Anda di halaman 1dari 32

L.

O 1 MM Anatomi dan Fisiologi Jaras Nyeri


1.1 Anatomi
Sistem saraf manusia mengandung lebih dari 1010 saraf atau neuron. Neuron merupakan
unit structural dan fungsional system saraf. Sel saraf terdiri dari badan sel yang di dalamnya
mempunyai inti sel, nukleus, mitokondria, retikulum endoplasma, dadan golgi, di luarnya
banyak terdapat dendrit, kemudian bagian yang menjulur yang menempel pada badan sel
yang di sebut akson. Dendrit menyediakan daerah yang luas untuk hubungan dengan neuron
lainnya. Dendrit adalah serabut aferen karena menerima sinyal dari neuron-neuron lain dan
meneruskannya ke badan sel. Pada akson terdapat selubung mielin, nodus ranvier, inti sel
Schwan, butiran neurotransmiter 

Akson dengan cabang-cabangnya (kolateral), adalah serabut eferen karena membawa


sinyal ke saraf-saraf otot dan sel-sel kelenjar. Akson akan berakhir pada terminal saraf yang
berisi vesikel-vesikel yang mengandung neurotransmitter. Terminal inilah yang berhubungan
dengan badan sel, dendrit atau akson neuron berikutya.

a. Neuroanatomi sentuhan ringan dan tekanan


Nama jalan: Tractus Spinothalamicus Anterior
a. Pada medulla spinalis:
 Axon dari neuron orde pertama (ganglion spinalis) memasuki ujung cornu
posterior medulla spinalis dan bercabang dua : serabut yang naik dan serabut yang
turun. Sesudah memasuki satu atau dua segmen medulla spinalis membentuk
Tractus posterolateral (Lissaueri). Lalu bersinaps dengan neuron orde kedua yang
terletak pada kelompok sel substantia gelatinosa cornu posterior substansia
grissea.
 Axon dari neuron orde ke dua jalan menyilang pada comissura anterior substansia
grissea dan substansia alba, kemudian naik keatas pada sisi anterolateral
substantia alba sebagai tractus neurospinotalamicus anterior. 
b. Pada medulla oblongata : pada medulla oblongata tractus tersebut jalan beriringan
dengan tractus spinotalamicus lateralis dan tractus spinotectalis, semuanya disebut
Lesminicus Spinalis.
b. Pada pons, mesencephalon dan diencephalon : beriringan dengan Lemniscus medialis
untuk akhirnya bersinaps pada neuron orde ketiga yaitu nucleus posterolateral dari
kelompok ventral thalamus (bagian kelompok nuclei lateralis thalamus) 🡪 disini tekanan
dan sentuhan mulai diinterpretasikan.
b. Pada cortex cerebri : axon dari neuron orde ketiga jalan memasuki crus posterior interna
dan corona radiata berakhir pada gyrus poscentralis (area brodmann 3,2,1) 🡪 menafsirkan
sensasi sentuhan dan tekanan sehingga timbul kesadaran akan sensasi tersebut.
(Stephen, 2007)
b. Neuroanatomi sensasi sakit dan suhu
Nama jalan: Tractus Spinothalamicus Lateralis
a. Pada medulla spinalis:
 Axon dari neuron orde pertama (ganglion spinalis) memasuki ujung cornu
posterior substansia grissea medulla spinalis dan segera bercabang dua: serabut
yang naik dan serabut yang turun. Sesudah memasuki satu atau dua segmen
medulla spinalis membentuk tractus posterolateral (Lissaueri). Lalu bersinaps
dengan neuron orde kedua yang terletak pada kelompok sel substantia gelatinosa
pada cornu posterior. (Jurnalis, 2009)
 Axon dari neuron orde ke dua jalan menyilang pada comissura anterior substansia
grissea dan substansia alba, kemudian naik keatas pada sisi kontralateral sebagai
tractus neurospinotalamicus lateralis. 
b. Pada medulla oblongata : pada medulla oblongata tractus tersebut terletak pada
dataran lateral antara nucleus olivarius inferius dengan nucleus tractus spinalis N.
Trigeminus. Disini bergabung dengan: tractus spinotalamicus anterius, tractus
spinotectalis. Ketiga tractus tersebut disebut Lemnicus Spinalis.
b. Pada pons : lemniscus spinalis naik keatas dibagian belakang pons.
b. Pada mesencephalon: lemniscus spinalis jalan pada tegmentum, lateralis dari lemniscus
medialis.
b. Pada diencephalon : serabut saraf tractus spinotalamicus lateralis akan bersinaps dengan
neuron orde ketiga yaitu nucleus posterolateral dari kelompok ventral thalamus (bagian
dari nucleus lateralis thalamus) 🡪 disinilah terjadi penilaian kadar sensasi sakit dan suhu
juga reaksi emosi mulai timbul.
Pada cortex cerebri : axon dari neuron orde ketiga jalan memasuki crus posterior interna dan
corona radiata berakhir pada gyrus poscentralis (area brodmann 3,2,1) 🡪 menafsirkan suhu dan
sakit sehingga timbul kesadaran akan sensasi tersebut. (Price, 2006)
1.2 Fisiologi
Pembagian secara fisiologisSewaktu memasuki medulla spinalis, sinyal rasa nyeri melewati dua
jalur ke otak yaitu:
A. Traktus neospinotalamikus 
Traktus neospinotalamisu berfungsi utnuk menyalurkan nyeri secara cepat. Terutama
terdiri atas serabut A-Delta yang tyerutama dilalui oleh rasa nyeri mekanik dan nyeri
suhu akut. Serabut perifer jalur ini berakhir pada lamina I kornu dorsalis. Dan dari sini
akan merangsang neuron orde dua dari tractus neospinotalamicus. Neuron ini akan
mengirimkan sinyal ke serabut panjang yang terletak di dekat sisi lain medulla spinalis
dalam komisura anterior dan selanjutnya berbelok naik ke otak dalam kolumna
anterolateralis.
 Hanya sebagian kecil saja serabut neopinotalamikus berakhir di daerah retikularis
batang otak, sisaya melewati batang otak dan langsung berakir di kompleks
ventrobasal thalami.
 Nyeri cepat dapat dilokalisasi dengan mudah di dalam tubuh
 Neurotransmiter A delta umumnya adalah glutamate
B. Traktus paleospinotalamikus
Jalur ini befungsi untuk menjalarkan nyeri lambat-kronik , sebagian serabutnya adalah
tipe C, sebagian kecil A-delta. Dalam jaras ini, serabut-serabut perifer berakhri pada
lamina II dan II kornu dorsalis yang secara bersama-sama disebut substansi gelatinosa,
serabut C terletak lebih lateral dari A-delta. Setelah itu akan berlanjut ke lamina V dan
neuron-neuronnya merangsang akson-akson panjang (yang juga menjadi penghantar
nyeri cepat) yang mula-mula melewati komisura anterior ke sisi berlawanan dari medulla
spinalis, kemudian naik ke otak melalui jaras anterolateral Neotransmiter nya adalah
glutamat dan Substansi P, substansi P bersifat lebih lambat dari Glutamat yang
memungkinkan glutamat untuk sampai terlebih dahulu. Yang menjelaskan suatu
fenomena rasa sakit “ganda”Jaras paleospinotalamikus berakhir kebanyakan di
a. Nucleus retikularis medula, pons dan mesensefalon
b. Area tektal mesensefalon sampai kolukulus usperior dan inferior
c. Daerah periakuaduktus substansia grisea yang mengelilingi aquaductus sylvii. 

Kemampuan lokalisasi rasa nyeri pada jalur lambat sangatlah buruk dan kebanyakan
hanya dapat dilokalisasi di bagian tubuh yang luas. Formasio retikularis berfungsi untuk
menimbulkan persepsio nyeri yang disadari.

