Anda di halaman 1dari 113

TINJAUAN FIKIH MUAMALAH TERHADAP PEMBAYARAN HUTANG

MELALUI HASIL PENJUALAN UBI


STUDI KASUS DI JORONG SUNGAI JAMBU NAGARI SUNGAI JAMBU
KECAMATAN PARIANGAN KABUPATEN TANAH DATAR

SKRIPSI

Ditulis Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (SH)


Jurusan Hukum Ekonomi Syariah

Oleh :
Zulkifli. W
NIM. 15301300076

JURUSAN HUKUM EKONOMI SYARIAH


FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
BATUSANGKAR
2020
Kata Persembahan
By : Zulkifli. W, SH

Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu


Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah
Bacalah, dan Tuhanmulah yang maha mulia
Yang mengajar manusiayang pena,
Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya
(QS: Al-A‟laq 1-5)
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan? (QS: Ar-Rahman 13)
Niscaya Allah akan mendapat mengangkat (derajat) orang-orang yang beriman
diantaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu beberapa derajat (QS: Al-Maidah 11)
Ya Allah,
Waktu yang sudah kujalani dengan jalan hidup
yang sudah menjadi takdirku, sedih, bahagia,
dan bertemu orang-orang yang memberiku
sejuta pengalaman bagiku, yang telah
memberi warna-warni kehidupanku.
Kubersujud dihadapan Mu,
Engkau berikan aku kesempatan untuk bisa sampai
Di penghujung awal Perjuanganku
Segala Puji bagi Mu ya Allah,
Alhamdulillah..alhamdulillah..Alhamdulillahirobbil‟alamin.
Sujud syukurku kusembahkan kepadamu Tuhan yang Maha Agung nan Maha
Tinggi nan Maha Adil nan Maha Penyayang, atas takdirmu telah kau jadikan
aku manusia yang senantiasa berpikir, berilmu, beriman, dan bersabar dalam
menjalani kehidupan ini. Semoga keberhasilan ini menjadi satu langkah awal
bagiku untuk meraih cita-cita besarku. Amin ya Robbal „Alamin.
Lantunan Al-Fatihah beriring Shalawat dalam silahku merintih, menadahkan
doa dalam syukur yang tiada terkira, terima kasihku untukmu.
Kupersembahkan sebuah karya kecil ini untuk Ayahanda dan Ibundaku
tercinta, yang tiada pernah hentinya selama ini memberiku semangat, doa,
dorongan, nasehat dan kasih sayang serta pengorbanan yang tak tergantikan
hingga aku selalu kuat menjalani setiap rintangan yang ada didepa nku,
Ibu...Mamak…Mak Uwo terimalah bukti kecil ini sebagai kado keseriusanku
untuk membalas semua pengorbananmu dalam hidupmu demi hidupku kalian
ikhlas mengorbankan segala perasaan tanpa kenal lelah, dalam lapar
berjuang separuh nyawa hingga segalanya.. Maafkan anakmu Ibuku
(Murniati. M., S.Pd.SD)...Mamak (Afdol.,S.Pd.SD)…Mak Uwo (Mailis) masih
saja ananda menyusahkanmu..
Dalam silah dilima waktu mulai fajar terbit hingga terbenam, seraya
tanganku menadah. “ya Allah ya Rahman ya Rahim.. Terimakasih telah kau
tempatkan aku diantara kedua malaikatmu yang setiap waktu ikhlas
menjagaku,, mendidikku,, membimbingku dengan baik,, ya Allah berikanlah
balasan setimpal syurga firdaus untuk mereka nanti dari panasnya sengat
hawa api nerakamu.
Untukmu Ayahku (Wafdol)… Semoga engkau tenang di sisi-Nya
we always loving you... (ttd.Anakmu)
Dalam setiap langkahku aku berusaha mewujudkan harapan-harapan yang
kalian impikan didiriku, meski belum semua itu kuraih insyaallah atas
dukungan doa dan restu semua mimpi itu kan terjawab di masa penuh
kehangatan nanti. Untuk itu kupersembahkan ungkapan terimakasih kepada:
Kepada Etekku (Yurna, Syafrida), Abang-abangku (Dayat, Rudi), Kakak-
kakakku (Winda, Dola, Dian) dan Adik-adikku (Doni, Rika, Ihsan, Suci,
Melan, Izza, Febri, dan Mifta) ,Terimakasih yaa buat segala dukungan doa.
I Love You All

“Hidupku terlalu berat untuk mengendalikan diri


sendiri tanpa melibatkan Tuhan dan orang
lain.
“Tak ada tempat terbaik untuk berkeluh kesah
selain bersama sahabat-sahabat terbaik”..
Terimakasih kuucapkan Kepada Teman sejawat
Saudara seperjuangan (Rido Anggara, SH, Yogi Harian Nanda, SH, Wahyudi,
Afdol, Wendy, Yusra Febrina, SH), serta teman-teman kos (Bang Didi,
Wendra Siddiq, Syakre Alfajri. SE)
“Tanpamu teman aku tak pernah berarti,,tanpamu teman aku bukan siapa-
siapa yang takkan jadi apa-apa”, buat saudara sekaligus sahabatku semoga
persaudaraan kita tidak pernah putus

Special buat my love


Wida Swara, SH
Seseorang yang selalu bersama denganku, terimakasih atas semangatnya,
walaupun agak cerewet, semoga kedepannya kita masih sama-sama… Amin
ya Robbal „Alamin
Untuk ribuan tujuan yang harus dicapai, untuk jutaan impian yang dikejar,
untuk sebuah pengharapan, agar hidup jauh lebih bermakna, hidup tanpa
mimpi ibarat arus sungai. Mengalir tanpa tujuan. Teruslah belajar, berusaha,
dan berdoa untuk menggapainya.
Jatuh berdiri lagi. Kalah mencoba lagi. Gagal
Bangkit lagi.
Bangkitlah Tanpa Menjatuhkan
Never give up!
Sampai Allah SWT berkata “waktunya pulang”
Hanya sebuah karya kecil dan untaian kata-kata
ini yang dapat
kupersembahkan kepada kalian semua,,
Terimakasih beribu terimakasih kuucapkan..
Atas segala kekhilafan salah dan kekuranganku,
kurendahkan hati serta diri menjabat tangan
meminta beribu-ribu kata maaf tercurah.
Skripsi ini kupersembahkan.
By Zulkifli. W
BIODATA PENULIS

Nama : Zulkifli. W
Nim : 15301300076
Jenis Kelamin : Laki-laki
Tempat/ Tanggal Lahir : Padang Panjang/ 7 Mei 1997
Alamat : Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu
Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar
Gelar Keserjanaan : Sarjana Hukum (S.H)
Jurusan : Hukum Ekonomi Syariah
Fakultas : Syariah
Tahun Masuk/ Keluar : 2015/ 2020
Nomor Handphone : 081270961784
Email : wsjzulkifli@gmail.com
Latar Belakang Pendidikan
SD/MI : SDN 11 Sungai Jambu (2009)
SMP/MTS : SMPN 1 Pariangan (2012)
SMA/MAN : SMAN 1 Pariangan (2015)
Perguruan Tinggi : IAIN Batusangkar (2020)
Pengalaman Kerja : 1. Magang di BMT Al-Hijrah Bukittinggi
(Januari- Maret 2018)
2. Magang Pengadilan Agama Pariaman
(Agustus- Oktober 2018)
3. Magang Pengadilan Negeri Pariaman
(Oktober- November 2018)
4. KPPS Pemilu 2019 di Sungai Jambu
Motto : Do The best
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa penulis ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
Skripsi dengan judul “Tinjauan Fikih Muamalah Terhadap Pembayaran
Utang Uang Melalui Hasil Penjualan Ubi Studi Kasus Di Jorong Sungai
Jambu Nagari Sungai Jambu Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah
Datar”. Proposal ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat untuk penulisan
skripsi dalam bidang jurusan Hukum Ekonomi Syariah. Dalam penulisan skripsi
ini penulis telah banyak mendapat bantuan, petunjuk dan bimbingan dari berbagai
pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih, mudah-mudahan
skripsi ini dapat diterima.
Salawat serta salam penulis haturkan kepada Allah SWT semoga
disampaikan kepada junjungan ummat baginda Muhammad SAW. Sebagai
pembawa risalah yang benar dan telah meninggalkan pedoman hidup untuk
manusia sebagai petunjuk kejalan yang benar.
Kemudian Skripsi ini penulis susun dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk mendapatkan gelar sarjana Hukum pada Jurusan Hukum Ekonomi
Syariah Institut Agama Islam Negeri Batusangkar. Penulis menyadari bahwa
dalam menyelesaikan skripsi ini tidak terlepas dari bimbingan dan bantuan
berbagai pihak, baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu pada
kesempatan ini penulis sampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada kedua
orang tua, ayahanda Alm. Wafdol dan ibunda Murniati.M, S.Pd.SD serta kakak
saya Rahmat Hidayat. W dan adik saya Doni Candra. W serta Mak Uwo saya
Mailis serta Mamak saya Afdol, S.Pd.SD, serta etek saya Yurna, S.Ag, serta adik
sepupu saya Ihsan, Izza, dan Mifta serta Wida Swara, S.H yang telah
memberikan dukungan dan motivasi kepada penulis.

i
Ucapan terimakasih yang mendalam juga penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Dr. H. Kasmuri selaku Rektor Institut Agama Islam Negeri
Batusangkar, yang telah memberikan segala fasilitas yang penulis butuhkan
dalam rangka melaksanakan semua rangkaian proses akademik di IAIN
Batusangkat.
2. Bapak Dr. H. Zainuddin. MA selaku Dekan Fakulas Syariah Institut Agama
Islam Negeri Batusangkar yang telah memberikan arahan kepada penulis.
3. Ibu Dr. Elsy Reni, M.Ag selaku Ketua Jurusan Hukum Ekonomi Syariah
(HES) IAIN Batusangkar yang telah memberikan solusi dan saran kepada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan perkuliahan dan skripsi ini.
4. Bapak Inong Satriadi, S.Ag., MA selaku pembimbing akademik yang
selama ini selalu menasehati penulis dalam perkuliahan.
5. Ibu Dr. Hj. Fitri Yenni M Dalil, Lc,. M.Ag selaku Pembimbing yang telah
meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan nasehat, dan
memberikan arahan serta masukan kepada Penulis dalam menyelesaikan
Skripsi ini.
6. Ibuk Dr. Hj. Elimartati, M.Ag selaku penguji I yang telah meluangkan
waktu untuk membimbing, memberikan nasehat, dan memberikan arahan
serta masukan kepada Penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.
7. Ibuk Sulastri Caniago, M. Ag selaku penguji II yang telah meluangkan
waktu untuk membimbing, memberikan nasehat, dan memberikan arahan
serta masukan kepada Penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.
8. Bapak/ibuk dosen Institut Agama Islam Negeri Batusangkat yang telah
mencurahkan berbagai ilmu pengetahuan kepada penulis.
9. Kepala pustaka Institut Agama Islam Negeri Batusangkar yang telah
memberi izin untuk meminjam buku.
10. Ucapan terimakasih kepada masyarakat Jorong Sungai Jambu Kecamatan
Pariangan yang telah bersedia memeberikan informasi dan membantu
penulis dalam menyelesaikan Skripsi ini.
11. Para sahabat, Brizzick gengs (Rido Anggara SH, Bang Yogi, Afdol, Wendy
Madeira, Yudi, dan Yovie), kawan-kawan kos (Bang Didi, Bang Roby,

ii
Acik, Da On, Bang Yogi, Da Reza, dan Reo), kawan-kawan di Sungai
Jambu (Hendra, Da rido, Da Riki, Reza, Adek, Admiral, Paje,. Roby), serta
Bang Fauzan, serta teman-teman HES angkatan 2015 dan teman-teman,
adik-adik dari Jurusan Hukum Ekonomi Syariah yang senasib dan
seperjuangan dengan penulis yang tidak tersebutkan namanya satu persatu
yang telah membimbing, mengarahkan beserta memberi motivasi dalam
penyelesaian Skripsi ini.
Akhirnya kepada Allah SWT jualah penulis berserah diri, semoga bantuan,
motivasi dan bimbingan serta nasehat dari berbagai pihak menjadi amal ibadah
yang iklas hendaknya, dan dibalas Allah SWT dengan pahala yang berlipat ganda.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan dapat memberi
manfaat kepada kita semua. Aamiin.
Batusangkar, 15 Juni 2020
Penulis

Zulkifli. W
NIM. 15301300076

iii
ABSTRAK
Zulkifli. W, NIM 15301300076. Judul skripsi: “Tinjauan Fikih
Muamalah Terhadap Pembayaran Utang Uang Melalui Hasil Penjualan Ubi
Studi Kasus Di Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu Kecamatan
Pariangan Kabupaten Tanah Datar”, Jurusan Hukum Ekonomi Syariah,
Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri Batusangkar, 2020.
Pokok permasalahan dalam skripsi ini adalah Bagaimana pelaksanaan
akad utang piutang petani ubi dengan toke ubi dan Bagaimana mekanisme
pembayaran utang uang yang dilakukan oleh petani ubi terhadap toke ubi serta
Bagaimana tinjauan fikih muamalah terhadap pelaksanaan hutang dengan
bersyarat dan mekanisme pembayaran hutang menurut fikih muamalah. Tujuan
dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui dan menjelaskan bentuk pelaksanaan
akad transaksi utang petani ubi dengan toke ubi di Jorong Sungai Jambu Nagari
Sungai Jambu Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar, mekanisme
pembayaran utang uang yang dilakukan oleh petani ubi terhadap toke ubi, dan
tinjauan fikih muamalah terhadap pelaksanaan hutang dengan bersyarat dan
mekanisme pembayaran hutang menurut fikih muamalah
Jenis penelitian yang digunakan adalah jenis penelitian lapangan (field
research). Sumber data primer yaitu 5 orang petani ubi yang melakukan
peminjaman uang kepada toke dan 3 orang toke ubi, sedangkan sumber data
sekunder adalah LPJ Nagari Sungai Jambu dan karya ilmiah yang berhubungan
dengan hutang piutang. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah
wawancara dan dokumentasi. Adapun teknik analisis data yang digunakan adalah
teori Miles dan Hubermen.
Hasil penelitian ini adalah, pertama, pelaksanaan hutang antara petani ubi dengan
toke ubi yaitu toke memberikan hutang kepada petani dengan syarat petani harus
menjual hasil panen ubinya kepada toke dan toke membeli ubi tersebut dengan
harga yang harga yang ditetapkan sendiri oleh toke. Kedua, mekanisme
pembayaran hutang antara petani dan toke ubi adalah melalui hasil penjualan ubi
yang dipotong langsung oleh toke ubi sebagai bentuk pembayaran hutang.
Ketiga, pelaksanaan hutang-piutang antara petani dengan toke bertentangan
dengan akad tabarru‟ dan dalam jual beli terdapat unsur pemaksaan atau tidak
adanya kerelaan serta toke mengambil keuntungan yang merupakan bukan
haknya.

iv
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI

HALAMAN PERSEMBAHAN

BIODATA

KATA PENGANTAR .................................................................................................... i

ABSTRAK ...................................................................................................................... iv

DAFTAR ISI ................................................................................................................... v

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................................... 1


B. Fokus Penelitian ................................................................................................. 5
C. Rumusan Masalah .............................................................................................. 5
D. Tujuan Penelitian ............................................................................................... 6
E. Manfaat dan Luaran Penelitian ........................................................................ 6
F. Defenisi Operasional .......................................................................................... 7
BAB II KAJIAN TEORI ............................................................................................... 9
A. Hutang Piutang ................................................................................................... 9
1. Pengertian Hutang Piutang ............................................................................ 9
2. Dasar Hukum Tentang Hutang Piutang ........................................................ 10
3. Rukun dan Syarat Hutang Piutang ................................................................ 13
4. Utang Bersyarat ............................................................................................. 17
5. Jaminan Dalam Hutang Piutang .................................................................... 19
6. Hukum Memberikan Hutang Piutang ........................................................... 21
B. Jual Beli ............................................................................................................... 22
1. Pengertian Jual Beli ....................................................................................... 22
2. Dasar Hukum Jual Beli ................................................................................. 23

v
3. Rukun dan Syarat Jual Beli ........................................................................... 25
4. Macam-macam Jual Beli ............................................................................... 31
C. Riba ...................................................................................................................... 34
1. Pengertian Riba ............................................................................................. 34
2. Dasar Hukum Riba ........................................................................................ 35
3. Macam-macam Riba ..................................................................................... 36
D. Menghubungkan Jual Beli Dengan Utang ....................................................... 37
1. Pengertian, Jenis Multi Akad ........................................................................ 37
2. Macam-Macam Multi Akad .......................................................................... 39
3. Hukum Multi Akad ....................................................................................... 40
4. Batasan dan Standar Multi Akad ................................................................... 41
E. An-Taradin Minkum .......................................................................................... 42
1. Pengertian An-Taradin Minkum ................................................................... 42
2. Dasar Hukum An-Taradin Minkum .............................................................. 42
3. Kriteria An-Taradin Minkum Pada Akad Jual Beli ...................................... 44
F. Penelitian Relevan .............................................................................................. 45
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................................... 47

A. Jenis Penelitian ................................................................................................... 47


B. Latar dan Waktu Penelitian .............................................................................. 47
1. Latar Penelitian ............................................................................................. 47
2. Waktu Penelitian ........................................................................................... 47
C. Instrumen Penelitian .......................................................................................... 48
D. Sumber Data ....................................................................................................... 48
1. Sumber Data Primer ...................................................................................... 48
2. Sumber Data Sekunder .................................................................................. 48
E. Teknik Pengumpulan Data ................................................................................ 49
F. Teknik Analisis Data .......................................................................................... 49
G. Teknik Penjaminan Keabsahan Data ............................................................... 49
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................................. 51
A. Gambaran Umum Tentang Nagari Sungai Jambu ......................................... 51
1. Kondisi Nagari Sungai Jambu ........................................................................ 51

vi
2. Potensi Nagari Sungai Jambu ........................................................................ 55
B. Pelaksanaan Akad Transaksi Utang Petani Dengan Toke Ubi
di Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu ............................................ 57
C. Mekanisme Pembayaran Utang Uang Yang Dilakukan Oleh Petani
Ubi Terhadap toke Ubi ...................................................................................... 62
D. Tinjauan Fikih Muamalah Terhadap Pelaksanaan Hutang
Dengan Bersyarat dan Mekanisme Pembayaran Hutang
Menurut Fikih Muamalah ................................................................................. 65
BAB V PENUTUP .......................................................................................................... 74
A. Kesimpulan ......................................................................................................... 74
B. Saran ................................................................................................................... 74
DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

vii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Kewajiban bagi setiap muslim untuk saling tolong menolong dan
telah menjadi kehendak Allah SWT bahwa manusia harus hidup
bermasyarakat dan saling tolong menolong. Manusia adalah makhluk sosial,
yaitu makhluk yang berkodrat hidup dalam masyarakat. Sebagai makhluk
sosial, dalam hidupnya manusia memerlukan adanya manusia-manusia lain
yang bersama-sama hidup dalam masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat,
manusia selalu berhubungan satu sama lain, disadari atau tidak, untuk
mencukupkan kebutuhan-kebutuhan hidupnya. (Basyir, 2000: 11)
Dalam aspek tolong menolong yakni aspek perekonomian keluarga ,
yang mana sesama umat muslim harus saling memberi dan saling gotong
royong terhasdap masyarakat yang membutuhkan, bahwasanya Islam telah
telah memperbolehkan tolong menolong apalagi dalam aspek perekonomian.
Dalam rangka menciptakan kesejahteraan dan kemakmuran bersama
hal ini manusia dituntut untuk melakukan uasaha dan bekerja. Dalam Islam
pun sudah diatur, bahwasanya manusia dituntut untuk bekerja dan menyebar
dmuka bumi dan memanfaatkan rezki yang telah diatur oleh Alla SWT, yang
tidak harus berdiam diri menunggu rezki dari Allah datang, dengan bekerja
manusia akan memperoleh penghasilan yang dapat melangsun gkan
kehidupannya dan dapat memenuhi kebutuhan keluarganya, tanpa harus
menunggu bantuan dari orang lain atau masyarakat lain. Kebutuhan ekonomi
yang telah menjadikan para masyarakat mengambil utang demi kelangsungan
hidup merupakan hal yang tak asing bagi masyarakat.
Utang adalah harta yang diberikan oleh seseorang yang memberi
utang kepada orang yang berhutang, agar oranng yang berhutang
mengembalikan barang yang serupa denngannya kepada orang yang
memberikan utang. Secara bahasa, qardh mengandung arti pemotongan. Dan,

