Anda di halaman 1dari 15

Epidemiologi

Setiap tahun, 1,4 juta orang di seluruh dunia kehilangan nyawa mereka akibat
kekerasan. Kekerasan adalah penyebab utama kelima kematian di dunia, dan pada orang yang
berusia di bawah 40 tahun, ini adalah penyebab utama kematian.1 Korban yang meninggal
akibat kekerasan, 56% meninggal dengan tangan mereka sendiri, dan 33% ditimbulkan oleh
orang lain.4 Lebih dari 90% kematian terkait kekerasan terjadi di negara berpenghasilan
rendah dan menengah.2 
Tahun 2013 di Indonesia terdapat peningkatan prevalensi kekerasan menjadi 8,2%
dengan penyebab terbanyak adalah kecelakaan sepeda motor (40,6%), dan kekerasan akibat
benda tajam atau tumpul (7,3%).2 Kekerasan akibat kecelakaan lalu lintas menempati posisi
10 besar penyebab kematian.3 
Jenis luka yang ditimbulkan akibat kekerasan tumpul yang sering dijumpai antara lain
luka memar, luka lecet, luka robek, serta patah tulang. Luka-luka 
tersebut dapat menyebabkan dampak kerusakan jaringan maupun organ bervariasi mulai dari
ringan hingga berat, bahkan lebih parah yaitu kematian. Sebab kematian terjadi karena
kerusakan organ vital atau perdarahan yang banyak.
Jenis luka terbanyak yang dialami penduduk akibat kekerasan tumpul adalah luka
lecet atau memar (70,9%), dan luka robek (23,2%). Urutan proporsi terbanyak untuk tempat
terjadinya kekerasan tumpul, yaitu di jalan raya (42,8%), rumah (36,5%), area pertanian
(6,9%), dan sekolah (5,4%). Proporsi terbanyak terjadi pada umur 15-24 tahun, laki-laki,
tamat SMA dan status pegawai.4 Ekstremitas adalah bagian yang paling sering terkena
kekerasan pada semua kelompok usia, pada laki-laki dan perempuan.1 
Insiden terjadinya trauma kepala sangat bervariasi pada tiap-tiap negara. Pada negara
berkembang angka kejadiannya 100 kali lebih banyak bila dibandingkan dengan negara maju.
Di Amerika angka kejadian trauma kapitis sebanyak 300 dalam 100.000 kasus setiap
tahunnya. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa laki-laki 2 kali lebih beresiko terjadi
trauma kapitis bila dibandingkan dengan perempuan. Penelitian yang terbanyak bahwa
trauma ini paling sering terjadi pada usia 15-24 tahun.5
Menurut suatu penelitian di Inggris, distribusi usia pada kejadian kecelakaan lalu
lintas pengendara sepeda motor yang serius dan fatal terbanyak pada usia 15-44 tahun.
Sedangkan distribusi jenis kelamin pada terjadinya kecelakaan sepeda motor didominasi oleh
jenis kelamin pria dengan perbandingan 17 kali lebih banyak bila dibandingkan dengan
perempuan.5
Jenis-Jenis Kelainan pada Kepala akibat Kekerasan Tumpul

Kekerasan benda tumpul pada kepala dapat mengenai bagian-bagian kepala tertentu
dengan efek yang masing-masing yaitu pada :
1) Kulit dapat menyebabkan :
a) L. Lecet
b) L. Memar
c) L. Robek

2) Tengkorak dapat terjadi :


a) Fraktur Basis Cranii
b) Fraktur Calvaria

3) Otak

a) Contusio Cerebri
b) Laceratio Cerebri
c) Oedema Cerebri
d) Commotio Cerebri

4) Selaput Otak

a) Epidural Haemorrhage
b) Sub dural Haemorrhage
c) Sub arachnoid Haemorrhage

A. Trauma Cranium (Tulang Tengkorak)


Beberapa klasifikasi fraktur tulang tengkorak dapat dilakukan berdasarkan :
1. Gambaran fraktur, dibedakan atas :
a. Linier
b. Diastase
c. Comminuted
d. Depressed
2. Lokasi anatomis, dibedakan atas :
a. Konveksitas (kubah tengkorak)
b. Basis cranii (dasar tengkorak)
3. Keadaan luka, dibedakan atas :
a. Terbuka
b. Tertutup

