Anda di halaman 1dari 21

Makalah

PERILAKU BERBAHAYA DAN FAKTOR-FAKTOR YANG


MEMENGARUHINYA
Makalah ini diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Industri
Dosen Pengampu: Hardjono, Drs, M.Si.,

Disusun Oleh:
1. Annisa Kurniasari (R0218014)
2. Denny Anwar Ramadhan (R0218032)
3. Mey Puspita Sari (R0218074)
4. Syifa Farida Ashaar (R0218114)

D4 KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia sebagai salah satu negara yang memiliki jumlah populasi penduduk
terbesar di dunia terus membenahi diri. Dilansir dari data BPS per 2017, bahwa
jumlah penduduk Indonesia mencapai 261, 9 juta jiwa dengan laju pertumbuhan
sekitar 1,34%. Pesatnya laju pertumbuhan penduduk sebanding dengan laju
perekonomian yang terus menggeliat membangun infrastuktur guna mendukung
kehidupan masyarakat yang sejahtera dan berkelanjutan.

Guna menghadapi tantangan pasar global yang saat ini tengah menggempur
Indonesia, setiap pelaku industri dituntut untuk mampu meningkatkan hasil produksi
dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi.

Canggihnya teknologi alat-alat industri dapat memberikan dampak positif dan


negatif. Dilihat dari sisi postif penggunaan alat-alat industri dengan memanfaatkan
kecanggihan teknologi dapat meningkatkan kualitas hidup pekerja dan membantu
pertumbuhan ekonomi. Sedangkan sisi negatifnya ialah semakin kompleks suatu
pekerjaan dapat menimbulkan stres dan penyakit akibat kerja. Maka dari itu, upaya
implementasi K3 mutlak diperlukan.

Keselamatan dan Kesehatan kerja merupakan program yang perlu diterapkan


setiap perusahaan untuk menjamin keselamatan dan kesehatan para karyawannya.
Penggunaan APD (Alat Pelindung Diri) seperti helm, masker, kacamata, sarung
tangan, ear plug, dan sepatu merupakan APD yang seharusnya dikenakan oleh semua
karyawan di perusahaan. Tanpa disadari perilaku yang tidak aman sangat berbahaya
dan bisa mempengaruhi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) para karyawan
karena dengan tidak menggunakan APD juga bisa mengurangi konsentrasi dan
kesehatan para karyawan saat bekerja misalnya, takut percikan bahan mengenai mata
pada saat proses pengelasan, terpapar oleh debu, tergores akibat terkena gesekan
benda tajam, terjepit pintu gerbong, sehingga bisa menimbulkan ketidaknyamanan
kerja karyawan dan juga bisa mempengaruhi kesehatan kerja karyawan yang akan
mengakibatkan turunnya penghasilan/omset di PT. Kereta Api Daerah Operasi VI
Yogyakarta DIPO Kereta Solo Balapan.

Berdasarkan penelitian Yanti (2011) yang dilakukan di PT. Aneka Adhilogam


Karya, 98% dari 69 pekerja pernah mengalami kecelakaan kerja, diantaranya terjatuh,
terjepit dan terkena benda tajam. Perilaku manusia menjadi faktor terjadinya
kecelakaan kerja dengan 55,1% berpengetahuan rendah; 46,4% memiliki sikap
negatif; dan 68% memiliki tindakan tidak baik. Perilaku keselamatan dalam bekerja
berhubungan langsung dengan perilaku karyawan demi mencegah terjadinya
kecelakaan kerja

Selain kelalaian saat bekerja faktor manusia yang lain yaitu perilaku
penggunaan Alat Pelindung Diri (APD). Tenaga kerja sebagai sumber daya manusia
mempunyai peran yang penting dalam rangka mengembangkan dan memajukan suatu
industri. Oleh sebab itu pekerja harus diberi perlindungan melalui usaha-usaha
peningkatan dan pencegahan. Sehingga semua perusahaan, baik formal maupun
informal diharapkan dapat menerapkan K3 di lingkungan kerjanya. Berdasarkan hasil
wawancara dengan karyawan di PT. Kereta Api Daerah Operasi VI Yogyakarta DIPO
Kereta Solo Balapan pada bidang pengecekan, perbaikan, pengawas dan manager
DIPO ada pekerja yang tidak menggunakan alat pelindung diri dengan lengkap.
Penggunaan alat pelindung diri ini dimaksudkan untuk melindungi pekerja dari risiko
kecelakaan akibat kerja. Hal ini dapat menyebabkan para pekerja mengalami
gangguan kesehatan, seperti pada saat tidak menggunakan masker pekerja mengalami
batuk dan bersin-bersin.

