Anda di halaman 1dari 32

DISIPLIN ILMU MATA

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA FEBRUARI 2017

PTERYGIUM BILATERAL

DISUSUN OLEH :
Fadhil Mochammad, S.Ked
111 2015 1057

SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Sri Irmandha, Sp.M, M.Kes

DIBAWAKAN DALAM RANGKA KEPANITERAAN KLINIK


DISIPLIN ILMU MATA
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA
MAKASSAR
2017

1
BAB I

LAPORAN KASUS

1.1 IDENTITAS PASIEN

 Nama : Ny.M
 Jenis Kelamin : Perempuan
 Umur : 60 tahun
 Agama : Islam
 Suku/bangsa : Makassar/Indonesia
 Pekerjaan : IRT
 Alamat : Jalan Urip Sumoharjo
 Tanggal Pemeriksaan : 23 Februari 2017
 Tempat Pemeriksaan : Poli mata RS.Ibnu Sina Makassar
 Dokter Pemeriksa : dr. SI

1.2 ANAMNESIS

KU : Tumbuh selaput pada mata kiri dan kanan

AT : Dirasakan sejak + 3 bulan yang lalu, awalnya hanya di bagian pinggir, lama-
kelamaan melebar sampai di mata hitam. Rasa mengganjal (+). Mata merah
(-), rasa berpasir (-), silau (-), air mata berlebihan (-), kotoran mata berlebihan
(-), gatal (+).
Riwayat memakai kaca mata sebelumnya (+).
Riwayat penglihatan menurun (+)
Riwayat trauma (-)
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat DM (-)

2
1.3 PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI

OD OS
Palpebra Edema (-) Edema (-)
Silia Sekret (-) Sekret (-)
Apparatus Lakrimalis Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)
Konjungtiva Hiperemis (+), tampak Hiperemis (+), tampak
selaput bentuk segitiga di selaput bentuk segitiga di
daerah nasal, dengan apeks daerah nasal, dengan
melewati limbus, belum apeks melewati limbus,
mencapai pupil belum mencapai pupil
Bola Mata Normal Normal
Mekanisme Muskular Ke segala arah Ke segala arah
- ODS
- OD
- OS
Kornea Jernih Jernih
Bilik Mata Depan Kesan Normal Kesan Normal
Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)
Pupil Bulat, Sentral, RC (+) Bulat, Sentral, RC (+)
Lensa Jernih Jernih
 Inspeksi

3
OD OS
Gambar 1. Mata pasien
 Palpasi

OD OS
Tensi Okuler Tn Tn
Nyeri Tekan (-) (-)
Massa Tumor (-) (-)
Glandula PreAurikuler Tidak Ada Pembesaran Tidak Ada Pembesaran

 Tonometri
o
TOD = 12 mmHg
o
TOS = 13 mmHg
 Visus
VOD : 0,5
VOS : 0,7
 Campus visual
o
Tidak dilakukan pemeriksaan
 Color sense
o
Tidak dilakukan pemeriksaan
 Light sense
o
Tidak dilakukan pemeriksaan
 Penyinaran oblik

4
OD OS
Konjungtiva Hiperemis (+), tampak Hiperemis (+), tampak
selaput bentuk segitiga selaput bentuk segitiga
di daerah nasal, dengan di daerah nasal, dengan
apeks melewati limbus, apeks melewati limbus,
belum mencapai pupil belum mencapai pupil
Kornea Jernih Jernih
Bilik Mata Depan Kesan Normal Kesan Normal
Iris Coklat, Kripte (+) Coklat, Kripte (+)
Pupil Bulat, Sentral, RC (+) Bulat, Sentral, RC (+)
Lensa Jernih Jernih

 Diafanoskopi
o
Tidak dilakukan pemeriksaan

 Slit lamp
o
SLOD : : konjungtiva hiperemis (+), Injeksio konjungtiva (-), tampak
selaput segitiga (+) di nasal, apex melewati limbus belum mencapai
pupil, kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil
bulat, sentral, RC (+), lensa jernih.
o
SLOS : konjungtiva hiperemis (+), Injeksio konjungtiva (-), tampak
selaput segitiga (+) di nasal, apex melewati limbus belum mencapai
pupil, kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil
bulat, sentral, RC (+), lensa jernih.

