Anda di halaman 1dari 11

Nama : Putry Adelina Siagian

Nim. : 7202240002
Kelas. : Ilmu Ekonomi B

PERKEMBANGAN IT SEBAGAI PEMACU PERTUMBUHAN EKONOMI


BERKUALITAS DI INDONESIA

A. Latar Belakang
Teknologi telah mengalami perkembangan yang cukup pesat dalam beberapa dekade
terakhir. Di dunia bisnis atau pada level usaha kecil menengah seperti UMKM sampai
perusahaan besar, penggunaan teknologi menjadi sangat penting dan dominan sebagai sarana
komunikasi, menyampaikan informasi, maupun menjalankan bisnis. Era globalisasi yang
menghilangkan batas ruang dan waktu juga menyebabkan munculnya sektor industri baru,
yang memanfaatkan perkembangan teknologi dengan menggabungkan komunikasi, informasi
dan content (hiburan, jasa) melalui jaringan komputer atau perangkat lunak. Hal ini
menyebabkan terjadinya pergerakan ekonomi dari pertukaran barang secara fisik menjadi
pertukaran melalui media teknologi. Pergerakan ekonomi yang terjadi secara tidak langsung
turut dalam pertumbuhan ekonomi. Pada level makro, perkembangan teknologi mendorong
pembangunan ekonomi dan memberikan kontribusi pada pertumbuhan ekonomi.
Seiring dengan perkembangan pengetahuan dan era globalisasi, inovasi sebagai
penemuan produk baru atau efisiensi produksi dari produk yang telah ada, telah
menyebabkan munculnya perubahan pada teknologi. Teknologi Informasi dan Komunikasi
(Information and Communication Technology /ICT) merupakan teknologi yang paling
berkembang dengan pesat secara global yang ditandai dengan munculnya berbagai inovasi,
dan teknologi tersebut telah menjadi bagian dari infrastruktur untuk berbagai sektoral
kehidupan . Untuk mendorong proses inovasi, sektor bisnis mengandalkan penelitian ilmiah
dan interaksi dengan sistem sains. Penelitian ilmiah dasar adalah sumber dari banyak
teknologi yang mengubah masyarakat, termasuk Internet. Inovasi di sektor-sektor utama
seperti teknologi informasi dan bioteknologi, khususnya, terkait erat dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dasar. Sistem sains memberikan manfaat ekonomi lain, bagaimanapun (Salter
Martin, 1999).
Seluruh negara-negara di dunia tidak akan mampu menghindari bias dari Teknologi
Informasi dan Komunikasi (TIK). Baik negara maju maupun negara berkembang termasuk
Indonesia, telah menempatkan TIK sebagai salah satu bagian dari penggerak utama
pertumbuhan ekonomi. Perkembangan TIK di Indonesia telah masuk secara meluas di segala
aspek kehidupan. TIK telah mengubah struktur, kultur pola pikir dan perilaku masyarakat
secara signifikan dari berbagai aspek baik ekonomi, politik maupun sosial budaya.
Teknologi informasi dapat mengubah perekonomian desa menjadi lebih baik lagi
kualitasnya dalam sektor pertanian, peternakan, perkebunan khususnya untuk meningkatkan
perekonomian makro nasional dengan cara mencari informasi yang sangat penting berkaitan
pada permasalahan tersebut. Kehadiran teknologi informasi dalam kehidupan manusia
menjadikan teknologi informasi sebagai sumber yang dapat dipercaya untuk memenuhi
sebagian besar keperluan manusia.
Dalam (Arsyad, 1999: 217) menurut para ekonom, kemajuan teknologi merupakan
faktor yang paling penting bagi pertumbuhan ekonomi. Dalam bentuknya yang paling
sederhana, kemajuan teknologi disebabkan oleh cara-cara baru dan cara-cara lama yang
diperbaiki dalam melakukan pekerjaan-pekerjaan tradisional, seperti menanam padi,
membuat pakaian, atau membangun rumah. Ada 3 macam klasifikasi kemajuan teknologi
yaitu: netral, hemat tenaga kerja (labor saving), dan hemat modal (capital saving).
TIK mempengaruhi pertumbuhan ekonomi, produksi, dan produktivitas dalam 3
langkah dasar yaitu :
1.TIK barang dan jasa merupakan bagian dari nilai tambah ekonomi.
2.Menggunakan modal/capital TIK, sebagai input dari produksi semua barang dan jasa yang
akan mengarahkan pada pertumbuhan ekonomi.
3.TIK akan menyebabkan pertumbuhan ekonomi melalui kontribusi yang diberikan oleh
perubahan teknologi. Apabila pertumbuhan dari produksi TIK didasarkan pada manfaat dari
kegiatan efisiensi dan produktivitas, maka hal ini akan mengarahkan pada pertumbuhan
produktivitas di level makroekonomi (Pahjola, 2002)
Pertumbuhan ekonomi sendiri merupakan konsep yang menjelaskan mengenai faktor-faktor
apa saja yang menentukan kenaikan output dalam jangka panjang serta penjelasan mengenai
bagaimana faktor-faktor tersebut berinteraksi satu sama lain (Boediono, 2005). Output yang
dimiliki suatu wilayah yang nantinya digunakan dalam pengukuran pertumbuhan ekonomi di
wilayah tersebut dipengaruhi oleh banyak faktor baik dari dalam maupun dari luar wilayah
itu sendiri (Saputra, 2011).
Meningkatkan Pertumbuhan ekonomi mutlak dilakukan oleh negara-negara berkembang
untuk mengejar ketinggalan di bidang ekonomi dari negara-negara maju, seperti halnya
dengan Indonesia sendiri, pertumbuhan ekonomi di Indonesia pada hakikatnya bertujuan
untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat secara adil (Elvandry, 2013).
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan merupakan kondisi utama menunjukkan
bahwa pembangunan ekonomi sedang berjalan. Pada mulanya upaya pembangunan negara
yang sedang berkembang berkaitan dengan upaya peningkatan pendapatan per kapita, atau
biasa disebut dengan pertumbuhan ekonomi (Arsa, 2015).

