Anda di halaman 1dari 2

Syeikh Muhammad Dimyathi bin Syiekh Muhammad

Amin

Syaikh Muhammad Dimyathi bin Syaikh Muhmmad Amin, yang biasa dipanggil
masyarakat dengan sebutan Abuya Dimyati atau mbah Dim. Ia lahir dari pasangan
H. Amin dan Hj. Ruqayah, ia memiliki kecerdasan dan kesalihan sejak ia masih
kecil. Ia belajar dari satu peseantren dan pesantren lain, diantaranya pesantren
Cadasari Kadupaseng Pendaglang, kemudian pesantren di Plamunan hingga Pleret
Cirebon.

Abuya berguru pada banyak ulama sepuh di tanah Jawa, di antaranya Abuya Abdul
Chalim, Abuya Muqri Abdul Chamid, Mama Ahmad Bakri (Mama Sempur), Mbah
Dahar Watu Congol, Mbah Nawawi Jejejran Jogja, Mbah Khozin Bendo Pare, Mbah
Baidawi Lasem, dan masih banyak guru lainnya. Dari semua guru-guru beliau
bermuara pada Syekh Nawawi Al Bantani, baginya para kiai sepuh memiliki kriteria
khalifah dan mursyid yang sempurna.

Abuya Dimyati dikenal sebagai sosok yang kharismatik, tekun, bersahaja, dan
sederhana. Kesohoran Abuya Dimyati dalam bidang ilmu dan tasawuf menjadikan
Banten tak pernah sepi dengan pencari ilmu maupun tamu, semasa hidupnya ia
menjadi gurunya para guru dan kiainya para kiai. Sejak mondok di Watucongol,
Buya sudah diminta mengajar teman-teman santrinya oleh mbah Dalhar, begitupun
saat ia berpindah di pesantren-pesantren yang lain.

Abuya Dimyati seringkali berpesan kepada muridnya, “jangan meninggalkan ngaji


karena kesibukan urusan maupun umurmu.” baginya menuntut ilmu adalah hal
yang sangat penting, ia menyerukan “thariqah aing mah ngaji” (jalan saya adalah
mengaji). Sebab tinggi rendahnya derajat ulama dilihat dari bagaimana ia
mehargai ilmu.

Baginya hidup adalah ibadah, saat di Kaliwinggu ia mengajar dari pagi sampai
dengan menjelang Dhuhur kembali mengajar setelah Dhuhur sampai Ashar dan
berlanjut dari Ashar hingga Maghrib, saat waktu Maghrib sampai Isya ia habiskan
untuk wirid dan kembali mengajar hingga larut malam dan dilanjutkan dengan
ibadah malam qiyamul lail sampai bertemu watu Subuh.

Ketika Abuya Dimyati menginginkan berguru pada KH. Baidlawi Lasem, ia diminta
untuk pulang namun ia menolak dengan menjawab, “saya tidak memiliki ilmu.”
Pada suatu ketika ia bertemu dengan KH. Baidlawi Lasem memohon warisan
thariqah naumun KH. Baidlawi menjawab, “mbah Dim, zikir itu sudah termaktub
dalam kitab, begitupula dengan shalawat silakan memuat sendiri saja, saya tidak
bisa apa-apa. Tarekat adalah sebuah wadfizah yang terdiri dari zikir dan salawat,”
untuk kesekian kalinya lalu KH. Baidlawi menyuruh Buya untuk shalat istikharah
dan kembali memnemui KH. Baidlawi, kemudian diijazahi thariqah Asy-Syadiliyah.

Abuya Dimyati wafat pada malam Jumat Pahing 3 Oktober 2003 M / 7 Sya’ban
1424, sekitar pukul 3.00 WIB meninggal pada usia 78 tahun.

Anda mungkin juga menyukai