Anda di halaman 1dari 6

Dalam kitab undang-undang pidana (Wetboek Van Strafrecht) Buku kedua tentang kejahatan

terhadap kesusilaan terdapat pada pasal 281 sampai dengan pasal 299 sebagai berikut:
kejahatan dengan melanggar kesusilaan, kejahatan pornografi, kejahatan pornografi terhadap
orang yang belum dewasa, kejahatan pornografi dalam melakukan pencahariannya, kejahatan
perzinahan, kejahatan perkosaan untuk bersetubuh, kejahatan bersetubuh dengan perempuan
di luar nikah yang umurnya belum 15 tahun, kejahatan bersetubuh dengan perempuan di luar
nikah yang dalam keadaan tidak sadarkan diri yang umurnya dibawah 15 tahun, kejahatan
perkosaan bersetubuh, kejahatan berbuat asusila sebagai mata pencaharian atau kebiasaan,
kejahatan memperdagangkan wanita dan anak laki-laki yang belum dewasa dan kejahatan
mengobati wanita yang dapat menimbulkan kehamilan dan ada kemungkinan menggugurkan
kandungannya, kejahatan berbuat asusila dengan anaknya, anak tirinya dan lain-lain yang
belum dewasa, kejahatan bersetubuh dengan perempuan dalam perkawinana yang belum
waktunya dikawin dan menimbulkan akibat luka-luka, kejahatan perkosaan berbuat cabul
atau perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan.

Kekerasan dan/atau pelecehan yang terjadi terhadap perepuan dikarenakan sistem norma dan
nilai yang ada di masyarakat menempatkan wanita sebagai makhluk yang lemah dan
derajatnya dibawah laki-laki ditambah lagi perempuan masih dianggap sebagai second class
citizens. Hal ini diperparah dengan budaya patriarki yang masih marak dilakukan di
Indonesia, Budaya patriarki adalah sistem kekuasaan/pemerintahan yang mana kaum laki-laki
mengatur dan mengendalikan masyarakat melalui posisi mereka sebagai kepala rumah
tangga. Dalam sistem tersebut dominasi dari para lekaki muda yang belum menjadi kepala
keluarga juga tidak kalah pentingnya, jika tidak lebih penting dibandingkan elemen dominasi
laki-laki terhadap perempuan melalui rumah tangga. (Max Meber).

Keberadaan ideologi patriarki dalam masyarakat tidak terlepas dari sejarah peradaban
manusia. Pada masa silam manusia mengantungkan hidup dengan berburu dan
mengumpulkan makanan. Kegiatan berburu dan mengumpulkan makanan ini dilakukan oleh
laki-laki, sementara perempuan tinggal di rumah. Kondisi demikian, menjadikan perempuan
memiliki banyak waktu senggang, sehingga perempuan menggunakan waktu senggangnya
tersebut untuk bertani. Hal ini dikemukakan pula oleh Setiawan (2012: 13), bahwa ketika
laki-laki berangkat ke hutan berburu, maka perempuan menanam umbi-umbian dan biji-bijian
di tanah datar yang tidak jauh dari tempat tinggalnya. Kaum perempuanlah penemu pertama
‘ilmu cocok tanam’ dan sekaligus pekerja pertanian yang pertama.

Seiring berkembangnya zaman, kehidupan berburu dan mengumpulkan makanan tidak cocok
lagi dilakukan karena kondisi alam yang berubah. Hal tersebut membuat laki-laki mengambil
alih lahan produksi pertanian perempuan. Karena keharusan untuk mempertahankan
hidupnya, manusia membuat perkembangan teknologi berlangsung dengan pesat di tengah
masyarakat pertanian. Hal ini senada yang dikemukakan oleh Saadawi dalam Kusuma (2012:
18), bahwa kehidupan pertanian menjadi sumber makanan tetap untuk masyarakat, sehingga
cara-cara dan teknologi semakin dimajukan.

Sejak saat itu, proses produksi yang sebelumnya dikerjakan bersama-sama (komunal),
akhinya dapat dikerjakan secara sendirian (individual), sehingga proses komunal dalam
menghasilkan sumber penghidupan berangsur-angsur tergantikan oleh proses individual dan
menjadikan hasil produksi menjadi milik individu. Dari sinilah, sistem pertanian
memperkenalkan kepemilikan pribadi pada umat manusia. Hal ini yang menjadi akar dari
lahirnya sistem patriarki. Seperti yang dikatakan Engels dalam Budiman (1981 :23), bahwa
sistem patriarki dimulai ketika manusia mulai mengenal kepemilikan pribadi, di mana sistem
kepemilikan ini juga menandai lahirnya sistem kelas.