Pertumbuhan ekonomi dapat diukur


berdasarkan kemampuan suatu negara
untuk menghasilkan barang dan jasa dari
satu periode ke periode lainnya.

Kemampuan suatu negara untuk


menghasilkan barang dan jasa dalam satu
periode tertentu tersebut disebabkan
adanya faktor – faktor produksi yang akan
mengalami pertambahan dalam jumlah dan
kualitasnya. Faktor-fator produksi tersebut
meliputi :

Tenaga Kerja (Sumber Daya Manusia) Modal Perubahan teknologi dan inovasi
Tujuan artikel ini baru ingin menjelaskan betapa pentingnya peran dan potensi investasi
human capital dan teknologi dalam memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan
berkualitas yang selama ini pernah dicapai oleh beberapa negara maju. Secara teoritis dan
empiris, peran keduanya telah terbukti mampu memacu pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

B. PEMBAHASAN
The New Growth Theory: Beyond and Behind The Solow Model
Sebuah teori Klasik sebelum Robert M Solow (Behind the Solow model), mengatakan bahwa
sebuah negara berkembang atau terbelakang hanya perlu meningkatkan akumulasi capital
fisik (C), tenaga kerja (L) dan sumber daya manusia (H) dan efisiensi alokasi dalam
penggunaannya. Dalam hal ini, peran teknologi belum dipandang sebagai pemacu dalam
pertumbuhan ekonomi. Apabila ada kegagalan dalam pasar dalam proses pembangunan
tersebut, maka hanya akan diselesaikan melalui mekanisme perencanaan efisiensi alokasi dan
penarikan investasi penggunaan sumber daya tersebut.
Selanjutnya, Model pertumbuhan ekonomi berdasarkan pada Teori Pertumbuhan
Neoklasik yang dikemukakan oleh Abramovits dan Solow (1957) dalam Sumitro (1991).
Hubungan antara input modal dan tenaga kerja serta output barang dan jasa. Kemajuan
teknologi merupakan variabel eksogen, yang meningkatkan kemampuan masyarakat untuk
berproduksi sepanjang waktu, dan dinyatakan dengan persamaan fungsi produksi:
Y=f(K,L,E) dimana Y adalah output total, K adalah modal, L adalah penduduk atau tenaga
kerja, E adalah variabel baru yang disebut efisiensi tenaga kerja. Asumsi tentang kemajuan
teknologi adalah, kemajuan teknologi menyebabkan efisiensi tenaga kerja (E) tumbuh pada
tingkat g. Bentuk kemajuan teknologi itu disebut pengoptimalan tenaga kerja dan g disebut
tingkat kemajuan teknologi yang mengoptimalkan tenaga kerja. Karena angkatan kerja L
tumbuh pada tingkat n, dan efisiensi dari setiap unit tenaga kerja E tumbuh pada tingkat g,
maka jumlah pekerja efektif L x E tumbuh pada tingkat n+g. Faktor yang paling penting
adalah kemajuan teknologi dan pertambahan kemahiran dan kepakaran tenaga kerja.
Artikel ini secara teoritis bertujuan untuk menjelaskan bagaimana peran variabel
investasi human capital dan teknologi secara eksplisit (eksogen) dapat sebagai pemacu utama
dalam pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Dengan pertumbuhan ekonomi yang
berkualitas diharapkan akan diperoleh hasil pemerataan pembangunan ekonomi yang
bermanfaat bagi kesejahteraaan seluruh masyarakat. Dengan pertumbuhan ekonomi yang
berkualitas diharapkan ada transformasi dari masyarakat yang terbelenggu dalam
keterbelakangan (vicious circle) akan mampu menuju masyarakat yang “lebih maju”
(virtuous circle), (Stiglitz, 2000, 2001; Handoko, 2001; Prasetyo, 2008).
Model teoritis peran human capital dan teknologi sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi
yang tinggi dan berkualitas dapat ditelusuri mulai dari model Solow, (Romer, 1996).
Pemikiran Robert M Solow sejak 1956 telah memasukkan unsur human capital dan teknologi
sebagai faktor penentu pertumbuhan ekonomi. Sumbangan pemikiran Solow ini kemudian
dikembangkan oleh Romer dan telah membawa revolusi besar dalam teori pertumbuhan
ekonomi yang kini sering dikenal dengan “The New Growth Theory. David Romer, (1996)
