Oleh :
(462017018)
SALATIGA
2021
LAPORAN PENDAHULUAN
PADA KASUS WAHAM
I. PENGERTIAN
Zukna & Lisiswanti (2017) mendefinikasan waham atau delusi sebagai keyakinan
palsu yang timbul tanpa stimulus luar yang cukup dan mempunyai ciri-ciri sebagai
berikut: tidak realistik, tidak logis, menetap, egosentris, diyakini kebenarannya oleh
penderita, tidak dapat dikoreksi, dihayati oleh penderita sebagai hal yang nyata, penderita
hidup dalam wahamnya itu, keadaan atau hal yang diyakini itu bukan merupakan bagian
sosiokultural setempat. Adapun pengertian waham yang dijelaskan oleh Jaya (2019) yaitu
suatu sistem kepercayaan yang tidak dapat divalidasi atau dipertemukan
dengan informasi yang nyata atau realitas.
Dari kedua pengertian waham diatas, dapat disimpulkan bahwa waham adalah
keyakinan seseorang yang palsu yang tidak dapat dibuktikan dengan informasi yang
nyata.
II. KLASIFIKASI
Klasifikasi Waham menurut Yosep (2011) meliputi:
1. Waham Kebesaran
Meyakini bahwa ia memiliki kebesaran atau kekuasaan khusus, diucapkan
berulang kali tetapi tidak dengan kenyataan. Contoh : “ Saya ini ketua departemen
kesehatan loh “ atau “ saya punya tambang emas”.
2. Waham Curiga
Meyakini bahwa ada seseorang atau kelompok berusaha merugikan/mencederai
dirinya, di ucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai. Contoh : “ saya tahu….. seluruh
saudara saya ingin menghancurkan hidup saya karena mereka iri dengan kesuksesan
saya”.
3. Waham Agama
Memiliki keyakinan terhadap suatu agama secara berlebihan, di ucapkan berulang
kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. Contoh : “ kalau saya mau masuk surga,
saya harus menggunakan pikiran putih setiap hari”.
4. Waham Somatic
Meyakini bahwa tubuh atau bagian tubuhnya terganggu/ terserang penyakit, di
ucapkan berulang kali tetapi tidak sesuai kenyataan. Contoh : “saya punya tumor di
otak, kepala saya sakit sekali” setelah pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan
tanda-tanda tumor namun pasien terus mengatakan bahwa ia terserang tumor.
5. Waham Nihilistis
Meyakini bahwa dirinya sudah tidak ada di dunia/ meninggal, di ucapkan
berulang kali tetapi tidak sesuai dengan kenyataan. Contoh : “ ini kan di alam kubur
ya, semua yang ada disini adalah roh-roh”.
III. FASE
Fase-fase waham menurut Victoryna, Wardani, Fauziah (2020), antara lain :
1. Lack of Selfesteen
Tidak ada pengakuan lingkungan dan meningkatnya kesenjangan antara
kenyataan dan harapan. Ex : perceraian->berumah tangga tidak diterima oleh
lingkungannya.
2. Control Internal Eksternal
Mencoba berfikir rasional, menutupi kekurangan dan tidak sesuai dengan
kenyataan. Ex : seseorang yang mencoba menutupi kekurangan.
3. Environment support
Kerusakan control dan tidak berfungsi normal ditandai dengan tidak merasa
bersalah saat berbohong. Ex : seseorang yang mengaku dirinya adalah guru tari.
Adanya beberapa orang yang mempercayai klien dalam lingkungan, klien merasa
didukung, klien menganggap hal yang dikatakan sebagai kebenaran, kerusakan
control diri dan tidak berfungsi normal (super ego).
4. Fisik Comforting
Klien merasa nyaman dengan kebohongannya.