1
2

harta yang diambil oleh orang yang berhutang disebut qardh karena orang
yang memebri utang memotongnya dari hartanya.
Utang piutang yang dalam Islam disebut qardh merupakan salah satu
bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Sebab, dengan
memberikan uang (atau barang yang lain) berari menyayangi manusia,
mengasihi mereka, memudahkan urusan mereka, dan menghilangkan
kesusahannya. Islam menganjurkan dan menyarankan bagi orang yang
(berkecukupan) untuk memberikan pinjaman. Islam juga membolehkan
(orang yang kesusahan) menerima hutangan dari orang yang menghutanginya
dan ia termasuk orang yang meminta-minta yang dimakruhkan. Sebab, orang
yang meminjam atau berhutang mengambil harta atau barang dan
dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhannya. Setelah itu mengembalikan
harta atau barang yang dipinjamkannya. (Sabiq, 2012: 234)
Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 245:

             

    


“siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik
(menafkahkan hartanya di jalan Allah), Maka Allah akan meperlipat
gandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. dan
Allah menyempitkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya-lah kamu
dikembalikan”.
Maksud dari ayat di atas adalah bahwa Allah SWT menyerupakan
amal saleh dan memberi infak fi sabilillah dengan harta yang dipinjamkan
dan menyerupakan pembalasannya yang berlipat ganda kepada pembayaran
utang. Amal kebaikan disebut pinjaman (utang) karena oranng yang berbuat
baik melakukannya untyuk mendapatkan gantinnya sehingga menyerupai
orang yang mengutangkan sesuatu agar mendapatkan gantinya. (Mardani,
2012: 332)
Hutang piutang memiliki rukun dan syarat diantaranya: pertama,
Shighat yang dimaksud adalah ijab dan Kabul. Tidak ada perbedaan di antara
fukaha bahwa ijab Kabul itu sah dengan lafaz utang dengfan semua lafaz
3

yang menunjukkan maknanya, seperti kata, “Aku memberimu hutang”, atau


“Aku mengutangimu”. Demikian pula Kabul sah dengan semua lafaz yang
menunjukkan kerelaan, seperti “Aku berutang” atau “Aku menerima”, atau
“Aku rida” dan sebagainya. Kedua, „Aqidain, yaitu dua pihak yang
melakukan transaksi atau pemberi dan pengutang. Adapun syarat-syarat bagi
pengutang adalah merdeka, baliq, berakal sehat, dan pandai, Ketiga, harta
yang diutangkan, rukun dari harta yang diutangkan adalah sebagai berikut: 1)
harta berupa harta yang ada padanya, maksudnya harta yang satu sama lain
dalam jenis yang sama tidak banyak berbeda yang mengakibatkan perbedaan
nilai, seperti uang, barang-barang yang dapat ditakar, ditimbang, ditanam,
dan dihitung, 2) harta yang diutangkan diisyaratkan berupa benda, tidak sah
mengutangkan manfaat (jasa), 3) harta yang diutangkan diketahui, yaitu
diketahui kadarnya dan diketahui sifatnya. (Mardani, 2016: 333)
Berdasarkan survei awal yang penulis lakukan praktek utang-piutang
terjadi di Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu. Mayoritas masyarakat
di Jorong Sungai Jambu penduduknya adalah sebagai petani. Dikarenakan
daerah yang keadaan tanahnya sangat cocok untuk kegiatan pertanian.
Sebagian masyarakat memilih untuk berkebun ubi. Hal ini dikarenakan
pengelolaannya yang tidak terlalu susah dan waku panen juga tidak perlu
menunggu terlalu lama.
Keadaan cuaca sangat berpengaruh terhadap pengelolaan pertanian.
Kedatangan musim panas dapat memperlambat proses pengembangan dan
mempengaruhi hasil dari perkebunan ini. Hal ini menyebabkan petani
mengalami hambatan panen dalam waktu yang cepat. Sementara kebutuhan
setiap harinya tetap harus dipenuhi. Hal ini membuat para petani harus
meminjam uang untuk pemenuhan kebutuhannya. Para petani biasannya
memilih untuk meminjam kepada toke ubi karena proses transaksinya yang
lebih cepat dibandingkan dengan peminjaman kepada lembaga keuangan
bank ataupun non bank.
Ketika peminjaman, petani dan toke membuat perjanjian secara lisan
bahwa ketika petani memanen ubi, ubi tersebut harus dijual kepada toke
4

tempat peminjaman uang. Toke akan membeli ubi dengan harga yang
ditetapkan sendiri yang harganya lebih rendah dari harga pasar. Pembayaran
hutang dilaksanakan setelah petani menjual ubinya kepada toke, kemudian
toke tersebut langsung memotong hasil penjualan sebanyak hutang petani,
jika ada bersisa akan diberikan kepada petani, jika kurang petani akan
melunasi keseluruhan hutang.
Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu Mailis seorang petani ubi
mengatakan “Saya meminjam uang sebesar Rp. 700.000,- kepada toke ubi
untuk modal menanam ubi. Toke tersebut meminjamkan uang kepada saya
dengan syarat setelah ubi itu dipanen Saya harus menjual ubi kepada toke
tersebut dan pembayaran hutang tersebut dilakukan setelah penjualan ubi.
(wawancara dengan Ibu Mailis petani ubi: 13 Agustus 2019, 19:40)
Hasil wawancara dengan Ibuk Ermawati petani ubi mengatakan “Bagi
petani yang memin jam uang ke toke, ubi harus dijual ke toke dengan harga
yang berbeda dengan petani yang tidak meminjam uang ke toke. Perbedaan
harga mencapai Rp. 20.000,- per karung dengan harga yang sebenarnya yaitu
Rp. 150.000,-. (wawancara dengan Ibu Ermawati petani ubi: 14 Agustus
2019, 20:08)
Hasil wawancara bapak Def petani ubi saling berkaitan dengan hasil
wawancara Ibuk Ermawati “Bagi petani yang meminjam uang ke toke, ubi
harus dijual ke toke dengan harga yang berbeda dengan petani yang tidak
meminjam uang. Perbedaan mulai dari Rp. 10.000,- per karung sampai Rp.
20.000,;- dari harga yang sebenarnya yaitu Rp. 150.000 ,- per karung.
(wawancara dengan Bapak Def petani ubi: 15 Agustus 2019, 17:07)
Misalnya A sebagai petani ubi meminjam uang kepada B sebagai toke
ubi. A mendapatkan pinjaman uang dari B dengan syarat A harus menjual ubi
kepada B dan pelunasan peminjaman uang A dibayarkan ketika panen ubi
tersebut. Ubi yang dibeli B ke A lebih rendah dari harga pasaran. Misalnya
harga pasaran Rp. 150.000,-, maka B akan membeli dengan harga Rp
130.000,-. Dan C sebagai petani ubi yang menjual ubinya ke B dan tidak
5

meminjam uang kepada B, maka B membeli ubi tersebut sesuai dengan harga
pasar yaitu Rp. 150.000,-.
Dari hasil wawancara di atas dapat dilihat bahwa peminjaman uang
dengan syarat penjualan ubi ini muncul beberapa persoalan, yaitu utang
bersyarat dan toke menarik keuntungan dari peminjaman melalui
diturunkannya harga.
Berdasarkan uraian di atas, penulis merasa perlu untuk melakukan
penelitian di nagari tersebut dengan judul: “Tinjauan Fikih Muamalah
Terhadap Pembayaran Utang Uang Melalui Hasil Penjualan Ubi Studi
Kasus Di Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu Kecamatan
Pariangan Kabupaten Tanah Datar”

B. Fokus Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah penulis paparkan,
maka fokus penelitian ini adalah tinjauan fikih muamalah terhadap
pembayaran utang uang melalui penjualan ubi studi kasus di Jorong
Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu Kecamatan Pariangan Kabupaten
Tanah Datar.

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan fokus penelitian di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana pelaksanaan akad utang piutang petani ubi dengan toke ubi
di Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu Kecamatan Pariangan
Kabupaten Tanah Datar?
2. Bagaimana mekanisme pembayaran utang uang yang dilakukan oleh
petani ubi terhadap toke ubi?
3. Bagaimana tinjauan fikih muamalah terhadap pelaksanaan hutang
dengan bersyarat dan mekanisme pembayaran hutang menurut fikih
muamalah?
6

D. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan bentuk pelaksanaan akad transaksi
utang petani ubi dengan toke ubi di Jorong Sungai Jambu Nagari
Sungai Jambu Kecamatan Pariangan Kabupaten Tanah Datar.
2. Untuk mengetahui dan menjelaskan mekanisme pembayaran utang
uang yang dilakukan oleh petani ubi terhadap toke ubi
3. Untuk mengetahui dan menjelaskan tinjauan fikih muamalah terhadap
pelaksanaan hutang dengan bersyarat dan mekanisme pembayaran
hutang menurut fikih muamalah
E. Manfaat dan Luaran Penelitian
1. Manfaat penelitian
Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:
a) Teoritis
Merupakan suatu harapan bagi penulis untuk dapat memahami dan
mengerti secara lebih jelas mengenai pelaksanaan pinjam
meminjam uang melalui penjuan ubi ditinjau dari perspektif
muamalah sehingga bermanfaan bagi penulis dan menambah
khasanah ilmu bidang agama.
b) Praktis
1) Sebagai sumbangan pemikiran bagi lembaga pendidikan
Hukum Ekonomi Syariah dan khususnya Institut Agama Islam
Negeri Batusangkar
2) Untuk meningkatkan wawasan ilmiah dan mengamalkan Tri
Dharma Perguruan Tinggi
2. Luaran Penelitian
Adapun luaran dari penelitian ini yaitu:
a. Dapat dipublikasikan pada jurnal kampus IAIN Batusangkar.
b. Untuk membantu memecahkan masalah pada objek yang diteliti.
c. Sebagai bahan bacaan di perpustakaan IAIN Batusangkar
7

F. Definisi Operasional.
1. Utang Piutang
Utang piutang dalam kamus bahasa Indonesia terdiri dari dua
suku kata yaitu utang yang mempunyai arti uang yang dipinjam dari
orang lain. Sedangkan kata piutang mempunyai arti uang yang
dipinjamkan (dapat ditagih dari orang lain).
Menurut ahli fikih utang atau pinjaman adalah transaksi antara
dua pihak yang satu menyerahkan uangnya kepada yang lain secara
suka rela untuk dikembalikan lagi kepadanya pihak kedua dengan hal
yang serupa.
Adapun pengertian utang piutang yang lain yaitu memberikan
sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang
sama dengan itu. (Arianti, 2014: 22)
Utang piutang yang penulis maksud adalah utang piutang
bersyarat yang dilakukan oleh petani ubi dengan toke ubi di Jorong
Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu.

2. Jual Beli
Jual beli secara bahasa adalah tukar menukar sesuatu dengan
sesuatu atau pemindahan harta milik kepada oranglain dengan jalan
tukar menukar.
Menurut istilah (terminologi), jual beli suatu perjanjian tukar-
menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara sukarela di
antara kedua belah pihak, yang satu menyerahkan benda-benda dan
pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian atau ketentuan yang
telah dibenarkan oleh syara‟ dan disepakati. (Suhendi, 2002: 68)
Jual beli yang penulis maksud adalah jual beli sebagai syarat
utang piutang antara petani ubi dengan toke ubi di Jorong Sungai
Jambu Nagari Sungai Jambu.

3. Fiqh Muamalah
8

Fiqh menurut bahasa adalah faham atau tahu. Menurut istilah


fiqh berarti ilmu yang menerangkan tentang hukum syara‟ yang
berkenaan dengan amal perbuatan manusia yang diperoleh dari dalil-
dalil nash al-Qur‟an dan hadist rasulullah.
Muamalah adalah kegiatan yang mengatur hal-hal yang
berhubungan dengan tata cara hidup manusia untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari
Fiqh muamalah adalah ilmu yang membahas tentang hukum-
hukum syara‟ yang berifat amaliah atau hubungan manusia dengan
manusia baik yang berhubungan dengan kepemilikan harta, jual beli,
dan lainnya. (Sahrani, 2011: 3-4).
Yang penulis maksud Fiqh Muamalah dalam penelitian penulis
adalah hukum-hukum Islam yang mengatur tentang Hutang Piutang
berdasarkan rukun yang telah diambil oleh ulama dari ayat Al-Qur'an
dan Sunnah Nabi.
BAB II
KAJIAN TEORI

A. Hutang Piutang
1. Pengertian Utang Piutang
Utang piutang dalam kamus bahasa Indonesia terdiri dari dua suku
kata yaitu utang yang mempunyai arti uang yang dipinjam dari orang
lain.Sedangkan kata piutang mempunyai arti uang yang dipinjamkan
(dapat ditagih dari orang lain).
Sedangkan menurut ahli fikih utang atau pinjaman adalah transaksi
antara dua pihak yang satu menyerahkan uangnya kepada yang lain
secara suka rela untuk dikembalikan lagi kepadanya pihak kedua dengan
hal yang serupa. Atau seseorang menyerahkan uang kepada orang lain
untuk dimanfaatkan dan kemudian dikembalikan lagi sejumlah yang di
hutang.
Orang yang berutang wajib mengembalikan pinjaman bila telah
jatuh tempo pelunasan. Dan bagi yang mampu melunasi, haram
hukumnya menunda-nunda pembayaran. (Rijal, 2013: 99)
Adapun pengertian utang piutang yang lain yaitu memberikan
sesuatu kepada seseorang dengan perjanjian dia akan membayar yang
sama dengan itu. (Arianti, 2014: 22)
Sedangkan Abdurrahman Al Jaziri mengemukakan bahwa, utang
menurut bahasa adalah memutuskan dan dinamakan juga harta yang
diberikan kepada orang yang berhutang kemudian diganti dengan harta
yang sama sempurna karena sesungguhnya hutang memutuskan dari pada
harta orang yang berpiutang.
Dalam kitab fiqih sunnah dijelaskan bahwa: “utang menurut bahasa
adalah memotong, dinamakan harta yang diberikan kepada orang yang
berhutang akan sempurna karena sesungguhnya utang memutuskan
daripada harta orang yan berpiutang.

9
10

Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa utang


piutang menurut bahasa adalah memotong atau memutuskan kepemilikan
harta orang yang berpiutang, karena diberikan kepada orang yang
berhutang dan orang yang berhutang wajib menggantinya dengan harta
yang sama nilai maupun sifatnya, artinya harta yang berpiutang itu akan
berpindah kepemilkannya karena dipiutangkan kepada orang yang
berhutang sampai ia menggantinya.
2. Dasar Hukum Tentang Utang Piutang
Dalam Al-Quran banyak ditemukan sejumlah ayat-ayat yang bicara
tentang utang piutang, ada yang diungkapkan secara tegas ada juga yang
diungkap secara tersamar-samar atau tersirat.Begitu juga dalam Hadis-
Hadis Nabi Saw. Cukup banyak yang menjelaskan tentang utang-piutang
dan pandangan hukum islam tentang utang-piutang yaitu:
a. Surat Al-Maidah (5) ayat 2:

        …


 ……

          


…………dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat
dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah,
Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.
Ayat Al-quran tersebut menjelaskan tentang setiap manusia
janganlah berbuat aniaya terhadap sesame mahluk ciptaan Allah.Allah
SWT memerintahkan untuk saling tolong-menolong, dengan
menghalalkannya hutang piutang agar tidak terjadi aniaya.
Dalam transaksi utang-piutang terdapat nilai luhur dan cita-cita
sosial yang sangat tinggi yaitu tolong menolong dalam kebaikan.Dengan
demikian, pada dasarnya pemberian utang atau pinjaman pada seseorang
harus didasari yang tulus sebagai usaha untuk menolong sesama dalam
kebaikan.
11

Selanjutnya dalam transaksi utang piutang Allah memberikan


rambu-rambu agar berjalan sesuai prinsip syariah yaitu menghindari
penipuan dan perbuatan yang dilarang Allah.Pengaturan tersebut yaitu
anjuran agar setiap transaksi utang-piutang dilakukan secara tertulis.
Ketentuan ini terdapat dalam surat Al-Baqarah .

b. Surat Al-Baqarah ayat 282

        

     


................
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu‟amalah tidak
secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya………
Bermuamalah seperti yang tercantum pada arti firman Allah dalam
surat Al-Baqarah ayat 282 diatas adalah seperti berjual beli, hutang
piutang atau sewa menyewa dan sebagainya.Semua praktik muamalah
yang terjadi haruslah sesuai dengan fikih muamalah yang
terjadi.Termasuk dalam hutang piutang.
Apabila terjadi suatu transaksi utang piutang antara manusia maka
dianjurkan menuliskannya, terutama transaksi yang dilakukan tidak
secara tunai. Penulisan ini bertujuan agar tidak terjadi kekeliruan antara
kedua belah pihak, hendaknya dalam transaksi itu dihadirkan dua orang
saksi laki-laki yang adil, jika tidak ada maka boleh satu orang laki-laki
dan dua orang perempuan. Diharapkan dengan adanya para saksi tersebut
bagi para pihak yang lemah ingatannya kembali dengan adanya saksi.
12

c. QS Al-Baqarah ayat 280

          

     

Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka


berilah tangguh sampai dia berkelapangan. dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu
Mengetahui.
Allah menganjurkan kepada orang yang memberi piutang untuk
memberikan kelapangan kepada orang yang berhutang, apabila ia belum
mampu untuk membayar, artinya bersedia menambah waktu jatuh tempo
atau mungkin sipemberi piutang tersebut untuk tidak membayar, maka
nilai lainnya adalah sedekah di sisi Allah SWT.
Selain dari ayat di atas juga ada hadits nabi yang dapat dijadikan
sebagai dasar hukum dari utang piutang, antara lain:

‫ فسألتما عن السلف فقاال كنا‬:‫عن عبد الرحمن بن أبز وعبد اهلل بن أوفى قال‬
‫نصيب المغانم مع رسول اهلل ص لى اهلل عليو وسلم وكان يأتينا انباط الشام‬
)‫فنسلفهم في الخطة والشعير الزبيب (رواه البيهقي‬

“Dari Abdurrahman bin Abza dan Abdullah bin Aufi ra berkata: Maka
bertanyalah keduanya tentang meminta-minta mereka berkata : Kami
mendapat barang-barang rampasan bersama Rasulullah Saw dan
sekelompok dari golongan Syam datang kepada kami, maka kami
mengutangkan gandum (Sya‟ir) dan kismis kepada mereka (HR
Baihaqi)”. (al-Baihaqy, 1994: 20)
Sistem utang piutang telah berlangsung sejak zaman Nabi Saw dan
Nabi menyaksikan sendiri para sahabat melakukan transaksi utang
piutang.