Kelahiran sistem patriarki tersebut, membuat perempuan tergeser ke pekerjaan-pekerjaan


domestik dan bekerja sesuai keinginan laki-laki. Hal ini menjadi akar dominasi laki-laki
terhadap perempuan. Seperti yang disampaikan Engels dalam Budiman (1981: 23), bahwa
kemunculan sistem patriarki menjadikan perempuan sebagai makhluk pengabdi saja.
Perempuan menjadi budak dari keserakahan laki-laki, dan menjadi mesin pembuat anak-anak
belaka.

Selain itu, marginalisasi perempuan dalam sistem patriarki diperparah dengan anggapan
bahwa segala hal yang dilakukan perempuan dalam ranah domestik bukanlah sesuatu yang
perlu dihargai dan diperhitungkan. Hal ini disampaikan oleh Setiawan (2012: 19), bahwa
perempuan rumah tangga yang siang-malam tidak pernah berhenti bekerja, tidak dianggap
bekerja oleh kaum laki-laki dan bahkan oleh kaum perempuan sendiri. Karena bekerja baru
dikatakan bekerja ketika menyangkut proses produksi dan menghasilkan nilai-nilai ekonomi.

Pengertian dan Struktur Ideologi Patriarki

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2014: 517), ideologi diartikan sebagai kumpulan
konsep bersistem yang dijadikan asas pendapat (kejadian) yang memberikan arah dan tujuan
untuk kelangsungan hidup atau cara berpikir seseorang atau golongan. Eagleton dalam
Takwin (2003: 3) menambahkan bahwa ideologi adalah ide-ide yang membantu melegitimasi
kekuatan politik dominan. Adapun dalam artian negatif, ideologi adalah kesadaran palsu yang
memutarbalikkan realitas. Ideologi ‘membutakan’ manusia dari kenyataan yang
sesungguhnya (Karl Marx dalam Takwin, 2003: 6).

Selanjutnya, definisi patriarki adalah sebuah sistem yang menganggap kaum laki-laki
ditakdirkan untuk mengatur perempuan. Hal ini berlaku kokoh di seluruh dunia (Fromm
dalam Adji dkk 2009: 9). Kemudian diperjelas oleh pendapat Walby (2014: 28), yang
menyatakan bahwa patriarki adalah sebuah sistem struktur sosial dan praktik-praktik yang
memosisikan laki-laki sebagai pihak yang mendominasi, menindas dan mengeksploitasi
kaum perempuan. Penggunaan istilah struktur sosial untuk menunjukkan penolakan terhadap
determinisme biologis dan gagasan bahwa setiap individu laki-laki berada pada posisi
dominan dan setiap individu perempuan dalam posisi subordinat. Berdasarkan definisi
tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa patriarki adalah sistem sosial yang berlaku di dalam
masyarakat yang melanggengkan dominasi laki-laki terhadap kaum perempuan.

Walby (2014: 29-30), juga menjelaskan mengenai struktur-struktur dari patriarki, sebagai
berikut:

Relasi produksi patriarki dalam keluarga

Dalam struktur ini, pekerjaan rumah tangga perempuan diambil alih oleh suami mereka atau
orang-orang yang tinggal bersama mereka. Seorang perempuan boleh jadi menerima
pemeliharaan sebagai ganti dari pekerjaan mereka, khususnya saat mereka tidak memiliki
pekerjaan dengan upah. Ibu rumah tangga adalah kelas yang memproduksi, sementara para
suami adalah kelas pengambil alih.

Relasi patriarki pada pekerjaan dengan upah

Struktur patriarki kedua pada level ekonomi adalah relasi patriarki dalam pekerjaan dengan
upah. Sebuah bentuk penutupan patriarki yang kompleks di dalam pekerjaan dengan gaji
melarang perempuan masuk ke dalam jenis pekerjaan yang lebih baik dan memisahkan
mereka ke dalam pekerjaan yang lebih buruk yang menganggap mereka kurang terampil.

Relasi patriarki dalam negara

Negara juga patriarki sekaligus kapitalis dan rasialis. Sebagai arena perjuangan dan bukan
sebagai entitas monolitis, negara memiliki bias sistematis terhadap kepentingan patriarki
seperti tampak dalam kebijakan-kebijakan dan tindakan-tindakannya. Misalnya, laki-laki
mendapatkan kekebalan hukum dari kekerasan yang dilakukanya kepada perempuan. Pada
praktiknya, kekerasan ini disahkan oleh negara, karena negara tidak melakukan tindakan
efektif apa pun untuk melawannya.

