“SEPSIS”
OLEH :
KELOMPOK 9
KELAS A11-A
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa
Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat beliaulah penulis bisa membuat dan
menyelesaikan makalah ini yang berjudul “SEPSIS”.
Besar harapan penulis agar karya tulis ini dapat bermanfaat untuk
meningkatkan penguasaan kompetensi mahasiswa sesuai dengan standar
kompetensi yang diharapkan. Kritik dan saran dari pembaca sangat penulis
harapkan sebagai upaya penyempurnaan makalah ini dimasa mendatang dan
diakhir kata penulis ucapkan terimakasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
JUDUL
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1
1.2 Rumusan Masalah
1. Bagaimanakah konsep dasar pada penyakit Sepsis?
2. Bagaimanakah asuhan keperawatan pada penyakit Sepsis?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui konsep dasar pada penyakit Sepsis.
2. Untuk mengetahui asuhan keperawatan pada penyakit Sepsis.
1.4 Manfaat
Manfaat penulisan yang penulis dapatkan dalam pembuatan makalah ini yaitu
sebagai tenaga kesehatan khususnya perawat wajib mengetahui dan mampu
memahami Konsep Dasar Penyakit Serta Asuhan Keperawatan Pada Penyakit
Sepsis.
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
kesehatan yang tinggi. Insiden sepsis diperkirakan terjadi pada sekitar
1 juta orang di dunia setiap tahunnya, dengan angka mortalitas
mencapai 25%. (Dellinger et al., 2013). Data di Amerika Serikat
menunjukkan bahwa insiden sepsis berat didapatkan sekitar 2% dari
semua pasien yang opname di rumah sakit. Dari semua pasien sepsis
berat tersebut hampir setengahnya dirawat di intensive care unit (ICU)
dan merupakan 10% dari semua pasien yang dirawat di ICU.
Meskipun terdapat perkembangan dalam manajemen pasien
sepsis berat dan syok sepsis, angka mortalitasnya tetap tinggi, sekitar
50% untuk syok sepsis. Studi oleh Lagu et al didapatkan bahwa terjadi
peningkatan kasus sepsis berat dari 415.280 kasus pada 2003 menjadi
711.736 kasus pada 2007 (meningkat 71%). Beban biaya kesehatan untuk
penanganan semua pasien dengan sepsis berat juga meningkat dari 15,4
miliar dolar US pada 2003 menjadi 24,3 miliar dolar US pada 2007
(meningkat 57%). adapun proporsi pasien sepsis berat dengan hanya
satu disfungsi organ menurun dari 51% pada 2003 menjadi 45%
pada 2007 (p < 0,01), sedangkan proporsi pasien dengan tiga atau
empat atau lebih disfungsi organ meningkat 1,19 kali dan 1,51 kali.
(p < 0,01). Pada periode tersebut juga didapatkan bahwa terdapat
penurunan angka mortalitas pasien dengan sepsis berat sebesar 2% tiap
tahunnya (p < 0,01), dengan berkurangnya lama rawat dari 9,9 hari
menjadi 9,2 hari (p < 0,01). Meningkatnya insiden sepsis dihubungkan
dengan bertambahnya populasi usia lanjut dengan komorbid, pasien
immunocompromised, dan tindakan invasif serta meningkatnya
kemampuan untuk mendeteksi sepsis.
Data pelaporan oleh the Canadian Institute for Health
Information (CIHI) pada tahun 2009 menunjukkan insiden rawat inap
sepsis meningkat dari 26,803 kasus pada 2004 -2005 menjadi 30,587
kasus pada 2008-2009, dengan insiden sepsis berat didapatkan sebesar
12.063 kasus (39,4% dari semua kasus rawat inap sepsis). Insiden rawat
inap pada pasien sepsis ini didominasi oleh pasien lanjut usia yang
berusia 60 tahun keatas, dengan angka sebesar 60,6% dari semua rawat
4
inap sepsis pada tahun 2008. Angka mortalitas untuk semua kasus
sepsis pada tahun 2008-2009 didapatkan sebesar 30,5% dengan angka
mortalitas sebesar 45,2% pada pasien dengan sepsis berat dan 20,9%
pada pasien sepsis yang tidak berkembang menjadi berat. Untuk
lama perawatan didapatkan nilai median selama 12 hari untuk semua
kasus sepsis dan 20 hari untuk kasus sepsis berat pada tahun 2008-2009.
C. Etiologi
Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis
dapat disebabkan oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh
jamur). Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada orang
dewasa adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan
Streptococcus pneumonia. Spesies Enterococcus, Klebsiella, dan
Pseudomonas juga sering ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan suatu
interaksi yang kompleks antara efek toksik langsung dari
mikroorganisme penyebab infeksi dan gangguan respons inflamasi
normal dari host terhadap infeksi.
Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70%
kasus syok septik. Dari kasus-kasus dengan kultur darah yang positif,
terdapat hingga 70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri gram
positif atau gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau
mikroorganisme campuran lainnya. Kultur lain seperti sputum, urin,
cairan serebrospinal, atau cairan pleura dapat mengungkapkan etiologi
spesifik, tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses tersebut
mungkin tidak dapat diakses oleh kultur. Insidensi sepsis yang lebih
tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya populasi dunia, pasien-pasien
yang menderita penyakit kronis dapat bertahan hidup lebih lama, terdapat
frekuensi sepsis yang relatif tinggi di antara pasien-pasien AIDS, terapi
medis (misalnya dengan glukokortikoid atau antibiotika), prosedur
invasif (misalnya pemasangan kateter), dan ventilasi mekanis. Sepsis
dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi
yang paling sering menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih,
5
perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering dihubungkan dengan sepsis
yaitu:
1. Infeksi paru-paru (pneumonia)
2. Flu (influenza)
3. Appendiksitis
4. Infeksi lapisan saluran pencernaan (peritonitis)
5. Infeksi kandung kemih, uretra, atau ginjal (infeksi traktus urinarius)
6. Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau
kateter telah dimasukkan ke dalam tubuh melalui kulit
7. Infeksi pasca operasi
8. Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis.
Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan sumber sepsis tidak dapat
terdeteksi.
D. Manifestasi Klinis
Perjalanan sepsis akibat bakteri diawali oleh proses infeksi yang
ditandai dengan bakteremia selanjutnya berkembangmenjadi systemic
inflammatory responsesyndrome (SIRS) dilanjutkan sepsis, sepsis berat,
syok sepsis dan berakhir pada multiple organ dysfunction syndrome
(MODS).
Sepsis dimulai dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu
demam, takikardia, takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi
hipotensi pada kondisi vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik
atau “hangat”, dengan muka kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta
peningkatan curah jantung) atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik
hipodinamik atau “dingin” dengan anggota gerak yang biru atau putih
dingin). Pada pasien dengan manifestasi klinis ini dan gambaran
pemeriksaan fisik yang konsisten dengan infeksi, diagnosis mudah
ditegakkan dan terapi dapat dimulai secara dini.
Pada bayi dan orang tua, manifestasi awalnya kemungkinan adalah
kurangnya beberapa gambaran yang lebih menonjol, yaitu pasien ini
mungkin lebih sering ditemukan dengan manifestasi hipotermia
dibandingkan dengan hipertermia, leukopenia dibandingkan leukositosis,
6
dan pasien tidak dapat ditentukan skala takikardia yang dialaminya (seperti
pada pasien tua yang mendapatkan beta blocker atau antagonis kalsium)
atau pasien ini kemungkinan menderita takikardia yang berkaitan dengan
penyebab yang lain (seperti pada bayi yang gelisah). Pada pasien dengan
usia yang ekstrim, setiap keluhan sistemik yang non-spesifik dapat
mengarahkan adanya sepsis, dan memberikan pertimbangan sekurang-
kurangnya pemeriksaan skrining awal untuk infeksi, seperti foto toraks
dan urinalisis.
Pasien yang semula tidak memenuhi kriteria sepsis mungkin
berlanjut menjadi gambaran sepsis yang terlihat jelas sepenuhnya selama
perjalanan tinggal di unit gawat darurat, dengan permulaan hanya
ditemukan perubahan samar-samar pada pemeriksaan. Perubahan status
mental seringkali merupakan tanda klinis pertama disfungsi organ, karena
perubahan status mental dapat dinilai tanpa pemeriksaan laboratorium,
tetapi mudah terlewatkan pada pasien tua, sangat muda, dan pasien dengan
kemungkinan penyebabperubahan tingkat kesadaran, seperti intoksikasi.
Penurunan produksi urine (≤0,5ml/kgBB/jam) merupakan tanda klinis
yang lain yang mungkin terlihat sebelum hasil pemeriksaan laboratorium
didapatkan dan seharusnya digunakan sebagai tambahan pertimbangan
klinis.
E. Patofisiologi
Perjalanan terjadinya sepsis merupakan mekanisme yang
kompleks, antara mikroorganisme penginfeksi, dan imunitas tubuh
manusia sebagai penjamu . Saat ini sepsis tidak hanya dipandang sebagai
respon inflamasi yang kacau tetapi juga meliputi ketidakseimbangan
proses koagulasi dan fibrinolisis. Hal ini merupakan mekanisme –
mekanisme penting dari patofisiologi sepsis yang dikenal dengan kaskade
sepsis. Mikroorganisme penyebab sepsis terutama bakteri gram negatif
dapat melepaskan endotoksinnya ke dalam plasma yang kemudian akan
berikatan dengan Lipopolysaccarida binding protein ( LBP ). Kompleks
yang terbentuk dari ikatan tersebut akan menempel pada reseptor CD 14
yeng terdapat dipermukaan monosit, makrofag, dan neutrofil, sehingga sel
7
– sel tadi menjadi teraktivasi. Makrofag, monosit, makrofag, dan netrofil
yang teraktivasi inilah yang melepaskan mediator inflamasi atau sitokin
proinflamatory seperti TNF α dan IL -1β , IL – 2 , IL – 6, interferon
gamma , platelet activating factor ( PAF ) , dimana dalam klinis akan
ditandai dengan timbulnya gejala – gejala SIRS. Sitokin proinflamasi ini
akan mempengaruhi beberapa organ dan sel seperti di hipotalamus yang
kemudian menimbulkan demam, takikardi, dan takipneu . Terjadinya
hipotensi dikarenakan mediator inflamasi juga mempengaruhi dinding
pembuluh darah dengan menginduksi proses sintesis Nitrit oxide ( NO ) .
