Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

Kor pulmonal merupakan suatu keadaan timbulnya hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan

akibat hipertensi pulmonal yang disebabkan oleh penyakit yang menyerang struktur, fungsi paru,

atau pembuluh darah pulmonal yang dapat berlanjut menjadi gagal jantung kanan.1,2 Menurut

World Health Organization (WHO), definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan

hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktur paru. Tidak

termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan penyakit jantung

kongenital (bawaan).3 Istilah hipertrofi yang bermakna sebaiknya diganti menjadi perubahan

struktur dan fungsi ventrikel kanan.1

Dikarenakan paru berkorelasi dalam sirkuit kardiovaskuler antara ventrikel kanan dengan

bagian kiri jantung, perubahan pada struktur atau fungsi paru akan mempengaruhi secara selektif

jantung kanan. Patofisiologi akhir yang umum yang menyebabkan kor pulmonal adalah

peningkatan dari resistensi aliran darah melalui sirkulasi paru dan mengarah pada hipertensi

arteri pulmonal.4

Kor pulmonal dapat terjadi secara akut maupun kronik. Penyebab kor pulmonal akut

tersering adalah emboli paru masif sedangkan kor pulmonal kronik sering disebabkan oleh

penyakit paru obstruktif kronik (PPOK). Pada kor pulmonal kronik umumnya terjadi hipertrofi

ventrikel kanan sedangkan pada kor-pulmonal akut terjadi dilatasi ventrikel kanan.1

Insidens yang tepat dari kor pulmonal tidak diketahui karena seringkali terjadi tanpa

dapat dikenali secara klinis. Diperkirakan insidens kor pulmonal adalah 6% sampai 7% dari

seluruh penyakit jantung.4Di Inggris terdapat sedikitnya 0,3% populasi dengan resiko terjadinya

1
kor pulmonal pada populasi usia lebih dari 45 tahun dan sekitar 60.000 populasi telah mengalami

hipertensi pulmonal yang membutuhkan terapi oksigen jangka panjang.5

Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit yang secara

primer menyerang pembuluh darah paru dan penyakit yang mengganggu aliran darah

paru.6Berdasarkan penelitian lain di Ethiopia, menemukan penyebab terbanyak kor pulmonal

berturut-turut adalah asma bronkial, tuberkulosis paru, bronkitis kronik, emfisema, penyakit

interstisial paru, bronkiektasis, obesitas, dan kifoskoliosis. Menurut penelitian sekitar 80-90%

pasien kor pulmonal mempunyai PPOK dan 25 % pasien dengan PPOK akan berkembang

menjadi kor pulmonal.5

Kor pulmonal terjadi ketika hipertensi pulmonal menimbulkan tekanan berlebihan pada

ventrikel kanan. Tekanan yang berlebihan ini meningkatkan kerja ventrikel kanan yang

menyebabkan hipertrofi otot jantung yang normalnya berdinding tipis, yang akhirnya dapat

menyebabkan disfungsi ventrikel dan berlanjut kepada gagal jantung.3

2
BAB II

LAPORAN KASUS
II.1 Identitas Pasien

No. MR : 108591

Nama : Ny. A

Umur : 69 tahun

Jenis Kelamin : Perempuan.

Alamat : Paya Bakong, Aceh Utara

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Tanggal Masuk : 17 Juni 2019

Status : Menikah

II.2 Anamnesa

Subjektif

a. Keluhan Utama : Sesak nafas.

b. Keluhan Tambahan : Batuk, demam.

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke Instalasi Gawat Darurat ( IGD) Cut Meutia dengan keluhan sesak napas

sejak 3 bulan SMRS dan memberat sejak 1 minggu ini. Sesak tidak dipengaruhi oleh aktivitas,

dan tidak berkurang dengan istirahat. Pasien mengeluh mudah lelah, bahkan saat berbicara

pasien hanya sanggup menyampaikan satu atau dua kata karena merasa lelah. Pasien juga

mengalami batuk lebih dari dua minggu juga, tidak berdahak (+), darah (-), demam (+) terutama

3
pada malam hari, pasien pernah mengkonsumsi OAT dan sempat putus obat 2 tahun yang lalu,

sekarang tidak mengkonsumsi OAT.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

pasien memiliki riwayat TB paru sejak kurang lebih 5 tahun yang lalu.

e. Riwayat Penyakit Keluarga

-Keluhan yang sama pada keluarga disangkal.