Mekanisme penghantaran nyeriFisiologi nyeri melalui proses-proses berikut


1. Proses Transduksi (Transduction)
Proses transduksi merupakan proses dimana suatu stimuli nyeri diubah menjadi suatu
aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf. Stimuli ini dapat berupa stimuli fisik
(tekanan), suhu (panas) atau kimia (substansi nyeri). Transduksi rasa sakit dimulai ketika
ujung saraf bebas (nociceptors) dari serat C dan serat A delta neuron aferen primer
menanggapi rangsangan berbahaya. Nosiseptors terkena rangsangan berbahaya ketika
kerusakan jaringan dan inflamasi terjadi sebagai akibat dari, misalnya, trauma, pembedahan,
peradangan, infeksi dan iskemia. Nociceptors didistribusikan pada;
 Struktur Somatik (kulit, otot, jaringan ikat, tulang, sendi)
 Struktur Viseral (organ viseral seperti hati, saluran gastro-intestinal).
 Serat C dan serat A-delta yang terkait dengan kualitas yang berbeda rasa sakit.
Ada tiga kategori rangsangan berbahaya:
 Mekanik (tekanan, pembengkakan, abses, irisan, pertumbuhan Tumor)
 Thermal (membakar, panas);
 Kimia (neurotransmitter rangsang, racun, iskemia, infeksi).
Penyebab stimulasi mungkin internal, seperti tekanan yang diberikan oleh tumor atau eksternal,
misalnya, terbakar. Stimulasi ini menyebabkan pelepasan mediator kimia berbahaya dari sel-sel
yang rusak, termasuk: prostaglandin, bradikinin, serotonin, substansi P, kalium, histamin.
Mediator kimia ini mengaktifkan nosiseptor terhadap rangsangan berbahaya. Dengan maksud
memperbaiki rasa nyeri, pertukaran ion natrium dan kalium (depolarisasi dan repolarisasi) terjadi
pada membran sel. Hal ini menghasilkan suatu potensial aksi dan generasi dari sebuah impuls
nyeri.
2. Proses Transmisi ( Trasmision)
Proses tranmisi dimaksudkan sebagai penyaluran impuls melalui saraf sensoris menyusul proses
transduksi. Impuls ini akan disalurkan oleh serabut saraf A delta dan serabut C sebagai neuron
pertama, dari perifer ke medulla spinalis dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum
diteruskan ke thalamus oleh traktus sphinotalamikus sebagai neuron kedua. Dari thalamus
selanjutnya impuls disalurkan ke daerah somato sensoris di korteks serebri melalui neuron
ketiga, dimana impuls tersebut diterjemahkan dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.
3. Proses Modulasi (Modulation)
Proses modulasi adalah proses dimana terjadi interaksi antara sistem analgesik endogen yang
dihasilkan oleh tubuh pada saat nyeri masuk ke kornu posterior medula spinalis. Proses acendern
ini di kontrol oleh otak. Sistem analgesik endogen ini meliputi enkefalin, endorfin, serotonin, dan
noradrenalin memiliki efek yang dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla
spinalis. Kornu posterior ini dapat diibaratkan sebagai pintu yang dapat tertutup atau terbukanya
pintu nyeri tersebut diperankan oleh sistem analgesik endogen tersebut di atas. Proses modulasi
inilah yang menyebabkan persepsi nyeri menjadi sangat subyektif pada setiap orang. Suatu jaras
tertentu telah diternukan di sistem saran pusat yang secara selektif menghambat transmisi nyeri
di medulla spinalis. Jaras ini diaktifkan oleh stress atau obat analgetika seperti morfin
(Dewanto).
4. Persepsi
Persepsi merupakan titik kesadaran seseorang terhadap nyeri. Pada saat individu menjadi sadar
akan nyeri, maka akan terjadi reaksi yang kompleks.
a. Korteks somatosensori: Ini adalah terlibat dengan persepsi dan interpretasi dari sensasi. Ini
mengidentifikasi intensitas, jenis dan lokasi sensasi rasa sakit dan sensasi yang berkaitan dengan
pengalaman m kognitif. Ini mengidentifikasi sifat stimulus sebelum memicu respons, misalnya,
di mana rasa sakit itu, seberapa kuat itu dan bagaimana rasanya.
b. Sistem limbik: Hal ini bertanggung jawab untuk respon emosi dan perilaku terhadap rasa sakit
misalnya, perhatian, suasana hati, dan motivasi, dan juga dengan pengolahan rasa sakit,dan
pengalaman masa lalu rasa sakit.asa lalu, memori dan aktivitas
RESEPTOR NYERI
Aferen primer mencakup serat A-alfa dan A-beta yang besar dan bermielen serta
membawa impuls yang besar dan tidak bermielin (tidak diperlihatkan) serta membawa impuls
yang memperantarai sentuhan, tekanan, dan propriosepsi dan serat A-delta yang kecil bermielin
dan serat C yang tidak bermielin, yang membawa impuls nyeri. Aferen-aferen primer ini
menyatu di sel-sel kornu dorsalis medulla spinalis, masuk ke zona lissauer, serat pascaganglion
simpatis adalah serat eferen dan terdiri dari serat-serat C tidak bermielin.

SENSITISASI NOSISEPTOR DI DAERAH CEDERA JARINGAN


Pengaktifan langsung dengan tekanan intensif yang menyebabkan kerusakan sel.
Kerusakan sel menyebabkan dibebaskannya kalium (K) intra sel dan sintesis prostaglandin
(PgG) dan bradikinin (BK. Prostaglandin meningkatkan sensitivitas reseptor nyeri bradikinin,
yaitu zat kimia penghsil nyeri yang paling kuat.Apapun bentuknya, pada nantinya hal tersebut
akan menyebabkan perubahan permeabilitas neurong sehingga dapat   terjadi suatu potensial aksi
dengan perpindahan ion-ion yang timbul.

LO 2 MM Nyeri Kepala
2.1 Definisi
Sakit kepala adalah  rasa sakit atau tidak nyaman antara orbita dengan kepala yang berasal dari
struktur sensitif terhadap rasa sakit. Neurology and neurosurgery illustrated Kenneth). Nyeri
kepala adalah nyeri yang dirasakan di daerah kepala atau merupakan suatu sensasi tidak nyaman
yang dirasakan pada daerah kepala.
2.2 Etiologi

2.3 Epidemiologi
Beban sakit kepala dianggap diremehkan dan ditangani oleh komunitas medis. Tidak seperti
kebanyakan penyakit kronis, kebanyakan morbiditas yang terkait dengan gangguan sakit kepala
difokuskan pada orang muda dan sehat. Prevalensi sakit kepala cenderung memuncak antara usia
25 sampai 40 dan menurun seiring bertambahnya usia pada kedua jenis kelamin. Di Amerika
Serikat, prevalensi pernah mengalami sakit kepala jenis apa pun dalam hidup seseorang
diperkirakan 96%. Wanita cenderung lebih menderita daripada pria akibat gangguan sakit kepala
aktif. Misalnya, prevalensi sakit kepala parah atau migrain adalah 20,7% pada wanita dan 9,7%
pada pria. Masih belum jelas apakah ada perbedaan regional dalam prevalensi sakit kepala.
Perbedaan dalam metode pengumpulan data internasional, kriteria diagnostik, dan karakterisasi
budaya sakit kepala dapat memengaruhi data ini
2.4 Klasifikasi
The International Classification of Headache Disorders (ICHD) mengenali lebih dari 200
gangguan sakit kepala dan membaginya menjadi tiga kelompok, yaitu neuropati kranial primer,
sekunder, dan nyeri. Sistem ICHD bersifat hierarkis dengan beberapa subtipe dalam setiap jenis
sakit kepala utama.
Nyeri kepala primer :
 Migren
 nyeri kepala tension
 nyeri kepala cluster
 nyeri kepala yang tidak berhubungan lesi struktural.
Nyeri kepala sekunder :
 nyeri kepala berhubungan dengan cedera kepala,
 gangguan vaskuler,
 gangguan intrakranial non-vaskuler, infeksi non cephalic,
 gangguan metabolik,
 gangguan tengkorak, leher, mata, hidung, gigi, mulut, atau struktur-struktur wajah
kranium, neuralgia cranialis, nyeri batang syaraf dan nyeri deafness.
2.5 Patofisiologi (fokus ke yg primer)
1. Migrain
Mekanisme munculnya nyeri pada migren belum sepenuhnya dimengerti, ada beberapa teori
yaitu :
a. Teori Vaskular
Berdasarkan teori ini, aura pada migren diperkirakan akibat vasokonstriksi pembuluh
darah intracranial yang menginduksi iskemia jaringan. Selanjutnya terjadi rebound
vasodilatasi dan mengaktifkan saraf nosiseptif perivascular yang akhirnya menyebabkan
nyeri kepala. Tapi teori ini memiliki kelemahan sehingga digantikan oleh teori
neurovascular.
b. Teori Neurovaskular
Menurut teori ini, migren pada awalnya merupakan proses neurogenic yang kemudian
diikuti dengan perubahan perfusi serebral (neuro ke vascular). Pada teori ini dikatakan
orang dengan migren memiliki saraf yang gampang dieksitasi pada korteks serebral
terutama pada daerah oksipital.
c. Cortical Spreading Depression
CSD merupakan gelombak eksitasi neuronal pada substansia grisea yang menyebar dari
satu sisi ke sisi lain otak dengan kecepatan 2-6 mm/menit.
Depolarisasi seluler ini menyebabkan fenomena korteks primer atau biasa disebut dengan
aura. Selanjutnya proses depolarisasi akan menstimulasi aktivasi neuron nosiseptif pada
pembuluh darah dura yang kemudian mengaktifasi saraf trigeminus dan pada akhirnya
menghasilkan nyeri kepala. Aktivasi neuron nosiseptif dilakukan melalui pelepasan
berbagai protein plasma dan substansi yang menstimulus inflamasi seperti calcitonin gene
related peptide (GGRP), substansi P, peptide intestinal vasoaktif, dan neurokinin A.
Proses inflamasi ini kemudian merangsang vasodilatasi dan akan diteruskan ke korteks
sensorik sebagai rasa nyeri yang berdenyut.
Sementara itu, selama proses depolarisasi dilepaskan beberapa neurontransmiter seperti
kalium dan atau asam amino glutamate dari jaringan saraf. Substansi tersebut kemudian
mendepolarisasikan jaringan sekitarnya. Kondisi ini akan semakin merangsang pelepasan
berbagai neurotransmitter tersebut dan menyebabkan semakin luasnya depolarisasi yang
terjadi. Selama penjalaran jaras nyeri dari trigeminovaskular ke korteks sensorik terjadi
sinaps di nucleus salivatorius superior daerah batang otak, sehingga memicu gejala mual
dan muntah. Terdapat pula sinaps di daerah nucleus rafe dorsalis yang jika distimulus
berulang akan menyebabkan penurunan serotonin dan norepinefrin sehingga
menimbulkan gangguan konsentrasi, kognitif, depresi dan ansietas.

