Anda di halaman 1dari 7

STUDI LITERATUR : MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR SISWA PADA

MATERI GEOMETRI DENGAN MODEL PEMBELAJARAN TEORI VAN HIELE


Nur Wasilah Hawari
Mahasiswi S1 Program Studi Pendidikan Matematika
FMIPA Universitas Negeri Medan
E-mail: nurwasilahh24@gmail.com

ABSTRAK

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh kurangnya kemampuan berpikir dan komunikasi siswa dalam
pembelajaran matematika, khususnya pada materi geometri bidang. Pembelajaran berbasis teori Van
Hiele dapat menjadi strategi untuk mengembangkan kemampuan berpikir dan komunikasi siswa .
berdasarkan apa yang terjadi dilapangan kemampuan berpikir dan komunikasi siswa siswa masih
perlu dikembangkan khususnya dalam materi geometri. Penelitian ini menggunakan metode studi
literatur dengan mengumpulkan beberapa jurnal berkaitan dengan pembelajaran berbasis teori Van
Hiele untuk meningkatkan kemampuan kemampuan berpikir dan komunikasi siswa. Data yang
diperoleh dikompulasi, dianalisis, dan disimpulkan sehingga mendapatkan kesimpulan dari beberapa
penelitian terdahulu untuk menjawab bagaimana efek atau manfaat dari penerapan teori van hiele
dalam kemampuan berpikir dan komunikasi siswa. Hasil dari studi ini menunjukkan bahwa teori van
hiele memiliki beberapa manfaat ketika digunakan dalam pembelajaran geometri, yakni: 1)
Meningkatkan kreativitas siswa; 2) Meningkatkan pemahaman konsep geometri pada siswa; 3)
Meningkatkan minat belajar siswa pada proses pembelajaran bangun datar; 5) Meningkatkan hasil
belajar siswa pada materi bangun datar. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dengan berbagai
manfaat tersebut, teori van hiele dapat digunakan sebagai media pembelajaran geometri khususnya
materi bangun datar.

Kata kunci: studi literatur; Kemampuan berpikir, Teori Van Hiele; geometri

A. PENDAHULUAN

Matematika merupakan salah satu pelajaran yang sangat penting untuk diajarkan dalam setiap
jenjang satuan pendidikan karena menjadi dasar bagi perkembangan ilmu yang lain. Matematika
merupakan induk dari segala ilmu pengetahuan. Dalam perkembangan teknologi pun matematika
memiliki andil yang besar. Tidak heran jika matematika menjadi mata pelajaran wajib yang dipelajari
di setiap jenjang pendidikan, mulai dari tingkat dasar (SD) hingga tingkat atas (SMA). Hal ini
dikarenakan matematika merupakan mata pelajaran pokok yang diuji pada Ujian Nasional diseluruh
jenjang pendidikan. Bahkan di tingkat perguruan tinggi, matematika menjadi ilmu penting yang
digunakan di setiap jurusan, yaitu dalam hal pengolahan data. Pembelajaran matematika di sekolah
sangat erat kaitannya dengan pencapaian kemampuan-kemampuan matematika.

Selain itu, menurut Permendiknas No. 22 tahun 2006 (Depdiknas, 2006 : 345) pelajaran
Matematika perlu diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar untuk membekali
peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta
kemampuan bekerja sama. Kemampuan-kemampuan tersebut sangat dibutuhkan oleh semua peserta
didik agar mereka mampu bertahan pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti, dan kompetitif.
Cockroft (Surya, 2017: 86) juga mengemukakan pendapatnya bahwa matematika perlu diajarkan
kepada siswa karena (1) selalu digunakan dalam segala segi kehidupan; (2) semua bidang studi
memerlukan keterampilan matematika yang sesuai; (3) merupakan sarana komunikasi yang kuat,
singkat, dan jelas; (4) dapat digunakan untuk menyajikan informasi dalam berbagai cara; (5)
meningkatkan kemampuan berpikir logis, ketelitian, dan kesadaran keruangan; dan (6) memberikan
kepuasan terhadap usaha memecahkan masalah yang menantang.

