan mengalami kekurangan cairan yang akan mengakibatkan kondisi
yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan. Jika renjatan atau
hipovolemik berlangsung lam akan timbul anoksia jaringan, metabolik
asidosis dan kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik (Murwani,
2011).
e. Manifestasi Klinis
Gejala klinis utama pada DBD adalah demam dan manifestasi
perdarahan baik yang timbul secara spontan maupun setelah uji torniquet.
1) Demam tinggi mendadak yang berlangsung selama 2-7 hari
2) Manifestasi perdarahan
a) Uji tourniquet positif
b) Perdarahan spontan berbentuk peteki, purpura, ekimosis,
epitaksis, perdarahan gusi, hematemesis, melena.
3) Hepatomegali
4) Renjatan, nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (<20mmHg)
atau nadi tak teraba, kulit dingin, dan anak gelisah (Soegeng, 2006).
f. Klasifikasi
Pembagian Derajat menurut (Soegijanto, 2006):
1) Derajat I : Demam dengan uji torniquet positif.
40

2) Derajat II : Demam dan perdarahan spontan, pada umumnya dikulit


atau perdarahan lain.
3) Derajat III : Demam, perdarahan spontan, disertai atau tidak disertai
hepatomegali dan ditemukan gejala-gejala kegagalan sirkulasi
meliputi nadi yang cepat dan lemah, tekanan nadi menurun
(<20mmHg)/ hipotensi disertai ekstremitas dingin, dan anak gelisah.
4) Derajat IV : demam, perdarahan spontan disertai atau tidak disertai
hepatomegali dan ditemukan gejala-gejala renjatan hebat (nadi tak
teraba dan tekanan darah tak terukur).
g. Komplikasi
1) Ensefalopati Dengue
Pada umumnya ensefalopati terjadi sebagai komplikasi syok
yang berkepanjangan dengan pendarahan, tetapi dapat juga terjadi
pada DBD yang tidak disertai syok. Gangguan metabolik seperti
hipoksemia, hiponatremia, atau perdarahan, dapat menjadi penyebab
terjadinya ensefalopati. Melihat ensefalopati DBD bersifat
sementara, maka kemungkinan dapat juga disebabkan oleh trombosis
pembuluh darah otak, sementara sebagai akibat dari koagulasi
intravaskular yang menyeluruh. Dilaporkan bahwa virus dengue
dapat menembus sawar darah otak. Dikatakan pula bahwa keadaan
ensefalopati berhubungan dengan kegagalan hati akut.
Pada ensefalopati cenderung terjadi udem otak danalkalosis,
maka bila syok telah teratasi cairan diganti dengan cairan yang tidak
mengandung HC03- dan jumlah cairan harus segera dikurangi.
Larutan laktat ringer dektrosa segera ditukar dengan larutan NaCl
(0,9%) : glukosa (5%) = 1:3. Untuk mengurangi udem otak diberikan
dexametason 0,5 mg/kg BB/kali tiap 8 jam, tetapi bila terdapat
perdarahan saluran cerna sebaiknya kortikosteroid tidak diberikan.
Bila terdapat disfungsi hati, maka diberikan vitamin K intravena 3-10
41

mg selama 3 hari, kadar gula darah diusahakan > 80 mg. Mencegah


terjadinya peningkatan tekanan intrakranial dengan mengurangi
jumlah cairan (bila perlu diberikan diuretik), koreksi asidosis dan
elektrolit.
Perawatan jalan nafas dengan pemberian oksigen yang
adekuat. Untuk mengurangi produksi amoniak dapat diberikan
neomisin dan laktulosa. Usahakan tidak memberikan obat-obat yang
tidak diperlukan (misalnya antasid, anti muntah) untuk mengurangi
beban detoksifikasi obat dalam hati. Transfusi darah segar atau
komponen dapat diberikan atas indikasi yang tepat. Bila perlu
dilakukan tranfusi tukar. Pada masa penyembuhan dapat diberikan
asam amino rantai pendek.
2) Kelainan Ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal,
sebagai akibat dari syok yang tidak teratasi dengan baik. Dapat
dijumpai sindrom uremik hemolitik walaupun jarang. Untuk
mencegah gagal ginjal maka setelah syok diobati dengan
menggantikan volume intravaskular, penting diperhatikan apakah
benar syok telah teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter
yang penting dan mudah dikerjakan untuk mengetahui apakah syok
telah teratasi. Diuresis diusahakan > 1 ml / kg berat badan/jam. Oleh
karena bila syok belum teratasi dengan baik, sedangkan volume
cairan telah dikurangi dapat terjadi syok berulang. Pada keadaan syok
berat sering kali dijumpai akute tubular necrosis, ditandai penurunan
jumlah urin dan peningkatan kadar ureum dan kreatinin.
3) Oedema Paru
Oedema paru adalah komplikasi yang mungkin terjadi sebagai
akibat pemberian cairan yang berlebihan. Pemberian cairan pada hari
sakit ketiga sampai kelima sesuai panduan yang diberikan, biasanya
42

tidak akan menyebabkan oedema paru oleh karena perembesan plasma


masih terjadi. Tetapi pada saat terjadi reabsorbsi plasma dari ruang
ekstravaskuler, apabila cairan diberikan berlebih (kesalahan terjadi bila
hanya melihat penurunan hemoglobin dan hematokrit tanpa
memperhatikan hari sakit), pasien akan mengalami distress pernafasan,
disertai sembab pada kelopak mata, dan ditunjang dengan gambaran
udem paru pada foto rontgen dada.
Komplikasi demam berdarah biasanya berasosiasi dengan semakin
beratnya bentuk demam berdarah yang dialami, pendarahan, dan shock
syndrome. Komplikasi paling serius walaupun jarang terjadi adalah
sebagai berikut :
a) Dehidrasi
b) Pendarahan
c) Jumlah platelet yang rendah
d) Hipotensi
e) Bradikardi
f) Kerusakan hati
h. Pemeriksaan Diagnostik
Langkah - langkah diagnose medik pemeriksaan menurut Murwani
(2011):
1) Pemeriksaan hematokrit (Ht) : ada kenaikan bisa sampai 20%,
normal: pria 40-50%; wanita 35-47%
2) Uji torniquit: caranya diukur tekanan darah kemudian diklem antara
tekanan systole dan diastole selama 10 menit untuk dewasa dan 3-5
menit untuk anak-anak. Positif ada butir-butir merah (petechie)
kurang 20 pada diameter 2,5 inchi.
3) Tes serologi (darah filter) : ini diambil sebanyak 3 kali dengan
memakai kertas saring (filter paper) yang pertama diambil pada
waktu pasien masuk rumah sakit, kedua diambil pada waktu akan
43

pulang dan ketiga diambil 1-3 mg setelah pengambilan yang kedua.


Kertas ini disimpan pada suhu kamar sampai menunggu saat
pengiriman.
4) Isolasi virus: bahan pemeriksaan adalah darah penderita atau
jaringan-jaringan untuk penderita yang hidup melalui biopsy sedang
untuk penderita yang meninggal melalui autopay. Hal ini jarang
dikerjakan.
i. Penatalaksanaan
Untuk penderita tersangka DF / DHF sebaiknya dirawat dikamar
yang bebas nyamuk (berkelambu) untuk membatasi penyebaran.
Perawatan kita berikan sesuai dengan masalah yang ada pada penderita
sesuai dengan beratnya penyakit.
1) Derajat I: terdapat gangguan kebutuhan nutrisi dan keseimbangan
elektrolit karena adanya muntah, anorexsia. Gangguan rasa nyaman
karena demam, nyeri epigastrium, dan perputaran bola mata.
Perawat: istirahat baring, makanan lunak (bila belum ada nafsu
makan dianjurkan minum yang banyak 1500-2000cc/hari), diberi
kompre dingin, memantau keadaan umum, suhu, tensi, nadi dan
perdarahan, diperiksakan Hb, Ht, dan thrombosit, pemberian obat-
obat antipiretik dan antibiotik bila dikuatirkan akan terjadi infeksi
sekunder
2) Derajat II: peningkatan kerja jantung adanya epitaxsis melena dan
hemaesis.
Perawat: bila terjadi epitaxsis darah dibersihkan dan pasang tampon
sementara, bila penderita sadar boleh diberi makan dalam bentuk
lemak tetapi bila terjadi hematemesis harus dipuaskan dulu, mengatur
posisi kepala dimiringkan agar tidak terjadi aspirasi, bila perut
kembung besar dipasang maag slang, sedapat mungkin membatasi
terjadi pendarahan, jangan sering ditusuk, pengobatan diberikan
44

sesuai dengan intruksi dokter, perhatikan teknik-teknik pemasangan


infus, jangan menambah pendarahan, tetap diobservasi keadaan
umum, suhu, nadi, tensi dan pendarahannya, semua kejadian dicatat
dalam catatan keperawatan, bila keadaan memburuk segera lapor
dokter.
3) Derajat III: terdapat gangguan kebutuhan O2 karena kerja jantung
menurun, penderita mengalami pre shock/ shock.
Perawatan: mengatur posisi tidur penderita, tidurkan dengan posisi
terlentang denan kepala extensi, membuka jalan nafas dengan cara
pakaian yang ketat dilonggarkan, bila ada lender dibersihkan dari
mulut dan hidung, beri oksigen, diawasi terus-menerus dan jangan
ditinggal pergi, kalau pendarahan banyak (Hb turun) mungkin
berikan transfusi atas izin dokter, bila penderita tidak sadar diatur
selang-seling perhatian kebersihan kulit juga pakaian bersih dan
kering.

