Anda di halaman 1dari 12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Geologi Regional

Di wialayah Kabupaten Maros-Pangkep (Sulawesi Selatan), terdapat kawasan


kars yang khas dengan bukit-bukit menjulang menyerupai menara. Menurut Imran,
dkk. (2004) menara kars ini terbentuk akibat besarnya kontrol tektonik terhadap
pembentukan morfologi dikawasan kars tersebut. Ekosistem kars Maros-Pangkep
sangat spesifik. Sebagaimana kawasan kars lainnya, kawasan kars Maros-Pangkep
mempunyai nilai ekonomi, ilmiah dan kemanusiaan. Karena nilai ekonominya yang
tinggi, saat ini kawasan kars Maros-Pangkep sedang menghadapi ancaman
kelestariannya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Ancaman langsung
berupa proses perusakan ekosistem kars, sedangkan ancaman tidak langsung adalah
merupakan dampak dari suatu kegiatan atau eksploitasi terhadap pengrusakan
ekosistem tersebut. Salah satu ancaman langsung dari ekositem kars Maros-Pankep
adalah kegiatan pernambangan, baik penambangan kapur untuk keperluan pabrik
semen (Tonasa dan Bosowa) serta penambangan batu marmer.
Kars Maros-Pangkep memiliki karakteristik geomorfologis yang khas. Bukit-
bukitnya mempenyai lereng tebing yang amat curam atau terjal dengan kelerengan
berkisar 57˚-82˚ dengan puncak tumpul. Batuannya adalah batugamping dengan
system kekar berupa kekartiang (columnar joint) dan kekar lapis atau kekar lembar
(sheet joint). Proses kartisifikasi menghasilkan benyukan seperti gua yang di
dalamnya dijumpai stalaktit, stalagmit, pilar, batu-alir (flowstone), dan endapan
traventin (Sunarto, 1997). Bentuk topografi berelief tinggi, dan berbentuk menara,
serta sebagian berupa dataran. Diantara menara-menara kars, terdapat endapan
aluvium sungai berupa bongkah, monyetkal, kerikil, pasir dan lempung (Departemen
Pertambangan dan Energi Sulawesi Selatan dan Tenggara, 1997). (Prawistosari
2011).

2.2 Batubara

Batubara adalah suatu batuan sedimen yang tersusun atas unsur karbon,
hidrogen, oksigen, nitrogen dan sulfur. dalam proses pembentukannya batubara
diselipi batuan yang mengandung mineral bersama dengan moistur, mineral ini

5
merupakan pengotor batubara sehingga dalam pemanfaatnya kandungan kedua
materi ini sangat berpengaruh. Dari ketiga pemanfaatan jenis batubara yaitu sebagai
pembuat kokas, bahan bakar, dan batubara konversi, pengotor ini harus
diperhitungkan karena semakin tinggi kandungan pengotor, maka semakin rendah
kandungan karbon, sehingga makin semakin rendah pula nilai panas yang di hasilkan
batubara tersebut (Muchjidin, 2006).
Batubara Indonesia berada pada perbatasan antara batubara sub-bitumen dan
batubara bitumen, tetapi hampir 50% dari lignit. Menurut hasil eksplorasi yang
dinyatakan dalam sumner daya hipotetik, tereka, terunjuk dan terukur, sampai tahun
1999 akhir, sumber daya batubara Indonesia jumlahnya sekitar 38,8 miliar ton dan
sampai tahun 2003 sekitar 57,85 miliar ton. Adapun sistem penambangan batubara
terbagi atas dua yaitu penambangan terbuka (open pit mining) dan penambangan
bawah tanah (undergrown mining). Di Indonesia cara penambangan terbuka banyak
digunakan karena letak batubaranya tidak terlalu dalam (Muchjidin, 2006).
Berdasarkan kebijakan diversifikasi energi yang dikeluarkan oleh pemerintah
Indonesia melalui Kebijakan Energi Nasional no 5/2006 mengakibatkan penggunaan
batubara untuk kebutuhan domestik (dalam negeri) semakin meningkat. Terlihat
pada industri tekstil guna pemenuhan kebutuhan daya (power generation)
penggunaan batubara naik secara signifikan dari hanya 15% pada tahun 2006
menjadi 19% di tahun 2009. Namun, peningkatan penggunaan batubara tersebut
untuk industri/ pabrik saja di mana untuk sektor industri rumahan tidak memberikan
kontribusi positif konsumsi batubara domestik sebab nilai kalori batubara domestik
masih tergolong rendah (Umar et al., 2017).