Menyadari pentingnya matematika bagi peserta didik, maka harus dilakukan segala cara agar
matematika bisa dengan mudah dipelajari oleh peserta didik. Karena menurut Abdurrahman (2009 :
252), “dari berbagai bidang studi yang diajarkan di sekolah, matematika merupakan bidang studi yang
dianggap paling sulit oleh para siswa, baik yang tidak berkesulitan belajar dan lebih-lebih bagi siswa
yang berkesulitan belajar. Hal ini menyebabkan rendahnya mutu pendidikan matematika di
Indonesia”. Setiap materi harus menggunakan model pembelajaran yang sesuai. Seperti yang
disampaikan oleh Surya dan Syahputra (2017: 13) bahwa guru mengajar siswa dengan menggunakan
metode yang monoton seperti yang ditertulis di dalam buku pelajaran tanpa memikirkan
perkembangan kognitif siswa. sedangkan, pembelajaran matematika membutuhkan inovasi dan
kreatifitas guru dan siswa. Selama proses pembelajaran matematika siswa dituntut untuk mampu
berpikir logis, kritis, sistematis dan berpikir kreatif dalam memecahkan masalahnya.

Kennedy, 1994:385 (dalam Nur’aeni 2008 : 124) menyatakan bahwa geometri merupakan salah
satu cabang matematika yang juga diajarkan di Sekolah Dasar. Dalam KBBI disebutkan bahwa
geometri adalah cabang matematika yang menerangkan sifat-sifat garis, sudut, bidang, dan ruang.
“Sesuai dengan pengajaran matematika, tujuan pengajaran geometri di setiap jenjang pendidikan
dasar mengacu pada penataan nalar dan pembentukan sikap, juga pada penerapan dan keterampilan
geometri” (Mursalin, 2016, hlm. 251). Dengan kata lain, tujuan pengajaran geometri adalah
menumbuhkembangkan kemampuan berpikir melalui geometri sehingga memiliki keterampilan
geometri dan sikap yang positif. Dalam National Council of Teachers of Mathematics (NCTM)
dijelaskan bahwa pada pembelajaran geometri siswa dilatih untuk menganalisis karakteristik bentuk
geometris dan membuat argumen-matematika tentang hubungan geometris, juga untuk menggunakan
visualisasi, penalaran spasial, dan geometris pemodelan untuk memecahkan masalah. Artinya, melalui
pembelajaran geometri siswa dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah dengan
menganalisis, bernalar dan berargumen. Dengan demikian, kemampuan geometri penting untuk
dikuasai siswa melalui proses pembelajaran matematika di sekolah. Di samping itu, kenyataan di
lapangan menunjukkan masih banyak ditemui kesulitan dalam penguasaan siswa terhadap materi
geometri. Salah satunya adalah karena kurangnya penggunaan media atau alat peraga yang dapat
membantu siswa memahami konsep geometri sehingga materi yang disampaikan bersifat abstrak dan
menimbulkan kejenuhan bagi siswa.

