Anda di halaman 1dari 66

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Luka Bakar


2.1.1 Definisi
Luka bakar adalah suatu bentuk kerusakan atau kehilangan jaringan yang
disebabkan kontak dengan sumber panas, bahan kimia, listrik dan radiasi. Kulit
dengan luka bakar akan mengalami kerusakan pada epidermis, dermis, maupun
jaringan subkutan tergantung faktor penyebab dan lamanya kontak dengan sumber
panas/penyebabnya. Kedalaman luka bakar akan mempengaruhi kerusakan/
gangguan integritas kulit dan kematian sel-sel. 5

2.1.2 Klasifikasi 

           1.      Berdasarkan penyebab :
a.      Luka bakar karena api
b.      Luka bakar karena air panas
c.      Luka bakar karena bahan kimia
d.      Luka bakar karena listrik
e.      Luka bakar karena radiasi
f.       Luka bakar karena suhu  rendah (frost bite)
            2.      Berdasarkan  kedalaman  :
a. Luka bakar derajat I
Luka bakar derajat pertama adalah setiap luka bakar yang di dalam proses
penyembuhannya tidak meninggalkan jaringan parut. Luka bakar derajat
pertama tampak sebagai suatu daerah yang berwarna kemerahan, terdapat
gelembung gelembung yang ditutupi oleh daerah putih, epidermis yang tidak
mengandung pembuluh darah dan dibatasi oleh kulit yang berwarna merah
serta hiperemis
Luka bakar derajat pertama ini hanya mengenai epidermis dan biasanya
sembuh dalam 5-7 hari, misalnya tersengat matahari. Luka tampak sebagai
eritema dengan keluhan rasa nyeri atau hipersensitifitas setempat. Luka
derajat pertama akan sembuh tanpa bekas.

b.      Luka bakar derajat II

3
Kerusakan yang terjadi pada epidermis dan sebagian dermis, berupa reaksi
inflamasi akut disertai proses eksudasi, melepuh, dasar luka berwarna merah
atau pucat, terletak lebih tinggi di atas permukaan kulit normal, nyeri karena
ujungujung saraf teriritasi. Luka bakar derajat II ada dua:
1)      Derajat II dangkal (superficial)
Kerusakan yang mengenai bagian superficial dari dermis, apendises kulit
seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea masih utuh. Luka
sembuh dalam waktu 10-14 hari.
2)      Derajat II dalam (deep)
Kerusakan hampir seluruh bagian dermis. Apendises kulit seperti folikel
rambut, kelenjar keringat, kelenjar sebasea sebagian masih utuh.
Penyembuhan terjadi lebih lama, tergantung apendises kulit yang tersisa.
Biasanya penyembuhan terjadi dalam waktu lebih dari satu bulan.
c.       Luka bakar derajat III
Kerusakan meliputi seluruh ketebalan dermis dan lapisan yang lebih
dalam, apendises kulit seperti folikel rambut, kelenjar keringat, kelenjar
sebasea rusak, tidak ada pelepuhan, kulit berwarna abu-abu atau coklat,
kering, letaknya lebih rendah dibandingkan kulit sekitar karena koagulasi
protein pada lapisan epidermis dan dermis, tidak timbul rasa nyeri.
Penyembuhan lama karena tidak ada proses epitelisasi spontan.4,5,7

2.1.3 Luas Luka Bakar

Berat luka bakar (Combustio) bergantung pada dalam, luas, dan letak luka.


Usia dan kesehatan pasien sebelumnya akan sangat mempengaruhi prognosis.
Adanya trauma inhalasi juga akan mempengaruhi berat luka bakar.5,6
Semakin luas permukaan tubuh yang terlibat, morbiditas dan mortalitasnya
meningkat, dan penanganannya juga akan semakin kompleks.  Luas luka bakar
dinyatakan dalam persen terhadap luas seluruh tubuh. Ada beberapa metode cepat
untuk menentukan luas luka bakar, yaitu:
1. Estimasi luas luka bakar menggunakan luas permukaan palmar pasien. Luas
telapak tangan individu mewakili 1% luas permukaan tubuh. Luas luka bakar
hanya dihitung pada pasien dengan derajat luka II atau III.
2.  Rumus 9 atau rule of nine untuk orang dewasa

4
Pada dewasa digunakan ‘rumus 9’, yaitu luas kepala dan leher, dada, punggung,
pinggang dan bokong, ekstremitas atas kanan, ekstremitas atas kiri, paha kanan,
paha kiri, tungkai dan kaki kanan, serta tungkai dan kaki kiri masing-masing
9%. Sisanya 1% adalah daerah genitalia. Rumus ini membantu menaksir luasnya
permukaan tubuh yang terbakar pada orang dewasa.
Wallace membagi tubuh atas bagian 9% atau kelipatan 9 yang terkenal
dengan nama rule of nine atua rule of wallace yaitu :
a.      Kepala dan leher : 9%
b.      Lengan masing-masing 9% : 18%
c.       Badan depan 18%, badan belakang 18% : 36%
d.      Tungkai maisng-masing 18% : 36%
e.       Genetalia/perineum : 1%
Total : 100%
Pada anak dan bayi digunakan rumus lain karena luas relatif permukaan
kepala anak jauh lebih besar dan luas relatif permukaan kaki lebih kecil. Karena
perbandingan luas permukaan bagian tubuh anak kecil berbeda, dikenal rumus
10 untuk bayi, dan rumus 10-15-20 untuk anak.

Gambar 2.1 Luas luka bakar.4,5

2.1.4 Permasalahan pada Luka Bakar

Luka bakar merupakan suatu keadaan yang sangat jauh berbeda dengan
penyakit atau kelainan yang ada. Kompleksitas permasalahan yang ada pada setiap

5
fase menyebabkan kesulitan dalam menyusun suatu bentuk standar pelayanan
baku, sehingga memerlukan beberapa alternatif. Sebagai jalan keluar untuk
mengatasi permasalahan standar pelayanan ini, maka penyusunan standar kembali
mengacu pada evidence-based medicine yang terdiri dari beberapa kategori;
menghasilkan beberapa kelas rekomendasi.6,9,10

0-48 (72)jam s/d 21 (32) hari s/d 8-12 bulan


Deteriorasi
SIRS & MODS Parut: Hipertrofik
ABC Keloid
Kontraktur

Gambar 2.2 Masalah pada luka bakar berdasarkan kronologi

Fase akut berlangsung selama 0-48jam bila mengacu pada proses


penyembuhan luka, namun bila mengacu pada gangguan permeabilitas kapilar, fase
akut dapat berlangsung lebih dari waktu tersebut. Demikian pula halnya dengan
fase subakut: bila mengacu pada konsep SIRS, maka fase subakut berlangsung s/d
hari ke-32 karena SIRS dapat dijumpai sampai dengan 32 hari pasca cedera.

a. Permasalahan tahap awal.


Sebagaimana diketahui, masalah yang timbul pada luka bakar fase akut terutama
berkaitan dengan gangguan jalan nafas (cedera inhalasi), gangguan mekanisme
bernafas dan gangguan sirkulasi; ketiganya menyebabkan gangguan perfusi jaringan
yang menyebabkan kematian dalam waktu singkat; atau bila korban dapat bertahan
(hidup) selama fase akut disertai kemungkinan timbulnya SIRS dan MODS yang
berakhir fatal.
Cedera inhalasi merupakan gangguan mukosa saluran nafas akibat paparan atau
kontak dengan sumber termis (sangat jarang), sisa pembakaran yang tidak sempurna
(toxic fumes), berbagai zat toksik seperti CO dan zat kimia lainnya. Cedera inhalasi
ini umumnya dijumpai pada luka bakar yang disebabkan api, terperangkap di ruang
tertutup, atau terpapar pada zat kimia. Dugaan kuat mengenai adanya cedera inhalasi
ini bila dijumpai luka bakar mengenai muka dan leher, serta adanya tanda bulu
hidung terbakar, sputum dan liur mengandung karbon. Kerusakan mukosa

6
sebagaimana dijelaskan juga dapat terjadi pada kasus luka bakar yang disebabkan
minyak panas, air panas atau bahan kimia yang mengenai muka, leher dan dada
bagian atas.
Terjadi edema mukosa mulai dari daerah orofaring dan laring (saluran nafas
bagian atas) sampai membran alveoli (saluran nafas bagian bawah). Gejala yang
timbul sangat bervariasi tergantung derajat paparan dan penyebab. Edema yang
bermakna pada saluran nafas bagian atas dapat menyebabkan obstruksi, ditandai
dengan perubahan suara (serak, stridor), kesulitan bernafas, dan pasien tampak
gelisah (hipoksik). Obstruksi seperti ini relatif jarang dijumpai, umumnya terjadi
dalam waktu kurang dari 8jam pasca cedera dan bersifat fatal bila tidak ditangani
segera. Proses inflamasi pada mukosa disertai produksi sekret yang banyak
(hipersekresi) merupakan hal yang umum dan menyebabkan masalah pada saluran
nafas. Inflamasi pada mukosa berlanjut dengan disrupsi; silia pada mukosa
mengalami nekrosis yang kemudian lepas (sloughing mucosa), disertai fibrin-
fibrin yang terbentuk pada proses dan atau partikel karbon bereaksi dengan sekret
membentuk cast (mucus plug) yang sulit dilepaskan; menyebabkan obstruksi
lumen. Obstruksi seperti ini lebih sering dijumpai, umumnya terjadi hari kedua-
keempat pasca cedera . 1,11
Pada luka bakar kimia (baik dalam bentuk cedera inhalasi maupun kontak dengan
bahan kimia) dan luka bakar listrik seringkali disertai bronkospasme yang bukan
merupakan hal yang umum terjadi pada luka bakar oleh sebab lainnya.
Bronkospasme terjadi akibat kerusakan atau reaksi inflamasi yang melibatkan otot
polos bronkus (proses inflamasi akibat luka bakar kimiawi lebih hebat dibandingkan
cedera termis lainnya; sedangkan pada luka bakar listrik spasme timbul sebagai
reaksi akibat aliran listrik).

Gangguan mekanisme bernafas


Terbatas / menurunnya kemampuan bernafas oleh karena berkurangnya daya
ekspansi dinding toraks disebabkan adanya eskar melingkar dan atau adanya cedera
toraks yang menyebabkan gangguan pernafasan (misal pneumotoraks, hematotoraks,
fraktur tulang iga dsb). Kondisi ini menyebabkan gangguan mekanisme respirasi
yang berdampak pada penurunan compliance paru dan berkurangnya suplai oksigen

7
yang diperlukan oleh sel / jaringan untuk menyelenggarakan metabolisme sehingga
akan memperberat dampak dari cedera pada sel/jaringan.
Eskar melingkar di dinding dada menyebabkan gangguan proses ekspansi rongga
toraks yang menyebabkan penurunan kapasitas bernafas (penurunan compliance
paru).13,14

Gambar 2.3 Eskar melingkar di dada menghalangi gerakan ekspansi rongga


toraks digambarkan sebagai jeratan tambang, menyebabkan
penurunan compliance paru.

b. Permasalahan tahap lanjut

Sloughing mucosa dan jaringan nekrosis merupakan pemicu dilepaskannya


mediator-mediator pro-inflamasi yang dilepas ke sirkulasi sistemik menyerang organ-
organ lain, terutama parenkim paru. Parenkim paru yang terkena umumnya jaringan
interstisiel disekitar pembuluh kapilar perialveolar, menyebabkan gangguan perfusi-
difusi (V/Q mismatch).1 Edema mukosa di saluran nafas bagian bawah, yang juga
melibatkan alveoli tidak bermanifestasikan obstruksi, namun gangguan ini biasanya
timbul pada 4-5 hari pasca cedera (mungkin dijumpai sampai dengan hari ke10-15)
dalam bentuk Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS).10

Reaksi inflamasi yang timbul disebabkan beredarnya makrofag di alveolus (lihat


gambar 4 di halaman sebelumnya), menyebabkan kerusakan surfaktan dan proliferasi
fibrin di permukaan alveoli yang berlanjut dengan pembentukan membran serupa
dengan Membrane Hyaline Disease pada neonatus (Neonatal Respiratory Distress
Syndrome atau Congenital Respiratory Distress Syndrome).13

8
Gambar 2.4 Perubahan patologik membran basalis alveolus pada ARDS. Kerusakan
surfaktan disertai pembentukan membran hialin yang menghalangi proses perfusi
difusi; terjadi karena proses inflamasi sistemik dengan fokus primer di luar paru.

2.1.5 Penatalaksanaan Luka Bakar


Kasus luka bakar merupakan suatu bentuk cedera, sehingga penatalaksanaannya
secara umum sesuai dengan penatalaksanaan cedera yang diterapkan menurut Advanced
Trauma Life Support (ATLS), secara khusus menurut Advanced Burn Life Support
(ABLS) dijabarkan sebagai berikut: 18,20
A. Primary Survey
1. Penilaian jalan nafas (Airway)
Perhatian utama ditujukan pada status pernafasan pasien yang berhubungan dengan
adanya riwayat paparan saluran nafas terhadap suhu tinggi dan atau asap /sisa
pembakaran yang terhisap. Adanya cedera inhalasi dicurigai pada kasus-kasus seperti
dibawah ini:
1. Riwayat terbakar di dalam ruang tertutup
2. Riwayat terpapar pada ledakan
3. Luka bakar mengenai muka
4. Bulu hidung dan alis terbakar
5. Dijumpai deposit karbon dan tanda-tanda radang akut daerah orofaring
6. Sputum mengandung karbon.
Komplikasi jalan napas dapat terbagi pada 3 fase sindrom :

9
a. Komplikasi dini (0-24 jam post trauma) meliputi keracunan carbon monoxide
dan direct inhalation injury, dan bisa berlanjut menjadi obstruksi airway dan
edema pulmonal.
b. Delayed injury (2-5 hari post trauma) terjadi respiratory distress sndrome
c. Komplikasi lanjut, muncul setelah hitungan hari atau minggu, terjadi pneumonia,
atelektasis, dan emboli pulmonal.

2. Penilaian mekanisme bernafas (Breathing)


Perhatian utama ditujukan pada gangguan mekanisme bernafas oleh karena adanya
eskar melingkar di dinding dada dan atau ada cedera toraks (misal pneumotoraks,
hematotoraks, fraktur tulang iga dsb). 8,9

Cedera Inhalasi
Adalah suatu terminologi cedera mukosa akibat paparan terhadap cedera termis dan
atau kimiawi yang terjadi pada luka bakar. Cedera panas secara langsung yang
menyebabkan edema yang dapat berlanjut
menjadi suatu bentuk obstruksi saluran nafas bagian atas (edema jalan nafas besar, di atas
glotis) Inhalasi sisa pembakaran yang tidak sempurna (misalnya partikel-partikel karbon
dan gas toksik, cedera kimiawi) yang menyebabkan (cedera di bawah glotis):
a) Edema : Edema laring
b) Trakeobronkitis
c) Pneumonia

Kondisi patologik ini menyebabkan gangguan suplai oksigen yang diperlukan oleh sel /
jaringan untuk menyelenggarakan metabolisme sehingga akan memperberat dampak dari
cedera pada sel / jaringan.

Cedera inhalasi asap panas


Insidensinya berkisar 5 – 35% dari semua pasien luka bakar. Angka kematian pada
cedera inhalasi terisolasi sekitar 10 %, tetapi akan meningkat menjadi 2 kali lipat apabila
disertai luka bakar ditempat lain.
Cedera inhalasi menimbulkan efek berbahaya pada saluran nafas atas dan bawah.
Produk kimiawi pada asap (seperti amonia, nitrogen dioksida, sulfur dioksida, dan klorida)

10
yang bereaksi dengan uap air pada saluran nafas akan menghasilkan asam dan basa kuat
(misalnya sulfur dioksida akan membentuk asam sulfur). Hasil akhir ini akan
menyebabkan bronkospasme, udema jalan nafas, dan ulkus membran mukosa. Gas lain
seperti nitrogen oksida, fosgen, asam hidroklorid, dan asam sulfur dapat menembus jalan
nafas lebih dalam, sehingga dapat merusak membran alveoli, dan mengganggu aktivitas
surfaktan. Hasil akhir cedera inhalasi adalah nekrosis epitel trakhea dan bronkus, sehingga
menyebabkan obstruksi jalan nafas parsial atau komplit, dan merusak sistem pertahanan
jalan nafas terhadap infeksi. 1,14
Senyawa aldehida seperti akrolein yang dihasilkan oleh terbakarnya katun, kayu,
dan bermacam serabut sintetik akan mengganggu fungsi silier dan merusak permukaan
mukosa (terjadi udema dan transudasi mukus). Kadar akrolein hanya 10 ppm sudah dapat
menimbulkan udema pulmo.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat mengarahkan secara akurat terjadinya
cedera inhalasi. Pasien yang ditemukan pada lingkungan api di ruang tertutup atau terjebak
(misalnya di rumah atau dalam mobil) merupakan resiko tinggi terjadinya cedera inhalasi.
Luka bakar pada wajah, dahak berwarna hitam (karbon), dan gangguan bernafas
merupakan tanda penunjang. Pemeriksaan gas darah sangat membantu dalam
penatalaksanaan berikutnya, dengan mengetahui tekanan parsial oksigen dan
karbondioksida, saturasi oksigen, dan lain-lain. Pemeriksaan lainnya yang diperlukan yaitu
rontgen thorak dan bronkoskopi fiberoptik.
Terdapat hubungan antara gambaran bonkoskopi dengan faktor resiko cedera
inhalasi yang dapat meningkatkan akurasi diagnosis. Gambaran bronkoskopi yang positif
menunjukkan terjadinya cedera inhalasi didapatkan pada 96 % pasien yang memiliki trias:
api di ruang tertutup, kadar karboksihemoglobin >10 %, dan dahak berwarna hitam
karbon. Gambaran positif muncul sebesar 70% pada pasien yang hanya memiliki 2
parameter klinis cedera inhalasi, dan hanya <30% pada pasien dengan 1 parameter klinis
cedera inhalasi.
Penatalaksanaan cedera inhalasi yang terpenting adalah intubasi trakheal seawal
mungkin, dengan bantuan ventilasi mekanik dan perawatan intensif untuk mengantisipasi
terjadinya bronkospasme berat, kerusakan alveolar, dan udema paru-paru. Komponen
senyawa kimiawi khusus, seperti karbonmonoksida dan sianida, memerlukan penanganan
yang lebih spesifik.