Akibat NO yang berlebih ini terjadi vasodilatasi dan kebocoran plasma
kapiler, sel – sel yang terkait hipoksia yang bila berlangsung lama terjadi
disfungsi organ, biasanya hal ini sering terjadi bila syok septik yang
ditangani dengan baik.
Selain respon inflamasi yang sistemik, sepsis juga menimbulkan
kekacauan dari sistem koagulasi dan fibrinolisis . Paparan sitokin
proinflamasi ( TNF – α , IL - 1β , IL – 6 ) juga menyebabkan kerusakan
endotel, akibatnya neutrofil dapat migrasi, platelet mudah adhesi ke lokasi
jejas. Rusaknya endotel yang berlebihan ini akan mengekpresikan atau
mengaktifasikan TF, yang kita ketahui dapat menstimulasi cascade
koagulasi dari jalur ekstrinsik memproduksi trombin dan
fibrin.Pembentukan trombin selain menginduksi perubahan fibrinogen
menjadi fibrin, juga memiliki efek inflamasi pada sel endotel, makrofag,
dan monosit sehingga terjadi pelepasan TF, TNF – α yang lebih banyak
lagi . Selain itu trombin juga menstimulasi degranulasi sel mast yang
kemudian meningkatkan permeabilitas pembuluh darah dan menyebabkan
kebocoran kapiler. Bila sistem koagulasi teraktivasi secara otomatis tubuh
juga akan mengaktifasi sistem fibrinolisis untuk mencegah terjadinya
koagulasi yang berlebihan. Akan tetapi dalam sepsis, TNF – α
mempengaruhi system antikoagulasi alamiah tubuh yang mengganggu
aktivitas dari antitrombin III , protein C , protein S , Tissue Factor Protein
Inhibitor ( TFPI ) dan Plasminogen Activator Inhibitor – I ( PAI – I )
sehingga bekuan yang terbentuk tidak dapat didegradasi . Akibatnya
8
formasi fibrin akan terus tertimbun di pembuluh darah , membentuk
sumbatan yang mengurangi pasokan darah ke sel sehingga terjadi
kegagalan organ.
9
PATHWAY
Infeksi kuman
Pelepasan endotoksin
Disfungsi mikrosirkulasi Hipoksia sel Iskemia otot Zat pirogen beredar dalam darah
Kegagalan respon terhadap Terjadi mekanismen Pompa jantung tidak Aktivitas prostagladin
kebutuhan O2 kompensasi tubuh untuk adekuat
meningkatkan intake O2
Kegagalan control aliran dengan frekuansi nafas Prostaglandin memengaruhi pusat
darah lokal MK: PENURUNAN termoregulasi di hipotalamus
CURAH JANTUNG
Respiration rate
Saturasi oksigen 10 Hipotalamus set point suhu
MK: POLA NAFAS
TIDAK EFEKTIF
Pelepasan nitrit oksida Suhu tubuh diatas kisaran
Limfosit T mengeluarkan normal
substansi th1 dan th2
Vasodilatasi kapiler
Hipoperfusi perifer
11
F. Klasifikasi
Menurut Reinhart & Eyrich (2015), sepsis berkembang dalam tiga
tahap, yaitu:
a. Uncomplicated sepsis, disebabkan oleh infeksi, seperti flu atau abses
gigi. Hal ini sangat umum dan biasanya tidak memerlukan perawatan
rumah sakit.
b. Sepsis berat, terjadi ketika respons tubuh terhadap infeksi sudah
mulai mengganggu fungsi organ-organ vital, seperti jantung, ginjal,
paru-paru atau hati.
c. Syok septik, terjadi pada kasus sepsis yang parah, ketika tekanan
darah turun ke tingkat yang sangat rendah dan menyebabkan organ
vital tidak mendapatkan oksigen yang cukup.
Jika tidak diobati, sepsis dapat berkembang dari uncomplicated sepsis
ke syok septik dan akhirnya dapat menyebabkan kegagalan organ multiple
dan kematian.
G. Prognosis
Sekitar 40% pasien sepsis dapat berkembang menjadi syok sepsis
apabila tidak segera ditatalaksana dengan tepat. Faktor prognosis buruk
pada sepsis adalah usia tua, infeksi dengan organisme yang resisten,
gangguan status imun pada host, dan status fungsional tubuh pasien yang
buruk sebelum terjadinya sepsis. Angka mortalitas dalam 28 hari sebesar
20% pada sepsis, 20-40% sepsis derajat berat, dan 40-60% pada syok
sepsis. Angka mortalitas pada sepsis berat 1 tahun setelah keluar rumah
sakit bervariasi antara 7-43%.