Adapun risiko kecelakaan kerja yang sering terjadi pada pekerja saat tidak
menggunakan sarung tangan dan alas kaki seperti luka tergores, terjepit pintu
gerbong, terjepit kampas rem, terbentur dan kejatuhan benda seperti besi. Dalam
waktu satu bulan ada 7 orang yang mengalami kecelakaan kerja seperti 2orang
mengalami kecelakaan kerja terjepit pintu, 3 orang terjepit kampas rem dan 2 orang
lagi terbentur besi. Apalagi pada bulan ramadhan dan lebaran risiko kecelakaan kerja
cenderung lebih tinggi terutama pada shift malam karena pencahayaan yang kurang
dan adanya penambahan gerbong kereta api yang harus diperiksa dan diperbaiki
sehingga pekerjaan yang harus dikerjakan karyawan menjadi lebih banyak, dengan
begitu daya konsentrasi karyawan dapat menurun karena lelah dan dapat
menimbulkan kecelakaan kerja.

B. Rumusan Masalah

a. Perilaku apa saja yang digolongkan sebagai perilaku berbahaya dalam


bekerja?

b. Apa saja faktor yang mempengaruhi perilaku berbahaya dalam bekerja?

c. Bagaimanakah cara untuk membudayakan perilaku aman dalam bekerja?

C. Tujuan

1. Mengetahui perilaku berbahaya dalam bekerja

2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku berbahaya

3. Memgetahui cara membudayakan perilaku aman dalam bekerja


BAB II
KAJIAN PUSTAKA

A. Hakikat Perilaku Berbahaya Dalam Bekerja

Perilaku berbahaya menurut Silalahi (1995) identik dengan istilah perbuatan


berbahaya atau unsafe act. Para ahli yang lain menggunakan istilah yang berbeda untuk
konsep ini, tetapi memiliki makna yang sama. Misalnya McCormick (1992) dan Tiffin
(1974) menggunakan istilah unsafe behavior dan accident behavior untuk
menggambarkan perilaku berbahaya dalam bekerja. Anastasi (1979) disamping
menggunakan istilah unsafe behavior ia juga menggunakan istilah hazardous behavior
untuk menggambarkan perilaku berbahya dalam bekerja.Perilaku berbahaya awalnya
dikenalkan oleh Whitlock et al. (Tiffin, 1974) oleh beberapa ahli didefinisikan sebagai
beriku : “behavior which might result in injury to the individual himself or to someone
else; but we will stretch this concept to include possible physical demage in addition to
personal injury” (Tiffin, 1974). “… responsible for most work-related disabling injuries
and deaths.” (Gloss, 1994). “… are those kinds of behavior which lead to an accident or
those failures in performance which result in an accident” (Gilmer, 1978). “unsafe
behaviors do workers behaviors likely to trigger or giving rise to factors for accident or
troubles. Unsafe behaviors include those conducted carelessly and intentionally.”
(JIHSA, 1996)

Menurut Kavianian (1990) perilaku berbahaya adalah kegagalan (huma failure)


dalam mengikuti persyaratan dan prosedur-prosedur kerja yang benar sehingga
menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja. Ramsey seperti dikutip McCormick (1992)
mendefinisikan unsafe behavior sebagai suatu kesalahan dalam tahap-tahap
mempresepsi, mengenali, memutuskan, menghindari, dan kemampuan menghindari
bahaya. Sebagaimana dinyatakan oleh McCormrick (1992) bahwa : “It seems reasonable
to believe that errors in the perception, cognition, and decision stages, or lack of
relevant ability, would contribute to unsafe behavior”. Sejalan dengan hal tersebut,
Lawton (1998) menyatakan bahwa perilaku berbahaya adalah kesalahan-kesalahan
(errors) dan pelanggaran-pelanggaran (violations) dalam bekerja yang dapat
menyebabkan kecelakaan kerja.

Berdasar beberapa definisi diatas maka dapat disimpulkan bahwa perilaku berbahaya
adalah kesalahan-kesalahan dan pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pekerja
baik secara langsung maupun tidak langsung dan dapat mengakibatkan terjadinya
kecelakaan kerja di tempat kerja.

B. Hakikat Perilaku Berdasar Keselamatan


1. Pengertian Perilaku Keselamatan

Menurut Heinrich (1980) perilaku keselamatan atau yang disebutnya perilaku


aman adalah tindakan atau perbuatan dari seseorang atau beberapa orang
karyawan yang memperkecil kemungkinan terjadinya kecelakaan terhadap karyawan.
Sedangkan menurut Bird dan Germain (1990) perilaku aman adalah perilaku yang
tidak dapat menyebabkan terjadinya kecelakaan atau insiden.

Borman dan Motowidlo (1993) Perilaku keselamatan adalah perilaku tugas


dan perilaku konstektual, yaitu pematuhan dan partisipasi individu pada
aktivitas-aktivitas pemeliharaan keselamatan di tempat kerja.