telah membuat model stok human capital dan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi
Di mana H adalah stok human capital, L jumlah tenaga kerja. Persamaan (1) ini menunjukkan
bahwa output (Y) ditentukan oleh capital, labour, dan human capital per worker. Jadi K, H,
dan L diasumsikan constan return to scale. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang
tinggi dan berkualitas diperlukan saving dan teknologi. Sementara saving dan teknologi
tersebut dapat dihasilkan oleh karena adanya investasi human Capital yang cukup berkualitas.
Dengan adanya saving dan penguasaan terhadap penggunaan teknologi tersebut akan
diperoleh jalan emas (golden rule) dari berbagai alternatif pilihan teori yang terbaik (trunpike
theorema).
Model Solow telah menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan
dalam pendapatan per pekerja harus berasal dari kemajuan teknologi. Model Solow yang ini
telah menjelaskan variabel teknologi sebagai variabel eksogeneous, namun determinan
teknologi belum dijelaskan secara lebih detail. Selanjutnya, para peneliti dan ahli ekonomi
pertumbuhan ekonomi yang baru seperti; Robert Barro, David Romer, Paul Romer, Gregory
Mankiw, Xavier Sala-I-Martin adalah tokoh-tokoh baru teori pertumbuhan ekonomi yang
lebih banyak mengangkat isu bahwa perspektif jangka panjang dalam ekonomi makro tidak
kalah pentingnya dengan model-model stabilitas ekonomi, (Handoko, 2001). Studi-studi
mereka hingga kini telah banyak dimuat dalam berbagai literatur termasuk bank dunia, baik
yang menyangkut ekonomi makro maupun pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang.
Hasil studi mereka menemukan berbagai faktor yang menentukan perjalanan perekonomian
suatu negara yang tadinya tertinggal cukup jauh dengan negara- negara Eropa Barat dan
Amerika Utara, kini telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang sedemikian
cepat dan berkualitas, sehingga Pendapatan Nasional per kapita mereka telah mampu
melampaui negara-negara maju. Jepang, Singapura dan Swiss adalah contoh negara-negara
kecil yang kini sangat maju.
Jepang dan Singapura adalah contoh negara kecil yang sangat sempurna dalam
membangun ekonomi makro melalui pertumbuhan ekonomi berkualitas yang dipacu oleh
peran sumber daya manusia yang berkualitas dalam mendorong kemajuan bangsanya. Jika
dulu kiblat manajemen industri dan bisnis hanya di negara barat, kini sudah ada kiblat
alternatif di Asia yakni Jepang dan Singapura. Selain itu, salah satu fenomena pertumbuhan
ekonomi yang pernah sangat menonjol di Asia pada awal tahun 1970 hingga pertengahan
tahun 1990-an adalah apa yang dikenal dengan “East Asian Miracle”. Tujuh negara yang
pada waktu itu oleh Bank Dunia dapat disebut sebagai “keajaiban Asia Timur” adalah
negara-negara; Korea Selatan, Thailand, Hongkong, Taiwan, Singapura, Malaysia dan
Indonesia.
Persoalannya adalah mengapa tujuh negara “keajaiban Asia Timur” tersebut
khususnya Indonesia, kini justru makin terpuruk dan menuju ke negara yang dapat dikatakan
“negara gagal”. Tesis Paul Krugman sebenarnya telah menyangkal bahwa prediksi negara-
negara Asia Timur tersebut akan mengambil alih perkembangan ekonomi dari negara-negara
industri maju karena kemampuan mereka untuk menerapkan teknologi maju menuju ke
tingkat produktivitas yang tinggi. Menurut hasil penelitian Krugman, negara-negara Asia
Timur berhasil mencapai pertumbuhan tinggi karena berhasil dalam mengakumulasi kapital
dan tenaga kerja yang sangat tinggi, dan bukan karena kemampuan dalam penggunaan
teknologi yang maju, sehingga mereka kemudian akan mengalami law of diminishing return.
Artinya, mereka tidak akan pernah mampu melampaui negara-negara maju yang tingkat
produktivitasnya telah tinggi.

