Anda di halaman 1dari 27

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kualitas Kehidupan Kerja (Quality of Work Life)

Konsep kualitas kehidupan kerja pertama kali dibahas pada tahun 1972

selama konferensi internasional “Labor Relations” dan mendapatkan perhatian

lebih setelah “United Auto Workers” dan “General Motors” menginisiasi

Kualitas Kehidupan kerja sebagai program reformasi kerja (Gayatri,

Ramakrishnan, 2013)

Program kualitas kehidupan kerja mula-mula dipusatkan pada

kebutuhan para tenaga kerja wanita dan kemudian diperluas kepada semua

tenaga kerja. Beberapa perusahaan secara teratur mengidentifikasi kebutuhan

tenaga kerjanya untuk memastikan bahwa program kualitas kehidupan kerja

mereka responsif dan relevan, terutama ketika kebutuhan tenaga kerja berubah-

ubah. Pengembangan kualitas kehidupan kerja ditujukan untuk membantu

menyeimbangkan pekerjaan dengan kebutuhan, minat dan tekanan yang

dihadapi oleh tenaga kerja sehingga bermanfaat untuk meningkatkan

produktivitas perusahaan dan mengurangi tingkat turnover tenaga kerja.

2.1.1 Definisi Kualitas Kehidupan Kerja

Kualitas Kehidupan Kerja atau Quality of Work Life menurut Cascio

(1998) dapat diartikan menjadi dua pandangan, pandangan pertama

menyebutkan bahwa Kualitas Kehidupan Kerja merupakan sekumpulan

keadaan dan praktek dari tujuan organisasi (contohnya : pemerkayaan

pekerjaan, kebijakan promosi dari dalam, kepenyeliaan yang demokratis,

11
12

partisipasi tenaga kerja, dan kondisi kerja yang aman). Sedangkan, pandangan

kedua, kualitas kehidupan kerja merupakan persepsi tenaga kerja bahwa

mereka ingin rasa aman, merasa puas, dan mendapatkan kesempatan untuk

tumbuh dan berkembang sebagai layaknya manusia. Kualitas kehidupan kerja

merupakan salah satu tujuan penting dalam memenuhi kebutuhan dan

keinginan tenaga kerja. Pengertian Quality Of Work Life yang banyak

digunakan adalah pengertian yang berasal dari Cascio, hal tersebut

dikarenakan Cascio dipandang sebagai pelopor dari perkembangan Quality

Of Work Life itu sendiri.

Kualitas kehidupan kerja atau Quality of Work Life menurut Dessler

(2006) adalah suatu keadaan di mana para tenaga kerja dapat memenuhi

kebutuhan mereka yang penting dengan bekerja dalam organisasi dan

kemampuan untuk melakukan hal itu bergantung pada perlakukan yang adil

dan suportif serta kesempatan bagi setiap tenaga kerja untuk mengapresiasi

dirinya. Kualitas kehidupan kerja adalah program yang mencakup cara untuk

meningkatkan kualitas kehidupan dengan menciptakan pekerjaan yang lebih

baik, yang terdiri dari sistem imbalan, restrukturisasi pekerjaan dan

lingkungan kerja (Nawawi, 2001).

Menurut Bovee mengungkapkan adanya hubungan antara kualitas

kehidupan kerja dan kepuasan kerja bahwa kualitas kehidupan kerja muncul

karena adanya rasa tidak puas tenaga kerja yang disebabkan oleh batasan

kerja yang kurang sesuai dengan pengetahuan dan kapasitas mereka (Bovee

dalam Dondan, 2011). Kualitas kehidupan kerja memiliki makna adanya


13

supervisi yang baik, kondisi kerja yang baik, pembayaran dan imbalan yang

baik, tenaga kerja yang menarik dan menantang serta pemberian reward yang

memadai. Kualitas kehidupan kerja merupakan suatu hal yang sangat penting

dan merupakan kebutuhan bagi perusahaan sendiri untuk menarik dan

mempertahankan para tenaga kerjanya agar loyal terhadap perusahaan.

Sehingga banyak manajer berusaha untuk mengurangi ketidakpuasan kualitas

kehidupan kerja para tenaga kerjanya.

Dari definisi-definisi di atas mengenai kualitas kehidupan kerja yang

telah dipaparkan maka dapat disimpulkan bahwa kualitas kehidupan kerja

atau quality of work life adalah suatu bentuk kepedulian perusahaan untuk

memenuhi kebutuhan tenaga kerjanya serta mencipatakan kepuasan melalui

praktek-praktek yang efektif untuk memperbaiki kondisi kerja dan

meningkatkan efektifitas organisasi.

2.1.2 Dimensi Kualitas Kehidupan Kerja

Kualitas kehidupan kerja (quality of worklife) terdiri dari beberapa

indikator dan secara keseluruhan menjadikan kualitas kehidupan kerja sangat

penting di dalam penciptaan kepuasan tenaga kerja dan mewujudkan

produktivitas organisasi. Menurut Cascio dalam Helmiatin (2013), terdapat

sembilan indikator dalam penerapan quality of work life yaitu:

1. Partisipasi tenaga kerja yang dimaksud dengan partisipasi adalah

keterlibatan mental dan emosional orang-orang dalam situasi kelompok

yang mendorong mereka untuk memberikan konstribusi kepada tujuan

kelompok dan berbagai tanggung jawab pencapaian tujuan itu.


14

Contohnya dengan membentuk tim peningkatan kualitas, membentuk

tim keterlibatan tenaga kerja, dan mengadakan pertemuan partisipasi

tenaga kerja. Menurut Siagian (2012) keterlibatan tenaga kerja

merupakan cara pandang dalam melihat sejauh mana seorang tenaga

kerja diikutsertakan dalam menentukan keputusannya sendiri atas

pekerjannya.