4. Malaria
a. Definisi
Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit
dari genus Plasmodium yang termasuk golongan protozoa melalui
perantaraan tusukan (gigitan) nyamuk Anopheles spp yang hidup dan
berkembang biak dalam sel darah merah manusia (Siahaan, 2008).
Malaria dapat berlangsung akut maupun kronik. Infeksi malaria dapat
berlangsung tanpa komplikasi ataupun mengalami komplikasi sistemik
yang dikenal sebagai malaria berat (Sudoyo et al., 2009).
Malaria maupun penyakit yang menyerupai malaria telah
diketahui ada selama lebih dari 4.000 tahun yang lalu. Malaria dikenal
secara luas di daerah Yunani pada abad ke-4 SM dan dipercaya sebagai
penyebab utama berkurangnya penduduk kota. Penyakit malaria sudah
45

dikenal sejak tahun 1753, tetapi baru ditemukan parasit dalam darah oleh
Alphonse Laxeran tahun 1880. Untuk mewarnai parasit, pada tahun 1883
Marchiafava menggunakan metilen biru sehingga morfologi parasit ini
lebih mudah dipelajari. Siklus hidup plasmodium di dalam tubuh nyamuk
dipelajari oleh Ross dan Binagmi pada tahun 1898 dan kemudian pada
tahun 1900 oleh Patrick Manson dapat dibuktikan bahwa nyamuk adalah
vektor penular malaria (Burchard, 2006; Sudoyo et al., 2009).
Pada tahun 1890 Giovanni Batista Grassi dan Raimondo Feletti
adalah dua peneliti Italia yang pertama kali memberi nama dua parasite
penyebab malaria pada manusia, yaitu Plasmodium vivax dan
Plasmodium malariae. Pada tahun 1897 seorang Amerika bernama
William H. Welch memberi nama parasit penyebab malaria tertiana
sebagai Plasmodium falciparum dan pada 1922 John William Watson
Stephens menguraikan nama parasit malaria keempat, yaitu Plasmodium
ovale (Anstey dan Price, 2007; Sudoyo et al., 2009).
b. Etiologi
Penyebab penyakit malaria adalah genus plasmodia, family
plasmodiidae, dan order Coccidiidae. Ada empat jenis parasit malaria,
yaitu:
1) Plasmodium falciparum
Menyebabkan malaria falciparum atau malaria tertiana yang maligna
(ganas) atau dikenal dengan nama lain sebagai malaria tropika yang
menyebabkan demam setiap hari.
2) Plasmodium vivax
Menyebabkan malaria vivax atau disebut juga malaria tertiana
benigna (jinak).
3) Plasmodium malariae
Menyebabkan malaria kuartana atau malaria malariae.
46

4) Plasmodium ovale
Jenis ini jarang sekali dijumpai, umumnya banyak di Afrika dan
Pasifik Barat, menyebabkan malaria ovale (Perkins et al., 2011).
Seorang penderita dapat dihinggapi oleh lebih dari satu jenis
plasmodium. Infeksi demikian disebut infeksi campuran (mixed
infection). Biasanya paling banyak dua jenis parasit, yakni campuran
antara P. falciparum dengan P. vivax atau P. malariae (Kiggundu et
al., 2013). Kadang-kadang dijumpai tiga jenis parasit sekaligus,
meskipun hal ini jarang sekali terjadi. Infeksi campuran biasanya
terdapat di daerah yang tinggi angka penularannya (Sudoyo et al.,
2009).
Masa inkubasi malaria atau waktu antara gigitan nyamuk dan
munculnya gejala klinis sekitar 7-14 hari untuk P. falciparum, 8-14 hari
untuk P. vivax dan P. ovale, dan 7-30 hari untuk P. malariae.(Siahaan,
2008) Masa inkubasi ini dapat memanjang antara 8-10 bulan terutama
pada beberapa strain P. vivax di daerah tropis. Pada infeksi melalui
transfusi darah, masa inkubasi tergantung pada jumlah parasit yang
masuk dan biasanya singkat tetapi mungkin sampai 2 bulan. (Sudoyo et
al., 2009) Dosis pengobatan yang tidak adekuat seperti pemberian
profilaksis yang tidak tepat dapat menyebabkan memanjangnya masa
inkubasi (Siahaan, 2008).
P. falciparum, salah satu organisme penyebab malaria, merupakan
jenis yang paling berbahaya dibandingkan dengan jenis plasmodium lain
yang menginfeksi manusia, yaitu P. vivax, P. malariae, dan P. ovale. Saat
ini, P. falciparum merupakan salah satu spesies penyebab malaria yang
paling banyak diteliti. Hal tersebut karena spesies ini banyak
menyebabkan angka kesakitan dan kematian pada manusia (Haldar dan
Mohandas, 2009; Sudoyo et al., 2009).
47

c. Patogenesis Malaria
Patogenesis malaria sangat kompleks, dan seperti patogenesis
penyakit infeksi pada umumnya melibatkan faktor parasit, faktor
penjamu, dan lingkungan. Ketiga faktor tersebut saling terkait satu sama
lain, dan menentukan manifestasi klinis malaria yang bervariasi mulai
dari yang paling berat, yaitu malaria dengan komplikasi gagal organ
(malaria berat), malaria ringan tanpa komplikasi, atau yang paling ringan,
yaitu infeksi asimtomatik (Sudoyo et al., 2009).
Tanda dan gejala klinis malaria yang timbul bervariasi tergantung
pada berbagai hal antara lain usia penderita, cara transmisi, status
kekebalan, jenis plasmodium, infeksi tunggal atau campuran. Selain itu
yang tidak kalah penting adalah kebiasaan menggunakan obat anti malaria
yang kurang rasional yang dapat mendorong timbulnya resistensi.
Berbagai faktor tersebut dapat mengacaukan diagnosis malaria sehingga
dapat disangka demam tifoid atau hepatitis, terlebih untuk daerah yang
dinyatakan bebas malaria atau yang Annual Parasite Incidence –nya
rendah (Kemenkes, 2008).
Demam mulai timbul bersamaan dengan pecahnya skizon darah
yang mengeluarkan bermacam-macam antigen. Antigen ini akan
merangsang selsel makrofag, monosit atau limfosit yang mengeluarkan
berbagai macam sitokin, antara lain TNF (Tumor Nekroting Factor). TNF
akan dibawa aliran darah ke hipotalamus yang merupakan pusat pengatur
suhu tubuh dan terjadi demam. Proses skizogoni pada ke empat
plasmodium memerlukan waktu yang berbeda-beda, P. falciparum
memerlukan waktu 36-48 jam, P. vivax / ovale 48 jam, dan P. malariae
72 jam. Demam pada P. falciparum dapat terjadi setiap hari, P.
vivax/ovale berselang waktu satu hari, dan P. malariae demam timbul
berselang waktu 2 hari (Sudoyo et al., 2009).
48

Anemia terjadi karena pecahnya sel darah merah yang terinfeksi


maupun yang tidak terinfeksi. Plasmodium falciparum menginfeksi
semua jenis sel darah merah, sehingga anemia dapat terjadi pada infeksi
akut dan kronis. Plasmodium vivax dan Plasmodium ovale hanya
menginfeksi sel darah muda yang jumlahnya hanya 2 % dari seluruh
jumlah sel darah merah, sedangkan Plasmodium malariae menginfeksi
sel darah merah tua yang jumlahnya hanya 1 % dari jumlah sel darah
merah. Sehingga anemia yangdisebabkan oleh Plasmodium vivax, ovale,
dan malariae umumnya terjadi pada keadaan kronis. Limpa merupakan
organ retukuloendotelial, dimana plasmodium dihancurkan oleh sel-sel
makrofag dan limosit. Penambahan sel-sel radang ini akan menyebabkan
limpa membesar (Perkins et al., 2011).
Malaria berat akibat Plasmodium falciparum mempunyai
patogenesis yang khusus. Eritrosit yang terinfeksi Plasmodium
falciparum akan mengalami proses sekuestrasi yaitu tersebarnya eritrosit
yang berparasit tersebut ke pembuluh kapiler alat dalam tubuh. Selain itu
pada permukaan eritrosit yang terinfeksi akan membentuk knob yang
berisi berbagai antigen Plasmodium falciparum. Pada saat terjadi proses
sitoadherensi, knob tersebut akan berikatan dengan reseptor sel endotel
kapiler. Akibat dari proses ini terjadilah obstruksi dalam pembuluh darah
kapiler yang menyebabkan iskemia jaringan. Terjadinya sumbatan ini
juga didukung oleh proses terbentuknya ”rosette” yaitu bergerombolnya
sel darah merah yang berparasit dengan sel darah merah lainnya (Sudoyo
et al., 2009; Perkins et al., 2011).
Pada proses sotoadherensi ini diduga juga terjadi proses
imunologik yaitu terbentuknya mediato-mediator antara lain sitokin
(TNF, interleukin), dimana mediator tersebut mempunyai peranan dalam
gangguan fungsi pada jaringan tertentu (Perkins et al., 2011).
49

d. Gejala Malaria
Secara klinis, gejala dari penyakit malaria terdiri atas beberapa
serangan demam dengan interval tertentu yang diselingi oleh suatu
periode dimana penderita bebas sama sekali dari demam. Gejala klinis
malaria antara lain sebagai berikut:
1) Badan terasa lemas dan pucat karena kekurangan darah dan
berkeringat.
2) Nafsu makan menurun.
3) Mual-mual kadang-kadang diikuti muntah.
4) Sakit kepala yang berat, terus menerus, khususnya pada infeksi
dengan Plasmodium falciparum.
5) Dalam keadaan menahun (kronis) gejala diatas, disertai pembesaran
limpa. Malaria berat, seperti gejala diatas disertai kejang-kejang dan
penurunan.
6) Pada anak, makin muda usia makin tidak jelas gejala klinisnya tetapi
yang menonjol adalah mencret (diare) dan pucat karena kekurangan
darah (anemia) serta adanya riwayat kunjungan ke atau berasal dari
daerah malaria (Kemenkes, 2008).
Serangan malaria biasanya berlangsung selama 6-10 jam dan
terdiri dari tiga tingkatan, yaitu :
1) Stadium Dingin
Stadium ini dimulai dengan menggigil dan perasaan yang sangat
dingin. Gigi gemeretak dan penderita biasanya menutup tubuhnya
dengan segala macam pakaian dan selimut yang tersedia. Nadi cepat
tetapi lemah. Bibir dan jari jemari pucat kebiru-biruan, kulit
keringdan pucat. Penderita mungkin muntah dan pada anak-anak
sering terjadi kejang. Stadium ini berlangsung antara 15 menit
sampai 1 jam (Sudoyo et al., 2009).
50