2. TTH
Nyeri kepala akibat TTH muncul lebih sering saat pasien terlalu lama dalam posisi kepala
ditekuk kebawah (misalnya pada saat membaca dan menulis), sehingga otot belakang leher akan
tegang. Sementara itu pada pasien yang sering tidur dengan posisi tidak baik, nyeri kepala
muncul akibat mereka sering kali tidur menggunakan bantal yang terlalu tinggi. Hal ini dapat
menyebabkan otot leher belakang akan tertekan lebih kuat.
Kontraksi otot yang terus menerus akan menyebabkan turunnya perfusi darah dan
lepasnya substansi pemicu nyeri (laktat, asam piruvat dsb). Substansi substansi ini kemudian
menstimulasi saraf yang kemudian akan menghasilkan sensasi nyeri pada otot dan ligament yang
dipersarafi. Nyeri ini akan bersifat tumpul. Pada TTH, nyeri muncul pada otot leher belakang di
daerah oksipital. Pada waktu yang bersamaan nyeri akan menjalar melewati sisi kiri dan kanan
kepala atau melewati sisi retroorbital. Oleh karena itu nyeri juga dapat dirasakan pada daerah
daerah tersebut. Sementara itu, pada otot dan ligament yang tidak terlalu banyak mendapat
persarafan, sensasi yang akan dirasakan adalah pegal.
2.6 Manifestasi klinis
Nyeri kepala primer
1. Migren
Terdapat 4 stadium migren sederhana:
 Prodromal
 Aura
Aura merupakan gejala disfungsi serebral fokal yang pulih menyeluruh dalam <
60 menit. Beberapa contoh aura: gangguan visual homonim, parestesia unilateral,
kesemutan atau kelemahan, afasia.
 Nyeri kepala
Nyeri kepala berdenyut unilateral, terutama pada daerah fronto-temporal, dapat
berlangsung dalam hitungan jam-hari. Nyeri terjadi secara bertahap dan lebih
berat pada malam hari. Gejala penyerta diantaranya mual/muntah, fotofobia/
fonofobia, dan aura.
 Postdromal
Gejala prodromal/postdromal berupa perubahan nafsu makan, gejala otonomik,
perubahan mood, serta agitasi/ retardasi psikomotor.

2. TTH
 Ketegangan otot di daerah kulit kepala/leher yang berlangsung dalam hitungan
menit hingga hari. Predileksi nyeri pada daerah frontal bilateral dan nucho-
oksipital. Nyeri bersifat konstan dan seperti diikat. Intensitas nyeri ringan hingga
sedang. TTH seringkali timbul saat atau segera setelah bangun tidur.
 TTH dapat dicetuskan oleh stress, depresi, kekhawatiran, bunyi, kelaparan, dan
kekurangan tidur. Nyeri TTH mereda dengan istirahat. Pasien dapat pula
mengalami insomnia, sulit berkonsentrasi, dan mengeluh sedang dalam keadaan
stres yang akut. Tidak ada stadium prodromal pada TTH.
 Pada pemeriksaan fisis ditemukan tanda-tanda vital dan hasil pemeriksaan
neurologis normal. Nyeri TTH mungkin dapat dirasakan bila daerah otot servikal
atas dipalpasi. Nyeri yang berhubungan dengan fleksi leher dan pergerakan otot
paraservikal. harus dibedakan dengan kekakuan leher yang berhubungan dengan
iritasi meninges.

3. Nuralgia Trigerminal
Gejala
 Nyeri wajah unilateral, terasa seperti tertusuk, dicetuskan dengan mengunyah atau
aktivitas serupa atau menyentuh daerah yang terlibat di wajah.
 Nyeri lima kali lebih sering melibatkan sisi kanan wajah daripada sisi kiri.
 Sindrom pretrigeminal neuralgia: nyeri sinus atau sakit gigi yang berlangsung
berjam-jam yang dicetuskan ketika menggerakan rahang atau minum cairan.
 Nyeri dapat dilokalisasi secara tepat pada pasien. Sebanyak 60% pasien mengeluh
nyeri menusuk dari tepi mulut ke arah sudut rahang, 30% mengalami nyeri dari
bibir atas atau gigi taring ke arah mata dan alis, kurang dari 5% mengalami
keterlibatan cabang oftalmikus.
 Karakteristik nyeri: berat, mendadak, dan menusuk. Diawali dengan sensasi
kejutan listrik dan memberat dalam 20 detik menjadi nyeri yang terasa di dalam
wajah. Awitan nyeri menyebabkan perubahan ekspresi pada wajah pasien.
 Jumlah serangan bervariasi dari < I x/hari hingga ratusan kali per hari. Di antara
serangan biasanya tanpa gejala, tetapi bisa terdapat nyeri tumpul yang bertahan
lama pada beberapa kasus. Sesudah rasa nyeri biasanya terdapat periode refrakter
saat rasa nyeri tidak dapat dipicu.
 Pencetus dan zona nyeri: pasien biasanya menghindari menyentuh atau mencukur
area pencetus. Mengunyah, berbicara, tersenyum, minum, bercukur, menyikat
gigi, menghembus udara lewat hidung, atau menyentuh area pencetus dapat
menyebabkan timbulnya nyeri. Pada beberapa kasus serangan nyeri dapat dipicu
rangsangan somatosensorik di luar area trigeminal, seperti anggota gerak, atau
oleh stimulasi sensorik lainnya, seperti lampu terang, suara keras, atau
pengecapan.
 Nyeri sering membangkitkan spasme otot pada wajah sisi yang terkena (tic
doloureux).
 Neuralgia trigeminal juga umum timbul pada stadium lanjut sklerosis multipel.
Tanda
Pemeriksaan fisik menunjukkan sensasi wajah, kekuatan maseter, dan refleks kornea
yang normal. Tidak ada hilangnya sensasi sensorik kecuali bila pemeriksaan dilakukan
segera setelah serangan terjadi.