2.3 Pembentukan Batubara

Batubara terbentuk melalui proses yang panjang. Banyak faktor yang terlibat
dalam pembentukannya. Setiap faktor memegang peran tersendiri dan harus berada
dalam kondisi setimbang. Dengan kata lain, pembentukan batubara berkaitan erat
dengan kesetimbangan sistem. Sistem yang dimaskud dalam pembentukan batubara
adalah isi dan wadah dalam prosesnya. Isi berkaitan dengan apa saja yang
membentuk batubara dan aliran sedimen. Wadah merupakan tempat batubara
terbentuk. Pembentukan batubara bisa dibagi menjadi dua tahap, yaitu tahap

6
penggambutan (peatification) dan tahap pembatubaraan (coalification) seperti pada
gambar 2.1 di bawah

Time

Pressure

Heat

Peat
Lignite
Coal
Gambar 2.1 Tahap Penggambutan dan Tahap Pembatubaraan serta Fakto yang
Mempegaruhinya (Kentucky Geological Survey, 2012)

2.3.1 Teori Insitu


Teori ini menyatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara
terbentuk ditempat tumbuh-tumbuhan asal itu berada. Setelah tumbuhan tersebut
mati, belum mengalami proses transportasi, segera tertimbun oleh lapisan sedimen
dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini
mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik karena kadar abunya
relatif kecil. Batubara yang terbentuk seperti ini dapat dijumpai di Indonesia pada
lapangan batubara Muara Enim.
Kejadian pembentukannya diawali dengan tumbangnya pohon-pohon yang
disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya seperti angin (badai). Pohon-pohon
yang tumbang tersebut langsung tenggelam ke dasar rawa. Kemudian air hujan yang
masuk ke rawa dengan membawa tanah atau batuan yang tererosi pada daerah sekitar
rawa akan menjadikan pohon-pohon tersebut tetap tenggelam dan tertimbun.
Demikian seterusnya, bahwa semakin lama tertimbun maka semakin tebal tanah
penutup pohon-pohon tersebut. Dalam hal ini pohon-pohon tersebut tidak menjadi
pembusukan atau tidak berubah menjadi humus, tetapi sebaliknya mengalami
pengawetan secara alami. Dengan adanya rentang waktu yang lama, yakni puluhan
atau bahkan ratusan juta tahun, ditambah dengan pengaruh tekanan dan panas,

7
pohon-pohon tersebut mengalami perubahan secara bertahap, yakni mulai dari fase
penggambutan (Muchjidin, 2006). Berikut beberapa fase proses pembatubaraan yang
terdapat pada gambar 2.4

Gambar 2.2 Proses Terbentuknya Batubara Secara Insitu (Azhary, 2013)

2.3.2 Teori Drift


Teori ini menyatakan bahwa bahan-bahan pembentuk lapisan batubara
terbentuk di tempat yang berada pada tempat tumbuh-tumbuhan itu berasal dan
berkembang, setelah tumbuhan tersebut mati, diangkut oleh media air dan
berakumulasi di suatu tempat dan segera tertimbun oleh lapisan sedimen dan
mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini
mempunyai penyebaran tidak luas tetapi dijumpai dibeberapa tempat, kualitasnya
kurang baik karena banyak mengandung material pengotor yang terangkut bersama
selama proses pengangukutan dari tempat asal tanaman ke tempat sedimentasi.
Batubara yang terbentuk seperti ini di Indonesia dijumpai di Kalimantan Timur yaitu
di daerah Delta Mahakam Purba (Muchjidin, 2006).