11
Cedera sistem respirasi yang tidak langsung terjadi pada pasien luka bakar di kulit
tanpa ada bukti klinis terjadi cedera inhalasi. Mekanismenya bermacam-macam, misalnya
akibat resusitasi cairan yang masif, atau akibat terjadinya penurunan tekanan onkotik
plasma melalui kehilangan protein plasma melalui jaringan luka bakar. Mediator inflamasi
(lipid peroksida, prostanoid, komplemen) yang dilepaskan oleh jaringan yang terbakar juga
ikut berperan dalam terjadinya udema paru-paru. 1,4,12,16

Penatalaksanaan Jalan Nafas


Informasi awal yang harus diperoleh adalah ada tidaknya abnormalitas jalan nafas
sebelumnya, cedera jalan nafas yang ada sekarang, dan tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
Setelah informasi terkumpul, maka rencana terbaik dalam penatalaksanaan jalan nafas
dapat segera disusun saat pasien datang ke rumah sakit. Meskipun jalan nafas pasien
tampak normal, perlu dipertimbangkan untuk melakukan intubasi endotrakheal profilaktik.
Tidak semua cedera jalan nafas bermanifestasi segera. Udema jalan nafas yang
berhubungan dengan resusitasi cairan masif dapat mengganggu jalan nafas dan
mempersulit dilakukannya intubasi trakhea. Sebagai kaidah umum, lebih baik melakukan
intubasi pasien luka bakar secepatnya daripada terlambat melakukannya. 1,2,9,11
Apabila terdapat cedera jalan nafas atas dengan tanda obstruksi jalan nafas, pasien
memerlukan intubasi trakheal sesegera mungkin. Sehingga diperlukan tenaga dan sarana
yang mencakup anestesiolog yang berpengalaman, peralatan untuk berbagai macam teknik
intubasi, mesin anestesi, dan termasuk kemungkinan dilakukannya pembebasan jalan nafas
secara operatif.
Patofisiologi kerusakan parenkim paru sampai saat ini penyebabnya belum jelas,
apakah disebabkan langsung oleh panas (thermal) atau bahan-bahan kimia (chemical) atau
karena efek tidak langsung akibat terapi cairan yang berlebihan, infeksi sekunder, ARDS
ataupun karena edema paru.
Gangguan pernapasan umumnya disebabkan karena kerusakan termal atau kemikal
pada permukaan epitel pada saluran napas. Kerusakan sekunder disertai pneumonia
bakterial dapat terjadi beberapa hari setelah terpapar, yang selanjutnya menyebabkan
kerusakan sitotoksik. Proses inflamasi akan menyebabkan infiltrasi neutrofil, merusak
makrofag dalam alveoli, sehingga memudahkan bakteri berkembang biak.
Hipoksemia terjadi karena penurunan konsentrasi oksigen yang dihisap pasien
ditempat kejadian, sumbatan jalan napas, kerusakan parenkim paru atau toksn-toksin

12
(sianida dan CO) yang menghambatan transport oksigen ke jaringan. Disfungsi multi
organ yang sering timbul akibat hipoksia tersebut akan menyebabkan morbiditas dan
mortalitas meningkat tajam.
Penatalaksanaan luka bakar tanpa distress pernapasan :
1. Intubasi (pemasangan pipa endotrakeal) tanpa menggunakan pelumpuh otot dan tanpa
ventilator
2. Pemberian oksigen 2-4 liter/menit melalui pipa endotrakeal
3. Penghisapan sekret secara berkala
4. Humidifikasi dengan pemberian nebulizer setiap 6 jam
5. Pemberian bronkodilator (Ventolin inhalasi) dilakukan bila jelas dijumpai gejala dan
tanda distress pernapasan
6. Pemantauan gejala/tanda distress pernapasan :
a. Gejala subyektif : gelisah, sesak napas
b. Gejala obyektif : peningkatan frekuensi pernapasan (>30 x/menit),
sianotik, stridor, aktivitas otot pernapasan bertambah
c. Untuk pemantauan ini dilakukan pemeriksaan :
* Analisis gas darah :
- pada pertama kali penderita ditolong (saat resusitasi)
- pada 8 jam pertama
- dalam 24 jam pasca cedera
- selanjutnya sesuai kebutuhan
* Foto thorax 24 jam pasca cedera
7. Pemeriksaan radiologi
8. Pelaksanaan dilakukan di ruang resusitasi instalasi gawat darurat

Penatalaksanaan Cedera Inhalasi


Kasus luka bakar dengan kecurigaan / bukti klinis-obyektif adanya cedera inhalasi
(seperti edema muka sekitar hidung-mulut dan leher, bulu hidung terbakar dan edema
mukosa hidung) tanpa gejala dan tanda distres pernafasan. Pada kasus ini mendapat
perhatian dan perlakuan secara khusus dalam 8 (delapan) jam pertama pasca kejadian,
didasari pemikiran bahwa obstruksi akibat edema mukosa saluran nafas bagian atas
(edema jalan nafas besar, di atas glotis) biasanya terjadi dalam kurun waktu tersebut;

13
meskipun obstruksi dapat terjadi dalam 24-36 jam pertama (edema jalan nafas dengan
diameter lebih kecil). Pada umumnya kondisi ini disebabkan oleh cedera termis. 2,16
Prosedur yang dilakukan, antara lain:
1. Intubasi dan atau krikotiroidotomi:
- Bila dijumpai distres pernafasan, kerjakan krikotiroidotomi
- Bila tidak dijumpai distres pernafasan, kerjakan intubasi dan atau krikotiroidotomi
Intubasi (pemasangan pipa endotrakea) tanpa menggunakan pelumpuh otot
sebagai premedikasi, dilanjutkan perawatan dengan atau tanpa ventilator
2. Pemberian oksigen 2-4 liter/menit melalui pipa endotrakea
3. Penghisapan sekret secara berkala
4. Humidifikasi dengan melalui pipa endotrakea dan atau kanula krikotiroidotomi
selama 24 jam
5. Lavase bronko-alveolar (bronchial washing, pulmonary toilet) untuk melepaskan sekret
kental yang melekat dan mengencerkannya serta membersihkan sloughing mucosa yang
memicu terbentuknya cast penyebab obstruksi.
6. Pemberian bronkodilator-selektif secara inhalasi: 1 ampul diuapkan dalam nebulizer, 3
kali sehari; dilakukan bila cedera inhalasi disebabkan oleh sisa pembakaran tak
sempurna yang berasal dari bahan-bahan kimiawi (luka bakar kimia dan luka bakar
listrik).
7. Pemantauan gejala dan tanda distres pernafasan:
Gejala subyektif : Gelisah (akibat hipoksia), sesak nafas (dispnu). Pada penderita
yang gelisah selalu dipikirkan kemungkinan pertama telah terjadi hipoksemia khususnya
pada sirkulasi serebral sebagai penyebab kegelisahan. Kemungkinan oleh sebab lain
dipikirkan kemudian.
Gejala obyektif : Klinis: peningkatan frekuensi pernafasan (>30kali per menit),
pernafasan dangkal, sianotik, stridor, aktivitas otot-otot pernafasan tambahan,
Pemeriksaan bantuan: perubahan nilai hasil pemeriksaan analisis gas darah (yang terjadi
pada masa akut / 8 jam pertama pasca kejadian) sementara gambaran perselubungan /
infiltrat pada paru biasanya baru dijumpai >24jam s/d 4-5 hari (biasanya dikaitkan
dengan entitas Acute Respiratory Distress Syndrome, ARDS), untuk pemantauan ini ,
maka dilakukan pemeriksaan :
a. Analisis gas darah serial
1. Pertama kali pasien ditolong (saat resusitasi)

14
2. Dalam 8jam pertama
3. Dalam 24jam pasca cedera
4. Selanjutnya sesuai kebutuhan
b. Foto toraks/paru, 24jam pasca cedera dan 3-4 hari pasca cedera. Pemeriksaan
radiologik (foto toraks/paru) dikerjakan bila masalah pada jalan nafas, pernafasan dan
gangguan sirkulasi telah diatasi.
8. Pelaksanaan intubasi-krikotiroidotomi dan perawatan jalan nafas dilakukan di Ruang
Resusitasi Instalasi Gawat Darurat (IGD)
9. Tindakan resusitasi jalan nafas dilakukan sebelum tindakan resusitasi cairan
10. Penatalaksanaan di ruang intensif selanjutnya adalah perawatan saluran nafas
(trakeostomi atau krikotiroidotomi) dengan penghisapan sekret secara periodik,
humidifikasi dan lavase bronkial (bronchial-washing, pulmonary toilet). Seringkali
dijumpai sekret kental bercampur dengan sloughing mucosa yang dapat menyebabkan
obstruksi (cast, mucus plug) dengan gejala distres pernafasan; dalam hal ini
diperlukan prosedur pembersihan kanula trakeostomi trakeostomi / krikotiroidotomi
secara periodik.
11. Prosedur rehabilitasi pernafasan dilakukan dengan cara mengatur posisi pasien (duduk
atau setengah duduk, pronasi), vibrasi dan latihan otot-otot pernafasan baik secara
pasif maupun aktif, latihan refleks batuk dsb dimulai sejak awal.
Penatalaksanaan cedera inhalasi tanpa distres pernafasan diperlakukan sebagai
cedera inhalasi dengan distres pernafasan (lebih agresif), sampai terbukti tidak ada
distres pernafasan yang membahayakan jiwa pasien. Intubasi dan atau
krikotiroidotomi disini bukan merupakan sarana mengatasi obstruksi jalan nafas akut,
namun untuk memfasilitasi perawatan jalan nafas. Dengan intubasi dan atau
krikotiroidotomi, perawatan jalan nafas (penghisapan sekret, humidifikasi, lavase
bronko-alveolar, dsb) dapat dikerjakan secara optimal.
Penatalaksanaan cedera inhalasi dengan distres pernafasan yang bersifat gawat
darurat memerlukan tindakan agresif agresif untuk mengatasi distres pernafasan yang
membahayakan jiwa pasien. Yang terbaik adalah melakukan trakeostomi /
krikotoroidotomi.
Distres pernafasan merupakan suatu kondisi yang membahayakan jiwa pasien
karena terjadi hipoksia jaringan (khususnya membahayakan sel-sel glia/otak yang
akan menyebabkan gangguan sentral dan sistemik). Upaya memelihara tersedianya

15
suplai oksigen dilakukan secara maksimal dengan menjaga patensi saluran nafas (baik
dengan intubasi maupun trakeostomi / krikotiroidotomi), perawatan saluran nafas
dengan melakukan penghisapan sekret secara berkala, humidifikasi (menggunakan
uap air) untuk mengencerkan sekret kental; serta menyediakan suplai oksigen 2-4 liter
per menit.
Dengan perawatan ini, proses inflamasi pada mukosa akan diredam, saluran
nafas bebas dan suplai oksigen akan terselenggara baik. Proses pembuktian (sekaligus
perawatan saluran nafas) terbaik dikerjakan menggunakan bronkoskop, sehingga
diagnosis cedera inhalasi dapat ditegakkan lebih awal dan penatalaksanaan selanjutnya
menjadi lebih tepat. Bila kasus ini diabaikan (tidak melakukan tindakan perawatan
secara agresif, hanya melakukan observasi saja) pada saat proses inflamasi semakin
hebat dan manifestasi distres pernafasan menjadi nyata, pertolongan (resusitasi) jarang
memberikan hasil baik.

Prosedur Intubasi Endotrakea dan Krikotiroidotomi


Sebagaimana diketahui, tujuan prosedur intubasi disini yang utama ada dua,
yaitu : pertama, mempertahankan patensi jalan nafas (mencegah atau mengatasi
obstruksi terutama jalan nafas bagian atas) dan kedua, sebagai fasilitas pemeliharaan
jalan nafas (penghisapan lendir berkala, lavase bronko-alveolar); yang tidak selalu
harus dilanjutkan dengan penggunaan ventilator.1,11 Premedikasi dan pemberian zat
pelemas otot bertujuan mempermudah prosedur intubasi (mengatasi spasme) pada
pembiusan elektif, yang kemudian dilanjutkan dengan penggunaan ventilator. Pada
cedera inhalasi (yang merupakan kasus gawat darurat), premedikasi justru menekan
respon tubuh yang terjadi (sebagai mekanisme kompensasi pada suatu cedera)
sehingga akan membahayakan pasien. 1,4
Intubasi pada prosedur elektif dimungkinkan untuk dikerjakan sampai dengan
tiga kali diselingi oksigenasi; ketentuan ini tidak berlaku pada prosedur intubasi
emergensi pada cedera inhalasi karena akan memperberat patologi mukosa. Penerapan
klinik kedua hal tersebut di atas memang tidak mudah, namun dengan keahlian dan
pengalaman hal ini menjadi relatif mudah. Yang perlu diperhatikan adalah prinsip-
prinsip yang mendasar disertai rasionalitas (evidence based), oleh karenanya tidak ada
gold standard untuk masalah ini.6-7

16
Krikotiroidotomi dan atau trakeostomi emergensi menjadi topik pro dan kontra
karena dianggap terlalu agresif dan menimbulkan morbiditas lebih besar dibandingkan
intubasi. Sebetulnya prosedur krikotiroidotomi lebih mudah dikerjakan tanpa
morbiditas berarti, namun jelas efektif menurunkan mortalitas. Penggunaan kanula
trakeostomi tidak menimbulkan permasalahan yang timbul akibat adanya pipa panjang
di bronkus: bertambahnya dead space,8 berkurangnya volume tidal, memfasilitasi
reaksi inflamasi dengan manifestasi bertambahnya hipersekresi dan meningkatkan
kemungkinan terbentuknya mucus plug dan atelektasis. Karenanya, timbul pemikiran
untuk melakukan krikotiroidotomi primer maupun konversif pada kasus-kasus yang
diperkirakan akan lama menggunakan intubasi (lebih dari 2 minggu, misalnya pada
luka bakar luas disertai cedera inhalasi) dan memerlukan ventilator. 11-13 Disamping itu,
efektifitas intubasi dipertanyakan dalam hal perawatan jalan nafas (humidifikasi,
penghisapan sekret dsb); yang tidak demikian halnya dengan krikotiroidotomi.
Penggunaan pipa dengan balon (cuff) menimbulkan pro dan kontra. Balon
akan menyebabkan iritasi pada mukosa yang inflamatif dan menyebabkan mukosa
bronkus di sepanjang pipa yang terletak ke arah proksimal (oral/nasal) tidak mendapat
perawatan jalan nafas sebagaimana tujuan utama prosedur intubasi itu sendiri.
Namun, terlepas dari kelebihan / kekurangan masing-masing, intubasi atau
krikotiroidotomi mutlak dikerjakan dalam resusitasi jalan nafas (Rekomendasi A). 7
Prosedur intubasi harus dilanjutkan dengan perawatan pipa secara periodik (tiap 2-5
hari)7; bila perawatan pipa tidak dimungkinkan (pipa dibersihkan di luar) maka segera
konversi ke krikotiroidotomi, terapi inhalasi (nebulization), lavase bronko-alveolar,
pemberian bronkodilator dan terapi oksigen.

Prosedur Intubasi
Indikasi
’Airway maintenance’
1. Selama prosedur anestesi
2. Pada keadaan-keadaan darurat:
a. Obstruksi jalan nafas bagian atas (trauma jalan nafas bagian atas memerlukan
krikotiroidotomi)
b. ’Facial burns’
c. Cedera kepala dan leher

17
d. ‘Respiratory failure’
e. ‘Cardiac arrest’
f. Aspirasi isi lambung
Kontraindikasi
- Kondisi hipoksik
Untuk prosedur intubasi elektif atau kondisi darurat, selalu upayakan ventilasi O2
menggunakan sungkup (’face mask’) dan ’breathing bag’ sebelum prosedur intubasi
- Cedera vertebra servikalis
Untuk melakukan maintain jalan nafas, upayakan melalui prosedur krikotiroidotomi
sebagai upaya mencegah ekstensi kepala saat prosedur intubasi. 1,11,17,21

Intubasi pasien luka bakar dengan kemungkinan intubasi sulit


Teknik paling aman pada kasus ini adalah melakukan intubasi pada kondisi
pasien sadar. Kunci penanganan pada teknik ini adalah anestesi topikal yang adekuat,
memposisikan pasien dengan baik, dan pemberian oksigen dengan baik. Pemberian
opioid intravena dapat diberikan untuk analgesi sistemik, tetapi obat sedatif harus hati-
hati atau jangan diberikan pada pasien ini karena dapat memperburuk kondisi jalan
nafas. Teknik intubasi yang ideal adalah dengan menggunakan fiberoptik fleksibel,
meskipun teknik terbaik tergantung kemampuan dan pengalaman anestesiolog yang
ada. Apabila jalan nafas bagian atas sudah sangat rusak atau intubasi trakheal tidak
bisa dilakukan, perlu dilakukan tindakan penanganan jalan nafas dengan pendekatan
pembedahan (krikotiroidotomi jarum, krikotiroidotomi pembedahan, atau
trakheostomi).
Pasien anak yang memerlukan intubasi perlu dilakukan induksi dengan
inhalasi (halotane atau sevoflurane), karena umumnya mereka tidak kooperatif.
Pemilihan pipa endotrakheal (dengan atau tanpa balon/cuff) memiliki keuntungan dan
kerugian masing-masing. Secara umum lebih disukai menggunakan pipa endotrakheal
tanpa balon pada pasien bayi/anak, karena diameter pipa endotrakheal akan lebih
besar dan cincin krikoid yang sempit akan menyekat kebocoran aliran udara dengan
baik. Pasien anak yang lebih besar dan pasien yang memerlukan tekanan inspirasi
tinggi selama menggunakan ventilator mekanik akan memerlukan pipa endotrakheal
dengan balon. Stridor pasca ekstubasi merupakan komplikasi intubasi trakheal
tersering pada anak akibat terjadinya udema jalan nafas. Ekstubasi dilakukan jika

18
udema jalan nafas sudah tidak ada, yang dapat diketahui dengan adanya kebocoran
aliran udara disekitar pipa endotrakheal atau dengan melihat secara langsung
menggunakan laringoskopi direk. Perlu dilakukan pengawasan ketat terjadinya
obstruksi jalan nafas pasca ekstubasi selama 24-48 jam.

