Anda di halaman 1dari 12

BENIGNA PROSTAT HIPERPLASIA

A. Pengertian Benigna Prostat Hyperplasi


Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar
prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen
prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan
penyumbatan uretra pars prostatika (Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr.
Sutomo,).
BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat (secara umum
pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi
uretral dan pembatasan aliran urinarius (Marilynn, E.D, 2000 : 67).
BPH atau disebut tumor prostat jinak adalah pertumbuhan yang berlebihan dari
sel-sel prostat yang tidak ganas. Pembesaran prostat jinak akibat sel-sel prostat
memperbanyak diri melebihi kondisi normal, biasanya dialami laki-laki berusia di
atas 50 tahun.

B. Etiologi BPH
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum
diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon
androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses
penuaan Ada beberapa factor kemungkinan penyebab antara lain :
1) Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan
epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2) Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon
estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi
stroma.
3) Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth
factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan
hiperplasi stroma dan epitel.
4) Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup
stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5) Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit
( Roger Kirby,).

C. Patofisiologi BPH
BPH terjadi pada umur yang semakin tua (>50 tahun) dimana fungsi testis
sudah menurun, akibat penurunan fungsi testis ini dapat menyebabkan
ketidakseimbangan hormon testosteron dan dehidrotestosteron sehingga memacu
pertumbuhan atau pembesaran prostat. Maskrokospik dapat mencapai 60-100
gram dan kadang-kadang mencapai 200 gram atau lebih.
Tonjolan biasanya terdapat pada lobus lateralis dan lobus medius, tetapi tidak
mengenai bagian posterior lobus medialis. Tonjolan ini dapat menekan uretra dari
lateral sehingga lumen uretra menyerupai celah atau menekan dari bagian tengah,
kadang-kadang penonjolan itu merupakan suatu polip yang sewaktu-waktu dapat
menutup lumen uretra.
Pada penampang, tonjolan dapat dibedakan dengan jelas antara jaringan prostat
yang masih baik. Warna tonjolan tergantung pada unsur yang bertambah, jika
tonjolan tersebut pada kelenjer maka warna tonjolannya kuning kemerahan dengan
konsistensi lunak dan berbatas tegas dengan jaringan prostat. Jika pembesaran atau
penonjolan terjadi pada jaringan prostat yang terdesak maka warnanya putih
keabu-abuan dan konsistensinya padat dan apabila tonjolan ditekan maka akan
keluar cairan seperti susu.
Apabila unsur fibromuskular yang bertambah maka tonjolan berwarna abu-abu
dan padat serta tidak mengeluarkan cairan seperti jaringan prostat yang terdesak
sehingga batasnya tidak jelas. Gambaran mikroskopiknya juga bermacam-macam
tergantung pada unsur yang berpoliferasi, biasanya yang lebih banyak berpoliferasi
adalah unsur kelenjer sehingga terjadi penambahan kelenjer dan terbentuk kista-
kista yang dilapisi epitel koboid selapis dimana pada beberapa tempat membentuk
papil-papil ke dalam lumen membran basalis yang masih utuh dan terkadang
terjadi penambahan kelenjer yang kecil-kecil sehingga menyerupai karsinoma.

D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang ditimbulkan oleh Benigne Prostat Hyperplasia disebut
sebagai Syndroma Prostatisme. Syndroma Prostatisme dibagi menjadi dua yaitu :
1) Gejala Obstruktif
 Hesitancy yaitu memulai kencing yang lama dan seringkali disertai
dengan mengejan yang disebabkan oleh karena otot destrussor buli-
buli memerlukan waktu beberapa lama meningkatkan tekanan
intravesikal guna mengatasi adanya tekanan dalam uretra
prostatika.
 Intermitency yaitu terputus-putusnya aliran kencing yang
disebabkan karena ketidakmampuan otot destrussor dalam
pempertahankan tekanan intra vesika sampai berakhirnya miksi.
 Harus mengedan (training).
 Pancaran lemah : kelemahan kekuatan dan kaliber pancaran
destrussor memerlukan waktu untuk dapat melampaui tekanan di
uretra.
 Rasa tidak puas setelah berakhirnya buang air kecil.
2) Gejala Iritatif
 Urgency yaitu perasaan ingin buang air kecil yang sulit ditahan.
 Frekuensi yaitu penderita miksi lebih sering miksi dari biasanya.
 Nokturia yaitu terbangun pada malam hari untuk miksi.
 Disuria yaitu nyeri pada waktu kencing.

