Anda di halaman 1dari 49

JUDUL

Laporan Kasus

Chronic Kidney Disease Stage V + Hipoalbuminemia+Hipertensi

grade 1

Oleh :

Wahyu Sandika Putra

NIM. 1930912310037

Pembimbing

dr. Oldi Dedya Sp.PD

BAGIAN/SMF ILMU PENYAKIT DALAM


FAKULTAS KEDOKTERAN UNLAM/RSUD ULIN
BANJARMASIN
2021
Laporan Kasus

Chronic Kidney Disease Stage V + Hipoalbuminemia+Hipertensi

grade 1

Oleh
Wahyu sandika putra, S. Ked

Pembimbing

dr. Oldi Dedya, Sp.PD

Banjarmasin, Januari 2021


Telah setuju diajukan

.……………………….
dr. Oldi Dedya, Sp.PD

Telah selesai dipresentasikan

.………………………
dr. Oldi Dedya, Sp.PD

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................ i

HALAMAN PENGESAHAN ............................................................. ii

DAFTAR ISI ........................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN .................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... 3

BAB III LAPORAN KASUS .............................................................. 28

BAB IV PEMBAHASAN .................................................................... 39

BAB V PENUTUP ............................................................................... 42

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................... 43

iii
BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Gagal Ginjal adalah suatu penyakit dimana fungsi organ ginjal

mengalami penurunan hingga akhirnya tidak lagi mampu bekerja sama

sekalidalam hal penyaringan pembuangan elektrolit tubuh, menjaga

keseimbangancairan dan zat kimia tubuh seperti sodium dan kalium di

dalam darah atauproduksi urin.Penyakit gagal ginjal ini dapat menyerang

siapa saja yang menderitapenyakit serius atau terluka dimana hal itu

berdampak langsung pada ginjal itusendiri. Penyakit gagal ginjal lebih sering

dialami mereka yang berusia dewasa,terlebih pada kaum lanjut usia. Gangguan

ginjal dibagi menjadi dua bagian besar yakni gangguan ginjal akut (Acute Kidney

Injury =AKI) dan penyakit ginjal kronik (Chronic Kidney Disease = CKD). Pada

gangguan ginjal akut terjadi penurunan fungsi ginjal secara tiba-tiba dalam waktu

beberapa hari atau beberapa minggu dan ditandai dengan hasil

pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin darah) dan kadar urea nitrogen

dalam darah yang meningkat. Sedangkan pada penyakit ginjal kronis, penurunan

fungsi ginjal terjadi secara perlahan-lahan, sehingga biasanya diketahui setelah

jatuh dalam kondisi parah. Penyakit ginjal kronik tidak dapat disembuhkan.

Pada penderita penyakit ginjal kronik, kemungkinan terjadinya kematian sebesar

85 %.1

1
2

Berikut ini akan disajikan sebuah laporan kasus mengenai gagal ginjal

kronis dan bradikardia pada seorang pria berusia 63 tahun yang dirawat di ruang

penyakit dalam pria RSUD Ulin Banjarmasin.

1.1 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah pada laporan

kasus ini adalah bagaimana pendekatan klinis pada kasus penyakit ginjal kronik+

hipoalbuminemia+hipertensi grade 1?

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan dari penulisan laporan kasus ini adalah untuk mengetahu gambaran

klinis pada kasus penyakit ginjal kronik+ hipoalbuminemia+hipertensi grade

1agar dapat menjadi tambahan wawasan dalam penanganan penyakit tersebut.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Chronic Kidney Disease (CKD)

A. Definisi

Penyakit ginjal kronik dapat didefinisikan sebagai suatu abnormalitas

dari struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung selama lebih dari 3

bulan dengan adanya gangguan fisiologis pada tubuh.2

B. Kriteria

Tabel 2.1 Kriteria Penyakit ginjal Kronik (Kerusakan fungsi atau struktur

ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan)2

C. Epidemiologi
World Health Organization (WHO) telah mengumumkan bahwa

prevalensi diabetes mellitus (DM) akan meningkat di seluruh dunia pada dekade

ketiga, termasuk negara Asia Tenggara di antaranya Indonesia. Sekitar 40 % dari

pasien diabetes mellitus terdapat keterlibatan gangguan ginjal, sehingga dapat

3
4

dipahami bahwa penyakit ginjal diabetik (PGD) juga akan mengalami

peningkatan di era awal abad 21.3

Hasil Riskesdas 2018 menunjukan prevalensi penderita penyakit gagal

ginjal kronis di Kalimantan Selatan meningkat dan menempati urutan ke 28 dari

34 Provinsi di Indonesia. Prevalensi meningkat seiring dengan bertambahnya usia.

Terlihat pada pasien berusia 65 – 74 tahun, sekitar 8.230 pasien terdiagnosis gagal

ginjal akut. Rasio penderita laki-laki sebanyak 4.170 dan wanita 3.520 orang Pada

data Riskesdas tahun 2018, menunjukkan bahwa prevalensi gagal ginjal kronis

berdasarkan diagnosis dokter pada penduduk usia lebih dari 15 tahun di Indonesia

0,38 persen atau sekitar 739.208 jiwa.4

D. Faktor Risiko Dan Etiologi

Australian Institute of Health and Welpare (AIHW) pada tahun 2015 telah

melakukan sistematisasi faktor risiko kejadian penyakit gagal ginjal kronik yang

menjalani hemodialisa di Australia. Faktor Risiko dibagi menjadi 4 kelompok,

yaitu:5

1. Faktor lingkungan-sosial (satus sosial ekonomi, lingkungan fisik dan

ketersediaan lembaga pelayanan kesehatan.


2.
Faktor risiko biomedik.

3. Faktor risiko perilaku, seperti merokok, penggunaan tembakau, kurang gerak,

kurang gerak, dan jarang olahraga.

4. Faktor predisposisi, seperti umur, jenis kelamin, dan riwayat keluarga.


5

E. Klasifikasi

Klasifikasi PGK dibuat atas dasar CGA yaitu berdasarkan penyebab,

kategori LFG, dan kategori albuminuria. Perhitungan LFG dengan rumus

Cockroft-Gault untuk orang dewasa, yaitu :2,6

LFG (ml/mnt/1,73m2) =
( )
( )

Tabel 2.2 Kategori Laju Filtrasi Glomerulus


Derajat LFG ml/mnt/1,73 m2 Arti
G1 ≥ 90 Normal GFR dengan proteinuria
Penurunan LGF karena usia dengan
G2 60-89 proteinuria
G3a 45-59 Risiko rendah progresi ke gagal ginjal
G3b 30-44 Risiko rendah progresi ke gagal ginjal
G4 15-29 Risiko tinggi progresi ke gagal ginjal
G5 <15 Gagal ginjal

Tabel 2.3. Klasifikasi CKD berdasarkan tingkatan kadar albumin

Kategori AER (mg/24h) ACR ACR (mg/g) Keterangan


(mg/mmol)
A1 <30 <3 <30 Normal–
peningkatan ringan

A2 30-300 3-30 30-300 Peningkatan sedang

A3 >300 >30 >300 Peningkatan berat

F. Patofisiologi

Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit

yang mendasarinya. Pengurangan masa ginjal mengakibatkan hipertrofi struktural


6

dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya

kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth

factors. Hal ini menyebabkan hiperfiltrasi , yang diikuti oleh peningkatan tekanan

kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat ,

akhirnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih

tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang

progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan

aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron sentrarenal, ikut memberikan

kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis, dan progresifitas tersebut.

Aktivitas jangka panjang aksis renin-angiotensin-aldosteron, sebagian diperantarai

oleh growth factor seperti transforming growth factor b (TGF-b). Beberapa hal

yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas penyakit ginjal

kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikemi, dislipidemia. Terdapat

variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus

maupun tubulus interstisial.8


7

Gambar 2.1 Proses Adaptasi dan Maladaptasi ginjal

Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya

cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan dimana LFG masih normal atau

malah meningkat. Kemudian secara perlahan, akan terjadi penurunan fungsi

nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin

serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien belum merasakan keluhan

(asimptomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum.

Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti,

nokturi, badan lemah, mual, nafsu makan kurang dan penurunan berat badan.

Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia

yang nyata seperti, uremia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme

fosfor dan kalsium, pruritus, mual, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga

mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran nafas maupun

infeksi saluran cerna, juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo
8

dan hipervolemia, gangguan keseimbangan elektolit antara lain natrium dan

kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih

serius, dan pasien sudah membutuhkan terapi pengganti ginjal (renal replacement

therapy) antara lain dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien

dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.8

Salah satu komplikasi dari diabetes melitus adalah penyakit ginjal yang

juga dikenal dengan istilah nefropati diabetik. Nefropati diabetik adalah suatu

sindroma klinis pada pasien diabetes melitus yang ditandai dengan albuminuria

menetap (>300 mg/24 jam atau >200μg/menit) pada minimal dua kali

pemeriksaan dalam kurun waktu 3 sampai 6 bulan. Meskipun albuminuria adalah

tanda pertama dari diabetik nefropati namun gejala yang pertama kali dapat

diamati dari pasien adalah edema perifer. Hiperfiltrasi masih dianggap sebagai

awal dari mekanisme patogenik dalam laju kerusakan ginjal. Hiperfiltrasi yang

terjadi pada nefron yang tersisa kemudian akan menyebabkan sklerosis dari

nefron tersebut.8,9
9

Gambar 2.2 Hipertensi dan Gagal Ginjal

Mekanisme terjadinya hiperfiltrasi glomerulus pada diabetik nefropati

masih belum jelas, namun kemungkinan disebabkan oleh dilatasi arteriol aferen

oleh efek yang tergantung glukosa, yang diperantarai oleh hormon vasoaktif, IGF-

1, Nitric oxide, prostaglandin, dan glukagon. Efek langsung dari hiperglikemi

adalah rangsangan hipertrofi sel, sintesis matriks ekstraseluler, serta produksi

TGF-β yang diperantarai oleh aktivasi protein kinase-C (PCK). Hiperglikemi

kronik dapat menyebabkan terjadinya glikasi nonenzimatik asam amino dan

protein (reaksi Mallard dan Bowning) yang awalnya reversible namun bila terus

berlanjut akan terbentuk Advanced Glycation End-Products (AGEs) yang

irreversible. AGEs diperkirakan menjadi perantara untuk beberapa kegiatan


10

seluler seperti ekspresi adhesi molekul dalam penarikan sel-sel mononuclear,

hipertrofi sel, sintesa matriks ekstraseluler, serta inhibisi Nitric oxide yang akan

terus berlanjut hingga terjadi ekspansi mesangium dan pembentukan nodul serta

fibrosis tubulointerstitial.9

 Anemia

Gangguan pembentukan eritropoietin di ginjal menyebabkan penurunan

produksi eritropoietin sehingga tidak terjadi proses pembentukan eritrosit

menimbulkan anemia ditandai dengan penurunan jumlah eritrosit, penurunan

kadar Hb dan diikuti dengan penurunan kadar hematokrit darah. Selain itu GGK

dapat menyebabkan gangguan mukosa lambung (gastripati uremikum) yang

sering menyebabkan perdarahan saluran cerna. Adanya toksik uremik pada GGK

akan mempengaruhi masa paruh dari sel darah merah menjadipendek, pada

keadaan normal 120 hari menjadi 70 –80 hari dan toksik uremik ini dapat

mempunya efek inhibisi eritropoiesis.9

 Asidosis

Pada gagal ginjal kronik, asidosis metabolik dapat terjadi akibat

penurunankemampuan ginjal untuk mengeksresikan ion H+disertai dengan

penurunan kadar bikarbonat (HCO3) dan pH plasma. Patogenesis asidosis

metabolik padagagal ginjal kronik meliputi penurunan eksresi amonia karena

kehilangan sejumlah nefron, penurunan eksresi fosfat, kehilangan sejumlah

bikarbonat melalui urin. Derajat asidosis ditentukan oleh penurunan pH darah.

Apabilapenurunan pH darah kurang dari 7,35 dapat dikatakan asidosis metabolik.

Asidosis metabolik dpaat menyebabkan gejala saluran cerna seperti mual,muntah,


11

anoreksia dan lelah. Salah satu gejala khas akibat asidosis metabolik adalah

pernapasan kussmaul yang timbul karena kebutuhan untuk meningkatkan eksresi

karbon dioksida untuk mengurangi keparahan asidosis.9

 Hipertensi

Disebabkan karena ada kerusakan pada unit filtrasi ginjal sehingga

menyebabkan penurunan perfusi ginjal akhirnya menjadi iskemik ginjal. Hal

tersebut menyebabkan terjadinya pelepasan renin yang terdapat di aparatus

juxtaglomerulus sehingga mengubah angiotensinogen menjadi angitensin I. Lalu

oleh converting enzyme, angiotensin I diubah menjadi angiotensin II. Angiotensin

II memiliki efek vasokonstriksi kuat sehingga meningkatkan tekanan darah.9

 Hiperlipidemia

Penurunan GFR menyebabkan penurunan pemecahan asam lemak bebas

oleh ginjal sehingga menyebabkan hyperlipidemia.9

 Hiperurisemia

Terjadi gangguan eksresi ginjal sehingga asam urat terakumulasi di dalam

darah (hiperurikemia). Kadar asam urat yang tinggi akan menyebabkan

pengendapan kristal urat dalam sendi, sehingga sendi akan terlihat membengkak,

meradang dan nyeri.9

 Hiponatremia

Peningkatan eksresi natrium dapat disebabkan oleh pengeluaran hormon

peptida natriuretik yang dapat menghambat reabsorpsi natrium pada tubulus

ginjal. Bila fungsi ginjal terus memburuk disertai dengan penurunan

jumlahnefron, natriuresis akan meningkat. Hiponatremia yang disertai dengan


12

retensi air yang berlebihan akan menyebabkan dilusi natrium di cairan

ekstraseluler. Keadaan hiponetremia ditandai dengan gangguan saluran

pencernaan berupa kram, diare dan muntah.9

 Hiperfosfatemia

Penurunan fungsi ginjal mengakibatkan penurunan eksresi fosfat sehingga

fosfat banyak yang berada dalam sirkulasi darah. Jika kelarutannya terlampaui,

fosfat akan bergabung deng Ca2+ untuk membentuk kalsium fosfat yang sukar

larut. Kalsium fosfat yang terpresipitasi akan mengendap disendi dan kulit (

berturut-turut menyebabkan nyeri sendi dan pruritus).9

 Hipokalsemia

Disebabkan karena Ca2+ membentuk kompleks dengan fosfat. Keadaan

hipokalsemia merangsang pelepasan PTH dari kelenjar paratiroid sehingga

memobilisasi kalsium fosfat dari tulang. Akibatnya terjadi demineralisasi tulang

(osteomalasia). Biasanya PTH mampu membuat konsentrasi fosfat didalam

plasma tetap rendah dengan menghambat reabsorbsinya diginjal. Jadi meskipun

terjadi mobilisasi kalsium fosfat dari tulang, produksinya di plasma tidak

berlebihan dan konsentrasi Ca2+ dapat meningkat. Namun pada insufisiensi ginjal,

eksresinya melalui ginjal tidak dapat ditingkatkan sehingga konsentrasi fosfat di

plasma meningkat. Selanjutnya konsentrasi CaHPO4 terpresipitasi dan konsentrasi

Ca2+ di plasma tetap rendah. Oleh karena itu,rangsangan untuk pelepasan PTH

tetap berlangsung. Dalam keadaan perangsangan yang terus-menerus ini, kelenjar

paratiroid mengalami hipertrofi bahkan semakin melepaskan lebih banyak PTH.