 Laboratorium
o
Tidak dilakukan pemeriksaan

1.4 RESUME

5
Seorang perempuan berumur 60 tahun berobat ke poli mata RS.Ibnu sina
Makassar dengan keluhan utama tumbuh selaput pada mata kiri dan kanan, dirasakan
sejak + 3 bulan yang lalu, awalnya hanya di bagian pinggir, lama-kelamaan melebar
sampai di mata hitam. Rasa mengganjal (+). Mata merah (-), Riwayat Hipertensi (-).
Pada pemeriksaan oftalmologi, VOD : 0,5 VOS : 0,7 TOD: 12 TOS: 13. Pada
mata kiri dan kanan ditemukan selaput segitiga di nasal, dengan apeks melewati
limbus, belum mencapai pupil, kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat, krypte
(+), pupil bulat, sentral, RC (+) dan lensa jernih.

1.5 DIAGNOSIS
Pterygium Bilateral Stadium II

1.6 TERAPI
Rencana eksisi pterygium + konjungtiva graft

1.7 DISKUSI

Dari hasil anamnesis pada pasien ini, ditemukan keluhan utama tumbuh
selaput pada mata kiri, dirasakan sejak + 3 bulan yang lalu, awalnya hanya di bagian
pinggir, lama-kelamaan melebar sampai di mata hitam. Rasa mengganjal (+). Mata
merah (+), Riwayat hipertensi (-).
Pada pemeriksaan oftalmologi, VOD : 0,5 VOS : 0,7 TOD: 12, TOS: 13. Pada
mata kiri ditemukan selaput segitiga di nasal, dengan apeks melewati limbus, belum
mencapai pupil, kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat,
sentral, RC (+) dan lensa jernih.
Berdasarkan hasil anamnesis dan hasil pemeriksaan oftalmologi tersebut
dapat disimpulkan bahwa pasien menderita Pterigium Bilateral Stadium II.
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif, berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan
puncak segitiga di kornea. Timbunan atau benjolan ini membuat penderitanya agak
6
kurang nyaman karena biasanya akan berkembang dan semakin membesar ke daerah
kornea. Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa
mata berair dan tampak merah serta mungkin menimbulkan astigmat akibat adanya
perubahan bentuk kornea akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterigium serta
terdapat pendataran dari pada meridian horizontal pada kornea.
Sinar ultraviolet terutama sinar UVB beserta polutannya merupakan pencetus
terjadinya inflamasi kronik sebagai penyebab pertumbuhan jaringan pterigium, selain
itu kekeringan okular dan polusi lingkungan dapat berperan serta dalam progresivitas
pterigium dan rekurensinya
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-
obatan jika pterigium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan
pada pterigium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada
pterigium derajat 1 dan 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan. Lindungi
mata dengan pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata
pelindung. Bila terdapat tanda radang berikan air mata buatan dan bila perlu dapat
diberi steroid. Pemakaian air mata artifisial ini diperlukan untuk membasahi
permukaan okular dan untuk mengisi kerusakan pada lapisan air mata
Umumnya pterigium bertumbuh secara perlahan dan jarang sekali
menyebabkan kerusakan yang bermakna, karena itu prognosis adalah baik.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

7
2.1 PENDAHULUAN

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang

bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah

kelopak mata bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah

kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterigium

akan berwarna merah. Pterigium dapat mengenai kedua mata. Pterigium bisa sangat

bervariasi mulai dari yang kecil, jejas atrofik yang tidak begitu jelas sampai yang

sangat besar sekali, dan juga jejas fibrovaskular yang tumbuh sangat cepat dan dapat

merusak topografi kornea dan dalam kasus yang sudah lanjut, jejas ini kadangkala

bisa menutupi pusat optik dari kornea. 1,2

Pterigium adalah pertumbuhan jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga yang

tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra. Pterigium

memiliki bentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Asal kata pterigium adalah dari

bahasa Yunani, yaitu pteron yang artinya wing atau sayap..3

Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas

dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering

mempengaruhi adalah daerah dekat equator, yakni daerah <370 lintang utara dan

selatan dari equator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat equator dan

kurang dari 2% pada daerah di atas 400 lintang. 3

Di Amerika Serikat, kasus Pterigium sangat bervariasi tergantung pada lokasi

geografisnya. Di daratan Amerika Serikat, prevalensinya berkisar kurang dari 2%

8
untuk daerah diatas 400 lintang utara sampai 5-15 % untuk daerah garis lintang 28 0-

360. Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang prevalensinya meningkat dan

daerah-daerah elevansi yang terkena penyinaran ultraviolet untuk daerah dibawah

garis lintang utara ini. Di dunia, hubungan antara menurunnya insidensi pada daerah

atas lintang utara dan relatif terjadi peningkatan untuk daerah di bawah garis balik

lintang utara. 2

Beberapa penelitian menunjukkan prevalensi paling tinggi terdapat di daerah

khatulistiwa. Pterigium juga sering ditemukan pada laki-laki dibandingkan wanita,

dengan perbandingan laki-laki 4 kali lebih resiko dari wanita dan umumnya mengenai

orang-orang yang memiliki aktivitas diluar ruangan serta berhubungan dengan

merokok. Prevalensi pterigium juga meningkat dengan bertambahnya usia. Insiden

pterigium paling banyak ditemukan pada usia 20-40 tahun. 2

2.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI

9
Gambar 1. Anatomi Bola Mata.4

Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh tiga

lapisan. Dari luar ke dalam, lapisan-lapisan tersebut adalah : 1,4

1. Sklera/kornea

2. Koroid/badan siliar/iris, dan

3. Retina

4. Sebagian besar mata dilapisi oleh jaringan ikat yang protektif dan kuat di

sebelah luar, sclera yang membentuk bagian putih.

5. Di anterior (kearah depan), lapisan luar terdiri atas kornea transparan

tempat lewatnya berkas-berkas cahaya ke anterior mata.

6. Lapisan tengah dibawah sclera adalah koroid yang sangat berpigmen dan

mengandung pembuluh-pembuluh darah untuk member makan retina.

10
7. Lapisan paling dalam dibawah koroid adalah retina, yang terdiri atas

lapisan yang sangat berpigmen disebelah luar dan sebuah lapisan saraf

didalam.

8. Retina mengandung sel batang dan sel kerucut, fotoreseptor yang

mengubah energi cahaya menjadi impuls syaraf.

Struktur mata manusia berfungsi utama memfokuskan cahaya ke retina.

Semua komponen-komponen yang dilewati cahaya sebelum sampai ke retina

mayoritas berwarna gelap untuk meminimalisir pembentukan cahaya yang akan

difokuskan ke retina, cahaya ini akan menyebabkan perubahan kimiawi pada sel

fotosensitif di retina. Hal ini akan merangsang impuls-impuls saraf ini dan

menjalarkannya ke otak.4

Konjungtiva adalah membran mukosa yang transparan dan tipis yang

membungkus permukaan posterior kelopak mata (konjungtiva palpebralis) dan

permukaan anterior sklera (konjungtiva bulbaris). Konjungtiva bersambungan dengan

kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di

limbus. Konjungtiva palpebralis melapisi permukaan posterior kelopak mata dan

melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke

posterior(pada forniks superior dan inferior) dan membugkus jaringan episklera

menjadi konjungtiva bulbaris.4

Konjungtiva palpebralis mendapat suplai darah dari arteri palpebra sedangkan

konjungtiva bulbaris mendapat suplai darah dari arteri siliaris anterior cabang dari

11
arteri oftalmikus. Persarafan sensorik di control oleh lakrimal, supraorbita,

infraorbiatal cabang dari nervus trigeminus cabang oftalmikus. Konjungtiva bulbaris

melekat longgar ke septum orbitale di fornices dan melipat berkali-kali. Adanya

lipatan-lipatan ini memungkinkan bola mata bergerak dan memperbesar konjungtiva

sekretorik (duktus-duktus kelenjar lakrimal bermuara ke forniks temporal superior).

Konjungtiva bulbaris melekat longgar dengan capsula tenon dan sclera dibawahnya

kecuali limbus.4

Kornea adalah jaringan transparan yang ukuran dan strukturnya sebanding

dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea disisipkan ke sclera di limbus, lekuk

melingkar pada persambungan ini disebut sulkus skleralis. Kornea dewasa rata-rata

mempunyai tebal 0,54 mm ditengah, sekitar 0,65 mm ditepi, dan diameternya

sekitar11,5 mm dari anterior dan posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang

berbeda : lapisan epitel (yang bersambung dengan lapisan epitel konjungtiva

bulbaris), lapisan bowman, stroma, membrane descement dan lapisan endotel.

Sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, humor aquos,

dan air mata. Kornea superficial juga mendapat oksigen sebagian besar dari atmosfer.

