Disusun Oleh:
Giska Rahmawati J.0105.20.007
Eva Yulia Sarah J.0105.20.006
Rizal F.A J.0105.20.028
Sandi Rusmawan J.0105.20.00
2. Klasifikasi
Cedera kepala dapat diklasifikasikan berdasarkan mekanisme, keparahan, dan
morfologi cedera
a. Mekanisme : berdasarkan adanya penetrasi duramet
er
1) TraumaTumpul
C o n t o h n y a : T r a u m a a k i b a t k e c e p a t a n t i n g g i ( t a b r a k a n
m o b i l ) d a n kecepatan rendah (terjatuh, dipukul)
2) Trauma Tembus
Contohnya : luka tembus peluru, dan cedera tembus lainnya
b. Keparahan Cedera : berdasarkan skala koma Glasgow (GCS)
1) Ringan : GCS 14-15
2) Sedang : GCS 9-13
3) Berat : GCS 3-8
c. Morfologi
1) Fraktur Tengkorak
a) Kranium : linear/stelatum; depresi/nondepresi; terbuka/tertutup.
b) Basis : dengan/tanpa kebocoran cairan serebrospinal; dengan/tanpa
kelumpuhan nervus VII
2) Lesi Intrakranial
a) Fokal : epidural, subdural, intraserebral
b) Difus : konkusi ringan, konkusi klasi, cedera
aksonal difus
3) Menurut Doenges (2000: 270) klasifikasi cedera kepala dibagi menjadi 2 yaitu:
a. Trauma otak primer terjadi karena benturan la
n g s u n g a t a u t a k l a n g s u n g (akselerasi/deselerasi otak).
b. Trauma otak sekunder merupakan akibat dari trauma saraf (melalui akson)
yangmeluas, hipertensi intrakranial, hipoksia, hiperkapnea atau hipotensi sistemik.
4) Sementara menurut Price (2003:1174) cedera kepala
diklasifikasikan sebagai berikut :
a . H e m a t o m a E p i d u r a l
Hematoma epidural paling sering terjadi di daerah parietotempor
al akibatrobekan arterial mengineal media. Tanda dan gejala tampak bervariasi,
penderitahematoepidural yang khas memiliki riwayat cedera kepala dengan
periode tidak sadar dalam jangka waktu pendek, diikuti periode lusid.
b. Hematoma Subdural
Pada umumnya hematoma subdural berasal dari vena. Hematoma ini
timbul akibat rupture vena yang terjadi dalam ruangan subdural.
Hematoma subdural dibagi lagi menjadi tipe akut, subakut, dan kronik
yang memiliki prognosis yang berbeda-beda.
1) Hematoma subdural akut
Hematoma subdural akut menimbulkan gejala neurologic yang penting
dan serius dalam 24-48 jam setelah cedera. Hematoma subdural akut
terjadi pada pasien yang meminum obat antikoagulan terus menerus
yang tampaknya mengalami trauma kepala minor dan sering kali
berkaitan dengan cedera deselerasi akibat kecelakaan bermotor. Deficit
neurologic progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan otak dan
herniasi batang otak ke dalam foramen magnum yang selanjutnya
menimbulkan tekanan. Keadaan ini cepat menimbulkan henti nafas
dan hilangnya control atas denyut nadi dan tekanan darah.
2) Hematoma subdural subakut
Hematoma subdural subakut menyebabkan deficit neurologic
bermakna dalam jangka waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari 2
minggu setelah cedera. Hematoma ini disebabkan oleh pendarahan
vena kedalam ruang subdural. Riwayat klinis yang khas kepala yang
menyebakan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status
neurologic yang bertahap.
3) Hematoma subdural kronik
Trauma otak yang menjadi penyebab dapat sangat sepele atau
terlupakan dan sering kali akibat cedera ringan. Tanda dan gejala dari
hematoma subdural kronik biasanya tidak spesifik, tidak terlokalisasi
dan dapat disebabkan oleh banyak proses penyakit lain.
3. Etiologi
o Penyebab cedera kepala adalah tabrakan lalu lintas kendaraan bermotor,
kecelakaan kerja, jatuh dan serangan. Kecelakaan sepeda juga merupakan
penyebab umum cedera kepala yang berhubungan dengan kematian dan cacat,
terutama dikalangan anak-anak.
o Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama
pada kelompok usia produktif dan sebagian besar terjadi pada kecelakaan lalu
lintas.