Perilaku Keselamatan (Safety behavior) menurut APA Dictionary of


Psychology (2007) adalah suatu perilaku yang dilakukan dengan ketertarikan
individu dalam usaha untuk memperkecil atau mencegah suatu bencana yang
ditakutkan.Keluaran dari perilaku keselamatan kerja yang negatif disebut sebagai
safety outcomes, berupa cedera atau perilaku ceroboh yang hampir mencederakan diri
sendiri maupun orang lain (Li, dkk, 2013).

Perilaku Keselamatan adalah perilaku kerja yang relevan dengan keselamatan


dapat dikonseptualisasikan dengan cara yang sama dengan perilaku-perilaku
kerja lain yang membentuk perilaku kerja (Wardani, 2013).

Perilaku Keselamatan (Safety Behavior) adalah perilaku pekerja yang ditunjukkan


dengan menaati peraturan yang ada di perusahaan dalam menjalankan pekerjaannya
(Agiviana, 2015).

Perilaku Keselamatan menurut Neal dan Griffin didefinisikan sebagai perilaku


yang berorientasi pada keselamatan yang diterapkan dalam pekerjaan sehari-hari
(Ingtyas & Hadi, 2015).

Sehingga, dapat disimpulkan bahwa perilaku keselamatan atau perilaku aman


(safety behavior) adalah perilaku yang dilakukan seseorang yang mengarah pada
tindakan keselamatan guna mencegah atau memperkecil kemungkinan terjadinya
kecelakaan yang ditarapkan pada kehidupan sehari-hari.

2. Komponen Perilaku Keselamatan

Menurut Bird dan Germain (1990) dalam teori Loss Causation Model
menyebutkan jenis-jenis perilaku aman, meliputi :

a. Melakukan pekerjaan sesuai wewenang yang diberikan

b. Berhasil memberikan peringatan terhadap adanya bahaya


c. Berhasil mengamankan area kerja dan orang-orang di sekitarnya

d. Bekerja sesuai dengan kecepatan yang telah ditentukan

e. Menjaga alat pengaman agar tetap berfungsi

f. Tidak menghilangkan alat pengaman keselamatan

g. Menggunakan peralatan yang seharusnya

h. Menggunakan peralatan yang sesuai

i. Menggunakan APD yang benar

j. Pengisian alat atau mesin yang sesuai dengan aturan yang berlaku.

k. Penempatan material atau alat-alat sesuai dengan tempatnya dan cara


mengangkat yang benar

l. Memperbaiki peralatan dalam kondisi alat yang telah dimatikan

m. Tidak bersenda gurau atau bercanda ketika bekerja.

Menurut Andi et.al (2005) menyatakan bahwa jenis-jenis perilaku aman


yang dilakukan karyawan di sebuah perusahaan, meliputi :

a. Melaporkan setiap kecelakaan yang terjadi

b. Mengingatkan pekerja lain tentang bahaya dalam keselamatan kerja

c. Selalu menggunakan perlengkapan keselamatan kerja (APD)

d. Meletakkan material dan peralatan kerja pada tempatnya

e. Bekerja mengikuti prosedur keselamatan kerja.

f. Mengikuti kerja sesuai dengan perintah atasan

g. Tidak bergurau dengan rekan kerja sewaktu bekerja

h. Tidak pernah melakukan kegiatan berbahaya seperti berlari, melempar


atau melompati.

3. Faktor yang Memengaruhi Perilaku Keselamatan

Menurut Notoatmodjo (2003), pembentukan dan perubahan perilaku manusia


dipengaruhi oleh faktor-faktor, di antaranya faktor internal seperti susunan syaraf
pusat, persepsi, motivasi, proses belajar, dan sebagainya. Serta faktor eksternal
seperti lingkungan fisik/ non fisik, iklim, sosial, dan ekonomi, kebudayaan, dan
sebagainya.

Dalam penelitian Halimah (2010) disebutkan bahwa faktor- faktor yang


mempengaruhi perilaku keselamatan yakni :

a. Pengetahuan

Menurut Adenan (1986) menyatakan bahwa semakin luas pengetahuan


seseorang maka semakin positif perilaku yang dilakukannya.

b. Sikap

Sikap lebih mengacu pada kesiapan dan kesediaan untuk bertindak, dan
bukan pelaksana motif tertentu. Sikap bukan merupakan suatu tindakan,
namun merupakan predisposisi tindakan suatu perilaku.

c. Persepsi

Sialagan (1999) menyatakan bahwa Persepsi merupakan suatu proses


dimana individu-individu mengorganisasikan dan menafsirkan kesan indra
mereka bermakna pada lingkungan mereka, sementara persepsi ini
memberikan dasar pada seseorang untuk bertingkah laku sesuai dengan yang
mereka persepsikan.