2. Pengembangan Karir. Secara umum, karir merupakan segala bentuk

pekerjaan yang dilakukan oleh seseorang selama masa kerjanya sehingga

dapat memenuhi kebutuhan hidup yang ideal. Pengembangan karir atau

kompetensi ialah pengembangan tingkat pengetahuan, keterampilan dan

sikap atau perilaku yang dimiliki setiap individu dalam melaksanakan

tugas organisasinya (Ilyas, 2000) Para tenaga kerja yang bekerja di

perusahaan tentunya membutuhkan jaminan atas karir yang mereka

harapkan akan berkembang. Perusahaan perlu mengelola karir dan

mengembangkannya dengan baik supaya produktivitas tenaga kerja tetap

terjaga dan mampu mendorong tenaga kerja untuk selalu melakukan hal

yang terbaik dan menghindari frustasi kerja yang berakibat penurunan

kinerja perusahaan. Perwujudan pengembangan karir dapat dilakukan

dengan mengadakan pendidikan dan pelatihan, evaluasi kinerja dan

promosi.

3. Penyelesaian konflik. Beberapa hal yang dapat dilakukan oleh anggota

organisasi/perusahaan dalam menyelesaikan konflik adalah keterbukaan,

proses penyampaian keluaran secara formal, dan pertukaran pendapat


15

(Cascio 2006). Menurut Umar (2000) konflik dalam organisasi dalam

batas wajar tetap diperlukan, konflik dalam batas wajar menyebabkan

dampak yang positif bagi organisasi menjadi tegar dalam menghadapi

perubahan lingkungan. Sumber konflik dalam organisasi dapat berupa

persaingan terhadap sumber, ketergantungan terhadap tugas (kuantitas

atau kualitas), batas yang tidak jelas terhadap bidang kerja (tupoksi),

permasalahan status, rintangan dalam komunikasi dan sifat dari individu

yang berbeda-beda.

4. Komunikasi. Menurut Notoatmodjo (2009), komunikasi adalah proses

pengoperasian rangsangan (stimulus) dalam bentuk lambang atau simbol

bahasa atau gerak (non verbal) untuk mempengaruhi perilaku orang lain.

Komunikasi antar pribadi sangat penting bagi suatu hubungan. Termasuk

dalam hubungan di dalam organisasi, baik antar rekan kerja atau juga

dengan pimpinan. Proses komunikasi yang baik melibatkan para

komunikator, dalam hal ini para bawahan ke atasan atau sebaliknya. Arah

komunikasi organisasi yaitu komunikasi ke bawah (dari atasan ke

bawahan), komunikasi ke atas (dari bawahan ke atasan), komunikasi ke

samping (komunikasi dalam atau antar bagian), dan komunikasi ke luar

(dengan pemerintah, pelanggan atau masyarakat). (Umar, 2000)

Komunikasi yang baik antara pimpinan dengan tenaga kerja dan tenaga

kerja dengan tenaga kerja dapat menciptakan motivasi kerja bagi tenaga

kerja, yang pada akhirnya akan meningkatkan kepuasan dan kinerja dari

tenaga kerja. Menurut Cascio (2006) komunikasi di dalam


16

organisasi/perusahaan dapat dilaksanakan melalui 3 (tiga) kegiatan, yaitu

pertemuan tatap muka, pertemuan kelompok dan publikasi.

5. Kesehatan kerja. Dalam Pasal 86 ayat (1) huruf (a) Undang-Undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang kesehatan kerja merupakan salah satu hak

tenaga kerja atau buruh untuk itu pengusaha wajib melaksanakan secara

sistematis dan terintergrasi dengan sistem manajemen perusahaan.

Upaya kesehatan kerja bertujuan untuk melindungi tenaga kerja atau

buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal, dengan cara

pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, pengendalian bahaya

ditempat kerja, promosi kesehatan, pengobatan, dan rehabilitasi

(Santoso, 2004).

6. Keselamatan kerja. Menurut Undang-Undang No. 36 tahun 2009 tentang

Kesehatan pasal 165 ayat 1, pengelola tempat kerja wajib melakukan

segala bentuk upaya kesehatan melalui upaya pencegahan, peningkatan,

pengobatan dan pemulihan bagi tenaga kerja. Banyak komponen yang

ada di lingkungan kerja, salah satunya lingkungan sosial-psikologis yang

harus dipelihara sehingga kondusif atau memberikan pengaruh positif

bagi kesehatan dan keselamatan tenaga kerja (Kemenkes, 2009). Penting

pula diperhatikan oleh perusahaan bahwa faktor keselamatan kerja harus

mendapat perhatian serius dari semua pihak. Menurut Cascio (2006),

keselamatan kerja yang dilaksanakan oleh perusahaan yaitu komite

keselamatan, tim penolong gawat darurat dan program keselamatan kerja

(seperti asuransi kecelakaan).


17

7. Keamanan kerja. Keamanan disini maksudnya bahwa tenaga kerja akan

dapat bekerja dengan perasaan yang tenang, karena tidak terancam oleh

PHK secara sepihak dari perusahaan. Oleh karena itu harus ada

kesepakatan antara pihak terkait mengenai gaji, kontrak kerja dan

sebagainya. Cascio (2006) mengelompokkan rasa aman tenaga kerja

terhadap perusahaan adalah jaminan tidak ada pemberhentian tenaga

kerja tetap dan program pensiun bagi tenaga kerja yang telah mengabdi

kepada perusahaan. Selain itu, pemberian benefit atau jaminan sosial

merupakan hal yang penting dalam mencapai target organisasi di tengah

persaingan yang ketat saat ini. Perubahan atau pengurangan jaminan

sosial yang diterima tenaga kerja akan memberikan dampak buruk bagi

tenaga kerja dan dapat menimbulkan keinginan untuk mengunduran diri

dari tenaga kerja tersebut.