5. Fase Improving
Jika tidak ada konfrontasi dan korelasi maka keyakinan yang salah akan
meningkat
Distorsi
Pikiran logis Gangguan proses
pikiran
Persepsi pikir: waham
Ilusi
akurat Halusinasi
Reaksi emosi
Emosi Sulit berespon
berlebihan
konsisten emosi
dan kurang
Perilaku Perilaku
Perilaku
sosial disorganisasi
aneh atau
Hubungan Ketidakteraturan
tidak biasa
sosial isolasi sosial
Menarik diri
V. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Menurut Direja (2011), faktor predisposisi dari gangguan isi pikir, yaitu:
a. Faktor perkembangan
Hambatan perkembangan akan menganggu hubungan interpersonal seseorang. Hal ini
dapat meningkatkan stres dan ansietas yang berakhir dengan gangguan persepsi, klien
menekan perasaannya sehingga pematangan fungsi intelektual dan emosi tidak efektif.
b. Faktor sosial budaya
Seseorang yang merasa diasingkan dan kesepian dapat menyebabkan timbulnya
waham.
c. Faktor psikologis
Hubungan yang tidak harmonis, peran ganda atau bertentangan, dapat menimbulkan
ansietas dan berakhir dengan pengingkaran terhadap kenyataan.
d. Faktor biologis
Waham diyakini terjadi karena adanya atrofi otak, pembesaran vertikel di otak, atau
perubahan pada sel kortikal dan limbic.
e. Faktor genetic.
2. Faktor Presipitasi
Menurut Direja (2011) faktor presipitasi dari gangguan isi pikir: waham, yaitu:
a. Faktor sosial budaya
Waham dapat dipicu karena adanya perpisahan dengan orang yang berarti atau
diasingkan dari kelompok.
b. Faktor biokimia
Dopamine, norepineprin, dan zat halusinogen lainnya diduga dapat menjadi penyebab
waham pada seseorang.
c. Faktor psikologis
Kecemasan yang memandang dan terbatasnya kemampuan untuk mengatasi masalah
sehingga klien mengembangkan koping untuk menghindari kenyataan yang
menyenangkan.
Tanda dan gejala waham menurut Wijoyo & Mustikasari (2020) yaitu :
Tanda dan gejala pada klien dengan waham menurut Direja, (2011) yaitu:
VII. AKIBAT
Akibat dari waham dikatakan oleh Victoryna, Wardani, Fauziah (2020) yaitu pasien
dapat mengalami kerusakan komunikasi verbal yang ditandai dengan pikiran tidak
realistic, flight of ideas, kehilangan asosiasi, pengulangan kata-kata yang didengar dan
kontak mata yang kurang. Akibat yang lain yang ditimbulkannya adalah beresiko
mencederai diri, orang lain dan lingkungan sekitar. Resiko mencederai merupakan suatu
tindakan yang kemungkinan dapat melukai/membahayakan diri, orang lain dan
lingkungan.
VIII. POHON MASALAH
Risiko Perilaku
Kekerasan
Isolasi Sosial
X. PSIKOTERAPI
Wijoyo & Mustikasari (2020) mengatakan bahwa terapi kejiwaan atau psikoterapi
pada klien, baru dapat diberikan apabila klien dengan terapi psikofarmaka sudah
mencapai tahapan dimana kemampuan menilai realitas sudah kembali pulih dan
pemahaman diri sudah baik. Psikotherapi pada klien dengan gangguan jiwa adalah berupa
terapi aktivitas kelompok (TAK).
Elemen penting dalam psikoterapi adalah menegakkan hubungan saling percaya.
Terapis tidak boleh mendukung ataupun menentang waham, dan tidak boleh terus-
menerus membicarakan tentang wahamnya. Terapis harus tepat waktu, jujur dan
membuat perjanjian seteratur mungkin. Tujuan yang dikembangkan adalah hubungan
yang kuat dan saling percaya dengan klien. Kepuasan yang berlebihan dapat
meningkatkan kecurigaan dan permusuhan klien, karena disadari bahwa tidak semua
kebutuhan dapat dipenuhi. Terapis perlu menyatakan pada klien bahwa keasyikan dengan
wahamnya akan menegangkan diri mereka sendiri dan mengganggu kehidupan
konstruktif. Bila klien mulai ragu-ragu dengan wahamnya, terapis dapat meningkatkan
tes realitas.