‫ قال رسول اهلل صلى اهلل عليو وسلم من نفس عن‬:‫عن ابى ىريرة رضي اهلل عنو قال‬
‫مسلم كربة من كرب الدنيا نفس اهلل عنو كربة من كرب يوم القيامة ومن يسر على‬
13

‫معسر يسراهلل عليو فى الدنيا واألخرة ومن ستر مسلما ستره اهلل من الدنيا واآلخرة‬
)‫واهلل فى عون العبد ماكان العبد فى عون أخيو (رواه مسلم‬

Abu Hurairah ra berkata, Rasulullah bersabda, barang siapa


melepaskan dari seorang muslim satu kesusahan dari kesusahan-
kesusahan dunia, niscaya Allah melepaskan dia dari kesusahan-
kesusahan hari kiamat, barang siapa memberikan kelonggaran kepada
seseorang yang kesusahan, niscaya Allah akan memberi kelonggaran
baginya di dunia dan akhirat dan barang siapamenutupi (aib) seseorang
muslim. Dan Allah selamanya menolong hamba-Nya, selama hamba itu
mau menolong saudaranya”(HR Muslim).
Berdasarkan hadits di atas dijelaskan bahwa salah satu bentuk
pertolongan adalah dengan melepaskan kesusahan dan kesulitan
seseorang baik berupa transaksi utang piutang atau pun yang lain. Dan
dalam hadits ini juga menerangkan bahwa apabila seseorang yang mau
menolong saudaranya yang mengalami kesulitan, maka Allah akan
memberikan balasan berupa kemudahan dan kelapangan di akhirat kelak.
Memberikan piutang kepada orang yang membutuhkan sangat
dianjurkan oleh Nabi karena dengan memberikan piutang itu berarti telah
mengurangi kekalutan saudaranya.Namun sebelum memberikan piutang
hendaklah dilihat dulu bentuk kebutuhan orang yang berutang, kalau
utang piutang tersebut dipergunakan untuk melakukan hal-hal maksiat,
berarti telah membantu seseorang untuk berbuat dosa.Dan hal ini jelas-
jelas dilarang kecuali utang piutang yang dilakukan benar-benar untuk
menolong seseorang dari kesulitan hidupnya.
3. Rukun dan Syarat Utang Piutang
Sebagai salah satu akad, sudah pasti memiliki beberapa unsur yang
harus dipenuhi dalam suatu transaksi yaitu rukun dan syarat dari
transaksi utang piutang diantaranya:
a. Orang yang berakad („Aqid)
Pihak yang terlibat dalam transaksi adalah orang yang cakap
dalam bertindak hukum terhadap harta dan berbuat kebajikan yaitu:
telah dewasa, berakal sehat dan berbuat sendiri tanpa paksaan
14

(Gufraon, 2000: 50) sedangkan menurut Abdurrahman al-Jaziri,


dalam hal utang piutang harus ada dua pihak yang melakukan akad
yaitu orang yang berutang dan pemberi utang, kedua pihak ini bisa
juga disebut sebagai subjek akad (Rasyid, 2005: 57).
Menurut ulama fiqih setiap subjek akad harus memenuhi
syarat-syarat sebagai berikut:
1) Berakal
Tidak sah akad (dalam hal ini utang piutang) yang
dilakukan oleh orang yang tidak waras (gila)
2) Atas Kehendak sendiri
Maksudnya akad yang dilakukan oleh para pihak dalam
utang piutang itu harus atas kehendak sendiri tanpa ada
paksaan atau tekanan dari pihak manapun.Kehendak sendiri
atas persetujuan kedua belah pihak yang merupakan unsur
penting dalam akad utang piutang.
3) Baligh
Tidak sah akad utang piutang yang dilakukan oleh orang
yang belum baligh (anak-anak) karena seorang anak belum
cakap melakukan tindakan hukum.
4) Tidak di bawah perwalian
Dalam setiap hukum Islam tidak semua orang dipandang
cakap melakukan tindakan hukum walaupun dari segi umur
telah dewasa, seperti yang dikemukakan oleh Ahmad Azhar
Basjir menyatakan bahwa dalam melakukan akad orang yang
di pandang tidak cakap melakukan akad maka akad tersebut
tidak ada nilainya. (Syarifuddin, 2010: 224)

b. Objek Utang Piutang


Menurut Khairuman Pasaribu mengemukakan bahwa barang
yang dihutangkan disyaratkan harus benda yang dapat diukur atau
diketahui jumlahnya atau nilainya. Agar pada waktu pembayaran
15

tidak menyulitkan sebab dalam pengembaliannya nilai barang yang


akan dibayarkan sama dengan nilai barang yang diterima.
(Khairuman, 1994: 137)
Ulama Hanafiyah mengatakan akad utang piutang hanya
berlaku pada harta benda al-Misliyat yakni harta benda yang
banyak padanya, yang lazim dihitung dalam timbangan, takaran
dan satuan, sedangkan harta benda al-Qimiyat tidak sah dijadikan
objek utang seperti hasil seni, rumah, tanah, hewan dan lain-lain.
Ulama Malikiyah, Syafiiyah dan Hanabilah mengemukakan harta
benda yang boleh diberlakukan atasnya akad salam, maka boleh
diberlakukan atasnya utang piutang baik berupa harta benda al-
Misliyat (harta benda yang jenisnya dapat diperoleh di pasar)
maupun al-Qimiyat (harta benda yang jenisnya sulit didapatkan di
pasar). (Hamzah, 1992: 190)
Pendapat di atas sesuai dengan hadits Nabi SAW yaitu:

‫ كان لرجل على النبي صلى اهلل عليو وسلم‬: ‫عن ابى ىريرة رضي اهلل عنو قال‬
‫سن من اإلبل فجاءه يتقاضاه فقال أعطوه فطلبوا سنّو يجد الو إال سنّا فوقها‬
ّ
‫فقال أعطوه فقال أوفيتني أو فى اهلل بك قال النبي صلى اهلل عليو و سلم‬
)‫حياركم احسنكم فضاء (رواه البخرى‬
“Dari Abu Hurairah ra Rasulullah datang Kepada seorang laki-
laki meminjam satu unta kemudian beliau membayar dengan satu
unta yang lebih baik umurnya (lebih tua) dari pada unta yang
beliau pinjam seraya berkata: hendaklah kamu memberikannya
cukuplah bagimu Allah besertamu Rasulullah SAW berkata:
“Orang yang paling baik diantara kalian adalah orang yang
paling baik dalam membayar hutangnya (HR Bukhari).” (Bukhari,
1987, p.93 ).

Berdasarkan hadits di atas dapat diketahui bahwa Rasulullah


juga melakukan transaksi utang piutang dengan hewan sebagai
barang atau objek dalam transaksi. Kemudian nabi membayar
dengan unta yang lebih baik dari pada yang dihutangnya, ini berarti
16

boleh membayar utang dengan nilai yang lebih baik dengan


ketentuan tidak ada disyaratkan dalam akad.
Di samping itu Sayyid Sabiq menegaskan bahwa boleh
memberikan utang berupa pakaian dan hewan karena Rasulullah
pernah mengutangkan hewan (unta) kepada seseorang. Dapat
dipahami bahwa mengenai barang atau benda yang dihutangkan itu
boleh berupa benda atau barang yang bisa ditukar, ditimbang
maupun benda yang tidak dapat ditimbang karena dapat
mempermudah kita dalam membayar utang yang penting pada saat
pengembalian hendaklah dengan yang semisal (sama). (Sabiq,
2012: 237)
c. Sighat Utang Piutang
Kalimat akad dapat dilihat dari contoh berikut: yang memberi
piutang berkata “Aku hutangkan ini kepada engkau”. Kemudian
dijawab oleh orang yang berutang “Aku mengaku berutang kepada
engkau” dan aku berjanji akan membayarnya pada hari itu atau
bulan itu”. Namun dalam kehidupan sehari-hari orang sering
menggunakan kalimat seperti di atas untuk transaksi pinjam
meminjam dan orang juga sering menyamakan antara utang dengan
pinjaman.
Menurut Sayyid Sabiq akad piutang adalah:

‫ واليتحفف‬,‫وعند القرض عقد تمليك فال يتم االممن يخوذلو التحرف‬


‫االيجاب والقبل وكعقد البيع واطية‬
“Akad utang piutang itu adalah akad tamlik (Kepemilikan) maka
tidaklah sempurna akad utang piutang kecuali bagi orang yang
boleh melakukan tindakan hukum dan tidaklah ada hak milik
kecuali dengan ijab qabul seperti jual beli dan hibah.” (Sabiq,
2012: 145)
Pendapat di atas menyatakan bahwa akad dinyatakan sah
dengan adanya lafaz qardh (utang piutang), pinjam meminjam dan
semua lafaz yang mempunyai arti yang sama. Namun ulama
Malikiyah mengemukakan bahwa:
17

‫أن الملك يثبت بالعقد ولو لم يقبض‬


Pemilikan terjadi dengan akad walaupun ia belum menyerahkan
harta..”
Namun dalam kehidupan sehari-hari orang sering tidak
menggunakan kata-kata seperti contoh di atas, bahkan orang sering
menyamakan antara utang dengan pinjaman.
Jadi dapat dipahami bahwa akad utang piutang adalah lafaz
ijab dan qabul yaitu perkataan dari orang yang memberi utang dan
jawaban dari orang yang berutang walaupun dengan kata-kata yang
lain yang penting mempunyai pengertian yang sama. (Sabiq, 2012:
146)
4. Utang Bersyarat.
Utang bersyarat adalah suatu akad utang yang disertai dengan
syarat-syarat tertentu. Dan syarat-syarat tertentu itu ditentukan oleh orang
yang berpiutang, sedangkan orang yang berkewajiban memenuhi syarat
tersebut. Apabila orang yang berutang merasa keberatan dengan syarat
yang diberikan oleh orang yang berpitang, maka sebelum perjanjian itu
disepakati, pihak yang berhutang boleh membatalkannya. Pada dasarnya
pemberian syarat dalam perjanjian utang piutang adalah boleh selama
sarat itu tidak melanggar aturan-aturan yang ditetapkan oleh syariat
islam, misalnya mensyaratkan untuk mencatat utang tersebut atau
memberiakan barang jaminan. Sebagaiman dalam firman Allah SWT
dalam surat Al-Baqarah ayat 282 yang penulis paparkan pada dasar
hukum utang piutang di atas.
Maksud ayat itu, dalam utang piutang diperlukan surat utang
sebagai bukti untuk menghindari hal-hal yang mungkin timbul di
kemudian hari. (Abdul Djamil, 1992: 168)
Mengenai masalah hutang bersyarat ini ke empat imam mazhab
memberikan beberapa ketentuan, antara lain:
a. Hanafiah memakruhkan seseorang yang berutang sesuatu kepada
orang lain untuk memperoleh manfaat tertentu bila itu disyaratkan
18

dalam akad. Misalnya seseorang mengutangkan gandum yang kotor


kemudian mensyaratkan agar orang tersebut untuk membayarnya
dengan gandum yang bersih.
b. Malikiyah berpendapat bahwa haram dalam utang piutang
menentukan sarat untuk mendapat manfaat, misalnya mensyaratkan
membayar utang dengan hewan yang sehat padahal hewan yang
dihutangkan lemah.
c. Hanabilah menyebutkan bahwa dalam hutang piutang tidak boleh
mensyaratkan sesuatu untuk mendapat manfaat tambahan bagi
yang mengutangkan atau dengan syarat memberikan hadiah dan
lain sebagainya.
d. Sedangkan syafi‟I memberikan beberapa ketentuan dalam hal
hutang piutang bersyarat ini, yaitu:
1) Apabila sarat yang diberikan itu bertujuan untuk mengambil
manfaat untuk kepentingan orang yang berpiutang, maka
dalam hal ini akad utangnya rusak dan hukum hutangnya tidak
sah atau haram.
2) Apabila sarat yang diberikan itu bertujuan untuk mengambil
manfaat untuk kepentingan orang yang berhutang, maka dalam
hal ini syaratnya rusak, sedang akadnya sah.
3) Apabila syarat yang diberikan hanya digunakan untuk
kepercayaan, seperti disyaratkan bagi pihak yang berutang
untuk memberikan sertifikat tanah sebagai jaminan utangnya
kepada orang yang berpiutang, maka yang demikian itu dapat
dibenarkan menurut hukum islam.
Dengan demikian utang piutang bersyarat dapat dibenarkan dalam
hukum islam, apabila syarat tersebut tidak mengembil manfaat untuk
kepentingan salah satu pihak, seperti mensyaratkan adanya barang
jaminan yang dapat dipegang apabila terjadi utang piutang. (Abdul
Djamil, 1992: 168- 169)
19

5. Jaminan Dalam Hutang Piutang


Dalam suatu perjanjian hutang piutang dimungkinkan adanya
pemberian jaminan sebagai faktor penguat untuk dapat menimbulkan
kepercayaan bagi pemberi hutang. Tujuannya untuk menjaga kalau
sampai terjadi penyimpangan dari isi perjanjian tanpa pembayaran pihak
berhutang, maka jaminan itu sebagai pelunas.
Dilihat dari sifatnya, maka bentuk jaminan hutang itu ada dua,
yaitu:
a. Jaminan barang
Jaminan barang ialah suatu barang yang dijadikan
penguatkepercayaan dalam hutang piutang.Barang yang dijaminkan
itu boleh diuangkan kalau hutang tidak dapat dibayar dengan harga
yang berlaku sesuai pasaran umum.
Untuk menimbulkan kepercayaan adanya hutang piutang
dengan jaminan barang itu diperlukan pemenuhan rukun-rukun
jaminan. Dan rukun jaminan barang terdiri atas:
1) Lafaz (kalimat) pernyataan ya harus tegas saat penyerahan dan
penerimaan barang dari kedua belah pihak.
2) Kedua belah pihak disyaratkan sebagai ahli tasharruf (berhak
menjual belikan hartanya).
3) Barang yang dijaminkan adalah setiap benda yang boleh di jual
dengan syarat keadaan barangnya tidak dapat rusak selama
perjanjian hutang piutang berlangsung.
4) Ada hutang dengan syarat keadaanya telah tetap (dapat
berlangsung). Kalau barang yang berada pada pihak berhutang
maka barang itu tidak boleh dipindah tangankan baik dijual,
dijaminkan dalam hutang lain maupun diberikan kepada orang
lain kecuali atas izin pemberi hutang.
Dan kalau barang itu rusak atau hilang, maka pemegangnya
tidak perlu mengganti karena sebagai barang yang dijaminkan
memerlukan saling percaya kecuali dalam keadaan disengaja.
20

Selama hutang piutang dengan jaminan berlangsung, maka


kegunaan barang yang dijaminkan itu tetap berhak mengambil
kegunaan barang itu walaupun tanpa izin dari pemberi hutang.
(Abdul Djamil, 1992: 169)

b. Jaminan orang
Jaminan orang dalam arti luas disebut dhaman, penanggung
hutang atau orang yang diikutsertakan untuk menjamin hutang
seseorang.
Sebagai penjamin hutang maka orang lain dimaksudkan akan
menanggung pembayaran hutang itu kalau yang berhutang pada
waktu yang telah disepakati tidak dapat membayar. Tetapi
walaupun dalam suatu hutang piutang ada jaminan orang tidak
berarti yang berhutang menggantungkan diri sepenuhnya kepada
penjamin.Dalam hal ini yang berhutang harus tetap melunasi
hutangnya.Dan kalau yang berhutang dapat melunasi hutangnya,
maka penjamin tidak perlu untuk memberikan pembayaran kepada
yang diberi jaminan.
Suatu akad dengan hutang piutang mempunyai rukun dan
syarat-syarat tertentu. Adapun rukun dan syarat-syarat itu sebagai
berikut:
a) Yang menjamin, disyaratkan harus baliq,berakal, tidak
mubazir dan atas kehendak sendiri.
b) Yang berpiutang, disyaratkan diketahui oleh penjamin
c) Yang berhutang syaratnya mengetahui adanya penjamin
d) Jaminan orang, disyaratkan keadaannya diketahui dan sifatnya
tetap (tidak sementara atau berubah)
e) Lafaz (kalimat) jaminan, disyaratkan yang mengandung makna
jaminannya dan tidak digantungkan kepada sesuatu yang
masih sementara.
21

Kalau rukun dan syarat-syarat diatas tidak dapat terpenuhi


berakibat jaminannya tidak sah. Karena itu sebelum melibatkan orang
sebagai jaminan hutang hendaknya diketahui lebih dahulu rukun dan
syarat-syaratnya disamping resiko yang akan terjadi dikemudia hari.
(Abdul Djamil, 1992: 170)

6. Hukum Pinjam meminjam


Pinjam –meminjam hukumnya bisa berubah tergantung pada
kondisi yang bisa menyertainya. Meninjamkan barang hukumnya sunnah
jika peminjam merasakan manfaat dari pinjaman tersebut dan tidak
menimbulkan mudaharat bagi pemilik barang. Ditambah, peminjam tidak
menggunakan pinjamannya untuk tujuan maksiat atau hal-hal yang
makruh.
Meminjamkan barang juga bisa wajib, jika peminjam dalam
keadaan darurat sedangkan pemilik barang tidak mendapatkan
kemudaratan jika meminjamkannya. Contohnya, pada saat cuaca dingin
ada orang yang telanjang, atau hanya memakai pakaian seadanya
sehingga merasakan kedinginan. Maka, jika ada orang yang bisa
meminjamkan baju untuknya hukumnya menjadi wajib karena orang
tersebut bisa saja meninggal atau terkena penyakit seandainya tidak
dipinjami baju.
Menurut Hanafiyah dan Syafi‟iyah, pinjam-meminjam hukumnya
busa menjadi makruh, jika berdampak pada hal yang makruh. Seperti
meminjamkan hamba sahaya untuk bekerja kepada seirang kafir. Pinjam-
meminjam juga bisa menjadi haram jika berdampak pada perbuatan yang
dilarang. Seperti meminjamkan senjata untuk membunuh orang, atau
meminjamkan kendaraan untuk melakukan maksiat, dan lain-lain.
(Wahab, 2018: 7-8)
22

B. Jual Beli
Jual beli dalam bahasa Arab adalah al- ba‟i, asy-syira‟, al-mubadah,
dan at-tijarah, sedangkan menurut etimologi adalah tukar menukarsesuatu
dengan sesuatu yang lain. ( Muslich, 2010 : 174)
1. Pengertian Jual Beli
a. Pengertian Jual Beli Secara Bahasa (etimologi) menurut pendapat
ulama yaitu:
1) Menurut Sayyid Sabiq

‫البيع معناه لغة مطلقا لمبا دلة‬


“Jual beli secara bahasa yaitu saling menukar (pertukaran
dengan mutlak)”
2) Menurut Muhammad bin Ismail Al-Kahlan

‫ تمليك مال بمال‬: ‫حقيقة البيع لغة‬


“Hakikat jual beli menurut bahasa adalah pemilikan harta
dengan harta”
3) Menurut ulama Hanafiah
“Tukar menukar sesuatu yang diingini dengan yang sepadan
melalui cara tertentu yang bermanfaat”
Dimaksud dengan cara tertentu adalah ijab dan qabul, atau
bisa juga melalui saling memberikan barang dan menetapkan
harga antara penjual dan pembeli.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat disimpulkan jual
beli secara bahasa adalah tukar menukar sesuatu dengan sesuatu
atau pemindahan harta milik kepada orang lain dengan jalan tukar
menukar.
b. Pengertian jual beli secara istilah
Menurut istilah (terminologi), jual beli suatu perjanjian
tukar-menukar benda atau barang yang mempunyai nilai secara
sukarela di antara kedua belah pihak, yang satu menyerahkan
benda-benda dan pihak lain menerimanya sesuai dengan perjanjian
23

atau ketentuan yang telah dibenarkan oleh syara‟ dan disepakati.