Nur’aeni (2008) menyatakan bahwa ada suatu teori yang berkaitan dengan pembelajaran
geometri adalah Teori Van Hiele (1958) dimana tingkat berfikir geometri siswa secara berurutan
melalui 5 tingkat/level. Maka dari itu peneliti bermaksud meneliti “Apakah pembelajaran berbasis
teori Van Hiele dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematika siswa sekolah dasar?”.
Melalui metode studi literatur peneliti ingin melakukan literasi dari berbagai penelitian yang sudah
dilakukan tentang model pembelajaran berbasis teori Van Hiele dalam meningkatkan kemampuan
komunikasi matematika. Studi literatur dideskripsikan sebagai penelitian yang tidak mengharuskan
peneliti harus terjun kelapangan (Melfianora, 2017) penelitian ini dilaksanakan dengan
mengumpulkan data dari berbagai sumber atau dokumen melalui 31 jurnal yang dianggap relevan
untuk memperoleh data penelitian.
B. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode Studi Literatur dengan menggunakan metode ini peneliti
melakukan pengumpulan data dengan pengambilan data di pustaka, dengan membaca, mencatat dan
mengolah sumber tersebut sebagai bahan penelitian dengan sebuah strategi dalam bentuk metodologi
(Melfianora, 2017). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran berbasis
teori Van Hiele terhadap kemampuan berpikir siswa dengan mengkaji, mencatat dan mengelola
jurnal-jurnal yang relevan dengan Van Hiele dan kemampuan berpikir siswa serta jurnal yang
menunjukan pengaruh pembelajaran Van Hiele dalam meningkatkan kemampuan berpikir siswa.
Jurnal-Jurnal tersebut dipilih berdasarkan kriteria tertentu untuk memperoleh data yang relevan.
kriteria tersebut diantaranya (1) terdapat nama penulis, (2) terdapat judul penelitian, dan (3) Relevan.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN


1. Kemampuan Berpikir Siswa

Ruggiero (dalam Risnanosanti, 2010: 28) mengartikan berpikir sebagai suatu aktivitas
mental untuk membantu memformulasikan atau memecahkan suatu masalah, membuat suatu
keputusan, atau memenuhi hasrat keingintahuan (fulfill a desire to understand). Pendapat ini
menunjukkan bahwa ketika seseorang merumuskan suatu masalah, memecahkan masalah, ataupun
ingin memahami sesuatu, maka seseorang tersebut melakukan aktivitas berpikir. Jenis-jenis
berpikir sebagai suatu kemampuan mental seseorang dalam melakukan aktivitas berpikir salah
satunya adalah berpikir kreatif.
Setiap siswa memiliki kemampuan yang berbeda dalam memecahkan masalah matematika (i.e.,
[7], [8]). Beberapa dari mereka memperhatikan masalah yang diberikan dengan cara
menyelesaikannya secara hierarkis, namun ada juga siswa yang hanya sembarangan menjawab
masalah saat menghadapi ujian. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, dapat dikatakan bahwa setiap
siswa memiliki proses pemikiran atau rencana berpikir yang berbeda dalam memecahkan masalah.
Oleh karena itu mereka membutuhkan instruksi yang berbeda [9]. Sehubungan dengan permasalahan-
permasalahan yang telah dipaparkan, penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan untuk mengetahui
kemampuan berpikir kritis siswa dari hasil penyelesaian soal performance task yang diberikan. Hasil
peneltian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang kemampuan berpikir kritis sisiwa dalam
disiplin ilmu matematika, sehingga dapat membantu mengembangkan pola pikir siswa dalam
menghadapi masalah dan tantangan di era modern saat ini.
NCTM (2000, p.11) menjelaskan bahwa terdapat enam prinsip untuk mencapai matematika
sekolah yang berkualitas tinggi, yaitu: kesetaraan (equity), kurikulum (curriculum), pengajaran
(teaching), pembelajaran (learning), penilaian (assessment), dan teknologi (technology). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa prinsip pembelajaran adalah “students must learn mathematics with understanding,
actively building new knowledge from experience and prior knowledge”. Prinsip pembelajaran ini
didasarkan pada dua ide dasar. Pertama, belajar matematika tidak hanya memerlukan keterampilan
menghitung tetapi juga memerlukan kecakapan untuk berfikir dan beralasan secara matematis untuk
menyelesaikan soal-soal baru dan mempelajari ide-ide baru yang akan digunakan siswa dalam
menghadapi tantangan di masa yang akan datang. Kedua, prinsip tersebut menegaskan bahwa siswa
dapat belajar matematika dengan pemahaman. Belajar ditingkatkan di dalam kelas dengan cara
meminta para siswa untuk menilai ide-ide mereka sendiri atau ide-ide temannya, didorong untuk
membuat dugaan tentang matematika lalu mengujinya dan mengembangkan keterampilan memberi
alasan yang logis.
Menurut Hodiyanto (2017) matematika digambarkan sebagai Bahasa bagi matematika itu sendiri.
Matematika tidak hanya alat untuk berpikir untuk memecahkan masalah namun juga sebuah alat
untuk berkomunikasi, yaitu mengkomunikasikan pikiran, suatu individu dengan jelas, tepat dan
ringkas. Menjadi sebuah keharusan bagi setiap orang memiliki kemampuan komunikasi matematika
agar dapat menyampaikan informasi ataupun ide menggunakan bahasa matematika. National Council
of Teacher of Mathematics (NCTM) dalam Hodiyanto (2017) dikatakan bahwa dalam Principles and
Standard fo School Mathematics dirumuskan standar komunikasi dengan tujuan untuk menjamin
suatu proses pembelajaran matematika dapat mengembangkan kemampuan siswa diantaranya : 1.
Menyusun dan memadukan pemikiran matematika dengan komunikasi. 2. Mengkomunikasikan ide
matematika secara logis dan sistematis kepada guru, siswa maupun orang lain. 3. Menganalisis dan
menilai (mengevaluasi) pemikiran dan strategi matematik orang lain.