4. Patofisiologi
Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan
berat ringannya trauma kepala yang terjadi. Ada 2 mekanisme cedera yang biasa
terjadi, yaitu cedera percepatan (aselerasi) dan cedera perlambatan (deselerasi).
Cedera percerapat (aselerasi) terjadi ketika benda yang bergerak membentur kepala
yang diam. Sedangkan, cedera perlambatan (deselerasi) terjadi ketika kepala
membentur objek yang relative tidak bergerak, misalnya tanah.
Kombinasi mekanisme ini mengakibatkan terjadinya cedera pada jaringan otak
dan menimbulkan kerusakan pada sawar darah otak ( Blood Brain Barrier ). Cedera
jaringan tersebut mengakibatkan degranulasi sel-sel mast yang terdapat dalam
jaringan otak. Degranulasi ini memacu pelepasan histamine yang menimbulkan efek
vaskuler berupa peningkatan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler.
Peningkatan permeabilitas kapiler memicu terjadinya edukasi cairan dari
intravaskuler ke jaringan interstisiil otak dan menimbulkan edema serebral.
Selain itu, trauma yang terjadi menimbulkan destruksi pada vaskuler di daerah
kepala. Destruksi ini menimbulkan hematoma. Hematoma dan edema serebral dapat
berpengaruh pada peningkatan TIK. Peningkatan TIK didefinisikan sebagai
peningkatan tekanan dalam rongga kranialis. Ruang intracranial ditempati oleh
jaringan otak (1400 gram), darah (75ml), dan cairan serebrospinal (sekitar 75 ml).
keseluruhan volume tersebut menghasilkan suatu tekanan intracranial normal sebesar
4-15 mmHg. Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga komponen ini
mengakibatkan desakan pada ruang dan menaikkan tekanan intracranial.
Peningkatan TIK yang terjadi mempengaruhi kecepatan aliran darah ke otak dan
penekanan pada pusat pernafasan medulla oblongata dan pons. Penurunan kecepatan
aliran darah ke otak (cerebral blood flow) mengakibatkan berkurangnya suplai darah
ke otak, sehingga memunculkan masalah perfusi jaringan serebral tidak efektif.
Sedangkan, penekanan pada medulla oblongata dan pons menyebabkan terjadinya
gangguan pada fungsi pernafasan. Gangguan ini menimbulkan masalah keperawatan
berupa pola nafas tidak efektif. Kombinasi antara gangguan suplai O 2 ke otak dan
gangguan pada fungsi intubasi ETT dan mayo yang bertujuan untuk mempertahankan
kepatenan jalan nafas dan membantu pemenuhan kebutuhan pksigen secara adekuat.
Keadaan ini dapat mengurangi respon batuk pada pasien, dan membuat secret
menumpuk pada saluran pernafasan. Penumpukan secret ini menimbulkan masalah
keperawatan berupa bersihan jalan nafas tidak efektif.
Selain itu, trauma kepala juga mengakibatkan terjadinya destruksi vaskuler.
Destruksi ini mengakibatkan hilangnya/ berkurangnya cairan dalam intravaskuler.
Keadaan ini menimbulkan masalah keperawatan berupa kekurangan volume cairan
tubuh. Selain itu, trauma kepala juga menimbulkan lesi pada daerah kepala. Lesi ini
dapat menjadi pintu masuk bagi agen infeksius untuk menyerang pertahanan tubuh.
Keadaan ini menimbulkan masalah keperawatan berupa risiko infeksi.
5. Pathway
Trauma Kepala
e. Neurosensory
Gejala : sakit kepala,parestesia, kehilangan sensasi, gangguan dalam
penglihatan seperti diplopia
Tanda : status mental/ tingkat kesdaran, letargi sampe kebingungan yang berat
sehingga menjadi koma, delusi, dan halusinasi/ psikosis oragnik (ensefalitis)
f. Nyeri/kenyamanan
Gejala : sakit kepala, nyeri pada gerakan ocular, fotosensitivitas
Tanda : tampak terus terjaga, perilaku distraksi/ gelisah, menangis, mengeluh.