Kelainan yang berkaitan dengan hipokalsemia adalah hiperfosfatemia,


13

osteodistrofi renal dan hiperparatiroidisme sekunder. Karena reseptor PTH selain

terdapat di ginjal dan tulang, juga terdapat di banyak organ lain ( sistem saraf,

lambung, seldarah dan gonad), diduga PTH berperan dalam terjadinya berbagai

kelainan di organ tersebut. Pembentukan kalsitriol berkurang pada gagal ginjal

juga berperan dalam menyebabkan gangguan metabolisme mineral. Biasanya

hormon ini merangsang absorpsi kalsium dan fosfat di usus. Namun karena terjadi

penurunan kalsitriol, maka menyebabkan menurunnya absorpsi fosfat di usus, hal

ini memperberat keadaan hipokalsemia.9

 Hiperkalemia

Pada keadaan asidosis metabolik dimana konsentrasi ion H+ plasma

meningkat, maka ion hidrogen tersebut akan berdifusi ke dalam sel– sel

ginjalsehingga mengakibatkan kebocoran ion K+ ke dalam plasma. Peningkatan

konsentrasi ion H+ dalam sel ginjal akan menyebabkan peningkatan sekresi

hidrogen, sedangkan sekresi kalium di ginjal akan berkurang sehingga

menyebabkan hiperkalemia. Gambaran klinis dari kelainan kalium ini berkaitan

dengan sistem saraf dan otot jantung, rangka dan polos sehingga dapat

menyebabkan kelemahan otot dan hilangnya refleks tendon dalam, gangguan

motilitas saluran cerna dan kelainan mental.9

 Proteinuria

Proteinuria merupakan penanda untuk mengetahui penyebab dari kerusakan

ginjal pada GGK seperti DM, glomerulonefritis dan hipertensi. Proteinuria

glomerular berkaitan dengan sejumlah penyakit ginjal yang melibatkan

glomerulus. Beberapa mekanisme menyebabkan kenaikan permeabilitas


14

glomerulus dan memicu terjadinya glomerulosklerosis. Sehingga molekul protein

berukuran besar seperti albumin dan immunoglobulin akan bebas melewati

membran filtrasi. Pada keadaan proteinuria berat akan terjadipengeluaran 3,5 g

protein atau lebih yang disebut dengan sindrom nefrotik.9

 Uremia

Kadar urea yang tinggi dalam darah disebut uremia. Penyebab dari uremia

pada GGK adalah akibat gangguan fungsi filtrasi pada ginjal sehingga dapatterjadi

akumulasi ureum dalam darah. Urea dalam urin dapat berdifusi kealiran darah dan

menyebabkan toksisitas yang mempengaruhi glomerulus dan mikrovaskularisasi

ginjal atau tubulus ginjal. Bila filtrasi glomerulus kurangdari 10% dari normal,

maka gejala klinis uremia mulai terlihat. Pasien akan menunjukkan gejala iritasi

traktus gastrointestinal, gangguan neurologis, nafas seperti amonia (fetor

uremikum), perikarditis uremia dan pneumonitis uremik. Gangguan pada serebral

adapat terjadi pada keadaan ureum yang sangat tinggidan menyebabkan koma

uremikum.9

G. Manifestasi klinis

Pada penyakit ginjal kronis, setiap sistem tubuh dipengaruhi oleh kondisi

uremia, maka pasien akan memperlihatkan sejumlah tanda dan gejala. Keparahan

tanda dan gejala bergantung pada bagian dan tingkat kerusakan ginjal, kondisi lain

yang mendasari, dan usia pasien.10

Manifestasi kardiovaskuler, pada penyakit ginjal kronis mencakup

hipertensi (akibat retensi cairan dan natrium dari aktivasi sistem renin-

angiotensin-aldosteron), gagal jantung kongestif, edema pulmoner (akibat cairan


15

berlebihan), dan perikarditis (akibat iritasi pada lapisan pericardial oleh toksin

uremik).10

Gejala dermatologi yang sering terjadi mencakup rasa gatal yang parah

(pruritis). Butiran uremik, suatu penumpukan kristal urea di kulit, saat ini jarang

terjadi akibat penanganan dini dan agresif terhadap penyakit ginjal tahap akhir.

Gejala gastrointestinal juga sering terjadi dan mencakup anoreksia, mual, muntah

dan cegukan. Perubahan neuromuskuler mencakup perubahan tingkat kesadaran,

ketidakmampuan berkonsentrasi, kedutan otot, dan kejang.11

Keluhan gejala klinis yang timbul pada CKD hampir mengenai seluruh

sistem, yaitu 11

Tabel 2.4 Manifestasi Klinis CKD

Sistem Organ Manifestasi Klinis


Lemah, malaise, gangguan pertumbuhan dan debilitas,
Umum
edema
Kulit Pucat, rapuh, gatal, bruising
Kepala dan leher Fetor uremia
Mata Fundus hipertensi, mata merah
Hipertensi, sindroma overload, payah jantung, pericarditis
Jantung dan vaskuler
uremik, tamponade
Respirasi Efusi pleura, nafas Kussmaul, pleuritis uremik
Anoreksia, mual, muntah, gastritis, ulkus, colitis uremik,
Gastrointestinal
perdarahan saluran cerna
Ginjal Nokturia, poliuria, haus, proteinuria, hematuria
Penurunan libido, impotensi, amenorrhea, infertilitas,
Reproduksi
genikomasti
Letargi, malaise, anoreksia, drowsiness, tremor,
Syaraf
mioklonus, asteriksis, kejang, penurunan kesadaran, koma
Tulang Kalsifikasi jaringan lunak
16

Sendi Gout, pseudogout, kalsifikasi


Anemia, kecenderungan berdarah karena penurunan
Darah fungsi trombosit, defisiensi imun akibat penurunan fungsi
imunologis dan fagositosis
Intoleransi glukosa, resistensi insulin, hiperlipidemia,
Endokrin
penurunan kadar testosteron dan estrogen
Farmasi Penurunan ekskresi lewat ginjal

H. Diagnosis

Pendekatan diagnosis Chronic Kidney Disease (CKD) atau Penyakit ginjal

kronis (PGK) mempunyai sasaran sebagai berikut :

a. memastikan adanya penurunan faal ginjal (LFG)

b. mengetahui etiologi PGK yang mungkin dapat dikoreksi

c. mengidentifikasi pemburuk faal ginjal (reversible factors)

d. menentukan strategi terapi rasional

e. menentukan prognosis

Pendekatan diagnosis mencapai sasaran yang diharapkan bila dilakukan

pemeriksaan yang terarah dan kronologis, mulai dari anamnesis, pemeriksaan

fisik diagnosis dan pemeriksaan penunjang rutin dan khusus.6

1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik

Anamnesis harus terarah dengan mengumpulkan semua keluhan yang

berhubungan dengan retensi atau akumulasi toksin azotemia, etiologi PGK,

perjalanan penyakit termasuk semua faktor yang dapat memperburuk faal ginjal

(LFG). Gambaran klinik (kelainan subyektif dan obyektif termasuk kelainan

laboratorium) mempunyai spektrum klinis luas dan melibatkan banyak organ dan

tergantung dari derajat penurunan faal ginjal.6


17

2. Pemeriksaan laboratorium

Tujuan pemeriksaan laboratorium yaitu memastikan dan menentukan

derajat penurunan faal ginjal, identifikasi etiologi, dan menentukan perjalanan

penyakit termasuk semua faktor pemburuk faal ginjal.

a. Pemeriksaan faal ginjal.

Pemeriksaan ureum, kreatinin serum, dan asam urat serum sudah cukup

memadai sebagai uji saring untuk faal ginjal.

b. Etiologi Penyakit ginjal kronik.

Analisis urine rutin, mikrobiologi urine, kimia darah, elektrolit dan

imunodiagnosis.

c. Pemeriksaan laboratorium untuk perjalanan penyakit.

