A. LATAR BELAKANG
1. KASUS
Indonesia dalam peta wabah demam berdarah dengue (DBD) ada di
posisi yang memprihatinkan. Dalam jumlah angka kesakitan (morbidity rate)
dan kematian (mortality rate) demam berdarah dengue di kawasan Asia
Tenggara, selama kurun waktu 1985-2004, Indonesia berada di urutan
kedua terbesar setelah Thailand.1 Selama tahun 1985-2004 di Indonesia
tercatat angka penderita DBD terendah 10.362 pada tahun 1989 dan
tertinggi 72.133 orang pada tahun 1998. Dengan angka kematian terendah
422 orang pada tahun1999 dan tertinggi 1.527 pada tahun 1988. 2
Saat ini Indonesia menduduki peringkat kedua penderita DBD setelah
Brazil. Bahkan menurut data Kementrian Kesehatan tahun 2009-2011
jumlah kematian akibat DBD di Indonesia mencapai 1.125 kasus. Data
tersebut sekaligus menempatkan Indonesia di Asia Tenggara sebagai
negara tertinggi dalam kasus penyakit DBD. Sedangkan menurut data
Kementrian Kesehatan Indonesia tahun 2013, jumlah penderita DBD di
seluruh 31 provinsi mencapai 48.905 orang, termasuk 376 orang
diantaranya meninggal dunia. Jadi, pada dasarnya DBD adalah penyakit
yang sangat umum di Indonesia.
Dalam Rencana Pembangunan Nasional Jangka Panjang (RPJP)
2005-2025 disebutkan bahwa pembangunan sumber daya manusia
diarahkan untuk terwujudnya manusia Indonesia yang sehat, cerdas,
produktif dan masyarakat yang semakin sejahtera. 3 Penyakit menular yang
menjadi prioritas pembangunan nasional jangka panjang 2005-2025 adalah
malaria, demam berdarah dengue, diare, polio, filaria, kusta, tuberkulosis
paru, HIV/AIDS, pneumonia, dan penyakit lain yang dapat dicegah dengan
imunisasi.4
1
World Health Organization (WHO) South Asia Regional Office, 2004, Situation Of
Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever In The South-East Asia Region: Prevention And Contol
Status In SEA Countries.
2
Ibid.
3
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), 2005a, Rencana Pembangunan Jangka
Panjang 2005-2025, Bappenas, Jakarta.
4
Ibid.
1
Target angka kesakitan DBD secara nasional tahun 2014 sebesar 49
per 100.000 atau lebih rendah. Sampai tahun 2014 di Indonesia tercatat
sebesar 39,83 per 100.000 penduduk yang berarti telah melampaui target
yang ditetapkan. Angka kematian DBD juga mengalami penurunan dimana
pada tahun 1968 angka CFR nya mencapai 41,30%, saat ini menjadi 0,90%
pada tahun 20145
Musim hujan tiba maka perlu diwaspadai adanya genangan-genangan
air yang terjadi pada selokan yang buntu, gorong – gorong yang tidak
lancar serta adanya banjir yang berkepanjangan, perlu diwaspadai adanya
tempat reproduksi atau berkembangbiaknya nyamuk pada genangan –
genangan tersebut sehingga dapat mengakibatkan musim nyamuk telah
tiba pula, itulah kata-kata yang melakat pada saat ini. saatnya kita
melakukan antisipasi adanya musim nyamuk dengan cara pengendalian
nyamuk dengan pendekatan perlakukan sanitasi lingkungan atau non
kimiawi yang tepat sangat diutamakan sebelum dilakukannya pengendalian
secara kimiawi.
Sebagaimana kita ketahui Demam Berdarah Dengue atau disingkat
DBD disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan lewat gigitan
nyamuk Aedes aegiptyatau Aedes albopictus berkelamin betina. Nyamuk
berkaki belang-belang putih ini menggigit manusia di siang hari.
Virus dengue terdiri dari empat jenis (strain), yakni dengue tipe 1, 2, 3
dan 4. Namun tipe yang dominan di Indonesia adalah tipe 3. Virus dengue
menyebabkan gangguan pada pembuluh darah kapiler dan system
pembekuan darah sehingga mengakibatkan perdarahan, dapat
menimbulkan kematian.Biasanya, penyakit demam berdarah mewabah
ketika pergantian musim dari musim penghujan ke musim kemarau atau
sebaliknya.