8. Kompensasi yang seimbang. Kompensasi sangat berhubungan dengan


tenaga kerja sebagai individu, karena besarnya kompensasi merupakan

ukuran hasil pekerjaan tenaga kerja tersebut. Besar kecilnya kompensasi

mempengaruhi prestasi kerja, motivasi kerja, dan kepuasan kerja tenaga

kerja. Kompenasi merupakan segala sesuatu yang diterima oleh tenaga

kerja sebagai balas jasa atas kerja dan pengabdian mereka (Haryono,

2011). Mangkuprawira (2009) menyatakan bahwa kompensasi

merupakan sebuah komponen penting dalam hubungannya dengan

tenaga kerja. Kompensasi meliputi bentuk pembayaran tunai langsung,

pembayaran tidak langsung dalam bentuk manfaat tenaga kerja, dan


18

insentif untuk memotivasi tenaga kerja agar bekerja keras untuk

mencapai produktivitas yang semakin tinggi. Sedangkan menurut Cascio

(2006), bahwa tujuan adanya sistem kompensasi adalah menarik,

menahan, dan memotivasi tenaga kerja demi mencapai keadilan antara

tenaga kerja dan organisasi. Dengan demikian, kompensasi merupakan

salah satu motivator bagi tenaga kerja untuk merasa puas terhadap apa

yang diberikan oleh perusahaan atas pekerjaannya.

9. Kebanggaan. Rasa bangga tenaga kerja atas pekerjaan dan juga tempat

bekerja dapat membuat mereka betah dan merasa nyaman untuk bekerja

dengan baik. Rasa ikut memiliki perusahaan dapat timbul bila tenaga

kerja bangga akan tempat kerja dan pekerjaannya. Kebanggaan tenaga

kerja dapat diwujudkan dengan memperkuat identitas dan citra

perusahaan, meningkatkan partisipasi masyarakat, dan lebih peduli

terhadap lingkungan.

Penelitian ini mengadaptasi sembilan komponen menurut Casio

menjadi tujuh komponen dimana terdapat beberapa komponen menurut

peneliti dapat digabungkan menjadi satu. Komponen ini adalah kesehatan dan

keselamatan kerja dijadikan menjadi satu, pada komponen konflik kerja dan

komunikasi digabungkan menjadi satu yaitu hubungan kerja.

John & Louis, dan Wayne dalam Yusuf (2010) mengemukakan

beberapa aspek untuk mengetahui kualitas kehidupan kerja pada tenaga kerja

sebagai bagian dari performan manajemen perusahaan, yang meliputi.


19

a. Manajemen partisipatif (participatory of management), yakni tenaga

kerja memperoleh kesempatan untuk berpartisipasi dalam organisasi,

dapat melakukan berbagai aktivitas yang relevan dengan aktivitas kerja

pokok maupun di luar pekerjaan di lingkungan perusahaan.

b. Lingkungan kerja yang baik, sehat dan aman (safety, health & work

environment). Tenaga kerja merasa nyaman bekerja di lingkungan yang

tidak termasuk kategori sick environmental (building) meskipun dengan

pekerjaan berisiko karena perusahaan memberikan sarana dan jaminan,

sehingga tenaga kerja merasa aman dalam menyelesaikan tugas-

tugasnya.

c. Desain pekerjaan, menurut Greendberg and Baron (dalam Sitohang,

2007) pekerjaan di desain untuk membantu tenaga kerja melakukan

pekerjaan dengan senang dan peduli dengan apa yang dilakukan, serta

menjadi berharga dan memiliki arti bagi tenaga kerja dalam mela kukan

aktivitas kerja. Desain pekerjaan memiliki spesifikasi, yaitu;

i. Skill variety, yaitu tenaga kerja lebih ditekankan pada keahliannya,

yang dibutuhkan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan;

ii. Task identity, yaitu tenaga kerja melakukan pekerjaan secara bertahap

sesuai prosedur kerja;

iii. Task significance, yaitu pekerjaan dipandang sebagai suatu hal yang

penting bagi kehidupan bagi pekerjaan orang lain;


20

iv. Autonomy, yaitu tenaga kerja memiliki keleluasaan untuk dapat

mempertanggungjawabkan rancangan pekerjaan sampai pada hasil

pekerjaan;

v. Feedback, yaitu tenaga kerja memperoleh umpan balik informasi

mengenai kinerjanya.

d. Kesempatan memperoleh pengembangan potensi diri (human resources

development), yaitu kesempatan mengikuti pelatihan (training),

pemahaman nilai (value) pekerjaan, disain kerja sebagai pertimbangan

untuk penyelesaian tugas (reason for effort), dan atribusi diri (internal

locus of control), mengambil hikmah atas kegagalan.

e. Penghargaan kerja (working reward), yakni tenaga kerja mendapat

kesempatan untuk membangun atau meningkatkan performance sehingga

akan berusaha menghindari kegagalan (value), berusaha menunjukkan hal

yang dipandang lebih berharga (demonstrating one’s worth), dan dapat

mempertimbangkan pandangan sosial (social comparison) dalam

mencapai hasil atau prestasi dalam pekerjaan.

Cascio (1998) menyebutkan bahwa untuk keberhasilan

merealisasikan kualitas kehidupan kerja diperlukan beberapa persyaratan

sebagai berikut :

1. Manajer seharusnya dapat menjadi seorang pemimpin yang baik serta

dapat menjadi pembimbing tenaga kerjanya, bukan sebagai “Bos” dan

diktator.
21

2. Keterbukaan dan kepercayaan, kedua faktor tersebut merupakan

persyaratan utama dalam penerapan konsep kualitas kehidupan kerja

dalam manajemen.