Reformasi Investasi Human Capital dan Teknologi: dari Vicious Circle ke Virtuous Circle
Stiglitz, (2000, 2001) telah mengamati beberapa faktor penyebab keterbelakangan,
sehingga pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan tidak berkualitas yaitu; dimulai dari
Kurangnya kapital fisik (K), kemudian Kurangnya kapital sumber daya manusia (H), dan
kurang berfungsinya peran intervensi pemerintah (ekonomi kelembagaan). Dengan model
fungsi produksi agregatif dapat dituliskan sebagai Q = f (A, K, L, R, H). Di mana Q adalah
output produksi, L adalah tenaga kerja, R adalah sumber daya alam (natural capital), serta
faktor A adalah terdiri dari; informasi, ilmu pengetahuan (knowledge) dan teknologi,
termasuk proses produksi serta faktor modal sosial (social capital). Selanjutnya, tanpa
mengupas lebih mendalam variabel A tersebut, ia menegaskan bahwa intensitas variabel A
akan menentukan apakah proses pembangunan merupakan vicious circle ataukah virtuous
circle. Jika sebuah proses pembangunan dipandang sebagai sebuah transformasi dari sebuah
tataran masyarakat yang satu ke tataran yang lain tanpa pendidikan, maka sebuah masyarakat
tersebut akan terjebak pada tataran keterbelakangan (vicious circle) karena
ketidakmampuannya untuk meramu variabel (K, L, R, dan H) yang tersedia untuk menuju ke
sebuah dinamika tataran yang “lebih maju” (virtuous circle) yang juga memiliki daya saing
tinggi.
Pada umumnya negara-negara berkembang sering terjebak dalam keterbelakangan ini.
Karena, negara-negara berkembang pada prinsipnya hanya perlu meningkatkan akumulasi K,
L, dan H serta efisiensi alokasi penggunaannya, kurang memikirkan kuantitas dan kualitas
variabel A secara konsisten dan berkesinambungan melalui pendidikan yang lebih tinggi dan
berkualitas. Hal ini sejalan dengan pemikiran Vinod Thomas (2000) dalam “The Quality of
Growth”, ia mengatakan bahwa pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup
masyarakat dan memperluas peluang untuk menentukan nasibnya sendiri secara merdeka.
Dalam era millineum ketiga ini dan ke depan yakni setelah ilmu ekonomi dianggap
mati oleh Paul Omerod, maka paradigma dan arah pembangunan ekonomi baru (new
economy) pada saat ini dan mendatang adalah pembangunan ekonomi yang padat investasi
sumber daya manusia (human capital) yang berkualitas khususnya melalui pendidikan dan
latihan. Dengan kata lain perlu dikembangkan perpaduan antara faktor H dan faktor A untuk
mengelola faktor L, dan K, sehingga dapat dihasilkan produksi (Q) yang berkualitas seperti
yang diharapkan. Karena dalam new economy faktor pendidikan, informasi, dan teknologi
merupakan pendorong utama dalam kegiatan ekonomi di suatu negara, (Prasetyo, 2008).
Kerangka kerja untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkualitas
serta memiliki daya saing yang baik di Indonesia masih kurang didukung oleh peran
teknologi dan human capital (melalui pendidikan yang berkualitas), maka dampaknya tidak
hanya pertumbuhan ekonomi yang tidak berkualitas tetapi daya saing ekonomi Indonesia juga
tetap rendah.. Rendahnya daya saing ekonomi Indonesia karena produktivitasnya yang rendah
dan rendahnya produktivitas karena rendahnya teknologi dan faktor pendidikan, maka
dampaknya kualitas tenaga kerja juga tetap rendah dan menghasilkan produk yang rendah
kualitasnya. Kebijakan pemerintah dan para universitas harus berorientasi jauh ke depan dan
mengangkat semangat kompetisi yang sehat sangat diperlukan. Orientasi kebijakan ke depan
yang sehat akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan produktivitas yang baik. Artinya,
dengan tingkat investasi human capital yang memadahi, akan mampu mereformasi bangsa
Indonesia dari keterbelakangan (vicious circle) menuju ke masyarakat yang lebih maju secara
elegan (virtuous circle). Karena, perbedaan produktivitas pada suatu investasi dapat membuat
perbedaan satu hingga dua persen terhadap tingkat pertumbuhan GNP per kapita. Jika hal
tersebut dilakukan, diyakini akan mampu membantu merubah stagnasi ekonomi Indonesia ke
dalam semangat untuk meningkatkan kemampuannya di segala bidang dengan sadar. Namun,
jika mau bercermin pada negara lain di Asia dalam human capital invesment, bercerminlah
kepada negara-negara seperti; Jepang, Singapura, dan Korea Selatan. Negara-negara ini telah
melakukan pembangunan ekonominya dengan berbasis pada human capital invesment dan
berhasil.
Pekerjaan lebih lanjut diperlukan untuk menentukan kontribusi perdagangan yang
tepat terhadap pertumbuhan produktivitas, tetapi literatur dengan jelas menunjukkan bahwa
perdagangan mewujudkan efisiensi dan mendorong persaingan yang meningkatkan
produktivitas. Bukti awal menunjukkan bahwa peningkatan eksposur perdagangan
internasional, seperti yang dialami oleh Amerika Serikat, mungkin memiliki dampak yang
lebih besar pada produktivitas daripada eksposur perdagangan yang tinggi tetapi stabil
(Mann, 1997).
Studi Empiris : Ekonomi Makro dan Pertumbuhan Ekonomi
Perkembangan teknologi harus disebarkan dalam pertumbuhan ekonomi seperti pada
kasus pertengahan tahun 1990-an (Mankiw, 2007). Menurut model Solow, kemajuan
teknologi menyebabkan nilai berbagai variabel meningkat secara bersamaan dengan mantap
(balanced of growth) dalam jangka panjang, maka perekonomian suatu negara akan baik.
