Oleh :
(462017018)
SALATIGA
2021
I. PENGERTIAN
Imobilisasi didefinisikan oleh Nurshiyam, Ardi, & Basri (2020) yaitu sebuah
kondisi yang relatif, yang dimana seseorang bukan hanya mengalami hilangnya
kemampuan untuk bergerak total, tapi juga seseorang mengalami aktifitas yang
menurun dari kebiasaan normalnya.
Gangguan mobilitas fisik yaitu terbatasnya gerakan fisik dari satu atau lebih
ekstremitas secara mandiri (PPNI, 2017).
Mahendra, Windriya, & GTS (2019) menjelaskan definisi stroke non hemoragic
merupakan stroke iskemik yang ditandai dengan terdapatnya gambaran infark pada
CT-Scan. Adapun pengertian lain dari Hardika, Yuwono, & Zulkarnain (2020) yang
menjelaskan bahwa stroke non hemoragic adalah kasus stroke yang sering terjadi
yaitu karena adanya sumbatan pada pembuluh darah yang merupakan akibat dari
suatu penyakit tertentu seperti arteritis, trombus, embolus, dan arterosklerosis.
Pengertian stroke non hemoragic yang lain yaitu menurut Wijaya & Putri (2013) yaitu
merupakan stroke yang disebabkan oleh adanya sumbatan pembuluh darah diotak
oleh thrombosis maupun emboli sehingga membuat berkurangnya suplai oksigen dan
glukosa ke otak sehingga terjadilah matinya sel atau jaringan otak.
Dari ketiga definisi stroke non hemoragic diatas, dapat disimpulkan bahwa stroke
non hemoragic atau stroke iskemik merupakan jenis penyakit yang dimana
disebabkan oleh karena adanya sumbatan pada aliran darah yang terjadi di otak.
Stroke ini juga dapat disebut sebagai kematian jaringan otak karena pasokan darah
yang tidak kuat dan bukan disebabkan oleh adanya perdarahan.
II. KLASIFIKASI
Jenis mobiltas yaitu (Mulyati & Hermansyah, 2015) :
a. Mobilitas penuh, yaitu dimana seseorang memiliki kemampuan untuk dapat
melakukan pergerakan dengan bebas dan penuh sehingga bisa melakukan
aktivitas sehari-hari dan berinteraksi dengan orang lain.
b. Mobilitas sebagian, yaitu dimana seseorang memiliki kemampuan untuk dapat
tetapi
melakukan pergerakan adanya keterbatasan, dan pasien tidak bisa melakukan
pergerakan dengan bebas karena adanya pengaruh dari gangguan saraf motorik
serta sensorik pada area tubuhnya. Hal ini dapat dijumpai pada kasus cedera atau
patah tulang dimana terdapat pemasangan traksi. Pasien paraplegi dapat
mengalami mobilitas sebagian pada ekstremitas bawah karena kehilngan kontrol
mekanik dan sensorik.
Mobilitas sebagian terbagi menjadi 2 jenis, yaitu :
1. Mobilitas sebagian temporer, yaitu seseorang yang memiliki kemampuan
untuk bergerak dengan adanya batasan yang bersifat hanya sementara yang
bisa disebabkan karena mengalami trauma reversibel pada sistem
muskuloskeletalnya, misalnya dislokasi sendi.
2. Mobilitas sebagian permanen, yaitu individu yang memiliki kemampuan untuk
melakukan pergerakan dengan adanya batasan yang bersifat menetap,
misalnya seorang individu mengalami hemiplegi akibat stroke, dan paraplegi
akibat mengalami cidera oada tulang belakang.
III. ETIOLOGI
Tanda dan gejala dari gangguan mobilitas fisik dijelaskan oleh PPNI (2017) yaitu
klien mengeluh sulit menggerakan ekstremitasnya, ada nyeri saat bergerak, merasa
cemas saat bergerak, adanya kaku sendi, tidak terkoordinasinya gerakan, adanya
keterbatasan dalam pergerakan, kelemahan fisik, kesulitan untuk bolak-balik posisi,
terjadi perubahan eliminasi urine, berubahnya sistem integumen (decubitus).