1. Fraktur Linier
Fraktur linier merupakan garis fraktur tunggal pada tengkorak yang meliputi seluruh
ketebalan tulang. Umumnya disebabkan oleh benturan dengan objek yang keras dengan
ukuran sedang, yaitu dengan luas lebih dari 5 cm2. Pada benturan yang terjadi, sebagian
besar energi tidak digunakan untuk menimbulkan deformitas lokal pada tulang tengkorak.
Bila fraktur linier ini didapatkan melintasi daerah perdarahan a.meningea media, perlu
dicurigai terjadinya hematoma epidural arterial. Bila garis fraktur yang dijumpai melintasi
daerah sinus longitudinal superior atau sinus lateralis maka perlu dicurigai adanya
hematoma epidural vena.

Gambar 3. Fraktur linier disebabkan oleh benturan keras pada kepala yang mengenai jalan
raya akibat kecelakaan lalu lintas.
2. Fraktur Diastase
Fraktur diastase adalah fraktur yang terjadi pada sutura tulang tengkorak, dan berakibat
terjadinya pemisahan sutura kranial tersebut. Fraktur ini sering terjadi pada anak di bawah
usia 3 tahun, sedangkan pada orang dewasa relatif lebih jarang. Fraktur diastase yang terjadi
pada sutura lambdoidea memiliki resiko terjadinya hematoma epidural.

Gambar 4. Fraktur diastase pada Coronal Suture Line (CSL) dan Sagital Suture Line (SSL).
Fraktur Comminuted
Fraktur comminuted adalah fraktur yang menyebabkan terjadinya lebih dari satu fragmen
patahan tulang, namun masih dalam satu bidang. Beberapa literatur tidak membedakan
fraktur ini dengan fraktur linier, karena diasumsikan merupakan bentuk fraktur linier yang
multipel.

Gambar 5. Gambaran fraktur comminuted

3. Fraktur Deppressed
Fraktur ini disebababkan oleh benturan dengan beban tenaga yang lebih besar daripada
fraktur linier, dengan permukaan benturan yang lebih kecil. Misalnya benturan oleh martil,
kayu, batu, pipa besi, dll. Fenomena kontak yang terjadi disini lebih terfokus dan lebih padat
sehingga akhirnya melebihi kapasitas elastisitas tulang dan terjadilah perforasi tulang.
Fraktur deppressed diartikan sebagai fraktur dengan tabula eksterna pecahan fraktur yang
tertekan masuk ke dalam sehingga terletak di bawah level anatomik tabula interna tulang
tengkorak sekitanya yang utuh. Sebagai akibat impaksi tulang ini, dapat terjadi penetrasi
terhadap duramater dan jaringan otak di bawahnya, dan dapat berakibat kerusakan struktural
dari jaringan otak tersebut.

Gambar 6. Fraktur depressed pada tulang tengkorak

4. Fraktur Konveksitas
Fraktur konveksitas adalah fraktur yang terjadi pada tulang-tulang yang membentuk
konveksitas (kubah) tengkorak seperti os frontalis, os temporalis, os parietalis, dan os
occipitalis. Fraktur konveksitas dapat berupa fraktur linier, deppressed, kominutif, atau
diastase.