2.4 Faktor Yang Mempengaruhi Terbentuknya Batubara

Batubara terbentuk melalui proses yang sangat panjang dan lama. Di samping
dipengaruhi oleh faktor alamiah yang tidak mengenal batas dan waktu, terutama
ditinjau dari segi fisika, kimia ataupun keadaan geologi. Dikenal faktor yang
berpengaruh dalam pembentukan batubara. Faktor-faktor tersebut antara lain posisi
geotektonik, keadaan topografi daerah (morfologi), iklim daerah, proses penurunan

8
cekungan sedimentasi, umur geologi, jenis tumbuh-tumbuhan, proses dekomposisi,
sejarah setelah pengendapan, struktur geologi cekungan dan metamorfosa organik
(Hutton dan Jones,1995).
2.4.1 Posisi Geotektonik
Posisi geotektonik merupakan suatu tempat yang keberadaannya dipengaruhi
gaya-gaya tektonik lempeng. Gaya-gaya tektonik ini akan mengakibatkan cekungan
sedimentasi menjadi lebih luas apabila terjadi penurunan dasar cekungan, atau lebih
sempit apabila terjadi kenaikan dasar cekungan. Proses geotektonik dapat pula diikuti
oleh perlipatan lapisan batuan ataupun patahan. Apabila proses tersebut terjadi, satu
cekungan sedimentasi akan dapat terbagi menjadi dua atau lebih sub cekungan
sedimentasi dengan luas yang relatif kecil (Arif, 2014).
2.4.2 Keadaan Topografi
Daerah tempat tumbuhan berkembang baik merupakan daerah yang relatif
tersedia air, tempat tersebut mempunyai topografi yang lebih rendah dari daerah
yang mengelilinginya. Makin luas daerah dengan topografi relatif rendah, makin
banyak tanaman yang tumbuh, sehingga makin banyak terdapat bahan pembentuk
batubara. Apabila daerah ini dipengaruhi oleh gaya tektonik, baik yang
mengakibatkan kenaikan maupun penurunan topografi, maka akan berpengaruh pula
terhadap luas tanaman yang merupakan bahan utama sebagai bahan pembentuk
batubara (Arif, 2014).
2.4.3 Iklim
Iklim berperan penting dalam pertumbuhan tanaman. Di daerah beriklim
tropis dengan curah hujan silih berganti sepanjang tahun, disamping tersedianya sinar
matahari sepanjang waktu, merupakan tempat yang cukup baik untuk pertumbuhan
tanaman. Oleh karenanya, di daerah yang mempunyai iklim tropis pada masa
lampau, sangat mungkin didapatkan endapan batubara dalam jumlah banyak,
sebaliknya daerah yang beriklim sub tropis mempunyai penyebaran endapan
batubara yang terbatas. kebanyakan luas tanaman yang keberadaanya sangat
ditentukan oleh iklim akan menentukan penyebaran dan ketebalan lapisan (seam)
batubara yang nantinya akan terbentuk. hasil pengkajian menyatakan bahwa hutan
rawa tropis mempunyai siklus pertumbuhan setiap 7-9 tahun dengan ketinggian
pohon sekitar 30 m. Sedangkan pada iklim yang lebih dingin ketinggian pohon hanya
mencapai sekitar 5-6 m dalam selang waktu yang sama.