-Riwayat keluarga menderita penyakit yang sama disangkal.

f. Riwayat penggunaan obat

- INH 300mg 1x1

- Rifampisin 450mg 1x1

- Pirazinamid 500mg 1x2

- Ethambuthol 250mg 1x1

- Streptomisin 1g / im

g. Riwayat Kebiasaan Sosial

pasien bekerja sebagai Ibu rumah tangga

Objektif

a. Status generalisata

 Keadaan umum : Baik

 Kesadaran : E4V5M6 : Komposmentis

 Vital Sign :

o Tekanan Darah : 120/80 mmHg

o Nadi : 82 x/i

o RR : 24 x/i

4
o Suhu : 38°C

o Antropometri : BB : 50 kg

TB :154 cm

II.3 Pemeriksaan Fisik

Mata : anemis (-/-), ikterus (-/-), refleks pupil (+/+) isokor, edema palpebra

(-/-)

THT

Telinga : sekret tidak ada, pendengaran ↓ tidak ada

Hidung : sekret tidak ada

Tenggorokan : tonsil T1/T1 hiperemis (-), faring hiperemis (-)

Lidah : ulkus (-), papil lidah atrofi (-)

Kelenjar parotis : tidak ditemukan pembesaran

Mukosa bibir : kering, stomatitis angularis (-)

Leher

Kelenjar getah bening: tidak ada pembesaran

Kelenjar parotis & tiroid : tidak ditemukan pembesaran

Thoraks

Cor: Inspeksi : tidak tampak pulsasi iktus kordis, spider nevi (-),

Palpasi : iktus kordis teraba di ICS V 2 cm dari midclavicular line sinistra,

kuat angkat (-), thrill (-)

Perkusi : batas atas jantung ICS II midclavicular line sinistra, batas kanan

jantung parasternal line dekstra, batas kiri jantung 3 cm dari

midclavicular line sinistra ICS V

5
Auskultasi : S1S2 tunggal, reguler, murmur sistolik.

Pulmo: Inspeksi : simetris saat statis & dinamis, retraksi (-), spider nervi (-),

Palpasi : vokal fremitus (↓/N)

Perkusi : sonor/sonor

redup/redup

redup/redup

Auskultasi : vesikuler +/+, ronkhi +/+ basal di paru kiri, wheezing -/-

Abdomen

Inspeksi : distensi (-), spider nevi (-), caput medusa (-)

Auskultasi : bising usus (+) normal, venous hum/hepatic bruit (-),

Hepatic friction rub (-)

Palpasi : Hepar tidak teraba, lien tidak teraba, ginjal tidak teraba

Perkusi : Timpani, Shifting dullness (-)

Genetalia : Tidak dilakukan pemeriksaan

Ekstremitas

Ekstremitas Superior Inferior


Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianotik - - - -
Edema - - - -
Ikterik - - - -
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Tonus otot Normotonus Normotonus Normotonus Normotonus
Sensibilitas N N N N
Atrofi otot - - - -
Akral dingin - - - -

II.4 Pemeriksaan Penunjang

 Pemeriksaan Lab (tanggal 18-06-2019).

