Anda di halaman 1dari 10

BAB II

TEORI

1. DEFENISI
Definisi ARDS (Adult Respiratory Distress Syndrome) awal kali dikemukakan oleh Asbaugh
dkk( 1967) sebagai hipoksemia berat yang onsetnya akut, infiltrat bilateral yang difus pada
gambar toraks serta penurunan compliance ataupun energi regang paru( Fenelli, 2013).Acute
Lung Injury( ALI) dan ARDS didiagnosis ketika bermanifestasi sebagai kegagalan pernafasan
berupa hipoksemi akut, bukan sebab kenaikan tekanan kapiler paru. Bentuk yang lebih ringan
dari ARDS disebut ALI karena ALI ialah prekursor ARDS.
Adult Respiratory Distress Syndrome (ARDS) merupakan keadaan gagal napas yang mendadak
timbulpada klien dewasa tanpa kelainan mengalami kelainan paru yang mendasari sebelumnya.
Sindrom gawat napas akut juga dikenal dengan edema paru nonkardiogenik. Sindrom ini
merupakan sindrom klinis yang ditandai dengan penurunan progresif kandunganoksigen diarteri
yang terjadi setelah penyakit atau cedera serius. Biasanya ARDS inimembutuhkan ventilasi
mekanik yang leih tinggi dari tekanan jalan napas normal.

2. ETIOLOGI
Pemicu khusus ARDS masih belum pasti, banyak aspek pemicu yang bisa berperan pada
gangguan ini menyebabkan ARDS tidak disebut sebagai penyakit namun bagaikan sindrom.
Sepsis merupakan faktor resiko yang sangat tinggi, mikroorganisme dan produknya( terutama
endotoksin) bersifat sangat toksik terhadap parenkim paru serta merupakan aspek resiko
terbanyak peristiwa ARDS, insiden sepsis menimbulkan ARDS berkisar antara 30- 50%.

Aspirasi cairan lambung menduduki tempat kedua sebagai aspek resiko ARDS( 30%). Aspirasi
cairan lambung dengan pH<2, 5 akan menyebabkan penderita mengalami chemical burn pada
parenkim paru serta memunculkan kehancuran berat pada epitel alveolar.

Faktor-faktor etiologi yang berhubungan dengan ARDS

Mekanisme Etiologi
Kerusakan paru akibat inhalasi Kelainan paru akibat kebakaran ,inhalasi gas
(mekanisme tidak lansung) oksigen,aspirasi asam
lambung,tenggelam,sepsis,syok,koagulasi
intravascular tersebar ( disseminated
intravascularcoagulation) dan pankreatitis
idiopatik
Obat-obatan Heroin dan salisilat
Infeksi Virus ,bakteri ,jamur dan tb paru
Sebab lain Emboli lemak,emboli cairan amnion,emboli
paru thrombosis,rudapaksa (trauma) paru ,
radiasi,keracunan oksigen,tranfusimasif,kelainan
metabolic (uremia),bedah mayor.

Faktor risiko penyebab ARDS :

3. Manifestasi klinis

Onset akut biasanya berlangsung 3- 5 hari sejak diagnosis kondisi yang menjadi aspek resiko
ARDS. Tandanya ialah takipnea, retraksi intercostal, terdapatnya ronkhi kasar yang jelas dan
terdapatnya gambaran hipoksia atau sianosis yang tidak respons dengan pemberian oksigen.
Dapat juga ditemukan hipotensi dan febris. Sebagian besar permasalahan disertai dengan mutiple
organ dysfunction syndrome( MODS) yang biasanya melibatkan ginjal, hati, otak, sistem
kardiovaskuler dan saluran cerna seperti perdarahan saluran cerna. Tanda utama distress
pernapasan dan hipoksemia berat berubah pada tingkat kesadaran ,takikardi, dan takipnea.
Frekuensi pernapasan sering kali meningkat secara bermakna dengan ventilasi menjadi tinggi.
Dipnea dengan sesak napas dan berhubungan dengan retrasi intercostal adalah umum dan
mungkin ditemukan sianosis. Hal ini harus diingat ,karena sianosis merupakan tanda awal dan
nyata hipoksemia.