Intubasi pada pasien luka bakar tanpa prediksi intubasi sulit


Apabila pasien tidak terdapat prediksi intubasi sulit, intubasi dilakukan dengan
teknik urutan cepat (RSI) menggunakan induksi intravena dan pelumpuh otot kerja
cepat. Telah diketahui bersama bahwa pemberian suksinilkolin tidak aman pada
pasien > 24 jam pasca luka bakar. Reseptor asetilkolin ekstrajungsional berproliferasi
setelah terjadi luka bakar, akibatnya terjadi pelepasan kalium yang berlebihan setelah
pemberian suksinilkolin. Peningkatan cepat kadar kalium sampai > 9 mMol/L pernah
dilaporkan, dan dihubungkan dengan terjadinya henti jantung mendadak. Masih
terdapat jeda waktu aman sampai 24 jam pasca terjadi luka bakar, karena proses
proliferasi reseptor membutuhkan waktu beberapa hari. Masih belum jelas sampai
berapa lama respon hiperkalemi ini akan terjadi. Rokuronium dosis tertentu dapat
digunakan sebagai alternatif pemakaian suksinilkolin untuk RSI.
Ekstubasi
1. Hisap sekret di faring
2. Hisap pipa endotrakea:
􀂃 Batasi hanya sekitar 10 detik
􀂃 Bila tidak ada sekret, dengan sendirinya prosedur ini tidak diperlukan
3. Ventilasi pasien
􀂃 Gunakan ’breathing bag’ dengan oksigen 100%
􀂃 Beri beberapa pernafasan dalam
4. Pencabutan pipa
􀂃 Kempeskan cuff
􀂃 Penarikan pipa dilakukan setelah inspirasi dalam
􀂃 Berikan O2 melalui sungkup (face mask)

Penggunaan ventilator
Respirasi inadekuat memerlukan bantuan ventilator mekanik. Penggunaannya
didasari pertimbangan klinik, khususnya pada fase awal dan bukan pada fase terminal.

19
Namun, parameter yang umum diterapkan untuk menentukan indikasi penggunaan
ventilator berdasarkan adanya tanda-tanda gagal nafas, yaitu frekuensi pernafasan >30kali
per menit, aktivitas otot pernafasan tambahan, hipoksemia (PaO2 <70mmHg),
hiperkapnia (PaCO2 <50mmHg) dan kapasitas vital <4mL/kg. Rasio PaO2/FiO2 turun
<200, menunjukan kerusakan parenkim paru yang serius, biasanya berakhir fatal.

Penatalaksanaan eskar melingkar di dada


Kasus luka bakar dengan kecurigaan / bukti klinis-obyektif adanya cedera inhalasi
seperti edema muka sekitar hidung-mulut dan leher, bulu hidung terbakar dan edema
mukosa hidung; tanpa gejala dan tanda distres pernafasan. 1,3,4,17
1. Pemantauan gejala dan tanda distres pernafasan:
Gejala subyektif : gelisah (akibat hipoksia), sesak nafas (dispnu)
Gejala obyektif : peningkatan frekuensi pernafasan (>30kali per menit), dangkal, disertai
tanda-tanda distres pernafasan lain sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
2. Untuk pemantauan ini, dilakukan pemeriksaan sebagaimana penatalaksanaan cedera
inhalasi.
3. Sayatan-sayatan pada kulit menembus seluruh ketebalan eskar (eskarotomi) untuk
melepaskan jeratan eskar yang menyebabkan gangguan ekspansi rongga toraks di
beberapa tempat; dengan atau tanpa anestesi lokal menggunakan pisau dengan bilah no
10, 22 atau 24.
4. Tindakan ini dilakukan sebelum tindakan resusitasi cairan
5. Pelaksanaannya dilakukan di Ruang Resusitasi Instalasi Gawat Darurat (IGD)
6. Penatalaksanaan di ruangan selanjutnya adalah melakukan perawatan luka sayatan
Kasus ini mendapat perhatian dan perlakuan khusus terutama pada kesempatan pertama
pasca kejadian, didasari pemikiran: Suplai oksigen yang adekuat harus terselenggara
dalam memperbaiki perfusi selular/jaringan untuk mencegah disfungsi organ yang akan
berlanjut dengan kerusakan yang bersifat ireversibel. Suplai oksigen terganggu bukan
hanya disebabkan karena adanya gangguan jalan (saluran) nafas semata, namun juga
karena adanya gangguan mekanisme respirasi (ekspansi rongga toraks) yang
disebabkan adanya eskar melingkar di dinding rongga toraks. Beberapa sayatan pada
eskar (eskarotomi) akan melepaskan jeratan eskar sehingga gerakan ekspansi rongga
toraks dapat terselenggara dengan baik. Penatalaksanaan eskarotomi dikerjakan sebagai
prioritas kedua setelah resusitasi saluran nafas.

20
Sebagai dasar ilmiah bahwa Complíance paru dipengaruhi oleh gerakan dinding
dada pada proses respirasi. Adanya eskar khususnya melingkar akan menyebabkat
limitasi gerakan dinding dada sehingga menurunkan kapasitas pengembangan paru.

B. Penilaian Sirkulasi (Circulation)


Perhatian utama ditujukan pada adanya manifestasi klinik syok hipovolemia
intravaskular dan syok selular yang timbul pada luka bakar (yaitu: gangguan kesadaran,
pucat, takikardi, nadi cepat dan tidak teratur disertai pengisian kapilar yang tidak
adekuat atau uji pengisian kapilar > 2detik, suhu tubuh turun baik suhu sentral maupun
perifer) .1,9

Patofisiologi gangguan sirkulasi pada luka bakar

Setelah suatu cedera termis, terjadi pelepasan histamin yang diikuti oleh aktivasi
faktor komplemen yang mengakibatkan perlekatan leukosit PMN dengan endotel.
Endotel inflamatif melepaskan radikal bebas, diikuti oleh peroksidasi lipid yang
mengaktivasi metabolisme asam arakidonat. Hal ini menyebabkan aktivasi kaskade
koagulasi dan pelepasan sitokin, khususnya interleukin (IL1 dan IL6) serta tumor
necrotizing factor (TNF ). Proses inflamasi mengakibatkan perubahan morfologi
endotel (membulat) dengan jarak interselular membesar, mengakibatkan perubahan
keseimbangan tekanan onkotik di ruang intravaskular dan interstisiel dan keluarnya
cairan ke ruang interstisiel (patogenesis edema interstisiel). Edema interstisiel
menyebabkan hipovolemia dengan dampak gangguan sirkulasi, dengan akibat hipoksia
(gangguan perfusi) jaringan dengan dampak terganggunya metabolisme sel
(metabolisme aerob berubah menjadi metabolisme anaerob); sementara penimbunan
cairanpun merupakan penyebab terjadinya gangguan perfusi distal dari daerah edema.
Hipoksia jaringan berlanjut diperberat dengan beredarnya hasil metabolisme anaerob,
pelepasan radikal bebas dan mediator-mediator pro-inflamasi lainnya menyebakan
gangguan perfusi bertambah berat (cedera reperfusi) dengan akibat disfungsi organ
yang berakhir dengan kegagalan organ menjalankan fungsinya .1,9,11
Ernest H Starling (1866-1927, Physiologist di London, UK) menjelaskan faktor
yang menentukan perpindahan cairan melalui endotel kapilar. Menurutnya,
perpindahan cairan ke ruang interstisiel dikendalikan oleh gradien tekanan hidrostatik

21
yang dilawan oleh gradien tekanan osmotik dari koloid; dikenal sebagai hukum
Starling (Starling’s forces) : 1

Jv = Kf (PMV – PIS) - §(COPMV – COPIS)

Jv : mencerminkan kecepatan filtrasi cairan melalui kapilar


Kf : koefisien ultrafiltrasi (ukuran permeabilitas)
PMV : tekanan hidrostatik di dalam kapiler
PIS : tekanan hidrostatik di ruang interstitiel
S : koefisien-refleksi dan nilai relativ yang menggambarkan
kemampuan membran semipermeabel mencegah berpindahnya
cairan
COPMV : tekanan onkotik di kapiler
COPis : tekanan onkotik koloid di jaringan

Peningkatan permeabilitas dari tempat yang mengalami luka bakar dan melalui
jalur mikrovaskular menyebabkan pergeseran cairan dari volume plasma ke ruang
interstitial. Terjadi destruksi sel darah merah, hematokrit akan meningkat karena kontraksi
dari volume intravaskular. Penurunan volume intravaskular paling sering terjadi pada 24
jam pertama dan digantikan dengan cairan kristaloid (seperti Ringer Laktat 2-4 ml/kg per
persentasi luas luka bakar). Cardiak output akan menurun seiring terjadinya kontraksi dari
volume plasma dan faktor yang mendepresi sirkulasi miokardial. Perfusi dari organ vital
dimonitor dengan mengukur urine output lewat folley kateter. Jika volume replacement
tidak adekuat maka pemberian supportif obat inotropik dengan Dopamine dapat
dipertimbangkan. Untuk dapat mempertahankan keseimbangan (cairan tetap berada di
dalam ruang intravaskular), § harus mempunyai nilai besar (mendekati 1.0). Nilai §
berbeda pada tiap jaringan; misalnya, paru tergolong moderately permeable (§= 0.6); otot
tergolong moderately impermeable (§ = 0.9); otak dan glomerulus sangat impermeable
terhadap protein (§= 0.99 dan 1.0). Nilai § pada jaringan lain misalnya hati sangat rendah
(§= 0). 1,2,8
Pada syok luka bakar, terjadi kerusakan endotel yang diikuti oleh perubahan nilai
Kf. Dengan sendirinya terjadi perpindahan cairan dari ruang intravaskular ke ruang
interstisiel. Starling equation ini berlaku untuk semua jenis cairan yang diberikan, misalnya

22
cairan koloid. Maka COPMV dan COPis adalah nilai-nilai cairan koloid, demikian pula
halnya dengan nilai §. Bila nilai § koloid adalah sama dengan 1.0, maka cairan tersebut
akan tetap dipertahankan di dalam ruang intravaskular. Kristaloid memiliki nilai § kecil,
sehingga pemberian cairan kristaloid akan diikuti perpindahan cairan ke ruang intrerstisiel.
Gangguan perfusi merupakan suatu kondisi penyebab hipoksemia yang menjadi
fokus perhatian pada patofisiologi syok mengikuti suatu cedera berat. Kerusakan organ
yang terjadi sangat tergantung dari waktu karena masing-masing organ mempunyai batas
toleransi tertentu untuk kondisi hipoksia ini (waktu iskemik). Sel-sel glia hanya memiliki
waktu iskemik 4 menit. Degenerasi sel-sel glia terjadi bila waktu iskemik ini dilampaui,
dengan akibat edema serebri disertai gangguan sistim autoregulasi (dengan gejala
perubahan derajat kesadaran, hipotensi, takikardia, hiponatremiahipomagnesia dan hipo-
atau hipertermi). Sel-sel tubulus ginjal memiliki waktu iskemik 8jam; nekrosis tubular akut
yang berlanjut sebagai gagal ginjal akut terjadi bila waktu iskemik ini dilampaui. 2

Sel-sel otot polos memiliki waktu iskemik berbeda dengan otot lurik; otot polos
memiliki waktu iskemik 4jam sedangkan otot lurik lebih lama dari itu (kurang lebih 8-
10jam). Bila waktu iskemik ini dilampaui, terjadi penguraian aktin dan miosin diikuti
peningkatan aktivitas siklus urea dan pelepasan oksida nitrit (NO, radikal bebas, modulator
sepsis). Sel-sel mukosa usus memiliki waktu iskemik 4jam; disrupsi mukosa usus diikuti
gejala sindroma malobsorpsi dengan intoleransi, diare dan enterokolitis, perdarahan
saluran cerna dan translokasi bakteri. 1,4,7

Gambar 2.6 . Skema sirkulasi yang menggambarkan bejana berhubungan; pada


keadaan normal (kiri) dan pada kondisi syok (kanan). Terjadi hipoperfusi pada
sirkulasi periferal yang sampai saat ini masih seringkali disebut-sebut sebagai suatu

23
bentuk vasokonstriksi. Terlihat dari skema ini, dengan hipoperfusi periferal yang
terjadi akibat mekanisme kompensasi memenuhi kebutuhan sirkulasi sentral, organ-
organ periferal mengalami iskemi dan mengalami disfungsi.

Hipoperfusi splangnikus menjadi fokus perhatian utama karena disebut-sebut


sebagai motor penggerak timbulnya MODS. Sirkulasi splangnikus merupakan bagian dari
sirkulasi perifer yang pada keadaan normal ’menyerap’ 25% sirkulasi sistemik (sementara
sirkulasi renal hanya 20%). Segera setelah makan, terjadi peningkatan sirkulasi di daerah
splangnikus (30-40% sirkulasi sistemik beredar di mukosa saluran cerna) untuk proses
digesti (hal ini menjelaskan berkurangnya sirkulasi ke serebral yang menyebabkan
timbulnya rasa kantuk setelah makan). 2,11
Pada kondisi syok (hipovolemia), perfusi splangnikus jauh berkurang karena
berperan sebagai kontributor utama dalam memenuhi kebutuhan sirkulasi sentral (serebral,
kardial dan pulmonal); mengikuti kompensasi tubuh berupa peningkatan aktivitas kardial
dan pulmonar; mendahului kontribusi sirkulasi renal.
Pelepasan radikal bebas dan mediator pro-inflamasi dari mukosa disruptif ke
sirkulasi, diikuti peningkatan netrofil yang beredar di sirkulasi (peningkatan neutrophil
recruitment) dengan dampak timbulnya gejala di luar saluran cerna seperti :
1. Beredarnya netrofil dan makrofag di pembuluh peri-alveolar, dengan akibat proses
inflamasi dan pembentukan membran di mukosa alveolus yang menyebabkan
gangguan perfusi-difusi, dikenal sebagai Acute Respiratory Distress Syndrome
(ARDS) yang bersifat fatal.
2. kerusakan hepatosit, juga secara langsung disebabkan adanya hipoperfusi splangnikus,
dengan dampak gangguan hepatik:
a) Gangguan sintesis protein, ditandai dengan penurunan kadar albumin yang
memperberat kebocoran protein dengan adanya gangguan permeabilitas
kapilar. Selain albumin, faktor pembekuan, anti-thrombin III dan Protein C
terganggu menyebabkan kekacauan metabolisme bertambah berat.
b)Gangguan sintesis enzimatik, ditandai dengan peningkatan kadar SGOT dan
SGPT. Disamping itu, timbul resistensi insulin yang menjadi topik diskusi
pada tahun-tahun terakhir.
3. iskemi dan aktivasi Myocardial Depressant Factor (MDF) yang menyebabkan
infark miokard, berakhir fatal.

24
Gambar 2.7 Iskemia miokardium berlanjut menjadi infark akibat pelepasan Myocardial
Depressant Factor (MDF)

4. Kerusakan organ sistem lain (termasuk sistim hematologi)

5. Kerusakan tubulus ginjal (nekrosis tubular akut) dapat disebabkan oleh dua hal,
pertama karena proses iskemi (hipoperfusi renalis) dan kedua akibat pelepasan
mediator pro-inflamasi yang menyebabkan kerusakan endotel pembuluh aferen dan
eferen.

6. Gangguan elektrolit yang terjadi tidak dapat dipisahkan dari gangguan sirkulasi dan
menjadi salah satu fokus utama pada resusitasi, selain masalah volume. Natrium,
kalium dan klorida adalah 3 (tiga) elektrolit utama

Gangguan sirkulasi
Pada luka bakar terjadi ekstravasasi cairan intravaskular ke rongga interstisiel
akibat gangguan permeabilitas kapilar (kebocoran kapilar), menyebabkan berkurangnya
volume cairan intravaskular (syok hipovolemik). Bila seorang dewasa mengalami
kehilangan volume cairan tubuh mencapai 20-25% (10% pada anak), maka timbul
manifestasi klinik syok. Sirkulasi inadekuat disertai edema interstisiel menyebabkan
gangguan transportasi oksigen; sehingga sel yang tidak memperoleh perfusi dan oksigenasi
tidak dapat menjalankan fungsi metabolisme secara normal (syok selular). Penurunan
sirkulasi ke serebral menyebabkan ensefalopati dan degenerasi sel-sel glia, diikuti
terganggunya sistim autoregulasi serebral. Secara klinis ditandai dengan timbulnya
kegelisahan dan disorientasi. 1,8,11

Petunjuk Praktis pada gangguan sirkulasi

25
a. Bila terjadi syok, tubuh mengadakan kompensasi dengan meningkatkan aktifitas
jantung (takikardia) dan pernafasan (takipnu) untuk memenuhi kebutuhan sirkulasi
khususnya di sirkulasi sentral (serebral, kardial dan pulmonal) agar organ-organ vital
ini berfungsi normal. Sirkulasi perifer dengan sendirinya mengalami gangguan;
hipoperfusi perifer ini menyebabkan gangguan organ-organ perifer (ginjal, saluran
cerna dan hati, sistim muskulatur, integumentum, dsb).
b. Hipoperfusi splangnikus merupakan suatu topik yang bersifat revolusioner membawa
perubahan paradigma penatalaksanaan luka bakar dan memperoleh perhatian khusus.
Hipoperfusi ke sirkulasi splangnikus menyebabkan disrupsi mukosa (iskemianekrosis
mukosa bila mengalami hipoksia dalam waktu >4jam) yang menimbulkan gangguan
fungsi saluran cerna seperti malabsorpsi, diare (enterokolitis), perdarahan saluran cerna
yang dahulu disebut tukak stres (stress ulcer, Curling’s ulcer), ileus dan translokasi
bakteri yang memicu sepsis. Tes Retensi atau penilaian kuantitas dan kualitas cairan
lambung bermanfaat sebagai salah satu cara klinis dalam melakukan penilaian adanya
hipoperfusi splangnikus. Penilaian lain yang lebih baik adalah dengan melakukan
pengukuran keasaman (pH) submukosa dengan tonometer (sulit diperoleh) dan
melakukan penilaian mukosa melalui pemeriksaan endoskopi.
c. Berkurangnya perfusi ke sirkulasi renal menyebabkan gangguan fungsi ginjal akibat
iskemia tubulus yang berlanjut menjadi Acute Tubular Necrosis, secara klinis ditandai
dengan oliguria sampai dengan anuria, gangguan sistim autoregulasi ginjal (produksi
renin-angiotensin), penurunan fungsi ginjal (peningkatan ureum/kreatinin darah,
gangguan keseimbangan asam-basa) dan berakhir dengan gagal ginjal yang membawa
pasien pada kondisi uremia dan kematian.
d. Gangguan perfusi ke sistim muskulatur mengaktivasi produksi oksida nitrit (Nitrit
Oxide, NO) yang merupakan radikal bebas dan berperan sebagai modulator sepsis.