2) Stadium Demam
Setelah merasa kedinginan, pada stadium ini penderita
merasak epanasan. Muka merah, kulit kering dan terasa sangat panas
seperti terbakar, sakit kepala dan muntah sering terjadi, nadi menjadi
kuatlagi. Biasanya penderita merasa sangat haus dan suhu badan
dapat meningkat sampai 41°C atau lebih. Stadium ini berlangsung
antara 2 sampai 4 jam. Demam disebabkan oleh pecahnya skizon
darah yang telah matang dan masuknya merozoit darah ke dalam
aliran darah (Sudoyo et al., 2009).
Pada P. vivax dan P. ovale, skizon-skizon dari setiap
generasimenjadi matang setiap 48 jam sekali sehingga demam timbul
setiap tiga hari terhitung dari serangan demam sebelumnya. Nama
malaria tertiana bersumber dari fenomena ini. Pada P. malariae,
fenomena tersebut berlangsung selama 72 jam sehingga disebut
malaria P. vivax/P. ovale, hanya interval demamnya tidak jelas.
Serangan demam diikuti oleh periode laten yang lamanya tergantung
pada proses pertumbuhan parasit dan tingkat kekebalan yang
kemudian timbul pada penderita (Siahaan, 2008).
3) Stadium Berkeringat
Pada stadium ini penderita berkeringat banyak sekali
sampaisampai tempat tidurnya basah. Suhu badan meningkat dengan
cepat, kadang-kadang sampai dibawah suhu normal. Penderita
biasanya dapat tidur nyenyak. Pada saat bangun dari tidur, penderita
merasalemah tetapi tidak ada gejala lain. Stadium ini berlangsung
antara 2 sampai 4 jam (Kemenkes, 2008). Gejala-gejala yang
disebutkan diatas tidak selalu sama pada setiap penderita, tergantung
pada spesies parasit dan umur dari penderita. Gejala klinis yang berat
biasanya terjadi pada malaria tropika yang disebabkan oleh
Plasmodium falciparum. Hal ini disebabkan oleh adanya
51

kecenderungan parasit (bentuk trofozoit dan skizon) untuk


berkumpul pada pembuluh darah organ tubuh seperti otak, hati dan
ginjal sehingga menyebabkan tersumbatnya pembuluh darah pada
organ-organ tubuh tersebut (Idro et al., 2010).
Gejala berat lainnya berupa koma/pingsan, kejang-kejang sampai
tidak berfungsinya ginjal. Kematian paling banyak disebabkan oleh jenis
malaria ini (Idro et al., 2010). Kadang-kadang gejalanya mirip kolera atau
disentri (Abdallah et al., 2013). Black water fever yang merupakan gejala
berat adalah munculnya hemoglobin pada air seni yang menyebabkan
warna air seni menjadi merah tua atau hitam. Gejala lain dari black water
fever adalah ikterus dan muntah- muntah yang warnanya sama dengan
warna empedu, black water fever biasanya dijumpai pada mereka yang
menderita infeksi P. falcifarum yang berat dan berulang - ulang (Anstey
dan Price, 2007).
Secara klasik demam terjadi setiap dua hari untuk parasit tertiana
(P. falciparum, P. vivax, dan P. ovale) dan setiap tiga hari untuk parasit
quartana (P. malariae). CDC (2004) dalam Sembel (2009)
mengemukakan bahwa karakteristik parasit malaria dapat mempengaruhi
adanya malaria dan dampaknya terhadap populasi manusia. P. falciparum
lebih menonjol di Afrika bagian selatan dengan jumlah penderita yang
lebih banyak. Demikian juga jumlah penderita yang meninggal lebih
banyak dibandingkan daerah-daerah endemis lainnya.
P. vivax dan P. ovale memiliki tingkatan hynozoites yang dapat
tetap dorman dalam sel hati untuk jangka waktu tertentu (bulan atau
tahun) sebelum direaktivasi dan menginvasi darah. P. falciparum dan P.
vivax kemungkinan mampu mengembangkan ketahanannya terhadap obat
antimalaria (Baird, 2004).
52

e. Penularan Malaria
Malaria ditularkan ke penderita dengan masuknya sporozoit
plasmodiummelalui gigitan nyamuk betina Anopheles yang spesiesnya
dapat berbeda dari satu daerah dengan daerah lainnya. Terdapat lebih dari
15 spesies nyamuk Anopheles yang dilaporkan merupakan vektor malaria
di Indonesia. Penularan malaria dapat juga terjadi dengan masuknya
parasit bentuk aseksual (tropozoit) melalui transfusi darah, suntikan atau
melalui plasenta atau malaria congenital (Elyazar et al., 2011). Dikenal
adanya berbagai cara penularan malaria:
1) Penularan secara alamiah (natural infection)
Penularan ini terjadi melalui gigitan nyamuk anopheles betina
yang terinfeksi plasmodium. Nyamuk menggigit penderita malaria
sehingga parasit ikut terhisap bersama darah penderita malaria. Di
dalam tubuh nyamuk parasit akan berkembang dan bertambah
banyak, kemudian nyamuk menggigit orang sehat, maka melalui
gigitan tersebut parasit ditularkan ke orang lain (Sudoyo et al., 2009).
2) Penularan yang tidak alamiah
a) Malaria bawaan atau kongenital
Terjadi pada bayi yang baru dilahirkan oleh ibu yang menderita
malaria. Penularan ini disebabkan adanya kelainan pada sawar
plasenta sehingga tidak ada penghalang infeksi dari ibu kepada
bayi yang dikandungnya (Tahita et al., 2013).
b) Secara mekanik
Penularan juga dapat terjadi melalui transfusi darah atau melalui
jarum suntik. Penularan melalui jarum suntik banyak terjadi pada
para pecandu obat bius yang menggunakan jarum suntik yang
tidak steril (Kemenkes, 2008).
53

c) Secara oral (melalui mulut)


Cara penularan ini pernah dibuktikan pada burung, ayam
(P.gallinasium) burung dara (P.Relection) dan monyet
(P.Knowlesi) (Siahaan, 2008).
Pada umumnya sumber infeksi bagi malaria pada manusia adalah
manusia lain yang menderita penyakit malaria baik dengan gejala maupun
tanpa gejala klinis. Kecuali simpanse di Afrika, belum diketahui ada
hewan lain yang dapat menjadi sumber bagi plasmodium yang biasanya
menyerangmanusia. (Snow et al., 2004) Malaria, baik yang disebabkan
oleh P. falciparum, P. vivax, P. malariae dan P. ovale ditularkan oleh
nyamuk anopheles. Nyamuk yang menjadi vektor penular malaria adalah
Anopheles sundaicus, Anopheles aconitus, Anopheles barbirostris,
Anopheles subpictus, dan sebagainya (Elyazar et al., 2011).
Vektor malaria yang dominan terhadap penularan malaria di
Indonesia adalah sebagai berikut:
a) Wilayah Indonesia Timur, yaitu Papua, Maluku, dan Maluku Utara,
di wilayah pantai adalah An. subpictus, An. farauti, An. koliensis dan
An. punctulatus sedangkan di wilayah pegunungan adalah An.
farauti.
b) Wilayah Indonesia Tengah, yaitu Pulau Sulawesi, Pulau Kalimantan,
NTT dan NTB, vektor yang berperan di daerah pantainya adalah
An.subpictus, An. barbirostris. Khusus di NTB adalah An. subpictus
dan An. sundaicus. Sedangkan di wilayah pegununganadalah An.
barbirostris, An. flavirostris, An letifer. Khusus wilayahKalimantan,
selain Anopheles tersebut di atas juga An. balabacencis.
c) Untuk daerah pantai di wilayah Sumatera, An. sundaicus; daerah
pegunungan An. leucosphyrus, An. balabacencis, An. sinensis, dan
An. maculatus.
54

d) Wilayah Pulau Jawa. Vektor yang berperan di daerah pantai adalah


An. sundaicus dan An. subpictus dan di pegunungan adalah An.
maculatus, An. balabacencis dan An. Aconitus (Gething et al., 2011).
f. Epidemiologi
Di Indonesia, parasit malaria yang sering dijumpai adalah
Plasmodium vivax yang menyebabkan malaria tertiana dan Plasmodium
falciparum yang menyebabkan malaria tropika (Kayana et al., 2008;
Sudoyo et al., 2009) yang merupakan jenis malaria yang paling
mematikan (Haldar dan Mohandas, 2009; Sudoyo et al., 2009). Akan
tetapi Plasmodium falciparum menjadi spesies plasmodium yang paling
sering ditemukan di Indonesia (Elyazar et al., 2011).
Berdasarkan survei yang dilakukan pada 2.366 lokasi di
Indonesia, P. falciparum tersebar di lebih banyak lokasi dibandingkan P.
vivax dengan perbandingan 3 : 1. Bila ditinjau dari distribusi geografis,
Kepulauan Sunda kecil atau Nusa Tenggara dan Papua merupakan dua
daerah kepulauan di Indonesia dengan lokasi terbanyak penyebaran P.
falciparum dan P. vivax dibandingkan daerah lainnya di Indonesia
(Elyazar et al., 2011). Insiden Malaria pada penduduk Indonesia tahun
2013 adalah 1,9 persen menurun dibanding tahun 2007 (2,9%), tetapi di
Papua Barat mengalami peningkatan tajam jumlah penderita malaria.
Prevalensi malaria tahun 2013 adalah 6,0 persen. Lima provinsi dengan
insiden dan prevalensi tertinggi adalah Papua (9,8% dan 28,6%), Nusa
Tenggara Timur (6,8% dan 23,3%), Papua Barat (6,7% dan 19,4%),
Sulawesi Tengah (5,1% dan 12,5%), dan Maluku (3,8% dan 10,7%). Dari
33 provinsi di Indonesia, 15 provinsi mempunyai prevalensi malaria di
atas angka nasional, sebagian besar berada di Indonesia Timur
(Riskesdas, 2013).
55