Progresifitas penurunan faal ginjal, hemopoesis, elektrolit, endokrin, dan

pemeriksaan lain berdasarkan indikasi terutama faktor pemburuk faal ginjal.

c. Pemeriksaan penunjang diagnosis

Pemeriksaan penunjang diagnosis harus selektif sesuai dengan tujuannya,

yaitu foto polos abdomen, ultrasonografi (USG).6

I. Komplikasi

Pada PGK dapat terjadi beberapa komplikasi sebagai berikut:12,13,2


18

Tabel 2.5 Komplikasi CKD berdasarkan LFG

LFG
Derajat Penjelasan Komplikasi
(ml/men/1,73m2)
1 Kerusakan ginjal -
dengan LFG ≥ 90
normal
Kerusakan ginjal - TD mulai 
2 dengan penurunan 60-89
LFG ringan
- Hiperfosfatemia
Kerusakan ginjal - Hipokalsemia
3 dengan penurunan 30-59 - Anemia
LFG sedang - Hiperparatiroid
- Hiperosmosisteinemia
- Malnutrisi
Kerusakan ginjal
- Asidosis metabolik
4 dengan penurunan 15-29
- Cenderung hiperkalemia
LFG berat
- Dislipidemia
- Gagal jantung
5 Gagal ginjal < 15
- Uremia
19

J. Penatalaksanaan

Tujuan penatalaksanaan pada gagal ginjal kronik adalah untuk

mempertahankan fungsi ginjal dan homeostasis selama mungkin. Semua faktor

yang berperan dalam terjadinya gagal ginjal kronik dicari dan diatasi.14

Penatalaksanaan konservatif, meliputi:

 pengaturan diet, cairan dan garam

 memperbaiki ketidakseimbangan elektrolit dan asam basa

 mengendalikan hipertensi

 penanggulangan asidosis

 pengobatan neuropati

 deteksi dan mengatasi komplikasi

Penatalaksanaan terapi pengganti ginjal diantaranya dialisis (hemodialisis,

peritoneal dialisis) dan transplantasi ginjal.15

Tabel 2.6 Penatalaksaan Penyakit Gagal Ginjal Kronik Atas Dasar Penyakit16
LFG
Derajat ml/mnt/1,73 Arti Rencana
m2
Diagnosis, tatalaksana
Normal GFR dengan penyakit penyerta dan
1 ≥ 90
proteinuria komorbid, evaluasi risiko
penyakit kardiovaskular
Penurunan LGF karena usia
2 60-89 Estimasi Progresivitas
dengan proteinuria
Risiko rendah progresi ke Evaluasi dan tatalaksana
3a 45-59
gagal ginjal komplikasi
Risiko rendah progresi ke Evaluasi dan tatalaksana
3b 30-44
gagal ginjal komplikasi
20

Risiko tinggi progresi ke Persiapan dialisis atau


4 15-29
gagal ginjal transplantasi ginjal
Dialisis atau transplantasi
5 <15 Gagal ginjal
ginjal

Selain itu tujuan penatalaksanaannya adalah menjaga keseimbangan cairan

dan elektrolit serta mencegah komplikasi yaitu sebagai berikut: 16

1. Dialisis

Dialisis dapat dlakukan untuk mencegah komplikasi gagal ginjal yang

serius, seperti hiperkalemia, perikarditis, dan kejang. Dialisis memperbaiki

abnormalitas biokimia, menyebabkan cairan, protein, dan natrium dapat

dikonsumsi secara bebas, menghilangkan kecenderungan pendarahan, dan

membantu menyembuhkan luka.16

2. Koreksi hiperkalemi

Mengendalikan kalium darah sangat penting karena hiperkalemi dapat

menimbulkan kematian mendadak. Hal yang pertama harus diingat adalah jangan

menimbulkan hiperkalemia. Selain dengan pemeriksaan darah, hiperkalemia juga

dapat didiagnosis dengan EEG dan EKG. Bila terjadi hiperkalemia, maka

pengobatannya adalah dengan mengurangi intake kalium, pemberian Na

Bikarbonat, dan pemberian infus glukosa.16

3. Koreksi anemia

Pengendalian gagal ginjal pada keseluruhan akan dapat meninggikan Hb.

Transfusi darah hanya dapat diberikan bila ada indikasi yang kuat, misalnya

terdapat insufisiensi koroner.16

4. Koreksi asidosis.
21

Pemberian asam melalui makanan dan obat-obatan harus dihindari.

Natrium bikarbonat dapat diberikan peroral atau parenteral. Hemodialisis dan

dialisis peritoneal dapat juga mengatasi asidosis.16

5. Pengendalian hipertensi

Semua obat antihipertensi mampu menurunkan tekanan kapiler

intraglomerular bila tekanan darah turun mencapai tekanan optimal yang dapat

memberikan preservasi ginjal. Obat golongan penghambat sistem renin

angiotensin aldosteron (ACE-inhibitor, ARB) mempunyai nilai lebih dalam

mencegah progresi PGK karena mempunyai efek renoprotektor. Beberapa

penelitian memerlukan lebih dari 1 macam obat untuk mencapai tekanan darah

optimal.16

Tujuan terapi hipertensi pada PGK antara lain:

1. Mempertahankan atau preserve fungsi ginjal dengan cara mempertahankan

LFG dan mengurangi ekskresi protein.

2. Menurunkan tekanan darah secara agresif

3. Menurunkan morbiditas dan mortalitas kardiovaskuler pada PGK.

Terapi hipertensi pada PGK non diabetik dan PGK diabetik, level turunnya

tekanan darah sistolik dan level proteinuria dipakai sebagai diagnosis dan

prognosis progresifitas dan komplikasi CVD pada PGK.17

1. Hipertensi PGK non diabetik

a. Tekanan darah dianjurkan mencapai < 140/90 mmHg

b. Pemeriksaan urine dimana nilai rasio total protein/kreatinin > 200 mg/g dengan

atau tanpa hipertensi dianjurkan diterapi dengan ACE-I atau ARB


22

2. Hipertensi PGK dengan diabetes

a. Target tekanan darah < 140/90 mmHg

b. PGK diabetes stage 1-4: ARB atau ACE-I, bila diperlukan dikombinasi dengan

diuretika.

Tabel 2.7 Target tekanan darah dan terapi farmakologi/non-farmakologi

6. Transplantasi ginjal

Dengan pencangkokan ginjal yang sehat ke pasien PGK, maka seluruh faal

ginjal diganti oleh ginjal yang baru.16

2.2 Hipertensi

A. Definisi

Berdasarkan Indonesian Society of Hypertension (INASH) diagnosis

hipertensi ditegakkan bila TDS ≥140 mmHg dan/atau TDD ≥90 mmHg pada

pengukuran di klinik atau fasilitas layanan kesehatan.17


23

B.Klasifikasi

Tabel 2.8 klasifikasi tekanan darah.17

Berdasarkan dari penyebabnya hipertensi terbagi menjadi dua golongan18 :

a. Hipertensi primer atau esensial

Hipertensi yang belum diketahui penyebabnya (terdapat sekitar 90% - 95%

kasus). Penyebab hipertensi primer atau esensial adalah multifaktor, bisa terjadi

karena faktor genetik dan lingkungan, serta faktor keturunan yang bersifat

poligenik yang dilihat dari adanya riwayat penyakit kardiovaskuler dalam

keluarga. Selain itu juga ada faktor predisposisi genetik yang merupakan

sensitifitas terhadap natrium, kepekaan terhadap stress, peningkatan reaktivitas

vaskuler (terhadap vasokonstriksi) dan resistensi insulin.

b. Hipertensi sekunder atau renal

Hipertensi dosebabkan oleh masalah kesehatan atau penyakit lain, (terdapat

sekitar 5% - 10% kasus) seperti gangguan pada pembuluh darah, jantung, ginjal, atau

sistem endokrin dan juga bisa terjadi pada kehamilan, kelainan saraf pusat, obat-

obatan, dan lain-lain.