4. Cluster Headache
 Nyeri retroorbita yang berlangsung selama 10 menit hingga 2 jam. Serangan ini
dapat terjadi setiap hari selama berminggu-minggu/bulan. Kualitas nyeri konstan
dan seperti ditusuk. Intensitas nyeri berat (hingga dapat membangunkan pasien
dari tidur). Pencetus nyeri adalah cahaya dan konsumsi alkohol. Nyeri mereda
dengan berjalan-jalan santai.
 Gejala penyerta berupa mata merah berair, kongesti nasal atau rinorea, dan
sindrom Horner unilateral (miosis, ptosis parsial, dan anhidrosis).

Terdapat dua bentuk nyeri kepala klaster:


 Nyeri kepala klaster episodik dengan setidaknya 2 fase nyeri kepala yang berlangsung
selama 7 hari hingga 1 tahun yang dipisahkan oleh interval bebas selama 1 bulan atau
lebih.
 Nyeri kepala klaster kronik, dimana nyeri kepala terjadi lebih dari setahun tanpa remisi
atau interval bebas kurang dari 1 bulan.

2.7 Diagnosis
A. Migren
Anamnesis 
Suatu serangan migren dapat menyebabkan sebagian atau seluruh tanda dan gejala, sebagai
berikut: a. Nyeri sedang sampai berat, kebanyakan penderita migren merasakan nyeri hanya pada
satu sisi kepala, hanya sedikit yang merasakan nyeri pada kedua sisi kepala. 
b. Sakit kepala berdenyut atau serasa ditusuk-tusuk. 
c. Rasa nyerinya semakin parah dengan aktivitas fisik. 
d. Saat serangan nyeri kepala penderita tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari. 
e. Disertai mual dengan atau tanpa muntah. 
f. Fotofobia dan atau fonofobia.
Pemeriksaan Fisik 
Pada pemeriksaan fisik, tanda vital dalam batas normal, pemeriksaan neurologis normal.
Temuan-temuan yang abnormal menunjukkan sebab-sebab sekunder, yang memerlukan
pendekatan diagnostik dan terapi yang berbeda
Kriteria diagnosis 
I. Apabila terdapat aura, paling sedikit terdapat dua dari karakteristik di bawah ini: 
•Sekurangnya satu gejala aura menyebar secara bertahap ≥5 menit, dan/atau dua atau lebih gejala
terjadi secara berurutan. 
•Masing-masing gejala aura berlangsung antara 5-60 menit 
•Setidaknya satu gejala aura unilateral 
•Aura disertai dengan, atau diikuti oleh gejala nyeri kepala dalam waktu 60 menit.
II. Migren tanpa Aura 
A. Sekurang-kurangnya terjadi 5 serangan yang memenuhi kriteria B-D 
B. Serangan nyeri kepala berlangsung selama 4 – 72 jam (tidak diobati atau tidak berhasil
diobati). 
C. Nyeri kepala mempunyai sedikitnya dua diantara karakteristik berikut : 
1. Lokasi unilateral 
2. Kualitas berdenyut 
3. Intensitas nyeri sedang atau berat 
4. Keadaan bertambah berat oleh aktivitas fisik atau penderita menghindari aktivitas fisik rutin
(seperti berjalan atau naik tangga). 
D. Selama nyeri kepala disertai salah satu dibawah ini : 
1. Nausea dan atau muntah 
2. Fotofobia dan fonofobia 
E. Tidak ada yang lebih sesuai dengan diagnosis lain dari ICHD-3 dan transient ischemic attack
harus dieksklusi
Pemeriksaan Penunjang 
a. Darah rutin, elektrolit, kadar gula darah, dll (atas indikasi, untuk menyingkirkan penyebab
sekunder) b. CT scan kepala / MRI kepala (untuk menyingkirkan penyebab sekunder)
Neuroimaging diindikasikan pada : 
• Sakit kepala yang pertama atau yang terparah seumur hidup penderita. 
• Perubahan pada frekuensi keparahan atau gambaran klinis pada migren. 
• Pemeriksaan neurologis yang abnormal. 
• Sakit kepala yang progresif atau persisten. 
• Gejala-gejala neurologis yang tidak memenuhi kriteria migren tanpa aura atau hal-hal lain yang
memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. 
• Defisit neurologis yang persisten. 
• Hemikrania yang selalu pada sisi yang sama dan berkaitan dengan gejala-gejala neurologis
yang kontralateral. 
• Respon yang tidak adekuat terhadap terapi rutin. 
• Gejala klinis yang tidak biasa.
Diagnosis Banding 
Tension Type Headache, Nyeri kepala klister, Nyeri kepala servikogenik

B. TTH
Anamnesis 
• Nyeri tersebar secara difus, intensitas nyerinya mulai dari ringan sampai sedang. 
• Waktu berlangsungnya nyeri kepala selama 30 menit hingga 1 minggu penuh. Nyeri timbul
sesaat atau terus menerus. 
• Lokasi nyeri pada awalnya dirasakan pasien pada leher bagian belakang kemudian menjalar ke
kepala bagian belakang selanjutnya menjalar ke bagian depan. Selain itu, nyeri ini juga dapat
menjalar ke bahu. 
• Sifat nyeri kepala dirasakan seperti berat di kepala, pegal, rasa kencang pada daerah bitemporal
dan bioksipital, atau seperti diikat di sekeliling kepala. Nyeri kepalanya tidak berdenyut. 
• Pada nyeri kepala ini tidak disertai mual ataupun muntah. 
• Pada TTH yang kronis biasanya merupakan manifestasi konflik psikologis yang mendasarinya
seperti kecemasan dan depresi.
Pemeriksaan Fisik 
Pemeriksaan fisik umum dan neurologis dalam batas normal
Kriteria Diagnosis 
Kriteria diagnosis TTH Episodik Infrekuen: 
A. Paling tidak terdapat 10 episode serangan dengan rata-rata < 1hr/bln (<12hr/thn), dan
memenuhi kriteria B-D
B. Nyeri kepala berlangsung dari 30 menit sampai 7 hari
C. Nyeri kepala palingtidak terdapat 2 gejala khas:
 Lokalisasi bilateral
 Menekan/mengikat (tidak berdenyut)
 Intensitasnya ringan-sedang
 Tidak diperberat oleh aktivitas rutin seperti berjalan atau naik tangga
D. Tidak didapatkan:
 Mual atau muntah (bisa anoreksia)
 Lebih dari satu keluhan: fotofobia atau fonofobia
E. Tidak ada yang lebih sesuai dengan diagnosis lain dari ICHD-3
Disebut sebagai nyeri kepala TTH Episodik frekuen: bila terjadi sedikitnya 10 episode yang
timbul selama 1–14 hari/bulan selama paling tidak 3 bulan (12– 180 hari/tahun) atau TTH kronik
bila nyeri kepala timbul > 15 hari per bulan, berlangsung > 3 bulan (≥180 hari/tahun). Dapat
disertai/tidak adanya nyeri tekan perikranial (pericranial tenderness) yaitu nyeri tekan pada otot
perikranial (otot frontal, temporal, masseter, pteryangoid, sternokleidomastoid, splenius dan
trapezius) pada waktu palpasi manual, yaitu dengan menekan secara keras dengan gerakan kecil
memutar oleh jari-jari tangan kedua dan ketiga pemeriksa. Hal ini merupakan tanda yang paling
signifikan pada pasien TTH.

Kriteria diagnostik tension type headache kronis:


1. Nyeri kepala dengan frekuensi rata-rata lebih dari 15 hari per bulan selama lebih dari 6 bulan
yang memenuhi kriteria berikut:
2. Setidaknya terdapat 2 karakteristik nyeri berikut:
a. Sifat mengikat/menekan (tidak berdenyut):
b. Intensitas ringan-sedang (menganggu aktivitas, tetapi tidak sampai tidak dapat
beraktivitas);
c. Lokasi bilateral;
d. Tidak diperberat dengan menaiki tangga atau aktivitas normal.
3. Dua hal berikut:
a. Tidak ada muntah;
b. Tidak lebih dari satu gejala berikut: mual, fotofobia. atau fonofobia.
4. Tidak ada gejala atau tanda nyeri kepalasekunder.