Beberapa pendapat ulama tentang jual beli menurut istilah yaitu:
1) Menurut Imam an-Nawawi

‫مبادلة مال بمال تمليكا‬


“Saling menukar harta dengan harta dalam bentuk
pemindahan milik”

2) Menurut Hanafiyah

‫ مبادلة مال بمال على وجو مخصو‬: ‫البيع‬


“Jual beli adalah tukar menukar harta dengan harta menurut
cara yang ditentukan”
3) Menurut Sayyid Sabiq

‫بيع شرعا مبا دلة مال بمال على سبيل عن تراض أونقل ملك بعوضعلى‬
‫وجو المأذون فيو‬
“Jual beli menurut syara‟ adalah tukar menukar harta dengan
harta atas dasar suka sama suka atau pemindahan hak milik
dengan mendapatkan ganti sesuai dengan cara yang
ditentukan”
Adapun pengertian jual beli dalam arti umum adalah suatu akad
atau kegiatan tukar menukar harta dengan harta atau tukar menukar
harta dengan manfaat. Sedangkan jual beli dalam arti khusus ialah tukar
menukar harta dengan uang yang berharga menurut ketentuan Islam
yang dilakukan antara penjual dan pembeli atas dasar suka sama suka
dengan tujuan saling tolong menolong antara satu dengan lainnya.
(Suhendi, 2002 : 68)
2. Dasar Hukum Jual Beli
Dalam ajaran Islam, sesuatu aktifitas yang dilakukan oleh
manusia harus ada dasar hukumnya.Dalam hal ini, al-Quran dan Hadits
Nabi Muhammad SAW, ijma‟ ulama.
a. Dasar hukum jual beli dalam al-Quran di antaranya:
1) Firman Allah Surat An-nisa‟ ayat 29:
24

      

         

        

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling


memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali
dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-
suka di antara kamu, dan janganlah kamu membunuh
dirimu.Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu”.( Anshori, 2006 : 33)
Ayat di atas dengan tegas melarang orang memakan harta
orang lain atau hartanya sendiri dengan jalan batil. Memakan harta
sendiri dengan jalan batil ialah membelanjakan hartanya pada jalan
maksiat, memakan harta orang lain dengan jalan batil ada berbagai
macam caranya, seperti memakannya dengan jalan riba, judi,
menipu, dan menganiaya. Termasuk dalam hal ini yaitu segala jual
beli yang dilarang syara‟, yang tidak termasuk ialah jalan
perniagaan yang saling “berkeridhaan” (suka sama suka) di antara
penjual dan pembeli yakni dari kedua pihak. Sudah tentu dalam hal
ini jual beli atau perniagaan yang dibolehkan oleh syara‟.
Dari penjelasan ayat Al-Quran, sunnah dan Ijma‟ di atas
ulama fiqh juga menjelaskan bahwa asal dari hukum jual beli
adalah mubah (boleh).
Perdagangan yang didasari proses suka sama suka maksudnya,
saling ridha antara penjual dan pembeli. Keridhaan merupakan satu
hal yang tersembunyi di dalam hati, yang tidak dapat dilihat, maka
wajiblah didasarkan kepada yang lahir saja yang dapat
menunjukannya, yaitu dengan sighat (kata-kata yang sudah pasti
mempunyai arti untuk mengenal adanya ridha itu). Dikecualikan
dari ini adalah jual beli barang–barang kecil (remeh), karena hal
25

ini telah berlaku sebagai masyarakat Islam yang tidak


menggunakan (sighat) jual beli seperti ini. Demikian pendapat
jumhur Ulama Islam.( Binjai, 2006 : 258 )
b. Dasar Hukum Jual Beli menurut Hadis
Dasar hukum jual beli dalam sunnah Rasulullah SAW, di
antaranya adalah:

ِ ‫َي الْ َك ْس‬ ِ ‫ول‬ ِ َ َ‫يج ق‬ٍ ‫عن َرافِ ِع بْ ِن َخ ِد‬


‫ َع َم ُل‬:‫ال‬ ُ َ‫ب أَطْي‬
َ َ‫ب؟ ق‬ ُّ ‫ أ‬،‫اهلل‬ َ ‫ يَا َر ُس‬:‫يل‬
َ ‫ ق‬:‫ال‬
]‫ [رواه أحمد‬.‫الر ُج ِل بِيَ ِدهِ َوُك ُّل بَ ْي ٍع َم ْب ُروٍر‬
َّ
Dari Rafi' bin Khadij dia berkata,"Dikatakan, "Wahai Rasulullah,
mata pencaharian apakah yang paling baik?" Beliau bersabda:
"Pekerjaan seorang laki-laki dengan tangannya sendiri dan
setiap jual beli yang mabrur". (HR. Ahmad)

c. Dasar hukum jual beli menurut ijma‟


Yaitu ulama telah sepakat bahwa jual beli dibolehkan dengan
alasan bahwa manusia tidak akan mampu mencukupi kebutuhan
dirinya, tanpa bantuan orang lain. Namun demikian, bantuan atau
barang milik orang lain yang dibutuhkanya itu, harus diganti dengan
barang yang lainya yang sesuai. (Syafe‟I, 2004 :75)
3. Rukun Dan Syarat Jual Beli
a. Rukun jual beli
Adapun yang menjadi rukun dalam perbuatan hukum jual beli
terdiri dari:
1) Adanya pihak penjual dan pihak pembeli, (orang-orang yang
berakad)
2) Adanya uang dan benda (ma‟kud alaih)
3) Adanya lafal
Dalam suatu perjanjian jual beli, ketiga rukun ini hendaklah
dipenuhi.Andai kata salah satu rukun tidak dipenuhi, maka perbuatan
tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai perbuatan jual beli.
Jual beli dinyatakan sah apabila disertai dengan ijab dan qabul,
kecuali jika sesuatu yang dipertukarkan adalah sesuatu yang remeh,
26

karena cukup dilakukan dengan saling menyerahkan barang atas dasar


sama-sama rela.Hal ini dikembalikan kepada tradisi dan kebiasaan
masyarakat. (Albani, 2011 : 160)
Dalam ijab qabul, tidak disyariatkan adanya kalimat tertentu
yang harus digunakan karena yang menentukan dalam akad adalah
tujuan dari akad yang dilakukan, bukan kalimat yang diucapkan.
Sesuatu yang penting dalam hal ini adalah kerelaan untuk melakukaan
pertukaran dan ungkapan yang menunjukkan pengambilan dan
pemberian kepemilikan.
Menurut Imam Nawawi dalam syarah al-muhadzab rukun jual
beli meliputi tiga hal, yaitu: harus ada akid (orang yang melakukan
akad), ma‟qud alaihi ( barang yang diakadkan ) dan shigat, yang
terdiri atas ijab ( penawaran) qabul (penerimaan).
a) Akid adalah: pihak-pihak yang melakukan transaksi jual beli, yang
terdiri dari penjual dan pembeli. Baik itu merupakan pemilik asli,
maupun orang lain yang menjadi wali / wakil dari sang pemilik
asli. Sehingga ia memiliki hak dan otoritas untuk
menstransaksikannya.
b) ma‟qud alaihi ( objek akad). Harus jelas bentuk, kadar dan sifat-
sifatnya dan diketahui dengan jelas oleh penjual dan pembeli. Jadi,
jual beli barng yang samar, yang tidak dilihat oleh penjual dan
pembeli atau salah satu dari keduanya, maka dianggap tidak sah.
Imam Syafi‟i telah mengatakan, tidak sah jual beli tersebut karena
ada unsur penipuan. Para Imam tiga dan golongan ulama madzhab
kita juga mengatakan hal yang serupa. Yang artinya: dari Abu
Hurairah, ia berkata,” Nabi telah melarang memperjual belikan
barang yang mengandung tipu daya.
c) Shighat (ijab dan qabul)
Ijab adalah perkataan dari penjual, seperti “ aku jual barang
ini kepadamu dengan harga sekian”. Dan qabul adalah ucapan dari
pembeli, seperti”aku beli barang ini darimu dengan harga sekian”.
27

Dimana, keduanya terdapat persesuaian maksud meskipun


berbeda lafas seperti penjual berkata” aku beli” dan sebaliknya.
Selain itu tidak terpisah lama antara ijab dan qabulnya, sebab
terpisah lama tersebut membuat keluarnya (batalnya) qabul
tersebut. (Siswadi, 2013 : 62-63)
b. Syarat sah jual beli
Transaksi jual beli baru dinyatakan terjadi apabila terpenuhi
tiga syarat jual beli yaitu :
1. Adanya dua pihak yang melakukan transaksi jual beli
2. Adanya sesuatu atau barang yang dipindahtangankan dari penjual
kepembeli
3. Adanya kalimat yang menyatakan terjadinya transaksi jual beli
(siqhat ijab qabul) ( Suhrawardi, 2010 : 130)
Ada beberapa syarat yang harus dipenuhi pada saat melakukan
transaksi jual beli, sehingga jual beli yang dilaksanakan dinyatakan
sah. Jual beli haruslah memenuhi syarat, baik tentang subjeknya,
objeknya, dan tentang lafal.
1. Syarat subjek jual beli
a. Berakal
Dengan demikian, jual beli yang dilakukan anak kecil
yang belum berakal, hukumnya tidak sah.Anak kecil yang
sudah mumayyiz (menjelang baligh), apabila akad yang
dilakukannya membawa keuntungan baginya, seperti
menerima hibah, wasiat, dan sedekah, maka akadnya sah
menurut Mazhab Hanafi.
Yang dimaksud dengan berakad adalah dapat
membedakan atau memilih mana yang terbaik bagi
dirinya.Apabila salah satu pihak tidak berakal maka jual beli
yang diadakan tidak sah. (Lubis, 2000 : 30)
Sebaliknya apabila akad itu membawa kerugian bagi
dirinya, seperti meminjamkan harta kepada orang lain,
28

mewakafkan atau menghibahkannya tidak dibenarkan


menurut hukum.
Transaksi yang dilakukan anak kecil yang mumayyiz
yang mengandung manfaat dan mudarat sekaligus, seperti
jual-beli, sewa-menyewa dan perserikatan dagang, dipandang
sah menurut hukum dengan ketentuan bila walinya
mengizinkan setelah dipertimbangkan dengan sematang-
matangnya. ( Hasan, 2004 : 118-119)
b. Dengan kehendak sendiri(bukan terpaksa)
Dalam melakukan perbuatan jual beli, salah satu
pihak tidak melakukan tekanan atau paksaan atas pihak lain.
Akibatnya, pihak lain tersebut melakukan perbuatan jual beli
bukan disebabkan kemauan sendiri, tetapi karena ada unsur
paksaan.
Adapun yang menjadi dasar bahwa suatu jual beli
harus dilakukan atas dasar kehendak sendiri, dapat diliht
dalam ketentuan: “hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang
bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama suka diantara kamu” (Lubis, 2000 : 30)
c. Keduanya tidak mubazir
Pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual
beli bukanlah manusia yang boros (mubazir), sebab orang
yang boros di dalam hukum dikategorikan sebagai orang
yang tidak cakap hukum. Maksudnya, dia tidak dapat
melakukan sendiri sesuatu perbuatan hukum, walaupun
kepentingan hukum itu menyangkut kepentingan sendiri.
(Lubis, 2000 : 31)
29

d. Baligh
Orang yang sudah cukup umur dan dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, maka
jual beli yang dilakukan oleh anak kecil adalah tidak sah.
(Hasan, 2004 : 119 )
2. Syarat objek jual beli
Maksud objek jual beli di sini adalah benda yang menjadi sebab
terjadinya perjanjian jual beli.
a. Kesucian barang
Barang yang ditransaksikan harus suci, sehingga tidak sah
penjualan benda-benda najis seperti anjing, babi, dan yang lainnya.
b. Kepemilikan orang yang berakad atas barang tersebut
Barang yang ditransaksikan harus dimiliki oleh orang yang
sedang melangsungkan akad atau mendapatkan izin atau kuasa dari
orang yang memiliki barang (yang akan diakadkan).
c. Kemampuan untuk menyerahkan barang
Barang yang ditransaksikan harus bisa diserahterimakan
secara syar‟i dan secara fisik.
d. Mengetahui(barang tersebut jelas)
Apabila dalam suatu jual beli keadaan barang dan jumlah
harganya tidak diketahui, maka perjanjian jual beli itu tidak
sah.Sebab bisa jadi perjanjian tersebut mengndung unsur penipuan.
e. Telah diterimanya barang yang dijual
Barang yang akan dijual harus sudah diterima oleh penjual
apabila sebelumnya dia memperoleh barang tersebut dengan
pertukaran.
3. Lafal akad jual beli
Para ulama fiqh sepakat menyatakan bahwa unsur utama dari jual
beli adalah kerelaan kedua belah pihak.Kerelaan kedua belah pihak dapat
dilihat dari ijab dan qabul yang dilangsungkan.Akad ialah kata antara
penjual dan pembeli. Jual beli belum dikatakan sah sebelum ijab dan
30

kabul dilakukan sebab ijab kabul menunjukkan kerelaan (keridhaan).


Pada dasarnya ijab kabul dilakukan dengan lisan, tetapi kalau tidak
mungkin, misalnya bisu atau yang lainnya, ijab kabul boleh dilakukan
dengan surat-menyurat yang mengandung arti ijab dan kabul. (Zuhaili,
2011 : 32)
Jual beli yang menjadi kebiasaan, misalnya jual beli sesuatu yang
menjadi kebutuhan sehari-hari tidak disyaratkan ijab kabul, ini
merupakan pendapat jumhur. Menurut fatwa Ulama Syafi‟iyah, jual beli
barang-barang yang kecil pun harus ijab kabul, tetapi menurut Imam al-
Nawawi dan Ulama Muta‟akhirin Syafi‟iyah berpendapat bahwa untuk
barang-barang yang kecil boleh tidak ijab kabul seperti membeli
sebungkus rokok.
Sementara itu, terkait dengan ijab kabul yang menjadi syarat-
syarat sahnya jual beli yaitu:
a) Jangan ada yang memisahkan, pembeli jangan diam saja setelah
penjual menyatakan ijab dan sebaliknya.
b) Orang yang Jual beli dapat ditinjau dari beberapa segi. Ditinjau dari
segi objek jual beli dan segi pelaku jual beli, ditinjau dari segi
hukumnya jual beli ada dua macam yaitu jual beli yang sah menurut
hukum dan batal menurut hukum. Mengucapkannya telah baligh
dan berakal.
c) Jangan diselingi dengan kata-kata lain antara ijab dan kabul.
Selain dari syarat sahnya jual beli ada juga syarat sahnya penjual
dan pembeli adalah sebagai berikut:
Pertama, Baligh berakal agar tidak medah ditipu orang. “ dan
janganlah kita berikan hartamu kepada orang-orang yang bodoh”.
Kedua, beragama Islam, syarat ini khusus untuk pembeli dalam benda-
benda tertentu. Misalnya, dilarang menjual hamba yang beragama Islam
kepada orang kafir, karena ditakutkan pembeli merendahkan orang
yang beragama Islam. Sebagaimana firman Allah: “Dan Allah sekali-
kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk
31

memusnahkan orang-orang yang beriman”. Ketiga, ada benda atau


barang yang perjualkan belikan (ma‟kud alaih) dan keempat, tidak
mubazir (pemborosan) dan kehendak sendiri tidak ada paksaan dari
pihak lain. (Susiawati, 2017 : 178-179)
b. Macam-Macam Jual Beli
a. Segi Objek jual beli
Ditinjau dari benda yang dijadikan objek jual beli dapat
dikemukakan bahwa jual beli dibagi menjadi tiga bentuk yaitu:
1) Jual Beli yang kelihatan
Jual beli yang kelihatan ialah pada waktu melakukan akad
jual beli benda atau barang yang diperjualbelikan ada di depan
penjual dan pembeli. Hal ini lazim dilakukan masyarakat banyak
dan boleh dilakukan, seperti membeli beras di pasar.
2) Jual Beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian
Jual beli yang disebutkan sifat-sifatnya dalam perjanjian
ialah jual beli salam (pesanan). Menurut kebiasaan para pedagang,
salam adalah untuk jual beli yang tidak tunai (kontan).
3) Jual beli benda yang tidak ada
Jual beli benda yang tidak ada serta tidak dapat dilihat ialah
jual beli yang dilarang oleh agama Islam karena barangnya tidak
tentu atau masih gelap sehingga dikhawatirkan barang tersebut
diperoleh dari curian atau barang titipan yang akibatnya dapat
menimbulkan kerugian salah satu pihak.
b. Segi pelaku jual beli
Ditinjau dari pelaku akad (subjek), jual beli terbagi menjadi
tiga bagian yaitu dengan lisan, dengan perantara, dan dengan
perbuatan.
1) Akad yang dilakukan dengan lisan adalah akad yang dilakukan
oleh kebanyakan orang. Bagi orang bisu dilakukan dengan isyarat
karena isyarat merupakan pembawaan alami dalam menampakkan
kehendak dan pengertian, bukan pembicaraan dan pernyataan.
32

2) Penyampaian akad jual beli melalui utusan, perantara, tulisan, atau


surat-menyurat sama halnya dengan ijab dan kabul dengan ucapan,
misalnya via Pos dan giro, jual beli ini dilakukan antara penjual
dan pembeli tidak berhadapan satu majelis akad, tetapi melalui Pos
dan Giro, jual beli seperti ini dibolehkan menurut syara‟
3) Jual beli dengan perbuatan (saling memberikan) atau dikenal
dengan istilah mu‟athah yaitu mengambil dan memberikan barang
tanpa ijab dan kabul, seperti seseorang mengambil rokok yang
sudah bertuliskan label harganya, dibandrol oleh penjual dan
kemudian diberikan uang pembayaran kepada penjual.
c. Menurut hukum jual beli
1) Jual beli yang sah menurut hukum
Jual beli yang sah adalah jual beli yang sesuai dengan
perintah syariat dan memenuhi rukun serta syarat jual beli.Dengan
terpenuhinya rukun dan syarat ini, kepemilikan atas barang yang
dijual dan penukarnya serta pemanfaatan keduanya menjadi halal.
Jika jual beli bertentangan dengan perintah syariat, maka jual beli
dinyatakan tidak sah dan batal.
2) Jual beli tidak sah menurut hukum
Jual beli yang tidak sah adalah jual beli yang tidak sesuai
dengan syariat Islam.Meskipun jual beli ini terlaksana, tetapi tidak
menetapkan hukum syar‟i dan tidak menghasilkan kepemilikan
meskipun pembeli telah menerima barang yang dijual karena
sesuatu yang haram tidak bisa menjadi jalan untuk memiliki.Jual
beli yang dilarang ada pula yang batal dan ada pula yang terlarang
tetapi sah.
3) Jual beli yang dilarang dan batal hukumnya adalah sebagai berikut:
a. Barang yang dihukumkan najis oleh agama, seperti anjing,
babi, berhala, bangkai, dan khamar,
33

b. Jual beli sperma (mani) hewan, seperti mengawinkan domba


jantan dengan domba betina agar dapat memperoleh turunan.
Jual beli ini haram hukumnya.
c. Jual beli binatang yang masih berada dalam perut induknya.
Jual beli seperti ini dilarang, karena barangnya belum ada dan
tidak tampak. ( Sahrani, 2011 : 70-71)
d. Jual beli dengan Muhaaqalah, (‫)ا ْل ُم َحاقَلَ ِة‬yaitu jual beli buah yang
masih ditangkai dengan gandum. Hal ini dilarang agama sebab
ada persangkaan riba di dalamnya.
َ ‫ )ا ْل ُم َخا‬yaitu menjual buah-
e. Jual beli dengan mukhadarah (‫ض َر ِة‬
buahan yang belum pantas untuk dipanen, seperti menjual
rambutan yang masih hijau, mangga yang masih kecil-kecil,
dan yang lainnya. Hal ini dilarang karena barang tersebut masih
samar, dalam artian mungkin saja buah tersebut jatuh tertiup
angin kencang atau yang lainnya sebelum diambil oleh
pembelinya.
َ ‫) ا ْل ُمالَ َم‬yaitu jual beli secara
f. Jual beli dengan Mulaamasah (‫س ِة‬
sentuh menyentuh. Misalkan, seseorang menyentuh sehelai
kain dengan tangannya di waktu malam atau siang hari, maka
yang menyentuh telah membeli kain tersebut. Hal ini dilarang
karena mengandung tipuan dan kemungkinan akan
menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. (Suhandri, 2008 :
79)
g. Jual beli Munaabadzah (‫)ا ْل ُمنَابَ َذ ِة‬yaitu jual beli secara lempar
melempar, seperti seseorang berkata “lemparkanlah padaku apa
yang ada padamu, nanti kulempar pula padddamu apa yang ada
padaku.” Setelah terjadi lempar melempar, terjadilah jual beli.
Hal ini dilarang karena mengandung tipuan dan tidak ada ijab
kabul. (Sabiq, 2009 : 185)
h. Jual beli dengan muzabanah (‫)ا ْل ُم َزابَنَ ِة‬yaitu menjual buah yang
basah dengan buah yang kering, dengan bayaran padi basah,
34