Namun, model dasar pertumbuhan Solow masih menganggap teknologi berkembang pada
tingkat eksogeneus konstan, maka pengalaman empiris pertumbuhan ekonomi yang
spektakuler dari empat macan asia timur menjadi sulit untuk dijelaskan. Akhirnya mereka
memisahkan antara masalah ekonomi makro dengan masalah pertumbuhan ekonomi.
Formulasi model-model pertumbuhan ekonomi baru sebenarnya sudah muncul setelah
akhir perang dunia ke II, terutama dengan meluasnya teori Harrod-Domar, Solow, Ramsey,
Kuznet, Samulson dan Leontief yang sampai sekarang masih terus dikembangkan (Romer,
1996; Handoko, 2001). Pada mulanya para ahli ekonomi tersebut masih banyak yang
menggunakan model-model standar, seperti model Solow yang sering dikenal dengan the
new growth theory (Romer, 1996; Tapscott, 1997; Mankiw, 2007; Dornbusch, 2008).
Pada saat ini peran variabel teknologi yang telah diperoleh dari pengembangan ilmu
pengetahuan melalui research and development serta investasi human capital sudah banyak
dibahas walaupun masih banyak yang baru secara implisit. Hasilnya dapat membedakan
tentang pendapatan nasional antar negara, di mana negara-negara industri maju terlebih
dahulu mampu mencapai tataran kemajuan yang lebih tinggi.
Teknologi yang sebenarnya merupakan bagian dari ilmu pengetahuan (knowledge)
telah diyakini oleh Tapscott (1997) dalam Wahyoedi, (2000) sebagai salah satu bentuk dari
ekonomi baru (The New Economy). Salah satu ciri ekonomi baru adalah ekonomi dengan
mengandalkan knowledge. Menurut Tapscott orang akan lebih banyak bekerja dengan
menggunakan otaknya daripada menggunakan tangan. Di negara-negara maju saat ini seperti;
Amerika Serikat, Jepang dan Singapura hampir lebih 70 persen para pekerjanya
berkecimpung dalam pekerjaan yang menggunakan knowledge. Selanjutnya, studi tahunan
Bank Dunia hingga kini juga telah banyak mengangkat knowledge . Dari kajian Bank Dunia
tersebut, ternyata terdapat korelasi yang kuat dan positip antara pertumbuhan knowledge
dengan pertumbuhan ekonomi di suatu negara. Selain itu, daya serap teknologi di perusahaan
perusahaan (industri) di Indonesia mencapai angka 4,5 yang berarti paling rendah
dibandingkan dengan negara-negara seperti; Malaysia yang mencapai 5,9 dan Thailand
mencapai 5,3 termasuk Vietnam yang mencapai 5,2. Sedangkan, industri-industri di
Singapura adalah yang paling besar menyerap teknologi, yakni mencapai nilai 6,0. Kondisi
ini dapat sebagai satu indikator bahwa tingkat inovasi dan penggunaan teknologi di Indonesia
tergolong masih rendah.
Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi yang dicapai oleh Indonesia sekalipun
tinggi tetap belum dapat dikatakan berkualitas. Fenomena ini lebih dinamakan gangguan
krisis ekonomi dunia, Indonesia menjadi salah satu negara yang paling mudah terkena
dampaknya dibandingkan negara tetangganya. Karena, pertumbuhan PDB (pertumbuhan di
Indonesia lebih banyak dipacu oleh laju pertumbuhan konsumsi, sedangkan pertumbuhan
ekonomi negara tetangga lebih banyak didorong oleh laju investasi human capital dan
teknologi. Akibatnya kondisi ekonomi makro Indonesia sekalipun dilihat dari indikator
pertumbuhan ekonomi cukup tinggi, tetapi masih tetap rentan terhadap gejolak krisis. Hal ini
memperkuat argumentasi bahwa masalah stabilitas ekonomi makro dan pertumbuhan
ekonomi adalah dua hal yang saling berkaitan erat.
Ketika awal tahun 2000-an hingga pertengahan tahun 2008 sekarang ini produksi
minyak dibatasi oleh OPEC, maka produktivitas negara- negara yang tidak berbasis pada
human capital dan teknologi terus menurun lebih cepat. Penurunan produktivitas ini
sebenarnya telah dimulai tahun 1973, (Mankiw,2003). Ketika, pertumbuhan produktivitas
minyak menurun hampir bersamaan dengan naiknya harga minyak yang kini terus naik dan
pada Juli 2008 telah mencapai harga US$145 per barel. Sebagai ekonom, berpendapat bahwa
penurunan produktivitas ini mungkin saja disebabkan oleh perubahan – perubahan dalam
angkatan kerja di Indonesia yang belum berkualitas. Sedangkan, masih rendahnya kualitas
angkatan kerja di Indonesia karena human invesment juga rendah, akibatnya penguasaan
teknologi dalam segala bidang di Indonesia juga masih rendah. Dengan masih tetap
rendahnya penguasaan teknologi dalam segala bidang ini menyebabkan pertumbuhan
ekonomi di Indonesia menjadi tidak berkualitas. Selanjutnya, dengan masih rendahnya
kualitas pertumbuhan ekonomi Indonesia, maka akan semakin sulit tujuan growth with
equality yang dapat mensejahterakan rakyat akan tercapai.
Argumentasi lain yang dapat untuk memperkuat bahwa sasaran utama pembangunan
ekonomi di Indonesia yang ingin dicapai pemerintah SBY – JK melalui growth with equality
masih sulit di capai adalah, karena rantai nilai (value chain) yang dapat memberikan nilai
tambah bagi kehidupan riil masyarakat juga rendah.
Inovasi dan perubahan teknologi umumnya dianggap sebagai salah satu pendorong
terpenting pertumbuhan ekonomi. Namun, sulit untuk menangkap kontribusi mereka dalam
analisis empiris. Berbagai pendekatan, di tingkat perusahaan, sektor dan ekonomi, telah
digunakan untuk menghubungkannya dengan pertumbuhan ekonomi (OECD, 2000a).
Pada model Solow, tabungan mendorong pertumbuhan sementara, tapi pengembalian
modal yang kian menurun akhirnya mendorong perekonomian mendekati kondisi mapan di
mana pertumbuhan hanya bergantung pada kemajuan teknologi eksogen. Sebaliknya, pada