g. Diagnosis Malaria
Diagnosis malaria ditegakkan seperti diagnosis penyakit lainnya
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium.
Diagnosis pasti malaria harus ditegakkan dengan pemeriksaan sediaan
darah secara mikroskopik atau tes diagnosis cepat (Kemenkes, 2008).
1) Anamnesis
Pada anamnesis sangat penting diperhatikan :
a) Keluhan utama berupa demam, menggigil, berkeringat dan dapat
disertai sakit kepala, mual, muntah, diare dan nyeri otot atau
pegal-pegal.
b) Riwayat berkunjung dan bermalam 1-4 minggu yang lalu ke
daerah endemik malaria.
c) Riwayat tinggal di daerah endemik malaria.
d) Riwayat sakit malaria.
e) Riwayat minum obat malaria satu bulan terakhir.
f) Riwayat mendapat tranfusi darah (Kemenkes, 2008).
Selain hal diatas pada penderita tersangka malaria berat, dapat
ditemukan keadaan dibawah ini :
a) Gangguan kesadaran dalam berbagai derajat.
b) Keadaan umum yang lemah (tidak bisa duduk atau berdiri).
c) Kejang-kejang.
d) Panas sangat tinggi.
e) Mata atau tubuh kuning.
f) Perdarahan hidung, gusi, atau saluran pencernaan.
g) Napas cepat atau sesak napas.
h) Muntah terus menerus dan tidak dapat makan dan minum.
i) Warna air seni seperti teh dan dapat sampai kehitaman.
j) Jumlah air seni kurang (oliguria) sampai tidak ada (anuria).
k) Telapak tangan sangat pucat.(Kemenkes, 2008)
56

2) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang dapat dilakukan adalah :
a) Demam (pengukuran dengan termometer 37,5oC).
b) Konjungtiva atau telapak tangan pucat.
c) Pembesaran limpa (splenomegali).
d) Pembesaran hati (hepatomegali).
Pada tersangka malaria berat ditemukan tanda-tanda klinis sebagai
berikut :
a) Temperatur rektal 400 C
b) Nadi cepat dan lemah/ kecil
c) Tekanan darah sistolik < 70 mmHg pada orang dewasa dan pada
anak-anak < 50 mmHg
d) Frekuensi nafas > 35 x per menit pada orang dewasa atau > 40 x
per menit pada balita, anak di bawah 1 tahun > 50 x per menit.
e) Penurunan derajat kesadaran dengan Glasgow Coma Scale
(GCS) < 11 (Kemenkes, 2008).
h. Pemeriksaan Laboratorium
1) Pemeriksaan dengan mikroskop
Pemeriksaan sediaan darah tebal dan tipis dilakukan untuk
menentukan:
a) Ada tidaknya parasit malaria (positif atau negatif).
b) Spesies dan stadium plasmodium
c) Kepadatan parasit

2) Pemeriksaan dengan Rapid Diagnostic Test (RDT)


Mekanisme kerja ini berdasarkan deteksi antigen parasit malaria,
dengan menggunakan mentode imunokromatografi, dalam bentuk
dipstick. Te ini sangat bermamnfaat pada unit gawat darurat, pada saat
57

terjadi kejadian luar biasa terutama di daerah-daerah terpencil dengan


fasilitas pemeriksaan laboratorium belum memadai (Kemenkes, 2008).
i. Terapi Malaria
Pengobatan yang diberikan adalah pengobatan radikal malaria
dengan membunuh semua stadium parasit yang ada di dalam tubuh
manusia, termasuk stadium gametosit. Adapun tujuan pengobatan radikal
untuk mendapat kesembuhan klinis dan parasitologik serta memutuskan
rantai penularan.
Semua obat anti malaria tidak boleh diberikan dalam keadaan
perut kosong karena bersifat iritasi lambung. Oleh sebab itu penderita
harus makan terlebih dahulu setiap akan minum obat anti malaria. Dosis
pemberian obat sebaiknya berdasarkan berat badan.
Pengobatan malaria di Indonesia menggunakan Obat Anti Malaria
(OAM) kombinasi. Yang dimaksud dengan pengobatan kombinasi
malaria adalah penggunaan dua atau lebih obat anti malaria yang
farmakodinamik dan farmakokinetiknya sesuai, bersinergi dan berbeda
cara terjadinya resistensi.
Tujuan terapi kombinasi ini adalah untuk pengobatan yang lebih
baik dan mencegah terjadinya resistensi plasmodium terhadap obat anti
malaria. Pengobatan kombinasi malaria harus aman dan toleran untuk
semua umur, efektif dan cepat kerjanya, resisten dan/atau resistensi silang
belum terjadi dan harga murah dan terjangkau.
Saat ini yang digunakan program nasional adalah derivat
artemisinin dengan golongan aminokuinolin, yaitu:
1) Kombinasi tetap (Fixed Dose Combination = FDC) yang terdiri atas
Dihydroartemisinin dan Piperakuin (DHP). 1 (satu) tablet
FDCmengandung 40 mg dihydroartemisinin dan 320 mg piperakuin.
Obat ini diberikan per – oral selama tiga hari dengan range dosis
58

tunggal harian sebagai berikut: Dihydroartemisinin dosis 2-4


mg/kgBB; Piperakuin dosis 16-32mg/kgBB
2) Artesunat – Amodiakuin
Kemasan artesunat – amodiakuin yang ada pada program
pengendalian malaria dengan 3 blister, setiap blister terdiri dari 4
tablet artesunat @50 mg dan 4 tablet amodiakuin 150 mg.
(Kemenkes, 2012).

5. HIV AIDS
a. Definisi HIV
HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan
AIDS. HIV menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang
bertugas menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit
yang memiliki CD4 sebagai sebuah marker atau penanda yang berada di
permukaan sel limfosit. Karena berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh
manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel darah putih atau limfosit
yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang masuk ke tubuh
manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai CD4
berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem
kekebalan yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai
CD4 semakin lama akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus
bisa sampai nol) (KPA, 2007c).
Virus HIV diklasifikasikan ke dalam golongan lentivirus atau
retroviridae. Virus ini secara material genetik adalah virus RNA yang
tergantung pada enzim reverse transcriptase untuk dapat menginfeksi sel
mamalia, termasuk manusia, dan menimbulkan kelainan patologi secara
lambat. Virus ini terdiri dari 2 grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-
masing grup mempunyai lagi berbagai subtipe, dan masing-masing
59

subtipe secara evolusi yang cepat mengalami mutasi. Diantara kedua grup
tersebut, yang paling banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di
seluruh dunia adalah grup HIV-1 (Zein, 2006).
b. Definisi AIDS
AIDS adalah singkatan dari Acquired Immuno Deficiency
Syndrome, yang berarti kumpulan gejala atau sindroma akibat
menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan infeksi virus HIV. Tubuh
manusia mempunyai kekebalan untuk melindungi diri dari serangan luar
seperti kuman, virus, dan penyakit. AIDS melemahkan atau merusak
sistem pertahanan tubuh ini, sehingga akhirnya berdatanganlah berbagai
jenis penyakit lain (Yatim, 2006). HIV adalah jenis parasit obligat yaitu
virus yang hanya dapat hidup dalam sel atau media hidup. Seorang
pengidap HIV lambat laun akan jatuh ke dalam kondisi AIDS, apalagi
tanpa pengobatan. Umumnya keadaan AIDS ini ditandai dengan adanya
berbagai infeksi baik akibat virus, bakteri, parasit maupun jamur.
Keadaan infeksi ini yang dikenal dengan infeksi oportunistik (Zein,
2006).
c. Epidemiologi
Kasus pertama AIDS di Indonesia dilaporkan dari Bali pada
bulan April tahun 1987. Penderitanya adalah seorang wisatawan Belanda
yang meninggal di RSUP Sanglah akibat infeksi sekunder pada paru-
parunya. Sampai dengan akhir tahun 1990, peningkatan kasus HIV/AIDS
menjadi dua kali lipat (Muninjaya, 1998).
Sejak pertengahan tahun 1999 mulai terlihat peningkatan tajam
akibat penggunaaan narkotika suntik. Fakta yang mengkhawatirkan
adalah pengguna narkotika ini sebagian besar adalah remaja dan dewasa
muda yang merupakan kelompok usia produktif. Pada akhir Maret 2005
tercatat 6789 kasus HIV/AIDS yang dilaporkan (Djauzi dan Djoerban,
2007).
60