sedangkan ukurannya dengan dikilo sehingga akan merugikan


pemilik padi kering.
i. Menentukan dua harga untuk satu barang yang
diperjualbelikan. Menurut Syafi‟i, penjualan seperti ini
mengandung dua arti, pertama seperti seseorang berkata
“kujual buku ini seharga 10.000,- dengan tunai atau 15.000,-
dengan cara utang.” Arti kedua ialah seperti seseorang berkata.
“Aku jual buku ini kepadamu dengan syarat kamu harus
menjual tasmu padaku.”
Jual beli dengan syarat (iwadh mahjul), jual beli seperti
ini, hampir sama dengan jual beli dengan menentukan dua
harga, hampir saja di sini dianggap sebagai syarat, seperti
seseorang berkata “Aku jual rumahku yang buntut ini
kepadamu dengan syarat kamu mau menjual mobilmu padaku.”
Lebih jelasnya, jual beli seperti ini sama dengan jual beli
dengan dua harga.
C. Riba
1. Pengertian Riba
Secara bahasa menurut Al-Razi, riba berarti tambahan. Hal ini
didukung dengan sebuah ungkapan raba al-syay‟ yarbu idza „amala fi al-
riba. Senada dengan Al-Razi, Al-Shabuni berpendapat bahwa riba adalah
tambahan secara mutlak. Demikian pula Al-Jurjani dalam kitab al-
Ta‟rifat-nya menjelaskan bahwa riba secara bahasa bermakna ziyadah atau
tambahan. (Ghofur, 2016: 3)
Riba secara etimologis bermakna kelebihan atau tambahan, ulama
fikih mendefinisikan riba dengan, kelebihan harta dalam suatu muamalah
dengan tidak ada imbalan/gantinya. Yang dimaksud di sini adalah
tambahan terhadap modal yang timbul akibat suatu transaksi utang-piutang
yang harus diberikan terutang kepada pemilik utang jatuh tempo.
Terdapat beberapa pendapat dalam menjelaskan riba, namun secara
umum terdapat benang merah yang menegaskan bahwa riba adalah
35

pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual beli maupun pinjam-


meminjam secara batil atau bertentangan dengan prinsip muamalah dalam
Islam. (Yulianti, 2002: 53)
Sedangkan secara termonologis, menurut Al-Shabuni, riba adalah
tambahan yang diambil oleh pemberi hutang dari penghutang sebagai
perumbangan dari masa (meminjam). Al-Jurjani mendefenisikan riba
sebagai tambahan atau kelebihan yang tiada bandingannya bagi salah satu
orang yang berakad. Sementara Abdurrahman al-Jaziri dalam kitab al-
Fiqh ala Madzabib al-Arba‟ah menjelaskan bahwa menurut istilah fukaha
adalah tambahan pada salah satu dua barang yang sejenis yang ditukar
tanpa adanya imbalan/imbangan terhadap tambahan tersebut. Dalam
madzhab Syafi‟I, riba dimaknai sebagai transaksi dengan imbalan tertentu
yang tidak diketahui kesamaan takarannya maupun ukuran waktunya
kapan terjadi transaksi dengan penudaan penyerahan kedua barang yang
diperlukan atau salah satunya. (Ghofur, 2016: 5)
2. Dasar Hukum Riba
Di dalam pengertian lain riba dapat diartikan dengan pengambilan
tambahan dari harga pokok atau dari modal secara bathil, baik itu sedikit
maupun banyak, baik yang bersifat produktif ataupun konsumtif (darurat)
semua jelas keharamannya seperti yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam
surat Ali-Imran ayat 130 yang berbunyi:

        

    

Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan


berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat
keberuntungan( QS Ali-Imran : 130)
Diturunkan kira-kira tahun kedua atau ketiga hijriyah, menyrukan
kaum muslimin untuk menjauhi riba jika mereka menghendaki kesejahteraan
yang diinginkan (dalam pengertian Islam yang sebenarnya).
36

........         ……….


……..Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan
riba……..(QS. al-Baqarah : 275)
Diturunkan menjelang selesainya misi Rasulullah SAW menutuk
keras mereka yang mengambil riba, menegaskan perbedaan yang jelas
antara perniagaan dengan riba, dan menuntut kaum muslimin agar
menghapuskan seluruh utanng piutang yang mengandung riba,
menyerukan agar mereka mengambil pokoknya saja, dan mengikhlaskan
kepada peminjaman yang mengalami kesulitan. Rasulullah SAW juga
mengutuk, dan mengsunakan kata-kata yang terang, bukan saja mereka
yang mengambil riba, tetapi juga mereka yang memberikan riba dan para
penulis yang memberikan riba dan para penulis yang mencatat transaksi
atau para saksinya. (Hidayanto, 2008: 241)
Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa riba itu hukumnya haram.
Untuk itu bahwa jual beli tidak sama dengan riba. Karenanya akan
menjadi sangat penting untuk dapat membedakan antara riba dan
perdagangan biasa. Bisa jadi bahwa riba yang dimaksud dalam ayat-ayat
tersebut adalah sebagaimana yang dipahami saat Al-Quran diturunkan.
Salah satunya adalah “riba Al-Jahiliyah”, yaitu penambahan jumlah
hutang bagi peminjam yang tidak dapat membayar pada saat jatuh tempo.
(Hidayanto, 2008: 243)

3. Macam-Macam Riba
a. Riba akibat hutang piutang disebut riba qiradh yaitu suatu manfat atau
kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang
(muqtarid).
b. Riba jahiliyah yaitu hutang yang dibayar dari pokoknya, karena si
peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang
ditetapkan.
37

c. Riba akibat jual beli disebut riba fadl yaitu pertukaran antar barang
sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda dan barang yang
dipertukarkan termasuk dalam jenis barang ribawi.
d. Riba nasi‟ah yaitu penangguhan atas penyerahan benda ribawi. Hal
ini terjadi karena adanya perbedaann, perubahan atau tambahan antara
yang diserahkan pada saat jatuh tempo dengan yang diserahkan
kemudian. (Wahab, 2017: 29)

D. Menghubungkan Jual Beli Dengan Utang


1. Pengertian, Jenis Multi Akad (Hybrid Kontrak)
Hybrid kontrak secara harfiah diartikan multi akad dalam
bahasa Indonesia kata “multi” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
berarti banyak, lebih dari satu, lebih dari dua, berlipat ganda. Dengn
demikian, multi akad dalam bahasa Indonesia berarti akad berganda
atau akad yang banyak, lebih dari satu.
Sedangkan menurut istilah fikih, kata multi akad merupakan
terjemahan dari kata Arab yaitu al-„uqud al-murakkabah yang berarti
akad ganda rangkap. Al-„uqud al-murakkabah terdiri dari dua kata al-
„uqud (bentuk jamak dari „aqd) dan al-murakkabah. Kata „aqd secara
etimologi artinya mengokohkan, mengikat, menyambung atau
menghubungkan dan hukum perdata Indonesia diartikan dengan
perjanjian. Sedangkan secara terminology „aqd berarti mengadakan
perjanjian atau ikatan yang mengakibatkan munculnya sebuah
kewajiban. Kata al-murakkabah (murakab) secara etimilogi berarti
aljam‟u, yakni mengumpulkan atau menghimpun.
Menurut Nazih Hammad multi akad adalah kesepakatan dua
pihak untuk melaksanakan suatu akad yang mengandung dua akad atau
lebih seperti jual beli dengan sewa menyewa, hibah, wakalah, qardh,
muzara‟ah, syirkah, mudahrabah, … dst. Sehingga semua akibat
hukum akad-akad yang terhimpun tersebut, serta semua hak dan
kewajiban yang ditimbulkan dipandang sebagai suatu satu kesatuan
38

yang tidak dapat dipisah-pisahkan, sebagaimana akibat hukum dari


satu akad.
Menurut AAOIFI (Standar Shariah No. 25/2008: 451) multi
akad sebagai suatu proses kesepakatan antara dua pihak atau lebih
yang memiliki konsekuensi timbulnya sebuah kesimpulan simultan
dari kontrak yang berjumlah lebih dari satu. Kombinasi kontrak ini
terjadi dengan menggabungkan lebih dari satu akad tanpa
mengharuskan untuk mengambil salah satu sebagai syarat atas yang
lain, tanpa kesepakatan sebelumnya untuk melakukannya, atau
menggabungkan lebih dari satu akad dengan mengharuskan salah
satunya sebagai syarat atas yang lain, tanpa adanya perjanjian untuk itu
sebelumnya, atau menggabung lebih dari satu akad sesuai kesepakatan
yang dibuat sebelumnya, tapi tidak mengharuskan salah satunya
sebagai syarat atas yang lain, atau kesepakatan untuk menyepakati
suatu transaksi dengan melewati proses beberapa kontrak yang
berbeda-beda dimana akan diputuskan pada waktu yang akan datang.
(Wahyuddin, 2016: 4-5)
Menurut istilah fikih, kata multi akad merupakan terjemahan
dari kata arab yaitu al-„uqud al murakkabah yang berarti akad ganda
(rangkap) yaitu mengumpulkan atau menghimpun.
Menurut Nazih Hammad al-„uqud al murakkabah adalah
kesepakatan dua pihak untuk melaksanakan suatu akad yang
mengandung dua akad atau lebih, seperti jual beli dengan sewa
menyewa, hibah, wakalah, qard, muzara‟ah, sharaf (penukaran mata
uang) syirkah, mudarabah, dst. Sehingga semua akibat hukum akad-
akad yang terhimpun tersebut hak dan kewajiban yang ditimbulknnya
dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisa pisahkan
sebagaimana akibat hukum satu akad.
39

2. Macam-Macam Multi Akad


a. Akad bergantung atau akad bersyarat.
Akad bergantung atau akad bersyarat adalah multi akad
dalam bentuk akad kedua merespon akad pertama, dimana
kesempurnaan akad pertama bergantung pada sempurnanya akad
kedua melalui proses timbal balik. Dengan kata lain akad satu
bergantung pada akad lainnya.
b. Akad terkumpul
Akad terkumpul adalah multi akad yang terhimpun dalam
satu akad. Dua atau lebih akad terhimpun dalam satu akad. Seperti
contoh “saya jual rumah ini kepadamu dan saya sewakan rumah
yang lain kepadamu selama satu bulan dengan harga lima ratus
ribu” . Multi akad dapat terjadi dengan terimpunnya dua akad yang
memiliki akibat hukum berbeda didalam satu akad terhadap dua
objek dengan dua harga, atau dua akad dalam satu akad terhadap
dua objek dengan dua harga, atau dua akad dalam satu akad yang
berbeda hukum atas satu objek dengan satu imbalan, baik dalam
waktu yang sama atau waktu yang berbeda.
c. Akad berlawanan
Akad berlawanan yaitu suatu akad dimana seseorang
mengatakan bahwa sesuatu benar, lalu berkata lagi sesuatu itu
salah.Perkataan orang ini disebut mutanaqidhah, saling
berlawanan. Dikatakan mutanaqidhah karena antara satu dengan
yang lainnya tidak saling mendukung, melainkan mematahkan.
d. Akad berbeda
Akad berbeda yaitu terhimpunnya dua akad atau lebih yang
memiliki perbedaa semua akit ada hukum diantara kedua akad itu
atau sebagainya. (Hasanudin Maulana, 2011: 162-163)
Mingka menjelaskan bahwa ada banyak jenis hybrid kontrak
seperti bay‟ wafa (kombinasi kontrak penjualan dengan janji untuk
membeli kembali). Kontrak ini terdiri dari beberapa kontrak dalam
40

satu transaksi seperti kontrak kepemilikan bersama (syirkah al-milik),


kontrak penjualan (ba‟y), akad ijarah (lease), hibah, sebagainya.
Selanjutnya dia membagi jenis kontrak hibrida menjadi empat
kategori, yaitu, Pertama, multi akad yang mukhtalithah (bercampur)
yang memunculkan nama baru, seperti bay‟ istighlal, bay‟ tawwaruq,
musyarakah matanasishah dan bay‟ wafa. Kedua, kontrak yang
menggabungkan beberapa „aqd dalam satu transaksi dan keluar nama
baru caqd lama masih disebutkan, seperti bay‟‟at-takjiry (menyewa
perjanjian pembelian atau sewa guna usaha) mudharabah musharakah
dalam asuransi jiwa (Fatwa DSN-MUI No. 51/2006) dan deposito
berjangka di bank syariah (Fatwa DSN-MUI No. 50/2006).Ketiga,
kontrak yang akad-akadnya tidak bercampur dan tidak melahirkan
nama akad baru. Tetapi nama akad dasarnya tetap ada dan eksis dan
dipraktekkan dala suatu transaksi. Keempat, Hybrid kontrak yang
mutanaqidhah (akad-akadnya berlawanan). Bentuk ini dilarang dalam
syariah. Contohnya menggabungkan akad jual beli dan pinjam-
meminjam (bay‟ wa salaf). Contoh lain, menggabungkan qardh wal
ijarah dalam satu akad. Kedua contoh tersebut dilarang oleh nash
(dalil) syariah. (Wahyuddin, 2016: 10-11)
3. Hukum multi akad
Status hukum multi akad belum tentu sama dengan status
hukum dari akad-akad yang membangunnya. Seperti akad ba‟i dan
salaf yang secara jelas dinyatakan keharamannya oleh Nabi saw. Akan
tetapi jika kedua akad itu berjalan sendiri-sendiri, maka akad ba‟i
mupun salaf diperbolehkan. Begitu juga dengan menikahi dua wanita
yang bersaudara sekaligus haram hukumnya, tetapi jika dinikahi satu
persatu (tidak dimadu) hukumnya boleh. Artinya hukum multi akad
tidak bisa semata dilihat dari hukum akad-akad yang membangunnya.
Bisa jadi akad-akad yang membangunnya adalah boleh ketika berdiri
sendiri, namun menjadi haram ketika akad-akad yang membangunnya
adalah boleh ketika berdiri sendiri, namun menjadi haram ketika akad-
41

akad itu terhimpun dalam satu transaksi. Dapat ditentukan bahwa


hukum dari multi akad belum tentu sama dengan hukum dari akad-
akad yang membangun tidak secara otomatis menjadi hukum dari
multi akad.
Meski ada multi akad yang haram,namun prinsip dari multi
akad ini adalah boleh dan hukum dari multi aqad diqiyaskan dengan
hukum aqad yang membangunnya. Artinya setiap muamalat yang
menghimpun beberapa akad, hukumnya halal selama akad-akad yang
membangunnya adalah boleh. (Hasanudin Maulana, 2011: 165)

4. Batasan dan standar multi akad


Para ulama yang membolehkan praktik multi akad bukan berarti
membolehkan secara bebas, tetapi ada batasan- batasan yang tidak
boleh dilewati. Karena batasan ini akan menyebabkan multi akad
menjadi dilarang. Dikalangan ulama, batasan-batasan ini ada yang
disepakati dan diperselisihkan . (Hasanudin Maulana, 2011: 172)
Secara umum batasan yang disepakati oleh para ulama adalah
sebagai berikut
a. Multi akad dilarang karena nash agama .
Dalam hadis nabi secara jelas menyatakan tiga bentuk multi
akad yang dilarang yaitu: multi akad dalam jual beli dan pinjaman,
dua akad jual beli dalam satu akad jual beli dan dua transaksi dalam
satu transaksi. Suatu akad dinyatakan boleh selama objek, harga dan
waktunya diketahui oleh kedua belah pihak.Jika salah satu diantara
keduannya tidak jelas, maka hukum dari akad itu dilarang.
b. Multi akad sebagai hilah ribawi
Agama menetapkan seseorang yang memberikan pinjaman
agar tidak berharap dananya kembali kecuali sejumlah pinjaman ynag
diberikan, dan dilarang menetapkan tambahan atas pinjaman baik
dengan hillah atau lainnya. Demikian pula dalam jual beli
disyariatkan bagi orang yang mengharapkan memberikan kepemilikan
42

barang dan mendapatkan harganya, dan dilarang bagi yang bertujuan


riba fadhl atau riba nasa‟, bukan bertujuan pada harga dan barang.
c. Multi akad menyebabkan jatuh ke riba.
Setiap multi akad yang mengantarkan kepada yang haram,
seperti riba, hukumnya haram, meskipun akad-akad yang
membangunnya adalah boleh. Penghimpunan beberapa akad yang
hukum asalnya boleh namun membawanya kepada yang dilarang
menyebabkan hukumnya menjadi dilarang. (Hasanudin Maulana,
2004: 174-175)
E. An-Taradin Minkum
1. Pengertian An-Taradin Minkum
Taradin berasal dari kata yarodhi rodhi, artinya suka, rela, setuju,
lawannya sakhati artinya marah. Rida dan marah adalah termasuk dari
sifat hati, sesuatu yang tersembunyi di lubuk hati. Menurut kamus al-
munawwir rodhi artinya senang, suka atau rela. Taradin dalam kamus
al-Munawwir artinya persetujuan dari kedua belah pihak atau saling
menerima.
Menurut Quraish Shihab An-Taradin Minkum merupakan
hubungan timbal balik yang harmonis, peraturan dan syariat yang
mengikat, serta sanksi yang menanti, merupakan tiga hal yang selalu
berakitan denga bisnis dan, di atas ketiga hal tersebut , ada etika yang
menjadikan pelaku bisnis tidak sekadar menuntut keuntungan materi
yang segera, tetapi melampauinya hingga seperti tuntutan. (Rohman,
2016: 37)
2. Dasar Hukum An-Taradin Minkum
Al-Taradin dalam kontrak merupakan persyaratan yang paling
mendasar dalam semua kontrak komersial dan dalam hukum Islam.
Keridhaan ini bersifat subjectif yang tidak dapat diketahui kecuali
dengan ekspresi nyata dari pihak yang bertransaksi, baik melalui kata-
kata, tulisan, tindakan atau isyarat. Persetujuan secara rida untuk
43

melakukan ijab dan qabul hanya dapat dilakukan oleh orang yang
telah memiliki kecakapan (ahiyyah) yaitu baliqh dan berakal.
Allah SWT memerintahkan kepada orang yang beriman agar
hanya memperoleh keuntungan dari sesamanya hanya dengan jalan
perniagaan (baik barang atau jasa) yang berlaku secara rida sama rida,
sesuai dengan firman Allah SWT dalam Q.S An-Nisa‟ (4) ayat 29,
yang berbunyi:

      

          

       