Dokter harus mengidentifikasi tingkat keparahan penyakit pada
pasien dengan infeksi dan memulai resusitasi agresif bagi pasien dengan
potensi tinggi untuk menjadi kritis. Meskipun pasien telah memenuhi
kriteria SIRS, ini sendiri hanya mampu memberikan sedikit prediksi dalam
menentukan tingkat keparahan penyakit dan mortalitas. Angka Mortalitas
di Emergency Department Sepsis (MEDS) telah membuat skor sebagai
metode untuk mengelompokkan resiko mortalitas pasien dengan sepsis.
Skor total dapat digunakan untuk menilai risiko kematian. Jadi, semakin
12
besar jumlah faktor risiko, semakin besar kemungkinan pasien meninggal
selama di ICU/UPI (Shapiro et.al, 2010)
H. Komplikasi
Komplikasi bervariasi berdasarkan etiologi yang mendasari.
Potensi komplikasi yang mungkin terjadi meliputi:
1. Cedera paru akut (acute lung injury) dan sindrom gangguan fungsi
respirasi akut (acute respiratory distress syndrome)Milieu inflamasi
dari sepsis menyebabkan kerusakan terutama pada paru. Terbentuknya
cairan inflamasi dalam alveoli mengganggu pertukaran gas,
mempermudah timbulnya kolaps paru, dan menurunkan komplian,
dengan hasil akhir gangguan fungsi respirasi dan hipoksemia.
Komplikasi ALI/ ARDS timbul pada banyak kasus sepsis atau
sebagian besar kasus sepsis yang berat dan biasanya mudah terlihat
pada foto toraks, dalam bentuk opasitas paru bilateral yang konsisten
dengan edema paru. Pasien yang septik yang pada mulanya tidak
memerlukan ventilasi mekanik selanjutnya mungkin memerlukannya
jika pasien mengalami ALI/ ARDS setelah resusitasi cairan.
2. Disseminated Intravascular Coagulation (DIC). Pada DIC yang
disebabkan oleh sepsis, kaskade koagulasi diaktivasi secara difus
sebagai bagian respons inflamasi. Pada saat yang sama, sistem
fibrinolitik, yang normalnya bertindak untuk mempertahankan kaskade
pembekuan, diaktifkan. Sehingga memulai spiral umpan balik dimana
kedua system diaktifkan secara konstan dan difus−bekuan yang baru
terbentuk, lalu diuraikan. Sejumlah besar faktor pembekuan badan dan
trombosit dikonsumsi dalam bekuan seperti ini. Dengan demikian,
pasien berisiko mengalami komplikasi akibat thrombosis dan
perdarahan. Timbulnya koagulopati pada sepsis berhubungan dengan
hasil yang lebih buruk.
3. Gagal jantung Depresi miokardium merupakan komplikasi dini syok
septik, dengan mekanisme yang diperkirakan kemungkinannya adalah
kerja langsung molekul inflamasi ketimbang penurunan perfusi arteri
koronaria.Sepsis memberikan beban kerja jantung yang berlebihan,
13
yang dapat memicu sindroma koronaria akut (ACS) atau infark
miokardium (MCI), terutama pada pasien usia lanjut. Dengan
demikian obat inotropic dan vasopressor (yang paling sering
menyebabkan takikardia) harus digunakan dengna berhati-hati
bilamana perlu, tetapi jangan diberikan bila tidak dianjurkan.
4. Gangguan fungsi hati biasanya manifest sebagai ikterus kolestatik,
dengan peningkatan bilirubin, aminotransferase, dan alkali fosfatase.
Fungsi sintetik biasanya tidak berpengaruh kecuali pasien mempunyai
status hemodinamik yang tidak stabil dalam waktu yang lama.
5. Gagal ginjal Hipoperfusi tampaknya merupakan mekanisme yang
utama terjadinya gagal ginjal pada keadaan sepsis, yang
dimanifestasikan sebagai oliguria, azotemia, dansel-sel peradangan
pada urinalisis.Jika gagal ginjal berlangsung berat atau ginjal tidak
mendapatkan perfusi yang memadai, maka selanjutnya terapi
penggantian fungsi ginjal (misalnya hemodialisis) diindikasikan.
6. Sindroma disfungsi multiorganDisfungsi dua sistem organ atau lebih
sehingga intervensi diperlukan untuk mempertahankan homeostasis:
Primer, dimana gangguan fungsi organ disebabkan langsung oleh
infeksi atau trauma pada organ-organ tersebut. Misal, gangguan
fungsi jantung/paru pada keadaan pneumonia yang berat.
Sekunder, dimana gangguan fungsi organ disebabkan oleh respons
peradangan yang menyeluruh terhadap serangan. Misal, ALI atau
ARDS pada keadaan urosepsis.
I. Pemeriksaan Penunjang
Berbagai pemeriksaan penunjang dibutuhkan dalam mendiagnosis
sepsis, utamanya adalah untuk melihat penanda inflamasi dan mencari
sumber infeksi.
1. Pemeriksaan Laboratorium
14
b) Hitung jenis sel darah putih dengan >10% bentuk imatur
d) Peningkatan prokalsitonin
e) Thrombositopenia <100.000/mm3
4. Pemeriksaan Urine
5. Pemeriksaan Rontgen
6. Ultrasonografi (USG)
15
USG diperlukan apabila pasien dicurigai mengalami infeksi pada
traktus biliaris atau infeksi pada abdomen.