model pertumbuhan endogen, tabungan dan investasi bisa mendorong pertumbuhan yang
berkesinambungan (Mankiw : 238 -241).
Sedangkan Schumpeter menyatakan bahwa kemajuan ekonomi berasal dari proses
penghancuran kreatif. Menurut Schumpter, penggerak kemajuan adalah pengusaha dengan
ide untuk produk baru, cara baru menghasilkan produk lama atau beberapa inovasi lain
(Mankiw : 242 -243).
Pertumbuhan Ekonomi Tinggi dan Mitos Penyerapan Tenaga Kerja
Secara teori ekonomi, setiap satu persen pertumbuhan ekonomi akan mampu
menyerap tenaga kerja baru sebesar 250-400 ribu orang. Namun, pertumbuhan ekonomi
tinggi di Indonesia baru sekedar mitos dalam penyerapan tenaga kerja baru. Karena, setiap
satu persen pertumbuhan ekonomi di Indonesia hanya mampu menyerap tenaga kerja kurang
dari 100 ribu orang per tahun. Tahun 2008 merupakan tahun yang telah dijanjikan akan ada
pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Pertumbuhan ekonomi yang tidak banyak menyerap tenaga kerja, pada akhirnya akan
membuat jurang kemiskinan yang semakin melebar. Inilah kondisi paradok pertumbuhan
ekonomi (paradox of economics growth) yang kini terjadi di Indonesia. Karena pertumbuhan
ekonomi di Indonesia yang tinggi lebih banyak ditopang oleh laju pertumbuhan tingkat
konsumsi daripada investasi.
Permasalahan Dalam Pemanfaatan Informasi dan TIK
Permasalahan yang dihadapi dalam mendorong pemanfaatan informasi berbasis teknologi
informasi dan komunikasi adalah sebagai berikut. Rendahnya tingkat e-literasi aparatur
pemerintah dan masyarakat memperlambat pemahaman dan pemanfaatan TIK dalam
kegiatan pemerintahan, perekonomian, dan kehidupan masyarakat sehari-hari. Permasalahan
ini terkait erat dengan masih tingginya biaya layanan internet, terbatasnya fasilitas TIK
seperti komputer dan jaringan internet, daya beli masyarakat, dan tingkat pendidikan
masyarakat.
Terbatasnya pengembangan industri manufaktur dalam negeri, aplikasi, dan konten lokal
sebagai pembangkit demand. Dari sepuluh kelompok sektor19, penyerapan tenaga kerja
industri kreatif mengalami kenaikan terbesar ketiga sepanjang tahun 2002 - 2006 yaitu 8,10
persen. Adapun dari 1420 kelompok industri kreatif, penyerapan tenaga kerja layanan
komputer dan piranti lunak mengalami kenaikan tertinggi pada periode yang sama, yaitu
25,87 persen. Dengan demikian industri kreatif berpotensi dalam mendorong penciptaan
demand, namun hal tersebut belum didukung secara optimal oleh beberapa isu seperti
penegakan dan perlindungan hukum atas hak kekayaan intelektual, inkubasi inovasi, dan
pengembangan konten lokal.
C. KESIMPULAN
Beberapa kesimpulan dari kajian Kebijakan Pengembangan Teknologi Informasi dan
Komunikasi di Era Konvergensi adalah sebagai berikut.
1. Dari hasil evaluasi pelaksanaan pembangunan pos dan telematika periode 2004 – 2009,
terdapat dua agenda yang memerlukan perbaikan segera, yaitu (a) pemerataan infrastruktur
dan layanan komunikasi dan informatika; dan (b) peningkatan kualitas pemanfaatan
informasi dan teknologi informasi dan komunikasi.
2. Pemerataan infrastruktur dan layanan komunikasi dan informatika diperlukan tidak saja
untuk memperkuat domestic interconnectivity tetapi juga untuk mendukung peningkatan
perekonomian dan daya saing bangsa. Sebagai salah satu pilar knowledge-based economy,
infrastruktur komunikasi dan informatika memberikan kontribusi sebesar 17 persen terhadap
kenaikan indeks daya saing bangsa.
3. Peningkatan kualitas pemanfaatan informasi dan TIK juga perlu dilakukan mengingat
pemanfaatannya yang saat ini masih bersifat konsumtif dan terutama untuk mengantisipasi
meningkatnya tindak kejahatan berbasis TIK (cyber crime).
Salah satu variabel yang menentukan keberhasilan pembangunan di suatu negara
adalah pengembangan teknologi. Dengan menggunakan TIK akan membawa kemajuan di
segala bidang, dan sebaliknya jika tidak, akan menjadi ketinggalan. Demikian pula halnya di
dunia perekonomian, TIK akan mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia yang positif.
Teknologi informasi merupakan industri yang memiliki harapan dan prospek sangat baik,
namun harus disadari bahwa pertumbuhannya akan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor.
Kurangnya infrastruktur yang memadai, serta tingginya angka pengangguran merupakan
beberapa faktor yang dapat menghambat laju pertumbuhan pasar teknologi informasi di
Indonesia
Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkualitas hendaknya lebih diletakkan
pada kemampuan dari pengeluaran sektor investasi yang sangat fundamental, khususnya
investasi di bidang human capital, capital social, infrastruktur dan teknologi khususnya
teknologi informasi. Penguatan investasi pada semua sektor melalui bidang tersebut sangat
jelas lebih mampu menciptakan efek ganda (multiplier effect) yang lebih tinggi dalam
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi suatu bangsa (Indonesia).
Dengan adanya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas secara berkelanjutan akan
berdampak positif pada semakin maju dan sejahteranya rakyat suatu negara yang
bersangkutan, atau dengan daya kreativitas dan inovatifnya akan lebih mampu merubah
dirinya dari kondisi keterbelakangan (vicious circle) menuju ke dalam kondisi masyarakat
yang lebih maju dan mandiri (virtuous circle).