d. Motivasi

Motivasi menurut Munandar (2001) diartikan sebagai suatu proses


dimana kebutuhan-kebutuhan mendorong seseorang untuk melakukan
serangkaian kegiatan yang mengarah pada tercapainya tujuan tertentu.

e. Umur

Hurlock (1994) menyatakan bahwa semakin tua usia seseorang akan


mengalami penurunan fungsi fisiologis, batin, dan fisik.

f. Lama Bekerja

Dirgagunarsa (1992) menyebutkan bahwa Semakin lama masa kerja


seseorang maka pengalaman yang diperoleh akan lebih banyak dan
memungkinkan pekerja dapat bekerja lebih aman.

g. Ketersediaan APD

Notoatmodjo (2003) menyebutkan Ketersediaan APD merupakan salah


satu bentuk dari faktor pendukung perilaku, di mana suatu perilaku otomatis
belum terwujud dalam suatu tindakan jika terdapat fasilitas yang mendukung
terbentuknya perilaku tersebut.

h. Peraturan Keselamatan
Sialagan (2008) menjelaskan bahwa Peraturan memiliki peran besar dalam
menentukan perilaku aman yang mana dapat diterima dan tidak dapat
diterima.

i. Safety Promotion atau Promosi Keselamatan Kerja

Menurut George Safety promotions atau K3 adalah suatu bentuk usaha


yang dilakukan untuk mendorong dan menguatkan kesadaran dan perilaku
pekerja tentang K3 sehingga dapat melindungi pekerja, properti, dan
lingkungan.

j. Pelatihan Keselamatan Kerja

Pelatihan diberikan kepada para tenaga kerja untuk dilatih dan


dikembangkan agar memperlihatkan perilaku yang sesuai dengan yang
telah ditetapkan perusahaan.

k. Peran Pengawas

Siagian (1987) menyebutkan Tindakan pengawasan bertujuan untuk


memastikan bahwa kegiatan yang dilakukan berjalan sesuai rencana.

l. Peran Rekan Kerja

Seringkali pekerja berperilaku tidak aman karena rekannya yang lain juga
berperilaku demikian.

Menurut Griffin & Neal (2003) ada dua faktor yang mempengaruhi perilaku
keselamatan (Safety behavior), yaitu :

a. Faktor-faktor yang berasal dari dalam individu, seperti


komitmen, perbedaan individu misalnya ketelitian, kepribadian misalnya
karakter yang dimiliki bersifat permanen atau orang tersebut mempunyai
kecenderungan celaka.

b. Lingkungan kerja, seperti iklim keselamatan dan faktor organisasional


misalnya supervisi dan desain pekerjaan.

C. Hakikat Budaya Keselamatan

Budaya keselamatan adalah bagaimana keselamatan dipahami, dinilai dan


dijadikan prioritas dalam sebuah organisasi. Hal ini merefleksikan komitmen nyata
terhadap keselamatan di semua level organisasi tersebut. Budaya keselamatan juga bisa
didiskripsikan sebagai “bagaimana sebuah organisasi bersikap ketika tidak ada yang
mengawasi”.
Budaya Keselamatan bukan sesuatu yang bisa didapat atau dibeli; namun
merupakan sesuatu yang dicapai sebuah organisasi sebagai hasil gabungan Budaya
Organisasi, Budaya Profesional dan, seringnya, Budaya Nasional. Karenanya, Budaya
Keselamatan, bisa berupa positif, negatif atau netral. Esensinya ada pada apa yang
dipercaya publik tentang arti penting keselamatan, termasuk apa yang dipercaya rekan,
atasan dan pemimpin masyarakat tentang keselamatan sebagai prioritas.

Budaya Keselamatan mempunyai dampak langsung terhadap performa


keselamatan. Jika seorang percaya bahwa keselamatan tidak penting, bahkan sesaat,
maka aktifitas tambal sulam masalah, memotong di tikungan, atau mengambil keputusan
yang tidak aman menjadi hasilnya. Terutama jika dianggap resiko yang dihadapi kecil
dibandingkan bahaya yang sebenarnya mengancam. Berikut adalah respon pertama yang
umum disampaikan ketika bicara tentang Budaya Keselamatan:

"Kami sudah punya SMS, mengapa butuh Budaya Keselamatan juga?"

Safety Management System menunjukkan kompetensi sebuah organisasi di bidang


keselamatan, serta sangat penting untuk mempunyai SMS dan staf kompeten dalam
pelaksanaannya. Namun, aturan dan prosedur semacam itu tidak selalu diikuti, terutama
jika orang-orang dalam organisasi percaya bahwa, misalnya, ‘mempercepat trafik’ adalah
priorotas utama, bahkan jika tindakan-tindakan berisiko musti diambil. Darimana
pemahaman semacam itu datang? Jawabnya terutama dari rekan-rekan sekerjanya,
namun juga bisa dari atasan, termasuk sosok yang ada di puncak organisasi, yaitu CEO.
Untuk memastikan adanya komitmen nyata terhadap keselamatan, pimpinan organisasi
harus menunjukkan bahwa keselamatan adalah prioritas utama mereka.