24

C. Epidemiologi

Diperkirakan pada tahun 2000, ada 972 juta (26%) orang dewasa di dunia

menderita hipertensi. Angka ini terus meningkat, diprediksikan oleh WHO pada

tahun 2025 sekitar 29% orang dewasa diseluruh dunia yang menderita hipertensi.

dan menurut WHO 2013 di dunia diperkirakan 7.5 juta kematian disebabkan

oleeh tekanan darah tinggi. Pada tahun 1980 jumlah orang dengan hipertensi

ditemukan sebanyak 600 juta dan mengalami peningkatan menjadi hampir 1

miliar pada tahun 2008 dan pada tahun 2007 menetapkan hipertensi pada

peringkat tiga sebagai faktor resiko penyebab kematian dunia. Hipertensi telah

menyebabkan 62% kasus stroke dan 49% serangan jantung setiap tahunnya.19,20

World Health Organization (WHO) memperkirakan, pada tahun 2020,

penyakit tidak menular menjadi penyebab 73% kematian dan 60% seluruh

kesakitan di dunia. Diperkirakan negara yang paling merasakan dampak tersebut

adalah negara berkembang termasuk Indonesia. Di indonesia sendiri, berdasarkan

riset kesehatan tahun 2018 diketahui bahwa prevelensi hipertensi di indonesia

mempunyai rata-rata 34,1% wilayah Kalimantan Selatan menjadi daerah tertinggi

yaitu sebesar 44.1%, sedangkan penderita hipertensi di Kalimantan Selatan sendiri

yang tertinggi itu di kota Banjarmasin sebesar 75.556 kasus pada tahun 2018 dan

untuk wilayah Puskesmas Kelayan Timur sendiri sebesar 4694 penderita pada

tahun 2018.21,22,23.

D. Faktor resiko

Untuk faktor risiko hipertensi sendiri itu dibedakan dalam dua kelompok,

yaitu kelompok yang dapat dimodifikasi dan yang tidak dapat dimodifikasi. Hal
25

yang tidak dapat dimodifikasi adalah usia, jenis kelamin, riwayat hipertensi dan

penyakit kardiovaskular dalam keluarga, adapun hal yang dapat dimodifikasi

antara lain riwayat pola makan dengan konsumsi asupan garam yang upnormal,

konsumsi alkohol berlebihan, aktivitas fisik kurang, kebiasaan merokok, obesitas,

dislipidemia, diabetes mellitus, psikososial, dan stress.,24,25.

E. Gejala klinis

Pada saat dilakukan Pemeriksaan fisik kepada pasien yang menderita

hipertensi tidak dijumpai kelainan apapun selain tekanan darah yang tinggi, tetapi

dapat ditemukan perubahan pada retina, seperti pendarahan, eksudat (kumpulan

cairan), penyempitan pembuluh darah, dan pada kasus berat terdapat edema pupil

dan ada kalanya secara tidak sengaja beberapa gejala terjadi bersamaan dan

dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi, gejala yang dimaksud adalah

sakit kepala, perdarahan dari hidung (mimisan), migren atau sakit kepala sebelah,

wajah kemerahan, mata berkunang-kunang, sakit tengkuk dan kelelahan.26

F. Patofisiologi Hipertensi

Tekanan darah di arteri merupakan produk total resistensi perifer dan

curah jantung. Curah jantung meningkat karena sjuatu keadaan yang

meningkatkan frekuensi jantung dan volume sekuncup atau keduanya. Resistensi

perifer juga meningkat karena adanya faktor yang meningkatkan viskositas darah

atau yang menurunkan ukuran dinding pembuluh darah, khususnya pembuluh

arteriol.27 Diketahui bahwa hipertensi itu dikatakan suatu penyakit yang

multifaktorial yang bisa disebabkan berbagai banyak hal. Faktor-faktor yang

mendorong terjadinya hipertensi adalah :


26

a. Faktor risiko seperti: asupan garam yang upnormal, stres, ras, obesitas,

merokok, genetis.

b. Sistem saraf simpatis : Tonus simpatis dan variasi diurnal

c. Pengaruh sistem endokrin setempat yang berperan pada sistem renin,

angiotensin, dan aldosteron.27

Tekanan darah yang meningkat dalam waktu yang cukup lama akan

meningkatkan beban kerja jantung karena terjadi peningkatan resistensi terhadap

ventrikel kiri, untuk meningkatkan kekuatan kontraksinya, ventrikel kiri

mengalami hipertropi sehingga kebutuhan jantung akan oksigen dan beban

jantung meningkat. Dilatasi dan kegagalan jantung dapat terjadi ketika keadaan

hipertrofi tidak lagi mampu mempertahankan curah jantung yang memadai.

Hipertensi juga menyebabkan kerusakan pembuluh darah yang semakin

mempercepat proses aterosklerosis serta kerusakan organ, seperti cedera retina,

gagal ginjal, stroke, dan aneurisma serta diseksi aorta.27

G. Komplikasi

Komplikasi dari hipertensi sendiri dapat menjadi penyakit yang serius serta

kegawat daruratan yang dapat menyerang organ tubuh lain, yaitu26:

a. Jantung

Menyebabkan penyakit gagal jantung, angina, dan serangan jantung.

Penyakit hipertensi menyebabkan gangguan pada jantung sehingga tidak dapat

memompa darah ke seluruh tubuh secara efisien dan kurangnya pasokan oksigen

ke dalam pembuluh darah jantung.

b. Ginjal
27

Menyebabkan gagal ginjal yang mana disebabkan kemampuan ginjal yang

berkurang dalam membuang zat sisa dan kelebihan air. Jika bertambah buruk

maka akan menyebabkan gagal ginjal kronik.

c. Otak

Menyebabkan penyakit stroke iskemik dan stroke hemoragik. Pada stroke

iskemik terjadi karena aliran darah yang membawa oksigen dan nutrisi ke otak

terganggu. Stroke hemoragik terjadi karena pecahnya pembuluh darah di otak

yang diakibatkan oleh tekanan darah tinggi yang persisten.

d. Mata

Menyebabkan penyakit kerusakan retina (vascular retina), yang terjadi

karena adanya penyempitan atau penyumbatan pembuluh arteri di mata.


BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama : Tn. M

Umur : 63 tahun

Agama : Islam

Suku : Banjar

Pendidikan : SMA

Pekerjaan : Sudah tidak bekerja

Alamat : Jl Karangrejo, Banjarbaru

MRS : 16 Desember 2020 Pukul 17.08 WITA

RMK : 1-39-74-60

B. Anamnesis

Anamnesis dilakukan pada tanggal 17 Desember 2020.

Keluhan Utama : Seperti mau pingsan

Riwayat Penyakit Sekarang :

Pasien sebelumnya merupakan pindahan ruang Mawar dengan hasil swab

diagnostik 2x negatif. Pasien mengeluhkan rasa mau pingsan pada 2 hari yang lalu

(Senin, 14 Desember 2020). Pasien juga mengeluhkan lemas dan dada seperti

terasa berat. Saat di IGD dikatakan tekanan darah pasien hanya 80.

Pasien merupakan penderita CKD dan rutin HD sejak 2 tahun Sebelum

Masuk Rumah Sakit (SMRS) dengan jadwal tiap selasa-Jum’at. Akses HD-AV

23
24

shunt. Pasien tidak pernah terlewat HD dan biasa ditarik 1000 cc. Saat ini pasien

masih ada BAK 3-4x sehari dan minum 5-6 gelas sehari. Saat ini keluhan telah

membaik dan pasien HD terakhir sebelum MRS ruang Mawar.

Pasien mempunyai Hipertensi sejak lebih dari 10 tahun dan tidak teratur

minum obat, pasien mulai mengkonsumsi obat antihipertensi sejak 2 tahun SMRS

namun lupa nama obatnya. Pada 10 tahun yang lalu tekanan darah pasien sekitar

140/90 mmHg.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Ibu dan ayah pasien memiliki hipertensi.