Efek Luka Bakar pada Hematologi


Efek luka bakar terhadap parameter hematologi tergantung pada derajat luka bakar
dan lamanya terjadi luka bakar. 1,11
Eritrosit
Kadar hematrokit meningkat segera setelah terjadi luka bakar akibat translokasi
plasma darah ke ekstravaskuler. Transfusi darah umumnya tidak diperlukan saat resusitasi
awal luka bakar, kecuali ada trauma penyerta. Anemia pada luka bakar terjadi setelah

26
beberapa minggu, akibat kehilangan darah yang merembes dari luka, dari seringnya
diambil sampel darah untuk pemeriksaan laboratorium, atau saat operasi untuk penanganan
luka bakar.
Penelitian menunjukkan terdapatnya pemendekan waktu paruh umur eritrosit, yang
dihubungkan dengan kerusakan eritrosit oleh kenaikan suhu saat terjadi luka bakar dan
juga disebabkan oleh mediator kimiawi.
Trombosit
Terjadi penurunan kadar trombosit yang disebabkan oleh dilusi selama resusitasi,
tetapi yang terpenting adalah trombositopenia karena pembentukan mikroagregat di kulit
yang terbakar dan paru-paru yang terkena cedera inhalasi. Angka trombosit kembali
normal pada akhir minggu pertama pasca terjadi luka bakar, dan akan terus normal kecuali
terjadi sepsis atau gagal multi organ. Perdarahan yang disebabkan trombositopenia jarang
terjadi.
Sistem koagulasi
Mekanisme trombotik dan fibrinolitik teraktivasi setelah terjadi luka bakar. Secara
umum terjadi terjadi penurunan faktor koagulasi oleh karena dilusi atau konsumsi oleh
kerusakan kapiler, venula, dan arteriola di kulit. DIC jarang terjadi tetapi dapat terjadi
pada luka bakar mayor yang luas. Setelah itu akan terjadi penurunan antitrobin III dan
protein, yang dapat menyebakan emboli pulmo. Selama periode ini semua pasien dengan
luka bakar mayor membutuhkan propilaksis tromboemboli seperti low dose heparin
subkutaneus.
Baseline determinations untuk luka bakar mayor adalah pemeriksaan laboratorium
darah terdiri dari darah perifer lengkap, elektrolit, analisis gas darah, protein total
(albumin dan globulin), glukosa darah, fungsi ginjal dan fungsi hati. Pada penilaian
adanya asidosis, maupun melakukan koreksi, perhatikan kadar hemoglobin dan mekanisme
kompensasi tubuh. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah tekanan parsial CO2, HCO3,
Base excess, Na K dan cl, pH dan saturasi oksigen.
Pemeriksaan radiologik (misal foto toraks atau kepentingan diagnostik lainnya),
bila diperlukan, dapat dilakukan setelah diyakini tidak ada masalah / gangguan jalan nafas,
mekanisme bernafas dan gangguan sirkulasi.

Resusitasi Cairan

27
Resusitasi cairan merupakan tindakan prioritas ketiga pada ABC penatalaksanaan
kasus luka bakar akut (setelah tatalaksana gangguan jalan nafas dan gangguan mekanisme
bernafas), ditujukan melakukan koreksi volume (syok hipovolemik) yang terjadi akibat
ekstrapasasi cairan (dan elektrolit) ke jaringan interstisiel dalam upaya memperbaiki
perfusi. 1,11,12
Tatalaksana resusitasi cairan
Syok pada luka bakar merupakan suatu hal yang umum terjadi. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, syok menjadi faktor utama berperan pada timbul dan
berkembangnya SIRS, dan MODS, sehingga harus ditatalaksanai dengan baik. Resusitasi
adekuat dengan pemberian cairan kristaloid merupakan prosedur resusitasi yang dianggap
paling aman untuk substitusi cairan namun harus disadari bahwa penggunaan larutan
kristaloid bukan yang terbaik; meskipun masih dijumpai kontroversi mengenai
penggunaan koloid untuk resusitasi.
Untuk mencapai tujuan resusitasi, diperlukan pemilihan cairan yang tepat namun
harus didasari pemahaman mengenai jenis cairan yang dibutuhkan. Berbagai macam cairan
seperti kristaloid, hipertonik dan koloid masing-masing memiliki kelebihan (keuntungan)
dan kekurangan (kerugian) bahkan bahaya penggunaannya pada saat yang tidak tepat.

Regimen resusitasi
Regimen Parkland sampai saat ini merupakan metode resusitasi yang paling umum
diterapkan untuk resusitasi cairan pada kasus luka bakar; menggunakan cairan kristaloid.
Namun, sebagaimana disampaikan sebelumnya, resusitasi cairan dengan metode Parkland
(hanya) mengacu pada waktu iskemik ginjal (<8jam) sehingga lebih tepat disebut sebagai
suatu metode resusitasi renal; dengan sendirinya metode ini akan tepat bila diterapkan
pada kasus luka bakar tidak terlalu luas dan tanpa keterlambatan. 11,12

28
Gambar 2.8 Kurva fisiologik dari kebutuhan cairan dibandingkan formula
Parkland, menegaskan bahwa formula tersebut hanya merupakan suatu
guideline untuk terapi cairan selama syok luka bakar.

Pengertian keterlambatan disini bukan dimaksudkan dalam pengertian keterlambatan


penanganan di rumah sakit (hospital delay) tetapi merujuk pada waktu iskemik organ
(khususnya hipoperfusi splangnikus dengan waktu iskemik 4 jam)

Dasar pemilihan cairan


Ada beberapa faktor yang diperhatikan dalam menentukan pemilihan cairan, yaitu :
1) Efek hemodinamik
2) Distribusi cairan dikaitkan dengan
3) Oxygen carrier
4) pH buffering
5) Efek hemostasis
6) Modulasi respons inflamasi
7) Faktor keamanan
8) Metode eliminasi
9) Praktis dan efisien

Jenis cairan terbaik untuk resusitasi cairan pada berbagai kondisi klinik masih merupakan
topik yang tetap didebatkan dan terus diteliti; memang dalam beberapa tahun terakhir
diperoleh informasi yang menggembirakan, khususnya mengenai efek koloid. Selain itu,
beberapa pertimbangan dalam memilih jenis cairan sangat dipengaruhi kompleksitas
permasalahan pada luka bakar, sehingga sebagian orang berpendapat kristaloid adalah jenis
cairan paling aman untuk tujuan resusitasi (awal); pada beberapa kondisi klinik tertentu

29
(lanjut). Sebagian lain berpendapat bahwa cairan koloid bermanfaat pada entitas klinik
lain, yang berlainan dengan kondisi sebelumnya. Hal ini dikaitkan dengan karakteristik
masing-masing cairan, baik kristaloid maupun koloid memiliki manfaat (kelebihan,
keuntungan) dan risiko (kekurangan, kerugian) pada kondisi-kondisi klinik tertentu yang
bersifat sangat kasuistik; sulit untuk diambil keputusan untuk diterapkan secara umum
sebagai protokol. 1,2,12,20
Pastikan harus dilakukan akses vena :
- akses vena perifer
- akses vena sentral

Penatalaksanaan dalam 24 jam pertama


A. Resusitasi syok
Menggunakan larutan kristaloid Ringer’s Lactate atau Ringer’s Acetate
1. Pemasangan satu atau beberapa jalur intravena. Bila dijumpai kesulitan melakukan
pemasangan jalur vena biasa, lakukan vena seksi pada beberapa tempat. Catatan:
a) jangan memilih jalur vena pada tungkai bawah karena terdapat hipoperfusi perifer
dan banyaknya sistm klep pada vena-vena ekstremitas bawah,
b) hindari pemasangan pada daerah luka.
2. Pemberian cairan pada syok atau pada kasus dengan luas >25-30% atau dijumpai
keterlambatan >2jam. Dalam waktu <4jam pertama diberikan cairan kristaloid
sebanyak:
- 70% adalah volume total cairan tubuh
- 25% adalah jumlah minimal kehilangan cairan tubuh yang dapat menimbulkan
gejala klinik dari sindroma syok
- Untuk melakukan resusitasi cairan (melakukan koreksi volume) menggunakan
kristaloid, diperlukan 3 kali jumlah cairan yang diperlukan :
3 [ 25% ( 70%XBBkg ) ] ml
Misal BB 70 kg, volume cairan (70%) adalah 4,9 liter (dibulatkan menjadi 5 liter).
25% dari jumlah cairan yang hilang adalah kurang lebih 1.250ml maka jumlah cairan
kristaloid yang diperlukan untuk resusitasi awal adalah 3.750ml. Prinsip resusitasi cairan
yang terbaik adalah memenuhi kebutuhan defisit cairan, sementara mengenai jenis cairan
resusitasi tetap masih dijumpai kontroversi: kristaloid, koloid, larutan fisiologik atau
hipertonik. Dalam pemilihan jenis cairan agar diperhatikan masing-masing cairan memiliki

30
kelebihan (keuntungan) dan kekurangan (kerugian); adalah penting mengetahui
kelebihan/kekurangan masing-masing, dikaitkan dengan resiko yang mungkin terjadi pada
pemberian masing-masing jenis cairan. Pemberian cairan selanjutnya disesuaikan dengan
kebutuhan disertai perilaku dan kesadaran masyarakat akan kesehatan khususnya
pelayanan gawat darurat diragukan, tampaknya keampuhan (ketepatan) regimen Parkland
dipertanyakan kembali. Hal ini juga dijumpai di negara maju seperti Canada. 1,12,17

Pemberian cairan dilakukan dalam waktu cepat (kurang dari 4jam atau waktu
iskemik mukosa saluran cerna), menggunakan beberapa jalur intravena, bila perlu melalui
vascular access (vena seksi dan sebagainya). Dengan catatan khusus untuk akses vena,
hindari vena-vena di tungkai bawah karena terlalu banyak klep (valve) dan kolaps venosa
yang akan menghambat prosedur pemberian cairan. Akses vena juga perlu dihindari pada
daerah cedera; edema interstisiel yang timbul pada pemberian kristaloid akan
menyebabkan gangguan aliran (sirkulasi) sehingga mengganggu perfusi ke daerah cedera
dan mengakibatkan degradasi luka. 1,12,17
Setelah syok teratasi, pemberian cairan mengacu kepada kebutuhan cairan
berdasarkan pemantauan klinik dari waktu ke waktu. Sebagai patokan kasar, produksi urin
dapat dijadikan pegangan: a) pada saat resusitasi produksi urin 0.5ml/kgBB, b) pada hari
pertama, produksi urin antara 0.5-1ml.kgBB, c) pada hari pertama-kedua, produksi urin
berkisar antara 1-2ml/kgBB dan d) pada hari ketiga-empat, produksi urin berkisar antara 3-
4ml/kgBB. Pegangan lainnya adalah nilai-nilai tekanan vena sentralis (CVP) dan nilai-nilai
laboratorik darah (darah tepi, fungsi hepar, fungsi ginjal, analisis gas darah, dsb) .

Resusitasi tanpa syok


Resusitasi cairan tanpa gejala klinik syok atau pada kasus dengan luas <25- 30%,
tanpa keterlambatan atau dijumpai keterlambatan <2jam Kebutuhan cairan sehari dihitung
berdasarkan Rumus Baxter sebagai berikut: Pemberiannya mengikuti metode yang
ditentukan berdasarkan formula Parkland.

Pemberian cairan resusitasi menggunakan formula Parkland.


Pada 24 jam pertama: separuh jumlah cairan diberikan dalam 8jam pertama, sisanya
diberikan dalam 16jam berikutnya.
1. Pada bayi dan anak, orang tua kebutuhan cairan adalah 4ml,

31
a. Bila dijumpai cedera inhalasi, maka kebutuhan cairan adalah 4ml, ditambah 1% dari
kebutuhan.
b. Bila dijumpai hipertermia, kebutuhan cairan ditambahkan 1% dari kebutuhan.
2. Untuk memperbaiki perfusi sirkulasi perifer diberikan zat vasoaktif (Dopamine® atau
Dobutamin®, vasodilator perifer) dengan dosis 3 g/kgBB (dosis rendah, dosis renal)
dengan titrasi (menggunakan syringe-pump) atau dilarutkan dalam 500ml Glukosa 5%
dengan jumlah tetesan dibagi rata dalam 24 jam.

Pemantauan
Pemantauan bertujuan menilai sirkulasi sentral, Central Venous Pressure
diupayakan minimal berkisar 6-12cmH2O dan pemantauan sirkulasi perifer yaitu sirkulasi
renal, jumlah produksi urin dipantau melalui kateter : Saat resusitasi : 0.5-1ml/kgBB/jam,
kemudian hari 1-2 : 1-2 ml/kgBB/jam. Bila produksi urin <0.5ml/kg/jam, maka jumlah
cairan diberikan ditingkatkan sebanyak 50% dari jumlah yang diberikan pada jam
sebelumnya. Bila produksi urin >1ml/kg/jam, maka jumlah cairan yang diberikan
dikurangi 25% dari jumlah yang diberikan pada jam sebelumnya. Lakukan juga
pemeriksaan laboratorium, Fungsi renal: Ureum dan Kreatinin, Berat jenis dan sedimen
urin.
Selain itu tetap melakukan pemantauan sirkulasi splangnikus : - Penilaian kualitas
dan kuantitas produksi cairan lambung melalui pipa nasogastrik, penilaian fungsi hepar
(fungsi enzimatik, fungsi sintetik dan metabolik). Diperoleh melalui pemeriksaan
laboratorium.
Pemeriksaan darah perifer lengkap. Komposisi nilai hemoglobin dan hematokrit
darah menggambarkan hemokonsentrasi (hipovolemia, cairan yang diberikan kurang) atau
hemodilusi (kelebihan cairan, atau permeabilitas kapilar mulai kembali normal ditandai
oleh meningkatnya volume cairan). Nilai yang diperoleh dari hasil pemeriksaan ini harus
dikonfirmasi pula dengan nilai lekosit dan trombosit; karena pada umumnya terjadi
kerusakan endotel pembuluh darah, yang menyebabkan perlekatan komponen-komponen
darah tersebut pada dinding vaskular.

Penatalaksanaan dalam 24 jam kedua


1. Pada 24 jam kedua, cairan yang diberikan berupa cairan mengandung glukosa.
2. Jumlah cairan diberikan merata dalam 24jam.

32
3. Jenis cairan yang diberikan pada hari kedua:
a. Glukosa 5% atau 10%, 1500-2000ml
b. Batasi / kurangi pemberian Ringer’s Lactate karena akan menyebabkan edema
interstitial bertambah dan sulit diatasi
4. Pemantauan:
a. Pemantauan sirkulasi
Nilai CVP, bila volume cairan intravaskular tetap rendah (CVP di bawah +2)
pemberian HES akan bermanfaat. Jumlah produksi urin: 1-2 ml/kgBB/jam. Bila
jumlah cairan yang diberikan sudah mencukupi, namun produksi urin tidak sesuai (<1-
2ml/kgBB/jam) nilai kembali apakah zat vasoaktif (Dopamine®, Dolbutamine®)
sudah diberikan dengan dosis cukup. Bila dengan dosis 3µg belum memberikan efek
yang diinginkan, dosis dapat dinaikkan sampai 5µg/kgBB. Bila jumlah cairan yang
diberikan sudah mencukupi, zat vasoaktif sudah diberikan, produksi urin masih belum
sesuai, maka tindakan selanjutnya merubah regimen pemberian cairan menggunakan
larutan hipertonik (Nacl 3-6%) atau koloid jangan meningkatkan dosis zat vasoaktif
karena justru akan menyebabkan vasokonstriksi.
Bila produksi urin <1ml/kg/jam dan CVP meningkat >12cmH20, dapat
diberikan diuretikum (khusus untuk pemberian furosemid, tambahkan kalium). Bila
pada pemeriksaan urinalisis dijumpai pigmen, berikan Mannitol 20% per infus
0.5gm/kg
b. Pemantauan perfusi:
Perfusi ke jaringan dipantau dengan menilai analisis gas darah, dengan
perhatian khusus pada kadar HCO3, H2CO3, tekanan parsial oksigen (PaO2) dan
karbondioksida (PaCO2), nilai pH dan defisit basa (base excess/BE), serta konsentrasi
elektrolit. Nilai-nilai ini harus dikonfirmasi dengan menilai kadar hemoglobin darah
dan kadar glukosa darah. Jangan melakukan penilaian analisis gas darah dengan hanya
memperhatikan pH dan BE saja; dan berupaya melakukan koreksi BE dengan
pemberian bicarbonas natricus, karena hanya akan mengaburkan kondisi hipoksia
yang sebenarnya terjadi. Pemberian bicarbonas natricus untuk koreksi BE hanya
dilakukan bila BE melebihi minus 5, dimana pada nilai tersebut dianggap kemampuan
jaringan melakukan kompensasi diatas batas maksimal. Kondisi abnormal pada
analisis gas darah mencerminkan gangguan / hambatan perfusi; sehingga harus dinilai
kembali. Asupan oksigen yang terjamin baik (tidak ada sumbatan jalan nafas, tidak

33
ada edema paru, gerakan respirasi baik); dengan kata lain tidak dijumpai distres
pernafasan Vasokonstriksi perifer yang (masih) berlangsung. 1
Jumlah cairan resusitasi adekuat, sudah diberikan dan tidak ada masalah dengan
akses jalur vena. Edema interstisiel yang masif Nyeri hebat Bila kadar glukosa darah
melebihi >150-200mg/dl, berikan insulin 5unit subkutan, dilanjutkan pemberian per
drip atau melalui syringe-pump. Pemberian insulin harus selalu dilakukan dengan
memantau kadar glukosa darah dan kadar elektrolit.
Pada pemantauan kadar elektrolit bila pada pemantauan dijumpai abnormalitas
kadar natrium dan kalium, pemikiran pertama tertuju pada gangguan soudium-pump
yang timbul akibat gangguan perfusi selular, umumnya hiponatremia terjadi akibat
edema selular yang mendorong kalium keluar sel.