Sampai akhir Desember 2008, jumlah kasus sudah mencapai


16.110 kasus AIDS dan 6.554 kasus HIV. Sedangkan jumlah kematian
akibat AIDS yang tercatat sudah mencapai 3.362 orang. Dari seluruh
penderita AIDS tersebut, 12.061 penderita adalah laki-laki dengan
penyebaran tertinggi melalui hubungan seks (Depkes RI, 2008).
d. Etiologi
Penyebab kelainan imun pada AIDS adalah suatu agen viral yang
disebut HIV dari sekelompok virus yang dikenal retrovirus yang disebut
Lympadenopathy Associated Virus (LAV) atau Human T-Cell Leukimia
Virus (HTL-III) yang juga disebut Human T-Cell Lympanotropic Virus
(retrovirus). Retrovirus mengubah asam rebonukleatnya (RNA) menjadi
asam deoksiribunokleat (DNA) setelah masuk kedalam sel pejamu
(Nurrarif dan Hardhi, 2015). \
Penyebab adalah golongan virus retro yang disebut Human
Immunodeficiency Virus (HIV). Transmisi infeksi HIV dan AIDS terdiri
dari lima fase yaitu :
1) Periode jendela: lamanya 4 minggu sampai 6 bulan setelah infeksi
tidak ada gejala.
2) Fase infeksi HIV primer akut: lamanya 1 – 2 minggu dengan gejala
flu like illness.
3) Infeksi asimtomatik: lamanya 1 – 15 atau lebih tahun dengan gejala
tidak ada.
4) Supresi imun simtomatik: diatas 3 tahun dengan gejala demam,
keringat malam hari, berat badan menurun, diare, neuropati, lemah,
rash, limfadenopati, lesi mulut.
5) AIDS: lamanya bervariasi antara 1 – 5 tahun dari kondisi AIDS
pertama kali ditegakkan. Didapatkan infeksi oportunis berat dan
tumor pada berbagai sistem tubuh, dan manifestasi neurologis.
61

e. Patofisiologi
Pada individu dewasa, masa jendela infeksi HIV sekitar 3 bulan.
Seiring pertambahan replikasi virus dan perjalanan penyakit, jumlah sel
limfosit CD 4+ akan terus menurun. Umumnya, jarak antara infeksi HIV
dan timbulnya gejala klinis pada AIDS berkisar antara 5 – 10 tahun.
Infeksi primer HIV dapat memicu gejala infeksi akut yang spesifik,
seperti demam, nyeri kepala, faringitis dan nyeri tenggorokan,
limfadenopati, dan ruam kulit. Fase akut tersebut dilanjutkan dengan
periode laten yang asimtomatis, tetapi pada fase inilah terjadi penurunan
jumlah sel limfosit CD 4+ selama bertahun – tahun hingga terjadi
manifestasi klinis AIDS akibat defisiensi imun (berupa infeksi
oportunistik). Berbagai manifestasi klinis lain dapat timbul akibat reaksi
autoimun, reaksi hipersensitivitas, dan potensi keganasan (Kapita Selekta,
2014).
Sel T dan makrofag serta sel dendritik/langerhans (sel imun)
adalah sel – sel yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV)
dan terkonsentrasi dikelenjar limfe, limpa dan sumsum tulang. Dengan
menurunnya jumlah sel T4, maka sistem imun seluler makin lemah secara
progresif. Diikuti berkurangnya fungsi sel B dan makrofag dan
menurunnya fungsi sel T penolong (Susanto dan Made Ari, 2013).
Seseorang yang terinfeksi Human Immunodeficiency Virus
(HIV) dapat tetap tidak memperlihatkan gejala (asimptomatik) selama
bertahun – tahun. Selama waktu ini, jumlah sel T4 dapat berkurang dari
sekitar 1000 sel per ml darah sebelum infeksi mencapai sekitar 200 – 300
per ml darah, 2 – 3 tahun setelah infeksi. Sewaktu sel T4 mencapai kadar
ini, gejala – gejala infeksi (herpes zoster dan jamur oportunistik) (Susanto
dan Made Ari, 2013).
62

f. Manifestasi Klinis
Penderita yang terinfeksi HIV dapat dikelompokkan menjadi 4
golongan, yaitu:
1) Penderita asimtomatik tanpa gejala yang terjadi pada masa inkubasi
yang berlangsung antara 7 bulan sampai 7 tahun lamanya
2) Persistent generalized lymphadenophaty (PGL) dengan gejala
limfadenopati umum
3) AIDS Related Complex (ARC) dengan gejala lelah, demam, dan
gangguan sistem imun atau kekebalan
4) Full Blown AIDS merupakan fase akhir AIDS dengan gejala klinis
yang berat berupa diare kronis, pneumonitis interstisial,
hepatomegali, splenomegali, dan kandidiasis oral yang disebabkan
oleh infeksi oportunistik dan neoplasia misalnya sarcoma kaposi.
Penderita akhirnya meninggal dunia akibat komplikasi penyakit
infeksi sekunder (Soedarto, 2009).
Stadium klinis HIV/AIDS untuk remaja dan dewasa dengan infeksi HIV
terkonfirmasi menurut WHO:
1) Stadium 1 (asimtomatis)
a) Asimtomatis
b) Limfadenopati generalisata
2) Stadium 2 (ringan)
a) Penurunan berat badan < 10%
b) Manifestasi mukokutaneus minor: dermatitis seboroik, prurigo,
onikomikosis, ulkus oral rekurens, keilitis angularis, erupsi
popular pruritik
c) Infeksi herpers zoster dalam 5 tahun terakhir
d) Infeksi saluran napas atas berulang: sinusitis, tonsillitis,
faringitis, otitis media
63

3) Stadium 3 (lanjut)
a) Penurunan berat badan >10% tanpa sebab jelas
b) Diare tanpa sebab jelas > 1 bulan
c) Demam berkepanjangan (suhu >36,7°C, intermiten/konstan) > 1
bulan
d) Kandidiasis oral persisten
e) Oral hairy leukoplakia
f) Tuberculosis paru
g) Infeksi bakteri berat: pneumonia, piomiositis, empiema, infeksi
tulang/sendi, meningitis, bakteremia
h) Stomatitis/gingivitis/periodonitis ulseratif nekrotik akut
i) Anemia (Hb < 8 g/dL) tanpa sebab jelas, neutropenia (< 0,5×109
/L) tanpa sebab jelas, atau trombositopenia kronis (< 50×109 /L)
tanpa sebab yang jelas
4) Stadium 4 (berat)
a) HIV wasting syndrome
b) Pneumonia akibat pneumocystis carinii
c) Pneumonia bakterial berat rekuren
d) Toksoplasmosis serebral
e) Kriptosporodiosis dengan diare > 1 bulan
f) Sitomegalovirus pada orang selain hati, limpa atau kelenjar getah
bening
g) Infeksi herpes simpleks mukokutan (> 1 bulan) atau visceral
h) Leukoensefalopati multifocal progresif
i) Mikosis endemic diseminata
j) Kandidiasis esofagus, trakea, atau bronkus
k) Mikobakteriosis atripik, diseminata atau paru
l) Septicemia Salmonella non-tifoid yang bersifat rekuren
m) Tuberculosis ekstrapulmonal
64

n) Limfoma atau tumor padat terkait HIV: Sarkoma Kaposi,


ensefalopati HIV, kriptokokosis ekstrapulmoner termasuk
meningitis, isosporiasis kronik, karsinoma serviks invasive,
leismaniasis atipik diseminata
o) Nefropati terkait HIV simtomatis atau kardiomiopati terkait HIV
simtomatis (Kapita Selekta, 2014).
g. Komplikasi
1) Oral lesi
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral,
gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV),
leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan
dan cacat.
2) Neurologik
a) Kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human
Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan
kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia,
dan isolasi sosial.
b) Ensefalophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia,
hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis atau
ensefalitis. Dengan efek: sakit kepala, malaise, demam, paralise
total/parsial.
c) Infark serebral kornea sifilis menin govaskuler, hipotensi sistemik,
dan maranik endokarditis.
d) Neuropati karena inflamasi diemilinasi oleh serangan HIV.
3) Gastrointertinal
a) Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal,
limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat
badan, anoreksia, demam, malabsorbsi, dan dehidrasi.
65

b) Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma, sarcoma Kaposi, obat


illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri
abdomen, ikterik, demam atritis.
c) Penyakit anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi
perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit
dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan diare.
4) Respirasi
a) Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus
influenza, pneumococcus dan strongyloides dengan efek sesak
nafas pendek, batuk, nyeri, hipoksia, keletihan, gagal nafas.
b) Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus: virus herpes simpleks dan zoster,
dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan
dekubitus dengan efek nyeri, gatal, rasa terbakar, infeksi sekunder
dan sepsis.
c) Sensorik
 Pandangan: sarcoma Kaposi pada konjungtiva berefek
kebutaan.
 Pendengaran: otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan
pendengaran dengan efek nyeri (Susanto dan Made Ari, 2013).
h. Cara Penularan
HIV ditularkan dari orang ke orang melalui pertukaran cairan
tubuh seperti darah, semen, cairan vagina, dan ASI. Terinfeksi tidaknya
seseorang tergantung pada status imunitas, gizi, kesehatan umum dan usia
serta jenis kelamin merupakan faktor risiko. Seseorang akan berisiko
tinggi terinfeksi HIV bila bertukar darah dengan orang yang terinfeksi,
pemakaian jarum suntik yang bergantian terutama pada pengguna
narkoba, hubungan seksual (Corwin, 2009).
66