Saraf-saraf sensorik kornea didapatkan dari percabangan pertama n. trigeminus

(oftalmika).4

2.3 ETIOLOGI

Penyebab pterigium belum dapat dipahami secara jelas, diduga merupakan

suatu fenomena iriatif akibat sinar ultraviolet, pengeringan dan lingkungan dengan

12
angin yang banyak. Pterigium banyak dijumpai di daerah yang banyak terkena sinar

matahari, daerah yang berdebu, berpasir atau anginnya besar sehingga kemungkinan

pencetusnya adalah rangsangan dari udara panas, juga bagi orang yang sering

berkendara motor tanpa helm penutup atau kacamata pelindung, nelayan, dan petani.

Penyebab paling umum adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari

yang diterima oleh mata. Ketika mata terus menerus terkena sinar ultraviolet,

konjungtiva akan menebal sama seperti proses terbentuknya calus pada kulit. Sebuah

kecenderungan genetik untuk pengembangan pterygia tampak ada dalam keluarga

tertentu. 1,3,6

Beberapa kasus dilaporkan sekelompok anggota keluarga dengan pterigium

dan berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan

pterigium, kemungkinan diturunkan autosom dominan. Selain itu, iritasi kronik atau

inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan pendukung

terjadinya keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan

teori baru pathogenesis dari pterigium. Wong juga menunjukkan adanya “pterigium

angiogenesis factor” dan penggunaan farmakoterapi antiangiogenesis sebagai terapi

kelembaban yang rendah dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan

virus pailoma juga penyebab dari pterigium.3

2.4 PATOFISIOLOGI

Terjadinya pterigium berhubungan erat dengan paparan sinar ultraviolet,

kekeringan, inflamasi dan paparan angin dan debu atau factor iritan lainnya. UV-B

13
yang bersifat mutagen terhadap gen P53 yang berfungsi sebagai tumor suppressor

gene pada stem sel di basal limbus. Pelepasan yang berlebih dari sitokin seperti

transforming growth factor beta (TGF-β) dan vascular endothelial growth factor

(VEGF) yang berperan penting dalam peningkatan regulasi kolagen, migrasi sel

angiogenesis. Selanjutnya terjadi perubahan patologi yang terdiri dari degenerasi

kolagen elastoid dan adanya jaringan fibrovaskular supepithelial. Pada kornea

nampak kerusakan pada membrana Bowman oleh karena bertumbuhnya jaringan

fibrovaskuler, yang sering kali disertai dengan adanya inflamasi ringan. Epitel bisa

normal, tebal atau tipis dan kadang-kadang terjadi displasia. 3,5

Patofisiologi pterigium ditandai dengan degenerasi elastotik kolagen dan

proliferasi fibrovaskuler, dengan permukaan yang menutupi epithelium.

Histopatologi kolagen abnormal pada daerah degenerasi elastotik menggunakan

pewarnaan hematoxylin dan eosin memperlihatkan adanya basofil. 2,5

Berdasarkan letak anatomisnya, diduga bahwa lebih banyaknya refleksi

cahaya dari aspek lateral pada limbus kornea karena tidak adanya pelindung dapat

berkontribusi pada pembentukan pterigium di daerah nasal .5

14
Gambar 2. Keadaan anatomi berhubungan dengan lokasi pterigium 5

Korelasi epidemiologi yang kuat antara pembentukan pterigium dan paparan

sinar matahari telah menyebabkan asumsi bahwa beberapa bagian dari sinar radiasi

dapat memiliki peran patogenetik langsung. Ruang periorbital, termasuk keberadaan

tepi periorbital superior, kehadiran prominensia supraorbita menyiratkan bahwa mata

relatif dilindungi daripaparan cahaya langsung dari atas. Di sisi lain, mata relatif

terlindungi dari cahaya yang tersebar dari bawah atau lateral (Albedo). Laporan awal

mengangkat kemungkinan bahwa paparan cahaya matahari bertindak dalam

kombinasi dengan paparan debu atau pasir, sehingga menyebabkan permukaan mata

mengalami inflamasi. Namun, dideteksi prevalensi pterigium tinggi pada pelaut atau

nelayan, yang tinggal di lingkungan tanpa debu melainkan terkena peningkatan

jumlah cahaya tersebar dari permukaan reflektif seperti permukaan laut, menunjuk ke

15
arah keterlibatan Albedo pada pembentukan pterigium. Bahkan mungkin mengikuti

alternatif (transcameral) jalur optik saat memasuki mata, sehingga mengenai limbal

stem cell dari permukaan dalam.5

Beberapa penelitian bahkan menyatakan bahwa lokasi pterigium merupakan

indikasi dari patogenetik peran cahaya matahari, karena cahaya dapat terpantul ke

limbus sclerocorneal nasal dari hidung lateral sedangkan dinding hidung bulbar

konjungtiva lebih terbuka sinar matahari karena rambut alis yang lebih pendek dari

temporal 5

Gambar 3.