9
2.4.4 Proses Penurunan Cekungan Sedimentasi
Batubara terbentuk pada cekungan sedimentasi yang sangat luas, hingga
mencapai ratusan hingga ribuan hektar. dalam sejarah bumi batuan sedimen
merupakan bagian kuliat bumi akan mengalami deformasi akibat dari gaya tektonik.
Cekungan ini mengalami gaya deformasi lebih hebat apabila cekungan tersebut
berada dalam suatu sistem geoantiklin atau geosingklin. akibat gaya tektonik pada
waktu waktu tertentu, batubara bersama dengan batuan sedimen yang merupakan
perlapisan di antaranya akan terlipat dan tersesarkan. Proses pensesaran dan
perlipatan tersebut akan menghasilkan panas. Panas yang dihasilkan akan
berpengaruh pada proses metamorphosis batubara dan batubara akan menjadi lebih
keras dan lapisanya terpatah patah akan semakin banyak perlipatan dan pensesaran
terjadi dalam cekungan sedimen yang mengandung batubara. Oleh sebab itu,
pencarian batubara yang bermutu baik diarahkan pada daerah tersebut diyakini
kegiatan tektonik berjalan cukup intensif (Arif, 2014).
2.4.5 Umur Geologi
Posisi geologi menentukan berkembangnya evolusi kehidupan sebagai macam
tumbuhan. Perkembangannya secara tidak langsung membahas sejarah pengendapan
batubara dan metamorfosa organik. Makin tua umur batuan dalam penimbunan yang
terjadi, sehingga terbentuk batubara yang bermutu tinggi, tetapi pada batubara yang
mempunyai umur geologi lebih tua selalu ada resiko mengalami deformasi tektoknik
yang membentuk struktur perlapisan atau patahan pada lapisan batubara.
2.4.6 Jenis Tumbuh-Tumbuhan
Flora merupakan unsur utama pembentuk batubara. Pertumbuhan dari flora
terakumulasi pada suatu lingkungan dan zona fisiografi dengan iklim dan topografi
tertentu, merupakan faktor penentu terbentuknya berbagai tipe batubara. Hutan
tumbuh dengan subur selama masa karbon. Pada masa tersier merupakan
perkembangan yang sangat luas dari berbagai jenis tanaman.
2.4.7 Proses Dekomposisi
Dekomposisi flora merupakan bagian dari transformasi biokimia dan organik
merupakan titik awal rantai sepanjang proses alterasi. Sisa tumbuhan dalam
pertumbuhan gambut akan mengalami perubahan baik secara fisik maupun kimiawi.
Proses degradasi biokimia lebih berperan setelah tumbuhan mati. Proses pembusukan
(decay) akan terjadi oleh kerja mikrobiologi (bakteri anaerob). Bakteri ini berkerja

10
dalam suasana tanpa oksigen menghancurkan bagian yang lunak dari tumbuhan
seperti selulosa, protoplasma dan pati (Sukandarrumidi, 2006).

2.5 Jenis Batubara

Batubara dapat digolongkan menjadi 5 jenis berdasarkan tingkat proses


pembentukannya, yakni gambut, lignit, sub bituminous, bituminous dan antrasit.
2.5.1 Gambut (Peat)
Terjadi pada tahapan permulaan pembentukan batubara, hal ini disebabkan
karena masih merupakan fase awal dari proses pembentukan batubara. Endapan ini
masih memperlihatkan sifat asal dari bahan dasarnya yaitu tumbuh-tumbuhan
(Muchjidin, 2006). Gambut (Peat) dicirikan dengan bentuk berpori dan memiliki
kadar air di atas 75% serta memiliki nilai kalor yang rendah.
2.5.2 Lignit atau Batubara Cokelat (Brown Coal)
Dihasilkan dari tahap proses pertama dalam gambut yang terkubur, warnanya
coklat tua, berserak serakan dan terdiri dari material tumbuhan yang telah mati
membusuk, sejumlah besar endapan brown coal terdapat di Australia, afrika selatan,
german, polandia dan Indonesia, lignit kadang kadang disebut brown coal, lignit
atau batubara coklat adalah batubara yang sangat lunak yang mengandung 35%-75%
dari beratnya.
2.5.3 Sub-Bituminous (Bitumen Menengah)
Golongan ini memperlihatkan ciri-ciri tertentu yaitu warna yang kehitam-
hitaman dan sudah mengandung lilin. Ciri lain adalah sisa bagian tumbuh-tumbuhan
tinggal sedikit dan berlapis. Endapan ini mengandung antara 86%-98% unsur karbon
(C) dan banyak air, oleh karenanya menjadi sumber panas yang kurang efisien
sehingga digunakan untuk pemanfaatan pembakaran yang cukup dengan temperatur
rendah. Nilai kalori 3.000-6.300 Cal/g.
2.5.4 Bituminous
Golongan ini dicirikan dengan sifat-sifat yang padat, hitam, rapuh (brittle)
dengan membentuk bongkah-bongkah prismatik. Berlapis dan tidak mengeluarkan
gas dan air bila dikeringkan. Endapan ini dapat digunakan antara lain untuk
kepentingan transportasi dan jenis industri kecil, dengan mengandung 68% - 86%
unsur karbon (C) dan kadar air 8%-10% dari beratnya dengan nilai kalori antara
6.300-7.300 Cal/g.