7. CT Scan
J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan Sepsis berdasarkan kemampuan untuk mengatasi
infeksi dan mempertahankan homeostasis. Pengelolaan tersebut meliputi :
pengobatan penyakit dasar, pemberantasan sumber infeksi, pemberian
antibiotika, support respirasi, sirkulasi dan hemodinamik dan pemberian
cairan. Jika terjadi syok septik sudah harus dilakukan perawatan di ruang
intensif. Tingkat kesembuhan penanganan pasien sepsis tergantung kepada
keberhasilan dalam mengatasi infeksi dasar, mempertahankan sirkulasi
dan hemodinamik/perfusi jaringan agar mendapatkan oksigenisasi yang
cukup. Beberapa tahap penatalaksanaan sepsis yaitu
1. Terapi cairan
Pada pasien sepsis akan terjadi kekurangan cairan intravaskular relatif
sampai berat terutama pada syok septik. Pada awalnya tubuh
mempertahankan perfusi organ vital terutama otak dan ginjal dengan
mengadakan vasokontriksi pembuluh darah viseral dan mengurangi
aliran darah kekulit. Jika upaya mempertahankan perfusi organ gagal,
tekanan arteri sentral akan menurun. Untuk itu maka:
a) Cairan resusitasi segera diberikan dengan cairan yang ada.
b) Cairan koloid lebih dianjurkan untuk resusitasi awal karena
mempunyai efek hemodinamik segera.
c) Infus cairan selanjutnya dapat memakai koloid dan atau kristaloid.
Pemberian cairan dekstrose 5 % tidak dipakai untuk resusitasi,
karena akan disebar segera ke rongga intraseluler. Pada syok septik
16
dianjurkan pemberian cairan bolus 1000 ml cairan kristaloid atau
500 ml koloid dalam 20-30 menit. Pemberian cairan berikutnya
dilihat dari respon klinik, pemeriksaan auskultasi paru untuk
mendengarkan ronchi, pengukuran ventricular filling pressure dan
bila mungkin penilaian oksigenisasi.
Penilaian terapi cairan dianggap cukup jika dicapai tekanan darah
sistolik 90 mm Hg dengan perbaikan perfusi. Pada pasien tua atau
dengan penyakit jantung iskemia atau penyakit cerebrovaskular
perlu tekanan darah > 100 mmHg.
2. Pemberian Antibiotika
Pada keadaan sepsis pada prinsipnya sudah berlaku pemberian
antibiotika kombinasi rasional sesuai dengan hasil kultur dan uji
sensitivitas. Sebelum adanya hasil kultur maka pengobatan empirik
dilakukan berdasarkan penyakit dasarnya. Menurut (Cunha 2010)
Pemberian antibiotika secara empiris adalah Cephalosporin generasi
III atau IV karena mempunyai efek terhadap bakteri gram (+) dan
gram (-). Dan kombinasi Cephalosporin dengan betalaktam. Dalam
pemberian terapi jangan dilupakan pemberian adanya mikroorganisme
lain sebagai penyebab sepsis yaitu parasit, jamur dan virus.
3. Terapi Suportif
Terapi suportif merupakan terapi pendukung yang penting dalam
perbaikan kondisi sepsis. Salah satunya adalah pemberian imunonutrisi
kumpulan beberapa nutrient spesifik seperti arginin, glutamin,
nukleotida dan asam lemak omega. Pemberian imunonutrisi ini
memberikan pengaruh terhadap parameter imunologik dan inflamasi
terutama memperbaiki GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue).
Diharapkan dengan pemberian imunonutrisi terjadi perkembangan
penyakit yang membaik, penurunan komplikasi, jangka waktu
perawatan dan kematian.
4. Terapi Suplementasi
Merupakan terapi spesifik pada sepsis yang sampai saat ini masih
dalam penelitian. Misalnya pemberian antibodi monoklonal sebagai
17
antiendotoksin, pemberian steroid, strategi anti mediator, netralisasi
NO, hemofiltrasi, fitofarmaka dan Intravenous Imunoglobulin.
Penelitian tersebut masih memerlukan metanalisis dengan jumlah
populasi peneletian yang banyak sehingga dapat diberikan berdasarkan
Evidence Base Medicine.
Kasus :
Tn. A berumur 60 tahun MRS pada tanggal 15 Oktober 2020. Keluhan utama
saat MRS adalah sesak. Pasien didiagnosa Sepsis. Riwayat penyakitnya adalah
obs Febris. Setelah beberapa hari dirawat sesak pasien bertambah sehingga
pasien dipindahkan ICU. Saat pengkajian pada tanggal 18 Oktober 2020 pukul
08.00 WITA, pasien tampak dispnea, irama nafas cepat dan pola nafas tidak
teratur, penggunaan otot bantu nafas (+), pernafasan cuping hidung (+) suara
nafas ronchi. Pasien terpasang ventilator SIMV 450 dan pasien terpasang
kateter. GCS composmentis E=4, V=5, M=6, TD 130/70 mmHg, takikardi,
nadi 124 x/menit, takipnea, RR 30x/menit, suhu 390C, pasien mengalami
diaporesis, pupil isokor, reflek cahaya (+), CRT < 2 detik, kulit tampak
kemerahan, akral teraba hangat. Dari hasil laboratorium didapatkan leukosit
15.000/mm3, PCT 3 ng/mL. Terapi Infus RL 10 tpm, Meropenem 3x1 gr, PCT
2x10 mg/dl.