Jadi, organisasi membutuhkan baik itu SMS dan Budaya Keselamatan yang
sehat guna mencapai performa keselamatan yang layak. Namun dalam kasus
penerbangan, masalahanya adalah dunia penerbangan umumnya sangatlah aman, dimana
kecelakaan serius sangat jarang terjadi. Sehingga, hampir semua organisasi di dalamnya
akan mengasumsikan kalau dirinya sudah aman. Bisa jadi ada beberapa laporan
kecelakaan, namun tingkatnya tidak membahayakan; kasus-kasus keselamatan biasanya
bisa ditangani. Kecelakaan pesawat umumnya disebabkan berbagai faktor yang terlalu
kompleks, sehingga tidak selalu mudah untuk memprediksikannya.

Situasi yang lebih susah diprediksi adalah berbagai situasi yang berkontribusi
yang bisa berdampak pada visi kemajuan organisasi atas keselamatan. Sebagai contoh,
penyembunyian kecelakaan yang harusnya dilaporkan karena takut akan adanya serangan
atau tuntutan hukum; orang-orang mengambil risiko karena percaya bahwa hal itu yang
seharusnya mereka lakukan; berbagai sub-grup dalam organisasi tidak saling berbagi
informasi karena kurangnya saling percaya diantara mereka, dll.

Budaya Keselamatan, seperti budaya pada umumnya, susah dilihat dari dalam.
Layaknya ikan berenang di dalam air—ikan tidak berpikir banyak tentang air.
Karenanya, Budaya Keselamatan, umumnya pada sebagian besar industri merupakan
kombinasi perspektif internal dan eksternal: pandangan ‘pihak luar’ digunakan untuk
membantu pihak internal mempunyai pandangan yang lebih obyektif. Juga penting
kiranya untuk mempunyai seorang ‘juara’ keselamatan di dalam organisasi yang
berperan sebagai penghubung antara hasil survei dengan staff di semua level. Sosok juara
ini bisanya diperankan oleh Direktur Keselamatan atau Manager Keselamatan.

Survei Keselamatan biasanya dijalankan dengan prosedur berikut ini:

Ini adalah proses coba dan uji yang dimulai dengan diskusi ‘prapeluncuran’ guna
menjelaskan proses, menentukan skala pekerjaan dan mengkopi survei. Dan untuk
memastikan ANSP pendekatan ini harus:
a. Anonymous (Anonim)
b. Confidential to the organisation (Rahasia untuk organisasi)
c. Independent - not favouring any particular group (Independen—tidak berpihak
pada kelompok manapun)
Proses survei haruslah mengarah pada tindakan jelas dan menyeluruh yang dibangun
organisasi untuk menentukan dan mengindentifikasikan potensi masalah. Hal ini bisa
terkait dengan kelompok fungsional pegawai atau proses operasional atau bisnis tertentu.
Alur waktu pendekatan ini bisa dilihat dalam gambar berikut:

Budaya Keselamatan biasanya terdiri dari komponen-komponen di bawah ini:


Budaya Keselamatan yang optimal akan menghasilkan sebuah gambaran jelas
dan komprehensif resiko operasional, yang menggabungkan seluruh aspek aktifitas
organisasi. Hal ini dimungkinkan lewat alur informasi yang lebih baik dan menjaga
dialog efektif dalam organisasi mengenai performa keselamatan sebagai prioritas.

Sebagaimana efek ‘makro’ yang sudah dideskripsikan, fokus untuk


mengetahui tingkatan budaya keselamatan dan upaya untuk mencapai tingkatan yang
layak pada pencatatan kecelakaan, analisis, pelatihan staf dan integrasi prioritas
pengelolaan keselamatan dan operasional.

Budaya Keselamatan harus dilihat sebagai target bisnis utama sehingga


mereka yang berada di posisi ‘ujung’ terdorong untuk bertindak berdasarkan kepentingan
keselamatan karena mengetahui bahwa pihak manajemen mendukung mereka.
Peningkatan kesalingpercayaan ini secara otomatis akan diimbangi dampak positif
terhadap produktifitas kerja.

Keragu-raguan akan validitas Survei Budaya Keselamatan sebagai alat ukur


budaya organisasional bisa diatasi jika sumberdaya memadahi dengan cara melakukan
dua survei independen secara pararel, di mana pada kasus-kasus sebelumnya hal tersebut
bisa menghasilkan perbandingan keduanya.