6
18 Juni 2019

Hematologi klinik

Pemeriksaan Hasil Nilai normal

Haemoglobin 14,1 12-16g/dl

Leukosit 9,75 4000-11000/ul

Eritrosit 4.48 3,8-5,8 jt/mm3

Hematokrit 35.0 37-47 %

Trombosit 237 150000-450000/mm3

MCV 78.1 79-99 fl

MCH 31.5 27-32 pg

MCHC 40.4 33-37 %

RDW-CW 14.8 11.5-14.5 %

Trombosit 237 150-450 ribu/mm3


Glukosa Darah Puasa 76

18 Juni 2019

Kimia Klinik

Pemeriksaan Hasil Nilai normal

Bilirubin Total 0.48 0.1-0.2 mg/dL

Bilirubin Direk 0.18 0.0-0.8mg/dL

AST (SGOT) 12 15-37 IU/L

ALT(SGPT) 10 10-40 IU/L

Alkali Phospat 57 117-390 IU/L

FUNGSI GINJAL

Ureum 13,57 20-40 mg/dL

Kreatinin 0,48 0.60-1.00mg/dL

Asam Urat 3.1 <6.8 mg/dL

7
Trombosit 372 150-450 ribu/mm3

Kimia Klinik

Pemeriksaan Hasil Nilai normal

Kolesterol 195 <200 mg/dL

HDL Kolesterol 48 >45 mg/dL

LDL Kolesterol 119 100-129 mg/dL

Trigleserida 78 <150

IMUNOSEROLOGI

Tubex Negatif Negatif

IgG Negatif Negatif

IgM Negatif Negatif

Urine

Pemeriksaan Hasil Nilai normal

Warna urine Kuning Kuning

Kejernihan Jernih Jernih

Bau Khas Khas

Berat jenis 1.010 1.010 – 1.030

pH 8,0 4,6 – 7,8

Lekosit Positif 2+ Negatif

Nitrit Negatif Negatif

Protein Negatif Negatif

Glukosa Negatif Negatif

Keton Negatif Negatif

8
Urobilinogen Negatif Negatif

Bilirubin Negatif Negatif

Blood Positif 2+ Negatif

Eritrosit 5 – 10 0–2
Lekosit 10 - 25 0–5
Sel epitel Negatif 0–5

Kristal Negatif Negatif

Cast Negatif Negatif

Lain lain Negatif

 EKG

9
HR : 104 kali/menit, reguler
Irama: Sinus
Axis: Normoaxis
Morfologi
Gel P : 0,08 detik
Interval PR : 0,16 detik
Komplek QRS : 0,12 detik
ST Elevasi : -
ST Depresi : -
T Inverted :-
Q Patologis : -
LVH :-
VES :-
Kesimpulan: Sinus rhytm, HR 104 x/I.

 Foto Thorak

10
Interpretasi :

1. Infiltrat kedua lapang paru.

2. CTR : 51% ( Kardiomegali ).

II.5 Diagnosa

1. Cor Pulmonal Chronic.

2. TB paru putus obat.

3. Pneumonia.

II.6 Planning dan Therapy

 IVFD RL 20 tpm

 Inj. Ceftriaxone 1 gr /12jam

 Inj. Ranitidine 25mg/ 12jam

 Inj. Furosemide 40mg/ 12jam

 Paracetamol 3x500mg

II.7 Planning Diagnostik:

● Darah rutin

● Elektrokardiografi

11
II.8 Monitoring:

● Keluhan

● Tanda vital

● Darah lengkap

II.9 PROGNOSIS

 Quo ad Vitam : Dubia ad bonam


 Quo ad Functionam : Dubia ad bonam
 Quo ad Sanactionam : Dubia ad bonam
II.8 Follow up

Tanggal & Follow Up permeriksaan, dan Intruksi

jam penatalaksanaan pasien


18-06-2019 Subjective IVFD RL 10 tpm

 Batuk Inj. Furosemide 40mg/8jam

Objective Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam

 K/U : Baik Inj. Ranitidine 25mg/12jam

 Kesadaran : CM Inj. Santagesic 500mg/12jam

Cetirizine 1x100mg
 TD : 110/70 mmHg, Nadi : 80x/i
Concor 1x2,5mg
 RR : 20 x/I, suhu : 37°C
Sprinolakton 1x25mg
 Paru : Rokhi di basal paru kiri.
Ambroxol Syr 3x C1
 Jantung : Murmur sistolik.

Assesment

1. Cor Pulmonale Chronic.

2.TB Paru putus obat.

3. Pneumonia.

12
19-06-2019 Subjective IVFD RL 10 tpm

 Batuk Inj. Furosemide 40mg/8jam

Objective Inj. Ceftriaxone 1gr/12jam

 K/U : Baik Inj. Ranitidine 25mg/12jam

 Kesadaran : CM Inj. Santagesic 500mg/12jam

Cetirizine 1x100mg
 TD : 110/50 mmHg, Nadi : 85x/i
Concor 1x2,5mg
 RR : 19x/i
Sprinolakton 1x25mg
 Suhu : 360C
Ambroxol Syr 3x C1
 Paru : Rokhi di basal paru kiri.
Paracetamol 3x500mg

13
 Jantung : Murmur sistolik. Cetirizine 2x100mg

Assesment AcetylSistein 3x200mg

1. Cor Pulmonale Chronic.

2.TB Paru.

3. Pneumonia.

20-06-2019 Subjective Azytromisin 1x1

 Batuk (+) Furosemide 1x1

Objective Spironolakton 1x1

 KU : Sedang, Kes : CM Cetirizine 2x1

 TD : 110/70 mmHg, N : 80 x/i Concor 2x1

Salbutamol 2x1
 RR : 20 x/I, S : 36,6°C
Ambroxol Syr 3xC1
Assesment

Cor Pulmonal Chronic

Planning

PBJ

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

14
3.1. Definisi

Kor pulmonal sering disebut sebagai penyakit jantung paru, didefinisikan

sebagai dilatasi dan hipertrofi ventrikel kanan akibat adanya penyakit parenkim paru atau

pembuluh darah paru.1,2

Menurut WHO, definisi kor pulmonal adalah keadaan patologis dengan ditemukannya

hipertrofi ventrikel kanan yang disebabkan oleh kelainan fungsional dan struktur paru, tidak