3. Informasi yang berkaitan dengan kegiatan dan manajemen harus

diinformasikan kepada tenaga kerja, dan saran-saran dari para tenaga

kerja harus diperhatikan secara serius.

4. Kualitas kehidupan kerja harus dilakukan secara berkelanjutan mulai dari

proses pemecahan masalah yang dihadapi oleh manajemen dan para

tenaga kerja hingga sampai membentuk mitra kerja diantara mereka.

5. Kualitas kehidupan kerja tidak dapat dilaksanakan secara sepihak oleh

manajemen saja, melainkan peran serta seluruh tenaga kerja perlu

ditingkatkan.

2.2 Kepuasan Kerja

2.2.1 Definisi Kepuasan Kerja

Keith Davis yang dikutip oleh Mangkunegara (2006) mengemukakan

bahwa “Job satisfaction is the favorableness or unfavorableness with

employees view their work”. Artinya bahwa kepuasan kerja adalah perasaan

menyokong atau tidak menyokong yang dialami tenaga kerja dalam bekerja.

Wexley dan Yuki dikutip oleh Mangkunegara (2006) mendefinisikan bahwa

kepuasan kerja adalah “is the way an employee feels about his or her job”.

Artinya adalah cara tenaga kerja merasakan dirinya atau pekerjaannya.

Menurut Robbins (2001), menyatakan bahwa kepuasan kerja adalah

adalah sikap umum terhadap pekerjaan seseorang, yang menunjukkan


22

perbedaan antara jumlah penghargaan yang diterima tenaga kerja dan jumlah

yang mereka yakini seharusnya mereka terima. Dari definisi diatas, hampir

semua definisi menjelaskan kepuasan kerja secara psikolgis. Kepuasan kerja

tidak dapat diukur dengan hanya melihat satu aspek, tetapi seperti yang

dikatakan oleh Suwanto kepuasan kerja merupakan konsep multificated

(banyak dimensi). Namun definisi yang paling tepat digunakan dalam

penelitian ini sebagai definisi operasional yaitu definisi yang dikemukakan

oleh Keith Davis yang dikutip oleh Mangkunegara (2006) yaitu perasaan

menyokong atau tidak menyokong yang dialami tenaga kerja dalam bekerja.

Kepuasan merupakan perasaan menyenangkan, merupakan hasil dari

persepsi individu dalam rangka menyelesaikan tugas atau memenuhi

kebutuhannya untuk memperoleh nila-nilai kerja yang penting bagi dirinya.

Menurut Locke kepuasan kerja adalah perasaan puas atau senang berdasarkan

persepsi individu terhadap pekerjaan atau pengalaman positif dan

menyenangkan terkait dengan pekerjaan. Kepuasan kerja adalah suatu

keadaan di dalam diri seseorang yang merasa puas, lega dan senang karena

situasi dan kondisi kerja yang memenuhi kebutuhan, keinginan dan

harapannya. (Hornby dalam Majorsy, 2007). Sedangkan, menurut Luthans

mengemukakan bahwa kepuasan kerja adalah ungkapan kepuasan tenaga

kerja tentang bagaimana pekerjaan mereka dapat memberikan manfaat bagi

organisasi yang berarti bahwa apa yang diperoleh dalam bekerja sudah

memenuhi apa yang dianggap penting.


23

Perasaan positif dan negatif tenaga kerja serta sikap tentang

pekerjaannya merupakan definisi kepuasan kerja menurut Kinicki, McKee-

Ryan, Scriesheim, dan Carson (dalam Schultz 1994). Pernyataan ini didukung

oleh pernyataan menurut Noe yang mendefinisikan kepuasan kerja sebagai

suatu keadaan dalam diri seseorang yang merasa puas, lega dan senang karena

situasi dan kondisi kerja yang dapat memenuhi kebutuhan, keinginan dan

harapannya. Schultz dalam Wijono (2010) menjelaskan bahwa secara

psikologi kepuasan kerja dapat diartikan bahwa individu mempunyai peran

yang penting dalam memahami pekerjaannya, agar individu dapat memahami

kepuasan dalam proses pembelajarannya.

Berdasarkan definisi di atas maka pengertian kepuasan kerja dalam

penelitian ini adalah persepsi atau perasaan subjektif berupa kesenangan,

kepuasan dan kelegaan yang dirasakan oleh tenaga kerja terhadap tenaga

kerjananya disebabkan karena situasi dan kondisi kerja yang ia miliki sesuai

dengan keinginan dan harapan serta memenuhi kebutuhannya. Selain itu,

tenaga kerja juga merasakan bahwa tugas yang dikerjakannya dapat

memberikan manfaat bagi organisasi sehingga pekerjaan yang ia lakukan

dianggap penting.

2.2.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Kepuasan Kerja

Kepuasan kerja merupakan sesuatu yang kompleks dan sulit diukur

keobjektivitasannya. Tingkat kepuasan kerja dipengaruhi oleh rentang yang

luas dari variabel-variabel yang berhubungan dengan faktor-faktor individu,

sosial, budaya, organisasi, dan lingkungan (Wijono,2010).


24

Menurut Robbins (2001) kepuasan tenaga kerja terhadap

pekerjaannya dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

1. Pekerjaan yang secara mental menantang yaitu pekerjaan-pekerjaan yang

memberikan kesempatan kepada tenaga kerja untuk menggunakan

keterampilan dan kemampuan, menawarkan beragam tugas, kebebasan

dalam melakukan pekerjaan, serta umpan balik mengenai hasil dari

pekerjaan mereka. Karakter ini membuat pekerjaan secara mental

menantang untuk dilakukan. Umumnya tenaga kerja cenderung lebih

menyukai pekerjaan yang menantang, karena pekerjaan yang menantang

dapat menghindari timbulnya kebosanan.