Penyakit ini menular melalui berbagai cara, antara lain melalui


cairan tubuh seperti darah, cairan genitalia, dan ASI. Virus juga terdapat
dalam saliva, air mata, dan urin (sangat rendah). HIV tidak dilaporkan
terdapat didalam air mata dan keringat. Pria yang sudah disunat memiliki
risiko HIV yang lebih kecil dibandingkan dengan pria yang tidak disunat.
Selain melalui cairan tubuh, HIV juga ditularkan melalui :
1) Ibu hamil
a) Secara intrauterine, intrapartum, dan postpartum (ASI)
b) Angka transmisi mencapai 20-50%
c) Angka transmisi melalui ASI dilaporkan lebih dari sepertiga
d) Laporan lain menyatakan risiko penularan malalui ASI adalah 11-
29%
e) Sebuah studi meta-analisis prospektif yang melibatkan penelitian
pada dua kelompok ibu, yaitu kelompok ibu yang menyusui sejak
awal kelahiran bayi dan kelompok ibu yang menyusui setelah
beberapa waktu usia bayinya, melaporkan bahwa angka penularan
HIV pada bayi yang belum disusui adalah 14% (yang diperoleh
dari penularan melalui mekanisme kehamilan dan persalinan), dan
angka penularan HIV meningkat menjadi 29% setelah bayinya
disusui. Bayi normal dengan ibu HIV bisa memperoleh antibodi
HIV dari ibunya selama 6-15 bulan.
2) Jarum suntik
a) Prevalensi 5-10%
b) Penularan HIV pada anak dan remaja biasanya melalui jarum
suntik karena penyalahgunaan obat.
c) Di antara tahanan (tersangka atau terdakwa tindak pidana) dewasa,
pengguna obat suntik di Jakarta sebanyak 40% terinfeksi HIV, di
Bogor 25% dan di Bali 53%.
3) Transfusi darah
67

a) Risiko penularan sebesar 90%


b) Prevalensi 3-5%
4) Hubungan seksual
a) Prevalensi 70-80%
b) Kemungkinan tertular adalah 1 dalam 200 kali hubungan intim
c) Model penularan ini adalah yang tersering didunia. Akhir-akhir ini
dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat untuk
menggunakan kondom, maka penularan melalui jalur ini
cenderung menurun dan digantikan oleh penularan melalui jalur
penasun (pengguna narkoba suntik) (Widoyono, 2011).
i. Kelompok Risiko
Menurut UNAIDS (2017), kelompok risiko tertular HIV/AIDS
sebagai berikut:
1) Pengguna napza suntik: menggunakan jarum secara bergantian
2) Pekerja seks dan pelanggan mereka: keterbatasan pendidikan dan
peluang untuk kehidupan yang layak memaksa mereka menjadi
pekerja seks
3) Lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki
4) Narapidana
5) Pelaut dan pekerja di sektor transportasi
6) Pekerja boro (migrant worker): melakukan hubungan seksual berisiko
seperti kekerasan seksual, hubungan seksual dengan orang yang
terinfeksi HIV tanpa pelindung, mendatangi lokalisasi/komplek PSK
dan membeli
seks (Ernawati, 2016).
AIDS dapat menyerang semua golongan umur, termasuk bayi,
pria maupun wanita. Yang termasuk kelompok resiko tinggi adalah
1) Lelaki homoseksual atau biseks
2) Bayi dari ibu/bapak terinfeksi
68

3) Orang yang ketagihan obat intravena


4) Partner seks dari penderita AIDS
5) Penerima darah atau produk (transfusi) (Susanto dan Made Ari,
2013).
j. Pencegahan Penularan
1) Secara umum
Lima cara pokok untuk mencegah penularan HIV (A, B, C, D, E)
yaitu:
A: Abstinence – memilih untuk tidak melakukan hubungan seks
berisiko tinggi, terutama seks pranikah
B: Be faithful – saling setia
C: Condom – menggunakan kondom secara konsisten dan benar
D: Drugs – menolak penggunaan NAPZA
E: Equipment – jangan pakai jarum suntik bersama
2) Untuk pengguna Napza
Pecandu yang IDU dapat terbebas dari penularan HIV/AIDS jika:
mulai berhenti menggunakan Napza sebelum terinfeksi, tidak
memakai jarum suntik bersama.
3) Untuk remaja
Tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah, menghindari
penggunaan obat-obatan terlarang dan jarum suntik, tato dan tindik,
tidak melakukan kontak langsung percampuran darah dengan orang
yang sudah terpapar HIV, menghindari perilaku yang dapat mengarah
pada perilaku yang tidak sehat dan tidak bertanggung jawab
(Hasdianah dan Dewi, 2014).
k. Pengobatan
Untuk menahan lajunya tahap perkembangan virus beberapa obat
yang ada adalah antiretroviral dan infeksi oportunistik. Obat antiretroviral
adalah obat yang dipergunakan untuk retrovirus seperti HIV guna
69

menghambat perkembangbiakan virus. Obat-obatan yang termasuk


antiretroviral yaitu AZT, Didanoisne, Zaecitabine, Stavudine. Obat
infeksi oportunistik adalah obat yang digunakan untuk penyakit yang
muncul sebagai efek samping rusaknya kekebalan tubuh. Yang penting
untuk pengobatan oportunistik yaitu menggunakan obat-obat sesuai jenis
penyakitnya, contoh: obat-obat anti TBC, dll (Hasdianah dkk, 2014).
l. Diagnosis
Metode yang umum untuk menegakkan diagnosis HIV meliputi:
1) ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay)
Sensitivitasnya tinggi yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini
memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi.
2) Western blot
Spesifikasinya tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaannya
cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.
3) PCR (Polymerase Chain Reaction)
Tes ini digunakan untuk :
a) Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada pada bayi
yang dapat menghambat pemeriksaan secara serologis.
b) Menetapkan status infeksi individu yang seronegatif pada
kelompok berisiko tinggi
c) Tes pada kelompok tinggi sebelum terjadi serokonversi.
d) Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai
sensitivitas rendah untuk HIV-2 (Widoyono, 2014).
m. Klasifikasi
1) Fase 1
Umur infeksi 1 – 6 bulan (sejak terinfeksi HIV) individu sudah
terpapar dan terinfeksi. Tetapi ciri – ciri terinfeksi belum terlihat
meskipun ia melakukan tes darah. Pada fase ini antibody terhadap HIV
70

belum terbentuk. Bisa saja terlihat/mengalami gejala – gejala ringan,


seperti flu (biasanya 2 – 3 hari dan sembuh sendiri).
2) Fase 2
Umur infeksi: 2 – 10 tahun setelah terinfeksi HIV. Pada fase kedua ini
individu sudah positif HIV dan belum menampakkan gejala sakit.
Sudah dapat menularkan pada orang lain. Bisa saja terlihat/mengalami
gejala – gejala ringan, seperti flu (biasanya 2 – 3 hari dan sembuh
sendiri).
3) Fase 3
Mulai muncul gejala – gejala awal penyakit. Belum disebut gejala
AIDS. Gejala – gejala yang berkaitan antara lain keringat yang
berlebihan padawaktu malam, diare terus menerus, pembengkakan
kelenjar getahbening, flu yang tidak sembuh – sembuh, nafsu makan
berkurang dan badan menjadi lemah, serta berat badan terus
berkurang. Pada fase ketiga ini sistem kekebalan tubuh mulai
berkurang.
4) Fase 4
Sudah masuk fase AIDS. AIDS baru dapat terdiagnosa setelah
kekebalan tubuh sangat berkurang dilihat dari jumlah sel T nya.
Timbul penyakit tertentu yang disebut dengan infeksi oportunistik
yaitu TBC, infeksi paru – paru yang menyebabkan radang paru – paru
dan kesulitan bernafas, kanker, khususnya sariawan, kanker kulit atau
sarcoma kaposi, infeksi usus yang menyebabkan diare parah
berminggu – minggu, dan infeksi otak yang menyebabkan kekacauan
mental dan sakit kepala (Hasdianah dan Dewi, 2014).
71

6. Infeksi Menular Seksual


a. Definisi
Penyakit kelamin (veneral disease) sudah lama di kenal dan
beberapa di antaranya sangat populer di Indonesia yaitu sifilis dan
gonorrea. Dengan semakin majunya ilmu pengetahuan ,dan semakin
banyaknya penyakit–penyakit baru, sehingga istilah tersebut tidak sesuai
lagi dan diubah menjadi Sexually Transmitted Diseases (STD) atau
Penyakit Menular Seksual (PMS). Kemudian sejak 1998, istilah Sexually
Transmitted Diseases (STD) mulai berubah menjadi infeksi menular
seksual (IMS) agar dapat menjangkau penderitaan asimptomatik.
Infeksi menular seksual (IMS) adalah berbagai infeksi yang dapat
menular dari satu orang ke orang yang lain melalui kontak seksual.
Semua teknik hubungan seksual baik lewat vagina, dubur, atau mulut baik
berlawanan jenis kelamin maupun dengan sesama jenis kelamin bisa
menjadi sarana penularan penyakit kelamin. Sehingga kelainan
ditimbulkan tidak hanya terbatas pada daerah genital saja, tetapi dapat
juga di daerah ekstra genital. Kelompok umur yang memiliki risiko paling
tinggi untuk tertular IMS adalah kelompok remaja sampai dewasa muda
sekitar usia (15-24 tahun).
b. Tanda dan Gejala
Gejala infeksi menular seksual (IMS) dibedakan menjadi:
1) Perempuan
a) Luka dengan atau tanpa rasa sakit di sekitar alat kelamin, anus,
mulut atau bagian tubuh ang lain, tonjolan kecil-kecil, diikuti
luka yang sangat sakit disekitar alat kelamin.
b) Cairan tidak normal yaitu cairan dari vagina bisa gatal,
kekuningan, kehijauan, berbau atau berlendir.
c) Sakit pada saat buang air kecil yaitu IMS pada wanita biasanya
tidak menyebabkan sakit atau burning urination.
72

