FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA FEBRUARI 2017
PTERYGIUM BILATERAL
DISUSUN OLEH :
Fadhil Mochammad, S.Ked
111 2015 1057
SUPERVISOR PEMBIMBING:
dr. Sri Irmandha, Sp.M, M.Kes
1
BAB I
LAPORAN KASUS
Nama : Ny.M
Jenis Kelamin : Perempuan
Umur : 60 tahun
Agama : Islam
Suku/bangsa : Makassar/Indonesia
Pekerjaan : IRT
Alamat : Jalan Urip Sumoharjo
Tanggal Pemeriksaan : 23 Februari 2017
Tempat Pemeriksaan : Poli mata RS.Ibnu Sina Makassar
Dokter Pemeriksa : dr. SI
1.2 ANAMNESIS
AT : Dirasakan sejak + 3 bulan yang lalu, awalnya hanya di bagian pinggir, lama-
kelamaan melebar sampai di mata hitam. Rasa mengganjal (+). Mata merah
(-), rasa berpasir (-), silau (-), air mata berlebihan (-), kotoran mata berlebihan
(-), gatal (+).
Riwayat memakai kaca mata sebelumnya (+).
Riwayat penglihatan menurun (+)
Riwayat trauma (-)
Riwayat Hipertensi (-)
Riwayat DM (-)
2
1.3 PEMERIKSAAN OFTALMOLOGI
OD OS
Palpebra Edema (-) Edema (-)
Silia Sekret (-) Sekret (-)
Apparatus Lakrimalis Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)
Konjungtiva Hiperemis (+), tampak Hiperemis (+), tampak
selaput bentuk segitiga di selaput bentuk segitiga di
daerah nasal, dengan apeks daerah nasal, dengan
melewati limbus, belum apeks melewati limbus,
mencapai pupil belum mencapai pupil
Bola Mata Normal Normal
Mekanisme Muskular Ke segala arah Ke segala arah
- ODS
- OD
- OS
Kornea Jernih Jernih
Bilik Mata Depan Kesan Normal Kesan Normal
Iris Coklat, kripte (+) Coklat, kripte (+)
Pupil Bulat, Sentral, RC (+) Bulat, Sentral, RC (+)
Lensa Jernih Jernih
Inspeksi
3
OD OS
Gambar 1. Mata pasien
Palpasi
OD OS
Tensi Okuler Tn Tn
Nyeri Tekan (-) (-)
Massa Tumor (-) (-)
Glandula PreAurikuler Tidak Ada Pembesaran Tidak Ada Pembesaran
Tonometri
o
TOD = 12 mmHg
o
TOS = 13 mmHg
Visus
VOD : 0,5
VOS : 0,7
Campus visual
o
Tidak dilakukan pemeriksaan
Color sense
o
Tidak dilakukan pemeriksaan
Light sense
o
Tidak dilakukan pemeriksaan
Penyinaran oblik
4
OD OS
Konjungtiva Hiperemis (+), tampak Hiperemis (+), tampak
selaput bentuk segitiga selaput bentuk segitiga
di daerah nasal, dengan di daerah nasal, dengan
apeks melewati limbus, apeks melewati limbus,
belum mencapai pupil belum mencapai pupil
Kornea Jernih Jernih
Bilik Mata Depan Kesan Normal Kesan Normal
Iris Coklat, Kripte (+) Coklat, Kripte (+)
Pupil Bulat, Sentral, RC (+) Bulat, Sentral, RC (+)
Lensa Jernih Jernih
Diafanoskopi
o
Tidak dilakukan pemeriksaan
Slit lamp
o
SLOD : : konjungtiva hiperemis (+), Injeksio konjungtiva (-), tampak
selaput segitiga (+) di nasal, apex melewati limbus belum mencapai
pupil, kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil
bulat, sentral, RC (+), lensa jernih.
o
SLOS : konjungtiva hiperemis (+), Injeksio konjungtiva (-), tampak
selaput segitiga (+) di nasal, apex melewati limbus belum mencapai
pupil, kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil
bulat, sentral, RC (+), lensa jernih.
Laboratorium
o
Tidak dilakukan pemeriksaan
1.4 RESUME
5
Seorang perempuan berumur 60 tahun berobat ke poli mata RS.Ibnu sina
Makassar dengan keluhan utama tumbuh selaput pada mata kiri dan kanan, dirasakan
sejak + 3 bulan yang lalu, awalnya hanya di bagian pinggir, lama-kelamaan melebar
sampai di mata hitam. Rasa mengganjal (+). Mata merah (-), Riwayat Hipertensi (-).