Diagnosis Banding 
1. Migren 
2. Nyeri Kepala Klaster 
3. Nyeri kepala penyakit lain: THT, gigi mulut, mata, hipertensi, infeksi, toksik, gangguan
metabolik/elektrolit, anemia, gagal ginjal, gagal hati. 
4. Nyeri kepala servikogenik 
5. Psikosomatis

C. Kluster Type Headache

Anamnesis 
• Nyeri kepala yang hebat, nyeri selalu unilateral di orbita, supraorbita, temporal atau kombinasi
dari tempat-tempat tersebut, berlangsung 15–180 menit dan terjadi dengan frekuensi dari sekali
tiap dua hari sampai 8 kali sehari. 
• Serangan-serangannya disertai satu atau lebih sebagai berikut, semuanya ipsilateral: injeksi
konjungtival, lakrimasi, kongesti nasal, rhinorrhoea, berkeringat di kening dan wajah, miosis,
ptosis, edema palpebra. Selama serangan sebagian besar pasien gelisah atau agitasi.

Pemeriksaan Fisik 
• Pemeriksaan Fisik Umum dan Tanda Vital 
• Penilaian skala nyeri 
• Pemeriksaan Neurologi 
• Fokus: kesadaran, saraf kranialis, motorik, sensorik, otot-otot perikranial

Kriteria Diagnosis 
a. Sekurang-kurangnya terdapat 5 serangan yang memenuhi kriteria b-d. 
b. Nyeri hebat pada daerah orbita, supraorbita dan/atau temporal yang berlangsung antara 15-180
menit jika tidak ditangani. 
c. Nyeri kepala disertai setidaknya satu gejala berikut: 
§ Injeksi konjungtiva dan/atau lakrimasi pada mata ipsilateral 
§ Kongesti nasal dan/atau rhinorrhea ipsilateral 
§ Edema palpebra ipsilateral § Berkeringat pada daerah dahi dan wajah ipsilateral 
§ Miosis dan/atau ptosis ipsilateral 
§ Gelisah atau agitasi § Frekuensi serangan 1-8 kali/hari 
d. Tidak berhubungan dengan kelainan lain 

Catatan; 
Kriteria Diagnosis Nyeri Kepala Klaster Episodik: 
1. Serangan-serangan yang memenuhi kriteria A-E untuk nyeri kepala klaster. 
2. Paling sedikit dua periode klaster yang berlangsung 7–365 hari dan dipisahkan oleh periode
remisi bebas nyeri > 1 bulan. 

Kriteria Diagnosis Nyeri Kepala Klaster Kronis: 


A. Serangan-serangan yang memenuhi kriteria A-E untuk nyeri kepala klaster. 
B. Serangan berulang lebih dari 1 tahun tanpa periode remisi atau dengan periode remisi yang
berlangsung kurang dari 1 bulan.

Pemeriksaan Penunjang 
CT Scan atau MRI Kepala + kontras atas indikasi bila didapatkan defisit neurologi, atau bila
diterapi belum membaik selama 3 bulan serta keluhan makin memberat.
Diagnosis Banding 
1. Migren 
2. Nyeri kepala klaster simptomatik : meningioma paraseler, adenoma kelenjar pituitari,
aneurisma arteri karotis. 
3. Neuralgia trigeminus 
4. Temporal arteritis

D. Neural Trigerminal
Diagnosis neuralgia trigeminal sepenuhnya berdasarkan klinis. Pencitraan dengan CT-scan atau
MRI diindikasikan apabila sulit membedakan neuralgia trigeminal klasik dan simtomatik. MRI
sebagian besar menunjukkan adanya kompresi akar saraf trigeminal oleh pembuluh darah yang
berkelok-kelok atau aberrant vessels pada yang klasik dan tampak lesi structural seperti tumor
pada yang simtomatik.

Kriteria diagnostik 
berdasarkan International Headache
Society (IHS):
A. Serangan nyeri paroksismal beberapa detik sampai 2 menit melibatkan 1 atau lebih
cabang N. Trigeminus dan memenuhi kriteria B dan C.
B. Nyeri paling sedikit memenuhi 1 karakteristik berikut
 Kuat, tajam, superfisial, atau rasa menikam;
 Dipresipitasi dari trigger area atau oleh faktor pencetus;
C. Jenis serangan stereotipik pada tiap individu.
C. Tidak ada defisit neurologis.
C. Tidak berkaitan dengan gangguan lain.

Diagnosis Banding 
Nyeri wajah atipikal
2.8 Tata Laksana
Perawatan sakit kepala primer di unit gawat darurat harus difokuskan pada pengurangan gejala
dan memberikan perawatan suportif. Seringkali, sakit kepala primer berulang, dan tindak lanjut
dengan ahli saraf atau dokter perawatan primer harus direkomendasikan untuk pilihan
manajemen pencegahan dan gagal. Tujuan dari manajemen medis sakit kepala berpusat pada
pencapaian analgesia yang cepat dan tahan lama dengan sedikit atau tanpa efek samping. Sakit
kepala sering kali dikaitkan dengan mual dan muntah, jadi obat harus diberikan secara parenteral
jika memungkinkan. Perawatan juga harus mencakup pengelolaan harapan pasien. Sakit kepala
berulang sering terjadi, dan pasien harus memahami apa yang harus dilakukan untuk sakit kepala
yang berulang di rumah, dan kapan harus kembali ke unit gawat darurat.
Pilihan pengobatan dengan hasil yang menguntungkan meliputi:
Rehidrasi cairan
Cairan IV sendiri belum terbukti mampu meredakan nyeri; namun, rehidrasi penting pada pasien
dengan mual dan muntah yang mungkin tidak dapat mentolerir asupan oral.
Agen antidopaminergik seperti prochlorperazine, chlorpromazine, promethazine, dan
metoclopramide
Obat-obat ini memberikan efek analgesik dan antiemetik. Gejala ekstrapiramidal adalah
kemungkinan efek samping dari obat-obatan ini; ini dapat diobati dengan diphenhydramine, yang
sering diberikan bersamaan dengan metoclopramide.
Parasetamol
Obat ini telah terbukti memberikan bantuan jangka pendek yang baik, tetapi tingkat kekambuhan
tetap tinggi.
NSAID seperti ibuprofen, ketorolac, naproxen, dan diklofenak
Efek analgesik yang sangat baik. Secara umum dapat ditoleransi dengan baik, tetapi hati-hati
harus digunakan pada pasien yang berisiko mengalami perdarahan. Agen ini menghambat
siklooksigenase, sehingga mengurangi fungsi platelet, yang dapat memperburuk perdarahan.
Efek samping dari obat-obatan ini termasuk iritasi GI dan nefrotoksisitas bila digunakan dari
waktu ke waktu.
Triptan seperti sumatriptan
Obat-obatan ini telah terbukti memberikan bantuan jangka panjang yang baik dan sering
digunakan untuk mencegah dan menggugurkan sakit kepala migrain, tetapi profil efek
sampingnya menyebabkan obat ini diresepkan terutama dalam pengaturan rawat jalan di mana
tindak lanjut lebih mudah difasilitasi. Efek samping triptan terutama bersifat vaskular, termasuk
nyeri dada, sesak napas, dan kemerahan. [30] Triptan memiliki bioavailabilitas yang buruk bila
diberikan secara enteral; oleh karena itu lebih disukai pemberian IV atau subkutan.
Kortikosteroid seperti deksametason
Steroid telah terbukti mengurangi kekambuhan sakit kepala, khususnya untuk migrain, yang
berlangsung lebih dari 72 jam. Steroid juga dapat memberikan beberapa analgesia tambahan jika
diberikan dengan metoclopramide, meskipun tidak memadai jika diberikan sendiri.
Sakit kepala cluster mendapat manfaat dari pemberian oksigen aliran tinggi.
Opiat harus dihindari, karena dapat meningkatkan frekuensi kunjungan DE, menurunkan
kemanjuran obat lain, dan membawa beban kecanduan yang tinggi. Jika pasien secara khusus
meminta opiat, penyalahgunaan dan ketergantungan dapat menjadi pertimbangan. Para pasien ini
harus memiliki akses ke konseling dan intervensi yang bertujuan untuk mengatasi
penyalahgunaan dan kecanduan opiat.
Modalitas pengobatan lain yang semakin banyak digunakan di UGD adalah pemberian blok saraf
ganglion sphenopalatina intranasal noninvasif, di mana anestesi lokal topikal diterapkan secara
intranasal melalui aplikator berujung kapas yang panjang. Dalam uji coba tahun 2015 oleh
Schaffer et al., Ditemukan bahwa pasien dengan sakit kepala akut yang tidak disebabkan oleh
patologi sekunder melaporkan sedikitnya 50% penurunan keparahan sakit kepala dengan
pemberian 0,3 mL larutan bupivacaine 0,5% dibandingkan dengan plasebo. Dalam percobaan
lain oleh Binfalah et al., Ditemukan bahwa 70,9% pasien yang menerima 2 mL larutan lidokain
2% dilaporkan bebas sakit kepala setelah 15 menit. Munculnya metode blok saraf sphenopalatine
dari analgesia masih agak baru dan kontroversial, namun tampaknya menjadi pengobatan yang
relatif aman dan efektif untuk kondisi sakit kepala primer serta sindrom nyeri wajah seperti
neuralgia trigeminal.
Pengobatan sakit kepala sekunder tergantung pada identifikasi dan pengobatan patologi yang
mendasari.