termasuk kelainan karena penyakit jantung primer pada jantung kiri dan penyakit jantung

kongenital (bawaan).3

Menurut Braunwahl, kor pulmonal adalah keadaan patologis akibat hipertrofi atau

dilatasi ventrikel kanan yang disebabkan oleh hipertensi pulmonal. Penyebabnya antara lain

penyakit parenkim paru, kelainan vaskuler paru, dan gangguan fungsi paru karena kelainan

thoraks, tidak termasuk kelainan vaskuler paru yang disebabkan kelainan ventrikel kiri,

penyakit jantung bawaan, penyakit jantung iskemik, dan infark miokard akut.7

3.2. Etiologi dan Epidemiologi

Kor pulmonal terjadi akibat adanya perubahan akut atau kronis pada pembuluh darah

paru dan atau parenkim paru yang dapat menyebabkan terjadinya hipertensi pulmonal.8

Prevalensi pasti kor pulmonal sulit dipastikan karena dua alasan. Pertama, tidak semua kasus

penyakit paru kronis menjadi kor pulmonal, dan kedua, kemampuan kita untuk mendiagnosa

hipertensi pulmonal dan kor pulmonal dengan pemeriksaan fisik dan hasil laboratorium

tidaklah sensitif. Namun, kemajuan terbaru dalam 2-D echo/Doppler memberikan

kemudahan untuk mendeteksi dan mendiagnosis suatu kor pulmonal.2 Diperkirakan

prevalensi kor pulmonal adalah 6% sampai 7% dari seluruh penyakit jantung berdasarkan

hasil penyelidikan yang memakai kriteria ketebalan dinding ventrikel post mortem.6

15
Penyakit yang mendasari terjadinya kor pulmonal dapat digolongkan menjadi 4

kelompok :

1. Penyakit pembuluh darah paru.

2. Penekanan pada arteri pulmonal oleh tumor mediastinum, aneurisma, granuloma atau

fibrosis.

3. Penyakit neuro muskular dan dinding dada.

4. Penyakit yang mengenai aliran udara paru, alveoli, termasuk Penyakit Paru Obstruktif

Kronis (PPOK), penyakit paru interstisial dan gangguan pernafasaan saat tidur.

Penyakit yang menjadi penyebab utama dari kor pulmonal kronis adalah PPOK,

diperkirakan 80-90% kasus.1

3.3. Patogenesis

Penyakit-penyakit yang dapat menyebabkan kor pulmonal adalah penyakit yang secara

primer menyerang pembuluh darah paru-paru, seperti emboli paru-paru berulang, dan

penyakit yang mengganggu aliran darah paru-paru akibat penyakit pernapasan obstruktif

atau restriktif.6

Apapun penyakit awalnya, sebelum timbul kor pulmonal biasanya terjadi peningkatan

resistensi vaskuler paru dan hipertensi pulmonal. Hipertensi pulmonal pada akhirnya

meningkatkan beban kerja dari ventrikel kanan, sehingga mengakibatkan hipertrofi dan

kemudian gagal jantung. Titik kritis dari rangkaian kejadian ini nampaknya terletak pada

peningkatan resistensi vaskuler paru pada arteri dan arteriola kecil.6

Dua mekanisme dasar yang mengakibatkan peningkatan resistensi vaskuler paru

adalah: vasokontriksi dari pembuluh darah pulmonal akibat adanya hipoksia dan obstruksi

dan/atau obliterasi jaringan vaskular paru-paru. Hipoksia alveolar (jaringan) memberikan

16
rangsangan yang kuat untuk menimbulkan vasokontriksi pulmonal daripada hipoksemia.

Selain itu, hipoksia alveolar kronik memudahkan terjadinya hipertrofi otot polos arteriola

paru-paru, sehingga timbul respon yang lebih kuat terhadap hipoksia akut. Asidosis,

hiperkapnia, dan hipoksemia bekerja secara sinergistik dalam menimbulkan vasokontriksi.

Viskositas (kekentalan) darah yang meningkat akibat polisitemia dan peningkatan curah

jantung yang dirangsang oleh hipoksia kronik dan hiperkapnia, juga ikut meningkatkan

tekanan arteri paru.6

Mekanisme kedua  yang turut meningkatkan resistensi vaskuler dan tekanan arteri paru

adalah bentuk anatomisnya. Emfisema ditandai oleh kerusakan bertahap dari struktur

alveolar dengan pembentukan bula dan obliterasi total dari kapiler-kapiler disekitarnya.

Hilangnya pembuluh darah secara permanen menyebabkan berkurangnya anyaman vaskuler.