2. Teori Van Hiele

Teori Van Hiele merupakan teori yang berkaitan dengan pembelajaran matematika geometri
yang dikembangkan oleh pasangan suami istri pendidikan di Belanda yaitu Pierre Van Hiele dan Dina
Van Hiele Geldof. Pasangan ini melakukan pengamatan dengan memperhatikan kesulitan yang
dialami siswa saat mempelajari geometri (Nur’aeni 2008). Menurut Nur’aeni (2008) penelitian yang
dilakukan oleh pengajar di Belanda tersebut mengembangkan teori tentang tingkat berpikir dalam
geometri yang dialami siswa ketika melakukan pembelajaran geometri. Teori yang dikembangkan
oleh mereka menggambarkan alasan banyak siswa merasakan kesulitan ketika belajar tentang
geometri. Dalam Nuraeni (2008) menyatakan bahwa Van Hiele meyakini siswa memerlukan
pengalaman (experience) yang lebih banyak pada pemikiran ditingkat rendah sebelum mempelajari
konsep geometrik yang lebih sulit.

Teori Van Hiele memiliki karakteristik tersendiri yang membedakan dengan teori yang lain
seperti dalam Nur’aeni (2010) karakteristik teori Van Hiele diantaranya; (1) Tingkatan pemahaman
geometri teori Van Hiele bersifat rangkaian yang berurutan. (2) Sesuatu yang implisit pada suatu
tingkatan akan menjadi eksplisit pada tingkatan berikutnya. (3) Jika mengajarkan menggunakan bahan
yang diatas tingkat pemahaman siswa dianggap sebagai reduksi tingkatan. (4) Perkembangan setiap
tingkat pemahaman geometri siswa tergantung pada pengalaman belajar sebelumnya. Menurut
Abdussakir (2009) dalam karakteristik tingkat berpikir teori Van Hiele kecepatan siswa dalam
meningkatkan tingkat berpikirnya lebih banyak dipengaruhi oleh aktivitas dalam proses pembelajaran.