Gambar 7. Fraktur konveksitas dengan hematoma subgaleal yang luas


(pemeriksaan postmortem)
5. Fraktur Basis Cranii
Fraktur basis cranii adalah fraktur yang lokasinya terletak pada dasar cranium, yang dapat
terjadi pada fossa aterior, fossa media, maupun fossa posterior. Fraktur jenis ini merupakan
kondisi yang serius, dapat berakibat fatal, dan memiliki komplikasi yang tidak ringan.
Beberapa literatur memberikan perkiraan kasus fraktur basis cranii mencapai 3 - 24 % dari
total seluruh kasus cedera kepala. Fraktur basis cranii sering disertai dengan robeknya lapsan
duramater, sehingga terjadi kebocoran cairan serebrospinal, yang akhirnya mengakibatkan
terjadinya rhinorea dan otorhea. Adanya kebocoran cairan serebrospinal memberikan resiko
tinggi terjadinya infeksi selaput otak maupun jaringan otak.
Fraktur pada masing-masing fossa akan memberikan manifestasi berbeda :
a. Fraktur Basis Cranii Fossa Anterior
Bagian posterior dari fossa anterior dibatasi oleh os sphenoid, processus clinoidalis anterior
dan jugum sphenoidalis. Manifestasi yang ditimbulkan adalah rhinorea cairan serebrospinal,
hematoma subkonjungtiva, dan ekimosis periorbita, bisa bilateral, biasa disebut sebagai brill
hematoma atau raccoon eyes. Ekimosis periorbita disebabkan oleh adanya perdarahan pada
struktur di belakangnya, bukan karena cedera langsung pada derah orbital. Untuk
membedakannya, dapat diperhatikan bahwa pada tanda ini batasnya tegas, selalu terletak di
bawah tepi orbita dan tidak didapatkan cedera lokal pada lapisan kulit.
b. Fraktur Basis Cranii Fossa Media
Bagian anterior langsung berbatasan dengan fossa anterior sedangkan bagian posterior
dibatasi oleh pyramida petrosus os temporalis, processus clinoidalis posterior dan dorsum
sella. Manifestasi yang dapat ditemukan adalah ekimosis pada mastoid (battle’s sign) yang
muncul 24-48 jam setelah cedera kepala terjadi, otorhea, dan hemotimpanum yaitu darah
yang dijumpai pada canalis auricularis eksterna, dapat terjadi bila membran timpani robek.
Gambar 8. Hematoma retroauriculer (battle’s sign) pada fraktur basis cranii fossa media

c. Fraktur Basis Cranii Fossa Posterior


Fossa posterior merupakan dasar dari kompartemen infratentorial. Fraktur pada daerah ini
kadang memberikan tanda battle’s sign, akan tetapi sering tidak disertai dengan gejala dan
tanda yang jelas, dan dapat menimbulkan kematian dalam waktu singkat karena penekanan
terhadap batang otak.

B. Trauma Serebrum ( Cedera Otak )


Cedera otak dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder.
1. Kerusakan Primer
Cedera kepala primer adalah kerusakan yang terjadi pada masa akut, yaitu terjadi segera saat
benturan terjadi sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi
jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal ataupun difus.
a. Kerusakan Fokal
Kerusakan fokal merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak,
tergantung pada mekanisme cedera yang terjadi. Kerusakan fokal yang timbul dapat berupa :
 Kontusio serebri
Kontusio serebri adalah kerusakan jaringan otak tanpa disertai robeknya piamater. Istilah
kontusio digunakan untuk menyatakan adanya cedera atau gangguan pada jaringan otak
yang lebih berat dari konkusi (concussion), dengan memiliki karakteristik adanya kerusakan
sel saraf dan aksonal, dengan titik-titik perdarahan kapiler dan edema jaringan otak.
Terutama melibatkan puncak-puncak gyrus karena bagian ini akan bergesekan dengan
penonjolan dan lekukan tulang saat terjadi benturan.

Gambar 9. Kontusio pada dasar lobus temporal dan frontal, disebut juga ’burst lobe’

Kontusio dapat terjadi pada lokasi benturan (coup contussion), di tempat lain (countrecoup
contussion) atau dapat pula terjadi diantara lesi coup dan countercoup yang disebut sebgai
intermediate-coup contussion.