Sehingga terapis perlu bersikap empati terhadap pengalaman internal klien, dan harus
mampu menampung semua ungkapan perasaan klien, misalnya dengan berkata : “Anda
pasti merasa sangat lelah, mengingat apa yang anda lalui, “tanpa menyetujui setiap mis
persepsi wahamnya, sehingga menghilangnya ketegangan klien. Dalam hal ini tujuannya
adalah membantu klien memiliki keraguan terhadap persepsinya. Saat klien menjadi
kurang kaku, perasaan kelemahan dan inferioritasnya yang menyertai depresi, dapat
timbul. Pada saat klien membiarkan perasaan kelemahan memasuki terapi, suatu
hubungan terapeutik positif telah ditegakkan dan aktifitas terpeutik dapat dilakukan.
1. Data Mayor
a) Data Subjektif
I. Mengatakan dirinya mempunyai kekuasaan dan diucapkan beberapa
kali
II. Mengatakan sesuatu agama secara berlebihan
III. Merasa curiga
IV. Merasa cemburu
V. Merasa diancam diguna-guna
VI. Merasa sebagai orang hebat
VII. Merasa memiliki kekuatan yang luar biasa
VIII. Mengatakan merasa berada diluar tubuhnya
IX. Merasa sudah mati
b) Data objektif
I. Marah-marah tanpa sebab
II. Banyak kata (logorhoe)
III. Menyendiri
IV. Sirkumtansial
V. Inkoheren
2. Data Minor
a) Data Subjektif
I. Merasa orang lain menjauh
II. Merasa tidak ada yang mau mengerti
b) Data Objektif
I. Marah-marah karena alasan sepele
II. Menyendiri
b. Diagnosa keperawatan
Waham (D.0105).
c. Rencana keperawatan
Diagnosa Perencanaan
N Tujuan Kriteria Hasil
Keperawata Intervensi Rasional
o
n
1. Gangguan Tujuan Umum :
proses Klien dapat
pikir: berkomunikasi
Waham dengan
baik dan terarah.
TUK 1 : Kriteria Evaluasi: Bina hubungan Hubungan
Klien dapat 1. Ekspresi wajah bersahabat saling percaya saling percaya
membina 2. Ada kontak mata. dengan menjadi
hubungan saling 3. Mau berjabat tangan. menggunakan dasar interaksi
percaya 4. Mau menjawab salam. prinsip selanjutnya
5. Klien mau duduk komunikasi dalam
berdampingan. teraupetik. membina klien
6. Klien mau mengutarakan Sapa klien dalam
isi perasaannya. dengan berinteraksi
ramah baik dengan baik
verbal dan benar,
maupun sehingga
non verbal klien mau
Perkenalka mengutarakan
n diri isi
dengan perasaannya.
sopan
Tanyakan
nama
lengkap dan
nama yang
disukai
klien.
Jelaskan
tujuan
pertemuan
Jujur dan
menepati
janji
Tunjukkan
rasa empati
dan
menerima
klien
dengan apa
adanya.
STRATEGI PELAKSANAAN
1. Kondisi Pasien
DS :
Klien mengatakan bahwa dirinya adalah Imam Mahdi yang tahu bahwa kapan
dunia akan kiamat
DO :
Klien terlihat gelisah, curiga terhadap orang yang berada di sekelilingnya,
kadang-kadang klien berbicara sendiri, perhatian terhadap lingkungan sekitar
menurun.
2. Diagnosa Keperawatan
Waham (D.0105).
3. Tujuan Umum
4. Tujuan Khusus
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya.
5. Intervensi
6. Strategi Pelaksanaan
STRATEGI PELAKSANAAN 1
a. Fase orientasi :
“Hallo, selamat pagi Pak. Perkenalkan nama saya Christiani Simanjuntak, panggil saya
Itin. Saya mahasiswa keperawatan dari Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga yang
akan praktek disini selama 1 minggu. Hari ini saya dinas pagi dari pukul 07:00-14:00.
Saya yang akan merawat bapak selama disini. Nama bapak siapa, senangnya dipanggil
apa?” Bagaimana perasaan bapak hari ini? Bapak terlihat segar, tetapi apa yang
membuat bapak terlihat begitu curiga terhadap saya? Ceritakan apa yang mengganjal di
pikiran bapak sekarang?“
Baiklah semoga setelah bertemu dengan saya masalah bapak akan teratasi. Begitu ya
pak?