2.9 Komplikasi
Komplikasi sakit kepala primer paling sering terjadi akibat hilangnya sementara fungsi
normal yang ditimbulkannya, dan dapat mencakup hilangnya hari kerja dan produktivitas. Salah
satu komplikasi dari pengobatan sakit kepala primer kronis adalah sakit kepala akibat
penggunaan obat yang berlebihan, juga dikenal sebagai sakit kepala rebound. Fenomena ini
terjadi ketika toleransi berkembang terhadap analgesia sakit kepala. Dalam hal ini, sakit kepala
tidak lagi responsif terhadap pengobatan dan memburuk dengan cepat ketika analgesik
dihentikan secara tiba-tiba.

Komplikasi sakit kepala sekunder berkisar dari ringan, cacat sementara, dan
ketidaknyamanan hingga cacat neurologis yang parah dan bahkan kematian. Sangat penting bagi
dokter untuk mempertimbangkan penyebab sekunder sakit kepala melalui survei primer dan
sekunder yang komprehensif untuk memastikan bahwa patologi yang mendasari sakit kepala
pasien dikelola dengan benar, meminimalkan komplikasi dari pengobatan yang terlambat.

2.10 Pencegahan
Terapi Perilaku merupakan pencegahan yang baik pada pasien, mengingat ini adalah
suatu kelainan psikogenik, diharapkan dengan adanya suatu terapi psikologis, pasien dapat
mengenali jika sakit kepalanya mulai timbul dan mulai melakukan perubahan-perubahan sikap
agar sakit kepalanya mereda

2.11 Prognosis
Prognosis sakit kepala primer bervariasi dan tergantung pada subtipe. Sakit kepala primer
sering kambuh dan dengan demikian menimbulkan beban medis yang berat pada pengobatan
darurat dan perawatan primer. Prognosisnya baik, karena sakit kepala primer tidak menyebabkan
kematian atau cacat permanen. Sakit kepala berulang, bagaimanapun, mungkin cukup
menyusahkan untuk menyebabkan kecacatan sementara bagi beberapa penderita. Seorang
spesialis harus menangani sakit kepala semacam itu secara medis. Remisi dari sakit kepala kronis
mungkin terjadi, dan prediktornya sering termasuk penarikan dari obat analgesik, kepatuhan
dengan obat pencegahan, latihan fisik, dan pengurangan stres.
Prognosis sakit kepala sekunder tergantung pada patologi yang mendasari. Banyak
penyebab sakit kepala sekunder adalah kondisi kronis yang membutuhkan penanganan medis
berkelanjutan untuk mengurangi gejala. Beberapa penyebab sakit kepala sekunder sangat
melemahkan atau bahkan fatal. Penatalaksanaan medis dalam kasus ini harus ditujukan pada
resusitasi cepat, meminimalkan efek sistemik, dan memaksimalkan kenyamanan pasien untuk
mencapai hasil terbaik.

LO 3 MM Nyeri Somatoform (gangguan somatisasi, somatoform)


3.1 Definisi
Gangguan somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (sebagai
contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan medis yang
adekuat. Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan penderitaan
emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan pasien untuk berfungsi
di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis gangguan somatoform mencerminkan
penilaian klinisi bahwa faktor psikologis adalah suatu penyumbang besar untuk onset,
keparahan, dan durasi gejala. Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura
yang disadari atau gangguan buatan.
Gangguan somatisasi adalah gangguan dengan karakteristik berbagai keluhan atau gejala
somatic yang tidak dapat dijelaskan secara adekuat dengan menggunakan hasil pemeriksaan fisik
maupun laboratorium. 

3.2 Etiologi dan Faktor Resiko


Gangguan Somatisasi : Substitusi instiktual yang direpresi, pengajaran parental, kondisi rumah
tidak stabil, penyiksaan fisik, penurunan metabolisme lobus frontalis dan hemisfer nondominan,
genetika, regulasi abnormal sitokin.
Gangguan Konversi : Represi konflik intrapsikis bawah sadar dan konversi kecemasan ke dalam
suatu gejala psikis, hipometabolisme hemisfer dominan, hipermetabolisme hemisfer
nondominan, gangguan komunikasi hemisferik.
Hipokondriasis : Mis-interpretasi gejala-gejala tubuh, model belajar sosial, varian gangguan
depresif dan kecemasan, harapan agresif dan permusuhan terhadap orang lain.
Gangguan Dismorfik Tubuh : Melibatkan metabolisme serotonin, pengaruh kulturaldan sosial.
Gangguan Nyeri : Ekspresi simbolik intrapsikis melalui tubuh (aleksitimia), perilaku sakit,
manipulasi untuk mendapat keuntungan hubungan interpersonal, melibatkan serotonin, defisiensi
endorfin.Terdapat faktor psikososial berupa konflik psikologis di bawah sadar yang mempunyai
tujuan tertentu. Pada beberapa kasus ditemukan faktor genetik dalam transmisi gangguan ini.
Selain itu, dihubungkan pula dengan adanya penurunan metabolism (hipometabolisme) suatu zat
tertentu di lobus frontalis dan hemisfer non dominan.

Secara garis besar, faktor-faktor penyebab dikelompokkan sebagai berikut (Nevid dkk, 2005):
a. Faktor-faktor Biologis 
Faktor ini berhubungan dengan kemungkinan pengaruh genetis (biasanya pada gangguan
somatisasi).
b. Faktor Lingkungan Sosial 
Sosialisasi terhadap wanita pada peran yang lebih bergantung, seperti “peran sakit” yang dapat
diekspresikan dalam bentuk gangguan somatoform.
c. Faktor Perilaku
Pada faktor perilaku ini, penyebab ganda yang terlibat adalah:
I. Terbebas dari tanggung jawab yang biasa atau lari atau menghindar dari situasi yang
tidak nyaman atau menyebabkan kecemasan (keuntungan sekunder).
II. Adanya perhatian untuk menampilkan “peran sakit”
III. Perilaku kompulsif yang diasosiasikan dengan hipokondriasis atau gangguan dismorfik
tubuh dapat secara sebagian membebaskan kecemasan yang diasosiasikan dengan
keterpakuan pada kekhawatiran akan kesehatan atau kerusakan fisik yang dipersepsikan.
IV. Faktor Emosi dan Kognitif 
V. Pada faktor penyebab yang berhubungan dengan emosi dan kognitif, penyebab ganda
yang terlibat adalah sebagai berikut:
VI. Salah interpretasi dari perubahan tubuh atau simtom fisik sebagai tanda dari adanya
penyakit serius (hipokondriasis).
VII. Dalam teori Freudian tradisional, energi psikis yang terpotong dari impulsimpuls yang
tidak dapat diterima dikonversikan ke dalam simtom fisik (gangguan konversi).
VIII. Menyalahkan kinerja buruk dari kesehatan yang menurun mungkin merupakan suatu
strategi self-handicaping (hipokondriasis).