2. Upah/Gaji yang pantas yaitu sistem upah yang adil, tidak meragukan dan

segaris dengan pengharapan tenaga kerja. Kepuasan tenaga kerja akan

terwujud bila upah didasarkan pada tuntutan pekerjaan, tingkat

keterampilan individu dan standar pengupahan komunitas.

3. Kondisi kerja yang mendukung yaitu keadaan fisik serta suasana kerja

yang nyaman serta dapat memudahkan tenaga kerja untuk mengerjakan

tugas.

4. Rekan sekerja yang mendukung, memiliki rekan kerja yang akrab dan

mendukung dapat meningkatkan kepuasan.

5. Perilaku atasan juga merupakan determinan utama dari kepuasan.

Terdapat sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan tenaga

kerja terhadap pekerjaannya, beberapa diantaranya adalah nilai yang

terkandung dalam pekerjaan itu sendiri sedangkan yang lain berkaitan dengan
25

imbalan pengakuan dari luar. Faktor-faktor nilai intrinsik menurut Cushway

dan Lodge (2002) adalah sebagai berikut :

1. Keragaman

Keragaman didalam pekerjaan dapat memperbaiki kepuasan tenaga

kerja karena pemusatan pada satu tugas tertentu dapat menyebabkan

kebosanan, dengan adanya kebosanan dalam bekerja akan mendorong

timbulnya kesalahan-kesalahan dalam bekerja, tenaga kerja menjadi

kurang termotivasi dan tingkat absensi yang tinggi.

2. Pengawas atas pekerjaan

Kepuasan tenaga kerja dipengaruhi oleh kebebasan untuk

melakukan pekerjaan dan pengambilan keputusan mengenai hal-hal yang

menyangkut pekerjaan.

3. Relevansi tugas

Tenaga kerja akan termotivasi jika mereka merasa bahwa pekerjaan

yang mereka kerjakan penting bagi kelangsungan perusahaan dan mereka

dapat melihat bahwa pekerjaannya sesuai dengan proses didalam

perusahaan secara keseluruhan.

4. Umpan balik atas hasil

Derajat kepuasan seseorang akan tergantung pada jumlah umpan-

balik yang mereka terima atas kinerja mereka.

5. Pertumbuhan pribadi

Derajat perasaan seseorang terhadap pengembangan keahlian dan

pengetahuan yang dapat dipenuhi oleh suatu pekerjaan.


26

Pendapat lainnya berasal dari Mangkunegara (2006) yang

menyebutkan bahwa terdapat dua faktor yang mempengaruhi kepuasan,

yaitu:

1. Faktor tenaga kerja, yaitu kecerdasan (IQ), kecakapan khusus, jenis

kelamin, umur, kondisi fisik, pendidikan, pengalaman kerja, masa kerja,

kepribadian, emosi, cara berfikir, persepsi, dan sikap kerja.

2. Faktor pekerjaan, yaitu jenis pekerjaan, struktur organisasi, pangkat atau

golongan, kedudukan, kualitas pengawasan, jaminan finansial,

kesempatan promosi jabatan, interaksi sosial dan hubungan kerja.

Wijono (2010) dalam bukunya Psikologi Industri dan Organisasi

menyatakan terdapat beberapa faktor utama yang mempengaruhi kepuasan

kerja secara khusus yaitu organisasi kerja dan rencana kerja, tugas dan

karakteristik pekerjaan, konteks organisasi yang lebih luas, kualitas

kehidupan kerja, unit penelitian kerja dan lingkaran kualitas. Diluar faktor-

faktor tersebut terdapar beberapa faktor yang dikelompokkan menjadi dua

bagian yaitu :

1. Karakteristik Individu

a. Perbedaan Individu, berdasarkan beberapa penelitian menunjukkan

bahwa perbedaan individu muncul ketika individu tersebut mencapai

kepuasan kerja saat ia memberikan respon terhadap situasi atau kondisi

kerja yang kompleks. Hal ini menjadi alasan bahwa perbedaan individu

dan kepuasan kerja merupakan dua hal berkaitan yang sulit dipisahkan

kaitannya dalam suatu situasi dan kondisi kerja yang kompleks.


27

b. Usia, pada umumnya kepuasan kerja bertambah sesuai dengan

bertambahnya usia. Hubungan ini ditemukan pada tenaga kerja blue-

collar dan white collar, beberapa tenaga kerja dengan usia lebih muda

merasa kecewa dengan pekerjaan pertama mereka karena merasa gagal

mendapat tantangan dan tanggung jawab yang memadai. Hal ini

dikarenakan tenaga kerja dengan usia yang lebih tua merasakan

kesesuaian pekerjaan yang lebih besar antara apa yang dibutuhkan dan

yang ada di dalam pekerjaan mereka. Kematangan usia juga

mempengaruhi terjadi fenoma ini, karena tenaga kerja dengan usia lebih

tua dinilai lebih berpengalaman dan berkompeten dalam melaksanakan

pekerjaannya.

c. Pendidikan dan kecerdasan, pada faktor ini tidak dapat dipastikan

bahwa terdapat hubungan yang jelas dengan kepuasan dikarenakan

beberapa penelitian menyuguhkan hasik yang berbeda-beda. Sehingga

perlu dibuktikan hubungannya pada penelitian selanjutnya dan

disesuaikan dengan faktor lain.

d. Jenis Kelamin, sama dengan faktor sebelumnya bahwa terdapat

perbedaan disetiap penelitian yang dilakukan. Penelitian yang

menunjukkan adanya hubungan menyatakan bahwa perempuan lebih

puas dibandingkan dengan laki-laki.

e. Jabatan, faktor jabatan adalah salah satu faktor yang dapat

mempengaruhi kepuasan kerja. Pada umumnya, individu yang

mempunyai jabatan di tingkat bawah lebih mengalami perasaan tidak


28

puas dibandingkan dengan individu yang berada pada tingkat atas.