Riwayat Pribadi :

- Riwayat alergi : Pasien tidak memiliki riwayat alergi

makanan, lingkungan, maupun obat-obatan

- Riwayat imunisasi : Tidak pernah mendapat imunisasi

- Hobi : Tidak ada yang khusus

- Olahraga : Tidak pernah khusus berolahraga, aktifitas

sebagian besar di rumah

- Pekerjaan : Sudah tidak bekerja

- Kebiasaan makan : Pasien makan 3 kali sehari,tidak ada diet

khusus, pasien sudah mulai mengurangi

minum hanya 5-6 gelas sehari.

- Merokok : Pasien merupakan perokok aktif 1 bungkus

rokok/hari 2 tahun yang lalu


25

- Minum alkohol : Pasien tidak memiliki riwayat minum-

minuman beralkohol

Riwayat Transfusi Darah : Tidak pernah

Riwayat Pengobatan : Pasien tidak pernah mengkonsumsi obat-

obatan rutin ataupun dirawat inap di rumah sakit.

C. Pemeriksaan Fisik

1. Status Generalis

Keadaan Umum : Tampak sakit sedang

Kesadaran : Compos mentis, GCS = E4 V5 M6

Antropometri : BB = 58 kg, TB = 160 cm

Status Gizi : IMT = 22.6 kg/m2, Normal

2. Tanda Vital

Tekanan Darah : 120/80 mmHg

Denyut Nadi : 68 kali/menit, kuat angkat, reguler

Frekuensi Nafas : 20 kali/menit, reguler

Temperatur Aksila : 36,5oC

Sp02 : 98% on room air

3. Kulit

Inspeksi : Tugor kulit baik, ptekie (-), hematom (-), plak, rambut

terdistribusi merata, tidak mudah rontok, ikterik (-/-)

Palpasi : Nodul (-), atrofi (-), sclerosis (-)

4. Kepala dan Leher


26

Inspeksi : Bentuk mesosefali, sikatrik (-), pembengkakan leher (-)

Palpasi : Pembesaran KGB (-), Pembesaran tiroid (-), nyeri tekan

pada tiroid dan KGB (-), JVP 5+2 mmHg

Auskultasi : Bruit (-)

5. Telinga

Inspeksi : Serumen (+/+) minimal, infeksi (-/-)

Palpasi : Nyeri mastoid (-/-), massa (-)

6. Hidung

Inspeksi : Mukosa hidung kemerahan (-/-), perdarahan (-/-).

Palpasi : Nyeri (-).

7. Rongga Mulut dan Tenggorokan

Inspeksi : Tidak terdapat hiperemis, leukoplakia maupun kelainan lain

pada rongga mulut, gigi lengkap.

Palpasi : Nyeri (-), massa (-)

8. Mata

Inspeksi : Sklera ikterik (-/-), konjungtiva pucat (-/-), refleks cahaya

langsung dan tidak langsung (+/+)

9. Toraks

Inspeksi : Bentuk dada normal, gerakan dinding dada simetris,

pernapasan irama reguler, tumor (-).

Palpasi : Fremitus fokal simetris pada kedua lapang paru dan tidak

ada peningkatan atau penurunan.

Perkusi : Sonor
27

Auskultasi : Suara nafas vesikular, ronki (-/-), wheezing (-/-)

10. Jantung

Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat.

Palpasi : Iktus kordis teraba di ICS V linea midclavicular sinistra.

Perkusi : Batas kiri bawah: ICS V linea midclavicular sinistra

Batas kanan bawah: ICS V linea parasternalis dextra.

Auskultasi : S1, S2 tunggal, murmur (-), gallop (-).

11. Abdomen

Inspeksi : distensi (-), venektasi (-)

Auskultasi : peristaltik usus (+), bruit (-)

Palpasi : Nyeri tekan (-), hepar/lien/massa tidak teraba

Perkusi : Timpani (T), Pekak (P)

T T T

T T T

T T T

12. Punggung

Inspeksi : Skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)

Palpasi : Nyeri (-), gibus (-), tumor (-)

13. Ekstremitas

Inspeksi : Gerak sendi normal, deformitas (-)

Palpasi : Teraba hangat (-), nyeri tekan (-) edema tungkai (-/-) AV-

shunt (+) tangan kiri

14. Neurologi
28

Hasil : Tremor (-/-)

15. Bicara

Hasil : disartria (-), afasia (-), apraxia (-)

D. Pemeriksaan Penunjang

Hasil pemeriksaan laboratorium dari tanggal 15 Desember 2020:

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan


HEMATOLOGI
Hemoglobin 11,5 14.00 – 18.00 g/Dl
Leukosit 13,7 4.50 – 11.0 ribu/uL
Eritrosit 4,60 4,00 – 5.50 juta/uL
Hematokrit 35,8 40-48 vol%
Trombosit 306 140 – 400 ribu/uL
RDW-CV 14,7 11,5 – 14,5 %
MCV, MCH, MCHC
MCV 77,8 80-97 Fl
MCH 25,0 27,0 – 31,0 Pg
MCHC 32,1 31,8 – 35,4 %
HITUNG JENIS
Neu% 73,9 42.9-85.0 %
Lim% 14,8 11.0-49.0 %
Monosit% 11,3 0.0-9.0 %
KIMIA
GINJAL
Ureum 167 0-50 mg/dL
Kreatinin 10,03 0.72-1.25 mg/dL
DIABETES
Gula Darah Sewaktu 183 <200 Mg/dl
FAAL LEMAK DAN JANTUNG
CKMB 25 0-25 U/l
HATI DAN PANKREAS
Albumin 2,8 3,5-5,2 g/dl
SGOT 33 5-34 U/l
SGPT 32 0-55 U/l
ELEKTROLIT
Natrium 133 136-145 Meq/L
Kalium 5,9 3.5-5.1 Meq/L
Chlorida 105 98-107 Meq/L
Calsium 8,1 8,4-10,0 mg/dl
29

IMUNO-SEROLOGI
Anti HIV Rapid Non Reaktif Non Reaktif Ul/ml
HbsAg Non Reaktif Non Reaktif -
Anti HCV Non Reaktif <1,00 s/co

Hasil Laboratorium Tanggal 16 Desember 2020

GINJAL
Ureum 128 0-50 mg/dL
Kreatinin 7,92 0.72-1.25 mg/dL
ELEKTROLIT
Natrium 133 136-145 Meq/L
Kalium 5,0 3.5-5.1 Meq/L
Chlorida 107 98-107 Meq/L

Hasil Echocardiografi 18 Desember 2020


30

Komentar:
- LV dilatasi
- Global hipokinetik
- MR mild, PH mild, TR moderate
- Tak tampak thrombus/vegetasi interkardiak
- IVS dan IAS intak
- Fungsi sistolik LV menurun (EF: 44%)
- Fungsi RB sistolik baik, TAPSE 17 mm
- Gangguan Restriktif filling E/A 3,26
Hasil Elektrokardiogram

Pada EKG:

- Frekuensi = 60x/menit
- Irama = sinus rhythm
- Axis frontal = normoaxis
- Gel p = durasi 0.12s P pulmonal (-), P mitral (-)
- Interval PR = durasi 0,16s
- Morfologi QRS = Q patologis (-). LVH (-),RVH (-)
- Gel QRS = 0,08 detik, RBBB (-), LBBB (-)
- Segmen ST = isoelektris
31

- Gel T = Ttall(-), Tinversi(-)


- Kesan : Sinus rhythm,60 x/menit,normoaksis.

E. Resume Medik

Pasien mengeluhkan rasa mau pingsan pada 2 hari yang lalu (Senin, 14

Desember 2020). Pasien juga mengeluhkan lemas dan dada seperti terasa berat.

Saat di IGD dikatakan tekanan darah pasien hanya 80. Pasien merupakan

penderita CKD dan rutin HD sejak 2 tahun Sebelum Masuk Rumah Sakit (SMRS)

dengan jadwal tiap selasa-Jum’at. Akses HD-AV shutn. Pasien tidak pernah

terlewat HD dan biasa ditarik 1000 cc. Saat ini pasien masih ada BAK 3-4x sehari

dan minum 5-6 gelas sehari. Saat ini keluhan telah membaik dan pasien HD

terakhir sebelum MRS ruang Mawar. Pada pemeriksaan fisik di ruangan tekanan

darah mengalami peningkatan 120/80 dalam drip dobutamine, terdapat AV-shunt

pada tangan kiri pasien.