3.3 Klasifikasi
Ada lima gangguan somatoform yang spesifik adalah: 
1. Gangguan somatisasi, ditandai oleh banyak keluhan fisik yang mengenai banyak sistem
organ. 
2. Gangguan konversi, ditandai oleh satu atau dua keluhan neurologis. 
2. Hipokondriasis, ditandai oleh fokus gejala yang lebih ringan dan pada kepercayaan
pasien bahwa ia menderita penyakit tertentu. 
2. Gangguan dismorfik tubuh, ditandai oleh kepercayaan palsu atau persepsi yang berlebih-
lebihan bahwa suatu bagian tubuh mengalami cacat. 
2. Gangguan nyeri, ditandai oleh gejala nyeri yang sematamata berhubungan dengan faktor
psikologis atau secara bermakna dieksaserbasi oleh faktor psikologis.
3.3 Diagnosis ( kriteria diagnosis ppdgj dan dsm4)
Ciri utama gangguan ini adalah adanya keluhan keluhan gejala fisik yang berulang ulang disertai
dengan permintaan pemeriksaan medik, meskipun sudah berkali kali terbukti hasilnya negative
dan juga sudah dijelaskan oleh dokternya bahwa tidak ditemukan kelainan yang menjadi dasar
keluhannya. Penderita juga menyangkal dan menolak untuk membahas kemungkinan kaitan
antara keluhan fisiknya dengan problem atau konflik dalam kehidupan yang dialaminya, bahkan
meskipun didapatkan gejala gejala anxietas dan depresi. Tidak adanya saling pengertian antara
dokter dan pasien mengenai kemungkinan penyebab keluhan keluhannya menimbulkan frustasi
dan kekecewaan pada kedua belah pihak.
A. Gangguan Somatisasi
Pedoman diagnostic :
Diagnosis pasti memerlukan semua hal ini :
1. Adanya banyak keluhan fisik yang bermacam macam yang tidak dapat dijelaskan atas dasar
adanya kelainan fisik, yang sudah berlangsung sedikitnya 2 tahun.
2. Tidak mau menerima nasehat atau penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak ada kelainan
fisik yang dapat menjelaskan keluhan keluhannya.
3. terdapat disabilitas dalam fungsinya di masyarakat dan keluarga yang berkaitan dengan sifat
keluhan keluhannya dan dampak dari perilakunya.

B. Gangguan somatoforom Tak Terinci


Pedoman Diagnostik :
1. Keluhan keluhan fisik bersifat multiple, bervariasi dan menetap akan tetapi gambaran klinis
yang khas dan lengkap dari ganggguan somatisasi tidak terpenuhi.
2. Kemungkinan ada ataupun tidak faktor penyebab psikologis yang belum jelas akan tetapi tidak
boleh ada penyebab fisik dari keluhan keluhannnya.

C. Gangguan Hipokondrik
Pedoman Diagnostik :
1. Keyakinan yang menetap adanya sekurang kurangnya satu penyakit fisik yang serius yang
melandasi keluhan keluhannya meskipun pemeriksaan yang berulang ulang tidak menunjang
adanya alas an fisik yang memadai ataupun adanya preokupasi yang menetap. Kemungkinan
deformitas atau perubahan bentuk penampakan fisiknya (tidak sampai waham).
2. Tidak mau menerima nasehat atau dukungan penjelasan dari beberapa dokter bahwa tidak
ditemukan penyakit atau abnormalitas fisik yang melandasi keluhan keluhannya.

D. Disfungsi Otonomik Somatoform.


Pedoman Diagnostik :
1. Adanya gejala gejala bangkitan otonomik seperti palpitasi, berkeringat, tremor, muka panas /
flushing, yang menetap dan mengganggu.
2. gejala subjektif tambahan mengacu pada system atau organ tertentu (gejala tidak khas.)
3. Preokupasi dengan dan penderitaan (distress) mengenai kemungkinan adanya gangguan yang
serius (sering tidak begitu khas) dari system atau organ tertentu yang tidak terpengaruh oleh hasil
pemeriksaan pemeriksaan berulang, maupun penjelasan penjelasan dari para dokter.
4. Tidak terbukti adanya gangguan yang cukup berarti pada struktur / fungsi dari system atau
organ yang dimaksud
Karakter kelima: F45.30 = Jantung dan sistem kardiovaskuler
F45.31 = Saluran pencernaan bagian atas
F45.32 = Saluran pencernaan bagian bawah
F45.38 = Sistem pernapasan F45.34 = Sistem genito-urinaria
F45.38 = Sistem atau organ lainnya

E. Gangguan nyeri Somatoform Menetap


Pedoman diagnostic :
1. Keluhan utama adalah nyeri berat, menyiksa dan menetap, yang tidak dapat dijelaskan
sepenuhnya atas dasar proses fisiologik maupun adanya gangguan fisik.
2. Nyeri timbul dalam hubungan dengan adanya konflik emosional atau problem psikososial
yang cukup jelas untuk dapat dijadikan alas an dalam mempengaruhi terjadinya gangguan
tersebut.
3. Dampaknya adalah meningkatnya perhatian dan dukungan baik personal maupun medis untuk
yang bersangkutan.

F. Gangguan Somatoform Lainnya


Pedoman Diagnostik :
1. Pada gangguan ini keluhan keluhannya tidak melalui system saraf otonom dan terbatas secara
spesifik pada bagian tubuh atau system tertentu. Ini sangat berbeda dengan gangguan somatisasi
dan gangguan somatoform tak terinci yang menunjukan keluhan yang banyak dan berganti ganti.
2. Tidak ada kaitan dengan adanya kerusakan jaringan.
3. Gangguan gangguan berikut juga dimasukan dalam kelompok ini :
a. Globus hystericus (perasaan ada benjolan di kerongkongan)
b. Tortikolis psikogenik dan gangguan Gerakan spasmodic lainnya (kecuali sindro Tourette)
c. Pruritus Psikogenik
d. Dismenore Psikogenik
e. Teeth Grinding
3.4 Tata Laksana (farmakokinetik, psikosuportif)
I. Terapi untuk Gangguan Somatoform 
Kebijakan klinis menyarankan pendekatan halus dan suportif seraya  memberikan
penghargaan kepada pasien atas setiap perbaikan kondisi sekecil apa pun yang berhasil
dicapai (Simon, 1998). 

Orang-orang yang menderita gangguan somatoform jauh lebih sering datang ke dokter
dibanding ke psikiater atau psikolog karena mereka menganggap masalah berkait dengan
kondisi fisik. Para pasien tersebut menganggap rujukan dokter ke psikolog atau psikiater
sebagai tanda bahwa dokter menganggap penyakit mereka “terletak di kepala”; sehingga
mereka tidak merasa senang dirujuk ke “ahli jiwa”. Mereka menguji kesabaran dokter
mereka, yang sering kali meresepkan berbagai macam obat atau penanganan medis
dengan harapan akan menyembuhkan keluhan somatik tersebut. 

Penyembuhan dengan berbicara yang menjadi dasar psikoanalisis dilandasi oleh asumsi
bahwa suatu represif masif telah memaksa energi psikis diubah menjadi anestesia atau
kelumpuhan yang membingungkan. Namun demikian, psikoanalisis tradisional dengan
terapi jangka panjang dan psikoterapi yang berorientasi psikoanalisis tidak menunjukkan
hasil yang bermanfaat bagi gangguan konversi, kecuali mungkin mengurangi
kekhawatiran pasien atas penyakitnya. Penanganan psikodinamika jangka pendek dapat
menjadi efektif untuk menghilangkan simtom-simtom gangguan somatoform
(JunkertTress, 2001). 

Pasien somatoform sering menderita kecemasan dan depresi. Dengan menangani


kecemasan dan depresi sering kali mengurangi kekhawatiran somatoform. Pada kasus
komorbiditas antara ganguan obsesif kompulsif dan gangguan somatoform tertentu,
seperti hipokondriasis dan gangguan dismorfik tubuh memiliki penanganan pilihan untuk
ganguan kompulsif-pemaparan dan pencegahan respons-dapat menjadi efektif untuk
gangguan somatoform tersebut. Terapis perlu memperhitungkan untuk memastikan
pasien tidak kehilangan muka ketika gangguan tersebut tidak lagi dialaminya. Terapis
harus mempertimbangkan kemungkinan pasien merasa dipermalukan ketika kondisinya
menjadi lebih baik melalui penanganan yang tidak berkaitan dengan masalah medis
(fisik). 