d) Tonjolan seperti jengger ayam yang tumbuh disekitar alat


kelamin.
e) Sakit pada bagian bawah perut yaitu rasa sakit yang hilang
muncul dan tidak berkaitan dengan menstruasi bisa menjadi
tanda infeksi saluran reproduksi (infeksi yang telah berpindah
kebagian dalam sistemik reproduksi, termasuk tuba fallopi dan
ovarium).
f) Kemerahan yaitu pada sekitar alat kelamin.
2) Laki – laki
a) Luka dengan atau tanpa rasa sakit di sekitar alat kelamin, anus ,
mulut atau bagian tubuh yang lain, tonjolan kecil – kecil , diikuti
luka yang sangat sakit di sekitar alat kelamin
b) Cairan tidak normal yaitu cairan bening atau bewarna berasal
dari pembukaan kepala penis atau anus.
c) Sakit pada saat buang air kecil yaitu rasa terbakar atau rasa sakit
selama atau setelah urination.
d) Kemerahan pada sekitar alat kelamin, kemerahan dan sakit di
kantong zakar.
c. Kelompok Perilaku Risiko Tinggi
Dalam Infeksi menular seksual (IMS) yang dimaksud dengan
perilaku resiko tinggi ialah perilaku yang menyebabkan seseorang
mempunyai resiko besar terserang penyakit tersebut. Yang tergolong
kelompok resiko tinggi adalah :
1) Usia
a) 20 – 34 tahun pada laki – laki
b) 16 – 24 tahun pada wanita
c) 20 – 24 tahun pada pria dan wanita
2) Pelancong
3) PSK (Pekerja Seks Komersial)
73

4) Pecandu narkotik
5) Homo seksual
d. Macam-Macam IMS
Berdasarkan penyebabnya, Infeksi menular seksual di bedakan
menjadi empat kelompok yaitu:
1) IMS yang disebabkan bakteri, yaitu: Gonore, infeksi genital non
spesifik, Sifilis, Ulkus Mole, Limfomagranuloma Venerum,Vaginosis
bakterial
2) IMS yang disebabkan virus, yaitu: Herpes genetalis, Kondiloma
Akuminata, Infeksi HIV, dan AIDS, Hepatitis B, Moluskus
Kontagiosum.
3) IMS yang disebabkan jamur, yaitu: Kandidiosis genitalis
4) IMS yang disebabkan protozoa dan ektoparasit, yaitu: Trikomoniasis,
Pedikulosis Pubis, Skabies
Berdasarkan cara penularannya, infeksi menular seksual
dibedakan menjadi dua, yaitu IMS mayor (penularannya dengan
hubungan seksual) dan IMS minor (Penularannya tidak harus dengan
hubungan seksual).
1) IMS mayor
a) Gonore
Etiologi Gonore: Neisseria gonorrhoeae . Masa inkubasi:
Pria 2-5 hari, gejala pada wanita sulit diketahui oleh karena sering
asimtomatik. Gejala klinis: Pria duh tubuh uretra, kental, putih
kekuningan atau kuning, kadang-kadang mukoid atau
mukopurulen; eritema dan atau edema pada meatus. Sedangkan
pada wanita seringkali asimtomatik, apabila ada duh tubuh serviks
purulen atau mukopurulen, kadang-kadang disertai eksudat
purulen dari uretra atau kelenjar bartholini. Pada wanita biasanya
74

datang berobat setelah ada komplikasi antara lain servisitis,


bartilinitis, dan nyeri pada panggul bagian bawah.
Diagnosis ditegakan atas dasar anamnesis, pemeriksaan
klinis, dan beberapa pemeriksaan penunjang yaitu: sediaan
langsung, kultur (biakan), tes betalaktamase, tes Thomson.
Komplikasi: Pada pria epididimitis, orkitis => infertilitas,
sedangkan komplikasi pada wanita adneksitis, salpingitis =>
kehamilan ektopik, infertilitas,striktur uretra, konjungtivitas,
meningitis, dan endokarditis . Pencegahan : Tidak berhubungan
intim, setia pada pasangan dan menggunakan kondom
b) Sifilis
Etiologi Sifilis: Treponema Palidum. Merupakan penyakit
menahun dengan remisi dan ekserbasi,dapat menyerang seluruh
organ tubuh. Mempunyai periode laten tanpa manifestasi lesi pada
tubuh,dan dapat di tularkan dari ibu kepada janinnya.9 Sifilis di
bagi menjadi sifilis akuisita (di dapat) dan sifilis kongenital. Sifilis
akuisita di bagi menjadi 3 stadium sebagai berikut :
 Stadium I : erosi yang selanjutnya menjadi ulkus durum
 Stadium II : dapat berupa roseola, kondiloma lata, bentuk
varisela atau bentuk plak
mukosa atau alopesia
 Stadium III : bersifat destruktif, berupa guma di kulit atau
alat – alat dalam dan kardiovaskuler serta neuro sifilis.
Diagnosis di tegakan dengan diagnosis klinis di konfirmasi
dengan pemeriksaan labolatorium berupa pemeriksaan
lapangan gelap (pemeriksaan lapangan gelap, mikroskop
fluorensi) menggunakan bagian dalam lesi guna menemukan
T.pallidum. Selain itu menggunkan penentuan antibody dalam
75

serum (tes menentukan anti body nonspesifik, tes menentukan


antibodi spesifik, antibodi terhadap kelompok antigen yaitu
tes reiter protein complement fixation).
c) Ulkus Mole
Etiologi: Haemophillus ducreyi gram negatif
streptobacillus, biasa disebut chancroid merupakan penyakit
infeksi genentalia akut. Gejala klinis: Ulkus multipel, bentuk tidak
teratur, dasar kotor, tepi bergaung, sekitar ulkus eritema dan
edema, sangat nyeri. Kelenjar getah bening inguinal bilateral atau
unilateral membesar, nyeri, dengan eritema di atasnya, seringkali
disertai tanda-tanda fluktuasi, biasanya tidak disertai gejala
sistemik. Diagnosis ulkus mole di tegakan berdasarkan riwayat
pasien, keluhan dan gejala klinis,serta pemeriksaan labolatorium.
Pemeriksaan langsung bahan ulkus dengan pengecatan gram
memperlihatkan basil kecil negatif gram yang berderat
berpasangan seperti rantai di intersel atau ekstrasel. Dengan
menggunkan kultur H.ducreyi, pemeriksaan yang diperoleh lebih
akurat. Bahan diambil dari dasar ulkus yang purulen atau pus.
Selain itu bisa dengan tes serologi ito-Reenstierma ,tes ELISA,
presipitin, dan aglutinin. Komplikasi: Luka terinfeksi dan
menyebabkan nekrosis jaringan. Pencegahan: tidak berhubungan
intim sebelum menikah, setia pada pasangan, dan menggunakan
kondom.
d) Limfogranuloma Venerum
Limfogranuloma Venerum adalah infeksi menular seksual
yang mengenai sistem saluran pembuluh limfe dan kelenjar limfe,
terutama pada daerah genital, inguinal, anus, dan rectum.
Penyebabnya adalah Clamydia trachomatis, yang merupakan
organisme dengan sifat sebagian seperti bakteri dalam hal
76

pembelahan sel, metabolisme, struktur, maupun kepekaan


terhadap antibiotika dan kemoterapi, dan sebagian lagi bersifat
seperti virus yaitu memerlukan sel hidup untuk berkembang
biaknya. Gejala penyakit berupa malaise, nyeri kepala, athralgia ,
anoreksia, nausea, dan demam. Kemudian timbul pembesaran
kelenjar getah bening inguinal medial dengan tanda – tanda
radang.Penyakit ini dapat berlanjut memberikan gejala – gejala
kemerahan pada saluran kelenjar dan fistulasi. Diagnosis dapat di
tegakan berdasarkan gambaran klinis, tes GPR, tes Frei, tes
serologi, pengecatan giemsa dari pus bubo,dan kultur jaringan.
Komplikasi : Elefantiasis genital atau sindroma anorektal
Pencegahan : Tidak berhubungan intim sebelum menikah, setia
pada pasangan, menggunakan kondom.
e) Granuloma Inguinal
Granuloma Inguinal merupakan penyakit yang timbul
akibat proses granuloma pada daerah anogenital dan inguinal.
Etiologinya adalah: Donovania granuloma (Calymatobacterium
granulomatosis). Lebih banyak menerang usia aktif (20 – 40
tahun) . Dan lebih sering terdapat pada pria dari pada wanita.
Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan
tambahan, awalnya timbul lesi bentuk papula atau vesikel yang
berwana merah dan tidak nyeri, perlahan berubah menjadi ulkus
granulomatosa yang bulat dan mudah berdarah, mengeluarkan
sekret yang berbau amis.
2) IMS Minor
a) Herpes Genetalia
Herpes genitalis adalah infeski pada genital yang
disebabkan oleh Herpes simpleks virus dengan gejala khas berupa
vesikel yang berkelompok dengan dasar eritema dan bersifat
77

rekurens. Hubungan resiko yang beresiko tinggi dengan seseorang


penderita herpes dapat meningkatkan resiko terkena virus herpes
simpleks. Manifestasi klinis di pengaruhi oleh faktor hospes,
pajanan HSV sebelumnya, episode terdahulu dan tipe virus.
Daerah predileksi pada pria biasanya di preputium, gland penis,
batang penis, dapat juga di uretra dan daerah anal (homoseksual).
Sedangkan pada wanita biasanya di dareah labia mayor atau labia
minor, klitoris, introitus vagina, serviks. Gejala klinis: diawali
dengan papul – vesikel. Ulkus/erosi multipel berkelompok, di atas
dasar eritematosa, sangat nyeri, nyeri dan edema di inguinal,
limfadenopati bilateral, dan kenyal, disertai gejala sistemik:
umumnya lesi tidak sebanyak seperti pada lesi primer, dan
keluhan tidak seberat lesi primer, timbul bila ada faktor pencetus.
Herpes genital dapat kambuh apabila ada faktor pencetus daya
tahan menurun, faktor stress pikiran, senggama berlebihan,
kelelahan dan lain-lain. Umumnya lesi tidak sebanyak dan seberat
pada lesi primer. Komplikasi dapat ditumpangi oleh infeksi
bakteri lain. Pencegahannya tidak berhubungan intim sebelum
menikah, setia pada pasangan, menggunakan kondom, dan hindari
faktor pencetus.
b) Non Spesifik Uretritis
Non spesifik uretritis adalah peradangan uretra yang
penyebabnya dengan pemeriksaan sederhana tidak dapat di
ketahui atau dipastikan. Organisme penyebab uretritis nonspesifik:
 Chlamidya trachomatis (30- 50 %)
 Ureaplasma urealyticum ( 10 -40 %)
78