Gejala penyakit DBD sampai sekarang memang tidak terduga. Namun
secara umum, penyakit ini memiliki ciri seperti panas tinggi, pusing, bahkan
muntah darah. Namun sayangnya, gejala yang sama sering ditemukan
pada penyakit lain. Akibatnya, sampai sekarang sering terjadi salah
diagnosis.
5
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan, 2015, Rencana Aksi
Program Pengendalian Penyakit Dan Penyehatan Lingkungan Tahun 2015-2019, Kementerian
Kesehatan RI, Jakarta.
2
Dalam upaya pengendalian wabah DBD, dibandingkan negara lainnya
di Asia Tenggara, Indonesia termasuk salah satu negara yang masih
mengalami masalah. Indonesia memang sangat jauh tertinggal bila
dibandingkan Singapura, yang sejak awal dekade 1980an dapat dikatakan
telah berhasil memberantas wabah penyakit DBD.6
Penanganan secara cepat wabah penyakit DBD di Indonesia setiap
tahunnya selalu menjadi masalah karena pemerintah dinilai oleh
masyarakat lamban menanganinya. Pemberantasannya dari tahun ke tahun
belum berhasil secara keseluruhan.7
2. RUMUSAN MASALAH
Bagaimana kebijakan Pemerintah Indonesia dalam pemberantasan
penyakit menular, khususnya pada pemberantasan wabah penyakit demam
berdarah dengue (DBD).
B. PEMBAHASAN
1. Sejarah Berkembang dan Masuknya Demam Berdarah Dengue (DBD).
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 949/Menkes/SK/VIII/2004
Tentang Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Luar Biasa
(KLB) mendefinisikan wabah adalah berjangkitnya suatu penyakit menular
dalam masyarakat yang jumlah penderitanya meningkat secara nyata
melebihi daripada keadaan yang lazim pada waktu dan daerah tertentu
serta dapat menimbulkan malapetaka.
Wabah demam berdarah selalu saja terjadi setiap tahun di Indonesia.
Berbagai langkah pencegahan dan penanggulangan serta upaya sosialisasi
juga gencar diadakan sepanjang tahun melalui berbagai media. Namun,
sepertinya hasil yang diharapkan belum terjadi juga. Angka penderita
penyakit demam berdarah masih tetap tinggi di berbagai daerah.
Untungnya jumlah korban yang sampai meninggal bisa ditekan jumlahnya.
Namun itu artinya kegagalan berada di sisi pencegahan.
6
Bang, Yong H. and Robert J. Tonn, 1993, Vector Control and Intervention, Dalam Prasert
Thongcharoen ed., Monograph On Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever, WHO Regional
Publication SEARO, 22:121-138, New Delhi: WHO Regional Office For South-East Asia.
7
Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen
PPM&PL), 2010, Panduan Program Program Peningkatan Peran Serta Masyarakat dalam
Pemberantasan Sarang Nyamuk Demam Berdarah Dengue, Kementerian Kesehatan RI, Jakarta.
3
Kasus demam berdarah di Indonesia pertama kali dilaporkan terjadi di
Jakarta, pada tahun 1969. Tetapi awal kemunculan penyakit DBD ini sendiri
mulai dikenal sejak tahun 1779. Wabah demam berdarah dengue sendiri
berawal di Yunani, Amerika Serikat, Australia dan Jepang pada tahun
1920an. Sejak kemunculannya di 1969 sampai sekarang, penyakit DBD ini
selalu muncul dari musim ke musim.
Penularan Demam Berdarah disebabkan oleh virus dengue yang
menjadi penyebab DBD, dalam penyebarannya virus dengue memerlukan
bantuan nyamuk untuk berpindah ke tubuh manusia. Nyamuk itu sendiri
harus jenis nyamuk belang-belang hitam-putih Aedes dan bukan oleh jenis
nyamuk lainnya. Nyamuk rumah, nyamuk malaria, dan jenis nyamuk lainnya
tidak dapat membawa virus dengue.
Virus dengue berukuran mikron saja. Terbagi menjadi 4 tipe. Ada yang
ganas ada pula yang lebih jinak. Tanpa bantuan nyamuk, virus dengue
tidak perlu ditakuti. Setelah berhasil memasuki tubuh manusia, virus hanya
bertahan hidup tidak lebih dari 12 hari. Sesudah itu mati sendiri. Virus
dengue berasal dari tubuh pasien yang sedang terserang virus dengue.
Kemudian apabila ada nyamuk Aedes yang dua jenis itu menggigit tubuh si
pengidap virus, virus akan bersiklus hidup di dalam tubuh nyamuk.