Gambar 10. Lesi coup dan countrecoup sehubungan dengan mekanisme


Cedera kepala

Lesi kontusio sering berkembang sejalan dengan waktu, sebabnya antara lain adalah
perdarahan yang terus berlangsung, iskemik nekrosis, dan diikuti oleh edema vasogenik.
Kontusio tampak tidak terlalu berat, namun dapat mengakibatkan kematian karena adanya
komplikasi yang ditimbulkan, misalnya komplikasi kardiopulmonal.
 Laserasi serebri
Laserasi serebri adalah kontusio serebral yang berat, dimana mengakibatkan gangguan
kontinuitas jaringan otak yang kasat mata, dan dalam hal ini terdapat kerusakan atau
robeknya piamater. Laserasi biasanya berkaitan dengan adanya perdarahan subarachnoid
traumatika, subdural akut, dan intraserebral. Laserasi dapat dibedakan atas laserasi langsung
dan tidak langsung. Laserasi langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang disebabkan
oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama pada fraktur depressed terbuka.
Sedangkan laserasi tak langsung disebabkan oleh deformasi jaringan yang hebat akibat
kekuatan mekanis.

 Perdarahan intrakranial
1) Hematoma Epidural
Hematoma epidural atau dalam beberapa literatur disebut pula sebagai hematoma
ekstradural, adalah keadaan dimana terjadi penumpukan darah diantara duramater dan tabula
interna tulang tengkorak. Umumnya disebabkan oleh trauma tumpul kepala, yang
mengakibatkan terjadinya fraktur linier, namun dapat pula tanpa disertai fraktur. Lokasi
yang paling sering adalah di bagian temporal atau temporoparietal ( 70 % ) dan sisanya di
bagian frontal, oksipital, dan fossa serebri posterior. Darah pada hematoma epidural
membeku, berbentuk bikonveks.
Sumber perdarahan yang paling sering adalah dari cabang a.meningea media, akibat fraktur
yang terjadi di bagian temporal tengkorak. Namun dapat pula dari arteri dan vena lainnya,
atau bahkan keduanya. Hematoma epidural yang tidak disertai fraktur tulang tengkorak akan
memiliki kecenderungan lebih berat, karena peningkatan tekanan intrakranial akan lebih
cepat terjadi.
Gambar 11. Hematoma epidural
2) Hematoma Subdural
Hematoma subdural adalah perdarahan yang terjadi diantara lapisan duramater dan
arachnoidea. Perdarahan yang terjadi dapat berasal dari pecahnya bridging vein yang
melintas dari ruang subarachnoidea atau korteks serebri ke ruang subdural, dengan bermuara
dalam sinus venosus duramater. Selain itu dapat pula akibat robekan pembuluh darah
kortikal, subarachnoidea, atau arachnoidea yang disertai robeknya lapisan arachnoidea.
Perdarahan jenis ini relatif lebih banyak terjadi daripada hematoma epidural, dan memiliki
angka mortalitas yang tinggi, antara 60-70 % untuk yang sifatnya akut.

Gambar 12. Hematoma subdural

3) Hematoma Sub Arachnoid


Hematoma sub arachnoid terjadi akibat rupturnya bridging vein pada ruang sub arachnoid,
atau pembuluh darah yang ada pada permukaan jaringan otak. Robekan pembuluh darah
terjadi akibat gerakan dindingnya yang timbul kala otak bergerak atau menggeser.
Perdarahan terletak antara arachnoid dan piamater, mengisi ruang subarachnoid dan masuk
ke dalam sistem cairan serebrospinalis. Umumnya lesi disertai dengan kontusio atau laserasi
serebri. Perdarahan subarachnoid yang terjadi murni tanpa ada lesi lain hanya sekitar 10 %.
Darah yang masuk ke dalam subarachnoid dan sistem cairan serebrospinalis tersebut akan
menyebabkan terjadinya iritasi meningeal.
Adanya darah dalam ruang subarachnoid ini akan berakibat arteri mengalami spasme.
Sebagai akibatnya aliran darah ke otak sangat berkurang, bahkan diduga dapat turun hingga
tinggal 40 %. Vasospasme biasanya mulai terjadi pada hari ketiga dan mencapai puncaknya
pada hari ke 6-8, dan akhirnya menghilang pada hari ke-12. Vasospasme ini akan
menyebabkan terganggunya mikrosirkulasi dalam otak dan sebagai dampaknya akan terjadi
edema otak.
Perdarahan subarachnoid yang terjadi pada cedera kepala dapat juga mengakibatkan
terjadinya hidrosefalus, baik tipe komunikan maupun non komunikan. Tipe komunikan
terjadi bila produk darah mengobstruksi villi arachnoid, sedangkan tipe non komunikans
dapat terjadi bila bekuan darah mengobstruksi ventrikel keempat atau ketiga.