Alasan terjadinya hal ini adalah jabatan yang lebih tinggi dapat

memuaskan ego, status, gaji dan pengendalian diri serta ditambah

dengan peningkatan tanggung jawab (responsibility) dan otoritas

(autority).

2. Karakteristik Pekerjaan

a. Organisasi dan Manajemen menjadi penting apabila tenaga kerja

memiliki moral kerja rendah yang merupakan indikasi rendahnya

ketidakpuasan tenaga kerja dalam bekerja. Berdasarkan beberapa

penelitian yang telah dilakukan menunjukkan adanya pengaruh

organisasi dan manajemen terhadap kerja yang ditunjukkan melalui

moral kerja tenaga kerja.

b. Supervisi langsung, supervisor yang berhubungan dekat dengan tenaga

kerjanya cenderung mempunyai kelompok kerja yang luas jika

supervisor tersebut dapat memengaruhi dan memberi manfaat bagi

munculnya kepuasan kerja tenaga kerja.

c. Lingkungan sosial. Bekerja secara kelompok mempunyai manfaat

penting untuk memenuhi kebutuhan interpersonal dan persahabatan

yang dijelaskan sebagai sumber kepuasan kerja.

d. Komunikasi, menurut Suehr dalam penelitiannya mengatakan bahwa

komunikasi adalah salah satu faktor penting dalam keseluruhan proses

moral. Komunikasi dapat dilihat dari ketidakhadiran kerja yang

cenderung menjadi sumber utama dari ketidakpuasan dengan syarat


29

individu diletakkan pada posisi penting dalam satu jalinan komunikasi

yang erat. Jadi, jika jalinan komunikasi antar setiap anggota baik maka

kepuasan kerja yang tinggi akan tercipta bagi setiap anggota kelompok

kerja.

e. Keamanan, merupakan variabel yang memiliki kepentingan tertinggi

dalam kepuasan kerja menurut para peneliti.

f. Monoton, pengulangan menimbulkan peluang terhadap munculnya

ketidakpuasan. Ketidakpuasan muncul karena tenaga kerja merasa

bosan dengan pekerjaan yang ia kerjaan berulang-ulang. Namun, hal ini

tergantung pada umpan balik yang dilakukan perusahaan dan

kepribadian individu tersebut dalam menyikapi monotonitas kerjanya.

g. Penghasilan, teori Herzberg menyatakan bahwa penghasilan

merupakan faktor yang dapat menyebabkan ketidakpuasan kerja namun

tidak termasuk dalam yang dapat meningkatkan kepuasan kerja.

Maksudnya adalah gaji termasuk pada kebutuhan dasar yang harus

dipenuhi jadi apabila tidak dipenuhi akan menimbulkan ketidakpuasan

namun apabila dipenuhi tidak dapat meningkatkan atau menyebabkan

kepuasan bagi individu.

2.2.3 Teori-teori Kepuasan Kerja

Beberapa teori yang terkait dengan kepuasan menurut Mangkunegara

(2006) antara lain teori keadilan (equality theory), teori perbedaan

(discrepancy theory), teori pemenuhan kebutuhan (need fulfillment theory),


30

teori pandangan kelompok (social reference group theory), serta teori dua

faktor Herzberg dan teori pengharapan (expectancy theory).

1. Teori Keadilan (Equality Theory)

Teori keadilan berpendapat bahwa motivasi, kinerja dan kepuasan

seorang individu tergantung pada penilaian subyektifnya terhadap

keadilan atau kewajaran imbalan yang diterima (Stoner dan Freeman,

1994). Menurut Hasibuan (2006) keadilan merupakan daya pengerat

untuk memotivasi semangat kerja seseorang. Teori keadilan

dikembangkan oleh J. S. Adam pada tahun 1963, menurut Gitosudarmo

dan Sudiro (2000) prinsip dari teori ini adalah bahwa seseorang akan

merasa puas atau tidak puas tergantung dari penilaian mereka tentang

input mereka dalam hubungannya dengan pekerjaan dibandingkan

dengan hasil yang diperoleh. Mereka juga membandingkannya dengan

orang lain dalam kelompoknya, dengan kelompok lain, atau dengan

orang lain diluar organisasi.

Komponen utama dari teori ini adalah inputs (masukan), outcomes

(hasil), comparison person, dan equity-in-equity. Menurut Wexley dan

Yuki dalam As’ad (2004), inputs merupakan semua nilai yang diterima

tenaga kerja yang dirasakan dapat membantu mereka menjalankan

pekerjaannya. Meliputi pendidikan, pengalaman, kecakapan, kedudukan,

jumlah dan jam kerja, kesulitan kerja, kuantitas atau jumlah kerja dan

senioritas. Inputs dapat juga berupa hal-hal yang kurang diakui secara

formal tetapi sering digunakan seperti jenis kelamin, ras, atau umur .
31

Outcomes (keluaran) adalah semua nilai yang diperoleh dan dirasakan

tenaga kerja sebagai “hasil“ dari pekerjaannya, seperti penggajian,

peluang di masa depan, promosi, pengakuan, kesempatan untuk

berprestasi atau mengekspresikan diri, penghargaan dan status.