E. Derajat BPH
Menurut Sjamsuhidajat tahun 2005 benigna prostat hiperplasia dibagi menjadi
empat derajat yaitu:
1) Stadium I
Terjadi obstruksi namun bladder/vesika urinari masih mampu
mengeluarkan atau mensekresikan urin sampai habis.
2) Stadium II
Pada stadium ini terjadi retensi urin namun vesika urinari masih mampu
mengeluarkan urin walau tidak sampai habis, masih tersisa sekitar 60-150
cc dan pada stadium ini terjadi disuria dan nocturia.
3) Stadium III
Pada stadium ini urin setiap berkemih urin tersisa dalam vesika urinari
sekitar ≥ 150 cc.
4) Stadium IV
Pada stadium ini terjadi retensi urin total, vesika urinari penuh sehingga
pasien terlihat kesakitan dan pada stadium ini urin menetes secara periodik
( over flow inkontinen ).

F. Komplikasi BPH
1) Urinary traktusinfection
2) Retensi urin akut
3) Obstruksi dengan dilatasi uretra, hydronefrosis dan gangguan fungsi ginjal.

Bila operasi bisa terjadi:

1) Impotensi (kerusakan nervus pudenden)


2) Hemoragic pasca bedah
3) Fistula
4) Striktur pasca bedah
5) Inkontinensi urin

G. Pemeriksaan Penunjang
1) Pemeriksaan Colok Dubur
Pemeriksaan colok dubur dapat memberikan kesan keadaan tonus sfingter
anus, mukosa rektum, kelainan lain seperti benjolan dalam rektum dan prostat.
Pada perabaan melalui colok dubur dapat diperhatikan konsistensi prostat,
adakah asimetri, adakah nodul pada prostat, apakah batas atas dapat diraba.
Derajat berat obstruksi dapat diukur dengan menentukan jumlah sisa urine
setelah miksi spontan. Sisa miksi ditentukan engan mengukur urine yang
masih dapat keluar dengan kateterisasi. Sisa urine dapat pula diketahui dengan
melakukan ultrasonografi kandung kemih setelah miksi.
2) Pemeriksaan Laboratorium
 Analisis urin dan pemeriksaan mikroskopik urin, elektrolit, kadar
ureum kreatinin.
 Bila perlu lakukan pemeriksaan Prostate Spesific Antigen (PSA), untuk
dasar penentuan biopsi.
3) Pemeriksaan Radiologi
 Foto polos abdomen
 BNO-IVP
 Systocopy
 Systografi
 USG

H. Penatalaksanaan BPH
1) Observasi (Watchful waiting)
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan, pasien tidak
mendapatkan terapi apapun tetapi perkembangan penyakitnya tetap di awasi
oleh dokter. Pasien disarankan menghindari hal-hal yang dapat memperburuk
keadaannya, adapun hal yang harus dihindari pasien antara lain:

 Berolahraga secara teratur.