Pada pemeriksaan oftalmologi, VOD : 0,5 VOS : 0,7 TOD: 12 TOS: 13. Pada
mata kiri dan kanan ditemukan selaput segitiga di nasal, dengan apeks melewati
limbus, belum mencapai pupil, kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat, krypte
(+), pupil bulat, sentral, RC (+) dan lensa jernih.
1.5 DIAGNOSIS
Pterygium Bilateral Stadium II
1.6 TERAPI
Rencana eksisi pterygium + konjungtiva graft
1.7 DISKUSI
Dari hasil anamnesis pada pasien ini, ditemukan keluhan utama tumbuh
selaput pada mata kiri, dirasakan sejak + 3 bulan yang lalu, awalnya hanya di bagian
pinggir, lama-kelamaan melebar sampai di mata hitam. Rasa mengganjal (+). Mata
merah (+), Riwayat hipertensi (-).
Pada pemeriksaan oftalmologi, VOD : 0,5 VOS : 0,7 TOD: 12, TOS: 13. Pada
mata kiri ditemukan selaput segitiga di nasal, dengan apeks melewati limbus, belum
mencapai pupil, kornea jernih, BMD kesan normal, iris coklat, kripte (+), pupil bulat,
sentral, RC (+) dan lensa jernih.
Berdasarkan hasil anamnesis dan hasil pemeriksaan oftalmologi tersebut
dapat disimpulkan bahwa pasien menderita Pterigium Bilateral Stadium II.
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat
degeneratif dan invasif, berbentuk segitiga yang tumbuh menjalar ke kornea dengan
puncak segitiga di kornea. Timbunan atau benjolan ini membuat penderitanya agak
6
kurang nyaman karena biasanya akan berkembang dan semakin membesar ke daerah
kornea. Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa
mata berair dan tampak merah serta mungkin menimbulkan astigmat akibat adanya
perubahan bentuk kornea akibat adanya mekanisme penarikan oleh pterigium serta
terdapat pendataran dari pada meridian horizontal pada kornea.
Sinar ultraviolet terutama sinar UVB beserta polutannya merupakan pencetus
terjadinya inflamasi kronik sebagai penyebab pertumbuhan jaringan pterigium, selain
itu kekeringan okular dan polusi lingkungan dapat berperan serta dalam progresivitas
pterigium dan rekurensinya
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-
obatan jika pterigium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan
pada pterigium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada
pterigium derajat 1 dan 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan. Lindungi
mata dengan pterigium dari sinar matahari, debu dan udara kering dengan kacamata
pelindung. Bila terdapat tanda radang berikan air mata buatan dan bila perlu dapat
diberi steroid. Pemakaian air mata artifisial ini diperlukan untuk membasahi
permukaan okular dan untuk mengisi kerusakan pada lapisan air mata
Umumnya pterigium bertumbuh secara perlahan dan jarang sekali
menyebabkan kerusakan yang bermakna, karena itu prognosis adalah baik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
7
2.1 PENDAHULUAN
bersifat degeneratif dan invasif. Pertumbuhan ini biasanya terletak pada celah
kelopak mata bagian nasal ataupun temporal konjungtiva yang meluas ke daerah
kornea. Pterigium mudah meradang dan bila terjadi iritasi, maka bagian pterigium
akan berwarna merah. Pterigium dapat mengenai kedua mata. Pterigium bisa sangat
bervariasi mulai dari yang kecil, jejas atrofik yang tidak begitu jelas sampai yang
sangat besar sekali, dan juga jejas fibrovaskular yang tumbuh sangat cepat dan dapat
merusak topografi kornea dan dalam kasus yang sudah lanjut, jejas ini kadangkala
tumbuh dari arah konjungtiva menuju kornea pada daerah interpalpebra. Pterigium
memiliki bentuk sayap pada konjungtiva bulbi. Asal kata pterigium adalah dari
Pterigium tersebar di seluruh dunia, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas
dan kering. Prevalensi juga tinggi di daerah berdebu dan kering. Faktor yang sering
mempengaruhi adalah daerah dekat equator, yakni daerah <370 lintang utara dan
selatan dari equator. Prevalensi tinggi sampai 22% di daerah dekat equator dan
8
untuk daerah diatas 400 lintang utara sampai 5-15 % untuk daerah garis lintang 28 0-
360. Hubungan ini terjadi untuk tempat-tempat yang prevalensinya meningkat dan
garis lintang utara ini. Di dunia, hubungan antara menurunnya insidensi pada daerah
atas lintang utara dan relatif terjadi peningkatan untuk daerah di bawah garis balik
lintang utara. 2
dengan perbandingan laki-laki 4 kali lebih resiko dari wanita dan umumnya mengenai
9
Gambar 1. Anatomi Bola Mata.4
Mata adalah suatu struktur sferis berisi cairan yang dibungkus oleh tiga
1. Sklera/kornea
3. Retina
4. Sebagian besar mata dilapisi oleh jaringan ikat yang protektif dan kuat di
6. Lapisan tengah dibawah sclera adalah koroid yang sangat berpigmen dan
10
7. Lapisan paling dalam dibawah koroid adalah retina, yang terdiri atas
lapisan yang sangat berpigmen disebelah luar dan sebuah lapisan saraf
didalam.