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
dan janganlah kamu membunuh dirimu Sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu.
Dari ayat diatas menunjukkan bahwa Islam adalah agama yang
menjamin perdamaian dan keharmonisan hidup manusia. Dalam
kontrak, tidak selalu disyaratkan bahwa kedua-duanya barang yang
dikontrakkan itu mempunyai nilai yang sama, tetapi yang utama
diisyaratkan adalah adanya unsur suka sama suka (saling rida). Untuk
itu masing-masing pihak harus mempunyai informasi yang komplet
sehingga tidak ada pihak yang merasa dicurangi atau diripu karena
adanya suatu yang tidak diketahui. Informasi yang komplet itu
meliputi empat aspek yaitu, kualitas, kuantitas, harga, dan waktu
penyerahan. Jika empat hal itu tidak jelas bagi salah satu pihak, maka
terjadi tadlis adanya tadlis dalam kontrak merupakan suatu
pelanggaran terhadap prinsip suka sama suka.
Islam juga membolehkan melakukan kontrak yang hanya
memberi keuntungan pada salah satu pihak saja, misalnya kontrak
hibah, wasiat, sedekah, dan wakaf. Kontrak jenis ini hanya
44

membeikan keuntungan kepada salah satu pihak saja, yaitu penerima,


sedangkan pihak pemberi tidak mendapat apa-apa (dalam arti materil,
secara spiritual tentu ia akan menadapatan pahala dari Allah SWT
sesuai dengan kadar keikhlasannya), asalkan ia memberi dengan
penuh keridhaan, maka kontrak semacam itu adalah sah dan halal.
(Hulaify, 2016: 46-47)
3. Kriteria An-Taradin Minkum Pada Akad Jual Beli
Kegiatan ekonomi dalam Islam yang meliputi produksi,
konsumsi, distribusi dan saving atau tabungan merupakan suatu
aktivitas ekonomi dalam pemenuhan kebutuhan. Pemenuhan
kebutuhan yang sering dilakukan adalah berkenaan dengan transaksi,
transaksi dalam aktivitas ekonomi merupakan cara untuk melakukan
mekanisme pertukaran adalah jual beli.
Transaksi jual beli dalam Islam dalam memiliki sejumlah aturan,
aturan jual beli suatu yang sudah ma‟ruf bahwa setiap orang
membutuhkan sesuatu melalui proses jual beli. Hal ini menunjukkan
bahwa pentingnya aktivitas ini karena setiap hari dibutuhkan. Namun
patut diketahui bahwa seorang muslim punya kewajiban untuk
memilih yang halal dan meninggalkan yang haram. Seorang muslim
tidak boleh asal-asalan dalam melakukan aktivitas ibadah dan juga
dalam transaksi jual beli. Ada aturan dalam jual beli yang mesti
diperhatikan, semacam mengetahui rukun-rukunnya. Jika rukun ini
tidak terpenuhi, tentu juual beli tersebut bermasalah.
Di dalam fikih muamalah rida atau sukarela merupakan salah satu
rukun dari setiap transaksi yang dilakukan oleh kedua belah pihak.
Rida sendiri merupakan persoalan hati yang tidak bisa dilihat dan
diketahui. Tetapi indikasinya bisa dilihat dengan jalan ijab dan qabul
dengan melakukan akad jual beli yang sesuai dengan tuntutan syariat.
Kriteria transaksi dalam taradin melalui pendekatan tafsir dan
pendekatan hukum ekonomi Islam, kriteria trasaksi dalam prinsip
taradin adalah dasar suka sama suka, saling kerelaan dengan tidak
45

mengambil keuntungan secara berlebihan, dan menolak adanya unsur


kebatilan berupa penipuan, paksaan, dan tekanan. Kriteria suka sama
suka atau kerelaan dengan niat baik yang diindikasikan melalui sikap
jujur dan penuh keikhlasan yang menunjukkan etika dalam muamalah.
(Rohman, 2016: 42-42)

F. Penelitian yang Relevan


Penulis menemukan beberapa penelitian yang terdahulu yang ada
kaitannya dengan masalah yang penulis bahas, diantarannya penelitian
yang ditulis oleh Adi Wibowo, Nim. 08380045 tahun 2013 dengan judul
skripsi “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Pinjam Meminjam Uang
Di Desa Ngolorong Kec. Sragen Kab. Sragen” Fakultas Syariah
Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dalam pelaksanaan
hutang piutang di desa Glorong ini rukun dan syarat al-qard telah
dipenuhi, maka praktek hutang piutang ini sudah sah menurut Hukum
Islam.
Faktor-faktor yang melatarbelakangi adanya praktek tersebut
dikarenakan adanya kemudahan dalam menutupi kebutuhan hidup
masyarakat setempat. Ditambah dengan minimnya pengetahuan tentang
hukum transaksi tersebut dalam islam. Bahwa tidak setiap tambahan yang
terdapat dalam hutang piutang itu riba, tetapi lebih tergantung pada latar
belakang dan akibat yang ditimbulkan, dengan demikian tambahan dalam
transaksi di desa tersebut tidak terlarang untuk diambil karena dalam hal
ini para pihak tidak ada yang dirugikan dan juga tidak mengakibatkan para
pihak terpuruk dan susah dalam kehidupan ekonominya.
Penelitian yang ditulis oleh Zainal Arifin, Nim 00380012 tahun
2005 dengan judul skripsi “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik
Pinjaman Di Koperasi PT Djarum Kudus” Fakultas syariah Universitas
Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta, skripsi ini membahas tentang
praktik simpan pinjam dengan sistem tambahan dalam pengembalian
pinjaman (bunga). Dalam skripsi ini praktik simpan pinjam di koperasi PT
46

Djarum Kudus sudah sesuai dengan norma-norma hukum islam, karena


tidak ada unsur eksploitasi, penipuan serta riba yang berlipat ganda.
Thesis dari Chumaedatul Umamah, Nim 03380409 tahun 2009
tentang “Pijaman Bersyarat Dalam Tinjauan Hukum Islam (Studi Di
Dusun Tegalsari, Desa Kawungantenlor, Kec.Kaunganten, Kab.Cilacap)”
fakultas syariah Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Menjelaskan bahwa si kreditur meminjamkan uang kepada debitur dengan
syarat bahwa hasil pertanian si debitur harus dijualkan kepada si kreditur,
hingga hutang si debitur lunas. Dari hasil penelitiannya diperoleh
kesimpulan bahwa dalam kegiatan peminjaman bersyarat ini lebih bersifat
tolong menolong dan kedua belah pihak juga saling diuntungkan
Yang membedakan penelitian penulis dengan penelitian
sebelumnya adalah dilihat dari segi waktu, tempat dan subjek, bahwa
belum terdapat penelitian secara khusus membahas studi pinjaman yang
dibayar melalui penjualan ubi
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu penelitian
lapangan (field research). Penelitian ini melalui pendekatan penelitian
kualitatif, yaitu prosedur penelitian dengan hasil data deskriptif. Dalam
penelitian ini peneliti akan meneliti pelaksanaan utang piutang dan proses
pembayaran hutang petani ubi kepada toke ubi di Jorong Sungai Jambu.
B. Latar dan Waktu Penelitian
a. Latar Penelitian
Penelitian yang akan penulis lakukan bertempat di Jorong
Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu Kecamatan Pariangan Kabupaten
Tanah Datar.
b. Waktu Penelitian
Adapun waktu dalam Penelitian yang penulis lakukan dapat
dilihat sebagai berikut:
Tabel 1
Time Schedule Penelitian

NO Kegiatan Bulan

2019 2020
Agus

Sept

Nov

Juni
Mar

Mei
Apr
Des
Okt

Feb
Jan

1
Survei Awal
2 Pembuatan
Proposal
Proses
4 Bimbingan
Pra Seminar
5 Seminar

47
48

Proposal
6 Revisi Pasca
Seminar
7 Penelitian
skripsi
8 Bimbingan
Skripsi
9 Sidang
Munaqasyah
10 Revisi Pasca
Munaqasyah

C. Instrumen Penelitian
Dalam penelitian kualitatif instrumennya adalah peneliti sendiri.
Insturmen pendukung yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
pedoman wawancara berupa daftar pertanyaan, guna mendapatkan data
dari pihak petani ubi dan toke ubi di Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai
Jambu. Instrumen tambahan lainnya adalah buku catatan, pena, Hp, dan
alat bantu lainnya.
D. Sumber Data
Pada penelitian ini, sumber data yang penulis pakai adalah :
a. Sumber Data Primer.
Sumber data primer dalam penelitian ini adalah 5 orang petani
ubi yang melakuan peminjaman uang kepada toke dan 3 orang toke ubi
di Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu.
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder atau data tambahan segala sesuatu yang
dapat dijadikan data tambahan atau pelengkap dalam mengungkapkan
masalah dalam penelitian ini adalah dokumentasi dan LPJ Nagari
Sungai Jambu serta karya ilmiah yang berhubungan dengan hutang
piutang.
49

E. Teknik Pengumpulan Data


Pada penelitian ini penulis menggunakan metode pengumpulan data
sebagai berikut:
1. Wawancara
Penulis melakukan serangkaian Tanya jawab dengan toke ubi
dan petani ubi yang meminjam uang kepada toke di Jorong Sungai
Jambu Nagari Sungai Jambu tentang pelaksanaan utang piutanng
bersyarat dan pembayaran hutang bersyarat di Jorong Sungai Jambu.
2. Dokumentasi
Dokumentasi digunakan untuk mendapatkan data tertulis atau
dokumentasi tentang utang piutang bersyarat antara toke ubi dan
petani ubi di Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu.
F. Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan adalah teori Miles dan Hubermen
dengan langkah-langkah yang dilakukan yaitu, melakukan reduksi data
dengan cara merangkum hal-hal yang pokok dan memfokuskan pada hal-
hal yang penting dari permasalahan yang diteliti. Setelah data direduksi,
maka langkah selanjutnya mendisplay data dengan cara mengkaji dalam
bentuk uraian singkat atau dengan bentuk narasi. Hal ini mempermudah
untuk penulis untuk memahami permasalahanyang terjadi dan
mempermudah penulis dalam mengambil kesimpulan dan memverifikasi
dari data-data yang telah penulis dapatkan sehingga mendapatkan
kesimpulan yang kredibel.
G. Teknik Penjaminan Keabsahan Data
Adapun teknik penjamin keabsahan data dalam penelitian ini yang
penulis gunakan adalah triangulasi, yaitu triangulasi sumber. Triangulasi
sumber adalah pengumpulan data dari beragam sumber yang berbeda
dengan menggunakan metode yang sama. Penulis memberikan pertanyaan
50

yang sama kepada 3 orang petani ubi dan 2 orang toke ubi di Jorong
Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu.
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Tentang Nagari Sungai Jambu


1. Kondisi Nagari Sungai Jambu
a. Letak Geografis
Nagari Sungai Jambu salah satu yang berada di wilayah
Kecamatan Pariangan yang letaknya sangat strategis serta lintas
yang bertetangga dengan Kecamatan Lima Kaum dan Kecamatan
Sungai Tarab dengan potensi alam yang sangat sejuk dan bersahabat.
Disamping daerah yang berhawa sejuk, tanah yang subur serta
kehidupan yang saling menghargai yang sangat memelihara
persatuan dan kesatuan dalam bermasyarakat termasuk yang
memiliki integritas yangt tinggi antar sesama masyarakat dalam
bernagari. Selain itu, dari mata pencarian masyarakat Nagari Sungai
Jambu pada umumnya bertani dan selebihnya bergerak di bidang
Peternakan, Pegawai Negeri Sipil, Perkebunan, Berjualan dan lain
sebagainya.
Secara administrasi Pemerintahan Nagari Sungai Jambu
berbatasan dengan:
a) Sebelah Timur berabtasan dengan Nagari Parambahan, Labuah
Kecamatan Lima Kaum dan Nagari Talang Tangah Kecamatan
Sungai Tarab
b) Sebelah Barat berbatsan dengan Nagari Pariangan
c) Sebelah Utara berbatasan dengan Gunung Marapi
d) Sebelah Barat berbatasan dengan Nagari Sawah Tangah, Nagari
Simabur, dan Nagari Tabek
Dengan jumlah penduduk Nagari Sungai Jambu 6.028 dengan
luas wilayah 28,15 Km2 di Nagari Sungai Jambu mempunyai 4
Jorong:

51
52

a) Jorong Sungai Jambu


b) Jorong Labuatan
c) Jorong Jambak Ulu
d) Jorong Batur
Secara geografis Nagari Sungai Jambu pada dasarnya sangat
memiliki potensi untuk dikembangkan, berada pada ketinggian 1300
M dari permukaan laut dengan suhu 23o C- 30o C, dengan curah
hujan rata-rata 1200 mm/tahun dengan kondisi seperti demikian
maka Nagari Sungai Jambu beriklim lahan pertanian yang sangat
subur sangat cocok untuk tanaman cabe, ubi-ubian, serta tanaman
lainnya.
b. Letak Topografis
Topografis adalah gambaran tentang tingkat kemiringan dan
ketinggian tanah dari permukaan laut, kondisi kemiringan tanah
merupakan salah satu yang sangat mempengaruhi kesesuian lahan
untuk syarat tumbuhnya suatu tanaman, karena dengan kemiringan
tanah yang sangat mempengaruhi kesuburan tanaman sebagaimana
gambaran yang ada pada table di bawah ini:

Tabel 4.1
Letak Topografi
Nagari Sungai Jambu Kecamatan Pariangan
No Topografi Kemiringan Luas (Ha) %

1 Wilayah Datar - 125 24

2 Wilayah - - -
Berombak
3 Wilayah - - -
Bergelombang
4 Wilayah - 396 76
53

Berbukit
Jumlah 521 100

Sumber data: Profil Nagari Sungai Jambu


Melihat Topogafi Nagari Sungai Jambu di atas, bahwa di Nagari
Sungai Jambu ini memiliki aliran sungai yang berasal dari lereng
gunung marapi yang bisa dimanfaatkan oleh penduduk / masyarakat
Nagari Sungai Jambu untuk kebutuhan rumah tangga, pertanian, dan
kegiatan lainnya.
c. Jumlah dan Pertumbuhan Penduduk
Secara teoritis disebutkan bahwa jumlah penduduk yang besar
merupakan salah satu modal dasar untuk melaksanakan
pembangunan secara sistematis dan berkesinambungan. Hal ini
dimaksudkan apabila jumlah penduduk yang besar tersebut dapat
dikelola secara maksimal untuk melaksanakan pembangunan di
Nagari serta dikendalikan secara bijak dan terencana agar
pemabangunan di Nagari dapat dimanfaatkan secara baik oleh
masyarakat di Nagari.
Berdasarkan data terakhir yang diterima dari laporan pengiriman
mutasi penduduk Nagari Sungai Jambu bahwa jumlah penduduk
sebanyak 6028 jiwa. Yang tersebar di 4 Jorong dalam Nagari Sungai
Jambu. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari rincian berikut:
Tabel 4.2
Jumlah Penduduk
Di Nagari Sungai Jambu Tahun 2019
No Jorong Jumlah Penduduk

1 Sungai Jambu 1.423

2 Labuatan 551

3 Jambak Ulu 423


54

4 Batur 425

Jumlah 2.822

d. Komposisi Penduduk
1) Menurut Jenis Kelamin
Dilihat dari segi komposisi penduduk berdasarkan jenis
kelamin di Nagari Sungai Jambu dapat dilihat pada Tabel
berikut:
Tabel 4.3
Komposisi Penduduk Menurut Jenis Kelamin
Di Nagari Sungai Jambu Tahun 2019
No Jorong Penduduk Jumlah

Laki-laki Perempuan

1 Sungai 2000 2709 4709


Jambu
2 Labuatan 320 440 760

3 Jambak Ulu 250 303 553

4 Batur 300 334 634

Jumlah 28770 3786 6656

2) Kepadatan dan Penyebaran Penduduk


Kepadatan Penduduk Nagari Sungai Jambu sangat padat
apabila dibandingkan dengan Nagari yang berada di Nagari lain
di Kabupaten Tanah Datar.
Tingkat kepadatan Penduduk Nagari Sungai Jambu
menyebar pada 4 Jorong dalam Nagari Sungai Jambu karena
55

merupakan tempat tinggal/ kediaman dari semenjak dulu serta


tempat berladang dan bercocok tanam/ untuk lahan pertanian.
3) Tingkat Kelahiran
Salah satu komponen utama yang menyebabkan perubahan
jumlah penduduk adalah ferfitas (tingkat kelahiran) yaitu yang
berkaitan banyaknya bayi atau anak yang lahir oleh wanita atau
wanita lainnya.
Dalam upaya melakukan pembatasan jumlah anak yang
akan lahir, maka penduduk wanita pada usia tertentu menjadi
sarananya, usia tertentu yang dimaksud adalah usia 17 s/d 35
tahun, wanita ini disebut dengan wanita usia subur (WUS) dan
pasangan usia subur (PUS) bagi yang telah berstatus kawin.
2. Potensi Nagari Sungai Jambu
a. Bidang Perekonomian
Percepatan pemulihan ekonomi merupakan hal yang sangat
penting dalam masyarakat serta hal sangat prioritas dalam
pembangunan di daerah Sungai Jambu, seperti hal kondisi ekonomi
pada daerah lain di Tanah Datar khususnya dan Sumatera Barat
umumnya, karena hal itu merupakan pondasi awal dari segala bidang
pembangunan yang akan dilaksanakan di Nagari
Menurut data yang ada di Nagari Sungai Jambu terdapat
berbagai potensi yang sangat baik untuk diekmbangkan terutama
pada sektor pertanian dimana di Nagari Sungai Jambu terdapat lahan
yang sangat cocok untuk budidaya tanaman ubi serta tanaman
lainnya.
1) Pertanian dan Perkebunan
Secara geografis Nagari Sungai Jambu mempunyai potensi
alam yang sangat potensial untuk dikembangkan sebagai pusat
pertumbuhan terutama pada bidang pertanian dan perkebunan
karena alamnya yang sangat mendukung untuk mengembangkan
tanaman seperti: ubi, cabe padi, serta tanaman palawija lainnya.
56

Dengan kondisi yang sangat mendukung dengan demikian,


penduduk Nagari Sungai Jambu pada umumnya bertani dan
sebagian lainnya berdagang dan Pegawai Negeri.
Areal persawahan yaitu 1665 Ha dan perkebunan 550 Ha.
Hasil pertanian yang sangat menonjol yaitu tanaman palawija
(ubi, jagung, padi, bawang dan lain-lain).
2) Peternakan
Kegiatan di bidang peternakan pada umunya adalah sapi
pedaging (sapi pejantan). Kegiatan ini dilaksanakan secara
perorangan dan berkelompok dengan tujuan untuk
pengembangan dan penggemukan sapi guna untuk
membangkitkan perekonomian masyarakat.
3) Pariwisata
Dari sektor pariwisata di Nagari Sungai Jambu masih belum
menunjang perekonomian masyarakat karena objek wisata yang
ada di Nagari Sungai Jambu belum dapat dikembangkan dengan
maksimal di mana Nagari Sungai Jambu terdapat beberapa
objek wisata yang sangat strategis dan mempunyai nilai sejarah
yang sangat bermanfaat untuk anak cucu dimasa yang akan
datang, yaitu:
a) Sawah Gadang Satampang Baniah
b) Batu Sijamba Makan
c) Luak Data
d) Batu Kiliran Taji
e) Air Tujuh Tingkat
f) Lantak Batau (Air Terjun)
g) Air Terjun Basiku
h) Batu Tapak Kuda
i) Galundi Nan Baselo
j) Cubadak Bercabang Tiga
k) Batu Bujang Juaro
57

l) Tugu Pahlawan di Jambak Ulu


m) Kuburan Panjang
4) Industry Rumah Tangga (home industry)
Merupakan ujung tombak dalam pembangunan
perekonomian rumah tangga hal ini tetap mampu tumbuh dan
berkembang dengan baik di tengah-tengah masyarakat. Industry
rumah tangga yang ada di Nagari Sungai Jambu yang masih
bertahan sampai saat sekarang ini mengelola aneka ubi jalar
untuk dijadikan makanan ringan. (Profil Nagari Sungai Jambu,
2019)
B. Pelaksanaan akad transaksi utang petani dengan toke ubi di Jorong
Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu
Pada Jorong Sungai Jambu terjadi transaksi utang piutang. Akad utang
piutang yang dilakukan antara toke ubi dengan petani ubi di Jorong Sungai
Jambu adalah utang piutang bersyarat. Akadnya yaitu seperti: buk
Ermawati mengatakan kepada Al (toke ubi) “saya mau meminjam uang
untuk modal menanam ubi, apakah bisa?”, Al menjawab: “bisa kak, kakak
perlunya berapa?”, buk Ermawati menjawab: “saya perlunya sebanyak Rp.
800.000”, Al mengatakan: “baik kak, tpi kalau ubinya sudah bisa di panen
nanti ubinya jual kepada saya” buk Ermawati menjawab: :” baik lah Al”,
Al: “ambilkan dulu uangnya kak”, buk Ermawati: “iya Al”, Al: “ini
uangnya kak, pembayaran hutangnya setelah panen ubinya ya kak, saya
langsung memotong hasil penjualan ubi kakak dengan hutang kakak”, buk
Ermawati: “baik Al, terima kasih Al”, Al: “ sama-sama kak”. (hasil
wawancara dengan Buk Ermawati sebagai petani ubi pada tanggal 22
Desember 2019)
Adapun hasil wawancara dengan toke ubi bahwa petani mendatangi
toke dengan maksud untuk berhutang kepada toke. Toke menyetujui
permintaan hutang uang kepadanya. Namun, toke mensyaratkan kepada
petani ubi ketika panen ubi, ubi dijual kepadanya dan pembayaran hutang
tersebut dibayarkan dengan cara pemotongan langsung dari hasil penjualan
58