Gambar 13. Hematoma subarachnoid. (A) Hematoma subarachnoid pada lobus occipital
pada kasus Diffuse Axonal Injury. (B) Hematoma subarachnoid pada lobus frontal dan lobus
parietal. (C) Hematoma subarachnoid yang kecil pada fissura sylvii.

4) Hematoma intraserebri
Hematoma intraserebri adalah perdarahan yang terjadi dalam jaringan (parenkim otak).
Perdarahan terjadi akibat adanya laserasi atau kontusio jaringan otak yang menyebabkan
pecahnya pula pembuluh darah yang ada di dalam jaringan otak tersebut. Perdarahan dapat
berlokasi di bagian mana saja, misalnya di substansia alba hemisfer serebri, serebellum,
diensefalon, atau mungkin juga di corpus callosum. Akan tetapi lokasi yang paling sering
adalah lobus frontalis dan temporalis. Lesi perdarahan dapat terjadi pada sisi benturan
(coup) atau pada sisi lainnya (countre-coup).
Lesi dapat berupa fokus perdarahan kecil-kecil, namun dapat pula berupa perdarahan yang
luas. Perdarahan yang kecil-kecil umumnya sebagai akibat lesi akselerasi-deselerasi,
sedangkan yang besar umumnya akibat laserasi atau kontusio serebri berat. Beberapa
sumber menyatakan definisi hematoma intraserebri adalah perdarahan lebih dari 5 cc,
sedangkan bila kurang maka disebut petechial intraserebri (kontusio serebri). Perdarahan
dapat terjadi segera, dapat pula beberapa hari atau minggu kemudian, khususnya pada pasien
lanjut usia.
Perdarahan pada lobus temporal memberikan resiko besar terjadinya herniasi uncus yang
berakibat fatal. Hematoma intraserebral yang disertai dengan hematoma subdural, kontusio
atau laserasi pada daerah yang sama memiliki efek yang juga fatal, dan disebut sebagai
”burst lobe”. Bentuk perdarahan lainnya adalah yang disebut Bollinger’s apoplexy, yaitu
hematoma intraserebral yang terjadi setelah beberapa minggu (atau bulan) setelah cedera dan
selama waktu tersebuut pasien dalam keadaan neurologis yang normal. Hal ini berkaitan
dengan keadaan hipotensi, syok, DIC, dan konsumsi alkohol.

Gambar 14. Dua area hematoma intraserebral pada whhite matter (kiri) dan di ganglia basal
(kanan).

5) Hematoma Intraventrikuler
Hematoma intraventrikuler adalah adanya darah dalam sistem ventrikel, dalam hal ini akibat
trauma. Sumber perdarahan tidak selalu mudah diketahui, bahkan biasanya sulit ditemukan,
mungkin dari robekan vena di dinding ventrikel, korpus kalosum, septum pelusidum,
forniks, atau pada pleksus koroid. Dapat pula sebagai perluasan dan perdarahan di lobus
temporal atau frontal, atau ganglia basalis.
Biasanya hematoma ini didapatkan menyertai trauma kepala dengan hematoma
subarachnoid. Cedera kepala yang sampai menyebabkan perdarahan intraventrikel ini
merupakan cedera yang sangat berat, dan karenanya memiliki mortalitas yang tinggi.
Gambar 15. hematoma intraventrikular