Dalam mempelajari geometri kita dapat memanfaatkan teori Van Hiele sebagai model dalam
pembelajaran matematika karena teori Van Hiele lebih memfokuskan pada pembelajaran geometri
sehingga teori ini bisa dijadikan sumber teori bagi guru untuk memecahkan permasalahan siswa
ketika belajar geometri seperti pendapat Nur’aeni (2010) menyatakan beberapa alasan kuat teori Van
Hiele digunakan sebagai dasar dalam mengembangakan pembelajaran geometri untuk menumbuhkan
kemampuan komunikasi matematika diantaranya yaitu ; 1) Teori Van Hiele fokus belajar geometri. 2)
Pada teori Van Hiele terdapat tingkatan atau level pemahaman siswa dalam belajar geometri. Pada
masing-masing tingkatan menjelaskan proses berpikir individu dalam belajar geometi. 3) Setiap
tingkatan memiliki simbol bahasa tersendiri. 4) Teori Van Hiele menggambarkan deskripsi secara
umum pada setiap tahap-tahap pembelajaran. 5) Teori ini mempunyai keakuratan dalam
menggambarkan proses berpikir siswa dalam belajar geometri. Dari kelima alasan tersebut bisa
dijadikan dasar mengapa pengajar menggunakan teori ini untuk mengatasi masalah siswa ketika
belajar geometri dan menciptakan tingkatan berpikir geometri. Menurut Nur’aeni (2010) guru dan
siswa memiliki tingkat level yang berbeda sehingga akan mengalami hambatan dalam komunikasi
pemikiran atau simbol linguistik yang berbeda. Maka dari itu guru harus menyesuaikan dengan
tingkatan level siswa ketika berkomunikasi agar siswa tidak mengalami kesulitan ketika memahami
konsep yang disampaikan.

Lima Tahap Pemahaman Geometri


1. Tahap Pengenalan
Pada tahap ini siswa hanya baru mengenal bangun-bangun geometri seperti bola, kubus, segitiga,
persegi dan bangun-bangun geometri lainnya. Seandainya kita hadapkan dengan sejumlah bangun-
bangun geornetri, anak dapat memilih dan menunjukkan bentuk segitiga. Pada tahap pengenalan anak
belum dapat menyebutkan sifat-sifat dari bangun-bangun geometri yang dikenalnya sifat-sifat dari
bangun-bangun geometri yang dikenalnya itu.
2. Tahap Analisis
Pada tahap ini anak sudah mengenal sifat-sifat bangun geometri, seperti pada sebuah kubus banyak
sisinya ada 6 buah, sedangkan banyak rusuknya ada 12. Seandainya kita tanyakan apakah kubus itu
balok?, maka anak pada tahap ini belum bisa menjawab pertanyaan tersebut karena anak pada tahap
ini belum memahami hubungan antara balok dan kubus. Anak pada tahap analisis belum mampu
mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya.
3. Tahap Pengurutan
Pada tahap ini pemahaman siswa terhadap geometri lebih meningkat lagi dari sebelumnya yang hanya
mengenal bangun-bangun geometri beserta sifat-sifatnya, maka pada tahap ini anak sudah mampu
mengetahui hubungan yang terkait antara suatu bangun geometri dengan bangun geometri lainnya.
Anak yang berada pada tahap ini sudah memahami pengurutan bangun-bangun geometri. Misalnya,
siswa sudah mengetahui jajargenjang itu trapesium, belah ketupat adalah layang-layang, kubus itu
adalah balok. Pada tahap ini anak sudah mulai mampu untuk melakukan penarikan kesimpulan secara
deduktif, tetapi masih pada tahap awal artinya belum berkembang baik.
4. Tahap Deduksi
Pada tahap ini anak sudah dapat memahami deduksi, yaitu mengambil kesimpulan secara deduktif.
Pengambilan kesimpulan secara deduktif yaitu penarikan kesimpulan dari hal-hal yang bersifat
khusus. Seperti kita ketahui bahwa matematika adalah ilmu deduktif. Matematika, dikatakan sebagai
ilmu deduktif karena pengambilan kesimpulan, membuktikan teorema dan lain-lain dilakukan dengan
cara deduktif.
5. Tahap Keakuratan
Tahap terakhir dari perkembangan kognitif anak dalam memahami geometri adalah tahap keakuratan.
Pada tahap ini anak sudah memahami betapa pentingnya ketepatan dari prinsip-prinsip dasar yang
melandasi suatu pembuktian. Anak pada tahap ini sudah memahami mengapa sesuatu itu dijadikan
postulat atau dalil. Dalam matematika kita tahu bahwa betapa pentingnya suatu sistem deduktif.
Tahap keakuratan merupakan tahap tertinggi dalam memahami geometri. Pada tahap ini memerlukan
tahap berpikir yang kompleks dan rumit. Oleh karena itu, jarang atau hanya sedikit sekali anak yang
sampai pada tahap berpikir ini sekalipun anak tersebut sudah berada di tingkat SMA.