Penatalaksanaan setelah 48 jam


1. Cairan diberikan sesuai kebutuhan maintenance.
2. Pemantauan sirkulasi:
a. Komposisi Hemoglobin terhadap hematokrit mulai mendekati normal, cenderung
menurun. Kadang dijumpai anemia relatif.
b. Jumlah produksi urin: 3-4ml/kgBB/jam
Produksi urin tidak adekuat (tidak sesuai target resusitasi) mencerminkan perfusi ke
sirkulasi renal tidak baik. Dalam hal ini perlu dipikirkan penyebabnya, yaitu
keseimbangan tekanan onkotik di ruang intravaskular terganggu, demikian pula halnya
dengan keseimbangan di jaringan interstisiel. Perbandingan tekanan onkotik
intravaskular dengan tekanan onkotik di ruang interstisiel tidak seimbang akibat
gangguan permeabilitas kapilar yang masih berlangsung; menyebabkan perfusi tidak
terselenggara termasuk ke sirkulasi renal yang mengakibatkan anuria. Dalam hal ini,
upaya yang dilakukan adalah mengupayakan pengembalian keseimbangan tekanan
hidrostatik-onkotik; dengan pemberian koloid. Pemberian koloid akan memperbaiki
keseimbangan tekanan onkotik di ruang intravaskular, melalui proses penarikan cairan
dari jaringan interstisiel. 1,17,18
Cara perhitungan lain tentang kebutuhan cairan pada pasien luka bakar adalah
dengan perhitungan Formula Baxter :
a. Kebutuhan cairan hari Pertama :
Dewasa : RL 4 CC X BB X% Luas LB / 24 jam

34
Anak : RL : DEXTRAN=17:3
Kebutuhan Faali
< 1 tahun : BB X 100 CC
1-3 tahun : BB X 75 CC
3-5 tahun: BB X 50 CC
----------> ½ Jumlah cairan diberikan dalam 8 jam pertama
----------> ½ Diberikan 16 jam berikutnya
b. Kebutuhan cairan hari Kedua :
Dewasa : diberikan sesuai kebutuhan
Anak : diberikan sesuai kebutuhan faali
Lakukan :
- Pemasangan nasogastrik tube
- Pemasangan urine kateter
- Assessment perfusi ekstremitas
- Continued ventilatory assessment
- Paint management
- Psychosocial assessment

Monitoring resusitasi cairan :


1. Urine produksi setiap jam
Dewasa : 0,5 cc/kg/jam (30-50 cc/jam)
Anak : 1 cc/kg/jam
2. Oligouria
Berhubungan dengan sistemik vaskular resistensi dan reduksi cardiac output)
3. Haemochromogenuria (Red Pigmented Urine)
4. Blood pressure
5. Heart Rate
6. Hematokrit dan hemoglobin

Resusitasi cairan menggunakan cara lain:


1. Larutan Nacl 0.9%
Merupakan alternatif bila cairan RL tidak tersedia. Penggunaan larutan ini
dihadapkan pada kemungkinan timbulnya asidosis hipernatremia dengan segala bentuk

35
resikonya; sehingga diperlukan pemantauan yang lebih terfokus pada keseimbangan
elektrolit utama ini.
2. Larutan hipertonik (Nacl 3-6%)
Resusitasi menggunakan larutan hipertonik masih tetap kontroversi bahkan
sebagian mengatakan berbahaya khususnya bila diterapkan pada kondisi syok.
Pemberiannya harus dilakukan dengan pemantauan khusus. Resusitasi dilakukan
dengan pemberian 500ml Nacl 3-6% dalam 24jam dengan pemantauan produksi urin
dalam 24jam pertama 1ml/kgBB/jam, dan 0.5ml/kgBB/jam untuk 24 jam kedua.
3. Koloid
- Pada formula Evans, dalam 24 jam pertama diberikan plasma 1ml / kgBB/%luas luka
bakar ditambah larutan fisiologi (Nacl 0.9%) 1ml.kgBB/%luas luka bakar dengan
pemantauan produksi urin 0.5ml/kgBB/jam. Selanjutnya, dalam 24 jam kedua,
diberikan separuh jumlah regimen terapi hari pertama; ditambah glukosa 5% dengan
jumlah yang sama.
- Pada formula Brooke, dalam 24 jam pertama diberikan plasma 1.5ml / kgBB/%luas
luka bakar ditambah larutan RL 0.5ml.kgBB/%luas luka bakar dengan pemantauan
produksi urin 0.5ml/kgBB/jam. Selanjutnya, dalam 24 jam kedua, diberikan separuh
jumlah regimen terapi hari pertama; ditambah glukosa 5% dengan jumlah yang sama.
- Pemberian HES dipertimbangkan lebih awal (8-12jam pertama pasca cedera), karena
koloid ini memiliki efek antiinflamasi yang dapat memperbaiki gangguan
permeabilitas kapilar, disamping efek pengembang plasma.

Acuan dalam melakukan prosedur resusitasi cairan adalah mengupayakan


pengembalian perfusi agar gangguan / kerusakan sel / jaringan / organ berlangsung
sesingkat mungkin / seminim mungkin. Berdasarkan hal tersebut, resusitasi cairan
mutlak diperlukan bila terjadi gangguan sirkulasi, khususnya pada luka bakar dimana
terdapat suatu keadaan hipovolemia. Yang perlu digarisbawahi adalah resusitasi cairan
merupakan upaya melakukan koreksi volume cairan (khususnya intravaskular); namun
harus dicatat bahwa cairan resusitasi yang diberikan (khususnya kristaloid) bukan
merupakan suatu oxygen carrier. Pedoman resusitasi cairan yang ada hanya
merupakan panduan untuk memberikan sejumlah cairan yang diperlukan, bukan suatu
hal yang mutlak; oleh karenanya dijumpai beragam regimen yang sampai saat ini

36
masih menimbulkan pro dan kon, dan karena tidak ditunjang oleh suatu bentuk RCT
maka protokol resusitasi cairan yang ada hanya merupakan guidelines.
Pemberian koloid / plasma, menyebabkan penarikan cairan dari jaringan interstisiel
ke intravaskular. Peningkatan volume intravaskular dengan sendirinya meningkat
(dipantau melalui peningkatan CVP, preload jantung meningkat), sehingga harus
diyakini bahwa jantung dan ginjal dalam keadaan baik.

Perawatan di ruang Intensif (ICU)


Perawatan kasus luka bakar di ruang perawatan intensif bertujuan untuk mengatasi
masalah yang berkenaan dengan: 1,2,12,18,20
1. Adanya gangguan pada proses respirasi yang memerlukan bantuan atau pengambil-
alihan fungsi respirasi dengan alat bantu pernafasan (ventilator)
2. Adanya gangguan pada proses vital lain yang memerlukan pemantauan dan penanganan
perawatan intensif
Prosedur perawatan intensif menjadi prioritas penatalaksanaan pada fase akut (fase
awal) sebelum terjadi disfungsi organ yang berlanjut pada kerusakan yang bersifat
ireversibel; bukan pada fase terminal. Terbaik, bila ruang perawatan intensif (ICU) ada di
dalam lingkungan Unit Luka Bakar, atau di dalam ICU tersedia ruangan khusus (isolasi)
untuk luka bakar.
Indikasi fisiologik perawatan intensif:
1. Apical pulse <40 atau >150 kali per menit (>130 kali per menit pada usia >60tahun)
2. Mean Aretrial Pressure (MAP) <60mmHg setelah resusitasi cairan adekuat (>1500ml)
atau kebutuhan pemberian zat vasoaktif untuk mempertahankan MAP>60mmHg
3. Tekanan Darah Diastolik >110mmHg dengan :
- Edema paru
- Ensefalopati
- Iskemi miokardial
- Aneurisma aorta
- Eklampsia ata preeklampsia (diastolik >100mmHg)
- Perdarahan subarakhnoid
4. Frekuensi pernafasan >35 kali permenit atau adanya Respiratory Distress
5. PaO2 <55mmHg dengan FiO2 >0.4 (akut)
6. Kalium serum >6.5mEq/L (akut)

37
7. pHa <7.2 atau > 7.6 (pada ketoasidosis diabetikum <7.0)
8. Glukosa serum >800mg/dl
9. Kalsium serum >15mg/dl
10. Temperatur (core) <32oC

Scoring system untuk diagnosis MODS :


a) Pulmonary failure
0 : Tidak membutuhkan ventilator
1 : Penggunaan ventilator dengan PEEP 10cm H2O dan / atau FiO2 < 0.4
2 : Penggunaan ventilator dengan PEEP >10cm H2O dan / atau FiO2 > 0.4
b) Cardiac failure
0 : Tekanan darah normal tanpa bantuan zat vasoaktif
1 : Periode hipotensi yang memerlukan tindakan untuk mempertahankan tekanan
darah >100mmHg, misalnya loading cairan atau penggunaan zat vasoaktiv
(dopamine <10µg/kg/menit atau nitroglycerin <20µg/kg/menit )
2 : Periode hipotensi yang memerlukan tindakan untuk mempertahankan tekanan
darah >100mmHg, misalnya loading cairan atau penggunaan zat vasoaktiv
(dopamine >10µg/kg/menit atau nitroglycerin >20µg/kg/menit )
c) Renal failure
0 : Serum cretinine normal (<20mg/dl)
1 : Serum creatinine >20mg/dl
2 : Memerlukan hemodialisis atau dialisis peritoneal
d) Hepatic failure
0 : SGOT <25unit/L, Bilirubin <2mg/dl
1 : SGOT >25<50unit/L, Bilirubin >2mg/dl <6mg/dl
2 : SGOT >50unit/L, Bilirubin >6mg/dl
e) Hematologic failure
0 : Leukosit dan trombosit normal
1 : Leukosit >30X106/L <60X106/L, trombosit <50X109/L
2 : Leukosit <2.5 X106/L atau >60X106/L, diathesis hemoragic
f) Gastrointestinal tract failure
0 : Normal function
1 : Ulkus stres atau dijumpai kolesistitis akalkulus

38
2 : Ulkus stres yang memerlukan transfuse darah >2U dalam 24 jam, necrotizing
enterocolitis, pancreatitis, perforasi gall bladder spontan
g) Central Nervous System failure
0 : Fungsi normal
1 : Respons lambat/menurun
2 : Gangguan respons dan dijumpai neuropati
Keterangan: 0 = Tidak ada MODS, 1 = Moderat, 2 = Berat

Pemberian Antibiotik
Pemilihan jenis antibiotik
Dalam 1-3 hari pertama pasca cedera, luka masih dalam keadaan steril sehingga
tidak diperlukan antibiotik. Pada hari ketiga sampai ketujuh, luka didominasi oleh bakteri
gram positif yang berasal dari apendises kulit (folikel rambut, kelenjar sebasea, dsb),
sedangkan setelah 5-7 hari, populasi bakteri digantikan oleh bakteri gram negatif yang
lebih virulen. Pemberian antibiotik secara empirik didasari pola ini dan disesuaikan dengan
pola kuman yang ada. Pemberian antibiotik yang tepat menunggu hasil pemeriksaan
histopatologi dan bakteriologi.

Antibiotik topikal
Beberapa preparat antibiotik topikal dapat digunakan untuk luka bakar antara lain
silver sulfadiazin, mafenide asetate, povidone-iodine, gentamisin sulfat,
bacitracin/polymixin, nitrofurantoin, mupirocin (Bactroban ) dan nystatin.
- Silver sulfadiazin digunakan sejak tahun 1970an, tersedia dalam bentuk krim 1%, efektif
menekan infeksi pada luka bakar yang terutama disebabkan oleh Ps. aurogenosa,
mikroba enterik dan Can. albicans. Sedangkan untuk Staph.aureus dan Klebsiella sp.
silver sulfadiazin tidak efektif. Daya penetrasi terbatas sampai epidermis. Permasalahan
klinik yang dijumpai pada penggunaan krim ini, umumnya adalah rasa nyeri,
pembentukan eksudat masif, lisis dan separasi eskar (=degradasi luka) yang berlangsung
sangat cepat, gangguan / hambatan proses penyembuhan luka, pengrusakan fibroblas,
granulosit dan leukopenia.
- Mafenide acetate (tidak ada di Indonesia). Merupakan solusio 10%, memiliki
efektifitas antimikrobia luas, terutama terhadap Ps. Aurogenosa dan Clostridium.
Permasalahan klinik yang timbul pada penggunaan solusio ini adalah gangguan

39
metabolisme, karena mafenide acetate dikonversi menjadi asam p-sulfamyl-vanzoat oleh
monoamide-oxydase yang merupakan inhibitor karbonat anhidrase.
- Povidone-iodine ointment 10% memiliki efek antibiotik luas (dan efek antifungal) bila
sudah berada dalam bentuk cair. Povidone-iodine paling efektif mengendalikan
populasi / mencegah kolonisasi bila diberikan setiap 6 jam. Permasalahan yang dijumpai
di klinik pada penggunaan zat ini adalah nyeri saat aplikasi, dan bila digunakan secara
ekstensif dapat menyebabkan toksisitas dan gagal ginjal.
- Gentamicin sulfate sebagai krim 0.1%, sebagaimana golongan aminoglokosida lain
memiliki spektrum antimikroa luas. Umumnya digunakan pada luka terinfeksi Ps.
aurogenosa.
- Nitrofurantoin. Furacin efektif terhadap MRSA dan stafilokokus lain yang resisten
terhadap metisilin, gram-negatif selain Ps. aurogenosa (efektifitasnya mencapai 75%).
- Mupirocin yang berasal dari fermentasi Ps. Fluoresence yang dikenal sebagai
pseudomonic acid A. Efektif terhadap Ps. aurogenosa, Esch. coli, Kl. pneumonia dan
Staph.aureus. Permasalahan klinik yang dijumpai pada penggunaan mupirocin adalah
terhambatnya proses penyembuhan luka.
- Bacitracin/polymixin umumnya digunakan sebagai topikal untuk prosedur skin graft
sebagaimana petroleum gauze dressing karena tidak bersifat toksik terhadap graft, tetapi
tidak efektif dalam mengendalikan infeksi luka bakar, untuk gram-negatif selain Ps.
aurogenosa efektifitasnya hanya mencapai 21%.

2.16 Anestesi Untuk Pasien Luka Bakar


Pasien luka bakar biasanya akan menjalani berbagai prosedur pembedahan dan
anestesi. Cidera dengan kedalaman dan ketebalan penuh akan membutuhkan grafting yang
luas untuk perbaikannya. Terapi definitif untuk luka bakar ketebalan partial meliputi
pembuangan eskar, yang dapat nerperan sebagai media kultur yang baik untuk
pertumbuhan bakteri. Bedah perbaikan dapat dilakukan pada luka bakar ketebalan penuh,
yang basanya diambil dari kulit paha, aksila atau split thickness dari beberapa area.
Kosmetik, durabilitas dan massa jaringan akan lebih baik dengan menggunakan grafting
full thickness. 1,12,17,18,19
Manajemen Anestesi
Yang harus diperhatikan dalam manajemen anestesi pasien luka bakar bahwa selalu
ditekankan pasien diperlakukan sebagai :

40
1. Difficult airway
2. Inadequate resuscitated patient
3. Difficulty in establishing IV access
4. Hyperkalemic response to scoline
5. Resistance to non-depolarising muscle relaxant
6. Significant blood and plasma loss
7. Penderita yang memerlukan perhatian khusus untuk posisi
8. Mudah jatuh pada kondisi hipotermia
9. Membutuhkan postoperative analgesia

Sangat penting untuk mengetahui tipe dari jenis luka bakar untuk meng assesment
kerusakan jalan napas, gangguan fungsi organ lain yang disebabkan oleh trauma luka
bakar, kemungkinan kerusakan jaringan lain.
I .PRIMARY SURVEY
a. Airway dan cervical spine proteksi
b. Breathing dan ventilasi
c. Sirkulasi dan kontrol perdarahan
d. Disability- pemeriksaan neurologis
e. Exposure
II. SECONDARY SURVEY
b. History / anamnesa
Anamnesa stantard yang harus kita lakukan pada persiapan preoperatif tetap
harus kita lakukan seperti :
- riwayat penyakit sekarang
- riwayat penyakit dahulu
- riwayat pengobatan atau obat-obatan yang pernah dan atau masih
dikonsumsi
- riwayat alergi
- riwayat operasi dahulu
- riwayat anestesi dahulu
c. Pemeriksaan fisik/lengkap mulai kepala-kaki
c. Pemeriksaan Penunjang :
1. Darah rutin

41
2. Darah Lengkap
3. Albumin
4. RFT dan LFT
5. Elektrolit, Na, K, Cl, HCO3
6. Blood urea nitrogen
7. Urinalisa
8.Foto Thorak
9. AGD
10. Carboxy Hemoglobin
11. ECG

Assement Preop
1. Evaluasi :
- Penilaian survai primer
- Penilaian survai sekunder
- Derajat luka bakar
- Luas luka bakar
- Daerah yanag akan dioperasi
2. Evaluasi hasil pemeriksaan laboratorium dan penunjang lainnya
3. Pertimbangan pemberian premedikasi di ruang perawatan
4. Pertimbangan analgesi yang adekuat.
5. Minimalisir heat loss untuk menghurangi insiden post-op shivering
6. Monitoring ketat status haemodinamik
7. Replace blood early
8. Harus ada komunikasi yang baik antara ahli anestesi dan ahli bedah untuk
mempersiapkan pasien dengan optimal.
Penilaian jalan napas rutin dilakukan dnegan perhatian adanya luka bakar di wajah
yang akan mempersulit ventilasi sungkup muka. Adanya edema, jaringan parut atau
kontraktur akan membatasi pembukaan mulut dan pergerakan leher.
Pertimbangan pemberian nutrisi pre-operatif yang adekuat mempengaruhi
kebijakan menentukan puasa sebelum operasi. Biasanya pasien mendapatkan asupan
makanan enteral melalui pipa nasogstrik. Pasien yang sudah terintubasi tidak perlu
dipuasakan , etapi apabila belum di intubasi perlu puasa setidaknya 4 jam sebelum operasi.