Nyamuk Aedes Aegypti adalah nyamuk yang gemar hidup di dalam
rumah, dan ada juga Aedes Albopictus, nyamuk belang hitam-putih juga
lebih menyukai tinggal dikebun sekitar rumah. Dua-duanya bisa menjadi
pembawa virus dengue, atau disebut vector. Di Indonesia, Aedes Aegypti
lebih sering sebagai pembawa virus dengue nya dibandingkan Aedes
Albopictus.
Berbeda dengan Aedes Albopictus si nyamuk kebun, nyamuk Aedes
Aegypti lebih menyukai tinggal di ruangan rumah yang sejuk, lembab dan
gelap. Hinggapnya bukan di dinding, melainkan di barang-barang yang
bergelantungan di kamar. Sedangkan nyamuk Aedes Albopictus lebih
menyukai berada di semak kebun sekitar rumah.
Nyamuk demam berdarah bukan tergolong rakus. Ia hanya menggigit
pada jam-jam tertentu saja. Itu pun hanya nyamuk betina yang menggigit.
Darah manusia dibutuhkannya untuk bertelur. Biasanya mereka menyerang
4
pada pagi hari pukul 06.00-09.00 dan sore hari pukul 15.00-17.00. Di luar
jam tersebut, nyamuk betina hinggap di air jernih tergenang untuk bertelur.
Umur nyamuk Aedes hanya 10 hari, paling lama 2-3 minggu. Bertelur
200-400 butir per indukannya. Dia bertelur bukan di air kotor seperti
nyamuk lain, melainkan di air jernih. Bukan pula sembarangan air jernih,
tetapi air jernih yang tergenang tidak terusik. Biasanya di air dalam wadah
(bekas berisi air hujan di pekarangan, talang air, ceruk pohon, atau wadah
penyimpanan air bersih di dalam rumah, seperti tempayan, gentong, vas
bunga, baki penampungan air di alas kulkas).
Penyebaran DBD diperantai oleh nyamuk yang di dalam tubuhnya
sudah bervirus, membawanya ke tubuh orang sehat dengan menggigitnya.
Begitu seterusnya terjadi. Virus dengue berpindah dan berpindah lagi ke
banyak tubuh sehat lainnya melalui gigitan nyamuk bervirus. Hanya nyamuk
Aedes bervirus saja yang bisa menularkan penyakit DBD. Nyamuk Aedes
yang di tubuhnya tidak membawa virus, bukan nyamuk penular DBD. Jarak
terbang nyamuk Aedes bisa mencapai 100 meter. Maka, luas
penyemprotan (fogging) apabila sudah terjangkit kasus DBD, dilakukan
sejauh radius 100 meter dari lokasi pasien DBD.
9
3. Aspek Hukum Pemberantasan Demam Berdarah Dengue (DBD):
Penyakit demam berdarah dengue (DBD) merupakan masalah
kesehatan di Indonesia. Seluruh wilayah di Indonesia mempunyai risiko
untuk terjangkit penyakit DBD, sebab baik virus penyebab maupun nyamuk
vektor penularnya sudah tersebar luas di seluruh Indonesia. Sehingga
tidaklah aneh apabila kita sering kali melihat pemberitaaan di media massa
tentang adanya berita berjangkitnya penyakit DBD di berbagai wilayah
Indonesia hampir di sepanjang waktu dalam satu tahun.
Merebaknya kembali kasus DBD ini menimbulkan reaksi dari berbagai
kalangan. Sebagian menganggap hal ini terjadi karena kurangnya
kesadaran masyarakat akan kebersihan lingkungan & sebagian lagi
menganggap karena pemerintah lambat dalam mengantisipasi & merespon
kasus ini.
Penyakit DBD atau dengue hemorrhagic fever (DHF) ialah penyakit
yang disebabkan oleh virus Dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk
Aedes aegypti & Aedes albopictus. Kedua jenis nyamuk ini terdapat hampir
di seluruh pelosok Indonesia, kecuali di tempat-tempat ketinggian lebih dari
1000 meter di atas permukaan air laut.Penyakit DBD sering salah di-
8
World Health Organization, 2001, Panduan Lengkap Pencegahan dan Pengendalian Dengue dan
Demam Berdarah Dengue, EGC, Jakarta.
9
Aspek Hukum Pemebrantasan Demam Berdarah Dengue. https://hukumkes.wordpress.com .
diakses pada tangga l25 November 2016 Pukul 23.17
8
diagnosis dengan penyakit lain seperti tifoid. Hal ini disebabkan karena
infeksi virus Dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat tanpa atau tidak
jelas gejalanya.