11
2.5.5 Antrasit (Anthracite)
Antrasit adalah kelas batubara tertinggi dengan warna hitam berkilauan
(Luster) metalik, keras, dan kompak. mengandung antara 86%-98% unsur karbon (C)
dengan kadar air kurang dari 8%, dengan Nilai kalori lebih dari 7.300 Cal/g.
Faktor tumbuhan purba yang sejenisnya berbeda-beda sesuai dengan zaman
geologi dan lokasi tempat tumbuh dan berkembanganya, ditambah dengan lokasi
pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi
serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian, akan menyebabkan
terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam-macam. Oleh karena itu, karateristik
batubara berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field) dan lapisannya
(coal seam) (Muchjidin, 2006).

2.6 Channel Sampling

Menurut (Farabi, Reza, 2011). Channel sampling adalah pengambilan sample


dari lapisan batubara dengan membuat torehan memanjang menurut ketebalan
batubara atau endapan bahan galian lainnya. Sample ini mewakili penampang
batubara menurut ketebalannya. Sample ini biasanya diambil di sekitar singkapan.
Sebelum melakukan penyampelan, sumuran atau parit memanjang dibuat untuk
membuka satu sisi batubara segar. Channel sampling dilakukan dari suatu

sumur/parit uji. Luas minimal potongan melintang 100 cm dan contoh yang diambil
+ 15 kg batubara untuk setiap ketebalan lapisan.
Pada channel sampling ini ada beberapa aturan yang menjadi keharusan, yaitu;
a. Pemilihan tempat sampling, maksudnya agar lapisan batubara atau seam
batubara benar-benar terambil dari mulai roof sampai floor. Jadi harus dipilih
tempat-tempat yang bisa mewakili dari roof sampai floor.
b. Kebersihan dari batubara lapuk, Maksudnya adalah tambang yang batubaranya
sudah terlihat dan terpapar udara maka dikatakan batubara tersebut sudah
lapuk. Hal ini bertujuan supaya batubara yang di sampling benar-benar batu
yang sesuai dengan batu dalam tanah. Jadi lapisan pemukaan yang terpapar
dengan udara harus di bersihkan dulu.
c. Kedalaman galian channel, maksudnya adalah galian dari permukaan batubara
setelah dibersihkan 8 cm. Hal ini bisa jadi sulit pada keadaan tertentu karena