Tiga unsur yang utama pembelajaran geometri yaitu waktu, materi pembelajaran dan metode
penyusun yang apabila dikelola secara terpadu dapat mengakibatkan meningkatnya kemampuan
berpikir anak kepada tahap yang lebih tinggi dari tahap yang sebelumnya.

Bila dua orang yang mempunyai tahap berpikir berlainan satu sama lain, kemudian saling
bertukar pikiran maka kedua orang tersebut tidak akan mengerti. Sebagai contoh, seorang anak tidak
mengerti mengapa gurunya membuktikan bahwa jumlah sudut-sudut dalam sebuah jajargenjang
adalah 360o, misalnya anak itu berada pada tahap pengurutan ke bawah. Menurut anak pada tahap
yang disebutkan, pembuktiannya tidak perlu sebab sudah jelas bahwa jumlah sudut-sudutnya adalah
360°. Contoh yang lain, seorang anak yang berada paling tinggi pada tahap kedua atau tahap analisis,
tidak mengerti apa yang dijelaskan gurunya bahwa kubus itu adalah balok, belah ketupat itu layang-
layang. Gurunya pun sering tidak mengerti mengapa anak yang diberi penjelasan tersebut tidak
memahaminya. Menurut Van Hiele seorang anak yang berada pada tingkat yang lebih rendah tidak
mungkin dapat mengerti atau memahami materi yang berada pada tingkat yang lebih tinggi dari anak
tersebut. Kalaupun anak itu dipaksakan untuk memahaminya, anak itu baru bisa memahami melalui
hafalan saja bukan melalui pengertian.

D. SIMPULAN

Berdasarkan hasil studi literatur yang dilakukan tentang pengaruh model pembelajaran berbasis
teori Van Hiele terhadap komunikasi matematika siswa maka dapat diambil kesimpulan dari bahasan
pada bab sebelumnya. Alasan pembelajaran berbasis teori Van Hiele dapat meningkatkan kemampuan
komunikasi matematika yaitu (1) Pada setiap tahapan pembelajaran Van Hiele siswa diharuskan untuk
aktif dalam memberikan pendapat, ide, atau gagasan siswa dengan argumen yang tepat sesuai dengan
logika. (2) Pada tahap pembelajaran Van Hiele tepatnya pada tahap informasi guru mengidentifikasi
apa yang diketahui siswa tentang topik yang akan dipelajari melalui komunikasi antara guru dan siswa
terdapat aktivitas dan percakapan mengenai objek yang diamati. (3) Fase-fase dalam pembelajaran
Van Hiele dapat memberikan kontribusi terhadap kemampuan komunikasi (Chotimah dkk. 2016).

Selain itu penerapan pembelajaran berbasis teori Van Hiele dapat menggunakan tahap-tahap
pembelajaran Van Hiele. Dengan merancang kegiatan berdasarkan tahap pembelajaran Van Hiele
serta memperhatikan tingkat berpikir geometri dapat menciptakan pembelajaran yang lebih aktif
dalam mengungkapkan ide atau gagasannya menggunakan bahasa sendiri. Kemampuan komunikasi
matematika dapat ditingkatkan melalui pembelajaran Van hiele dari sepuluh jurnal dan artikel yang
dianalisis menunjukan hasil yang sama bahwa pembelajaran berbasis teori Van Hiele efektif untuk
meningkatkan komunikasi matematika siswa. Oleh karena itu, pembelajaran ini bisa menjadi alternatif
yang dapat dilakukan guru untuk meningkatkan kemampuan berpikir dan komunikasi Siswa dalam
materi geometri bidan datar.