D. REKOMENDASI
Berdasarkan hasil kajian, terdapat beberapa hal yang kami rekomendasikan sebagai
tindak lanjut pengembangan teknologi informasi dan komunikasi nasional sebagai berikut.
Aspek Infrastruktur
1. Optimalisasi sumber daya (resources) dalam pengembangan infrastruktur dan layanan
komunikasi dan informatika untuk mempercepat pengembangan infrastruktur dan penyediaan
layanan yang modern di seluruh wilayah NKRI, termasuk wilayah non komersial, dengan
memanfaatkan sumber daya secara efisien dan efektif, di antaranya melalui infrastructure
sharing, site sharing, pemanfaatan open source.
2. Menjamin keterhubungan (interoperabilitas/interkoneksitas) sistem, jaringan, dan layanan
untuk menjamin keutuhan, kehandalan, keamanan, dan kualitas sistem, jaringan, dan layanan
terutama dimana sistem/jaringan yang digunakan berbeda-beda.
3.Peningkatan peran/keterlibatan badan usaha termasuk UKM dan koperasi dalam
penyelenggaraan komunikasi dan informatika untuk mempercepat penyediaan infrastruktur
dan layanan komunikasi dan informatika yang modern dan handal di seluruh Indonesia dan
meningkatkan efisiensi penyelenggaraan.
Aspek Pemanfaatan Informasi dan TIK
4. Pemberdayaan informasi untuk menumbuhkan demand pada masyarakat dan menciptakan
nilai tambah pada layanan untuk mendukung produktivitas masyarakat.
5. Penyelenggaraan sistem elektronik instansi pemerintah pusat dan daerah (e-government)
untuk: (a) meningkatkan penyediaan, pengolahan, pendistribusian, dan pemanfaatan
informasi; (b) menciptakan tata pemerintahan yang lebih efisien, efektif, transparan, dan
akuntabel; (c) mendorong internalisasi TIK dalam kegiatan pemerintahan, perekonomian, dan
kehidupan masyarakat sehari-hari; serta (d) mempercepat transformasi menuju masyarakat
informasi Indonesia.
6. Mendorong inovasi di bidang TIK untuk mendorong berkembangnya industri penunjang
TIK dalam negeri baik industri perangkat, jasa, maupun konten menuju kemandirian industri
TIK nasional.
7. Peningkatan kualitas sumber daya manusia TIK untuk meningkatkan pemahaman dan
kemampuan aparatur pemerintah dan masyarakat terkait pemanfaatan informasi dan
penggunaan TIK untuk mendukung peningkatan produktivitas dan inovasi.
8. Mendorong pemanfaatan TIK untuk bisnis (e-bisnis) untuk meningkatkan produktivitas
perekonomian melalui difusi dan pemanfaatan TIK.
Aspek Pembiayaan
9. Optimalisasi pembiayaan untuk mempercepat pengembangan infrastruktur dan penyediaan
layanan yang modern di seluruh wilayah NKRI, termasuk wilayah non komersial, dengan
memanfaatkan sumber pembiayaan secara efisien dan efektif, yaitu antara lain melalui (a)
pemanfaatan APBN secara efisien dan efektif untuk mendorong penyediaan, pendistribusian,
dan pemanfaatan informasi terutama di wilayah non komersial melalui penggeseran konsep
asset-based menjadi service/output-based; (b) pembentukan dana jangka panjang (ICT Fund)
berupa optimalisasi pemanfaatan Pendapatan Negara Bukan Pajak yang dihasilkan oleh sub
bidang komunikasi dan informatika untuk pengembangan broadband, inovasi, industri TIK
dalam negeri, dan peningkatan kualitas SDM TIK.

