Anda di halaman 1dari 3

Kerjasama Polisi Jasin dan Bung Tomo Menyerbu Jepang di Don Bosco

Pada saati itu, Sejak tanggal 26 September 1945, gudang senjata Don Bosco sudah mulai
didatangi oleh masyarakat. Masyarakat yang datang ke gudang senjata Don Bosco ini membawa
berbagai macam senjata, ada yang membawa bambu runcing dan ada yang membawa senjata api yang
didapatkan dari perampasan terhadap tentara Jepang. Masyarakat ini sudah datang ke Don Bosco sejak
pagi dan jumlah mereka semakin lama semakin bertambah. Mereka yang datang ke Don Bosco sambil
berteriak dengan sangat semangat menandakan bahwa mereka sudah tidak sabar untuk mengambil
senjata dari gudang senjata Don Bosco. Hal tersebut karena gudang senjata Don Bosco ini merupakan
gudang senjata milik tentara Jepang terbesar di Asia Tenggara yang terletak di Surabaya, sehingga
gudang senjata ini menjadi pusat perhatian untuk pengambilan senjata. Pada saat dalam perebutan
senjata di Don Bosco ini Polisi Istimewa menjadi pelopor, karena Polisi Istimewa memiliki persenjataan
yang lengkap dari Jepang. Akhirnya pihak dari Don Bosco yang diwakili oleh seorang perwira berbadan
besar menemui Bung Tomo untuk melakukan perundingan.

Dalam perundingan tersebut pihak Jepang tidak ingin menyerahkan senjata-senjata tersebut
sebelum ada perintah dari Panglima Tentara Jepang di Jawa Timur, Mayor Jenderal (Mayjen)
Iwabe.Terjadi perundingan antara Bung Tomo dengan komandan gudang senjata Don Bosco yaitu Mayor
Hashimoto. Mayor Hashimoto merasa keberatan bila pihak Don Bosco harus berhadapan langsung
dengan rakyat yang berada di luar. Supaya ada yang bisa bertanggung jawab untuk menjamin keamaan,
akhirnya Mayor Hashimoto meminta agar bisa berhubungan dengan pembesar Republik Indonesia.
Permintaan tersebut dituruti, kemudian Bung Tomo menghubungi markas Badan Keamanan Rakyat
(BKR) dan kantor Pemerintah Kota Surabaya. Tidak lama kemudian datang Soejitno dari Barisan
Pencegah Bahaya Udara (Keibodan) Kota dan H. R. Mohammad (mantan Daidancho Peta Sidoarjo) untuk
melakukan perundingan. Hasil perundingan tersebut menyebutkan bahwa Komandan gudang senjata
Don Bosco beserta wakil dari Kempetai harus berjanji akan menyerahkan senjata-senjatanya setelah
Panglima Tentara Jepang di Jawa Timur Mayjen Iwabe mengetahui semua peristiwa yang terjadi dan
rakyat yang melakukan pengepungan gudang senjata Don Bosco diminta untuk membubarkan diri.

Keesokan harinya, komandan Polisi Istimewa Karesidenan Surabaya,Moehammad Jasin datang


ke gudang senjata Don Bosco. Moehammad Jasin ini menjadi juru bicara dalam perundingan
pengambilan senjata ini, Mayor Hashimoto mengatakan bahwa Panglima Tentara Jepang di Jawa Timur
mendapat perintah dari atasannya kalau mereka harus tetap menjaga keamanan. Awalnya Mayor
Hashimoto tetap ingin menjalankan perintah dari Panglima Tentara Jepang di Jawa Timur Mayjen Iwabe,
tetapi setelah mengetahui alasan kenapa rakyat ingin mengambil persenjataan di Don Bosco, Mayor
Hashimoto bertanya kepada perwakilan Indonesia yang hadir dalam pertemuan tersebut tentang
perwakilan Indonesia bisa menjamin keamanan dan keselamatan pihak mereka atau tidak. Kemudian
Moehammad Jasin selaku Komanda Polisi Istimewa Karesiden Surabaya dan sebagai juru bicara
menyanggupi hal tersebut, asalkan persenjataan dan perlengkapan untuk pemerintah dapat ditambah
dengan secukupnya.Pihak Don Bosco akhirnya tidak memiliki pilihan lain selain menyerahkan
persenjataan beserta gedungnya, tetapi pemberian senjata tersebut harus berada di bawah tanggung
jawab dari Polisi Istimewa. Setelah itu Mayor Hashimoto meminta Moehammad Jasin untuk membuat
surat penyerahan persenjataan yang akan diberikan kepadanya. Surat tersebut sebagai barang bukti
kepada tentara Sekutu bahwa persenjataan diberikan kepada pihak Indonesia untuk menambah
perlengkapan senjata untuk menjaga keamanan. Dalam proses penandatangan penyerahan senjata,
pihak Don Bosco berdiam diri, hal tersebut mencerminkan sebenarnya mereka tidak ingin menyerahkan
senjata dan juga khawatir kalau mereka nanti dituduh sebagai penjahat perang oleh pihak Sekutu karena
telah memberikan persenjataan ke pihak Indonesia.

Kemudian Moehammad Jasin meminta Mayor Hashimoto untuk cepat melakukan


penandatanganan tersebut. Hal tersebut dikarenakan masyarakat yang berada di luar gedung sudah
mulai berteriak-teriak, masyarakat yang di luar sudah lama menunggu.Selain itu juga Moehammad Jasin
khawatir kalau perundingan tersebut terlalu lama akan menimbulkan penilaian yang keliru oleh
masyarakat di luar terhadap perwakilan yang sedang berunding. Karena adanya desakan dari
masyarakat yang berada di luar gedung, akhirnya Mayor Hashimoto segera melakukan
penandatanganan. Kemudian naskah penyerahan senjatatersebut ditandatangani oleh Mayor
Hashimoto dengan Moehammad Jasin yang didampingi oleh Bung Tomo. Setelah naskah tersebut
ditanda tangani, kemudian naskah tersebut dibawa keluar oleh Moehammad Jasin untuk ditunjukkan
kepada masyarakat yang berada di luar sebagai bukti bahwa gudang beserta isinya (persenjataan) sudah
menjadi milik Republik Indonesia. Kemenangan ini disambut dengan teriakan “Merdeka” oleh
masyarakat. Setelah penyelesaian tanda tangan naskah tersebut, penyerahan senjata di gudang senjata
Don Bosco ini berjalan dengan tertib dan suasana tenang. Setelah berhasil mendapatkan senjata yang
ada di Don Bosco, kemudian senjata-senjata tersebut dibagi-bagikan kepada rakyat dan badan-badan
perjuangan lainnya. Karena gudang senjata Don Bosco merupakan gudang senjata tentara Jepang
terbesar di Asia Tenggara, jumlah senjata yang didapat dari gudang senjata Don Bosco ini sangat banyak,
bahkan sebanyak empat gerbong kereta berisi senjata dikirim ke Jakarta. Dalam pengambilan senjata di
Don Bosco ini Polisi Istimewa menunjukkan peran pentingnya, apalagi dengan komandan Polisi Istimewa
yaitu Moehammad Jasin sangat bisa melakukan perundingan dengan pihak Don Bosco sehingga bisa
meyakinkannya untuk memberikan senjata-senjatanya dan menjamin keselamatan mereka.

Anda mungkin juga menyukai