ubi tersebut. (hasil wawancara dengan Al sebagai ubi pada tanggal 23


Desember 2019)
Selain pernyataan dari Da Al tadi, penulis juga melakukan wawancara
dengan Da Toni selaku toke ubi yang menyatakan bahwa hutang piutang
yang dilakukan di Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu ini pada
prakteknya, sama dengan hutang piutang yang sebagaimana mestinya, tapi
dengan syarat setelah petani ubi diberikan pinjaman uang oleh toke ubi
disyaratkan hasil panen ubi petani harus dijual kepada toke ubi selaku
pemberi pinjaman kepada petani serta pembayaran hutang tersebut
dilakukan dengan cara memotong langsung hasil panen ubi petani. Hal ini
dilakukan agar dalam pelunasan hutangnya petani tidak bertele-tele karena
uang pinjaman tersebut bisa juga digunakan oleh toke untuk modal dalam
mengembangkan usahanya. Adapun mekanisme yang dilakukan dalam
praktek hutang bersyarat di Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu,
yaitu:
1. Datang langsung kepada toke selaku pemberin hutang
2. Melakukan perjanjian terkait dengan besar pinjaman dan waktu jatuh
tempo.
3. Harus memiliki jaminan berupa hasil panen ubi
4. Mengembalikan pinjaman sesuai dengan kesepakatan. (wawancara
dengan Da Toni selaku toke ubi pada tanggal 20 April 2020)
Mekanisme hutang piutang tersebut didalam proses yang dilakukan
lebih cepat dan mudah, perjanjian dilakukan hanya secara lisan dengan
sistem kepercayaan, sehingga petani ubi selaku peminjam tidak
memerlukan dokumen terkait identitas seperti halnya meminjam uang di
lembaga keuangan.
Saat memberikan hutang piutang ini petani sebagai peminjam dan
toke sebagai pemberi pinjaman sama-sama mendapatkan keuntungan,
keuntungan bagi petani yaitu dengan adanya hutang yang diberikan oleh
toke ubi, petani dapat menggunakan hutang tersebut sebagai modal
mengolah sawahnya untuk ditanami ubi, seperti untuk membeli pupuk ubi,
59

untuk upah membajak sawah, untuk upah orang menanam ubi dan
menyiangi ubi. Selain itu juga untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari
dan juga untuk keperluan anak mereka sekolah atau kuliah. Keuntungan
bagi toke ubi sebagai pemberi hutang yaitu agar dapat mengembangkan
usahanya, dengan memberikan syarat kepada petani yang berhutang agar
menjual ubi kepadanya, toke lebih mudah mendapatkan ubi apabila ada
banyak permintaan ubi. (wawancara dengan Da Nok sebagai toke ubi
pada tanggal 24 Desember 2019)
Selain itu, penulis juga melakukan wawancara dengan beberapa petani
ubi yang melakukan hutang bersyarat kepada toke ubi, diantaranya:
Ibuk Ermawati menjelaskan bahwasanya ketika beliau melakukan
peminjaman uang kepada toke, toke memberikan syarat agar beliau
menjual hasil panen ubi kepada toke tersebut dan pembayaran hutang
tersebut dilakukan dengan cara pemotongan langsung dari hasil penjualan
ubi. Dengan dengan adanya utang ini beliau juga menjelaskan bahwasanya
beliau sangat tertolong, dengan hutang yang diberikan oleh toke tersebut
beliau mendapatkan modal untuk menanam ubi, untuk mencukupi
kebutuhan sehari-hari serta untuk memenuhi kebutuhan anaknya kuliah
dan sekolah. (wawancara dengan ibu Ermawati sebagai petani ubi tanggal
22 Desember 2019). Dengan demikian Ibuk Ermawati melakukan praktek
hutang bersyarat di Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu
dikarenakan keadaan ekonomi yang dihadapi dan untuk modal, maka dari
itu beliau memilih untuk melakukan hutang bersyarat yang mana
pembayarannya dilakukan dilakukan ketika panen.
Menurut Bapak Def sebagai salah satu petani ubi di Jorong Sungai
Jambu Nagari Sungai Jambu mengatakan bahwasanya ketika memasuki
musim taman para petani mendatangi toke dan mengutarakan niatnya
untuk behutang uang kepada toke guna untuk keperluan mengolah
sawahnya untuk ditanami ubi seperti untuk memberi upah membajak
sawah, upah petani menanam ubi dan membersihkan rumput liar
ditanaman ubinya, apabila dilakukannya sendiri akan lama selesainya serta
60

untuk membeli pupuk ubi tersebut dan untuk keperluan lainnya dalam
mengolah tanaman ubinya tersebut. namun dalam memberikan hutang
piutang tersebut ada syarat tambahan agar hasil panen nanti harus dijual
pada toke ubi sebagai pemberi hutang yang telah memberikan modal.
Sebenarnya dengan adanya syarat dalam pemberian hutang tersebut
menurutnya suatu paksaan karena seharusnya jika berhutang atau
meminjam modal tidak perlu diberikan syarat. Namun karena suatu
kebutuhan dan keterbatasan modal mau tidak mau petani harus
menyanggupi syarat tersebut. Utang piutang bersyarat suah menjadi
kebiasaan masyarakat untuk menempuh jalan pintas demi memenuhi
kebutuhan sehari-hari dan modal. Meskipun terasa berat petani harus
memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh toke ubi. (wawancara
dengan bapak Def sebagai petani ubi pada tanggal 23 Desember 2019)
Ibuk Mailis petani ubi yang melakukan hutang bersyarat di Jorong
Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu mengungkapkan bahwa akad atau
perjanjian dalam melakukan hutang yaitu toke ubi sebagai pemberi hutang
memberikan hutang kepada petani tetapi dengan syarat pada saat panen ubi
tersebut, hasil panen tersebut harus dijual kepadanya, dan pembayaran
hutang dilakukan dengan cara memotong langsung dari penjualan ubi
tersebut. Ibuk Mailis menambahkan bahwasanya meski hutang yang
dilakukannya hutang bersyarat, namun bagi dirinya hutang bersyarat
tersebut cukup membantu untuk membantu untuk mendapatkan modal
guna menanam ubi. Dia tidak memungkiri keadaan ekonomi yang
mendesak untuk memenuhi kebutuhan yang lain juga menjadi salah satu
alasan mengapa beliau melakukan hutang bersyarat tersebut, karena
hutang yang telah diberikan dapat diberikan saat waktu panen tiba.
Sehingga membantu dirinya meski tidak memiliki modal awal.
(wawancara dengan Ibuk Mailis sebagai petani ubi pada tanggal 23
Desember 2019)
Tek Pik sebagai petani ubi yang melakukan hutang bersyarat
menjelaskan, beliau mengetahui bahwa hutangn tersebut bersyarat. Namun
61

beliau tetap melakukannya karena hutang bersyarat ini di anggap lebih


praktis. Praktis maksudnya adalah dalam penjualan hasil panen telah
memiliki pembeli yang jelas, sehingga tidak perlu mencari pembeli lagi
untuk menjual hasil panen karena toke sebagai pemberi hutang telah
mengambil (memanen) ubi tersebut secara langsung. Beliau juga
menambahkan bahwa praktek hutang piutang bersyarat ini dianggap sama-
sama menguntungkan. Karena beliau bisa berhutang terlebih dahulu
kepada toke ubi dan tidak perlu pusing memikirkan uang untuk membayar
hutang tersebut karena hutang tersebut dibayarkan langsung dengan cara
memotong hasil penjualan ubi tersebut. (wawancara dengan Tek Pik
sebagai petani ubi pada tanggal 25 April 2020)
Dayat sebagai petani ubi di Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai
Jambu mengatakan bahwa beliau merasa dirugikan dengan praktek hutang
bersyarat ini karena beliau harus menjual hasil panen ubinya kepada toke
yang memberikan hutang dan toke juga membeli hasil panen ubi tersebut
lebih rendah dari harga pasaran. Beliau juga menambahkan apabila
menjual kepada toke lain maka toke tersebut membeli ubinya denga sesuai
dengan harga pasaran. Beliau juga mengatakan bahwa ada keterpaksaan
untuk memenuhi syarat yang diberikan oleh toke pkarena beliau
memerlukan modal untuk menanam ubi (wawancara dengan Dayat sebagai
petani ubi pada tanggal 25 April 2020)
Dari penelitian yang penulis lakukan di Jorong Sungai Jambu Nagari
Sungai Jambu dengan petani dan toke yang melakukan utang piutang
bersyarat, yang menjadi alasan bagi petani untuk meminjam uang kepada
toke dengan bersyarat adalah untuk mengolah sawahnya untuk ditanami
ubi, untuk kebutuhan sehari-hari dan untuk biaya pendidikan anak petani
tersebut. dan alasan toke melakukan utang piutang bersyarat adalah agar
dalam pembayaran hutang petani tidak bertele-tele dan untuk
mengembangkan usahanya
62

C. Mekanisme pembayaran utang uang yang dilakukan oleh petani ubi


terhadap toke ubi
Utang piutang yaitu memberikan sesuatu kepada seseorang dengan
perjanjian dia akan membayar yang sama dengan itu. (Arianti, 2014: 22).
Orang yang berutang wajib mengembalikan pinjaman bila telah jatuh
tempo pelunasan. Dan bagi yang mampu melunasi, haram hukumnya
menunda-nunda pembayaran. (Rijal, 2013: 99)
Mekanisme pembayaran hutang antara petani ubi dengan toke di
Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai yaitu dari hasil jual beli ubi, yang
mana toke yang memberikan hutang kepada petani yang membeli ubi
petani tersebut. Pada akad jual beli ubi ini toke mensyaratkan tersebut
dengan penjualan hasil ubinya secara keseluruhan kepada toke, meskipun
hasil tanaman ubinya jauh lebih banyak harganya dari hutang petani.
(wawancara dengan Def sebagai petani ubi pada tanggal 23 Desember
2019)
Dari hasil penjualan ubi tersebut toke langsung memotong uang
penjualan ubi untuk pembayaran hutang petani. Sesuai dengan penjelasan
dari petani ubi: Al: “ubi di kayu aro lah patuk di ungkoa mah kak”,
Mailis: “iyo Al”, Al: “bia lah bisuek wak ambiak lai kak, Mailis: “jadih al
ndk baa da al”, Al: “bisuek pitih ubi kak ko langsuang jo wak potong
samo utang kak potang, kan utang kak 1.000.000 potang mah, jadi lobie jo
wak agin ka kak bisuek”, Mailis: “jadih Al ndak baa da Al, bisuek anton
jo pitih ka rumah Al, Al: :”jadih kak”. (Al: ubi yang di kayu aro sudah
bisa di panen kak, Mailis: iya Al, Al: besok saya yang memanen ubinya,
Mailis: ok Al, Al: uang hasil panen ubinya langsung saya potong dengan
hutang, kan hutang nya 1.000.000, jadi uang lebihnya saya berikan kepada
kakak, Mailis: ok Al, besok uangnya diantarkan saja ke rumah, Al: iya
kak) (hasil wawancara dengan mailis sebagai petani ubi pada tanggal 23
Desember 2019)
Pembayaran hutang yang dilakukan antara petani ubi dengan toke ubi
di Jorong Sungai Jambu adalah dengan cara pemotongan langsung dari
63

hasil penjualan ubi petani dan dari penjualan ubi petani tersebut terdapat
perbedaan harga antara petani ubi yang meminjam uang kepada toke
dengan petani yang tidak meminjam uang kepada toke. Hal ini sesuai
dengan hasil wawancara Ibuk Ermawati selaku petani ubi, yang
mengatakan bahwa beliau membayar hutang yang diberikan toke ubi
dengan cara toke ubi memotong langsung dari hasil penjulan ubi serta toke
juga mengambil upah mencuci ubi dan mengangkut ubi dari sawah ke tepi
jalan dari hasil ubi tersebut. beliau juga mengatakan bahwa ubinya yang
dibeli toke tersebut lebih rendah dari harga pasaran, sedangkan toke
membeli ubi petani yang tidak meminjam uang kepada sesuai dengan
harga pasaran. Dan tidak ada kesepakatan pada saat akad bahwa toke akan
memotong harga jual beli ubi, toke hanya mengatakan memotong harga
jual beli ubi tersebut ketika hasil penjualan ubi diberikan kepada beliau.
(wawancara dengan buk Ermawati sebagai petani ubi pada tanggal 22
Desember 2019). Berdasarkan hasil wawancara di atas terlihat bahwa
adanya perbedaan harga ubi antara petani ubi yang berhutang kepada toke
dengan petani yang tidak berhutang kepada toke. Dan juga toke memotong
harga dari penjualan ubi petani tanpa adanya kesepakatan awal dengan
petani.
Petani lain juga membenarkan hal di atas, yaitu Bapak Def yang
mengatakan bahwa toke ketika melakukan akad atau perjanjian dengan
petani tidak mengatakan adanya pemotongan harga dari hasil penjualan
ubi. Apabila ada kesepakatan awal bahwa harga penjualan ubi akan
dipotong atau dibeli lebih rendah dari harga pasaran mungkin petani tidak
mau berhutang kepada toke, karena petani merasa dirugikan secara materil
dengan adanya pemotongan harga tersebut serta tidak adanya kebebasan
petani untuk menjual ubinya kepada toke lain, yang mana apabila petani
menjual ubi kepada toke lain, maka harga ubi tersebut sesuai dengan harga
pasaran. Beliau juga menambahkan terdapat perbedaan harga ubi antara
toke pemberi hutang dengan toke lain yang mana perbedaan tersebut
sebesar Rp. 20.000 per karung. Toke yang memberi hutang hanya
64

membeli ubi petani yang berhutang kepadanya sebesar Rp. 130.000 per
karung sedangkan toke lain membeli dengan harga sesuai dengan harga
pasaran yaitu sebesar Rp. 150.000. (wawancara dengan Bapak Def sebagai
petani ubi pada tanggal 23 Desember 2019)
Alasan toke memotong harga seperti yang disampaikan petani ubi
untuk mendapatkan keuntungan sesuai dengan hasil wawancara dengan
toke ubi yang mengatakan bahwa benar, saya memotong harga kepada
orang yang meminjam uang kepada saya, sistemnya hampir sama dengan
bank, kalau di bank kita meminjam uang akan memakai bunga, jadi dari
situ saya mengambil keuntungan, sambil menolong, petani petani terbantu
dan saya juga dapat mengambil keuntungan. (wawancara dengan Da Al
sebagai toke ubi pada tanggal 23 Desember 2019)
Dengan adanya pemotongan harga ubi seperti yang dijelaskan diatas
petani ubi merasa dirugikan, seperti yang disampaikan petani ubi yang
menjelaskan bahwa beliau merasa dirugikan dengan adanya pemotongan
harga ubi tersebut, beliau menjual ubi kepada toke yaitu 15 karung ubi
besar, 3 karung ubi menengah, dan 2 karung ubi yang kecil, kalau diambil
kerugian dari ubi yang besar saya rugi seratus lima puluh ribu belum lagi
dari ubi yang kecil dan menengah, toke mengambil banyak keuntungan
dari penjualan ubi tersebut. (wawancara dengan Ibuk Ermawati sebagai
petani ubi pada tanggal 22 Desember 2019).
Penulis melihat adanya kerugian yang ditimbulkan hutang bersyarat
ini yaitu petani harus menjual ubinya secara keseluruhan kepada toke
dengan harga yang jauh dari harga pasaran. Misalkan: petani meminjam
uang Rp. 800.000 kemudian hasil ubinya ada 20 karung, harga per
karungnya Rp. 150.000, sedangkan harga yang diberikan kepada petani
yang berhutang kepada toke adalah Rp. 140.000 per karung. Jika dengan
harga normal, maka petani akan mendapatkan uang sebesar Rp. 3.000.000,
sedangkan petani yang berhutang hanya mendapatkan uang sebesar Rp.
2.800.000. Jadi, terdapat selisih harga Rp. 200.000, jika petani berhutang
sebesar Rp. 800.000.
65

D. Tinjauan fikih muamalah terhadap pelaksanaan hutang dengan


bersyarat dan mekanisme pembayaran hutang menurut fikih
muamalah
Akad utang piutang merupakan kebajikan yang telah diisyaratkan
dalam Islam. Hukumnya Mubah atau Boleh. (Syarifuddin, 2010: 222).
Tujuan diperbolehkannya utang piutang itu adalah untuk memberikan
kemudahan bagi umat manusia, manusia itu ada yang berkecukupan dan
ada yang berkekurangan. Orang yang berkurangan memanfaatkan utang
dari pihak yang berkecukupan dimana ia bisa menolong sesama umat.
Sebagaimana yang terdapat dalam Q.S Al-Maidah: 2

           …

       

….dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan


takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah
Amat berat siksa-Nya.
Utang piutang yang terjadi di Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai
Jambu, yang menjadi alasan toke dalam memberikan piutang kepada
petani ubi adalah untuk membantu petani dalam mengolah sawah dan
memenuhi kebutuhan sehari-hari serta untuk biaya pendidikan anak
mereka.
Hutang merupakan akad tabarru‟. Akad tabarru‟ merupakan akad
yang dimaksudkan untuk menolong sesana dan murni semata-mata
mengharap ridha dari dan pahala dari Allah SWT, sama sekali tidak ada
unsur mencari return, ataupun suatu motif. Dalam akad tabarru‟, pihak
yang berbuat kebaikan tidak berhak mengharapkan mensyaratkan imbalan
apapun kepada pihak lain. Imbalan dari akad tabarru‟ dari Allah SWT,
bukan dari manusia. Namun, demikian pihak yang berbuat kebaikan
66

tersebut boleh meminta kepada counter part-nya untuk sekedar menutupi


biaya yang dikeluarkan untuk melakukan akad tabarru‟ itu.
Pada hakekatnya, akad tabarru‟ adalah akad melakukan kebaikan
yang mengharapkan balasan dari Allah SWT semata. Itu sebabnya akad ini
tidak bertujuan untuk mencari keuntungan komersil. Konsekuensi
logisnya, bila akad tabarru‟ dengan mengambil keuntungan, maka dia
bukan lagi akad tabarru‟ ia akan menjadi akad tijarah. Bila seseorang
mengambil ingin tetap menjadi akad tabarru‟, maka ia tidak boleh
mengambil manfaat atau keuntungan dari akad tersebut. (Ichsan, 2016:
404-405)
Sesuai dengan uraian di atas akad hutang piutang bersyarat yang tejadi
antara pertain ubi dengan toke ubi di Jorong Sungai Jambu Kecamatan
Pariangan Kabupaten Tanah Datar bertentangan dengan prinsip akad
tabarru‟, karena dalam pemberian hutang toke mengambil keuntungan
dari akad hutang piutang tersebut, dengan memberikan syarat kepada
petani ubi untuk menjual hasil panen ubinya kepada toke.
Selain itu akad utang bersyarat yang di lakukan oleh petani ubi dengan
toke ubi di Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu hukumnya tidak
sah atau rusak. Karena dalam akad utang piutang bersyarat yang dilakukan
di Jorong Sungai Jambu terdapat syarat yang diajukan oleh toke kepada
petani ubi yang meminjam uang untuk menjual ubinya kepada toke dengan
tujuan untuk kepentingan dirinya. Hal ini juga dijelaskan oleh 4 imam
mazhab, yaitu:
1. Hanafiah memakruhkan seseorang yang berutang sesuatu kepada
orang lain untuk memperoleh manfaat tertentu bila itu disyaratkan
dalam akad. Misalnya seseorang mengutangkan gandum yang kotor
kemudian mensyaratkan agar orang tersebut untuk membayarnya
dengan gandum yang bersih.
2. Malikiyah berpendapat bahwa haram dalam utang piutang
menentukan sarat untuk mendapat manfaat, misalnya mensyaratkan
67