Cahaya Transcameral berfokus pada limbus nasal dapat mengekspos

sel induk limbal basal untuk peningkatan jumlah UVR dan dihubungkan dengan


5
perubahan genetik molekuler untuk sel-sel ini, akhirnya mengarah ke formasi.pterigium

16
Radiasi UV memulai rantai peristiwa di intraseluler dan ekstraseluler

yang melibatkan DNA, RNA,dan komposisi matriks ekstraseluler. Girolamo

dan koleganya menunjukkan radiasi UVB merangsang induksi dari matriks

metalloproteinase (MMP) -1 ekspresi dalam permukaan sel epitel mata, yang

dimediasi melalui ERK1 / 2 MAPK tergantung jalur. Nolan dan koleganya

menemukan bahwa radiasi UVB menciptakan overekspresi pertumbuhan

faktor pengikat epidermal heparin (HB-EGF) dalam jaringan pterigial. HB-

EGF adalah mitogen kuat dan dapat dianggap sebagai kekuatan pendorong

utama dalam pengembangan pterigium.7

Giorolamo dan koleganya berkorelasi dalam penelitian lain. Mereka

menemukan bahwa pertumbuhan epidermis faktor sinyal reseptor sebagian

bertanggung jawab untuk peningkatan MMP-1 ekspresi dalam sel okular

setelah radiasi UVB . Tsai dan koleganya menjelaskan aspek yang sangat

penting dari patologi pterigium-kerusakan DNA oksidatif. Radiasi UV

berbahaya untuk jaringan konjungtiva, baik oleh efek langsung fototoksik atau

tidak langsung dengan pembentukan spesies oksigen radikal (ROS). salah satu

penanda stres oksidatif adalah 8 - hydroxydeoxyguanosine (8-OHdG). hal ini

akibat dari kerusakan UV untuk DNA. Sebuah peningkatan dari 8-OHdG

pada pterygia ditemukan dalam penelitian ini, kenyataan bahwa berkorelasi

UV dengan kerusakan oksidatif pada konjungtiva dan penciptaan pterigium. 7

17
Bukti yang sama ditemukan oleh Kau dan koleganya, pterigium terkait

dengan proses proliferasi vaskular. Marcovici dan kolega menemukan bahwa

VEGF dan von Willebrand faktor (vWF) yang diekspresikan dalam jaringan

pterigium. Ini adalah bukti angiogenesis ditemukan selama pengembangan

pterigium. 7

Pterigium memiliki tiga bagian : 3, 6,8

1. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri dari zona abu-abu pada kornea

yang kebanyakan terdiri atas fibroblast. Area ini menginvasi dan

menghancurkan lapisan bowman pada kornea. Gari zat besi (iron

line/stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga

merupakan area kornea yang kering. Cap dari pterigium dapat berkembang

menuju pusat kornea. Perkembangan ini mungkin hasil dari gangguan

membran Bowman, yang menyediakan substrat yang menambah pertumbuhan

pterigium tersebut.

2. Bagian whitish. Terletak langsung setelah cap. Merupakan sebuah lapisan

vesicular yang tipis yang menginvasi kornea seperti halnya kepala.

3. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian mobile (dapat bergerak), lembut,

merupakan area vesicular pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling

ujung. Badan ini menjadi tanda yang khas untuk dilakukan koreksi

18
Gambar 4 : Pterigium 6

Gambar 5 : Pterigium 6

2.5 MANIFESTASI KLINIS

Pasien yang mengalami pterigium dapat tidak menunjukkan gejala

apapun (asimptomatik). Kebanyakan gejala ditemukan saat pemeriksaan 

berupa iritasi mata, merah, perubahan tajam penglihatan, sensasi adanya

benda asing atau fotofobia. Penurunan tajam penglihatan dapat timbul bila

pterigium menyeberang axis visual atau menyebabkan meningkatnya

astigmatisme. Pterigium dapat disertai dengan keratitis pungtata dan dellen

(penipisan kornea akibat kering), dan garis besi (iron line dari Stocker) yang

19
terletak di ujung pterigium (adanya stocker line menandakan kronis

pterigium) 1,6,8

Gambaran klinik bisa dibagi menjadi 2 kategori umum, sebagai

berikut :6

1. Kelompok pertama yaitu pasien yang mengalami pterigium berupa

proliferasi minimal dan penyakitnya lebih bersifat atrofi. Pterigium pada

kelompok ini cenderung lebih pipih dan pertumbuhannya lambat

mempunyai insidensi yang lebih rendah untuk kambuh setelah dilakukan

eksisi.

2. Pada kelompok kedua pterigium mempunyai riwayat penyakit tumbuh

cepat dan terdapat komponen elevasi jaringan fibrovaskular. Pterigium

dalam kelompok ini mempunyai perkembangan klinis yang lebih cepat

dan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi untuk setelah dilakukan eksisi.

2.6 JENIS DAN STADIUM

A. Jenis Pterigium : 8

1. Tipe vaskuler : pterigium tebal, merah, progresif biasanya ditemukan pada

anak muda (tumbuh cepat karena banyak pembuluh darah).

2. Tipe membranaceus : pterigium tipis seperti plastik, tidak terlalu merah

biasanya terdapat pada orang tua.

B. Stadium Pterigium : 3

20
- Stadium I : belum mencapai limbus

- Stadium II : sudah melewati limbus dan belum mencapai pupil

- Stadium III : sudah menutupi pupil

- Stadium IV : sudah melewati pupil

Gambar 6 : pterigium stadium 1 Gambar 7 : pterigium stadium II

Gambar 8 : pterigium stadium 3 Gambar 9 : pterigium stadium 4

2.7 DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding pterigium adalah pinguekula dan pseudopterigium.

Pinguekula merupakan benjolan pada konjungtiva bulbi yang ditemukan pada

orangtua, terutama yang matanya sering mendapatkan rangsangan sinar matahari,

21
debu, dan angin panas. Letak bercak ini pada celah kelopak mata terutama di bagian

nasal. Pinguekula merupakan degenerasi hialin jaringan submukosa konjungtiva.

Pembuluh darah tidak masuk ke dalam pinguekula akan tetapi bila meradang atau

terjadi iritasi, maka sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat pembuluh darah yang

melebar. Pada pinguekula tidak perlu diberikan pengobatan, akan tetapi bila terlihat

adanya tanda peradangan (pinguekulitis), dapat diberikan antiinflamasi.1,3,8

Yang membedakan pterigium dengan pinguekula adalah bentuk nodul, terdiri

atas jaringan hyaline dan jaringan elastik kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi

sering meradang. 1,3

Pseudopterigium merupakan perlekatan konjungtiva dengan kornea yang

cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea,

sehingga konjungtiva menutupi kornea. Pseudopterigium juga sering dilaporkan

sebagai dampak sekunder penyakit peradangan pada kornea. Pseudopterigium dapat

ditemukan dibagian apapun pada kornea dan biasanya berbentuk obliq. Sedangkan

pterigium ditemukan secara horizontal pada posisi jam 3 atau jam 9. 3

Beda dengan pterigium adalah selain letaknya, pseudopterigium tidak harus

beda pada celah kelopak atau fisura palpebral juga pada pseudopterigium ini dapat

diselipkan sonde di bawahnya. Pada pseudopterigium selamanya terdapat anamnesis

adanya kelainan kornea sebelumnya, seperti tukak kornea. 1,3

22
Gambar 10. Pinguekula8

Gambar 11. Pseudopterigium9

Tabel 1. Perbedaan pterigium dan pseudopterigium


9

Perbedaan Pterigium dan Pseudopterigium


Pterigium Pseudopterigium
Etiologi Proses degenerasi Proses inflamasi
Umur Sering terjadi pada orang Terjadi pada semua umur

23
tua
Lokasi Pada konjungtiva nasal Dapat terjadi pada semua

atau temporal sisi dari konjungtiva


Stadium Progresif, regresif atau Biasanya stasioner

stationer
Tes sondase Negative Positif

2.8 PENATALAKSANAAN

A. Mediakamentosa

Pterigium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda.

Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan.

Pengobatan pterigium adalah dengan sikap konservatif atau dilakukan pembedahan

bila terjadi gangguan penglihatan akibat terjadinya astigmisme ireguler atau

pterigium yang telah menutupi media penglihatan.8

Cara terbaik untuk menghindari kekambuhan adalah untuk membatasi

eksposur ke faktor lingkungan yang berkontribusi terhadap pertumbuhan pterigium.

Ini termasuk:

melindungi mata dari sinar UV berlebihan dengan kacamata yang tepat;


melindungi mata dalam keadaan kering, kondisi berdebu dengan kacamata

yang tepat;

menggunakan air mata buatan untuk mata kering.


Bila terdapat tanda radang berikan air mata buatan dan bila perlu dapat diberi

steroid.

24

Bila tedapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep.

Bila diberi vasokonstriktor maka perlu control dalam 2 minggu dan bila telah

terdapat perbaikan pengobatan dihentikan1,2,10

B. Tindakan operatif

Tindakan pembedahan adalah suatu tindak bedah plastik yang dilakukan

dengan indikasi : 5,11

1. Pterigium telah memasuki kornea lebih dari 4 mm berpotensi menjadi

astigmatisme

2. Pertumbuhan yang progresif, terutama pterigium jenis vaskular.

3. Mata terasa mengganjal.

4. Visus menurun, terus berair.

5. Mata merah sekali.

6. Telah masuk daerah pupil atau melewati limbus.

7. Alasan kosmetik.

Pasca operasi biasanya akan diberikan terapi lanjut seperti pengggunaan sinar

radiasi β atau terapi lainnya untuk mencegah kekambuhan seperti mitomycin C. 5

Jenis Operasi pada Pterigium antara lain 3,5 :



Bare sklera : bertujuan untuk menyatukan kembali konjungtiva dengan

permukaan sklera. Kerugian dari teknik ini adalah tingginya tingkat

rekurensi pasca pembedahan yang dapat mencapai 40-75%.

25

Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,

diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva relative kecil.

Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi

untuk memungkinkan dilakukannya penempatan flap.



Rotational flap : dibuat insisi berbentuk huruf U di sekitar luka bekas

eksisi untuk membentuk seperti lidah pada konjungtiva yang kemudian

diletakkan pada bekas eksisi.



Conjungtival graft : menggunakan free graft yang biasanya diambil dari

konjungtiva bulbi bagian superior.



Amnion membrane transplantasi : mengurangi frekwensi rekuren

pterigium, mengurangi fibrosis atau scar pada permukaan bola mata dan

penelitian baru mengungkapkan menekan TGF-β pada konjungtiva dan

fibroblast pterigium 12

26
Gambar 12 : Jenis-jenis operasi pterigium 3

a. Bare sclera

b. Simple closure

c. Sliding flap

d. Rotational flap

e. Conjungtival graft

27
Tindakan pembedahan untuk eksisi pterigium biasanya bisa dilakukan pada

pasien rawat jalan dengan menggunakan anestesi lokal, bila perlu diperlukan dengan

memakai sedasi. Perawatan pasca operasi, mata pasien biasanya merekat pada malam

hari, dan dirawat memakai obat tetes mata atau salep mata antibiotik atau

antinflamasi 2, 5

Metode yang sering digunakan yaitu graft konjungtiva, pterigium akan

dieksisi dan bagian kecil dari konjungtiva, yang merupakan transparan kulit tipis

yang menutupi bagian putih mata, ditempatkan ke situs ini. Operasi dilakukan di

bawah anestesi lokal. Seharusnya tidak ada rasa sakit selama operasi, yang

berlangsung sekitar setengah jam. Setelah prosedur, resep diberikan salep mata atau

tetes mata dan tablet nyeri. Untuk sekitar 1-2 minggu setelah operasi, harus dihindari

air, debu atau kotoran di mata. 13

Teknik konjungtiva autograft memiliki tingkat kekambuhan dilaporkam

serendah 2%. Direkomendasikan menggunakan sayatan yang besar untuk eksisi

pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhannya sangat rendah dengan teknik

ini. Prosedur konjungtiva autograft sebagai berikut

1. Setelah pterigium dieksisi, ukuran dari bare sclera yang tinggal dikukur

2. Diambil dari konjungtiva dari bagian superior dari mata yang sama, diperkirakan

lebih besar 1 mm dari bare sclera yang diukur kemudian ditanda.