g. Pernafasan
Gejala : adanya riwayat infeksi sinus atau paru (abses otak)
Tanda : peningkatan kerja pernapasan, perubahan mental, dan gelisah
7. Pemeriksaan Diagnostik
o MRI : sama dengan CT scan dengan/ tanpa menggunakan kontras
o Angiografi serebral menunjukan kelainan serkulasi serebral, seperti pergeseran
jaringan otak akibat edema, perdarahan, trauma
o EEG untuk memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang
patologis
o Sinar X mendeteksi adanya perubahan struktur tulang (fraktur), pergeseran
struktur dari garis tengah (karena perdarahan, edema) adanya fragmen tulang.
o Pungsi lumba, CSS : dapat menduga kemungkinan adanya perdarahan
subrakhnoid
o GDA ( gas darah arteri) : mengetahui adanya masalah arteri atau oksigenasi yang
akan dapat meningkatkan TIK/ perubahan mental
o Pemeriksaan toksikologi : mendeteksi obat yang mungkin bertanggung jawab
terhadap penurunan kesadaran.
8. Penatalaksanaan
o Pasien harus diberikan 100% oksigen, dan monitoring jantung serta 2 IV line
harus diberikan bagi pasien dengan TBI (trauma brain injury) berat, intubasi
endotracheal (melalui intubasi cepat) untuk mengamankan jalan nafas dan
mencegah hipoksemia. Jika dilaksanakan dengan tepat, intubasi cepat akan
mencegah peningkatan TIK dan mengurangi terjadinya komplikasi. Saat
melakukan intubasi cepat, sangat penting untuk mengimobilisasi tulang leher
dengan adekuat dan menggunakan sedasi kuat atau agen induksi.
o Karena hipotensi dapat mengakibatkan menurunnya perfusi serebral, sangatlah
penting untuk dilakukan pengontrolan tekanan darah. Pemberian resusitasi cairan
dengan cairan kristaloid. CT scan juga dilakukan dengan berkonsultasi dengan
bagian medis neurologi untuk menentukan dilakukannya suatu operasi. Semua
pasien dengan indikasi trauma intracranial, posisi tempat tidur harus ditinggikan
sebesar 30º.
o Jika pasien dengan GCS kurang dari 8 harus dilakukan intubasi. Dengan diberikan
tekanan PCO2 sebanyak 25-30 mmHg dapat mengakibatkan vasokontriksi cerebral
dan membantu menurunkan TIK. Namun bila hiperventilasi ini diberikan secara
berlebihan dapat mengakibatkan penurunan perfusi cerebral.
o Penanganan kejang : kejang biasanya diberikan phenytoin dengan atau tanpa
benzoidiazepines
o Penangan luka pada kulit : berikan irigasi yang berlebih, penekanan harus
diberikan untuk mengontrol perdarahan dan luka ditutup dengan jaritan.
1. Untuk mengetahui
keadaan klien
Pemantauan Respirasi
1. Observasi
- monitor frekuensi, irama,
kedalaman dan upaya nafas
- monitor pola nafas
- monitor kemampuan batuk efektif
- monitor adanya produksi sputum
- monitor adanya sumbatan jalan
nafas
- palpasi kesimetrisan ekspansi
paru
2. Untuk memenuhi
- auskultasi bunyi napas kebutuhan oksigenasi
- monitor saturasi oksigen klien
- monitor nilai AGD
- monitar hasil x-ray
3. agar klien dan kluarga
2. Teurapeutik dapat mengerti
- atur interval pemantauan respirasi
sesuai kondisi pasien
- dokumentasikan hasil
pemantauan
3. Edukasi
- Jelaskan tujuan dan prosedur
pemantauan
- Informasikan hasil pemantauan
1.