18
A. Pengkajian
Keluhan utama saat pengkajian : Kesulitan bernafas , pola nafas tidak teratur
Riwayat penyakit saat ini : Pada tanggal 18 Oktober 2020 pukul 08.00 WITA, pasien tampak dispnea,
irama nafas cepat dan pola nafas tidak teratur, penggunaan otot bantu nafas (+), pernafasan cuping
hidung (+), suara nafas ronchi. Pasien terpasang ventilator SIMV 45 0 dan pasien terpasang kateter.
GCS composmentis E=4, V=5, M=6, TD 130/70 mmHg, takikardi, nadi 124 x/menit, takipnea, RR
30x/menit, suhu 390C, pasien mengalami diaporesis, pupil isokor, reflek cahaya (+), CRT < 2 detik,
kulit tampak kemerahan, akral teraba hangat. Dari hasil laboratorium didapatkan leukosit
15.000/mm3, PCT 3 mg/mL.
Riwayat allergi : keluarga pasien mengatakan pasien tidak memiliki riwayat alergi seperti alergi obat,
makanan, dan minuman
Riwayat pengobatan : Keluarga mengatakan sebelumnya pasien pernah dirawat dirumah sakit akibat
obs Febris. Ketika suhu badan pasien meningkat, keluarga langsung membawa kerumah sakit dan
dilakukan pengobatan.
19
Riwayat penyakit sebelumnya dan riwayat penyakit keluarga : keluarga pasien mengatakan bahwa
pasien jika sakit hanya mengalami demam, batuk, dan pilek. Keluarga pasien mengatakan tidak
memiliki riwayat penyakit keturunan seperti diabetes melitus, asma, hipertensi.
Jalan nafas : Paten √ Tidak Paten
BREATHING
RR : 30 x/mnt
Sputum : Ya , Warna: ... ... ... Konsistensi: ... ... ... Volume: ... … Bau: … …
√ Tidak
20
√ Ventilator, Keterangan : 5 Imv Tv 380, R= 6 Deep 3 P
Supp 8 fI O2 40%
Oksigenasi : ... ... lt/mnt Nasal kanul Simpel mask Non RBT mask RBT Mask √
Tidak ada
Drainase :
Kondisi trakeostomi :
Lain-lain : … …
Masalah Keperawatan : Pola Nafas Tidak Efektif
Nadi : √ Teraba Tidak teraba N: 124x/mnt
BLOOD
Pucat : √ Ya Tidak
Sianosis : Ya √ Tidak
Diaphoresis: √ Ya Tidak
CVP : -
21
IVFD : √ Ya Tidak, Jenis cairan : RL 5% 10 tpm
Lain-lain :
Masalah keperawatan : Hipertermia
Kesadaran : √ Composmentis Delirium Somnolen Apatis Koma
Lain-lain : … …
Masalah keperawatan :
Frekuensi BAK : 6 kali selama 24 jam Warna : kuning tidak terlalu pekat
22
Kateter : √ Ada Tidak ada, Urine output = 420 cc/24 jam
Lain-lain: … …
Masalah keperawatan :
Keluhan : Mual Muntah Sulit menelan
TB : 165 cm BB : 60 kg
NGT : -
BOWEL
Frekuensi BAB : 1x/hr Konsistensi : lembek Warna: kuning kecoklatan Darah (-)/lendir(-)
23
Jika ada luka/vulnus, kaji :
Luas luka :
Kedalaman :
Makan/minum :0 1 √2 3 4
Mandi :0 1 √ 2 3 4
Toileting :0 1 2 √3 4
Keterangan:
Berpakaian :0 1 √2 3 4
0; Mandiri
24
(Fokus pemeriksaan pada daerah trauma/sesuai kasus non trauma)
HEAD TO TOE
kepala: rambut berwarna hitam, persebaran merata, rambut bersih, tidak ada luka,
mata: mata simetris, tidak ada nyeri tekan, konjungtiva ananemis, sklera anikterik
telinga : telinga simetris, tidak ada kotoran, tidak ada nyeri tekan
mulut ; tidak ada stomatitis, tidak ada karie, gusi sehat, mukosa bibir lembab, tidak ada nyeri tekan
Leher :
Dada :
Paru
I : Bentuk dan gerakan dada asimetris, adanya penggunaan otot bantu pernafasan, tidak ada lesi,
tidak ada edema, pernafasan dangkal
Jantung
I : Dada simetris, ictus cordias terlihat pada ICS V medline clavicula
P : Ictus cordias teraba pada medline clavicula ICS seperti suara hentakan kuat dirasakan dalam
diameter 2
P : Vesikuler
25
Pinggang, payudara dan ketiak
I : Pinggang simetris, tidak ada pembasaran pada pinggang, payudara simetris, putingnya terlihat,
distribusi rambut ketiak tidak merata, rambut ketiak berwarna hitam
P : Tidak ada lesi, tidak ada edema, dan tidak ada nyeri tekan
Abdomen
I : Perut pasien tidak buncit, tidak ada luka dan tidak ada lesi.