Pasien DBD juga sering menunjukkan gejala batuk, pilek, muntah,
mual, maupun diare, mirip dengan gejala penyakit infeksi lain. Masalah bisa
bertambah karena virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi
penyakit lain. Oleh karena itu diperlukan kejelian pemahaman tentang
perjalanan penyakit infeksi virus dengue, patofisiologi, & ketajaman
pengamatan klinis. Dengan pemeriksaan klinis yang baik & lengkap,
diagnosis DBD serta pemeriksaan penunjang (laboratorium) dapat
membantu terutama bila gejala klinis kurang memadai.
Pemerintah telah melakukan berbagai upaya dalam menanggulangi
munculnya kasus-kasus DBD. Namun, pemerintah tidak dapat
melaksanakan sendiri tanpa peran berbagai pihak untuk melaksanakan
tugasnya. Sehingga salah satu cara untuk memperlancar palaksanaannya
adalah dengan mempergunakan hukum & perundang-undangan seperti
yang terdapat dalam pasal 5 UU no.36/2009 (UU Kesehatan) disebutkan
bahwa “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh
derajat kesehatan”, Dalam pasal 14 disebutkan bahwa bahwa, “Pemerintah
bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan,
membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata
dan terjangkau oleh masyarakat”.Selain itu, sebagai pedoman dalam upaya
untuk memberantas penyakit DBD tersebut telah dikeluarkan beberapa
ketentuan, antara lain:
a. UU No. 4 Tahun 1984 tentang wabah penyakit menular.
b. PP No. 40 Tahun 1991 tentang Penanggulangan Penyakit Menular
c. PP No. 25 Tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah & kewenangan
provinsi sebagai daerah otonom.
d. Kepmenkes no.581 Tahun 1992 tentang pemberantasan penyakit DBD.
e. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1202/Menkes/SK/VIII/2002
tentang Indikator Indonesia Sehat 2010 dirumuskan Indikator KLB DBD.
f. Kepmenkes no.4/2003 tentang kebijakan & strategi desentralisasi
bidang kesehatan.
9
g. Permenkes no.560/1989, tentang jenis penyakit tertentu yang dapat
menimbulkan wabah berikut tatacara penyampaian laporannya &
tatacara penanggulangannya.
h. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 949/Menkes/SK/VIII/2004 Tentang
Pedoman Penyelenggaraan Sistem Kewaspadaan Dini Luar Biasa (KLB)
i. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1501/Menkes/Per/X/2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu Yang
Dapat Menimbulkan Wabah Dan Upaya Penanggulangan
j. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2014
tentang Penanggulangan Penyakit Menular.
k. Keputusan Dirjen PPM & PLP, Depkes RI no.914-1/1992 tentang
petunjuk teknis pemberantasan DBD.
C. PENUTUP
a. Kesimpulan
DBD merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Dengue yang
cukup meresahkan karena tingkat kematian akibat penyakit ini cukup tinggi.
Sampai saat ini, penyakit ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan
masyarakat yang utama. Perlu kewaspadaan yang tinggi terhadap penyakit
DBD terutama pada musim penghujan.Berbagai upaya penanggulangan
telah dilakukan pemerintah untuk mengatasi penyebaran penyakit DBD ini,
begitupula penanganan penderita yang terkena DBD. Namun,
penanggulangan ini tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah tetapi
masyarakat juga mempunyai kewajiban untuk mengatasi kasus ini.
Aturan hukum merupakan salah satu alat untuk menanggulanginya
terutama dalam bentuk perundang-undangan. Peraturan perundangan yang
mengatur penanggulangan kasus DBD ini telah dibuat, mulai dari UU
hingga peraturan pemerintah dan peraturan menteri. Sehingga diharapkan
bisa menjadi dasar dalam setiap melakukan tindakan penanggulangannya.
Selain itu, dalam penanganan penyebaran penyakit DBD di
masyarakat perlu diberikan penyuluhan tentang cara yang paling efektif
untuk mencegah penyakit DBD yaitu pemberantasan sarang nyamuk (PSN)
dengan “3M plus” yang melibatkan seluruh masyarakat serta disesuaikan
dengan kondisi setempat. Strategi dan program-program yang dicanangkan
diarahkan pada gerakan partisipatif masyarakat, namun lebih banyak
bersifat himbauan tanpa didukung oleh penguatan penegakan hukum.