Setelah diberikakan Dukungan mobilisasi
3 Gangguan mobilitas tindakan keperawatan 1. Observasi
fisik b.d gangguan selama 3 x 24 jam - Identifikasi adanya nyeri atau keluhan 1. Untuk menetahui lokasi
diharapkan gangguan fisik lainnya nyeri dan keluhan fisik
neuromuscular mobilitas fisik dapat teratasi - Identifikasi toleransi fisik melakukan lainnya Mengurangi
pergerakan resiko decubitus Untuk
- Monitor frekuensi jantung dan melatih kemampuannya
Klien dapat melakukan tekanan darah sebelum memulai
pergerakan sendi dan otot mobilisasi
tanpa batasan - Monitor kondisi umum selama
melakukan mobilisasi
2. Terapeutik
- Fasilitasi aktivitas mobilisasi dengan
alat bantu (mis. Pagar tempat tidur) 2. Agar keluarga dapat
- Fasilitasi melakukan pergerakan mempraktikkan sendiri
- Libatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatan
pergerakan
3. Edukasi
1. Jelaskan tujuan dan prosedur mobilisasi 3. Agar klien dapat
2. Anjurkan melakukan mobilisasi dini melakukan mobilisasi
3. Ajarkan mobilisasi sederhana yang harus secara mandiri dan
dilakukan memudahkan klien untuk
bergerak
Dukungan ambulasi
1. Observasi
- Identifikasi adanya nyeri atau keluhan 1. Untuk mengetahui lokasi
fisik lainya nyeri dan keadaan klien
- Identifikasi toleransi fisik melakukan
ambulasi
- Monitor frekuensi jantung dan tekanan
darah sebelum memulai ambulasi
- Monitor kondisi umum selama
melakukan ambulansi
2. Agar klien dan keluarga
2. Teurapeutik
dapat mengetahui cara
- Fasilitasi aktivitas ambulansi dengan alat melakukan ambulasi dan
bantu (mis. tongkat, kruk ) dapat melakukan secara
- Fasilitasi melakukan mobilitasi fisik, jika mandiri
perlu
- Libatkan keluarga untuk membantu
pasien dalam meningkatkan ambulansi 3. Untuk memudahkan klien
3. Edukasi dalam bergerak
- Jelaskan tujuan dan prosedur ambulansi
- Anjurkan melakukan ambulansi dini
- Ajarkan ambulansi sederhana yang harus
dilakukan
Setelah diberikakan
4 Ansietas tindakan keperawatan Reduksi ansietas
selama 3 x 24 jam
1. Observasi 1. Untuk mengetahui kondisi
diharapkan ansietas dapat
- Identifikasi saat tingkat ansietas berubah dan keadaan klien
teratasi dengan kriteria hasil
: - Identifikasi kemampuan mengambil
Kecemasan klien berkurang keputusan
Klien dapat tenang - Monitor tanda-tanda ansietas
2. Untuk membuat klien
2. Teurapeutik merasa nyaman dan aman
- Ciptakan suasana terapeutik untuk
menumbuhkan kepercayaan
- Pahami situasi yang membuat ansietas
- Dengarkan dengan penuh perhatian
- Gunakan pendekatan yang tenang dan
meyakinkan
- Diskusi perencanaan realistis tentang 3. Untuk menginformasikan
kepada klien cara
peristiwa yang akan datang
penangan ansietas dan
3. Edukasi klien dapat melakukan
- Jelaskan prosedur termasuk sensasi yang secara mandiri
mungkin dialami
- Informasikan secara faktual mengenai
diagnosis
- Anjurkan mengungkapkan perasaan dan
persepsi 4. Agar pasien merasa tenang
- Latih kegiatan pengalihan ketegangan
- Latih tehnik relaksasi
4. Kolaborasi
- Kolaborasi pemberian obat ansietas, jika
perlu 1. Untuk mengetahui kedaan
nyaman atau tidaknya
Terapi relaksasi klien
1. Observasi
- Identifikasi penurunsn tingkat energi
- Identifikasi tehnik relaksasi yang pernah
efekif digunakan
- Periksa ketegangan otot frekuensi nadi, 2. Agar pasien merasa
tekanan darah, dan suhu sebelum dan nyaman dan aman
sesusah latihan
-
Monitor respon terhadap terapi relaksasi
2. Teurapeutik
- Ciptakan lingkunagan tenang dan tanpa
gangguan 3. Agar klien mengetahui
- Berikan informasi tertulis tentang manfaat tehnik relaksasi
persiapan dan prosedur tehnik relaksasi dan dapat melakukanya
- Gunakan pakaian longgar secara mandiri
- Gunakan nada suara lembut
- Gunakan relaksasi sebagai strategi
penunjang dengan analegtik
3. Edukasi
- Jelaskan tujuan, manfaat, batasan dan
jenis relaksasi yang tersedia
- Jelaskan secara rinci jenis intervensi
yang dipilih
- Anjurkan rileks
- Demonstrasikan dan latih tehnik relaksasi
DAFTAR PUSTAKA
[1] Tim Pokja SIKI DPP PPNI , Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. Jakarta, Indonesia: Dewan Pengurus Pusat Persatuan
Perawat Nasional Indonesia, 2018, pp. 1-527.