 Pertahankan berat badan ideal.
 Tidak mengkonsumsi minuman beralkohol.
 Berhenti merokok.
 Minum air putih minimal delapan gelas sehari.
 Mengurangi konsumsi daging dan lemak hewan, karena kandungan
lemaknya dapat meningkatkan resiko berbagai penyakit.
 Banyak mengkonsumsi sayur-sayuran dan buah-buahan khususnya
yang mengandung antioksidan tinggi.
2) Medikamentosa/ Obat-obatan
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan
berat tanpa disertai penyulit. Obat yang digunakan berasal dari:
phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dan lain-lain),
gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen.
3) Pembedahan
 Prostatektomi Suprapubis
Adalah salah satu metode mengangkat kelenjar melalui insisi abdomen.
Yaitu suatu insisi yang dibuat kedalam kandung kemih dan kelenjar
prostat diangkat dari atas.
 Prostatektomi Perineal.
Adalah mengangkat kelenjar melalui suatu insisi dalam perineum. Cara
ini lebih praktis dibanding cara yang lain, dan sangat berguna untuk
biopsi terbuka.
 Prostatektomi Retropubik.
Adalah suatu teknik yang lebih umum dibanding pendekatan
suprapubik dimana insisi abdomen lebih rendah mendekati kelenjar
prostat, yaitu antara arkus pubis dan kandung kemih tanpa memasuki
kandung kemih. Prosedur ini cocok untuk kelenjar besar yang terletak
tinggi dalam pubis.
 Insisi Prostat Transuretral ( TUIP ).
Yaitu suatu prosedur menangani BPH dengan cara memasukkan
instrumen melalui uretra. Satu atau dua buah insisi dibuat pada prostat
dan kapsul prostat untuk mengurangi tekanan prostat pada uretra dan
mengurangi kontriksi uretra. Cara ini diindikasikan ketika kelenjar
prostat berukuran kecil ( 30 gram/kurang ) dan efektif dalam mengobati
banyak kasus BPH. Cara ini dapat dilakukan di klinik rawat jalan dan
mempunyai angka komplikasi lebih rendah di banding cara lainnya.
 TURP ( TransUretral Reseksi Prostat )
TURP adalah suatu operasi pengangkatan jaringan prostat lewat uretra
menggunakan resektroskop. TURP merupakan operasi tertutup tanpa
insisi serta tidak mempunyai efek merugikan terhadap potensi
kesembuhan. Operasi ini dilakukan pada prostat yang mengalami
pembesaran antara 30-60 gram, kemudian dilakukan reseksi. Cairan
irigasi digunakan secara terus-menerus dengan cairan isotonis selama
prosedur. Setelah dilakukan reseksi, penyembuhan terjadi dengan
granulasi dan reepitelisasi uretra parsprostatika (Anonim,FKUI,1995),
karena pembedahan tidak mengobati penyebab BPH, maka biasanya
penyakit ini akan timbul kembali 8-10 tahun kemudian.
A. Konsep Dasar Keperawatan

Dalam memberikan asuhan keperawatan pada pasien yang

membutuhkan perawatan tidak terlepas dari pendekatan dengan proses

keperawatan. Proses keperawatan yaitu suatu proses pemecahan yang dinamis

dalam usaha untuk memperbaiki dan melihat pasien sampai ketaraf optimum

melalui suatu pendekatan yang sistematis untuk mengenal, membantu

memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan langkah-langkah yaitu perencanaan,

pelaksanaan tindakan, dan evaluasi keperawatan yang berkesinambungan.

1. Fokus Pengkajian

Pengkajian pada pasien BPH dilakukan dengan pendekatan proses

keperawatan. Menurut Doenges, dkk (2000) fokus pengkajian pasien

dengan BPH adalah sebagai berikut :

a) Sirkulasi

Pada kasus BPH sering dijumpai adanya penurunan tekanan

darah. Peningkatan nadi sering dijumpai pada kasus postoperasi BPH

yang terjadi karena kekurangan volume cairan.

b) Integritas Ego

Pasien dengan kasus penyakit BPH seringkali terganggu

integritas egonya karena memikirkan bagaimana akan menghadapi

pengobatan yang dapat dilihat dari tanda-tanda seperti kegelisahan,

kacau mental, perubahan perilaku.

c) Eliminasi

Pada kasus post operasi BPH terjadi gangguan eliminasi yang

terjadi karena tindakan invasif serta prosedur pembedahan sehingga


perlu adanya obervasi drainase kateter untuk mengetahui adanya

perdarahan dengan mengevaluasi warna urin. Evaluasi warna urin,

contoh : merah terang dengan bekuan darah, perdarahan dengan tidak

ada bekuan, peningkatan viskositas, warna keruh, gelap dengan

bekuan. Selain terjadi gangguan eliminasi urin, juga ada kemugkinan

terjadinya konstipasi.

d) Makanan dan cairan

Terganggunya sistem pemasukan makan dan cairan yaitu

karena efek penekanan/nyeri pada abomen (pada preoperasi), maupun

efek dari anastesi pada postoperasi BPH, sehingga terjadi gejala:

anoreksia, mual, muntah, penurunan berat badan. Tindakan yang perlu

dikaji adalah awasi masukan dan pengeluaran baik cairan maupun

nutrisinya.