difokuskan ke retina, cahaya ini akan menyebabkan perubahan kimiawi pada sel
fotosensitif di retina. Hal ini akan merangsang impuls-impuls saraf ini dan
menjalarkannya ke otak.4
kulit pada tepi palpebra (suatu sambungan mukokutan) dan dengan epitel kornea di
melekat erat ke tarsus. Di tepi superior dan inferior tarsus, konjungtiva melipat ke
konjungtiva bulbaris mendapat suplai darah dari arteri siliaris anterior cabang dari
11
arteri oftalmikus. Persarafan sensorik di control oleh lakrimal, supraorbita,
Konjungtiva bulbaris melekat longgar dengan capsula tenon dan sclera dibawahnya
kecuali limbus.4
dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea disisipkan ke sclera di limbus, lekuk
melingkar pada persambungan ini disebut sulkus skleralis. Kornea dewasa rata-rata
sekitar11,5 mm dari anterior dan posterior, kornea mempunyai lima lapisan yang
Sumber nutrisi untuk kornea adalah pembuluh-pembuluh darah limbus, humor aquos,
dan air mata. Kornea superficial juga mendapat oksigen sebagian besar dari atmosfer.
(oftalmika).4
2.3 ETIOLOGI
suatu fenomena iriatif akibat sinar ultraviolet, pengeringan dan lingkungan dengan
12
angin yang banyak. Pterigium banyak dijumpai di daerah yang banyak terkena sinar
matahari, daerah yang berdebu, berpasir atau anginnya besar sehingga kemungkinan
pencetusnya adalah rangsangan dari udara panas, juga bagi orang yang sering
berkendara motor tanpa helm penutup atau kacamata pelindung, nelayan, dan petani.
Penyebab paling umum adalah exposure atau sorotan berlebihan dari sinar matahari
yang diterima oleh mata. Ketika mata terus menerus terkena sinar ultraviolet,
konjungtiva akan menebal sama seperti proses terbentuknya calus pada kulit. Sebuah
tertentu. 1,3,6
pterigium, kemungkinan diturunkan autosom dominan. Selain itu, iritasi kronik atau
inflamasi terjadi pada area limbus atau perifer kornea merupakan pendukung
terjadinya keratitis kronik dan terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan
teori baru pathogenesis dari pterigium. Wong juga menunjukkan adanya “pterigium
kelembaban yang rendah dan trauma kecil dari bahan partikel tertentu, dry eye dan
2.4 PATOFISIOLOGI
kekeringan, inflamasi dan paparan angin dan debu atau factor iritan lainnya. UV-B
13
yang bersifat mutagen terhadap gen P53 yang berfungsi sebagai tumor suppressor
gene pada stem sel di basal limbus. Pelepasan yang berlebih dari sitokin seperti
transforming growth factor beta (TGF-β) dan vascular endothelial growth factor
(VEGF) yang berperan penting dalam peningkatan regulasi kolagen, migrasi sel
fibrovaskuler, yang sering kali disertai dengan adanya inflamasi ringan. Epitel bisa
cahaya dari aspek lateral pada limbus kornea karena tidak adanya pelindung dapat
14
Gambar 2. Keadaan anatomi berhubungan dengan lokasi pterigium 5
sinar matahari telah menyebabkan asumsi bahwa beberapa bagian dari sinar radiasi
relatif dilindungi daripaparan cahaya langsung dari atas. Di sisi lain, mata relatif
terlindungi dari cahaya yang tersebar dari bawah atau lateral (Albedo). Laporan awal
kombinasi dengan paparan debu atau pasir, sehingga menyebabkan permukaan mata
mengalami inflamasi. Namun, dideteksi prevalensi pterigium tinggi pada pelaut atau
jumlah cahaya tersebar dari permukaan reflektif seperti permukaan laut, menunjuk ke
15
arah keterlibatan Albedo pada pembentukan pterigium. Bahkan mungkin mengikuti
alternatif (transcameral) jalur optik saat memasuki mata, sehingga mengenai limbal
indikasi dari patogenetik peran cahaya matahari, karena cahaya dapat terpantul ke
limbus sclerocorneal nasal dari hidung lateral sedangkan dinding hidung bulbar
konjungtiva lebih terbuka sinar matahari karena rambut alis yang lebih pendek dari
temporal 5
Gambar 3.