Selain itu, pada penyakit obstruktif, pembuluh darah paru juga tertekan dari luar karena efek

mekanik dari volume paru yang besar. Tetapi, peranan obstruksi dan obliterasi anatomik

terhadap anyaman vaskuler diperkirakan tidak sepenting vasokontriksi hipoksik dalam

patogenesis kor pulmonal. Kira-kira duapertiga sampai tigaperempat dari anyaman vaskuler

harus mengalami obstruksi atau rusak sebelum terjadi peningkatan tekanan arteri paru yang

bermakna. Asidosis respiratorik kronik terjadi pada beberapa penyakit pernapasan dan

penyakit obstruktif sebagai akibat hipoventilasi alveolar umum atau akibat kelainan perfusi-

ventilasi.6 Setiap penyakit paru memengaruhi pertukaran gas, mekanisme ventilasi, atau

jaringan vaskular paru dapat mengakibatkan kor pulmonal.4,6,9

Patogenesis kor pulmonal sangat erat kaitannya dengan hipertensi pulmonal dan tidak

bisa dipisahkan satu dengan lainnya. Adanya gangguan pada parenkim paru, kinerja paru,

17
maupun sistem peredaran darah paru secara akut maupun kronik dapat menyebabkan

terjadinya hipertensi pulmonal.9

Hipertensi pulmonal dapat diartikan sebagai penyakit arteri kecil pada paru yang

ditandai dengan proliferasi vaskuler dan remodeling. Hal ini pada akhirnya dapat

menyebabkan meningkatnya resistensi pembuluh darah paru yang mengakibatkan terjadinya

gagal ventrikel kanan dan kematian.Hipertensi pulmonal dibagi menjadi primer dan

sekunder. Hipertensi pulmonal primer adalah hipertensi pulmonal yang tidak disebabkan

oleh adanya penyakit jantung, parenkim paru, maupun penyakit sistemik yang

melatarbelakanginya. Hipertensi pulmonal lain selain kriteria tersebut disebut hipertensi

pulmonal sekunder.10 Hipertensi pulmonal akibat komplikasi kronis paru (sekunder)

didefinisikan sebagai peningkatan rata-rata tekanan arteri pulmonal (TAP) istirahat, yakni

>20 mmHg. Pada hipertensi pulmonal primer angka ini lebih tinggi yakni >25 mmHg. Pada

pasien muda (<50 tahun) TAP normalnya berada pada kisaran 10-15 mmHg. Dengan

bertambahnya usia TAP akan meningkat kurang lebih 1 mmHg setiap 10 tahun. Selain

dipengaruhi usia TAP juga dipengaruhi oleh aktivitas. Semakin berat aktivitas maka TAP

akan semakin meningkat. Pada aktivitas ringan TAP dapat meningkat >30 mmHg. Melihat

hal tersebut maka pemeriksaan TAP harus dilakukan saat pasien dalam keadaan istirahat dan

rileks.2

Terdapat tiga faktor yang telah diketahui dalam mekanisme terjadinya hipertensi

pulmonal yang menyebabkan meningkatnya resistensi vaskular. Ketiganya adalah

mekanisme vasokonstriksi, remodeling dinding pembuluh darah pulmonal, dan trombosis in

situ. Ketiga mekanisme ini terjadi akibat adanya dua faktor yakni gangguan produksi zat-zat

vasoaktif seperti, nitric oxide dan prostacyclin, serta akibat ekspresi berlebihan secara kronis

18
dari mediator vasokonstriktor seperti, endothelin- 1. Dengan diketahuinya mekanisme

tersebut maka pengobatan terhadap hipertensi pulmonal menjadi lebih terang yakni dengan

pemberian preparat nitric oxide, derivat prostacyclin, antagonis reseptor endothelin-1, dan

inhibitor phosphodiesterase-5.4,10

Hipertensi pulmonal menyebabkan meningkatnya kinerja ventrikelkanan dan dapat

mengakibatkan dilatasi atau hipertropi bilik kanan jantung.Timbulnya keadaan ini diperberat

dengan adanya polisitemia akibat hipoksiajaringan, hipervolemia akibat adanya retensi air

dan natrium, serta meningkatnya cardiac output. Ketika jantung kanantidak lagi dapat

melakukan adaptasi dan kompensasi maka akhirnya timbulkegagalan jantung kanan yang

ditandai dengan adanya edema perifer. Jangkawaktu terjadinya hipertropi atau dilatasi

ventrikel kanan maupun gagaljantung kanan pada masing-masing orang berbeda-beda.4,6

Berdasarkan perjalanan penyakitnya, kor pulmonal dibagi menjadi 5 fase.11

Fase perjalanan penyakit kor pulmonal :

19
Fase Deskripsi
Fase 1 Pada fase ini belum nampak gejala

klinis yang jelas, selain

ditemukannya gejala awal penyakit

paru obstruktif kronis (PPOK),

bronkitis kronis, tuberkulosis paru,

bronkiektasis dan sejenisnya.