Ekstremitas
Atas :
I : Tangan kanan dan kiri simetris, tidak ada lesi, tidak ada edema, CRT < 2 detik
Bawah :
I : Kaki kanan dan kiri simetris, tidak ada lesi, tidak ada edema, CRT < 2 detik, tidak ada
varises
26
Neurologis
- Pengkajian saraf kranial :
1. Gerakan mata normal dan penciuman normal
2. Reflek pupil dan bola mata normal
3. Bola mata rotasi kearah luar
4. Gerakan rahang normal
5. Mata dapat mengarah kesisi kepala
6. Dahi bisa mengkerut dam mata bisa tertutup
7. Pendengaran dan keseimbangan normal
8. Tidak dapat menggerakan bahu
9. Dapat menggerakkan lidah
555 555
555 555
Masalah Keperawatan :
1. Pola Persepsi dan Manajemen Kesehatan
Psiko Sosial Kultural
Pasien mengatakan jika ia atau keluarga sakit akan langsung dibawa ke pelayanan kesehatan
terdekat
2. Pola Kognitif dan Persepsi
Pasien mengatakan merasa sedikit cemas dengan kondisi kesehatannya
3. Pola Persepsi dan Konsep Diri
Pasien mengatakan tidak malu dengan kondisinya saat ini
4. Pola Seksual-Reproduksi
Sebelum sakit : keluarga pasien mengatakan pasien mempunyai 3 anak
Saat sakit : keluarga pasien mengatakan pasien mempunyai 3 anak
5. Pola Toleransi Stress-Koping
Pasien mengatakan jika ada masalah ia akan menceritakannya pada keluarga
27
6. Pola Nilai Kepercayaan
Pasien mengatakan beragama Hindu dan melakukan persembahyangan hanya di tempat tidur
B. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Tgl/jam Jenis pemeriksaan Hasil
18 Oktober Laboratorum medik - Leukosit 15.000/mm3,
2020/
- PCT 3 mg/mL
09.00Wita
C. TERAPI
Jenis terapi Dosis Rute Fungsi
IV RL 10 tpm IV Memenuhi cairan tubuh
Meropenem 3 x 1 gr IV Mengobati berbagai infeksi bakteri
Paracetamol 2 x 10 mg/dl IV Penurun demam
Data
No Interpretasi Diagnosa Keperawatan
Subyektif & Obyektif
1 DS : keluarga pasien mengatakan Sepsis Pola nafas tidak efektif b.d
28
pasien terlihat sesak nafas kelemahan otot pernafasan d.d
pola nafas pasien tidak teratur
DO : irama nafas pasien cepat,
(dispnea), terdapat pernafasan
pola nafas pasien tidak teratur
Pelepasan Endotoksin cuping hidung, irama nafas cepat,
(dispnea), terdapat pernafasan
penggunaan otot bantu
cuping hidung, adanya retraksi
pernafasan, RR = 30x/menit
otot bantu pernafasan, RR = Ektraksi O2 ke jaringan
30x/menit
Hipoksia sel
Terjadi mekanismen
kompensasi tubuh untuk
meningkatkan intake O2
dengan frekuansi nafas
Respiration rate
29
- Adanya Takikardi
Aktivitas prostaglandin
Prostaglandin
mempengaruhi pusat
termoregulasi di
hipotalamus
Hipertermi
30
RENCANA KEPERAWATAN KRITIS
Umur/Jk : 60 tahun/Laki-laki
No. RM : 56743
No.