Setiap organisasi berbeda dan masing-masing mempunyai budaya nasional


berbeda sebagai lingkungan bisnisnya berada, sehingga kedua metode di atas dan
kesempatan untuk mencapai budaya keselamatan organisasi lainnya beragam.
Bagaimanapun, insight yang diperoleh lewat pengukuran budaya keselamatan reguler
dan pemanfaatnya hasilnya untuk mengidentifikasikan dimana upaya perbaikanharus
ditargetkan sangatlah esensial.
BAB III
PEMBAHASAN

3.1 Pengertian Unsafe Action / Unsfae Behavior

Tindakan tidak aman adalah suatu tindakan yang tidak memenuhi keselamatan
sehingga berisiko menyebabkan kecelakaan kerja (Ramli, 2010).

Tindakan tidak aman (Unsafe Action) merupakan kegagalan manusia (Human


failure) dalam mengikuti persuaratan dan prosedur-prosedur kerja yang benar sehingga
menyebabkan terjadinya kecelakaan kerja (Winarsunu, 2008)

3.2 Jenis Perilaku Berbahaya

Menurut Pratiwi (2012), mengutip dari H.W Heinrich (1928) menyatakan bahwa
jenis-jenis tindakan tidak aman (unsafe action) adalah sebagai berikut

1. mengoperasikan peralatan dengan kecepatan yang tidak sesuai

2. mengoperasikan perlatan yang bukan haknya

3. menggunakan peralatan yang tidak pantas

4. menggunakan peralatan yang tidak benar

5. membuat peralatan safety tidak berfungsi

6. gagal memperingatkan karyawan lain

7. kegagalan ntuk menggunakan alat pelindung diri (APD)

8. beban, tempat, dan materi yang tidak layak dalam pengangkatan

9. mengambil posisi yang salah

10. mengangkat yang salah

11. tidak disiplin dalam pekerjaan

12. menservice peralatan yang sedang bergerak


13. meminum minuman beralkohol

14. sedang dalam pengaruh obat-obatan

Sedangkan menurut Bird and Germain (1990) jenis-jenis tindakan tidak aman adalah
sebagai berikut

1. menggunakan peralatan tanpa otoritas

2. gagal untuk mengingatkan

3. gagal untuk mengamankan

4. mengoperasikan peralatan dengan kecepatan yang tidak sesuai

5. membuat peralatan safety tidak berfungsi

6. memindahkan peralatan safety

7. menggunakan peralatan yang rusak

8. menggunakan peralatan secara tidak benar

9. Tidak menggunakan Alat pelindung diri (APD)

10. loading barang yang salah

11. pengangkatan barang yang salah

12. memperbaiki peralatan saat sedang beroperasi

13. Posisi salah dalam bekerja

14. bercanda

15. berada dibawah pengaruh alkohol.

3.3 Faktor-faktor yang menyebabkan perilaku tidak aman

Tindakan tidak aman (Unsafe action) adalah tindakan yang dapat membahayakan
pekerja dan orang yang berada di lingkungan kerja yang dapat menyebabkan terjadinya
kecelakaan kerja. Berikut adalah beberapa hal yang menyebabkan tindakan tidak aman
(unsafe action)

1. Posisi dan kondisi tubuh


Cacat fisik

Cacat sementara

Kepekaan panca indera terhadap sesuatu

Posisi tubuh yang salah dan menyebabkan mudah lelah

2. Pendidikan

Tingkat pendidikan yang ditempuh rendah

Kurang pengalaman kerja

Salah pengertian dalam suatu perintah yang diberikan

Kurang terampil

Salah dalam memahami dan mengartikan SOP (standart operational


procedure)

3. Menjalankan suatu pekerjaan tanpa adanya wewenang

4. Menjalankan suatu pekerjaan yang bukan atau tidak sesuai dengan


keahliannya

5. Penggunaan alat pelindung diri (APD) yang tidak benar

6. Mengangkut beban yang berlebihan

7. Bekerja melebihi jam kerja

Tindakan tidak aman disebabkan oleh banyak faktor yang termasuk dalam multiple
cause theory , beberapa faktor tersebut adalan sebagai berikut.

a. Man (Mansusia)

Manusia merupakan faktor yang paling besar berpengaruh terhadap


tindakan tidak aman. Faktor yang mempengaruhi dapat berupa pendidikan,
masa kerja, keterampilan, pelatihan yang pernah diikuti, dan umur.
b. Mesin (Machine)

Faktor mesin meliputi ukuran, bobot, bentuk, sumber energy, cara kerja,
tipe gerakan, dan bahan mesin itu sendiri.

c. Media

Faktor media meliputi lingkungan kerja misalnya suhu, kebisingan,


getaran, gedung, jalan, ruang kerja, dan sebagainya.

d. Managemen

Faktor managemen adalah konteks dimana ketiga faktor berada dan di


jalankan, meliputi kebijakan (Pemakaian APD), gaya managemen, struktur
organisasi, komunikasi dan prosedur-prosedur lain yang dijalankan di
organisasi (Gros dalam Notoadmodjo, 2013).