Kesimpulan menggambarkan jawaban dari hipotesis dan/atau tujuan penelitian atau temuan
ilmiah yang diperoleh. Kesimpulan bukan berisi perulangan dari hasil dan pembahasan, tetapi lebih
kepada ringkasan hasil temuan seperti yang diharapkan di tujuan atau hipotesis. Bila perlu, di bagian
akhir kesimpulan dapat juga dituliskan hal-hal yang akan dilakukan terkait dengan gagasan
selanjutnya dari penelitian tersebut.

E. DAFTAR PUSTAKA

Amir, Z., dan Risnawati. (2015). Psikologi Pembelajaran Matematika. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

Anggraini, A., & Leonard. (n.d.). Peran Kemampuan Komunikasi Matematika Terhadap Prestasi
Belajar Matematika. 2(2).

Astuti, a., & Leonard. (n.d.). Peran Kemampuan Komunikasi Matematika Terhadap prestasi belajar
matematika. 2(2).
Izzati dkk. (n.d).Pengaruh Penerapan Teori Van Hiele Berbantuan Software Wingeom Terhadap
Kemampuan Penalaran Matematika Siswa Pada Materi Geometri.ITEJ(Information
Technology Engineering Journals).

Melfianora. (2019). Penulisan Karya Tulis Ilmiah Dengan Studi Literatur. Diakses dari: osf.io/efmc2

Mursalin. (2016). Pembelajaran Geometri Bidang Datar di Sekolah Dasar Berorientasi Teori Belajar
Piaget. Jurnal Dikma, 4 (2) hlm. 250-258. National Council of Teachers of Mathematics.
Executive Summary: Principles and Standards for School Mathematics. [Online]. Diakses
dari: https://www.nctm.org/uploade dFiles/Standards_and_Positions
/PSSM_ExecutiveSummary.pdf

Mandur, K., Sadra, I.W., Suparta, I.N. (2013). Kontribusi Kemampuan Koneksi, Kemampuan
Representasi, dan Disposisi Matematis terhadap Prestasi Belajar Matematika Siswa SMA
Swasta di Kabupaten Manggarai. e-Journal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan
Ganesha, 2(2). http://oldpasca.undiksha.ac.id/ejournal/index.php/JPM/article/view/885.
Diakses 7 Januari 2019.

Nur'aeni, dkk. (2016). Konsep Dasar Geometri. UPI Kampus Tasikmalaya: Hibah Buku UPI.

Nur'aeni, E. (2008). Teori Van hiele Dan Komunikasi Matematik (Apa, Mengapa, Dan Bagaimana).
124-138.

Nur'aeni. (2010).Pengembangan Kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa Sekolah


Dasar Melalui Pembelajaran Geometri Berbasis Teori Van Hiele . (Disertasi). Sekolah
Pascasarjana UPI Bandung.

Risnanosanti. 2010. Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis dan Self Efficacy terhadap Matematika
Siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) dalam Pembelajaran Inkuiri. Disertasi UPI
Bandung: Tidak Dipublikasikan.

Surya, E., Putri, F. A., Mukhtar. 2017. Improving Mathematical Problem Solving Ability and Self-
Confidence of High School Students Through Contextual Learning Model. Journal on
Mathematics Education. Vol. 8, No. 1, January 2017. ISSN 2087-8885.

Suryani, N., Setiawan, A., Putria, A. (2018). Media Pembelajaran Inovatif dan Pengembangannya.
Bandung: Remaja Rosdakarya

Sumarmo, U. (2010). Berpikir Dan Disposisi Matematik: Apa, Mengapa, Dan Bagaimana
Dikembangkan Pada Peserta Didik. Bandung: Makalah FPMIPA UPI.

Anda mungkin juga menyukai