3. Area yang sudah ditandai diinjeksikan lidokain, agar mudah mendiseksi

konjungtiva dari tenon selama pengambilan autograft

28
4. Bagian limbal dari autograft ditempatkan pada area limbal yang akan di graft

5. Autograft kemudian dijahit ke konjungtiva disekitarnya dengan menggunakan

vieryl 8.0

2.9 KOMPLIKASI

Komplikasi dari pterigium meliputi sebagai berikut : 3,8


o
Distorsi dan atau reduksi penglihatan sentral

o
Kemerahan

o
Iritasi

o
Luka kronik pada konjungtiva dan kornea

o
Keterlibatan yang luas pada otot extraocular dan memberi kontribusi

terjadinya diplopia, pada pasien yang belum mengalami insisi bedah

sebelumnya, luka pada otot rectus medial adalah penyebab paling

sering dari diplopia, pada pasien yang telah menjalani insisi bedah,

luka dan disinsersi dari otot rectus medial adalah penebab diplopia

yang terjadi. Komplikasi yang terbanyak adalah rekuren pterigium

postoperasi. Selain itu gaya tarik yang bekerja pada kornea bisa

menyebabkan terjadinya astigmatisme. 2,3,9

2.10 PROGNOSIS

Prognosis visual dan kosmetik dari eksisi pterigium adalah baik. Prosedur

dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien, dan disamping rasa tak nyaman pada hari-

hari pertama post-operatif, pasien bisa melanjutkan aktivitas secara penuh dalam 48

29
jam. Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan

konjungtiva autograft atau transplantasi membrane amnion. Angka rekurensi masih

tergolong rendah dengan 1/1000.

Pterigium dapat terjadi rekuren, dikatakan rekuren bila timbul kembali dalam

7 hari-6 bulan post op. Insidensinya 30-50%. Upaya yang dapat dilakukan untuk

mengurangi rekurensi adalah menunda operasi hingga decade 4, menggunakan

sitostatika topical, menggunakan radiasi sinar β untuk tipe vaskuler, memilih metode

operasi yang baik, dan mengurangi iritasi yang terjadi.r2,3,8

30
BAB III

KESIMPULAN

Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan
merupakan yang tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini di
karenakan oleh letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga
banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab
dari piterigium. Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas
laki-laki lebih banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien di atas 40 tahun
karena faktor degeneratif.

Penderita dengan pterigium dapat tidak menunjukkan gejala apapun


(asimptomatik), bisa juga menunjukkan keluhan mata iritatif, gatal, merah, sensasi
benda asing hingga perubahan tajam penglihatan tergantung dari stadiumnnya.

Terapi dari pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perawatan secara
konservatif seperti memberikan anti inflamasi pada pterigium yang iritatif. Pada
pembedahan akan dilakukan jika piterigium tersebut sudah sangat mengganggu bagi
penderita semisal gangguan visual, dan pembedahan ini pun hasilnya juga kurang
maksimal karena angka kekambuhan yang cukup tinggi mengingat tingginya
kuantitas sinar UV di Indonesia. Walaupun begitu penyakit ini dapat dicegah dengan
menganjurkan untuk memakai kacamata pelindung sinar matahari.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Aminlari A, Singh R, Liang D. Management of Pterygium. Diunduh dari :


http://www.aao.org/aao/publications /eyenet /201011/ pearls.cfm. 2010

2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2007.
hal:2-6, 116 – 117. 2007
3. Suhardjo SU, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi 1. Jogjakarta : Bagian
Ilmu Penyakit Mata FK UGM. 2007

4. Fisher JP, Trattler WB. Pterygium. Diunduh


dari :http://emedicine.medscape.com/ article/ 1192527-overview. 2011

5. Riordan P, Whitcher JP. Voughan & Asbur’s General Ophthalmology 17 th


edition. Philadelpia : McGrawHill. 2007

6. Lang GK. Pterygium. In : Atlas Ophthalmology a Short Textbook. New


York : Thieme. 2000

7. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology: A Systematic Approach; Edisi 6.


Philadelphia: Butterworth Heinemann Elsevier. 2006 :242-244.

8. Miller SJH. Parson’s Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill
Livingstone ; 1996. p.142

32

Anda mungkin juga menyukai