Menurut Syamtinningrum (2017) yang mengutip dari Sander (1993) faktor-faktor


yang mempengaruhi munculnya perilaku berbahaya (unsafe actI) terbagi menjadi 3 fase yang
bertahap dan saling mempengaruhi.

1. Faktor manajemen

Manajemen yang tidak tepat sangat mempengaruhi terjadinya tindakan tidak


aman, salah satu contoh manajemen yang tidak baik adalah tidak tegasnya
penerapan K3, perawatan mesin yang tidak baik, dan penggunaan APD yang tidak
benar.

2. Aspek-aspek lingkungan fisik, psikologis, dan fisiologis dari pekerjaan

Lingkungan fisik ditempat kerja dapat meliputi suhu, tingkat kebisingan,


tingkat pencahayaan, kelembaban, tata letak ruang, dan aliran listrik. Sedangkan
faktor psikologis dan sosiologis berupa norma kelompok, semangat kerja, dan
komunikasi antar kelompok. Aspek-aspek inilah yang mempengaruhi tingkat
kelelahan, produktivitas, dan konsentrasi pekerja.

3. Individu

Karakteristik individu yang dimaksud adalah riwayat pendidikan, pelatihan


yang telah diikuti, pengalaman, keterampilan, kecerdasan, dan kepuasan kerja.
3.4 Cara membudayakan perilaku aman

Budaya Keselamatan adalah sekumpulan norma atau sikap, peran-peran dan


sosial serta praktek-praktek teknologi yang memperhatikan bagaimana meminimalka
paparan bahaya/kecelakaan terhadap kondisi pekerja, manajemen,konsumen, dan
masyarakat

Dikutip dari Yusri (2011) Budaya keselamatan adalah sikap dalam suatu
organisasi dan individu yang menekankan pentingnya keselamatan. Budaya
keselamatan mempersyaratkan agar semua kewajiban yang berkaitan dengan
keselamatan harus dilaksanakan secara benar, seksama, dan penuh rasa tanggung
jawab

Sistem manajemen kesehatan dan keselamatan kerja (SMK3) dapat digunakan


sebagai cara pencegahan terjadinya kecelakaan kerja yang disebabkan oleh perilaku
pekerja melalui adanya budaya keselamatan (safety behavior) yang dilaksanakan oleh
seluruh pihak yang terkait. Menurut ACSNI (Advisory Committee on the Safety of
Nuclear Installations) budaya keselamatan adalah bagian dari sikap (attitude),
keyakinan (belief), dan tata nilai (norm) organisasi pada K3.

Cooper (2001) menyatakan bahwa, budaya keselamatan merupakan hubungan


dari tiga elemen yang saling berkaitan, yaitu organisasi, pekerja, dan pekerjaan. Hal
ini menunjukkan bahwa budaya keselamatan harus dilaksanakan oleh seluruh sumber
daya yang ada, pada seluruh tingkatan dan tidak hanya berlaku untuk pekerja saja.
Indikator pelaksanaan budaya keselamatan tergantung dari visi dan misi organisasi.
Indikator tersebut tidak dapat ditetapkan dengan paten karena budaya merupakan
suatu hal yang abstrak, di mana di setiap organisasi memiliki budaya yang berbeda.
Budaya keselamatan dibentuk oleh komitmen manajemen, peraturan dan prosedur,
komunikasi, keterlibatan pekerja, kompetensi, dan lingkungan sosial pekerja yang
dapat dilihat dari persepsi pekerja (Cooper dalam Andi dkk., 2005). Reason (1997)
mengungkapkan bahwa budaya keselamatan kerja yang baik dapat membentuk
perilaku pekerja terhadap keselamatan kerja yang diwujudkan

Sifat universal budaya keselamatan untuk semua jenis kegiatan, baik untuk
organisasi maupun untuk individu pada semua tingkatan, mencakup berbagai unsur,
seperti yang tercantum dalam Safety Report 75-INSAG-4 (IAEA, 1991), yaitu:
1. Kepedulian individu terhadap pentingnya keselamatan.

2. Pengetahuan dan kompetensi, yang diperoleh melalui pelatihan dan


instruksi personil maupun belajar sendiri.

3. Komitmen, yang menuntut teladan pada tingkat manajemen senior


dalam memprioritaskan keselamatan, dan adopsi oleh individu tentang
tujuan keselamatan umum.

4. Motivasi, melalui kepemimpinan, penetapan tujuan dan sistem


penghargaan dan sangsi, dan melalui sikap individu yang timbul
dengan sendirinya.