Kekerasan laki-laki

Kekerasan laki-laki merupakan perilaku rutin yang dialami oleh perempuan, dengan akibat
standar atas perilaku kebanyakan perempuan. Kekerasan ini secara sistematis dimaafkan dan
disahkan oleh penolakan negara untuk campur tangan melawan kekerasan tersebut, kecuali
dalam kejadian-kejadian khusus, meskipun praktik pemerkosaan, pemukulan terhadap istri,
pelecehan seksual dan lain-lain, terlalu terdesentralisasi dalam praktik mereka sebagai bagian
dari negara itu sendiri.

Relasi patriarki dalam seksualitas

Bentuk kunci dari struktur ini adalah heteroseksualitas yang wajib dan standar ganda seksual.
Struktur patriarki dalam seksualitas membahas tentang alasan-alasan bagi orientasi seksual
sebagai seorang heteroseksual, lesbian maupun homoseksual. Alasan ini merupakan
pertanyaan sentral bagi analisis feminis radikal, karena melalui alasan inilah hubungan antara
bentuk seksualitas yang didominasi laki-laki dan patriarki dibangun.

Relasi patriarki dalam lembaga budaya


Lembaga budaya melengkapi susunan struktur sebelumnya. Lembaga-lembaga ini penting
untuk pembangkitan berbagai variasi subjektivitas gender dalam bentuk yang berbeda-beda.
Struktur ini terdiri dari seperangkat lembaga yang menciptakan representasi perempuan dari
pandangan patriarki dalam berbagai arena, diantaranya seperti agama, pendidikan dan media.

Selain itu, struktur relasi patriarki dalam lembaga budaya mencakup gagasan-gagasan
maskulinitas dan feminitas – hal-hal yang membedakan keduanya. Maskulinitas
mengharuskan ketegasan, aktif, lincah, dan cepat mengambil inisiatif, sedangkan feminitas
mengharuskan kerjasama, pasif, lembut dan emosional. Identitas maskulin dan feminin di
atas disosialisasikan pada gender tertentu sejak lahir dalam lingkungan keluarga.

Kadar dan Bentuk Patriarki

Seiring berkembangnya zaman, patriarki juga terus memperbaharui dirinya. Walby (2014:
33) mengemukakan bahwa terjadi banyak perubahan dalam patriarki baik dalam kadar
maupun bentuknya. Perubahan pada kadar patriarki termasuk aspek relasi gender seperti
sedikit berkurangnya selisih gaji antara laki-laki dan perempuan, dan semakin tertutupnya
jurang kualifikasi pendidikan laki-laki dan perempuan. Akan tetapi, beberapa aspek relasi
patriarki yang lain mengalami peningkatan.

Menurut Walby (2014: 261-278) selain pada kadar patriarki, perubahan juga terjadi pada
bentuk patriarki. Perubahan bentuk patriarki tersebut berupa patriarki privat dan patriarki
publik. Kedua bentuk perubahan patriarki tersebut, dijelaskan sebagai berikut:

Perbedaan Patriarki Privat dan Patriarki Publik

Dalam bentuk patriarki privat, arena utama penindasan perempuan terletak pada produksi
rumah tangga, dengan seorang patriarki mengontrol perempuan secara individu di dalam
rumah, sedangkan dalam patriarki publik terletak pada pekerjaan dan negara, meskipun
keluarga tidak berhenti menjadi struktur patriarki dalam bentuk publik, tetapi tidak lagi
menjadi arena unggulan. Selain itu, dalam patriarki privat perampasan pekerjaan perempuan
terjadi oleh individu patriarki dalam keluarga, sementara di dalam bentuk publik pengerukan
dilakukan secara kolektif.

Dalam patriarki privat, strategi patriarki yang prinsip adalah penyingkiran. Hal ini berupa
eksploitasi perempuan dengan tidak melibatkannya di dalam ruang publik, sedangkan dalam
publik berupa strategi segregasi dan subordinasi yang berupa keterlibatan perempuan dalam
ranah publik namun mengakibatkan eksploitasi perempuan dalam semua level. Hal ini karena
kehadiran perempuan dalam ranah publik dibatasi pada pekerjaan-pekerjaan yang dipisahkan
dari dan dihargai lebih rendah ketimbang laki-laki.

Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa patriarki privat adalah bentuk patriarki
yang menyingkirkan perempuan dari ruang publik dan mengarahkan perempuan pada
pekerjaan domestik. Patriarki publik adalah bentuk patriarki yang menyediakan tempat bagi
perempuan di ruang publik, namun posisinya tersubordinasi dari laki-laki.

Pergeseran dari Patriarki Publik ke Privat


Walby (2014 : 274) tidak menyepakati pendapat beberapa penulis yang mengatakan bahwa
kapitalisme adalah penyebab utama perubahan-perubahan relasi gender. Misalnya, penulis
yang beranggapan bahwa pertumbuhan kapitalisme menyebabkan pemisahan di antara rumah
dan kerja. Karena menurutnya meskipun kebangkitan kapitalisme mengawali perkembangan
bentuk patriarki baru, tetap saja tidak menyebabkan perubahan di dalam struktur-struktur
dasarnya. Relasi produksi di dalam rumah tangga sudah ada, sebelum kapitalisme.