 Terapi untuk gangguan somatisasi 


 Pemaparan atau terapi kognitif dapat digunakan untuk mengatasi ketakutan,
berkurangnya rasa takut dapat membantu mengurangi berbagai keluhan somatik. 
 Terapi keluarga, membantu pasien dan keluarga mengubah jaringan hubungan yang
bertujuan untuk membantu usahanya menjadi lebih mandiri. 
 Training asersi dan keterampilan sosial, bermanfaat untuk membantunya manguasai
atau menguasai kembali, berbagai cara untuk berhubungan dengan orang lain dan
mengatasi berbagai tantangan tanpa harus mengatakan “Saya seorang yang malang,
lemah, dan sakit.” 
 Dokter tidak menghindari validitas keluhan-keluhan fisik, namun meminimalkan
penggunaan berbagai tes diagnostik dan pemberian obat, mempertahankan kontak
dengan pasien. Teknik-teknik seperti training relaksasi dan berbagai bentuk terapi
kognitif juga terbukti bermanfaat. Biofeedback, yang mencangkup pengendalian atas
proses-proses fisiologis telah terbukti efektif dalam mengurangi berbagai pikiran
yang merusak pada para pasien yang menderita gangguan somatoformbahkan lebih
efektif dibanding teknik relaksasi. 

 Terapi utuk hipokondriasis 


 Pendekatan kognitif behavioral. Penelitian menunjukkan bahwa para pasien
hipokondrial menunjukkan penyimpanan kognitif dengan menganggap masalah
kesehatan yang muncul sebagai suatu ancaman. Terapi kognitif-behavioral dapat
ditujukan untuk merestrukturisasi pemikiran pesimistik semacam itu.  
 Penanganan dapat mencangkup beberapa strategi seperti mengarahkan perhatian
selektif pasien ke simtom-simtom fisik dan tidak mendorong pasien mencari
kepastian medis bahwa ia tidak sakit. 

 Terapi untuk rasa nyeri 


 Nyeri mengandung dua komponen, yaitu nyeri psikogenik dan nyeri yang benarbenar
disebabkan factor medis, seperti cedera jaringan otot. Penanganan yang efektif
cenderung terdiri dari hal-hal berikut: 
 Melakukan validasi bahwa rasa nyeri memang nyata, dan tidak hanya
dalam pikiran pasien. o Pelatihan relaksasi 
 Menghadiahi pasien karena berperilaku yang tidak sejalan dengan rasa
nyeri (menahan rasa nyeri). 
 Varian terapi psikodinamika jangka pendek, yang disebut terapi tubuh
psikodinamika, efektif untuk mengurangi rasa nyeri dan mempertahankannya dalam
jangka waktu lama. 
 Dosis rendah obat antidepresan, terutama imipramine, lebih tinggi manfaatnya
dibandingkan placebo untuk mengurangi rasa nyeri dan distress kronis. Obatobatan
tersebut tidak menghilangkan depresi terkait. 
II. Medikamentosa 
Golongan Mekanisme Kerja Contoh
Anti depresan trisiklik Menghambat reuptake Amitriptilin, imipramin,
5-HT/NE secara tidak desipramin, nortriptilin,
selektif klomipramin
SSRIs (selective Menghambat secara Fluoksetin, paroksetin,
serotonin selektif reuptake 5-HT sertralin, fluvoksamin
reuptake inhibitors)
Mixed DA/NE reuptake Menghambat reuptake Trazodon, nefazodon,
Inhibitor DA/NE secara tidak selektif mirtazapin, bupropion,
maprotilin, venlafaksin
MAO inhibitors Menghambat aktivitas  Phenelzine, tranylcypromine
enzim MAO

 Dosis
 Depresi ringan sampai dengan sedang 25 mg 1-3 x sehari atau 25-75 mg 1 x sehari
tergantung  dari beratnya gejala.
 Depresi berat 25 mg 3 x sehari atau 75 mg 1 x sehari. Maksimal: 150 mg/hari dalam dosis
tunggal atau terbagi.
 Lansia Awal 10 mg 3 x sehari atau 25 mg 1 x sehari. Bila perlu tingkatkan bertahap
sampai 25 mg 3 x sehari atau 75 mg 1 x sehari.

 Efek Samping
Reaksi SSP, antikolinergik ringan, sinus takikardi, hipotensi pustural, reaksi alergi pada kulit,
kejang, aritmia, gangguan hantaran jantung, alveolitis alergi, hepatitis.

 Kontraindikasi 
 Epilepsi atau ambang rangsang lebih rendah, intoksikasi akut oleh alkohol, gangguan
hantaran jantung, glaukoma sudut sempit, retensi urin, hepatitis berat, gangguan ginjal.
 Pengguanaan bersama obat analgesik, hipnotik, atau psikotropik.

Perhatian pada pasien dengan:


*Insufisiensi hati & ginjal, retensi urin, riwayat peningkatan tekanan intra okular, hamil, laktasi,
skizofrenia, gangguan afektik siklik, dapat mengganggu kemampuan mengemudi/menjalankan
mesin.

Rujukan: penanganan pada kasus ini juga membutuhkan dukungan dari berbagai bidang ilmu
misalnya psikiatri, ahli penyakit dalam, keluarga, serta para ulama (bila perlu). (Gunawan, 2007)

3.5 Komplikasi
 Komplikasi iatrogenik akibat prosedur diagnostik invasif / prosedur – prosedur
operasi.
 Ketergantungan pada substansi- substansi pengontrol yang diresepkan.
 Kehidupan yang bergantung pada orang lain.
 Suicide.

3.6 Pencegahan
 Pertama, mulai berolah raga dengan baik dan teratur serta menjaga pola makan dengan
asupan gizi yang seimbang. Hal ini berguna untuk menjaga metabolism tubuh. Sehingga
menjadi prima.
 Kedua, Apabila gangguan serangan cemas akan rasa sakit menyerang, katakan pada diri
anda stop, lalu lakukan relaksi dengan cara mengatur aliran nafas anda.
 Ketiga, Lakukan lah medical check up 1 tahun 1 kali, secara rutin. Dengan harapan dapat
mengetahui kondisi fisikyang sebenarnya (membuat anda tenang), dan melakukan langkah
pencegahan jika ditemukan penyakit dalam diri.

3.7 Prognosis
Prognosis pada gangguan somatoform sangat bervariasi, tergantung umur pasien dan sifat
gangguannya (kronik atau episodik). Umumnya, gangguan somatoform prognosisnya baik,
dapatditangani secara sempurna. Sangat sedikit sekali yang mengalami eksarsebasi, dapat
bervariasi dari mild-severe dan kronis. Pengobatan yang lebih awal dan menjadikan prognosis
menjadilebih baik. Secara independen tidak meningkatkan risiko kematian. Kematian lebih
disebabkan karena upaya bunuh diri.

LO 4 MM Cara Membina Keluarga Sakinah, Mawadah, Warohmah


Kata “Sakinah”. Sakinah merupakan pondasi dari bangunan rumah tangga yang sangat penting.
Tanpanya, tiada mawaddah dan warahmah. Sakinah itu meliputi kejujuran, pondasi iman dan
taqwa kepada Allah SWT. 

Dalam Al Qur’an pun dikatakan bahwa suatu saat, akan banyak orang yang saling berkasih
sayang di dunia, tetapi di akhirat kelak mereka akan bermusuhan, menyalahkan dan saling
melempar tanggung jawab. Kecuali orang-orang yang berkasih sayang dilandasi dengan cinta
kepada Allah SWT. Kata adalah mawaddah. Mawaddah itu berupa kasih sayang. Setiap mahluk
Allah kiranya diberikan sifat ini, mulai dari hewan sampai manusia. Dalam konteks pernikahan,
contoh mawaddah itu berupa “kejutan” suami untuk istrinya, begitu pun sebaliknya. Misalnya
suatu waktu si suami bangun pagi-pagi sekali, membereskan rumah, menyiapkan sarapan untuk
anak-anaknya. Dan ketika si istri bangun, hal tersebut merupakan kejutan yang luar biasa.

Kata terakhir adalah warahmah. Warahmah ini hubungannya dengan kewajiban. Kewajiban
seorang suami menafkahi istri dan anak-anaknya, mendidik, dan memberikan contoh yang baik.
Kewajiban seorang istri untuk mena’ati suaminya. Intinya warahmah ini kaitannya dengan segala
kewajiban.

Anda mungkin juga menyukai