Pemeriksaan penunjang didapatkan ureum 167 U/l dengan kreatinin 10,03

U/l. Albumin 2.8 g/dl.

F. Diagnosis

Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, maka

dapat ditegakkan diagnosis penyakit pasien ini adalah CKD stage V on HD +

hypoalbuminemia + Hipertensi grade 1

G. Daftar Masalah

No. Masalah Data Pendukung

1. CKD stage V on HD rutin Anamnesis


Pasien merupakan penderita CKD dan rutin HD sejak
32

2 tahun Sebelum Masuk Rumah Sakit (SMRS)


dengan jadwal tiap selasa-Jum’at. Akses HD-AV
shunt. Pasien tidak pernah terlewat HD dan biasa
ditarik 1000 cc. Saat ini pasien masih ada BAK 3-4x
sehari dan minum 5-6 gelas sehari.

Pemeriksaan fisik
Ekstremitas: terdapat AV-shunt pada ekstremitas
superior sinistra

Pemeriksaan penunjang :
Laboratorium:
Ur: 167 U/l
Cr: 10,03 U/l
GFR: 5 ml/min/1,73m
2. Hipoalbuminemia Pemeriksaan penunjang :
Albumin : 2,8 g/dl
3. Hipertensi Grade 1 Anamnesis
Pasien mempunyai Hipertensi sejak lebih dari 10

tahun dan tidak teratur minum obat, pasien mulai

mengkonsumsi obat antihipertensi sejak 2 tahun

SMRS namun lupa nama obatnya. Pada 10 tahun

yang lalu tekanan darah pasien sekitar 140/90 mmHg.

H. Rencana Awal

Rencana
No. Problem List Rencana Terapi Rencana Monitoring Rencana Edukasi
Diagnosis

1. CKD stage V on - Diet renal 1800 Cek ur/cr post - Diet rendah
HD rutin kkal/hari HD garam
- Rendah garam <2 - Batasi minum
mg/hari sesuai anjuran
33

- Lanjutkan HD - Rutin untuk


sesuai jadwal melakukan HD
2. Hipoalbuminemia - Diet protein 1-1,2 - Evaluasi albumin - Diet cukup
gr/kg bb/hari - Urinalisa protein
- USG Abdomen
3. Hipertensi Grade 1 - - Cek Tekanan - Teratur minum
Darah/hari obat
- Diet rendah garam
BAB IV

PEMBAHASAN

Pada laporan kasus ini dilaporkan seorang laki-laki Tn. M usia 63 tahun

dengan diagnosis CKD stage V on HD + hypoalbuminemia + Hipertensi grade 1.

Pasien dikatakan CKD berdasarkan KDIGO (2012) jika terdapat kelainan

struktural maupun fungsional pada ginjal lebih dari 3 bulan. pada pasien ini

mengatakan sudah rutin menjalankan Hemodialisa sejak 2 tahun yang lalu,

kemungkinan pasien ini sudah mengalami gangguan fungsi ginjal berat yang

menyebabkan pasien rutin HD dan lebih dari 3 bulan. Berdasarkan kriteria dari

KDIGO pasien termasuk penderita CKD. Tetapi pemeriksa lupa menanyakan

kepada pasien apa penyebab pasti pasien dilakukan HD. Dari KDIGO kriteria

CKD:2

Hal ini dapat dijadikan masukan bagi pemeriksa selanjutnya dengan kasus yang

sama yaitu CKD, agar lebih menggali lagi dari kriteria tersebut. Pada pasien ini

keluhan yang dirasakan sampai membuat pasien masuk ke IGD adalah pasien

39
40

berasa mau pingsan. Penyebab dari pingsan atau singkop ada banyak yaitu :

vasovagal, adanyanya masalah pada jantung baik struktural atau

fungsional,hipotensi ortostatik, dan masalah pada sistem saraf. Pada pasien ini

tekanan darah sistolik saat datang di IGD adalah 80 mmHg, dari data tersebut dan

pasien yang telah menderita CKD, kemungkinan terbesarnya adalah karena

adanya masalah pada jantung. Pada pemeriksaan penunjang Echocardiografi

diperoleh LV dilatasi dan Global Hipokinetik, yang menggambarkan bahwa

adanya gangguan pada jantung ( ruang ventrikel kiri membesar dan kontraktilitas

jantung menurun). Ketika kontraktilitas jantung menurun akan menyebabkan

suplai darah ke seluruh tubuh menurun, selanjutnya menyebabkan suplai oksigen

berkurang. Ketika suplai oksigen ke otak berkurang dapat menyebabkan sinkop.28

Pada pasien ini didapatkan Albumin sebesar 2,8 g/dl dapat disebut sebagai

hipoalbumin. Penyebab dari kekurangan albumin tersebut bisa karena produksi

yang kurang pada hati, penggunaan yang berlebih pada jaringan dan peningkatan

ekskresi pada ginjal. Pada pasien ini di dapatkan fungsi hati dalam batas batas

normal, yang mengindikasikan penyebab hipoalbuminya bukan berasal dari

produksi di hati. penyebab tersering selanjutnya adalh banyaknya albumin yang

keluar dari ginjal, hal ini sesuai dengan kondisi pasien yang telah mengalami

gangguan pada ginjal, khususnya CKD sejak 2 tahun yang lalu dengan GFR 5

ml/min/1.73m. sebaiknya pada pasien ini dilakukan pemeriksaan lebih lanjut

seperti urinalisa dan USG abdomen (Hepar).29

Pada pasien ini mengaku menderita hipertensi sejak 10 tahun yang lalu dan

tdak teratur minum obat. Pada saat itu tekanan darah pasien 140/90 mmHg.
41

Berdasarkan konsensus hipertensi dari INASH (2019) dikatakan hipertensi jika

tekanan darah sistolik ≥ 140 mmHg dan/atau tekanan darah diastolik ≥90 mmHg

pada pengukuran di klinik atau fasilitas layanan kesehatan. Berdasarkan

konsensus tersebut hipertensi di bagi menjadi :

Pada pasien hipertensi grade 1 dengan penyakit ginjal disarankan langsung

memulai obat antihipertensi dengan kombinasi tiga jenis obat yaitu : ACEi atau

ARB+ diuretik + beta bloker. Pada pasien CKD jika GFR <30ml/menit/1,72m2

sebaiknya gunakan loop diuretic, karena thiazide/thiazide-like diuretic

efektivitasnya lebih rendah/tidak efektif pada GFR yang serendah ini. Tetapi pada

pasien ini didapatkan kalium 5,9 Meq/l, sebaiknya penggunaan ACEi atau ARB

diganti dengan obat antihipertensi golongan yang lain salah satunya golongan

CCB (dihidropiridin). Dalam kasus ini pasien harus diberikan edukasi tentang

pentingngya minum obat antihipertensi yang teratur serta cek tekanan darah

secara berkala bisa dilakukan dirumah maupun di fasilitas kesehatan tingkat

pertama.17
BAB V

PENUTUP

Pada laporan kasus ini telah dilaporkan seorang laki-laki berusia 63 tahun

dengan diagnosis CKD stage V on HD + hypoalbuminemia + hipertensi grade 1

Diagnosis ditegakkan berdasarkan hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan

pemeriksaan penunjang. Tatalaksana pada pasien ini diet renal 1800 kkal/hari, diet

rendah garam, diet protein 1-1,2 gr/kg bb/hari 2x5 gr, lanjutkan HD rutin. Saran

pasien diberikan obat antihipertensi sebagai berikut : propanolol tab 40 mg 2x1,

furosemide tab 40 mg 1x1, amlodipine 5 mg 1x1.