e) Nyeri dan kenyamanan

Menurut hierarki Maslow, kebutuhan rasa nyaman adalah

kebutuhan dasar yang utama. Karena menghindari nyeri merupakan

kebutuhan yang harus dipenuhi. Pada pasien post operasi biasanya

ditemukan adanya nyeri suprapubik, pinggul tajam dan kuat, nyeri

punggung bawah.

f) Keselamatan/ keamanan

Pada kasus operasi terutama pada kasus penyakit BPH faktor

keselamatan tidak luput dari pengkajian perawat karena hal ini sangat

penting untuk menghindari segala jenis tuntutan akibat kelalaian


paramedik, tindakan yang perlu dilakukan adalah kaji adanya tanda-

tanda infeksi saluran perkemihan seperti adanya demam (pada pre

operasi), sedang pada postoperasi perlu adanya inspeksi balutan dan

juga adanya tanda-tanda infeksi baik pada luka bedah maupun pada

saluran perkemihannya.

g) Seksualitas

Pada pasien BPH baik pre operasi maupun post operasi

terkadang mengalami masalah tentang efek kondisi/terapi pada

kemampuan seksualnya, takut inkontinensia/menetes selama hubungan

intim, penurunan kekuatan kontraksi saat ejakulasi, dan pembesaran

atau nyeri tekan pada prostat.

h) Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium diperlukan pada pasien pre operasi

maupun post operasi BPH. Pada pre operasi perlu dikaji, antara lain

urin analisa, kultur urin, urologi urin, BUN/kreatinin, asam fosfat

serum, sel darah putih. Sedangkan pada post operasinya perlu dikaji

kadar hemoglobin dan hematokrit karena imbas dari perdarahan. Dan

kadar leukosit untuk mengetahui ada tidaknya infeksi.


\
2. Pathway Keperawatan

a. Pathway Pre Operasi


Perubahan usia (usialanjut)

Ketidakseimbangan produksi estrogen dan

testosteron Pertumbuhan sel kelenjar jaringan

adipose BPH

DHT dan enzim alfa reduktase obstruksi

Memacu m-RNA iritasi

Pertumbuhan kelenjar pengosongan yang destrusor


Prostate tidak sempurna berkontraksi

Resistensi vesika Disuria


rasa tidak puas
saat miksi
Nyeri Inkontinensia urin
Destrusor menebal
Nyeri supra pubik

Retensi urin Perubahan status kesehatan


Hidroureter, kemungkinan prosedur operasi
Hidronefrosis, dan
Gagal ginjal Ansietas

Kerusakan pola eliminasi urin

Distensi kandung kemih Kurang terpajan informasi


Diuretik proses penyakit dan
Refluks vesiko ureter pengobatan

Resiko Infeksi
Kurang pengetahuan

Resiko ketidakseimbangan

volume cairan

Gambar 2.2 Pathway


Sumber: Doenges, (2000)
b. Pathway Post Operasi

Perubahan usia (usia lanjut)

Ketidak seimbangan produksi estrogen dan testosteron

Kadar Testoteron menurun Kadar Estrogen meningkat

Proliferasi sel prostat Hiperplasi sel stroma pada jaringan prostat

BPH

Gangguan
Pembedahan Mobilitas Fisik
Adanya media masuk
kuman

Pendaraha Terputusnya kontinuitas


n jaringan

Resiko Kerusakan
Resiko Nyeri Akut
Kekurangan

penurunan Hb Resiko Infeksi

ketidakefektifan Perfusi
Jaringan perifer

Sumber: NANDA NIC-NOC, 2013


DAFTAR PUSTAKA

Doenges, M.E., Marry, F..M and Alice, C.G., 2000. Rencana Asuhan
Keperawatan : Pedoman Untuk Perencanaan Dan Pendokumentasian
Perawatan Pasien. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Mansjoer. Dkk.Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta, EGC : 2000

Sjamsuhidayat. R dan Wim De Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah, Jakarta, EGC : 2002

Sylvia A. Price. dkk. 2006 “Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses


Penyakit” Edisi. 6 Volume. 2. Jakarta: EGC

Uliyah, Musrifatul dan Alimun, Aziz, 2008. Ketrampilan Dasar Praktik Klinik.
Jakarta: Selemba Medika

Anda mungkin juga menyukai