12
saat membuat lubang sedalam 8 cm pada dinding bisa jadi batubara retak
kebelakang yang bisa menyebabkan dalamnya lebih dari 8 cm. Penggalian ini
bisa menggunakan palu geologi
d. Lebar galian, yaitu lebarnya galian yang dibuat sepanjang seam batubara 10 cm.
Hal ini pun bisa terjadi masalah saat melakukan penggalian yaitu batubara bisa
jadi pecah ke samping sehingga lebarnya akan melebihi dari 10 cm.
e. Memotong dari roof sampai floor.
Umumnya, untuk menentukan kualitas batubara dilakukan analisis kimia pada
batubara yang diantaranya berupa analisis proksimat dan analisis ultimate. Analisis
proksimat dilakukan untuk menentukan jumlah air (moisture), kadar abu (ash),
kandungan relatif zat terbang (volatil matter), dan karbon padat (fixed carbon).
Sedangkan analisis ultimate dilakukan untuk menentukan kandungan kandungan
unsur kimia pada batubara seperti karbon, hidrogen, oksigen, nitrogen, dan sulfur
(Farabi, 2011).

2.7 Parameter Kualitas Batubara

Penetapan kualitas batubara ditentukan oleh parameter -parameter


yang terkandung dalam batubara yang terdiri dari;
2.7.1 Analisis Proksimat
Analisis proksimat batubara bertujuan untuk menentukan kandungan Moisture
(air dalam batubara) kandungan moisture ini mencakup pula nilai free moisture serta
total moisture, ash (debu), volatile matters (zat terbang), dan fixed carbon (karbon
tertambat
Moisture ialah kandungan air yang terdapat dalam batubara sedangkan abu
(ash) merupakan kandungan residu non-combustible yang umumnya terdiri dari
senyawa-senyawa silika oksida (SiO2), kalsium oksida (CaO), karbonat, dan
mineral-mineral lainnya, volatile matters adalah kandungan batubara yang
terbebaskan pada temperatur tinggi tanpa keberadaan oksigen (misalnya C xHy, H2,
SOx, dan sebagainya). fixed carbon ialah kadar karbon tetap yang terdapat dalam
batubara setelah volatile matters dipisahkan dari batubara. Kadar fixed carbon ini
berbeda dengan kadar karbon (C) hasil analisis ultimat karena sebagian karbon
berikatan membentuk senyawa hidrokarbon volatile (Arif, 2014).
a. Kadar Moisture

13
Hasil analisis untuk kelembaban terbagi menjadi free moisture (FM) dan inherent
moisture (IM). Adapun jumlah dari keduanya disebut dengan total moisture (TM).
Kadar kelembaban mempengaruhi jumlah pemakaian udara primernya. Batubara
berkadar kelembaban tinggi akan membutuhkan udara primer lebih banyak untuk
mengeringkan batubara tersebut pada suhu yang ditetapkan oleh output pulveriser.
Batubara mempunyai sifat hidrofobik yaitu ketika batubara dikeringkan, maka
batubara tersebut sulit menyerap air, sehingga tidak akan menambah jumlah air
internal.
Kadar air total (total moisture) yang terdiri dari kandungan air bebas (free
moisture atau air-dry loss) dan kandungan air bawaan (inherent moisture). Free
moisture merupakan air yang menempel di permukaan atau berada di celah rekahan
batubara. Kandungan air bebas (free moisture) dapat dihilangkan dengan cara
mengangin-anginkan batubara pada suhu kamar, contoh ini kemudian disebut air-
dried sample. Kandungan air bawaan (inherent moisture) adalah kandungan air yang
terikat di dalam pori internal batubara dan umumnya terikat bersamaan dengan
proses pembatubaraan. Kandungan air bawaan (inherent moisture) dapat dihilangkan
dengan cara memanaskan conto batubara yang sudah dikecilkan ukurannya di dalam
oven pada suhu 107o ± 3oC selama 60 menit.
Kadar air total terdiri dari dua jenis, yaitu:
1) Free moisture merupakan air yang menempel pada permukaan atau berada di
celah rekahan batubara. Kandungan air bebas (free moisture) dapat dihilangkan
dengan cara menganginkan batubara pada suhu kamar, conto ini kemudian
disebut air dried sample.
2) Kandungan air bawaan (inherent moisture) adalah kandungan air yang terikat
di dalam pori internal batubara dan umumnya terikat bersamaan dengan proses
pembatubaraan.
b. Kadar Abu (ash)
Komposisi batubara bersifat heterogen, terdiri dari unsur organik dan senyawa
anorganik, yang merupakan hasil rombakan batuan yang ada disekitarnya, bercampur
selama proses transportasi, sedimentasi dan proses pembatubaraan. Abu hasil dari
pembakaran batubara ini, yang dikenal sebagai ash content. Abu ini merupakan
kumpulan dari bahan-bahan pembentuk batubara yang tidak dapat terbakar atau yang
dioksidasi oleh oksigen. Bahan sisa dalam bentuk padatan ini antara lain senyawa