Sedangkan comparison person yaitu kepada siapa seseorang

membandingkan rasio inputs-outcomes yang dimilikinya. Comparison

person dapat berupa seseorang dalam perusahaan yang sama, seseorang

dalam perusahaan yang berbeda atau dirinya sendiri dalam pekerjaan

sebelumnya. Menurut teori ini setiap tenaga kerja akan membandingkan

rasio inputs-outcomes dirinya dengan rasio inputs-outcomes dari

comparison person. Bila perbandingannya dirasakan adil (equity), maka

tenaga kerja tersebut akan merasa puas. Namun, jika perbandingannya

tidak seimbang (inequity) dapat menyebabkan dua kemungkinan,

pertama, “ketidakadilan“ yang disebabkan oleh karena lebih tingginya

rasio hasil/masukan, maka kecenderungan perilakunya adalah

menaikkan input dengan menaikkan produktivitasnya.

Kedua, “ketidakadilan“ yang disebabkan oleh lebih rendahnya rasio

hasil/ masukan akan mengarah pada perilaku menuntut kenaikan hasil

atau menurunkan masukan (misalnya dengan menurunkan

produktivitasnya). Dari penelitian yang dilakukan mengenai kepuasan

dengan menggunakan prinsip teori ini ternyata kepuasan tercermin dari

kesuksesan orang dalam bekerja (As’ad, 2004).


32

2. Teori Perbedaan (Discrepancy Theory)

Teori ini pertama kali dipelopori oleh Porter. Porter menyebutkan

bahwa kepuasan tenaga kerja dapat dilakukan dengan cara menghitung

selisih antara apa yang seharusnya diterima atau dirasakan oleh tenaga

kerja dengan kenyataannya. Kemudian menurut Mangkunegara (2006)

mengacu pada Locke disimpulkan bahwa kepuasan seorang tenaga kerja

tergantung pada perbedaan antara apa yang didapat dengan apa yang

diharapkannya. Apabila yang didapatkannya lebih besar dari apa yang

diharapkannya maka tenaga kerja tersebut akan menjadi puas, sebaliknya

apabila yang didapatkannya lebih rendah dari yang diharapkan maka

akan menyebabkan tenaga kerja tidak puas.

Menurut teori perbedaan, kepuasan sangat dipengaruhi oleh

perbandingan dalam kecocokan antara hasil yang seseorang inginkan dari

sebuah pekerjaan dengan pandangan terhadap hasil yang mereka peroleh.

Jika seseorang memandang hasil yang diperolehnya lebih dari yang

diharapkan, maka semakin besar kepuasan yang dirasakannnya. Kunci

dari teori ini adalah bahwa kepuasan merupakan perbedaan antara aspek-

aspek yang diperoleh dari suatu pekerjaan dengan yang tenaga kerja

inginkan, semakin besar perbedaannya maka semakin sulit tenaga kerja

akan memperoleh kepuasan (Luthans, 2006).

3. Teori Pemenuhan Kebutuhan (Need FulFillment Theory)

Menurut teori pemenuhan kebutuhan, kepuasan tenaga kerja

ditentukan oleh adanya pemenuhan terhadap kebutuhannya. Tenaga


33

kerja akan merasa puas jika kebutuhannya dapat terpenuhi, begitu pula

sebaliknya tenaga kerja akan merasa tidak puas apabila kebutuhan

mereka tidak dapat terpenuhi (Mangkunegara, 2006). Teori pemenuhan

kebutuhan sesuai dengan teori kebutuhan Maslow

Menurut teori kebutuhan Maslow, kebutuhan dibagi menjadi lima

tingkatan, yaitu :

1. Kebutuhan fisiologis : Merupakan kebutuhan yang sangat dasar

seperti, makan, minum, pakaian, perumahan, gaji, dan fasilitas-

fasilitas dasar lainnya yang berguna untuk kelangsungan hidup

tenaga kerja.

2. Kebutuhan keamanan : Antara lain keselamatan, lingkungan kerja

yang bebas dari segala bentuk ancaman, keamanan jabatan/posisi,

status kerja yang jelas, keamanan alat yang dipergunakan serta

perlindungan terhadap kerugian fisik dan emosional.

3. Kebutuhan sosial : Mencakup rasa kasih sayang, rasa dimiliki,

diterima baik dan persahabatan.

4. Kebutuhan penghargaan : Mencakup faktor rasa hormat internal

seperti status pangakuan dan perhatian, pemberian penghargaan atau

reward serta pengakuan terhadap hasil karya individu.

5. Kebutuhan aktualisasi diri : Kesempatan dan kebebasan untuk

merealisasikan cita-cita atau harapan individu, kebebasan untuk

mengembangkan bakat atau talenta yang dimiliki.


34

Maslow memisahkan kelima kebutuhan tersebut kedalam dua bagian

yaitu kebutuhan order tinggi dan rendah. Kebutuhan order rendah

merupakan kebutuhan yang dipenuhi secara eksternal (dengan upah,

kontrak serikat buruh, dan masa kerja), yang termasuk kebutuhan rendah

yaitu kebutuhan fisiologis dan kebutuhan keamanan. Sedangkan order

tinggi yaitu kebutuhan yang dipenuhi secara internal (didalam diri orang

tersebut) seperti kebutuhan sosial, kebutuhan penghargaan, dan

kebutuhan aktualisasi diri.

4. Teori Pandangan Kelompok (Social Reference Group Theory)

Teori ini berpandangan bahwa kepuasan tidak hanya dipengaruhi

oleh pemenuhan dari kebutuhan tenaga kerjanya saja, tetapi juga

dipengaruhi oleh pandangan dan pendapat kelompok acuan. Kelompok

acuan (reference group) diperkenalkan oleh Hyman dan didefinisikan

sebagai orang atau kelompok orang yang mempengaruhi secara

bermakna perilaku individu, kelompok acuan memberikan standar

(norma) dan nilai yang dapat menjadi perspektif penentu mengenai

bagaimana seseorang berfikir dan berperilaku (Engel, et al., 1994).