16
Radiasi UV memulai rantai peristiwa di intraseluler dan ekstraseluler
EGF adalah mitogen kuat dan dapat dianggap sebagai kekuatan pendorong
setelah radiasi UVB . Tsai dan koleganya menjelaskan aspek yang sangat
berbahaya untuk jaringan konjungtiva, baik oleh efek langsung fototoksik atau
tidak langsung dengan pembentukan spesies oksigen radikal (ROS). salah satu
17
Bukti yang sama ditemukan oleh Kau dan koleganya, pterigium terkait
VEGF dan von Willebrand faktor (vWF) yang diekspresikan dalam jaringan
pterigium. 7
1. Bagian kepala atau cap, biasanya datar, terdiri dari zona abu-abu pada kornea
line/stocker’s line) dapat dilihat pada bagian anterior kepala. Area ini juga
merupakan area kornea yang kering. Cap dari pterigium dapat berkembang
pterigium tersebut.
3. Bagian badan atau ekor, merupakan bagian mobile (dapat bergerak), lembut,
merupakan area vesicular pada konjungtiva bulbi dan merupakan area paling
ujung. Badan ini menjadi tanda yang khas untuk dilakukan koreksi
18
Gambar 4 : Pterigium 6
Gambar 5 : Pterigium 6
benda asing atau fotofobia. Penurunan tajam penglihatan dapat timbul bila
(penipisan kornea akibat kering), dan garis besi (iron line dari Stocker) yang
19
terletak di ujung pterigium (adanya stocker line menandakan kronis
pterigium) 1,6,8
berikut :6
eksisi.
dan tingkat kekambuhan yang lebih tinggi untuk setelah dilakukan eksisi.
A. Jenis Pterigium : 8
B. Stadium Pterigium : 3
20
- Stadium I : belum mencapai limbus
21
debu, dan angin panas. Letak bercak ini pada celah kelopak mata terutama di bagian
Pembuluh darah tidak masuk ke dalam pinguekula akan tetapi bila meradang atau
terjadi iritasi, maka sekitar bercak degenerasi ini akan terlihat pembuluh darah yang
melebar. Pada pinguekula tidak perlu diberikan pengobatan, akan tetapi bila terlihat
atas jaringan hyaline dan jaringan elastik kuning, jarang bertumbuh besar, tetapi
cacat. Sering pseudopterigium ini terjadi pada proses penyembuhan tukak kornea,
ditemukan dibagian apapun pada kornea dan biasanya berbentuk obliq. Sedangkan
beda pada celah kelopak atau fisura palpebral juga pada pseudopterigium ini dapat
22
Gambar 10. Pinguekula8
23
tua
Lokasi Pada konjungtiva nasal Dapat terjadi pada semua
stationer
Tes sondase Negative Positif
2.8 PENATALAKSANAAN
A. Mediakamentosa
Pterigium sering bersifat rekuren, terutama pada pasien yang masih muda.
Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes mata dekongestan.
Ini termasuk:
melindungi mata dari sinar UV berlebihan dengan kacamata yang tepat;
melindungi mata dalam keadaan kering, kondisi berdebu dengan kacamata
yang tepat;
menggunakan air mata buatan untuk mata kering.
Bila terdapat tanda radang berikan air mata buatan dan bila perlu dapat diberi
steroid.
24
Bila tedapat delen (lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep.
Bila diberi vasokonstriktor maka perlu control dalam 2 minggu dan bila telah
B. Tindakan operatif
astigmatisme
7. Alasan kosmetik.
Pasca operasi biasanya akan diberikan terapi lanjut seperti pengggunaan sinar
25
Simple closure : menyatukan langsung sisi konjungtiva yang terbuka,
diman teknik ini dilakukan bila luka pada konjuntiva relative kecil.