b. Kerusakan Difus
Kerusakan difus adalah kerusakan yang sifatnya berupa disfungsi menyeluruh dari otak, dan
umumnya bersifat mikroskopis. Kerusakan ini paling sering disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas dengan kecepatan tinggi sehingga terjadi mekanisme akselerasi dan deselerasi.
Angulasi, rotasi, dan peregangan yang timbul menyebabkan robekan serabut saraf pada
berbagai tempat yang sifatnya menyeluruh. Berdasarkan gambaran patologinya, kerusakan
difus ini dibedakan atas:
 Diffuse Axonal Injury (DAI)
DAI adalah adanya kerusakan akson yang difus dalam hemisfer serebri, korpus kalosum,
batang otak, dan serebelum (pedunkulus). Awalnya, kekuatan renggang pada saat benturan
melebihi level ketahanan akson, sehingga terjadi sobekan atau fragmentasi aksolemma, dan
keteraturan susunan sitoskeleton akson akan menjadi rusak. Terjadi pada saat benturan,
tetapi ada yang memberi batas waktu dalam 60 menit sejak kejadian (primer axotomy).
Aksolemma dan susunan membran pada awalnya masih utuh, walaupun susunan
sitoskeleton akson terganggu. Penghantaran aksoplasma akan terbendung pada sitoskeleton
yang mengalami kerusakan sehingga terjadi pembengkakan akson (retraction ball), yang
pada akhirnya akan menyebabkan putusnya akson. Terjadi antara 12 – 48 jam (secondary
axotomy).
 Diffuse Vascular Injury (DVI)
DVI ditandai dengan perdarahan kecil-kecil yang menyebar pada seluruh hemisfer,
khusunya massa putih daerah lobus frontal, temporal, dan batang otak, biasanya pasien
segera meninggal dalam beberapa menit. Pada DVI, terjadi perubahan struktur menyeluruh
pada endotel mikrovaskular otak. Sehingga terjadi ekstravasasi sel darah merah.

2. Kerusakan Sekunder
Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari kerusakan
primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia, edema otak, TTIK (Tekanan Tinggi
Intrakranial), hidrosefalus dan infeksi. Berdasarkan mekanismenya, kerusakan ini dapat
dikelompokkan atas dua, yaitu :
a. Kerusakan hipoksik – iskemik menyeluruh ( Diffuse hypoxic-ischemic
damage)
Kerusakan ini sudah berlangsung pada saat antara terjadinya trauma dan awal pengobatan.
Kerusakan ini timbul karena :
- Hipoksia : penurunan jumlah O2 dalam alveoli
- Iskemia : berhetinya aliran darah
- Hipotensi arterial sistemik
b. Edema otak menyeluruh (Diffuse brain swelling)
Keadaan ini terjadi akibat peningkatan kandungan air dalam jaringan otak atau peningkatan
volume darah (intravaskuler), atau kombinasi keduanya. Pada diffuse brain swelling
sebenarnya belum jelas patogenesisnya, diperkirakan sebagai jenis kongestif karena
kehilangan tonus vasomotor.
DAFTAR PUSTAKA

1. Vugt RV, Frederik K, Digna K, Jaap D, Michael E. Selective Computed Tomography


(CT) Versus Routine Thoracoabdominal CT for High-Energy Blunt-Trauma Patients.
Netherlands:John Wiley & Sons,Ltd. 2013.
2. Steward KA, Groen RS, Kamara TB, Farahzard M, Samai M, Yambasu SE, et.al.
Traumatic Injury in Developing Countries : Report From a Nationwide Cross-
Sectional Survey of Sierra Leone. USA: JAMA Surg. 2013.
3. WHO. The Top 10 Causes of death. 2015.
http://www.who.int/mediacentre/factsheets/fs310/en/index1.html.
4. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan RI. 2013.
https://www.depkes.go.id/resources/download/general/HasilRiskesdas2013.pdf.
5. Enma Z, Kristanto E, Siwu J. Pola Luka pada Korban Meninggal akibat Kekerasan
Tumpul yang Diautopsi di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Januari-
Desember 2014. Jurnal e-Clinic (eCI), Volume 6, Nomor 1, Januari-Juni 2018. 2018.

Anda mungkin juga menyukai