14
SiO2, Al2O3, TiO3, Mn3O4, CaO, Fe2O3, MgO, K2O, N2O, P2O, SO3, dan oksida unsur
lain.
Selain kualitas yang akan mempengaruhi penanganannya, baik sebagai fly ash
maupun bottom ash tetapi juga komposisinya yang akan mempengaruhi
pemanfaatannya dan juga titik leleh yang dapat menimbulkan fouling pada pipa-pipa.
Dalam hal ini kandungan Na2O dalam abu akan sangat mempengaruhi titik leleh abu.
Abu ini dapat dihasilkan dari pengotor bawaan (inherent impurities) maupun
pengotor sebagai hasil penambangannya.
Kandungan abu ini akan terbawa bersama gas pembakaran melalui ruang bakar
dan daerah konversi dalam bentuk abu terbang (fly ash) yang jumlahnya mencapai
80% dan abu dasar sebanyak 20%. Semakin tinggi kadar abu, secara umum akan
mempengaruhi tingkat pengotoran (fouling), keausan, dan korosi peralatan yang
dilalui (Said, 2017).
Abu yang terkandung dalam batubara merupakan senyawa anorganik yang
tekandung pada batubara sejak proses pembentukan atau terbawa pada saat proses
penambangan. Abu batubara adalah residu yang dihasilkan setelah batubara dibakar
sempurna. Kadar abu batubara dapat ditentukan dengan cara pembakaran yang
bertahap. Tahap pertama adalah pembakaran selama 60 menit pada suhu 450 o-500oC.
Tahap selanjutnya adalah suhu dinaikkan hingga 700o-750oC selama 120 menit.
Sedangkan analisis ultimate merupakan analisis yang dilakukan untuk
menentukan kadar Karbon (C), Hidrogen (H), Oksigen (O), Nitrogen (N), dan Sulfur
(S) dalam batubara. Nitrogen dan sulfur merupakan faktor penting yang memiliki
potensi pencemaran yang ditimbulkan dari pemanfaatan batubara. Analisis ultimate
juga bisa menentukan peringkat batubara dalam pengklasifikasiannya.
2.7.3 Nilai Kalor (Heating value)
Nilai kalor adalah jumlah energi yang terkandung di dalam bahan bakar setiap
satuan massa bahan bakar (Btu/lbm) atau (kCal/kg). Nilai kalor dipengaruhi oleh
beberapa faktor, salah satunya adalah jenis bahan bakar dan berat jenis bahan bakar.
Semakin tinggi berat jenis bahan bakar maka makin rendah nilai kalor yang
dihasilkan (Koesoemadinata, 1980). Alat yang digunakan untuk mengukur nilai kalor
adalah Bomb Calorimeter. Prinsip kerja Bomb Calorimeter adalah dengan
menentukan panas yang dibebaskan oleh suatu bahan bakar dan oksigen pada volume

15
tetap. Terdapat dua jenis nilai kalor pada suatu bahan bakar padat termasuk
biomassa, yaitu (Patabang, 2009).
Metode standar yang umum digunakan dalam perdagangan batubara:
a) ISO-International Organization for Standarisation.
b) ASTM-American Society for Testing and Materials.
c) BS-British Standards.
d) AS-Australian Standards.

16

Anda mungkin juga menyukai