Sliding flap : dibuat insisi berbentuk huruf L disekitar luka bekas eksisi
pterigium, mengurangi fibrosis atau scar pada permukaan bola mata dan
fibroblast pterigium 12
26
Gambar 12 : Jenis-jenis operasi pterigium 3
a. Bare sclera
b. Simple closure
c. Sliding flap
d. Rotational flap
e. Conjungtival graft
27
Tindakan pembedahan untuk eksisi pterigium biasanya bisa dilakukan pada
pasien rawat jalan dengan menggunakan anestesi lokal, bila perlu diperlukan dengan
memakai sedasi. Perawatan pasca operasi, mata pasien biasanya merekat pada malam
hari, dan dirawat memakai obat tetes mata atau salep mata antibiotik atau
antinflamasi 2, 5
dieksisi dan bagian kecil dari konjungtiva, yang merupakan transparan kulit tipis
yang menutupi bagian putih mata, ditempatkan ke situs ini. Operasi dilakukan di
bawah anestesi lokal. Seharusnya tidak ada rasa sakit selama operasi, yang
berlangsung sekitar setengah jam. Setelah prosedur, resep diberikan salep mata atau
tetes mata dan tablet nyeri. Untuk sekitar 1-2 minggu setelah operasi, harus dihindari
pterygium dan telah dilaporkan angka kekambuhannya sangat rendah dengan teknik
1. Setelah pterigium dieksisi, ukuran dari bare sclera yang tinggal dikukur
2. Diambil dari konjungtiva dari bagian superior dari mata yang sama, diperkirakan
28
4. Bagian limbal dari autograft ditempatkan pada area limbal yang akan di graft
vieryl 8.0
2.9 KOMPLIKASI
o
Kemerahan
o
Iritasi
o
Luka kronik pada konjungtiva dan kornea
o
Keterlibatan yang luas pada otot extraocular dan memberi kontribusi
sering dari diplopia, pada pasien yang telah menjalani insisi bedah,
luka dan disinsersi dari otot rectus medial adalah penebab diplopia
postoperasi. Selain itu gaya tarik yang bekerja pada kornea bisa
2.10 PROGNOSIS
Prognosis visual dan kosmetik dari eksisi pterigium adalah baik. Prosedur
dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien, dan disamping rasa tak nyaman pada hari-
hari pertama post-operatif, pasien bisa melanjutkan aktivitas secara penuh dalam 48
29
jam. Pasien dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan
Pterigium dapat terjadi rekuren, dikatakan rekuren bila timbul kembali dalam
7 hari-6 bulan post op. Insidensinya 30-50%. Upaya yang dapat dilakukan untuk
sitostatika topical, menggunakan radiasi sinar β untuk tipe vaskuler, memilih metode
30
BAB III
KESIMPULAN
Pterigium merupakan salah satu dari sekian banyak kelainan pada mata dan
merupakan yang tersering nomor dua di indonesia setelah katarak, hal ini di
karenakan oleh letak geografis indonesia di sekitar garis khatulistiwa sehingga
banyak terpapar oleh sinar ultraviolet yang merupakan salah satu faktor penyebab
dari piterigium. Pterigium banyak diderita oleh laki-laki karena umumnya aktivitas
laki-laki lebih banyak di luar ruangan, serta dialami oleh pasien di atas 40 tahun
karena faktor degeneratif.
Terapi dari pterigium umumnya tidak perlu diobati, hanya perawatan secara
konservatif seperti memberikan anti inflamasi pada pterigium yang iritatif. Pada
pembedahan akan dilakukan jika piterigium tersebut sudah sangat mengganggu bagi
penderita semisal gangguan visual, dan pembedahan ini pun hasilnya juga kurang
maksimal karena angka kekambuhan yang cukup tinggi mengingat tingginya
kuantitas sinar UV di Indonesia. Walaupun begitu penyakit ini dapat dicegah dengan
menganjurkan untuk memakai kacamata pelindung sinar matahari.
31
DAFTAR PUSTAKA
2. Ilyas S. Ilmu Penyakit Mata. Edisi 3. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. 2007.
hal:2-6, 116 – 117. 2007
3. Suhardjo SU, Hartono. Ilmu Kesehatan Mata. Edisi 1. Jogjakarta : Bagian
Ilmu Penyakit Mata FK UGM. 2007
8. Miller SJH. Parson’s Disease of The Eye. 18th ed. London : Churchill
Livingstone ; 1996. p.142
32