Pergeseran patriarki publik ke privat bukanlah karena kapitalisme, melainkan oleh tekanan-
tekanan patriarki sendiri. Perempuan-perempuan miskin tersingkir dari pabrik, setelah
mereka menikah dengan laki-laki kaya (penguasa) dan tidak terlibat lagi dalam ‘pekerjaan’
pada periode mana pun. Bentuk pergeseran lainnya adalah perempuan yang secara terus-
menerus kehilangan di berbagai area pekerjaan yang sudah menjadi miliknya dan kehilangan
hak-hak legal tertentu atas tanah yang mereka pegang sebelumnya (Pinchbeck, 1930;
Schreiner, 1918).

Pergeseran patriarki publik ke patriarki privat, dapat disimpulkan sebagai peralihan


perempuan dari ranah publik ke ranah domestik. Hal ini bukan disebabkan oleh kebangkitan
dari kapitalisme, melainkan karena ideologi patriarki itu sendiri. Meskipun tidak dipungkiri
bahwa kapitalisme melahirkan patriarki yang lebih berkembang.

Gerakan dari Patriarki Privat ke Publik

Perubahan patriarki privat menuju patriaki publik memang sangatlah signifikan. Perubahan-
perubahan penting pada relasi gender tersebut terjadi selama abad kedua puluh. Gerakan
menuju bentuk patriarki privat yang lebih tajam secara dramatis terbalik selama periode
pergantian abad. Abad kedua puluh telah menimbulkan pergerakan tajam dari patriarki privat
ke publik, sekaligus pengurangan dalam derajat bentuk ketertindasan khusus perempuan.

Hal ini bukanlah sekadar sebuah pernyataan bahwa ada perubahan-perubahan penting, tetapi,
selanjutnya bahwa perubahan yang ada sangat berkebalikan. Semua enam struktur patriarki
yang ada termasuk di dalam perubahan-perubahan ini. Ada perlawanan dari para feminis
melawan praktik-praktik sosial patriarki yang ditantang dengan perlawanan. Kampanye-
kampanye mereka terjadi dalam konteks, dan dibentuk oleh permintaan kapitalis terhadap
buruh. Hasil dari pergolakan ini adalah sebuah perubahan dalam kadar tinggi ke bentuk lain
bersama dengan beberapa pengurangan pada kadar patriarki di area-area tertentu, sehingga
menghasilkan berbagai dampak kompleks yang saling terkait dengan aspek-aspek relasi
patriarki lain.

Kemenangan kaum feminis atas kewarganegaraan politik tidak hanya memberi hak pilih pada
perempuan, tetapi juga hak pendidikan yang kemudian membuka akses pada jenis pekerjaan,
kepemilikan harta dan hak meninggalkan pernikahan. Namun, absennya kemenangan politik
peningkatan upah buruh perempuan melahirkan eksploitasi tambahan pada dirinya, sehingga
perempuan perlu menggunakan perubahan-perubahan ekonomi untuk memperluas ruang
operasi mereka.

DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
Adji, dkk. 2009. “Konstruksi Relasi Laki-laki dan Perempuan dalam Sistem Patriarki (Kajian
terhadap Karya Djenar Maesa Ayu dengan Pendekatan Feminisme)” Laporan Penelitian.
Tidak Diterbitkan. Bandung: Universitas Padjadjaran.

Budiman, Arif. 1981. Pembagian Kerja Secara Seksual: Sebuah Pembahasan Sosiologis
tentang Peran Wanita di dalam Masyarakat. Jakarta: Gramedia.

Kusuma, Dewi Hasti. 2012. “Marginalisasi Perempuan dalam novel Adam Hawa Karya
Muhidin M. Dahlan (Analisis Kritik Sastra Feminis)” Skripsi. Tidak Diterbitkan. Yogyakarta:
Universitas Negeri Yogyakarta.

Pusat Bahasa. 2014. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Keempat. Jakarta: PT Gramedia
Pustaka Utama.

Setiawan, Hersri. 2012. Awan Theklek Mbengi lemek; Tentang Perempuan dan Pengasuhan
Anak. Yogyakarta: Sekolah mBrosot dan Gading Publishing.

Takwin, Bagus. 2003. Akar - Akar Ideologi. Yogyakarta: Jalasutra.

Walby, Sylvia. 2014. Theorizing Patriarchy. Diterjemahkan oleh Mustika K. Prasela dengan
judul Teorisasi Patriarki. Yogyakarta: Jalasutra.

Anda mungkin juga menyukai