Kegagalan pemberantasan karena paradigma reaktif harus diatasi
dengan mengubah paradigma proaktif. Kebijakan pencegahan dan
penanggulangan wabah penyakit DBD di Indonesia masih lebih banyak
bersifat reaktif yaitu sebagai respon terhadap Kejadian Luar Biasa (KLB)
atau wabah yang sudah terjadi di masyarakat dibanding secara proaktif
yaitu secara tampak nyata melakukan upaya aktif penanggulangan sebelum
KLB atau wabah terjadi. Kebijakan dan program lebih bersifat tanggapan
atas kejadian, itupun lebih banyak didasarakan pada kejadian yang
13
dilaporkan/tercatat. Dari kecenderungan ini, tercermin kecenderungan
upaya kuratif (pengobatan) yang dikedepankan daripada upaya preventif
(promosi kesehatan dan upaya pencegahan penyakit). Umumnya setelah
DBD berjangkit di banyak wilayah dan penderita di RS sudah banyak
jumlahnya, barulah pemerintah berusaha menerapkan secara tegas
kebijakan dan program berkaitan pemberantasan DBD. Selain terkesan
terlamabat, kebijakan dan program yang dilaksanakan terkesan tidak
berorientasi pada antisipasi KLB DBD. Padahal antisipasi dapat dilakukan
dengan memutus rantai perkembangbiakan virus DBD, yaitu memberantas
sarang nyamuk Aedes aegipty secara terus menerus, tidak hanya saat
musim penghujan saja.
Dalam kebijakan penetapan status wabah dan KLB, perlu diwasapadai
kesalahan memperkirakan resiko terlalu kecil (under-estimate risk
perception) apalagi mengingat keterbatasan kemampuan dan sikap mental
pejabat kesehatan di daerah dengan kewenangan otonomi daerah. Sikap
mental disini mengacu pada antisipasi kecenderungan.
b. Saran
1. Peningkatan hubungan struktural antara pemerintah pusat & pemerintah
kabupaten/kota sebagai pelaksana program Demam Berdarah Dengue
(DBD).
2. Peningkatan Penguatan Penegakan Hukum pada strategi dan program
pemberantasan DBD harus diatasi dengan menerapkan secara tegas
aturan hukum pemberantasan wabah penyakit, khususnya penyakit
DBD.
3. Menjadikan Gerakan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) menjadi
gerakan proaktif yang dilakukan sepanjang tahun dengan intensitas
menjelang musim hujan, didukung oleh publikasi ke masyarakat secara
sistematis dan berkesinambungan.
4. Perlu dipertimbangkan perangkat hukum khusus yang mengatur
langsung tentang pemberantasan sarang nyamuk, Untuk hal ini, dan
juga dapat berlaku untuk penegakan aturan hukum di bidang kesehatan
lainnya, dapat diusulkan untuk diadakannya perangkat penegak hukum
14
yang akan berfungsi sebagai “polisi kesehatan” yang mengawasi
pelaksanaan aturan-aturan kesehatan yang telah dibuat.
5. Pengawasan sistem peringatan dini wabah dan KLB seharusnya
dilaksanakan dengan pengawasan pelaksanaan tugas dan wewenang
pejabat kesehatan di tingkat pemerintah pusat dan daerah untuk
memantau sedini mungkin dan setransparan mungkin kemungkinan
berjangkitnya wabah DBD. Agar Kewaspadaan dini wabah penyakit
menular para pejabat kesehatan terkait dapat diandalkan, bagi mereka
perlu ada program pengembangan kapasitas (capacity building) di
bidang persepsi dan penilaian resiko (risk perception & risk assasment)
wabah penyakit menular, khusunya Demam Berdarah Dengue (DBD).
15
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku/ Literatur
Bang, Yong H. and Robert J. Tonn, 1993, Vector Control and Intervention,
Dalam Prasert Thongcharoen ed., Monograph On Dengue/Dengue
Haemorrhagic Fever, WHO Regional Publication SEARO, 22:121-138,
New Delhi: WHO Regional Office For South-East Asia.
World Health Organization (WHO) South Asia Regional Office, 2004, Situation Of
Dengue/Dengue Haemorrhagic Fever In The South-East Asia Region:
Prevention And Contol Status In SEA Countries.
B. Internet
C. Peraturan Perundangan
16
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 82 Tahun 2014 tentang
Penanggulangan Penyakit Menular (Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2014 Nomor 1755).
17