Anamnesa pada pasien 50 tahun

biasanya didapatkan kebiasaan

banyak merokok.

Fase 2 Pada fase ini mulai ditemukan

tanda-tanda berkurangnya ventilasi

paru. Gejalanya antara lain, batuk

lama yang berdahak (terutama

bronkiektasis), sesak napas, mengi,

sesak napas ketika berjalan

menanjak atau setelah banyak

bicara. Sedangkan sianosis masih

belum nampak. Pemeriksaan fisik

ditemukan kelainan berupa,

hipersonor, suara napas berkurang,

ekspirasi memanjang, ronki basah

dan kering, mengi. Letak

diafragma rendah dan denyut

jantung lebih redup. Pemeriksaan

radiologi menunjukkan
20berkurangnya corakan

bronkovaskular, letak diafragma


Patogenesis corpulmonal :

Penyakit paru kronis

emakin terdesaknya pembuluh darah oleh


Asidosis
paru yang
dan hiperkapnia
mengembangHipoksia alveolar
Polisitemia dan hiperviskositas darah

Berkurangnya vascular bed paru Vasokonstriksi

Hipertensi Pulmonal

kronissds

Hipertrofi dan dilatasi ventrikel kanan

Korpulmonal

Gambar 1. Patogenesis Kor Pulmonal

3.4. Diagnosis

Diagnosis kor pulmonal dapat ditegakkan jika terbukti terdapat adanya hipertensi pulmonal

akibat dari kelainan fungsi dan atau struktural paru. Untuk menegakkan diagnosis kor pulmonal

secara pasti maka dilakukan prosedur anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang

secara tepat. Pada anamnesis dan pemeriksaan fisik pemeriksa dapat menemukan data-data yang

mendukung ke arah adanya kelainan paru baik secara struktural maupun fungsional. Adanya

21
hipertensi pulmonal tidak dapat ditegakkan secara pasti dengan hanya pemeriksaan fisik dan

anamnesis tetapi membutuhkan pemeriksaan penunjang.

3.4.1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Perlu dilakukan anamnesis yang teliti ada tidaknya penyakit paru yang mendasari dan

jenis kelainan paru seperti batuk kronik yang produktif, sesak nafas waktu beraktifitas, nafas

yang berbunyi, mudah lelah. Pada fase awal berupa pembesaran ventrikel kanan, tidak

menimbulkan keluhan jadi lebih banyak keluhan akibat penyakit parunya. Keluhan akibat

pembesaran ventrikel kanan baru timbul bila sudah ada gagal jantung kanan misalnya edema

dan nyeri parut kanan atas. Infeksi paru sering mencetuskan gagal jantung, hipersekresi

branchus, edema alveolar, serta bronkospasme yang menurunkan ventilasi paru lalu timbul

gagal jantung kanan.

Dispnea merupakan gejala yang paling umum terjadi, biasanya karena adanya

peningkatan kerja pernapasan akibat adanya perubahan dalam elastisitas paru-paru (fibrosis

penyakit paru) atau adanya over inflasi pada penyakit PPOK). Nyeri dada atau angina juga

dapat terjadi. Hal ini terjadi disebabkan oleh iskemia pada ventrikel kanan atau teregangnya

arteri pulmonalis. Hemoptisis, karena rupturnya arteri pulmonalis yang sudah mengalami

arteroslerotik atau terdilatasi akibat hipertensi pulmonal juga dapat terjadi. Bisa juga

ditemukan variasi gejala-gejala neurologis, akibat menurunnya curah jantung dan

hipoksemia.12

Selanjutnya pada pemeriksaan fisik, kita bisa mendapatkan keadaan sianosis, suara P2

yang mengeras, ventrikel kanan dapat teraba di parasternal kanan. Terdapatnya murmur

pada daerah pulmonal dan triskuspid dan terabanya ventrikel kanan merupakan tanda yang

lebih lanjut. Bila sudah terjadi fase dekompensasi, maka gallop (S3) mulai terdengar dan