42
Penelitian menunjukkan terdapatnya penurunan produksi asam lambung pada periode awal
pasca luka bakar. 14,18

Penatalaksanaan Durante Operasi


Monitor durante operasi tergantung pada kondisi medis pasien dan jenis
pembedahan. Pemasangan elektrokardiogram pada daerah yang terkena luka bakar dapat
menggunakan elektroda berjarum. Apabila ujung jari tidak akurat mengukur saturasi
menggunakan oksimetri nadi, maka dapat dignakan tempat lain seperti telinga, hidung,
atau lidah. Pemasangan monitor invasif (kateter vena sentral, kateter arteri pulmonal dan
lain-lain) dapat dipasang sesuai indikasi. Monitor temperatur sangat diperlukan, karena
biasanya pasien mudah jatuh dalam kondisi hipotermia. Suhu kamar operasi diupayakan >
28°C dan semua cairan intravena harus dihangatkan terlebih dahulu.
Monitoring yang diperlukan selama tindakan eksisi dan pelaksanaan grafting
adalah pertimbangan tindakan eksisi pada jaringan yang mati biasanya berhubungan
dengan kejadian blood loss. Terutama jika operasi dilaksanakan setelah beberapa hari
setelah kejadian trauma. Pemasangan kateter vena sentral akan sangat membantu pada
pasien yang mengalami kesulitan akses vena. Jika diperlukan, pengukuran tekanan darah
noninvasive harus dilakukan sebagai back up arterial line.
Terjadinya heat loss melalui jaringan kulit yang terbakar merupakan masalah serius
pada pasien luka bakar yang harus dimonitor. Hipotermi dapat diminimalisisr dengan
memakai warming blankets dan heat lamps, meningkatkan suhu/temperatur ruangan
operasi, humidifikasi gas inspirasi, dan menghangatkan cairan yang dimasukkan pada
akses intravena.

Pengaruh luka bakar farmakologi obat-obat anestesi


Obat anestesi volatil akan mengakibatkan eksaserbasi depresi myokardial. Karena
itu Halothane merupakan agent yang harus dihindari terutama jika Epinefrin dipakai untuk
penataksanaan blood loss. Pilihan agen inhalasi antara Halothane, Enflurane, Isoflurane
dan Sevoflurane tidak terbukti mempengaruhi hasil akhir anestesi pada luka bakar.
Bermacam jenis obat intravena menunjukkan hasil yang baik pada pasien luka bakar.
Ketamin memberikan keuntungan hemodinamik yang stabil dan menghasilkan analgesia
yang adekuat untuk penggantian pembalut luka bakar. Ethomidate dapat menjadi pilihan
alternatif dari Ketamine untuk pasien yang hemidinamik tidak stabil. Penggunaan

43
Propofol dan Thiopental harus dipastikan pasien sudah diresusitasi dengan adekuat dan
tidak dalam kondisi sepsis. 5,18,19
Selain pertimbangan pemilihan obat induksi dan pemiiharaan, penggunaan opioid
dalam anestesi pada pasien luka bakar merupakan hal penting. Pasien luka bakar
mengalami nyeri sangat hebat, dan biasanya memerlukan opioid dosis besar untuk tetap
merasa nyaman meskipun tidak dilakukan tindakan pada luka bakar ataupun tidak
bergerak. Penggunaan antiansietas juga perlu diberikan karena kecemasan dapat
menurunkan ambang nyeri.
Analgetik lain yang dapat digunakan saat penggantian balut adlah Ketamine ang
memberikan beberapa keuntungan seperti analgetik, peningkatan curah jantung, depresi
napas minimal. Penggunaan analgetik NSAID dihindari pada pasien yang menjalani eksisi
luas ataupun pencangkokkan kulit, karena memiliki efek antiplatelet dan efek nefrotoksik.
Hati-hati pada pemberian cairan, tindakan resusitasi cairan yang agresif memiliki
resiko kelebihan cairan yang dapat berupa edema jaringan lunak. Apabila pada akhir
operasi tampak edema pada wajah pasien, kemungkinan juga terdapat edema pada jalan
napas, sehingga ekstubasi ditunda sampai edema menghilang.
Teknik anestesi harus meliputi sedasi, amnesia, analgesia dan stabilitas
hemodinamik. Pada umumnya balans anestesi dengan menggunakan oksigen, narkotik,
relaksan otot dan agen volatile. Kehilangan darah yang bermakna harus diantisipasi
khusus harus ditujukan untuk pemberian ventilasi yang adekuat, oksigenasi, pembuangan
sekresi dan pertahanan ginjal. Dengan luka bakar yang ekstrim maka torniquet bisa
digunakan untuk meminimalisir perdarahan.
Pada pasien luka bakar normothermi kurang lebih berada pada 38,5°C yang
disebabkan karena penyesuaian pada pusat pengaturan suhu di hypothlamus dan
hipermetabolisme setelah luka bakar. Hipotermia akan menyebabkan peningkatan stess
fisiologis, penurunan metabolisme obat, peningkatan komplikasi perdarahan dan sukarnya
penyembuhan luka. Suhu ruangan harus ditingkatkan untuk mencegah terjadinya gradien
pendinginan yang berlebihan. Selimut penghangat, cairan penghangat dna gas yang
dilmbabkan dapat diberikan untuk mencegah terjadinya hipotermia. Labilitas
hemodinamik selama resusitasi awal diperkirakan dapat menjadi penyulit pada saat
operasi. Monitor hemodinamik tambahan direkomendasikan pada kondisi seperti ini.
Tekanan jalan napas yang tinggi dapat diantisipasi selama ventilasi mekanis akibat

44
penyakit restriktif pada dinding dada dari eskar yang berkontraksi, bronkospasme, sekresi
pulmoner dan kemungkinan pneumonia. 1,5,14

Penggunaan Pelumpuh Otot


Pasien luka bakar mengalami resistensi terhadap pelumpuh otot non depolarisasi.
Fenomena ini terjadi dalam beberapa minggu sampai dengan sekitar 18 bulan pasca terjadi
luka bakar. Resistensi ini nyata terjadi jika area yang terkena luka bakar minimal 30% total
area permukaan tubuh. Luka bakar menyebabkan terjadinya proliferasi reseptor asetilkolin
di tempat luka bakar dan ditempat selain yang terkena luka bakar. Iritasi lokal ataupun
proses inflamasi pada otot yang terkena luka bakar diduga sebagai mekanisme terjadinya
proliferasi asetilkolin. Resistensi terhadap pelumpuh otot nondepolarisasi berarti
memerlukan dosis yang lebih besar dan durasi obat akan lebih singkat.
Pemberian obat Sucnilcholine merupakan kontra indikasi pada pasien luka bakar
setelah 24 jam pertama pasca trauma. Karena dapat menyebabkan cardiac arrest karena
terjadi peningkatan bermakna dari serum Potassium. Juga bisa terjadi prolonge
depolarisasi otot-otot setelah pemberian Succinicholine berhubungan dengan peningkatan
reseptor-reseptor postjunctional asetilkolin. Pada pemeriksaan dengan kontras pada pasien
luka bakar terlihat peningkatan dibandingkan dengan obat pelumpuh otot nondepolarisasi.
Hal ini berhubungan dengan protein binding dan peningkatan jumlah reseptor asetilkolin
extrajunctional. Ketika Suksinilkolin diberikan dalam 24-48 jam setelah cidera dapat
menyebabkan hiperkalemia yang letal. Depolarisasi dari pengaturan reseptor asetilkolin
ekstrajungtional pada jaringan yang terbakar kontraksi otot yang berlebihan dan
mengakibatkan pelepasan kalium intra seluler ke area luka bakar. Kadar kalium sebesar 10
5,19
mEq/L telah direkomendasikan. Namun pada sisi lain pasien luka bakar cenderung
resisten terhadap muscle relaxant Non depolarisasi sehingga membutuhkan jumlah obat 2-
5 kali lebih besar dari dosis normal.
Setelah periode immobilisasi pada pasien trauma luka bakar, terjadi upregulasi
dari fetal (α2βγδ) dan mature (α2βεδ) nAChRs. Upregulasi dari nAChRs berhubungan
dengan resistensi pada Nondepolarisasi neuromuscular blockers dan peningkatan
sensitifitas terhadap Succinilcholine. Resistensi terhadap efek nondepolarizing
neuromuscular blocking drugs biasanya terjadi pada pasien yang mengalami luka bakar
lebih dari 25% total-body surface.

45
Pemberian Nutrisi
Pemberian nutrisi merupakan pertimbangan yang tidak kalah penting, dimulai
setelah penderita berada di unit luka bakar (ULB). 1,2,5,11,18

a. Luka Bakar Sedang (luas luka bakar 20–40%)


 Pemberian melalui Oral atau Enteral (A)
 Bila tidak ditemukan kontra indikasi yaitu retensi lambung dan ileus
 Pemberian dilakukan sedini mungkin

1. Pemberian melalui Oral


 Bila memungkinkan, diberi makanan R.S. bentuk lunak atau biasa
 Bila tidak mungkin maka diberikan formula komersial dan makanan R.S. bentuk
cair
 Kepekatan 1 Kal/mL
 Pemberian dilakukan secara perlahan-lahan sebanyak 60 mL dalam 1 jam. Bila
tidak terdapat keluhan kembung, mual atau muntah maka setiap 2 jam ditingkatkan
sebanyak 60 mL dari perhitungan awal sampai tercapai kebutuhan energi total

2. Pemberian Nutrisi Enteral


 Diberikan bila pemberian secara oral tidak memungkinkan.
 Pasang pipa nasogastrik (nasogastric tube/NGT) 8 – 12 F
 Pada awal pemberian:

o Kepekatan 1 Kal/mL
o Kecepatan tetesan maksimal 20 tetes/menit
o Evaluasi setelah 2 jam:
 Pipa nasogastrik diklem selama 1 jam. Selanjutnya dilakukan aspirasi:

o Bila jumlah cairan aspirasi lebih dari 60 mL, maka pemberian nutrisi dihentikan
selama 2 jam. Setelah itu dilakukan aspirasi ulang. Bila cairan aspirasi kurang
atau sama dengan 60 mL, pemberian nutrisi dilanjutkan kembali dengan tetesan
seperti semula

46
o Bila jumlah cairan aspirasi kurang atau sama dengan 60 mL, maka nutrisi dapat
diberikan kembali dengan kecepatan tetesan seperti semula atau ditingkatkan
secara bertahap bila memungkinkan
 Lamanya makanan enteral di dalam botol tidak boleh lebih dari 4 jam
 Formula dan makanan cair RS yang diberikan melalui oral dan enteral, secara
bertahap ditingkatkan menjadi makanan lunak dan selanjutnya makanan biasa, bila
toleransi dan fungsi saluran cerna baik.

b. Luka Bakar Berat (luas luka bakar >40%)


Pemberian nutrisi melalui enteral atau parenteral
1. Pemberian Nutrisi Enteral (A)
 Pasang pipa nasogastrik (NGT) 8 – 12 F
 Lakukan tes distensi lambung dengan melihat adanya aliran balik NGT
 Berikan formula komersial
 Pada awal pemberian:

o Kepekatan 1 Kal/mL
o Kecepatan tetesan 15 tetes/menit dengan pompa infus. Bila ditemukan kesulitan
dalam pemberian tetesan, kepekatan formula dikurangi menjadi 0,7 Kal/mL
o Evaluasi setelah 1 jam
 Pipa nasogastrik diklem selama 1 jam. Selanjutnya dilakukan aspirasi:

o Bila jumlah cairan aspirasi lebih dari 20 mL, maka pemberian nutrisi dihentikan
selama 2 jam. Setelah itu dilakukan aspirasi ulang. Bila cairan aspirasi kurang
atau sama dengan 20 mL, pemberian nutrisi dilanjutkan kembali dengan tetesan
seperti semula
o Bila jumlah cairan aspirasi kurang atau sama dengan 20 mL, maka nutrisi dapat
diberikan kembali dengan kecepatan tetesan seperti semula atau ditingkatkan
secara bertahap bila memungkinkan
 Lamanya makanan enteral di dalam botol tidak boleh lebih dari 4 jam
 Formula dan makanan cair Rumah Sakit yang diberikan melalui oral dan enteral,
secara bertahap ditingkatkan menjadi makanan lunak dan selanjutnya makanan
biasa, bila toleransi dan fungsi saluran cerna baik.

47
2. Pemberian Nutrisi Parenteral
 Bila pemberian Nutrisi Enteral sudah tidak memungkinkan, maka dilakukan
pemberian secara parenteral. Nutrisi Parenteral yang diberikan harus lengkap,
mengandung karbohidrat, lemak dan protein.
 Pada pemberian nutrisi parenteral harus diperhatikan kandungan karbohidrat dan
osmolaritas formula cairan yang diberikan agar tidak terjadi hiperglikemia dan
flebitis.

Rehabilitasi Jalan Nafas


Rehabilitasi jalan nafas dan pernafasan dimulai segera pada saat resusitasi.
Prosedur rehabilitasi yang dikerjakan antara lain: a) mengatur posisi pasien, b) latihan
pernafasan, c) melatih refleks batuk.
Posisi pasien yang diyakini tepat bila dijumpai cedera inhalasi adalah posisi tegak
(menggunakan rotating/circulating bed) atau setengah duduk; bukan berbaring
(supinasi). Ada beberapa posisi yang dilaporkan baik untuk kasus-kasus cedera inhalasi,
antara lain lateral dekubitus dan pronasi; yang dikaitkan dengan drenase sekret dalam
mengatasi hipersekresi. Dengan intubasi dan atau krikotiroidotomi, posisi pronasi dan
lateral dekubitus agak sulit diterapkan, namun dengan fiksasi yang baik keduanya tidak
akan menimbulkan masalah.Latihan pernafasan dikerjakan secara pasif pada saat pasien
dalam kondisi hemodinamik belum stabil dan kesadaran belum baik; latihan aktif dilakukan
bila kondisi hemodinamik stabil dan kesadaran lebih baik. Latihan yang dikerjakan
khususnya melatih otot-otot pernafasan, dengan melakukan kontraksi otot-otot pernafasan
tambahan, vibrasi dan clapping.

Perawatan Luka Bakar


Perawatan luka bukan merupakan prioritas, karena luka tidak akan menyebabkan
kematian dalam waktu dekat (fase akut) dan infeksi bukan merupakan masalah utama pada
luka bakar. Namun acuan dalam mencegah berkembangnya SIRS dan MODS, beberapa
prinsip tatalaksana perawatan luka harus diperhatikan.
Jaringan nekrosis maupun jaringan non vital lainnya yang disebabkan cedera termis
harus segera dibuang. Nekrotomi dan débridement dilakukan seawal mungkin (pada hari
ke tiga - ke empat pasca cedera pada luka bakar sedang, hari ke tujuh – ke delapan pada

48
luka bakar berat), bahkan bila memungkinkan dilakukan penutupan segera (immediate skin
grafting) untuk mengatasi berbagai masalah akibat kehilangan kulit sebagai penutup
(mencegah evaporative heat loss yang menimbulkan gangguan metabolisme), barrier
terhadap kuman dan proses inflamasi berkepanjangan yang mempengaruhi proses
penyembuhan, tidak menunggu jaringan granulasi yang dalam hal ini mengulur waktu dan
memperberat stres metabolisme.1-4
Perawatan luka dilakukan dengan tujuan mencegah berlangsungnya degradasi luka
(perubahan dari derajat dua menjadi tiga yang menunjukkan perburukan) dengan
mengupayakan suasana kondusif untuk proses penyembuhan. Perawatan luka tertutup
diyakini merupakan cara terbaik karena akan mencegah penguapan; perawatan lembab
(moist dressing) akan memfasilitasi proses penyembuhan. Prosedur ini dapat dikerjakan
pada saat melakukan pemantauan resusitasi.Luka harus dicuci (dilusi) menggunakan
pembersih yang tidak bersifat iritatif. Acuan perawatan luka dalam upaya mencegah
infeksi adalah pencucian (dilusi) berulang dan perawatan secara aseptik. Pemberian
antibiotika perlu mendapat perhatian khusus, baik secara sistemik maupun topikal.
Rasionalisasi pemberian menjadi acuan, karena bahaya yang timbul pada penggunaan
antibiotika secara irasional justru akan memicu respons inflamasi sistemik (termasuk
sepsis) dan MODS. Hindari penggunaan antibiotika yang bersifat nefrotoksik, hepatotoksik,
maupun memiliki efek toksik terhadap jaringan lainnya. Hindari pula penggunaan
antiseptik yang bersifat iritan dan bahkan toksik terhadap jaringan. 1,5.7

2.2 Anestesi
2.2.1 Definisi

Anestesi adalah tindakan menghilangkan rasa nyeri/sakit secara sentral


disertai hilangnya kesadaran dan dapat pulih kembali (reversibel).Pada prinsipnya
dalam penatalaksanaan anestesi pada suatu operasi terdapat beberapa tahap yang
harus dilaksanakan yaitu pra anestesi yang terdiri dari persiapan mental dan fisik
pasien, perencanaan anestesi, menentukan prognosis dan persiapan pada pada hari
operasi. Sedangkan tahap penatalaksanaan anestesi terdiri dari premedikasi, induksi
dan pemeliharaan. Dengan anestesi akan diperoleh trias anestesia, yaitu : 6, 8
a. Hipnotik (tidur)
b. Analgesia (bebas dari nyeri)

49
c. Relaksasi otot (mengurangi ketegangan tonus otot)

