HALUSINASI
KEPERAWATAN JIWA
DISUSUN OLEH
MUHAMAD ARDIANSYAH
NIM : 1035222011
UNIVERSITAS MH THAMRIN
A. Halusinasi
Halusinasi adalah gangguan persepsi sensori dari suatu obyek rangsangan dari luar,
gangguan persepsi sensori ini meliputi seluruh pancaindra. Halusinasi merupakan salah
satu gejala gangguan jiwa yang pasien mengalami perubahan sensori persepsi, serta
penciuman. Pasien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada. Pasien gangguan jiwa
mengalami perubahan dalam hal orientasi realitas (Yusuf, PK, & Nihayati, 2015).
internal dengan rangsangan eksternal. Klien berpendapat tentang suatu hal tanpa ada
suatu objek atau rangsangan yang nyata, misalnya klien mengatakan mendengar sesuatu
Halusinasi merupakan salah satu gejala gangguan jiwa yang klien mengalami perubahan
sensori persepsi dan merasakan sensasi palsu berupa suara, penglihatan, pengecapan,
perabaan, atau penciuman. Klien merasakan stimulus yang sebenarnya tidak ada atau
Halusinasi adalah salah satu gejala gangguan jiwa dimana klien mengalami perubahan
perabaan atau penghiduan. Klien merasakan stimulus yang sebetulnya tidak ada
(Damaiyanti, 2012).
B. Proses terjadinya masalah :
1. Faktor predisposisi
a. Faktor pengembangan
b. Faktor sosiokultural
Seseorang yang merasa tidak terima dilingkungan sejak bayi akan membekas
diingatannya sampai dewasa dan ia akan merasa disingkirkan, kesepian dan tidak
c. Faktor biokimia
Adanya stres yang berlebihan yang dialami oleh seseorang maka di dalam
tubuhnya akan dihasilkan suatu zat yang dapat bersifat halusinogenik neurokimia
d. Faktor psikologis
Tipe kepribadian yang lemah tidak bertanggung jawab akan mudah terjerumus
pada penyelah gunaan zat adaptif. Klien lebih memilih kesenangan sesaat dan lari
Hasil studi menujukan bahwa faktor keluarga menunjukan hubungan yang sangat
a. Dimensi fisik
Halusinasi dapat ditimbulkan oleh beberapa kondisi fisik seperti kelelahan yang
b. Dimensi emosional
Perasaan cemas yang berlebihan atas dasar problem yang tidak dapat diatasi
merupakan penyebab halusinasi itu terjadi. Isi dari halusinasi dapat berupa
ketakutan tersebut.
c. Dimensi Intelektual
merupakan usaha dari ego sendiri untuk melawan impuls yang menekan, namun
seluruh perhatian klien dan tidak jarang akan mengobrol semua perilaku klien.
d. Dimensi sosial
tempat untuk memenuhi kebutuhan akan interaksi sosial, kontrol diri dan harga
diri yang tidak di dapatkan dalam dunia nyata. Isi halusinasi di jadikan sistem
kontrol oleh individu tersebut, sehingga jika perintah halusinasi berupa ancama,
dirinya ataupun orang lain individu cenderung untuk itu. Oleh karena itu, aspek
e. Dimensi spiritual
aktivitas ibadah dan jarang berupanya secara spiritual untuk menyucikan diri. Ia
sering memaki takdir tetapi lemah dalam upaya menjemput rejeki, memyalahkan
3. Rentang Respon
a. Respon Adaptif
Respon yang dapat diterima oleh norma-norma sosial budaya yang berlaku.
Dengan kata lain individu tersebut dalam batas normal jika menghadapi suatu
4) Perilaku Sosial dengan kegiatan individu atau sesuatu yang berkaitan dengan
individu tersebut yang diwujudkan dalam bentuk gerak atau ucapan yang tidak
5) Hubungan Sosial merupakan proses suatu interaksi dengan orang lain dalam
b. Respon Psikososial
mengambil kesimpulan.
2) Ilusi merupakan pemikiran atau penilaian yang salah tentang penerapan yang
4) Perilaku tidak biasa adalah sikap dan tingkah laku yang melebihi batas
kewajaran.
orang di sekitarnya.
c. Respon Maladaptif
terhadap rangsangan.
dan kedekatan.
5) Isolasi sosial merupakan kondisi dimana seseorang merasa kesepian tidak mau
b. Proyeksi Keinginan yang tidak dapat di toleransi, mencurahkan emosi pada orang
lain karena kesalahan yang dilakukan diri sendiri (sebagai upaya untuk
c. Menarik diriReaksi yang ditampilkan dapat berupa reaksi fisik maupun psikologis.
Reaksi fisik yaitu individu pergi atau lari menghindar sumber stressor, sedangkan
5. Psikofarmaka
a. Psikofarmakoterapi
biasanya cukup 3 x 24 jam. Setelahnya klien biasanya diberikan obat per oral 3
kondisi akut biasanya diberikan per oral 3 x 100 mg, apabila kondisi sudah
stabil dosis dapat dikurangi menjadi 1 x 100 mg pada malam hari saja, atau
b. Terapi Somatis
Terapi somatis adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan gangguan jiwa
dengan tujuan mengubah perilaku yang maladaptif menjadi perilaku adaptif dengan
melakukan tindakan yang ditujukan pada kondisi fisik pasien walaupun yang diberi
perlakuan adalah fisik klien, tetapi target terapi adalah perilaku pasien. Jenis terapi
somatis adalah meliputi pengikatan, ECT, isolasi dan fototerapi (Kusumawati &
Hartono, 2011).