22
selain itu juga dapat ditemukan murmur akibat insufisiensi trikuspid. Dilatasi vena jugularis,

hepatomegali, splenomegali, asites dan efusi pleura merupakan tanda-tanda terjadinya

overload pada ventrikel kanan.2

3.4.2. Pemeriksaan Penunjang

Radiologi

Etiologi kor pulmonal kronis amat banyak dan semua etiologi itu akan menyebabkan

berbagai gambaran parenkim dan pleura yang mungkin dapat menunjukkan penyakit

primernya. Gambaran radiologi hipertensi pulmonal adalah dilatasi arteri pulmonalis utama

dan cabang-cabangnya, meruncing keperifer, dan lapang paru perifer tampak relatif

oligemia.Pada hipertensi pulmonal, diameter arteri pulmonalis kanan >16mm dan diameter

arteri pulmonalis kiri >18mm pada 93% penderita. Hipertrofi ventrikel kanan terlihat pada

rontgen thoraks PA sebagai pembesaran batas kanan jantung, pergeseran kearah lateral batas

jantungkiri dan pembesaran bayangan jantung ke anterior, ke daerah retrosternal pada foto

dada lateral.3

Gambar 2. Foto thoraks anteroposterior dan lateral kor pulmonal

23
Elektrokardiogram

Gambaran abnormal kor pulmonal pada pemeriksaan EKG dapat berupa:

a. Deviasi sumbu ke kanan. Sumbu gelombang p + 900 atau lebih.

b. Terdapat pola S1S2S3

c. Rasio amplitude R/S di V1 lebih besar dari sadapan 1

d. Rasio amplitude R/S di V6 lebih kecil dari sadapan 1

e. Terdapat pola p pulmonal di sadapan 2,3, dan aVF

f. Terdapat pola S1 Q3 T3 dan right bundle branch block komplet atau inkomplet.

g. Terdapat gelombang T terbalik, mendatar, atau bifasik pada sadapan prekordial.

h. Gelombang QRS dengan voltase lebih rendah terutama pada PPOK karena adanya

hiperinflasi.

i. Hipertrofi ventrikel kanan yang sudah lanjut dapat memberikan gambaran

gelombang Q di sadapan prekordial yang dapat membingungkan dengan infark

miokard.

j. Kadang dijumpai kelainan irama jantung mulai dari depolarisasi prematur atrium

terisolasi hingga supraventrikuler takikardi, termasuk takikardi atrial paroksismal,

takikardi atrial multifokal, fibrilasi atrium, danatrial flutter. Disritmia ini dapat

dicetuskan karena keadaan penyakit yang mendasari (kecemasan, hipoksemia,

gangguan keseimbangan asam- basa, gangguan elektrolit, serta penggunaan

bronkodilator berlebihan).13

24
Gambar 3. Elektrokardiografi Kor Pulmonal

Ekokardiografi

Salah satu pencitraan yang bisa digunakan untuk melakukan penegakan

diagnosis kor pulmonal adalah dengan ekokardiografi. Dari hasil ekokardiografi dapat

ditemukan dimensi ruang ventrikel kanan yang membesar, tapi struktur dan dimensi

ventrikel kiri normal. Pada gambaran ekokardiografi katup pulmonal, gelombang “a”

hilang, menunjukkan hipertensi pulmonal. Kadang-kadang dengan pemeriksaan

ekokardiografi susah terlihat katup pulmonal karena “accoustic window” sempit akibat

penyakit paru.14

Gambar 4. Ekokardiografi Kor Pulmonal (Dilatasi atrium dan ventrikel kanan)

3.5. Penatalaksanaan

25
Penatalaksanaan kor pulmonal dari aspek jantung bertujuan untuk menurunkan

hipertensi pulmonal, mengobati gagal jantung kanan, meningkatkan kelangsungan hidup,

dan mengobati penyakit dasar dan komplikasinya.1

 Tirah Baring dan Pembatasan Garam

Tirah baring sangat penting untuk mencegah memburuknya hipoksemia, yang

nantinya akan lebih menaikkan lagi tekanan arteri pulmonalis. Garam perlu dibatasi

tetapi tidak secara berlebihan karena klorida serum yang rendah akan menghalangi

usaha untuk menurunkan hiperkapnia.12

 Terapi Oksigen

Mekanisme bagaimana terapi oksigen dapat menigkatkan kelangsungan hidup

belum diketahui pasti, namun ada 2 hipotesis yaitu terapi oksigen mengurangi

vasokontriksi dan menurunkan resistensi vaskuler paru yang kemudian meningkatkan

isi sekuncup ventrikel kanan dan terapi oksigen meningkatkan kadar oksigen arteri

dan meningkatkan hantaran oksigen ke jantung, otak, dan organ vital lainnya.

Pemakaian oksigen secara kontinyu selama 12 jam (National Institute of

Health, USA); 15 jam (British Medical Research Counsil) , dan 24 jam (NIH)

meningkatkan kelangsungan hidup dibandingkan dengan pasien tanpa terapi oksigen.