Bapak, tujuan saya menemui bapak saat ini adalah ingin mengenal lebih dekat pak Imam
sehingga kita bisa saling kenal dan bapak bisa menceritakan segala masalah bapak
selain itu saya dapat membantu apa yang bapak butuhkan disini. Bagaimana pak?
Apakah bapak setuju? Baiklah bagaimana kalau kita duduk di kursi teras depan? Berapa
lama bapak mempunyai waktu dengan saya? Bagaimana kalau 15 menit saja dari pukul
10.00-10.15 WIB. Bapak mau tempatnya dimana? Bagaimana kalau di sini saja? Bapak
bersedia?”
b. Fase kerja
“Nah, tadi saya sudah menyebutkan nama saya, coba ulangi siapa nama saya? Lupa?
Masih sebentar kok sudah lupa? Saya ulangi lagi nama saya Christiani, bapak bisa
memanggil saya Itin ya pak? Baiklah semoga bapak bisa mengenal saya, begitu pula
sebaliknya sehingga bapak bisa merasa nyaman bercerita kepada saya.
Bapak, mengapa bapak terlihat gelisah serta selalu berbicara sendiri tentang Imam
Mahdi?…. oh begitu ya pak? saya mengerti apa yang bapak maksudkan. Coba jelaskan
darimana bapak mendapatkan ilham bahwa bapak adalah seorang Imam Mahdi?”
c. Fase terminasi
“Baiklah, saya rasa bapak sudah mulai terbuka dan merasa nyaman dengan kehadiran
saya, sekarang bagaimana perasaan bapak setelah bertemu dan bercerita dengan saya?
Bagus, rasa berharap bapak lebih bisa mengungkapkan perasaan bapak dan lebih
terbuka dengan harapan agar masalah bapak dapat teratasi.
Nah, sekarang coba sebutkan lagi siapa nama saya? Bagus sekali. Mulai sekarang kalau
ketemu saya jangan lupa panggil saya dengan? Iya benar pak.:
Baiklah, saya rasa perkenalan kita cukup sekian, kita sudah cukup saling mengenal saat
ini, Saya berharap setiap bapak bertemu dengan saya dan saat memerlukan bantuan
saya, bapak mau memanggil saya supaya selama bapak di sini dapat bekerjasama
dengan saya serta bapak mampu sembuh kembali.
Sekarang 15 menitnya sudah habis, berarti pertemuan kita disini juga sudah selesai.
Nanti pukul 11.00 sebelum makan siang saya akan datang kembali menemui bapak untuk
mendiskusikan masalah yang sedang bapak hadapi sekarang, nanti dimana kita bisa
bertemu kembali? Baiklah nanti kita bertemu lagi disini ya pak? Sampai jumpa.
DAFTAR PUSTAKA
Amanda, N., Zukna, M., & Lisiswanti, R. (2017). Pasien dengan Halusinasi dan Waham Bizarre.
Medula Unila, 7(1), 38–42. http://juke.kedokteran.unila.ac.id/index.php/medula.
Direja, Ade Herman Suryo. 2011. Asuhan Keperawatan Jiwa. Yogyakarta: Nuha Medika.
Jaya, M. A. (2019). Gangguan Skizoafektif Tipe Manik. UMI Medical Journal, 4(1), 117–129.
https://doi.org/10.33096/umj.v4i1.57.
Sundeen & Stuart. (2015). Buku Saku Keperawatan Jiwa.. Jakarta: EGC.
Victoryna, F., Wardani, I. Y., & Fauziah. (2020). Penerapan Standar Asuhan Keperawatan Jiwa
Ners Untuk Application Ofpsychiatric Nursing Care Standards To Reduce the Intensity
of Delution Schizophrenia. Jurnal Keperawatan Jiwa, 8(1), 45–52.
Wijoyo, E. B., Spesialis, M., Jiwa, K., Keperawatan, F. I., Indonesia, U., Departemen, D., Jiwa,
K., Ilmu, F., & Universitas, K. (2020). Asuhan Keperawatan pada Klien Skizofrenia
(Waham) dalam Manajemen Pelayanan Rumah Sakit: Studi Kasus. Jurnal Ilmiah
Keperawatan Indonesia, 4(1), 63–72.
Yosep Iyus. 2011. Keperawatan Jiwa (Edisi Revisi). Bandung: Refika Aditama.