42
DAFTAR PUSTAKA

1. Agnez ZF. Chronic Kidney Disease stage V. J Agromed Unila, Lampung:


2014

2. KDIGO. Clinical practice guideline for the evaluation and management of


chronic kidney disease. 2012. (diunduh April 2020). Tersedia dari:
https://kdigo.org/wp-content/uploads/2017/02/KDIGO_2012_CKD_GL.pdf

3. Alicic RZ, Rooney MT, Tuttle KR. Diabetic Kidney Disease: Challenges,
Progress, and Possibilities. Clin J Am Soc Nephrol. 2017;12(12):2032-2045.

4. Kementrian Kesehatatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar 2018.


Kemenkes RI. 2019.

5. Australian Institute of Health and Welfare. Australian burden of disease


study: Fatal burden of disease in Aboriginal and Torres Strait Islander peo-
ple 2010. Australian Burden of Disease Study series 2. Cat no BOD 2.
Canberra: AIHW, 2015.

6. Suwitra K. Penyakit ginjal kronik. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,


Simadibrata M, Setiyohadi B, Syam AF (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam
jilid 1. Edisi ke-6. Jakarta: Interna Publishing; 2014.

7. Eckardt KU, Coresh J, Devuyst O, et al. Evolving importance of kidney


disease: from subspecialty to global health burden. Lancet. 2013;382(9887):
158–169.

8. NICE Clinical Guidelines 182. Chronic Kidney Disease: Early Identification


and Management of Chronic Kidney Disease in Adults in Primary and
Secondary Care. London: National Institute of Health and Care Excellence;
2014.

9. Tortora GJ. Principles of anatomy and physiology. Edisi ke-12. Hoboken,.


NJ: John Wiley & Sons; 2010.Kidney Disease

10. Coresh, J. et al., Prevalence of Chronic Kidney Disease in the United States.
JAMA 2007;298(17):2038-2047

11. Chronic Kidney Disease Prognosis Consortium; Matsushita K, van der Velde
M, et al. Association of estimated glomerular filtration rate and albuminuria
with all-cause and cardiovascular mortality in general population cohorts: a
collaborative meta-analysis. Lancet. 2010;375(9731):2073–2081.
12. Thomas, R., A. Kanso and J.R. Sedor. Chronic Kidney Disease and Its
Complication. Prim Care. 2008; 35(2): 329-vii

13. Ketut. S. Penyakit Ginjal Kronik, Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Pusat Penerbitan IPD FKUI, Jakarta. 2009. Hal 1035-1040

14. Nitsch D, Grams M, Sang Y, et al; Chronic Kidney Disease Prognosis


Consortium. Associations of estimated glomerular filtration rate and
albuminuria with mortality and renal failure by sex: a meta-analysis. BMJ.
2013;346:f324.

15. Couser WG, Remuzzi G, Mendis S, Tonelli M. The contribution of chronic


kidney disease to the global burden of major noncommunicable diseases.
Kidney Int. 2011;80(12):1258–1270.

16. Prodjosudjadi W, Suhardjono A. End-Stage Renal Disease in Indonesia:


Treatment Development. Ethn Dis.2009;19(1):S1-33- S1-36

17. Lukito AA, Harmeiwati E, Hustrini NM. Konsensus Penatalaksanaan


Hipertensi 2019. Jakarta: Indonesian Society Of Hypertension; 2019

18. KemenkesRI.Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Di Fasilitas Pelayanan Kes


ehatan Primer. Edisi 1.Jakarta: Kemenkes RI; 2013. 236-243

19. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman teknis penemuan


dan tatalaksana penyakit hipertensi. Jakarta: Direktorat Pemberantasan
Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia; 2006.

20. Corwin, E J. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC; 2009

21. Dinas Kesehatan. Profil Kesehatan Kota Banjarmasin. Banjarmasin: Dinas


Kesehatan Banjarmasin : 2019

22. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar.


Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2013

23. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan. Riset Kesehatan Dasar.


Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2018

24. JNC 7, The Seventh Joint National Committee on Prevention Detection


Evaluation and Treatment of High Blood Pressure.

25. JNC 8, The Seventh Joint National Committee on Prevention Detection


Evaluation and Treatment of High Blood Pressure.
26. Palmer, Anna & Williams, Bryan. Simple Guide Tekanan Darah Tinggi.
Jakarta: Erlangga; 2007

27. Kowalak. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta: EGC; 2011

28. Rose M.P.L, da Silva. “ Syncope:epidemiology,etiology and


prognosis”Frontier in physicology,vol 5.Desember 2014,P 1-2. 31 januari
2021.

29. Bolugnesi,Massimo.(2012).Hypoalbuminemia : intern emergency med. S193-


S199.

Anda mungkin juga menyukai

  • Lapsus GBS
    Lapsus GBS
    Dokumen54 halaman
    Lapsus GBS
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Daftar Isi
    Daftar Isi
    Dokumen6 halaman
    Daftar Isi
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • LEMBAR PENILAIAN Kasus 2016
    LEMBAR PENILAIAN Kasus 2016
    Dokumen6 halaman
    LEMBAR PENILAIAN Kasus 2016
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Referat Mata Tass
    Referat Mata Tass
    Dokumen19 halaman
    Referat Mata Tass
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Cover
    Cover
    Dokumen1 halaman
    Cover
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Definisi
    Definisi
    Dokumen2 halaman
    Definisi
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Toaz - Info Referat Ablasio Retina PR
    Toaz - Info Referat Ablasio Retina PR
    Dokumen17 halaman
    Toaz - Info Referat Ablasio Retina PR
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Bab 3
    Bab 3
    Dokumen11 halaman
    Bab 3
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • MR Hemonk 1
    MR Hemonk 1
    Dokumen11 halaman
    MR Hemonk 1
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • MR Hemonk 2
    MR Hemonk 2
    Dokumen10 halaman
    MR Hemonk 2
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Bab 2
    Bab 2
    Dokumen8 halaman
    Bab 2
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Bab 1
    Bab 1
    Dokumen5 halaman
    Bab 1
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Firman
    Firman
    Dokumen18 halaman
    Firman
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Diskusi Kasus Hemonk
    Diskusi Kasus Hemonk
    Dokumen16 halaman
    Diskusi Kasus Hemonk
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Werthtfgrgrghtty
    Werthtfgrgrghtty
    Dokumen7 halaman
    Werthtfgrgrghtty
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Referat Herpes Zooster Diani
    Referat Herpes Zooster Diani
    Dokumen19 halaman
    Referat Herpes Zooster Diani
    Diani Wulan Asmuandi
    100% (5)
  • MR Hemonk 2
    MR Hemonk 2
    Dokumen10 halaman
    MR Hemonk 2
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Wahyu'
    Wahyu'
    Dokumen19 halaman
    Wahyu'
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • MR Hemonk 1
    MR Hemonk 1
    Dokumen11 halaman
    MR Hemonk 1
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Varicella Dan Variola: Tugas Ujian
    Varicella Dan Variola: Tugas Ujian
    Dokumen21 halaman
    Varicella Dan Variola: Tugas Ujian
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Bab Ii
    Bab Ii
    Dokumen24 halaman
    Bab Ii
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • SDSCSCSC
    SDSCSCSC
    Dokumen6 halaman
    SDSCSCSC
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen4 halaman
    Bab Iv
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen11 halaman
    Bab Iii
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Bab Iv
    Bab Iv
    Dokumen4 halaman
    Bab Iv
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Bab I
    Bab I
    Dokumen6 halaman
    Bab I
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Bab Iii
    Bab Iii
    Dokumen11 halaman
    Bab Iii
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Tinea Corporis Dengan Dr. Robi
    Lapsus Tinea Corporis Dengan Dr. Robi
    Dokumen13 halaman
    Lapsus Tinea Corporis Dengan Dr. Robi
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat
  • Lapsus Tinea Corporis Dengan Dr. Robi
    Lapsus Tinea Corporis Dengan Dr. Robi
    Dokumen13 halaman
    Lapsus Tinea Corporis Dengan Dr. Robi
    Wahyu Sandika
    Belum ada peringkat