Kelompok acuan tersebut dijadikan tolak ukur untuk menilai dirinya

maupun lingkungannya. Sehingga jika kelompok acuan tersebut dapat

terpenuhi kebutuhannya dari hasil kerja seorang tenaga kerja, maka

tenaga kerja tersebut akan merasa puas begitupun sebaliknya, jika hasil

kerjanya tidak sesuai dengan minat dan kebutuhan kelompok acuan,


35

maka tenaga kerja tersebut akan merasa tidak puas (Mangkunegara,

2002).

5. Teori Dua Faktor dari Herzberg

Teori Dua Faktor atau Teori Motivasi Hygiene dikemukakan oleh

psikolog F. Herzberg. Menurut Herzberg hubungan seorang individu

dengan pekerjaannya merupakan suatu hubungan dasar dan bahwa

sikapnya terhadap pekerjaannya dapat sangat menentukan kesuksesan

atau kegagalan individu. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Herzberg, faktor- faktor yang mempengaruhi sikap pekerjaan, faktor-

faktor yang menghantar ke kepuasan terpisah dan berbeda dari faktor-

faktor yang menghantar ke ketidakpuasan. Faktor yang dikaitkan pada

kepuasan, yang oleh Herzberg dinamakan faktor motivator yaitu

sejumlah kondisi intrinsik pekerjaan (intrinsic job conditions), yang

apabila kondisi tersebut ada dapat berfungsi sebagai motivator, yang

dapat menghasilkan prestasi kerja yang baik, tetapi jika kondisi atau

faktor-faktor tersebut tidak ada, tidak akan menyebabkan adanya

ketidakpuasan. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan isi pekerjaan

yang disebut faktor pemuas (satisfiers). Faktor-faktor pemuas tersebut

adalah seperti prestasi, pengakuan, pekerjaan itu sendiri, tanggung

jawab, kemajuan-kemajuan, pertumbuhan dan perkembangan pribadi.

Faktor-faktor yang menghantar ketidakpuasan kerja yaitu sejumlah

kondisi ekstrinsik pekerjaan (extrinsic job conditions) yang apabila

kondisi itu tidak ada, menyebabkan ketidakpuasan diantara para tenaga


36

kerja. Kondisi ini disebut dengan dissatisfiers atau hygiene factors.

Namun, keberadaan faktor tersebut hanya menciptakan suatu keadaan

berupa “ketidakpuasan nol“ atau bersifat netral faktor tersebut meliputi :

kualitas supervisor, gaji, kebijakan perusahaan, kondisi kerja, hubungan

antar pribadi, keamanan bekerja.

6. Teori Pengharapan (Expectancy Theory)

Teori pengharapan dikembangkan oleh K. Levin dan E. Tolman

sejak tahun 1930-an. Menurut teori pengharapan, kekuatan dari suatu

kecenderungan untuk bertindak dengan suatu cara tertentu bergantung

pada kekuatan dari suatu pengharapan bahwa tindakan itu akan diikuti

oleh suatu keluaran tertentu dan pada daya tarik itu akan diikuti oleh

suatu keluaran bagi individu tersebut (Robbins, 2001). Adapun

komponen-komponen penting yang harus diperhatikan yaitu:

a. Pengharapan pengharapan merupakan kekuatan keyakinan pada

suatu perlakuan yang diikuti dengan hasil khusus. Tingkat

pengharapan bervariasi antara 0 sampai 1. Jika seseorang merasa

yakin bahwa ia mampu menyelesaikan tugas dengan baik berarti

pengharapannnya 1, sedangkan jika seseorang merasa tidak mungkin

mampu menyelesaikan tugas dengan baik sekalipun dengan kerja

keras, maka pengharapannya 0.

b. Instrumentalitas berkaitan dengan hubungan antara hasil tingkat

pertama (hasil dari usaha seseorang dalam melakukan pekerjaan

seperti kuantitas produksi yang dihasilkan, kualitas produksi,


37

produktivitas secara umum) dengan hasil tingkat kedua (tujuan akhir

dari prestasi, meliputi upah, promosi, penghargaan dan imbalan

lainnya). Instrumentalitas mempunyai nilai antara –1 sampai dengan

+1. Instrumentalitas +1 berarti hasil tingkat pertama selalu mengarah

kepada hasil tingkat kedua. Sedangkan –1 berarti tidak ada hubungan

antara hasil keduanya.

c. Valensi berkaitan dengan kadar kekuatan, keinginan seseorang

terhadap hasil tertentu. Valensi bisa bernilai positif atau negatif.

Valensi positif berarti hasil tersebut disenangi (tenaga kerja akan

senang jika ada kenaikan upah) dan valensi bernilai negatif jika hasil

tesebut tidak disenangi atau dihindari (pemimpin tidak menginginkan

adanya kenaikan upah tenaga kerja).

Sehingga, dari penjelasan keenam teori kepuasan di atas peneliti

menentukan bahwa teori yang paling sesuai dengan penelitian ini adalah teori

dua faktor- Herzberg. Karena menurut Herbert dalam As’ad (2005), teori dua

faktor merupakan pilihan yang tepat untuk mencari aspek–aspek pekerjaan

yang merupakan sumber kepuasan atau ketidakpuasan tenaga kerja disuatu

tempat kerja. Dengan melihat kedua faktor tersebut diketahui faktor

ketidakpuasan (hygiene factors) dari tenaga kerja hanya dapat dikurangi atau

dihilangkan oleh pihak manajemen namun tidak dapat menyebabkan tenaga

kerja dapat mencapai kepuasan. Dan faktor motivator dapat manajemen

berikan untuk meningkatkan kepuasan tenaga kerja.

Anda mungkin juga menyukai