Indikasi terapi oksigen adalah PaO2 ≤ 55 mmHg atau SaO2 ≤ 88%, PaO2 55-

59 mmHg, dan disertai salah satu dari tanda seperti, edema yang disebabkan  gagal

jantung kanan, P pulmonal pada EKG, dan eritrositosis hematokrit > 56%.1

 Diuretika

Diuretika diberikan untuk mengurangi tanda-tanda gagal jantung kanan.

Namun harus dingat, pemberian diuretika yang berlebihan dapat menimbulkan

26
alkalosis metabolik yang bisa memicu peningkatan hiperkapnia. Disamping itu,

dengan terapi diuretika dapat terjadi kekurangan cairan yang mengakibatkan preload

ventrikel kanan dan curah jantung menurun.1,3,8

 Vasodilator

Pemakaian vasodilator seperti nitrat, hidralazin, antagonis kalsium, agonis alfa

adrenergik, ACE-I, dan postaglandin belum direkomendasikan pemakaiannya secara

rutin. Vasodilator dapat menurunkan tekanan pulmonal pada kor pulmonal kronik,

meskipun efisiensinya lebih baik pada hipertensi pulmonal yang primer.1

 Digitalis

Digitalis hnya digunakan pada pasien kor pulmonal bila disertai gagal jantung

kiri. Digitalis tidak terbukti meningkatkan fungsi ventrikel kanan pada pasien kor

pulmonal dengan fungsi ventrikel normal, hanya pada pasien kor pulmonal dengan

fungsi ventrikel kiri yang menurun, digoksin bisa meningkatkan fungsi ventrikel

kanan. Pada pemberian digitalis perlu diwaspadai resiko aritmia.1,3

 Antikoagulan

Diberikan untuk menurunkan resiko terjadinya tromboemboli akibat disfungsi

dan pembesaran ventrikel kanan dan adanya faktor imobilisasi pada pasien.1

3.6. Komplikasi

Komplikasi dari cor pulmonale adalah bisa terjadi syncope, hypoxia, pedal edema,

passive hepatic congestion dan kematian.

3.7. Prognosis

Prognosis kor pulmonal yang disebabkan oleh PPOK lebih baik dari prognosis kor

pulmonal yang disebabkan oleh penyakit paru lain seperti "restrictive pulmonary disease",

27
dan kelainan pembuluh darah paru. Forrer mengatakan penderita kor pulmonal masih dapat

hidup antara 5 sampai 17 tahun setelah serangan pertama kegagalan jantung kanan, asalkan

mendapat pengobatan yang baik. Padmavati dkk di India mendapatkan angka antara 14

tahun. Sadouls di Perancis mendapatkan angka 10 sampai 12 tahun.3

DAFTAR PUSTAKA

1. Dienstag, Jules L. Viral Hepatitis. Kasper, Braunwald, Fauci, et all.In Harrison’s :

Principles of Internal Medicine : 1822-37. McGraw-Hill, Medical Publishing

Division, 2005.

2. Isselbacher, Kurt. Hepatology. Thomas D Boyer MD, Teresa L Wright MD, Michael

P Manns MD A Textbook of Liver Disease. Fifth Edition. Saunders Elsevier. Canada.

2006

3. Hanifah Oswari,Tinjauan Multi Aspek Hepatitis B pada Anak – Tinjauan

Komprehensif Hepatitis Virus pada Anak. Balai penerbit FKUI, Jakarta, 2000

4. Lina Herlina Soemara, Vaksinasi Hepatitis B – Tinjauan Komprehensif Hepatitis

Virus pada Anak. Balai penerbit FKUI, Jakarta, 2000

28
5. Julfina Bisanto. Hepatitis virus – Diagnosis dan Tatalaksana Penyakit Anak dengan

Gejala Kuning. Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Jakarta. 2007

6. Steffen R (Oktober 2005). "Changing travel-related global epidemiology of hepatitis

A". Am. J. Med.118 Suppl 10A: 46S–49S. doi:10.1016/j.amjmed.2005.07.016.

PMID16271541. http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S0002-9343(05)00609-1.

Diakses tanggal 11 Januari 2010

7. http://www.emedicinehealth.com/hepatitis_a/page2_em.htm. Diakses tanggal 11

Januari 2010

8. Caruntu FA, Benea L (September 2006). "Acute hepatitis C virus infection:

Diagnosis, pathogenesis, treatment". Journal of Gastrointestinal and Liver Diseases :

JGLD15 (3): 249–56. PMID17013450. http://www.jgld.ro/32006/32006_7.html.

Diakses tanggal 17 Januari 2010.

29

Anda mungkin juga menyukai