membayar utang dengan hewan yang sehat padahal hewan yang


dihutangkan lemah.
3. Hanabilah menyebutkan bahwa dalam hutang piutang tidak boleh
mensyaratkan sesuatu untuk mendapat manfaat tambahan bagi yang
mengutangkan atau dengan syarat memberikan hadiah dan lain
sebagainya.
4. Sedangkan syafi‟I memberikan beberapa ketentuan dalam hal hutang
piutang bersyarat ini, yaitu:
a) Apabila sarat yang diberikan itu bertujuan untuk mengambil
manfaat untuk kepentingan orang yang berpiutang, maka dalam
hal ini akad utangnya rusak dan hukum hutangnya tidak sah
atau haram.
b) Apabila sarat yang diberikan itu bertujuan untuk mengambil
manfaat untuk kepentingan orang yang berhutang, maka dalam
hal ini syaratnya rusak, sedang akadnya sah.
Apabila syarat yang diberikan hanya digunakan untuk kepercayaan,
seperti disyaratkan bagi pihak yang berutang untuk memberikan sertifikat
tanah sebagai jaminan utangnya kepada orang yang berpiutang, maka yang
demikian itu dapat dibenarkan menurut Hukum Islam.
Praktek utang piutang bersyarat yang terjadi di Jorong Sungai Jambu
Nagari Sungai Jambu dimana petani yang berhutang kepada toke harus
menjual hasil panen ubinya kepada dan pembayarannya dilakukan ketika
penjualan hasil panen ubi yang mana hasil penjualan ubi tersebut dipotong
langsung untuk pembayaran hutang. Di dalam penjualan ubi hasil panen
ubi tersebut terdapat pemotongan harga, pemotongan harga tersebut tidak
ada di perjanjian pada saat peminjaman uang dan toke menetapkan harga
lebih rendah dari harga pasar bagi petani ubi yang meminjam uang
sehingga toke mendapatkan keuntungan di dalamnya.
Jual beli yang dijadikan syarat hutang antara petani ubi dengan toke
ini terdapat unsur ketepaksaan, yang mana petani harus menjual hasil
panennya kepada toke karena jual beli tersebut merupakan syarat bagi
68

petani untuk berhutang kepada toke ubi. Sehingga mau tidak mau petani
ubi harus menjual hasil panen ubinya kepada toke ubi walaupun harga dari
hasil panen ubi tersebut di bawah harga pasaran.
Dari dari uraian di atas dapat dilihat bahwa pelaksanaan jual beli ubi
yang antara petani ubi dengan toke ubi yang menjadi syarat pembayaran
hutang yang dilakukan di Jorong Sungai Jambu tidak memenuhi syarat
dari jual beli, yang mana jual beli ubi ini tidak memenuhi syarat dari
subjek jual beli. Syarat dari subjek jual beli, yaitu:
a. Berakal
Dengan demikian, jual beli yang dilakukan anak kecil yang
belum berakal, hukumnya tidak sah.Anak kecil yang sudah
mumayyiz (menjelang baligh), apabila akad yang dilakukannya
membawa keuntungan baginya, seperti menerima hibah, wasiat,
dan sedekah, maka akadnya sah menurut Mazhab Hanafi.
Yang dimaksud dengan berakad adalah dapat membedakan
atau memilih mana yang terbaik bagi dirinya.Apabila salah satu
pihak tidak berakal maka jual beli yang diadakan tidak sah.
(Lubis, 2000 : 30)
Sebaliknya apabila akad itu membawa kerugian bagi dirinya,
seperti meminjamkan harta kepada orang lain, mewakafkan atau
menghibahkannya tidak dibenarkan menurut hukum.
Transaksi yang dilakukan anak kecil yang mumayyiz yang
mengandung manfaat dan mudarat sekaligus, seperti jual-beli,
sewa-menyewa dan perserikatan dagang, dipandang sah menurut
hukum dengan ketentuan bila walinya mengizinkan setelah
dipertimbangkan dengan sematang-matangnya. ( Hasan, 2004 :
118-119)
b. Dengan kehendak sendiri(bukan terpaksa)
Dalam melakukan perbuatan jual beli, salah satu pihak tidak
melakukan tekanan atau paksaan atas pihak lain. Akibatnya, pihak
69

lain tersebut melakukan perbuatan jual beli bukan disebabkan


kemauan sendiri, tetapi karena ada unsur paksaan.
Adapun yang menjadi dasar bahwa suatu jual beli harus
dilakukan atas dasar kehendak sendiri, dapat diliht dalam
ketentuan Q.S An-Nissa ayat 29 yang artinya: “hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama suka diantara kamu” (Lubis, 2000 :
30)
c. Keduanya tidak mubazir
Pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian jual beli
bukanlah manusia yang boros (mubazir), sebab orang yang boros
di dalam hukum dikategorikan sebagai orang yang tidak cakap
hukum. Maksudnya, dia tidak dapat melakukan sendiri sesuatu
perbuatan hukum, walaupun kepentingan hukum itu menyangkut
kepentingan sendiri. (Lubis, 2000 : 31)
d. Baligh
Orang yang sudah cukup umur dan dapat membedakan mana
yang baik dan mana yang buruk, maka jual beli yang dilakukan
oleh anak kecil adalah tidak sah. (Hasan, 2004 : 119 )
Syarat subjek jual beli yang tidak terpenuhi pada penjualan ubi di
Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu adalah dengan kehendak
sendiri atau bukan terpaksa. Sedangkan yang terjadi di Jorong Sungai
Nagari Sungai adanya keterpaksaan petani untuk menjual hasil panen
ubinya kepada toke, karena itu merupakan syarat dari hutang dan toke
membeli ubi petani lebih rendah dari harga pasar.
Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa jual beli ubi di Jorong Sungai
Jambu Nagari Sungai Jambu bukan termasuk jual beli yang sah menurut
hukum. Karena jual beli yang sah adalah jual beli yang sesuai dengan
perintah syariat dan memenuhi rukun serta syarat jual beli. Dengan
terpenuhinya rukun dan syarat ini, kepemilikan atas barang yang dijual dan
70

penukarnya serta pemanfaatan keduanya menjadi halal. Jika jual beli


bertentangan dengan perintah syariat, maka jual beli dinyatakan tidak sah
dan batal. Sedangkan jual beli ubi yang terjadi di Jorong Sungai Jambu
Nagari Sungai Jambu telah memenuhi rukun dari jual beli, tetapi tidak
memenuhi syarat dari jual beli, yaitu syarat dari subjek jual beli. Sehingga,
jual beli ubi yang terjadi di Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu
tidak sah atau batal menurut hukum Islam.
Pelaksanaan jual beli ubi antara petani ubi dengan toke ubi yang
menjadi syarat pembayaran hutang yang dilakukan di Jorong Sungai
Jambu dikategorikan akad fasid karena tidak memebuhi syarat-syarat
keabsahan akad, meskipun rukun dan syarat terbentuknya akad telah
terpenuhi akad tidak sah. Akad ini sikategorikan sebagai akad fasid. Rukun
pertama yaitu para pihak, harus memenuhi dua syarat terbentuk akad
yaitu tamyiz dan terbilang. Dalam akad jual beli ubi ini dilakukan oleh
orang yang tamyiz dan berbilang. Rukun kedua pernyataan dan kehendak
harus memenuhi dua syarat juga, yaitu (1) ijab dan qabul, dengan kata lin
tercapainya kata sepakat, (2) kesatuan majelis akad. Dalam akad jual beli
ubi syarat ini terpenuhi dimana petani minta pinjaman uang kepada toke
dan toke mengabulkan permintaan dari petani ubi tersebut dan
memberikan syarat untuk menjual ubi kepada toke. Rukun ketiga objek
akad, harus terpenuhi syarat yaitu, yaitu (1) objek yang dapat diserahkan,
(2) tertentu dan dapat ditentukan, (3) dapat di transaksikan. Dalam jual beli
ubi objek tersebut adalah ubi yang dapat ditransaksikan.
Menurut mazhab Hanafi, akad fasid adalah “akad yang menurut
syarak sah pokoknya, akan tetapi tidak sah sifatnya”, maksudnya adalah
akad yang telah memenuhi rukun dan syarat terbentuknya, tetapi belum
memenuhi syarat keabsahannya. Rukum pertama, yaitu pihak dengan dua
syarat terbentuknya yaitu tamyiz dan terbilang, tidak memerlukan sifat
penyempurna dalam akad jual beli ubi rukun ini terpenuhi. Rukun kedua,
yaitu pernyataan kehendak dengan kedua syaratnya, juga tidak
memerlukan sifat penyempurna, yaitu persetujuan ijab qabul itu harus
71

dicapai secara bebas dan tanpa paksaan, bila mana terjadi paksaan, maka
akadnya fasid. Dalam akad jual beli ubi ijab qabul dilakukan dengan
terpaksa karena petani yang meminjam uang kepada toke, harus menjual
ke toke yang meminjamkan uang. Rukun ketiga, yaitu objek akad, dengan
ketiga syaratnya memerlukan sifat-sifat sebagai unsur penyempurna, yaitu
bahwa penyerahan itu tidak menimbulkan kerugian (dharar) atau kerugian
dimana ubi yang di jual kepada toke ubi yang meminjamkan uang tersebut
dikurangkan harganya Rp. 10.000- Rp20.000/ karung, maka dari itu petani
merasa dirugikan atas pengurangan harga tersebut.
Dari penelitian yang penulis lakukan di Jorong Sungai Jambu tentang
jual beli antara petani ubi dengan toke ubi terdapat pemotongan harga jual
beli ubi tersebut. Yang mana seharusnya harga ubi perkarungnya adalah
Rp. 150.000, tetapi toke hanya membeli dengan harga Rp. 130.000
perkarung. Toke ubi memotong keseluruhan harga dari hasil panen ubi
dari petani. Dari pemotongan harga tersebut toke mengambil keutungan di
dalamnya. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara penulis:
Alasan toke memotong harga seperti yang disampaikan petani ubi
untuk mendapatkan keuntungan sesuai dengan hasil wawancara dengan
toke ubi yang mengatakan bahwa benar, saya memotong harga kepada
orang yang meminjam uang kepada saya, sistemnya hampir sama dengan
bank, kalau di bank kita meminjam uang akan memakai bunga, jadi dari
situ saya mengambil keuntungan, sambil menolong, petani petani terbantu
dan saya juga dapat mengambil keuntungan. (wawancara dengan Da Al
sebagai toke ubi pada tanggal 23 Desember 2019)
Keuntungan yang diambil toke dari pemotongan harga hasil panen ubi
ini bukanlah hak dari toke ubi melainkan hak dari petani ubi. Hal ini
merupakan perbuatan bathil. perbuatan bathil ini dilarang di dalam agama
Islam yang terdapat di dalam firman Allh SWT Q.S An-Nissa ayat 29,
yang berbunyi:
72

        

            

   


Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan
yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah
kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang
kepadamu.

Dari ayat di atas dijelaskan bahwa Allah SWT dengan tegas melarang
memakan harta orang lain atau hartanya sendiri dengan jalan bathil adalah
membelanjakan hartanya pada jalan maksiat. Memakan harta orang lain
dengan cara bathil ada berbagai caranya, seperti memakannya dengan jalan
riba, judi, menipu, menganiaya. Termasuk juga dalam jalan yang bathil ini
segala jual beli yang dilarang syara‟ (Mahmud, 2018: 249). Apabila
melakukan apa yang telah dilarang oleh Allah SWT, maka akan diberikan
hukuman oleh Allah SWT begitu juga dengan melakukan hal yang bathil
ini. Hukumannya terdapat dalam firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nissa
Ayat 30, yang berbunyi:

          

   


Dan Barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan
aniaya, Maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka.
yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.

Dari ayat diatas dijelaskan bahwa Allah SWT melarang untuk berbuat
bathil dan berbuat aniaya serta melanggar hak orang lain. Apabila
melakukan hal tersebut maka akan di masukkan ke dalam neraka. Yang
demikian itu merupakan hal yang mudah bagi Allah SWT.
73

Dari uraian penulis di atas, dapat disimpulkan bahwa akad hutang


piutang yang terjadi di Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu
merupakan akad yang bertentangan dengan akad tabarru‟, karena dalam
memberikan hutangnya toke memberikan syarat agar petani ubi yang
berhutang kepadanya harus menjual hasil ubi kepadanya. Kemudian di
dalam jual beli ubi terdapat unsur keterpaksaan dan toke mengambil
keuntungan yang bukan merupakan haknya.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang penulis lakukan mengenai Tinjauan Fiikih
Muamalah Terhadap Pembayaran Hutang Uang Melalui Penjualan Ubi Studi
Kasus di Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu Kecamatan Pariangan
Kabupaten Tanah Datar, dapat diambil kesimpulan bahwa:
1. Dari penelitian yang penulis lakukan, akad hutang piutang yang dilakukan
antara petani ubi dengan toke ubi di Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai
Jambu termasuk kepada hutang bersyarat. Karena pada saat peminjaman
kepada petani toke mensyaratkan agar petani menjual ubinya kepada
petani.
2. Proses pembayaran hutang petani kepada toke yaitu dengan cara petani
menjual ubinya kepada toke. Dari penjualan tersebut adanya kerugian dari
petani ubi karena toke ubi membeli ubi petani jauh di bawah harga
pasaran dan menurunkan harga keseluruhan dari hasil panen ubi petani.
3. Berdasarkan tinjuan fikih muamalah akad hutang piutang yang terjadi di
Jorong Sungai Jambu Nagari Sungai Jambu merupakan akad yang
bertentangan dengan akad tabarru‟, karena dalam memberikan hutangnya
toke memberikan syarat agar petani ubi yang berhutang kepadanya harus
menjual hasil ubi kepadanya. Kemudian di dalam jual beli ubi terdapat
unsur keterpaksaan dan toke mengambil keuntungan yang bukan
merupakan haknya.
B. Saran
Berdasarkan hasil penelitian yang penulis lakukan terhadap hutang
piutang bersyarat di Jorong Sungai Jambu, maka penulis ingin memberikan
saran, yaitu:

74
75

1. Bagi pihak toke ubi agar tidak mengambil manfaat dalam memberikan
hutang, dan memberikan hutang kepada petani dengan niat untuk
menolong petani, bukan mencari keuntungan dari hutang yang diberikan.
2. Bagi pihak toke ubi agar tidak membedakan harga petani ubi yang
berhutang dengan petani ubi yang tidak berhutang.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Halim Hasan Binjai, 2006, Tafsir Al-Ahkam, Jakarta: Kencana Prenada Media
Group
Amir Syarifuddin, 2010, Garis-Garis Besar Fiqh,Jakarta: Kencana Prenada Media
Group
Agus Rijal, 2013, Utang Halal Utang Haram, Jakarta : Pt Gramedia Pustaka Utama
Basyir, Ahmad Azhar, 2000, Asas-asas Hukum Muamalat (Hukum Perdata Islam),
Yogyakarta: UII Press
Chumaedatul Umamah, 2013, Pinjaman Bersyarat Dalam Tinjauan Hokum Islam
(Studi Di Dusun Tegalsari, Desa Kawungantenlor, Kec.Kaunganten,
Kab.Cilacap, Fakultas syariah, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga
Yogyakarta, Yogyakarta
Denim Sudirman, 2002, Menjadi Peneliti Kualitatif, Jakarta: PustakaSetia
Farida Arianti, 2014, Fikih Muamalah II, Batusangkar: Stain Batusangkar Press
Ghofur, Abdul, 2016, Konsep Riba Dalam Al-Qur‟an, Volume VII,
journal.walisongo.ac.id, 3 Oktober 2019
Hasanudin Maulana, 2011, Multi Akad Dalam Transaksi Syariah Kontemporer Pada
Lembaga Keuangan Syariah di Indonesia, Vol III, journal.uinjkt.ac.id, 2
Oktober 2019.
Hendi Suhendi, 2002, Fiqh Muamalah, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Hidayanto, M. Fajar, 2008, Praktek Riba dan Kesenjangan Sosial, Vol. II,
journal.uii.ac.id, 3 Oktober 2019
Hulaify, Akhmad, 2019, Asas-asas Kontrak (Akad) Dalam Hukum Syari‟ah,
ojs.uniska.ac.id/attadbir, 2 oktober 2019
Lubis, Suhrawardi. K, 2000, Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Sinar Grafika
Nasrun Haroen, 2000, Fiqh Muamalah, Jakarta: Gaya Media Pratama
Mahmud, Taufiq, 2013, Memakan Harta Secara Bathil (Perspektif Surat An-Nisa: 29
dan At-Taubah: 34), Vol 17, journal.lhokseumawe.ac.id, 24 Juni 2020.
M. Ali Hasan, 2004, Berbagai Transaksi Dalam Islam, Jakarta: Raja Grafindo
Muslich, Wardi Ahmad, 2010, Fiqh Muamalah, Jakarta: Amzah
Muhammad Nasiruddin al-Albani, 2011, Fikih Sunnah, Jakarta: Cakrawala
Publishing.
Rohman , Abdur, 2016, Menyoal Filosofi An Taradin Pada Pada Jual, Volume 3,
journal.trunojoyo.ac.id, 2 oktober 2019
Sabiq Sayyid, 2012, Fikih Sunnah 5, Jakarta: Cakrawala Publishing
Sahrani, Sohari dkk, 2011, Fikih Muamalah, Bogor: Ghalia Indonesia
Siswadi, 2013, Jual Beli Dalam Perspektif Islam, Vol III, ejornal.kopertais4.or.id, 3
Oktober 2019.
Susiawati, Wati, 2017, Jual Beli dan Dalam Konteks Kekinian, Vol. 8,
http://journal.uhamka.ac.id/index.php/jei, 3 Oktober 2019
Sugiyono, 2008, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung :CV. Alfabeta
Syafe‟I Rachmad, 2004, Fiqh Muamalah, Bandung: Pustaka Setia.
Wahab, Muhammad Abdul, 2018, Fiqh Pinjam Meminjam („Ariyah), Jakarta: Rumah
Fiqih Publishing
Wahab, Fatkhul, 2017, Riba: Transaksi Kotor Dalam Ekonomi,
ejournal.alqolam.ac.id, 3 oktober 2019
Wahbah Az-Zuhaili, 2011, Fiqih Islam 5, Jakarta: Gema Insani
Wahyuddin, Iwan, 2016, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Hybrid Kontrak Dalam
Akad Syariah, journal.uii.academia.edu, 2 Oktober 2019
Yulianti, Rahmani Timorita, Riba Dalam Perspektif Ekonomi Islam, Vol. II,
journal.uii.ac.id, 3 Oktober 2019.
Zainal Arifin, 2013, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Praktik Pinjaman Di Koperasi
PT Djarum Kudus, Syariah, Universitas Islam Negri Sunan Kalijaga Yogyakarta,
Yogyakarta
DAFTAR WAWANCARA

A. Pertanyaan untuk petani ubi


1. Apa alasan petani ubi meminjam uang kepada toke ?
2. Bagaimana proses peminjaman uang kepada toke ?
3. Apakah pada saat peminjaman toke memberikan syarat ?
4. Berapa jumlah uang yang bapak/ibuk pinjam kepada toke ?
5. Apakah hutang piutang ini dilakukan secara lisan ?
6. Bagaimana cara pembayaran hutang ?
7. Apakah ada perbedaan harga antara petani yang meminjam uang kepada
toke dengan petani yang tidak meminjam uang kepada toke ?
8. Apakah bapak/ibuk merasa dirugikan dengan hutang piutang dengan syarat
yang diberikan oleh toke dan dengan pemotongan harga ?
B. Pertanyaan untuk toke ubi
1. Apa alasan bapak memberikan pinjaman kepada toke ?
2. Bagaimana proses peminjaman uang ?
3. Apakah pada pemberian hutang bapak memberikan syarat kepada petani ?
4. Apa alasan bapak memberikan syarat dalam hutang tersebut ?
5. Apakah hutang piutang dilakukan secara lisan saja ?
6. Bagaimana cara pembayaran hutang ?
7. Apakah ada perbedaan harga antara petani yang meminjam uang kepada
toke dengan petani yang tidak meminjam uang kepada toke ?
8. Apakah dengan adanya syarat dalam hutang piutang dan pemotongan harga
jual beli ubi petani ubi merasa dirugikan atau memberikan keluhan kepada
bapak ?

Anda mungkin juga menyukai