Tujuan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
Dx
1 Setelah dilakukan Pola nafas : Dukungan ventilasi : 1) Observasi status pernafasan
asuhan keperawatan 2) Observasi indikasi ventilai mekanik
1) Irama nafas pasien normal 1) Monitor status respirasi dan oksigenasi
3x24 jam diharapkan 3) Observasi efek ventilator
2) Pola nafas pasien teratur (frekuensi dan kedalaman nafas,
pola nafas pasien efektif 4) Mencegah aspirasi
3) Pernafasan cuping hidung penggunaaan otot bantú nafas) (O)
5) Mengontrol penggunaan ventilator
menurun
6) Aspek legal dalam dokumentasi tindakan
4) Retraksi otot bantu
Manajemen ventilasi mekanik : ventilator
pernafasan menurun
31
5) RR = 18-24x/menit 1) Periksa indikasi ventilator mekanik 7) Menjaga kesterilan ventilator
(kelelahan otot nafas, disfungsi 8) Kolaborasi mode ventilator
neurologis) (O)
2) Monitor efek negatif ventilator (O)
3) Monitor gejala peningkatan RR pasien
(O)
4) Monitor gangguan mukosa oral, nasal,
trakea, dan laring (O)
5) Atur posisi kepala 45-60 derajat untuk
mencegah aspirasi (N)
6) Ganti sirkuit ventilator selama 24 jam
(N)
7) Dokumentai respon ventilator (N)
8) Lakukan perawatan mulut secara rutin
(N)
9) Kolaborasi pemberian mode ventilator
(C)
32
Pemantauan respirasi :
33
Kolaborasi
1) Kolaborasi pemberian cairan dan
elektrolit intravena, jika perlu
34
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Sepsis adalah kondisi dimana bakteri menyebar ke seluruh tubuh melalui
aliran darah dengan kondisi infeksi yang sangat berat, bisa menyebabkan
organ – organ tubuh gagal berfungsi dan berujung pada kematian. Sepsis
biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat disebabkan
oleh virus, atau semakin sering, disebabkan oleh jamur). Mikroorganisme
kausal yang paling sering ditemukan pada orang dewasa adalah Escherichia
coli, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus pneumonia. Sepsis dimulai
dengan tanda klinis respons inflamasi sistemik (yaitu demam, takikardia,
takipnea, leukositosis) dan berkembang menjadi hipotensi pada kondisi
vasodilatasi perifer (renjatan septik hiperdinamik atau “hangat”, dengan muka
kemerahan dan hangat yang menyeluruh serta peningkatan curah jantung)
atau vasokonstriksi perifer (renjatan septik hipodinamik atau “dingin” dengan
anggota gerak yang biru atau putih dingin). Perjalanan terjadinya sepsis
merupakan mekanisme yang kompleks, antara mikroorganisme penginfeksi,
dan imunitas tubuh manusia sebagai penjamu . Saat ini sepsis tidak hanya
dipandang sebagai respon inflamasi yang kacau tetapi juga meliputi
ketidakseimbangan proses koagulasi dan fibrinolysis
3.2 Saran
Setelah membaca makalah ini, diharapkan ada kritik dan saran yang dapat
membangun sehingga kami dapat menyempurnakan makalah kami. Penulis
berharap pembaca dan mahasiswa lebih banyak lagi melakukan riset pada
bidang keperawatan kritis supaya nantinya dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat atau di rumah sakit terkait ketenagaan keperawatan.
35
DAFTAR PUSTAKA
Angus DC, Poll TVD. (2013). Severe sepsis and septic shock. N Eng J Med.
369:840-51.
Antimicrobial Watch PAMKI Ramphal R MD. (2007). Sepsis Syndrome. In
Southwick F Ed : Infectious Diseases A Clinical Short Course. Mc Graw
Hill. Hal: 57- 65.
Bakta, I.M.,& Suastika, I.K. (2012). Gawat Darurat di Bidang Penyakit
Dalam. Jakarta: EGC.
Cunha BA (Ed).2010. Antibiotika Essential 9th Edition. Physicians Press. Hal :
148 -156
Dellinger RP, Levy MM, Rhodes A, Annane D, Gerlach H, Opal SM, et al.
(2013). Surviving sepsis campaign: international guidelines for
management of severe sepsis and septic shock: 2012. Critical care
medicine. Feb;41(2):580-637
Gauer R. (2013). Early Recognition And Management Of Sepsis In Adults: The
First Six Hours. Am Fam Physician. 889(1):44-53.
Guntur H. A. (2008). SIRS, Sepsis dan Syok Septik (Imunologi, Diagnosis dan
Penatalaksanaan. UPT Penerbitan dan Percetakan UNS (UNS Press). Hal:
1-35
Kusuma, Ivan. (2010). BAB II Tinjauan Pustaka. Kamus Kedokteran Dorland,
Sepsis adalah adanya Mikroorganisme Phatogen. Tersedia pada:
https://adoc.pub/bab-ii-tinjauan-pustaka-kamus-kedokteran-dorland-
sepsis-adal.html Diakses pada Sabtu, 17 Oktober 2020.
O’Brien JM, Ali NA, Aberegg SK, Abraham E. (2007). Sepsis. The American
Journal of Medicine. 120:1012-1022.
Purnama, D.I. (2014). 100+ Hal yang Wajib Diketahui Bumil: Tanya jawab
Seputar Kehamilan dan Persalinan. Jakarta: Kawan Pustaka
Reinhart, K.,& Eyrich, K. (2015). Sepsis: An Interdisciplinary Challenge. Berlin:
Springer-Verlag.
Soewondo ES. (2002). Kontribusi Proses Inflamasi dan Infeksi Pada Patogenesis
Sepsis dan Syok Septik Serta Penatalaksanaannya. Airlangga. Hal : 86-98
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta : Dewan Pengurus Pusat
Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia :
Definisi dan Tindakan Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : Dewan Pengurus
Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
36
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2016). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
:Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, Edisi 1. Jakarta : Dewan
Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia
Zulfikar T, Lardo S, Sunarti. (2008). Pola Kuman Terhadap Pseudomonas
Aeruginosa di Ruangan Perawatan Umum RSPAD Tahun. Jakarta :
Dipresentasikan dalam Indonesia
37