Menurut Indrawati, Sari, & Dewi (2016), gejala dan tanda dari SNH sering
muncul secara tiba-tiba dan cepat. Oleh karena itu, penting dilakukan untuk dapat
mengenali tanda dan gejalanya. Gejala stroke antara lain, yaitu klien mengalami nyeri
yang hebat tiba-tiba, sulit menelan, klien merasa pusing, seperti benda yang ada
disekitarnya seakan berputar, klien merasa goyang jika melakukan pergerakan dan
biasanya diikuti dengan adanya mual muntah, kebingungan, adanya gangguan
disorientasi waktu, personal, atau ruang, penglihatan menjadi kabur, ketajaman dari
penglihatan klien menurun, dapat terjadi di salah satu mata ataupun keduanya,
pengelihatan kabur atau ketajaman pengelihatan menurun, bisa pada salah satu mata
ataupun kedua mata, klien tiba-tiba sulit bicara, mulut tampak ketarik ke salah satu
sisi “perot”, hilangnya keseimbangan, jatuh, atau limbung, adanya rasa kebas, seperti
klien mengalami mati rasa, atau terjadi kesemutan di satu sisi tubuh, kelemahan otot-
otot pada satu sisi tubuh.
V. POHON MASALAH/PATHWAY
Stroke non hemoragic/iskemik (terjadi saat
pembuluh darah arteri yang bertugas
membawa darah dan oksigen menuju otak
mengalami penyempitan, shg menyebabkan
aliran darah ke otak berkurang.
Mobilisasi terganggu
Tidak mampu
beraktifitas
Defisit nutrisi
Pemeriksaan ini dirancang untuk menentukan jenis stroke yang dialami, lokasi
pendarahan, di mana letak pembuluh darah yang menyempit, dan area jaringan otak
yang rusak. (Wijaya & Putri, 2013).
a. CT scan, pemeriksaan ini memperlihatkan secara spesifik letak dari edema, posisi
hematoma, adanya jaringan yang infark atau iskemia, dan posisinya secara pasti.
b. MRI menunjukkan lokasi daerah yang terjadi infark atau perdarahan (Oktavianus,
2014). Selain itu, MRI memiliki keunggulan lain dibandingkan CT dalam menilai
stroke, MRI lebih sensitif dalam mendeteksi infark, terutama yang terletak di
batang otak dan otak kecil.
c. USG doppler, untuk dapat mengetahui ada tidaknya penyakit pada sistem karotis
seperti arteriovena.
d. Pemeriksaan lumbal pungsi menunjukkan adanya tekanan.
e. Pemeriksan EKG, dilakukan untuk membantu mengidentifikasi penyebab jantung
jika dicurigai terkena stroke emboli.
f. Pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan elektrolit, fungsi ginjal, kadar glukosa,
lipid, kolestrol, dan trigliserida dilakukan untuk membantu menegakkan diganosa.
g. Pemeriksaan EEG
h. Angiografi serebral
i. Pemeriksaan foto thorax
Terapi yang bisa dilakukan untuk pasien yang memiliki masalah dalam mobilitas
fisik adalah dengan memberikan latihan berupa latihan rentang gerak, yaitu latihan
Range of Motion (ROM) dimana pasin melakukan latihan untuk menggerakan
sendinya. Kemudian pasien akan memberi pergerakkan sendiannya masing-masing
sesuai dengan gerakan normal dengan cara aktif maupun pasif. Tujuan diberikan
latihan ini yaitu untuk mempertahankan atau memelihara kekuatan dari otot pasien,
merangsang sirkulasi udara agar menjadi baik, memelihara motilitas persendian, dan
pencegahan terhadap kelainan bentuk (Perry & Potter, 2012).
a. Kerusakan yang disebabkan karena stroke ini bisa mengganggu reflek menelan
penderita (disfagia), yang dimana mengakibatkan minuman dan makanan beresiko
masuk ke dalam saluran pernapasan, selain itu, penderita juga tidak dapat batuk
dengan baik sehingga cairan terkumpul di paru-paru yang kemudian akan
menyebabkan pneumonia aspirasi.
b. Beberapa pasien kemudian mengalami pembekuan darah pada ekstremitas yang
mengalami kelumpuhan. Kondisi ini dikenal sebagai trombosis vena dalam, yang
ditandai dengan gejala pembengkakan di kaki atau lengan, terkadang disertai
nyeri, kehangatan pada kulit, dan kemerahan. Kondisi ini terjadi karena otot kaki
berhenti bergerak, yang mengganggu aliran pada pembuluh darah vena di kaki. Ini
meningkatkan risiko penggumpalan darah.