2.2.2 Pembagian Anestesi


1. Anestesia Umum : suatu keadaan tidak sadar yang bersifat sementara yang diikuti
oleh hilangnya rasa nyeri di seluruh tubuh akibat pemberian obat anestesia. Teknik
anestesia umum terdiri dari:
a. Anestesia umum intravena : merupakan salah satu teknik anestesia umum
yang dilakukan dengan jalan menyuntikkan obat anestesia parenteral
langsung dalam pembuluh darah vena.
b. Anestesia umum inhalasi : merupakan salah satu teknik anestesia umum
yang dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesia inhalasi
yang berupa gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau
mesin anestesia langsung ke udara inspirasi. Berbagai teknik anestesia
umum inhalasi, yaitu:
 Inhalasi dengan Respirasi Spontan:
 Sungkup wajah
 Intubasi endotrakeal
 Laryngeal mask airway (LMA)
 Inhalasi dengan Respirasi kendali
 Intubasi endotrakeal
 Laryngeal mask airway
c. Anestesia imbang : merupakan teknik anestesia dengan mempergunakan
kombinasi obat-obatan baik obat anestesia intravena maupun obat anestesia
inhalasi atau kombinasi teknik anestesia umum dengan analgesia regional
untuk mencapai trias anestesia secara optimal dan berimbang.
2. Anestesia Lokal : anestesia yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat
anestesia lokal pada daerah atau disekitar lokasi pembedahan yang menyebabkan
hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.
3. Anestesia Regional : anestesia yang dilakukan dengan cara menyuntikkan obat
anestesia lokal pada lokasi serat saraf yang menginervasi regio tertentu, yang
menyebabkan hambatan konduksi impuls aferen yang bersifat temporer.8

2.2.3 Penilaian dan Persiapan Pra Anastesi

50
Persiapan prabedah yang kurang memadai merupakan faktor terjadinya
kecelakaan dalam anestesi. Sebelum pasien dibedah sebaiknya dilakukan
kunjungan pasien terlebih dahulu sehingga pada waktu pasien dibedah pasien
dalam keadaan bugar. Tujuan dari kunjungan tersebut adalah untuk mengurangi
angka kesakitan operasi, mengurangi biaya operasi dan meningkatkan kualitas
pelayanan kesehatan. 8, 9
1. Anamnesis
Riwayat tentang apakah pasien pernah mendapat anestesi sebelumnya
sangatlah penting untuk mengetahui apakah ada hal-hal yang perlu mendapat
perhatian khusus, misalnya alergi, mual-muntah, nyeri otot, gatal-gatal atau
sesak nafas pasca bedah, sehingga dapat dirancang anestesi berikutnya dengan
lebih baik. Beberapa peneliti menganjurkan obat yang kiranya menimbulkan
masalah dimasa lampau sebaiknya jangan digunakan ulang, misalnya halotan
jangan digunakan ulang dalam waktu tiga bulan, suksinilkolin yang
menimbulkan apnoe berkepanjangan juga jangan diulang. Kebiasaan merokok
sebaiknya dihentikan 1-2 hari sebelumnya. 8
2. Pemeriksaan fisik
Penilaian jalan napas pada seluruh pasien trauma harus dilakukan sebelum
kita melakukan berbagai tindakan intubasi. Dengan metode “LEMON”.
LEMON akan menilai apakah laryngoskopi secara langsung dapat dilakukan.9
Skor mallampati atau klasifikasi mallampati adalah sistem skor medis yang
digunakan di bidang anestesiologi untuk menentukan level kesulitan dan bisa
menimbulkan resiko pada intubasi pasien yang sedang menjalani proses
pembedahan.
Grade 1 : Tampak pilar faring, palatum molle dan uuvula
Grade 2 : Tampak hanya palatum molle dan uvula
Grade 3 : Tampak hanya palatum molle
Grade 4 : Palatummolle tidak tampak
Grade 3 dan 4 diperkirakan akan menyulitkan intubasi trakea
Tabel 2.1 Metode “LEMON” untuk Menilai Kemungkinan Tindakan
Laryngoskopi

51
Pemeriksaan rutin secara sistemik tentang keadaan umum tentu tidak
boleh dilewatkan seperti inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi semua system
organ tubuh pasien. 6, 8, 9

3. Pemeriksaan laboratorium
Uji laboratorium hendaknya atas indikasi yang tepat sesuai dengan
dugaan penyakit yang sedang dicurigai. Pemeriksaan yang dilakukan meliputi
pemeriksaan darah kecil (Hb, lekosit, masa perdarahan dan masa pembekuan)
dan urinalisis. Pada usia pasien diatas 50 tahun ada anjuran pemeriksaan EKG
dan foto thoraks. 6, 8
4. Klasifikasi status fisik
Klasifikasi yang lazim digunakan untuk menilai kebugaran fisik
seseorang adalah yang berasal dari The American Society of Anesthesiologists
(ASA). Klasifikasi fisik ini bukan alat prakiraan resiko anestesia, karena
dampaksamping anestesia tidak dapat dipisahkan dari dampak samping
pembedahan.
- Kelas I : Pasien penyakit bedah tanpa disertai penyakit sistemik.
- Kelas II : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik ringan
atau sedang.
- Kelas III : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sistemik sedang
atau berat, yang disebabkan karena berbagai penyebab tetapi tidak
mengancam kehidupan.
- Kelas IV : Pasien penyakit bedah disertai penyakit sistemik sedang atau berat
yang secara langsusng mengancam kehidupannya.
- Kelas V : Pasien penyakit bedah disertai dengan penyakit sisetmik berat yang
tidak mungkin ditolong, dioperasipun dalam 24 jam pasien akan meninggal.9

5. Puasa Preoperative
Refleks laring mengalami penurunan selama anestesia. Regurgitasi isi
lambung dan kotoran yang terdapat dalam jalan napas merupakan risiko utama
pada pasien-pasien yang menjalani anestesia. Untuk meminimalkan risiko

52
tersebut, semua pasien yang dijadwalkan untuk operasi elektif dengan anestesia
harus dipantangkan dari masukan oral (puasa) selama periode tertentu sebelum
induksi anestesia.
Pada pasien dewasa umumnya puasa 6-8 jam, anak kecil 4-6 jam dan pada
bayi 3-4 jam. Makanan tak berlemak diperbolehkan 5 jam sebeluminduksi
anestesia. Minuman bening, air putih teh manis sampai 3 jam dan untuk
keperluan minum obat air putih dalam jumlah terbatas boleh 1 jam sebelum
induksi anestesia. 6, 8

2.2.4 Obat-Obat Anestesi


1. Obat Premedikasi
Premedikasi adalah tindakan awal anestesia dengan memberikan obat obatan
pendahuluan yang terdiri dari obat obatan golongan antikholinergik, sedatif, dan
analgetik. Dengan tujuan sebagai berikut :
 Menimbulkan rasa nyaman bagi pasien.
 Mengurangi sekresi kelenjar dan menekan refleks vagus
 Memperlancar induksi
 Mengurangi dosis obat anestesia
 Mengurangi rasa sakit dan gelisah
 Menimbulkan amnesia retrograde.9

a. Obat Sedative
Midazolam
Mekanisme kerja
Sebagai agonis benzodiazepin yang terikat dengan spesifitas yang tinggi pada
reseptor benzodiazepin, sehingga mempertinggi daya hambat neurotransmiter
susunan saraf pusat diresptor GABA sentral. Mempunyai efek sedasi dan anticemas
yang bekerja pada sistem limbik dan pada ARAS serta bisa menimbulkan amnesia
anterograd.
Cara pemberian dan dosis
Premedikasi, diberikan intramuskular dengan dosis 0,2 mg/kgBB. Pada dosis
intravena diberikan 2 mg disusul setelah 2 menit meningkatkan 0,5-1 mg bila
sedasi tidak memadai.9

53
b. Obat Anti Emetik
Ondancentron
Mekanisme Kerja
Ondansetron adalah golongan antagonis reseptor serotonin (5-HT3) merupakan
obat yang selektif menghambat ikatan serotonin dan reseptor 5-HT3. Obat-obat
anestesi akan menyebabkan pelepasan serotonin dari sel-sel mukosa
enterochromafin dan dengan melalui lintasan yang melibatkan 5-HT3 dapat
merangsang area postrema menimbulkan muntah. Pelepasan serotonin akan diikat
reseptor 5-HT3 memacu aferen vagus yang akan mengaktifkan refleks muntah.
Serotonin juga dilepaskan akibat manipulasi pembedahan atau iritasi usus yang
merangsang distensi gastrointestinal.4,6
Efek ondansetron terhadap kardiovaskuler sampai batas 3 mg/kgBB masih
aman, clearance ondansetron pada wanita dan orang tua lebih lambat dan
bioavailabilitasnya 60%, ikatan dengan protein 70-76%, metabolisme di hepar,
diekskresi melalui ginjal dan waktu paruh 3,5-5,5 jam. Mula kerja kurang dari 30
menit, lama aksi 6-12 jam.4
Cara pemberian dan dosis
Ondansetron biasa diberikan secara oral dan intravena atau intramuskuler. Awal
kerja diberi 0,1-0,2 mg/kgBB secara perlahan melalui intravena atau infus untuk 15
menit sebelum tindakan operasi. Dosis premedikasi : 4-8 mg IV.8

Ranitidin
Mekanisme Kerja
Ranitidine menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversible. Reseptor H2
akan merangsang sekresi asam lambung sehingga pada pemberian ranitidine
sekresi asam lambung dihambat, Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan
perubahan pepsinogen menjadi pepsin menurun.4
Cara pemberian dan dosis
Dosis intravena intermiten atau intramuskular pada dewasa adalah 50 mg setiap
6-8 jam.Jika perlu dosis dapat dapat ditingkatkan dengan meningkatkan frekuensi
pemberian, namun tidak boleh melebihi 400 mg perhari.8

c. Obat Analgetik
Paracetamol

54
Paracetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg atau
sirup yang mengandung 120mg/5ml. Selain itu Parasetamol terdapat sebagai
sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun flash. Dosis Parasetamol
untuk dewasa 300mg-1g per kali, dengan maksimum 4g per hari, untuk anak 6-12
tahun: 150-300 mg/kali, dengan maksimum 1,2g/hari. Untuk anak 1-6 tahun:
60mg/kali, pada keduanya diberikan maksimum 6 kali sehari.
Parasetamol cepat diabsorbsi dari saluran pencernaan, dengan kadar serum
puncak dicapai dalam 30-60 menit. Waktu paruh kira-kira 2 jam. Metabolisme di
hati, sekitar 3 % diekskresi dalam bentuk tidak berubah melalui urin dan 80-90 %
dikonjugasi dengan asam glukoronik atau asam sulfurik kemudian diekskresi
melalui urin dalam satu hari pertama; sebagian dihidroksilasi menjadi N asetil
benzokuinon yang sangat reaktif dan berpotensi menjadi metabolit berbahaya. Pada
dosis normal bereaksi dengan gugus sulfhidril dari glutation menjadi substansi
nontoksik. Pada dosis besar akan berikatan dengan sulfhidril dari protein hati.7

2. Induksi
a. Fentanyl
Fentanil merupakan opioid sintetik yang agonis selektif yang bekerja
terutama pada reseptor µ (mu) dengan sedikit berpengaruh pada reseptor δ
(delta) dan κ (kapa). Fentanil merupakan opioid yang poten, mempunyai
potensi analgesia 100-300 kali efek morfin. Bersifat lipofilik yang
memungkinkan masuk ke struktur susunan saraf pusat dengan cepat. Sistem
transdermal menghantarkan fentanil, dari reservoir dengan jumlah yang hampir
konstan per unit waktu. Perbedaan konsentrasi yang timbul antara larutan jenuh
obat di dalam reservoir dan konsentrasi yang rendah di dalam kulit mendorong
pelepasan obat fentanil bergerak ke arah konsentrasi yang lebih rendah dengan
kecepatan yang ditentukan oleh membran pelepas kopolimer dan difusi fentanil
melalui lapisan kulit. Meskipun kecepatan aktual penghantaran fentanil ke kulit
berbeda selama periode pemakaian 72 jam, tiap sistim dilabel dengan fluks
nominal yang mencerminkan jumlah rata-rata obat yang dihantarkan ke
sirkulasi sistemik melalui kulit. Metabolit utama dari fentanil adalah
norfentanil, sedangkan metabolit minornya adalah hidroksipropionil-fentanil
dan hidroksipropionil-norfentanil, yang tidak mempunyai aktivitas

55
farmakologi. Sejumlah kecil alkohol yang tergabung dalam sistem peningkatan
kecepatan fluks obat melalui membran kopolimer yang membatasi kecepatan
dan meningkatkan permeabilitas kulit terhadap fentanil.8, 9

Farmakodinamik
Sebagai dosis tunggal, fentanyl memiliki onset kerja yang cepat dan
durasi yang lebih singkat dibanding morfin.Disamping itu juga terdapat jeda
waktu tersendiri antara konsentrasi puncak fentanil plasma, dan konsentrasi
puncak dari melambatnya EEG. Jeda waktu ini memberi efek waktu
Equilibration antara darah dan otak selama 6,4 menit.
Semakin tinggi potency dan onset yang lebih cepat mengakibatkan
Lipid solubility meningkat lebih baik daripada morfin, yang memudahkan
perjalanan obat menuju sawar darah otak.Dikarenakan durasi dan kerja dosis
tunggal fentanil yang cepat, mengakibatkan distribusi ke jaringan yang tidak
aktif menjadi lebih cepat pula, seperti jaringan lemak dan otot skelet, dan ini
menjadi dasar penurunan konsentrasi obat dalam plasma.7
Metabolisme
Dimetabolisme oleh N-demethylation, yang memproduksi Norfentanil
yang secara struktur mirip Normeperidine, ekskresi fentanil pada ginjal dan
terdeteksi pada urine dalam 72 jam setelah dosis tunggal IV dilakukan. Cepat di
metabolisme di hati, dan kurang lebih 75% dosis yang diberikan di eksresikan
dalam 24 jam dan hanya 10% tereliminasi sebagai obat yang tidak berubah.7, 8, 9
Farmakokinetik
Fentanyl adalah analgesik narkotik yang poten, bisa digunakan sebagai
tambahan untuk general anastesi maupun sebagai awalan anastetik.Fentanyl
memiliki kerja cepat dan efek durasi kerja kurang lebih 30 menit setelah dosis
tunggal IV 100mcg. Fentanyl bergantung dari dosis dan kecepatan pemberian
bisa menyebabkan rigiditas otot, euforia, miosis dan bradikardi.8
Eliminasi dan paruh waktu
Walaupun fentanil memiliki durasi kerja yang cepat, eliminasi dari
paruh waktu lebih panjang dari morfin.Ini dikarenakan fentanyl mempunyai
Lipid solubility yang lebih baik yang menyebabkan perjalanan cepat menuju
jaringan.Konsentrasi plasma fentanil dipertahankan oleh uptake dari jaringan

56
yang lambat, yang memberikan hitungan dari efek obat yang persisten dan
paralel dengan eliminasi paruh waktunya.

Cara pemberian dan dosis :


Untuk suplemen analgesia ,1-2 mcg/kgBB. Intravena
Untuk induksi anestesia, 100-200 mcg/kgBB intravena 6

2. Propofol
Merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-iso profenol yang
banyak dipakai sebagai obat anestesia intravena. Obat ini relatif baru dan lebih
dikenal dengan nama dagang Diprivan, dikemas dalam bentuk ampul, berisi
20ml/ampul, yang mengandung 10mg/ml. penurunan kesadaran segera terjadi
setelah pemberian obat ini secara intravena.
Propofol relatif bersifat selektif dalam mengatur reseptor gamma
aminobutyric acid (GABA) dan tampaknya tidak mengatur ligand-gate ion
channel lainnya.Propofol dianggap memiliki efek sedative hipnotik melalui
interaksinya dengan reseptor GABA. GABA adalah salah satu neurotransmitter
penghambat di SSP.
Ketika reseptor GABA diaktifasi, penghantar klorida transmembaran
meningkat dan menimbulkan hiperpolarisasi di membran sel post sinaps dan
menghambat fungsi neuron post sinaps.Interaksi propofol dengan reseptor
komponen spesifik reseptor GABA menurunkan neurotransmitter penghambat.
Ikatan GABA meningkatkan durasi pembukaan GABA yang teraktifasi
melalui chloride channel sehingga terjadi hiperpolarisasi dari membran sel.
Propofol dengan cepat diabsorbsi tubuh dan didistribusikan dari darah ke
jaringan.Distribusi propofol melalui 2 fase. Dengan fase kedua merupakan fase
yang lebih lambat karena terjadi metabolisme di hati yang signifikan
(konjugasi) sebelum diekskresi lewat urin.Lebih kurang 2% dari dosis yang
diberikan diekskresi melalui feses.Propofol dapat menembus plasenta dan
diekskresi melalui susu.Setelah dosis bolus diberikan, terjadi keseimbangan
dengan cepat antara plasma dan otak yang menggambarkan kecepatan onset
anestesi.7
Farmakodinamik