2) Terapi kejang listrik adalah bentuk terapi kepada pasien dengan menimbulkan
kejang (grandmal) dengan mengalirkan arus listrik kekuatan rendah (2-3 joule)
dan lingkungan dari bahaya potensial yang mungkin terjadi. akan tetapi tidak
dianjurkan pada klien dengan risiko bunuh diri, klien agitasi yang disertai
dengan gangguan pengaturan suhu tubuh akibat obat, serta perilaku yang
menyimpang.
4) Terapi deprivasi tidur adalah terapi yang diberikan kepada klien dengan
mengurangi jumlah jam tidur klien sebanyak 3,5 jam. cocok diberikan pada
6. Pohon masalah :
C. Diagnosa keperawatan
sebagai berikut :
keperawatan guna membantu klien mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Carpenito
perlu memvalidasi apakah rencana tindakan yang ditetapkan masih sesuai dengan
kondisi pasien saat ini (here and now) (Yusuf dkk. 2015).
komunikasi terapeutik yangterdiri dari fase orientasi, fase kerja, dan terminasi (Yusuf
dkk. 2015).
dan Yudi, 2010). Terdapat 3 fase dalam dalam komunikasi terapeutik, dimana fase
pertama yaitu fase orientasi yang menggambarkan situasi pelaksanaan tindakan yang
akan dilakukan, kontrak waktu dan tujuan pertemuan yang diharapkan. Fase kerja
berisi beberapa pertanyaan yang akan diajukan untuk pengkajian lanjut, pengkajian
Budi Anna Keliat, et al. 2019. Asuhan Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Trimelia. 2011. Asuhan Keperawatan Klien Halusinasi. Cetakan 1. Jakarta : Trans Info
Medika.
Yusuf, A., Fitryasari, R., & Nihayati, H. E. (2014). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. (F.
Ganiajri, Ed.) (1st ed.). Jakarta : Salemba Medika.
Yusuf, A., Nihayati, H. E., Iswari, M. F., & Okviansanti, F. (2015). Kebutuhan
spiritual: konsep dan aplikasi dalam asuhan keperawatan. Buku Referensi, 1-316.
STRATEGI PELAKSANAAN
HALUSINASI PENDENGARAN
Klien terlihat bicara atau tertawa sendiri, marah-marah tanpa sebab, mendekatkan telinga
kea rah tertentu, dan menutup telinga. Klien mengatakan mendengar suara-suara atau
kegaduhan, mendengar suara yang mengajaknya bercakap-cakap, dan mendengar suara
menyuruh melakukan sesuatau yang berbahaya.
B. Diagnosis Keperawatan
Perubahan Persepsi Sensori: Halusinasi
C. Tujuan
a. Klien dapat membina hubungan saling percaya, dengan criteria sebagai berikut.
D. Intervensi Keperawatan
a. Bina hubungan saling percaya dengan prinsip komunikasi terapeutik
b. Bantu klien mengenal halusinasinya yang meliputi isi, waktu terjadi halusinasi,
frekuensi, situasi pencetus, dan perasaan saat terjadi halusinasi
c. Latih klien untuk mengontrol halusinasi dengan cara menghardik. Tahapan tindakan
yang dapat dilakukan meliputi hal-hal sebagai berikut.
E. Strategi Pelaksanaan
1. Orientasi
a. Salam Terapeutik
“Selamat pagi, assalamualaikum, boleh saya kenalan dengan Ibu? nama saya Ardi
, mahasiswa unniversitas MH Thamrin saya sedang praktik di sini dari pukul
14.00 WIB sampai dengan pukul 20.00 WIB. Kalau boleh saya tahu nama ibu
siapa dan senang dipanggil dengan sebutan apa?”
b. Evaluasi/validasi
“Bagaimana perasaan Ibu hari ini? Bagaimana tidurnya tadi malam? Ada keluhan
tidak?”
c. Kontrak
1) Topik
“Apakah Ibu tidak keberatan untuk ngobrol dengan saya? Menurut ibu
sebaiknya kita ngobrol apa ya? Bagaimana kalau kita ngobrol tentang suara
dan sesuatu yang selama ini Ibu dengar dan lihat tetapi tidak tampak
wujudnya?”
2) Waktu
“Berapa lama kira-kira kita bisa ngobrol? Ibu maunya berapa menit?
Bagaimana kalau 10 menit? Bisa?”
3) Tempat
“Di mana kita akan bincang-bincang ???
Bagaimana kalau di ruang tamu saya ???
2. Kerja
“Apakah Ibu mendengar suara tanpa ada wujudnya?”
“Apa yang dikatakan suara itu?”
“Apakah Ibu melihat sesuatu atau orang atau bayangan atau mahluk?”
“Seperti apa yang kelihatan?”
“Apakah terus-menerus terlihat dan terdengar, atau hanya sewaktu-waktu saja?”
“Kapan paling sering Ibu melihat sesuatu atau mendengar suara tersebut?”
“Berapa kali sehari Ibu mengalaminya?”
“Pada keadaan apa, apakah pada waktu sendiri?”
“Apa yang Ibu rasakan pada saat melihat sesuatu?”
“Apa yang Ibu lakukan saat melihat sesuatu?”
“Apa yang Ibu lakukan saat mendengar suara tersebut?”
“Apakah dengan cara itu suara dan bayangan tersebut hilang?”
“Bagaimana kalau kita belajar cara untuk mencegah suara-suara atau bayangan
agar tidak muncul?”
“Ibu ada empat cara untuk mencegah suara-suara itu muncul.”
“Pertama, dengan menghardik suara tersebut.”
“Kedua, dengan cara bercakap-cakap dengan orang lain.”
“Ketiga, melakukan kegiatan yang sudah terjadwal.”
“Keempat, minum obat dengan teratur.”
“Bagaimana kalau kita belajar satu cara dulu, yaitu dengan menghardik.”