c. Depresi atau gangguan mood, setelah penderita mengalami stroke, kemungkinan
besar penderita dapat mengalami hilangnya ingatan, susah tidur, dan penderita
merasa kesulitan dalam beraktivitas kembali secara mandiri sehingga dapat
memupuk adanya perasaan sedih, tidak berdaya, dan kurangnya energi yang
dimana bisa berujung ke resiko depresi.
d. Adanya gangguan dalam berbahasa (aphasia) yang disebabkan karena rusaknya
sistem saraf otak akibat stroke.
e. Kontraktur tungkai pada otot lengan atau kaki yang memendek yang disebabkan
oleh kurangnya kemampuan untuk menggerakkan anggota badan.
E: E:
a. Jelaskan tujuan a. Agar klien
dan prosedur mengerti tujuan
batuk efektif dan prosedur
yang akan
dilakukan
b. Anjurkan tarik b. Untuk
napas dalam menyiapkan
melalui hidung paru-paru dan
selama 4 detik, saluran napas
ditahan selama 2 dari teknik
detik, kemudian batuk efektif
keluarkan dari
mulut dengan
bibir mencucu
(dibulatkan)
selama 8 detik
c. Anjurkan c. Untuk
mengulangi tarik mengontrol
napas dalam napas dan
hingga 3 kali mempersiapkan
untuk
melakukan
batuk efektif
d. Anjurkan batuk d. Untuk
dengan kuat mengeluarkan
langsung setelah dahak
tarik napas dalam
yang ke 3
C:
C:
a. Mukolitik
a. Kolaborasi
adalah jenis
pemberian
obat yang
mukolitik atau
digunakan agar
ekspetoran, jika
mengencerkan
perlu
mukus/dahak
klien yang
kental sehingga
dapat dengan
mudah
dikeluarkan.
Ekspetoran
berguna untuk
membuat
dahak menjadi
lebih encer.
2. Defisit nutrisi b.d Setelah dilakukan Manajemen Nutrisi
ketidakmampuan tindakan keperawatan (I.03119)
mengabsorbsi selama 3x24 jam, O:
nutrien (D.0019). diharapkan status a. Identifikasi status a. Untuk
nutrisi klien terpenuhi nutrisi mengetahui
dengan status nutrisi
Kriteria Hasil : klien
SLKI 1 b. Identifikasi alergi b. Untuk
Status Nutrisi dan intoleransi mengetahui
(L.03030) terhadap apakah klien
Klien makanan mengaalami
melaporkan alergi atau
nafsu makan tidak dan
membaik membantu
Klien dapat dalam
menghabiskan pemberian
porsi c. Identifikasi intervensi
makanannya perlunya c. Untuk
Frekuensi penggunaan mengetahui
makan klien selang NGT adanya
meningkat intoleransi
DAFTAR PUSTAKA
Hardika, B. D., Yuwono, M., & Zulkarnain, H. M. (2020). Faktor Risiko yang
Mempengaruhi Terjadinya Stroke Non Hemoragik pada Pasien di RS RK Charitas dan
RS Myria Palembang, 9(2), 268–274. https://doi.org/10.36565/jab.v9i2.234
Mahendrakrisna, D., Windriya, D. P., & Gts, A. C. (2019). Karakteristik Pasien Stroke Usia
Muda di RSUD Kota Surakarta. Cdk-274, 46(3), 167–170.
Wijaya, A.S dan Putri, Y.M. 2013. Keperawatan Medikal Bedah 2, Keperawatan Dewasa
Teori dan Contoh Askep. Yogyakarta : Nuha Medika
Hasbullah, M, A., & D.S, H. (2017). Jurnal Media Keperawatan : Politeknik Kesehatan
Makassar Jurnal Media Keperawatan : Politeknik Kesehatan Makassar. Gambaran
Penerapan Asuhan Keperawatan Pada Pasien Thypoid Dalam Pemenuhan Kebutuhan
Nutrisi Di Rumah Sakit Tk Ii Pelamonia, 08(02), 39–45.
Saputra, Lyndon. (2013). Kebutuhan Dasar Manusia. Tangerang Selatan : Binarupa Aksara.