57
Propofol didegradasi di hati melalui metabolisme oksidatif hepatik oleh
cytochrome P-450.Namun metabolisme tidak hanya dipengaruhi hepatik tetapi
juga ekstrahepatik.Metabolisme hepatik lebih cepat dan lebih banyak
menimbulkan inaktivasi obat dan terlarut air sementara metabolisme asam
glukoronat diekskresikan melalui ginjal.Propofol membentuk 4-
hydroxypropofol oleh sitokrom P450.Propofol yang berkonjugasi dengan
sulfat dan glukoronide menjadi tidak aktif dan bentuk 4 hydroxypropofol yang
memiliki 1/3 efek hipnotik. Kurang dari 0,3% dosis obat diekskresikan melalui
urin. Waktu paruh propofol adalah 0,5-1,5 jam tapi yang lebih penting
sensitive half time dari propofol yang digunakan melalui infus selama 8 jam
adalah kurang dari 40 menit. Maksud dari sensitive half time adalah pengaruh
minimal dari durasi infus karena metabolisme propofol yang cepat ketika infus
dihentikan sehingga obat kembali dari tempat simpanan jaringan ke sirkulasi.
Meskipun metabolisme propofol cepat tidak ada bukti yang
menunjukkan adanya gangguan eliminasi pada pasien sirosis hepatis.
Konsentrasi propofol di plasma sama antara pasien yang meminum alkohol
dan yang tidak. Disfungsi ginjal tidak mempengaruhi metabolisme bersihan
propofol dan selama pengamatan lebih dari 34 tahun metabolisme propofol
dimetabolisme di urin hanya 24 jam pertama.7
Farmakokinetik
Efek pada Susunan Saraf Pusat
Propofol menurunkan Cerebral Metabolism Rate terhadap oksigen
(CRMO2), aliran darah, serta tekanan intrakranial (TIK).Pada pasien dengan
TIK normal terjadi penurunan TIK (30 %) yang berhubungan dengan
penurunan sedikit tekanan perfusi serebral (10 %). Pemberian fentanyl dosis
rendah bersama dengan propofol dosis suplemen mencegah kenaikan TIK pada
intubasi endotrakeal.6
Efek pada Sistem Respiratorik
Propofol menyebabkan bronkodilatasi pada pasien dengan penyakit paru
obstruktif kronik.Terdapat resioko apnea sebesar 25%-35% pada pasien yang
mendapat propofol.Pemberian agen opioid sebagai premedikasi meningkatkan
resiko apnea.Infus propofol menurunkan volume tidal dan frekuensi
pernapasan.Respon pernapasan menurun terhadap keadaan peningkatan karbon

58
dioksida dan hipoksemia.Propofol menyebabkan bronkokontriksi dan
menurunkan resiko terjadinya wheezing pada pasien asma.Konsentrasi sedasi
propofol menyebabkan penurunan respon hiperkapneia akibat efek terhadap
kemoreseptor sentral.4
Efek pada Sistem Kardiovaskuler
Propofol lebih menurunkan tekanan darah sistemik dari pada thiopental.
Penurunan tekanan darah ini juga dipengaruhi perubahan volume kardiak dan
resistensi pembuluh darah.Relaksasi otot polos pembuluh darah disebabkan
hambatan aktivitas simpatis vasokontriksi.4, 6
Efek pada fungsi hepar dan ginjal
Propofol tidak mengganggu fungsi hepar dan ginjal yang dinilai dari enzim
transamin hati dan konsentrasi kreatinin.Infus propofol yang lama
menimbulkan luka pada sel hepar akibat asidosis laktat.Infus propofol yang
lama menyebabkan urin berwarna kehijauan akibat adanya rantai phenol.
Namun perubahan warna urin ini tidak mengganggu fungsi ginjal. Namun
ekskresi asam urat meningkat pada pasien yang mendapatkan propofol yang
ditandai dengan urin yang keruh, terdapat kristal asam urat, pH dan suhu urin
yang rendah. Efek ini menandai gangguan ginjal akibat propofol.4, 6
Cara pemberian dan dosis :
Induksi anestesia, dosisnya 2-2,5 mg/kgBB.6

3. Obat Anestesia Umum Inhalasi


1. Sevofluran
Merupakan halogenasi eter, dikemas dalam bentuk cairan, tidak berwarna, tidak
eksplosis, tidak berbau dan tidak iritatif sehingga baik untuk induksi inhalasi. Proses
induksi dan pemulihannya paling cept dari semua obat – obatan anesthesia inhalasi
yang ada pada saat ini.9

Farmakokinetik
Seperti desflurane, sevoflurane adalah senyawa halogenasi dengan
fluorine.Sevoflurane memiliki solubilitas sedikit lebih tinggi daripada desflurane
(0.65 vs 0.42).Sevoflurane merupakan agen inhalasi yang wangi dengan peningkatan
konsentrasi di alveolar yang cepat sehingga menjadi pilihan yang sempurna sebagai
obat induksi pada pasien pediatrik dan dewasa.Bahkan, induksi inhalasi dengan 4-

59
8% sevoflurane dengan campuran 50% oksigen dan nitrous okside dapat dicapai
dalam waktu 1-3 menit.
Oleh karena solubilitas dalam darah yang rendah yang mengakibatkan penurunan
konsentrasi di alveolar segera setelah dihentikan sehingga fase pulih sadar lebih
cepat jika dibandingkan dengan isoflurane.Namun fase pulih sadar yang cepat ini
telah dihubungkan dengan insidensi delirium yang tinggi paska pembedahan yang
dapat diatasi dengan fentanyl 1-2 ug/kgBB. MAC Sevoflurane terlihat pada tabel di
bawah ini. MAC sevoflurane untuk pasien yang berumur 6 bulan sampai 12 tahun
adalah 2,5%. Sedangkan untuk pasien yang berumur dibawah 6 bulan MAC
sevoflurane adalah 3,2-3,3%.6

Tabel 2.3 Equivalen MAC

Efek terhadap sistem organ


Kardiovaskuler dan Sistem Pernapasan
Sevoflurane mempunyai efek depresi kontraktilitas miokard yang ringan.
Resistensi vaskuler sistemik dan tekanan darah arterial lebih sedikit menurun jika
dibandingkan dengan isoflurane atau desflurane. Karena sevoflurane memiliki efek
yang minimal pada nadi, maka jika terjadi peningkatan nadi, curah jantung tidak dapat
terjaga dengan sebaik pada pemberian isoflurane ataupun desflurane. Sevoflurane
mungkin dapat memperpanjang interval QT. pada sistem pernafasan evoflurane
mendepresi pernafasan dan mengakibatkan bronkodilatasi hampir sama halnya seperti
isoflurane.4, 6
Otak dan Neuromuskular

60
Pada penelitian secara klinis, perubahan-perubahan pada neurohemodinamik (CBF,
CMRO2 dan CPP) sebanding antara sevoflurane dan isoflurane.Sevoflurane
mempunyai efek minimal pada ICP dan reaksi terhadap CO2 tetap dipertahankan.9
Ginjal dan Hepatik
Sevoflurane sedikit menurunkan aliran darah ke ginjal.padahepatik Sevoflurane
menurunkan aliran darah vena porta, namun ,meningkatkan aliran darah arteri hepatik
sehingga tetap menjaga aliran darah ke hati dan suplai oksigen.8
Metabolisme
Sevoflurane dimetabolisme oleh sitokrom hepatic P450 2EL sebanyak 2-5%
dengan metabolik produk utama fluoride inorganic dan hexafluoroisopropanolol
(HFIP).HFIP tidak diikat oleh protein hepar dan tidak menunjukkan bukti adanya
toksisitas pada hati.HFIP dengan cepat dikonjugasi oleh asam glukoronida dan
kemudian diekskresi.Konjugasi ini demikian cepat, sehingga konsentrasi HFIP tidak
dapat diukur (karena sangat rendah) pada manusia. Konjugasi HFIP dikeluarkan
melalui urin dan dikeluarkan secara lengkap dalam 24 jam. Metabolit sevoflurane
yang paling penting adalah fluorida inorganik. 8
Dosis
 Untuk induksi, kosentrasi yang diberikan pada udara inspirasi adalah 3.0-5.0%
bersama – sama dengan N2O.
 Untuk pemeliharaan dengan pola nafas spontan, kosentrasinya berkisar antara 2.0-
3%, sedangkan untuk nafas kendali, berkisar antara 0,5-1,0%.8

2. Nitrous Oksida (N2O)


Merupakan gas yang tidak berwarna, berbau manis dan tidak iritatif, tidak berasa,
lebih berat dari udara, tidak mudah terbakar/meledak, dan tidak bereaksi dengan soda
lime absorber (pengikat CO2). Mempunyai sifat anestesi yang kurang kuat, tetapi
dapat melalui stadium induksi dengan cepat, karena gas ini tidak larut dalam darah.
Gas ini tidak mempunyai sifat merelaksasi otot, oleh karena itu pada operasi abdomen
dan ortopedi perlu tambahan dengan zat relaksasi otot.6
Terhadap SSP menimbulkan analgesi yang berarti. Depresi nafas terjadi pada masa
pemulihan, hal ini terjadi karena Nitrous Oksida mendesak oksigen dalam ruangan-
ruangan tubuh. Hipoksia difusi dapat dicegah dengan pemberian oksigen konsentrasi
tinggi beberapa menit sebelum anestesi selesai. Penggunaan biasanya dipakai

61
perbandingan atau kombinasi dengan oksigen. Penggunaan dalam anestesi umumnya
dipakai dalam kombinasi N2O : O2 adalah sebagai berikut 60% : 40% ; 70% : 30%
atau 50% : 50%.
Walaupun N2O dikatakan sebagai obat anestetik non toksik an mempunyai
pengaruh yang sangat minimal pada system organ seperti tersebut diatas, kadang –
kadang terjadi juga efek samping seperti berikut :
1. N2O akan meningkatkan efek depresi nafas dari obat tiopenton terutama setelah
diberikan premedikasi narkotik.
2. Kehilangan pendengaran pasca anestesi, hal ini disebabkan karena adanya
perbedaan solubilitas antara N2O dan N2 sehingga terjadi perubahan tekanan
pada rongga telinga tengah.
3. Pemanjangan proses pemulihan anestesi akibat difusinya ketubuh seperti
misalnya pneumothoraks.
4. Pemakain jangka panjang menimbulkan depresi sum – sum tulang sehingga bias
menyebabkan anemia aplastik.6

General Anastesi Face Mask


General anestesi face mask merupakan salah satu teknik anestesia umum yang
dilakukan dengan jalan memberikan kombinasi obat anestesia inhalasi yang berupa
gas dan atau cairan yang mudah menguap melalui alat atau mesin anestesia langsung
ke udara inspirasi.1
Anestesi inhalasi bekerja secara spontan menekan dan membangkitkan
aktivitas neuron berbagai area di dalam otak. Sebagai anestesi inhalasi digunakan gas
dan cairan terbang yang masing-masing sangat berbeda dalam kecepatan induksi,
aktivitas, sifat melemaskan otot maupun menghilangkan rasa sakit. Untuk
mendapatkan reaksi yang secepat-cepatnya, obat ini pada permulaan harus diberikan
dalam dosis tinggi, yang kemudian diturunkan sampai hanya sekadar memelihara
keseimbangan antara pemberian dan pengeluaran. Keuntungan anestesi inhalasi
dibandingkan dengan anestesi intravena adalah kemungkinan untuk dapat lebih cepat
mengubah kedalaman anestesi dengan mengurangi konsentrasi dari gas atau uap yang
diinhalasi. Keuntungan anastetika inhalasi dibandingkan dengan anastesi intravena
adalah kemungkinan untuk dapat lebih cepat mengubah kedalaman anastesi dengan
mengurangi konsentrasi dari gas/uap yang diinhalasi. Kebanyakan anastesi umum

62
tidak di metabolisasikan oleh tubuh, karena tidak bereaksi secara kimiawi dengan zat-
zat faali. Mekanisme kerjanya berdasarkan perkiraan bahwa anastetika umum di
bawah pengaruh protein SSP dapat membentuk hidrat dengan air yang bersifat stabil.
Farmakokinetika Anestesi Inhalasi
Dalamnya anestesi ditentukan oleh konsentrasi anestetik didalam susunan saraf
pusat. Kecepatan pada konsentrasi otak yang efektif (kecepatan induksi anestesi)
bergantung pada banyaknya farmakokinetika yang mempengaruhi ambilan dan
penyebaran anestetik. Factor tersebut menentukan perbedaankecepatan transfer
anestetik inhalasi dari paru kedalam darah serta dari darah keotak dan jaringan lainnya. 
Faktor-faktor tersebut juga turut mempengaruhi masa pemulihan anestesi setelah
anestetik dihentikan.
Absorpsi dan distribusi
 Konsentrasi masing-masing dalam suatu campuran gas anestetik sebanding dengan
tekanan atau tegangan persialnya. Istilah tersebut sering dipergunakan secara bergantian
dalam membicarakan berbagai proses transfer anestetik gas dalam tubuh. Tercapainya
konsentrasi obat anestetik yang adekuat dalam otak  untuk menimbulkan anestesi
memerlukan transfer obat anestetik dari udara alveolar kedalam darah dan otak.
Kecepatan pencapaian konsentrasi ini bergantung pada sifat kelarutan anestetik,
konsentrasinya dalam udara yang dihisap, laju ventilasi paru, aliran darah paru, dan
perbedaan gradian konsentrasi (tekanan parsial) obat anestesi antara darah arteri dan
campuran darah vena.
Ekskresi
Waktu pemulihan anestesi inhalasi bergantung pada kecepatan pembuangan obat
anestetik dari otak setelah konsentrasi obat anestesi yang diisap menurun. Banyaknya
proses transfer obat anestetik selama waktu pemulihan samadengan yang terjadi selama
induksi.
Factor-factor yang mengontrol kecepatan pemulihan anestesi meliputi; aliran darah
paru, besarnya ventilasi, serta kelarutan obat anestesi dalam jaringan dan darah serta
dalamnya fase gas didalam paru.
Farmakodinamika
Kerja neurofisiologik yang penting pada obat anestesi umum adalah
denganmeningkatkan ambang rangsang sel. Dengan meningkatnya ambang
rangsang,akan terjadi penurunan aktivitas neuronal. Obat anestetik inhalasi seperti juga

63
intravena barbiturate dan benzodiazepine menekan aktivitas neuron otak sehingga
akson dan transmisisi naptik tidak bekerja. Kerja tersebut digunakan padatransmisi
aksonal dan sinaptik, tetapi proses sinaptik lebih sensitive dibandingkanefeknya.
Mekanisme ionik yang diperkirakan terlibat adalah bervariasi. Anestetik inhalasi gas
telah dilaporkan menyebabkan hiperpolarisasi saraf dengan aktivitas aliran K+,
sehingga terjadi penurunan aksi potensial awal, yaitu peningkatan ambang rangsang.
Mekanisme molecular dengan anestetik gas merubah aliran ion pada membran neuronal
belumlah jelas. Efek ini dapat menghasilkan hubungan interaksi langsung antara
molekul anestetik dan tempat hidrofobik pada saluran membrane protein yang spesifik.
Mekanisme ini telah diperkenalkan pada penelitian interaksi gas dengan saluran
kolineroseptor nikotinik interkais yang tampaknya untuk menstabilkan saluran pada
keadaan tertutup. Interpretasi alternatif, yang dicoba untuk diambil dalam catatan
perbedaan struktur yangnyata diantara anestetik, memberikan interaksi yang kurang
spesifik pada obat ini dengan dengan membran matriks lipid, dengan perubahan
sekunder pada fungsi saluran.
Efek Samping Anestesi Inhalasi
Obat-obatan anestesi yang umum dipakai pada pembiusan total adalah N 2O,
halotan, enfluran, isofluran, sevofluran, dan desfluran. Obat anestesi umum yang ideal
haruslah tidak mudah terbakar, tidak meledak, larut dalam lemak, larut dalam darah,
tidak meracuni organ (jantung, hati, ginjal), efek samping minimal, tidak
dimetabolisasi oleh tubuh, dan tidak mengiritasi pasien.
Obat bius/anestesi umum/total pasti memiliki efek samping di antaranya:
a) Mengiritasi aliran udara, menyebabkan batuk dan spasme laring (golongan
halogen).
b) Menimbulkan stadium kataleptik yang menyebabkan pasien sulit tidur karena mata
terus terbuka (golongan Ketamin).
c) Depresi pada susunan saraf pusat.
d) Nyeri tenggorokan.
e) Sakit kepala.
f) Perasaan lelah dan bingung selama beberapa hari.
g) Menekan pernapasan yang pada anestesi dalam terutama ditimbulkan oleh halotan,
enfluran dan isofluran. Efek ini paling ringan pada N2O dan eter.

64
h) Menekan system kardiovaskuler, terutama oleh halotan, enfluran dan isofluran.
Efek ini juga ditimbulkan oleh eter, tetapi karena eter juga merangsang sistem saraf
simpatis, maka efek keseluruhannya menjadi ringan.
i) Merusak hati dan ginjal, terutama senyawa klor, misalnya kloroform.
j) Oliguri (reversibel) karena berkurangnya pengaliran darah di ginjal, sehingga
pasien perlu dihidratasi secukupnya.
k) Menekan sistem regulasi suhu, sehingga timbul perasaan kedinginan (menggigil)
pasca-bedah.
Efek samping tersebut bersifat sementara. Namun, ada pula komplikasi serius
yang dapat terjadi. Untungnya, komplikasi tersebut sangat jarang, dengan
perbandingan 4 komplikasi dalam jutaan pasien yang diberi obat anestesi.
Pencegahan efek samping anestesi yang terbaik adalah dengan penjelasan
selengkap mungkin terhadap pasien mengenai efek samping dan risiko yang
mungkin terjadi, pemeriksaan menyeluruh, dan pemberian obat anestesi yang
tidak melebihi dosis.
Indikasi untuk menggunakan teknik anesthesia umum dengan sungkup muka :
1. Untuk tindakan yang singkat (0,5 jam – 1 jam) tanpa membuka rongga perut
2. Keadaan umum pasien cukup baik (status fisik ASA I atau ASA II)
3. Lambung harus kosong
Kontra indikasi menggunakan teknik anesthesia umum dengan sungkup muka :
1. Operasi di daerah kepala dan jalan napas
2. Operasi dengan posisi miring atau tertelungkup.1

Macam-macam Face mask

65
66
Gambar 2.9 Macam-macam sungkup muka1,2

Prosedur
1. Pasien telah disiapkan sesuai dengan pedoman
2. Pasang alat pantau yang diperlukan
3. Siapkan alat-alat dan obat resusitasi
4. Siapkan mesin anastesi dengan system sirkuitnya dan gas anastesi yang digunakan
5. Induksi dengan pentothal atau dengan obat hipnotik yang lain
6. Berikan salah satu kombinasi obat inhalasi (N2O+halotan/ enfluran/ isofluran/
sevofluran)
7. Awasi pola napas pasien, bila tampak tanda-tanda hipoventilasi berikan napas
bantuan intermiten secara sinkron sesuai dengan irama napas pasien
8. Pantau denyut nadi dan tekanan darah
9. Apabila operasi sudah selesai, hentikan gas/obat anastesi inhalasi dan berikan
oksigen 100% (4-8 liter/menit) selama 2-5 menit.

Gambar 2.10 Prosedur pemasangan sungkup muka.

67
68

Anda mungkin juga menyukai