E. DAFTAR PUSTAKA
1. Agus Saputra, 2011, Trik dan Solusi Jitu Pemrograman PHP, PT. Elex Media
Komputindo, Jakarta
2. Arsyad, L. (1999). Pengantar Perencanaan dan Pembangunan Ekonomi Daerah.
Yogyakarta: BPFE. Basuki, A. T. (2012 ).
3. Arsa, I Ketut, 2015.Pengaruh Kinerja Keuangan Terhadap Alokasi Belanja. Modal
Dan Pertumbuhan Ekonomi.
4. Boediono, 1999, “Teori Pertumbuhan Ekonomi”, Yogyakarta: BPFE
5. Dornbusch, Rudiger, at.al, 2008, “Macroeconomics”, 9 th, New York: McGraw-Hill
Inc.
6. Djojohadikusumo, Sumitro., 1993. Dasar Teori Ekonomi Pertumbuhan dan. Ekonomi
Pembangunan. LPES, Jakarta. Gujarati, D., 1991.
7. Elvandy Tandiawan. 2014. Pengaruh investasi swasta dan belanja pemerintah
terhadap pertumbuhan ekonomi dan dampaknya terhadap kesempatan kerja di kota
manado Tahun 2001-2012. ejournal.unsrat.ac.id
8. Foucault, Michel, 2002, “Power or Knowledge”,Yogyakarta: Bentang.
9. Handoko, Budiono Sri, 2001, “Pemikiran Pendekatan Pembangunan Di Awal
Millenium: Penekanan Pada Kualitas Pertumbuhan”, Jurnal Ekonomi Pembangunan,
Vol. 6. No. 2, Yogyakarta: FE UII
10. Indrawati, Sri Mulyani, 2007, “Prospek Pembangunan Ekonomi 2008”, Jurnal
Negarawan, No. 06, Vol.2, November 2007.
11. Martin, E.1999. Managing Information Technology What Managers Need to Know.
3rd ed. New Jersey:Pearson Education International
12. Mankiw, N.G., 2007, “Macroeconomics”, 6th, New York: Worth Publishers
13. Meier, G.M., 1995, “Leading Issues in Economic Development”, 6th, Oxford
University Press
14. N. Gregory Mankiw, Intermediate Macroeconomics. Seventh Edition, Edisi ke-4,
Jakarta : Erlangga.
15. OECD (2000a), “Innovation and Economic Performance”, Science, Technology and
Industry Outlook 2000, OECD, Paris, forthcoming.
16. OECD (2000b), “Promoting Innovation and Growth in Services”, Science,
Technology and Industry Outlook 2000,
17. OECD, Paris, forthcoming.
18. Prasetyo, P. Eko, 2008, “Peran Investasi Human Capital Melalui Pendidikan Dalam
Memacu Pertumbuhan Ekonomi”, Jurnal Dinamika Pendidikan Ekonomi, Vol. 3, No.
1, 2008, Semarang: FE UNNES
19. Romer, David, 1996, “Advanced Macroeconomics”, International Edition, Singapore:
McGraw-Hill in.
20. Sampurno, 2007, “Knowledge-Base Economy: Sumber Keunggulan Daya Saing
Bangsa”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar
21. Stiglitz, J.E., 2000, “Development Thinking at the Millennium”, Annual World Bank
Conference on Development Economics, April, 2000, The World Bank.
22. Stiglitz, J.E., and S. Yusuf, (2001), “Rethinking the East Asian Miracle”, Oxford:
World Bank-Oxford University Press.
23. Thomas V., et.al, 2001, “The Quality of Growth”,Oxford University Press.g
24. Tapscott, D. (1997), "Strategy in the new economy", Strategy & Leadership, Vol. 25
No. 6, pp. 8-14. https://doi.org/10.1108/eb054601.
25. Wahyoedi, Soegeng, 2000, “The New Growt Theory: Peran Ilmu Pengetahuan dan
Investasi Modal Sumber Daya Manusia Sebagai Pemacu Pertumbuhan Ekonomi”,
Jakarta: Ukrida Press.
26. World Development Report, 2006/2007

Anda mungkin juga menyukai