 Lain – lain ( 20 – 30 %) : Trichomonas vaginalis, ragi,virus


Herpes simpleks, adenovirus, Haemophylus sp, Bacteroides
ureolyticus, Mycoplasma geniculatum, dan bakteri lain.
c) Tricomoniasis
Merupakan infeksi dari penyakit protozoa yang
disebebakan oleh Trichomonas vaginalis, biasanya di tularkan
melalui hubungan seksual dan sering menyerang traktus
urogenitalis bagian bawah pada pria maupun wanita,namun
peranannya pada pria sebagai penyebab penyakit masih diragukan.
Gejala pada wanita sering asimptomatik. Bila ada keluhan
biasanya berupa sekret vagina yang berlebihan dan berbau. Sekret
berwarna kehijauan dan berbusa.
d) Kandidiasis
Kandidiasis adalah infeksi dengan berbagai manifestasi
klinis yang disebabkan oleh candida, candida albicans dan ragi
(yeast) lain (terkadang C.glabarata) dari genus candida. Kandida
pada wanita umumnya infeksi pertama kali timbul pada vagina
yang di sebut vaginitis dan dapat meluas sampai vulva (vulvitis),
jika mukosa vagina dan vulva keduanya terinfeksi disebut
kandidiosis vulvovaginalis (KVV). Gejala penyakit ini adalah rasa
panas dan iritasi pada vulva, selain itu juga sekret vagina yang
berlebihan berwarna putih susu. Pada dinding vagina terdapat
gumpalan seperti keju.
e) Vaginosis Bacterial
Adalah suatu sindrom perubahan ekositem vagina dimana
terjadi pergantian dari lactobacillus yang normalnya memproduksi
H2O2 di vagina dengan bakteri anaerob (seperti Prevotella Sp,
Mobiluncus Sp,Gardenerella vaginalis, dan Mycoplasma hominis)
79

yang menyebabkan peningkatan pH dari nilai kurang 4,5 sampai


7,0. Wanita dengan vaginosis bacterialis dapat tanpa gejala atau
mempunyai bau vagina yang khas seperti bau ikan, amis, terutama
waktu berhubungan seksual. Bau tersebut di sebabkan karena
adanya amin yang menguap bila cairan vagina menjadi basa.
f) Kondiloma Akuminata
Kondiloma Akuminata ialah infeksi menular seksual yang
disebabkan oleh human papiloma virus (HPV) dengan kelainan
berupa fibroepitelioma pada kulit dan mukosa. Sinonim genital
warts,kutil kelamin, penyakit jengger ayam Untuk kepentingan
klinis maka KA dibagi menjadi 3 bentuk: bentuk papul, bentuk
akuminata, bentuk datar. Meskipun demikian tidak jarang di
temukan bentuk peralihan .9Diagnosis ditegakan berdasarkan
gejala klinis. Untuk lesi yang meragukan bisa menggunakan asam
asetat 5 % yang di bubuhkan ke lesi selama 3-5 menit, lesi
kondiloma akan berubah menjadi putih. Dapat juga dilakukan
pemeriksaan histopatologis.
g) Moluskum Kongtagniosum
Moluskum Kontagiosum merupakan neoplasma jinak
padajaringan kulitdan mukosa yang di debabkan oleh virus
moluskum kontagiosum. Terutama menyerang anak – anak. Orang
dewasa yang kehidupan seksualnya sangat aktif,serta orang yang
mengalami gangguan imunitas. Lesi MK berupa papul milier,ada
lekukan ( delle ), permukaan halus,konsistensi kenyal, dengan
umbilikasi pada bagian sentral.Lesi berwarna putih, kuning muda,
atau seperti warna kulit. Bila di tekan akan keluar masa putih
seperti nasi. Jumlah lesi biasanya berkisar 30 buah,tetapi bisa
lebih kemiudian membentuk plakat dan kulit di sekitar lesi dapat
mengalami esktimatisasi (dermatitis moluskum) Prinsip
80

penatalaksanaannya adalah mengeluarkan masa putih di dalamnya


dengan alat seperti ekstrator komedo,jarum suntik , bedah beku,
dan elektrocauterisasi.
h) Skabies
Adalah penyakit kulit yang disebabkan oleh infestasi dan
sensitisasi Sarcoptes Scabies Var. hominis 9,12. Gambaran
klinisnya terjadi pada malam hari karena aktifitas tungau
meningkat padasuhu kulit yang lembab dan hangat. Lesi khas
adalah papul yang gatal sepanjang terowongan yang berisi tungau.
Lesi pada umumnya simetrik dan berbagai tempat predileksinya
adalah sela jari tangan, fleksor siku dan lutut, pergelangan tangan.
Aerola mammae, umbilicus, penis, aksila, abdomen, bagian
bawah, dan pantat.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit menular merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh
mikroorganisme, seperti virus, bakteri, parasite, atau jamur, dan dapat berpindah
ke orang lain yang sehat. Penyakit menular dapat ditularkan secara langsung
maupun tidak langsung. Macam-macam Penyakit Menular, Hepatitis B,
Tuberkulosis Paru, DBD, Malaria, HIV AIDS, dan IMS.

Hepatitis B adalah penyakit yang sangan berbahaya, masuk ke dalam


tubuh secara parenteral dan bersifat asimtomatik. Respon antibody berhasi
mengeliminasi sel-sel hepar yang terkena infeksi virus hepatitis B (VHB). Hanya
virus hepatitis B yang dapat menjadi hepatitis kronik. Biasanya hepatitis kronik
terjadi tanpa tanda-tanda infeksi hepatitis.

Tuberkulosis paru (TB paru) adalah penyakit infeksius, yang terutama


menyerang penyakit parenkim paru. Nama Tuberkulosis berasal dari tuberkel
yang berarti tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan
membangun tembok mengelilingi bakteri dalam paru. Tb paru ini bersifat
menahun dan secara khas ditandai oleh pembentukan granuloma dan
menimbulkan nekrosis jaringan.

Demam dengue / DF dan DBD atau DHF adalah penyakit infeksi yang
disebabkan oleh virus dengue dengan manifestasi klinis demam, nyeri otot dan
nyeri sendi yang disertai lekopenia, ruam, limfadenopati, trombositopenia dan
diathesis hemoragik.

Malaria adalah penyakit menular yang disebabkan oleh parasit dari genus
Plasmodium yang termasuk golongan protozoa melalui perantaraan tusukan

80
81

(gigitan) nyamuk Anopheles spp yang hidup dan berkembang biak dalam sel
darah merah manusia.

HIV (Human Immunodeficiency Virus) adalah sejenis virus yang


menyerang sistem kekebalan tubuh manusia dan dapat menimbulkan AIDS. HIV
menyerang salah satu jenis dari sel-sel darah putih yang bertugas menangkal
infeksi. Sel darah putih tersebut terutama limfosit yang memiliki CD4 sebagai
sebuah marker atau penanda yang berada di permukaan sel limfosit. Karena
berkurangnya nilai CD4 dalam tubuh manusia menunjukkan berkurangnya sel-sel
darah putih atau limfosit yang seharusnya berperan dalam mengatasi infeksi yang
masuk ke tubuh manusia. Pada orang dengan sistem kekebalan yang baik, nilai
CD4 berkisar antara 1400-1500. Sedangkan pada orang dengan sistem kekebalan
yang terganggu (misal pada orang yang terinfeksi HIV) nilai CD4 semakin lama
akan semakin menurun (bahkan pada beberapa kasus bisa sampai nol).

Penyakit kelamin (veneral disease) sudah lama di kenal dan beberapa di


antaranya sangat populer di Indonesia yaitu sifilis dan gonorrea .Dengan semakin
majunya ilmu pengetahuan ,dan semakin banyaknya penyakit–penyakit baru,
sehingga istilah tersebut tidak sesuai lagi dan diubah menjadi Sexually
Transmitted Diseases (STD) atau Penyakit Menular Seksual (PMS).

B. Saran
1. Bagi Masyarakat
Dapat dijadikan sebagai akses pelayanan informasi terhadap kesehatan.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Menambah referensi bacaan bagi para mahasiswa.
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, H. 2018. Pengantar Epidemiologi. Bandung: PT Refika Aditama.


Darmawan, A. 2016. Epidemiologi Penyakit Menular dan Penyakit Tidak Menular.
JMJ 4(2): 195-202.
Green, C.W. 2005. HIV, Pregnancy and Women’s Health. HIV i-Base. HIV,
Kehamilan dan Kesehatan Perempuan. Jakarta: Yayasan Spiritia.
Irwan. 2017. Epidemiologi Penyakit Menular. Yogyakarta: CV Absolute Media.
Julia, F dan A. Sabiq. 2018. Malaria. Jurnal Averrous 4(2).
Kemkes RI. 2020. Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019.Jakarta:

82

Anda mungkin juga menyukai