5. Supervisi, termasuk kegiatan audit dan peninjauan ulang, dengan


kesiapan untuk merespon sikap mempertanyakan individu.

6. Tanggung jawab, melalui penugasan formal dan uraian tugas dan


pemahamannya oleh individu
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dalam menghadapi tantangan pasar bebas, Indonesia dituntut untuk mampu
memutakhirkan teknologi dalam melakukan proses produksi guna mendapatkan kualitas dan
kuantitas produk terbaik. Penggunaan teknologi dalam proses industri dapat memberian
dampak positif dan negatif.

Pemanfaatan teknologi mutakhir pada alat-alat industri dapat meningkatan


produktifitas, meningkatkan kualitas hidup pekerja, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Namun, dampak negatif yang terasa akibat mutakhirnya alat-alat kerja di industri ialah
semakin kompleksnya struktur pekerjaan hingga dapat menimbulkan stres dan penyakit
akibat kerja. Tidak jarang kecelakaan yang terjadi di tempat kerja bersumber dari
perilaku berbahaya seperti mengoperasikan peralatan dengan kecepatan yang tidak sesuai,
mengoperasikan perlatan yang bukan haknya, menggunakan peralatan yang tidak pantas,
menggunakan peralatan yang tidak benar, serta membuat peralatan safety tidak berfungsi.

Perilaku berbahaya dapat terjadi dikarenakan oleh beberapa faktor seperti rendahnya
kompetensi dalam bekerja, tingkat pendidikan yang rendah, bekerja tidak sesuai dengan
standar operasional, penggunaan APD yang kurang benar, dan kelelahan akibat waktu kerja
berlebih.

Pentingnya kesadaran setiap pekerja akan keselamatan dan kesehatan dalam


melakukan pekerjaan harus dipupuk sejak dini hingga terciptanya budaya keselamatan yang
akan menekan angka keccelakaan dan penyakit akibat kerja. Beberapa hal yang yang harus
diperhatikan agar terciptanya budaya keselamatan yaitu adanya kesadaran setiap individu
akan keselamatannya, peningkatan kompetensi dan pengetahuan melalui pelatihan-pelatihan,
adanya komitmen dari semua pihak yang terlibat, adanya motivasi dan supervisi, serta
kejelasan tanggung jawab yang harus ditanggung oleh setiap individu.

B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat diajukan beberapa saran sebagai berikut:
Upaya pencegahan kecelakaan dan penyakit di area kerja harus didukung oleh semua
kalangan baik dari pemerintah, pengusaha, masyarakat, dan pekerja untuk bersama-sama
bersinergi berkontribusi dalam pembuatan regulasi yang nantinya akan diimplementasikan
ditempat kerja agar idak terciptanya ketimpangan dan kesalahapahaman saat dilapangan.
DAFTAR PUSTKA
Pratama, Aditya Kurnia. 2015. Hubungan karakteristik pekerja dengan unsafe action
pada tenaga kerja bongkar muat di PT. Terminal Petikemas Surabaya. The
Indonesian Journal of Occupational Safety and Health 4.1 (2015): 64-73.

Pratiwi, Ayu Diah. 2012. Analisis Faktor–Faktor yang Mempengaruhi Tindakan


Tidak Aman (Unsafe Act) pada Pekerja di PT. X Tahun 2011. [Skripsi].
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Depok

Syamtinningrum, Maeka Dita Puspa. 2017. Pengembangan Model Hubungan Faktor


Personal Dan Manajemen K3 Terhadap Tindakan Tidak Aman (Unsafe
Action) Pada Pekerja PT. Yogya Indo Global. [PhD Thesis]. Institut
Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya

Suyono, K. Z., & Nawawinetu, E. D. 2013. Hubungan antara faktor pembentuk


budaya keselamatan kerja dengan safety behavior di PT DOK dan Perkapalan
Surabaya unit hull construction. The Indonesian Journal of Occupational
Safety and Health, 2(1), 67-74.

Winarsunu,Tulus. 2008. Psikologi Keselamatan Kerja. Malang : UMM Press

Kania, Dinar Dewi, Eko Probo, and Hanifah Hanifah. 2016 "Analisis Faktor Budaya
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Pada Penanganan Kargo Di Bandara
Soekarno Hatta International Airport." Jurnal Manajemen Transportasi &
Logistik 3(1): 77-88.

Khoiri, Muhammad. 2010."Upaya peningkatan budaya keselamatan pekerja radiasi


rumah sakit di Indonesia." Seminar Nasional VI SDM Teknologi Nuklir.

http://ssp.hubud.dephub.go.id/id/news/budaya-keselamatan
diakses pada tangal

10 Maret 2019

Anda mungkin juga menyukai