4. Patofisiologi

Epitelium alveolar dan endotelium mikrovaskular mengalami kerusakan pada ARDS.


Kerusakan ini menyebabkan peningkatan permeabilitas barier alveolar dan kapiler sehingga
cairan masuk ke dalam ruang alveolar. Derajat kerusakan epithelium alveolar ini
menentukan prognosis.
Epitelium alveolar normal terdiri dari 2 tipe sel, yaitu sel pneumosit tipe I dan sel pneumosit
tipe II. Permukaan alveolar 90% terdiri dari sel pneumosit tipe I berupa sel pipih yang
mudah mengalami kerusakan. Fungsi utama sel pneumosit tipe I adalah pertukaran gas yang
berlangsung secara difusi pasif. Sel pneumosit tipe II meliputi 10% permukaan alveolar
terdiri atas sel kuboid yang mempunyai aktivitas metabolik intraselular, transport ion,
memproduksi surfaktan dan lebih resisten terhadap kerusakan.
Gambar 2. Keadaan alveoli normal dan alveoli yang mengalami kerusakan saat fase akut
pada ALI dan ARDS
Kerusakan epitelium alveolar yang berat menyebabkan kesulitan dalam mekanisme
perbaikan paru dan menyebabkan fibrosis. Kerusakan pada fase aku terjadi
pengelupasan sel epitel bronkial dan alveolar, diikuti dengan pembentukan membran
hialin yang kaya protein pada membran basal epitel yang gundul (dapat dilihat pada
gambar 1). Neutrofil memasuki endotel kapiler yang rusak dan jaringan interstitial
dipenuhi cairan yang kaya akan protein.

Keberadaan mediator anti inflamasi, interleukin-1-receptor antagonists,


soluble tumor necrosis factor receptor, auto antibodi yang melawan Interleukin/IL-8
dan IL-10 menjaga keseimbangan alveolar. Perubahan patofisiologi yang terjadi
pada ARDS adalah edema paru interstistial dan penurunan kapasitas residu
fungsional (KRF) karena atelektasis kongestif difus.

Kerusakan endotel kapiler atau epitel alveoli atau keduanya pada ARDS
menyebabkan peningkatan permeabilitas membran alveoli-kapiler (terutama sel
pneumosit tipe I) sehingga cairan kapiler merembes dan berkumpul didalam jaringan
interstitial, jika telah melebihi kapasitasnya akan masuk ke dalam rongga alveoli
(alveolar flooding) sehingga alveoli menjadi kolaps (mikroatelektasis) dan
compliance paru akan lebih menurun. Merembesnya cairan yang banyak
mengandung protein dan sel darah merah akan mengakibatkan perubahan tekanan
osmotik.
Cairan bercampur dengan cairan alveoli dan merusak surfaktan sehingga paru
menjadi kaku, keadaan ini akan memperberat atelektasis yang telah terjadi.
Mikroatelektasis akan menyebabkan shunting intrapulmoner, ketidakseimbangan
(mismatch) ventilasi-perfusi (VA/Q) dan menurunnya KRF, semua ini akan
menyebabkan terjadinya hipoksemia berat dan progresivitas yang ditandai dengan
pernapasan cepat dan dalam. Shunting intrapulmoner menyebabkan curah jantung
akan menurun 40%.
Hipoksemia diikuti asidemia, mulanya karena pengumpulan asam laktat selanjutnya
merupakan pencerminan gabungan dari unsur metabolik maupun respiratorik akibat
gangguan pertukaran gas. Penderita yang sembuh dapat menunjukan kelainan faal
paru berupa penurunan volume paru, kecepatan aliran udara dan khususnya
menurunkan kapasitas difusi.
Secara ringkas, terdapat 3 fase kerusakan alveolus pada ARDS yaitu:

1. Fase eksudatif : fase permulaan, dengan cedera pada endothelium dan epitelium,
inflamasi, dan eksudasi cairan. Terjadi 2-4 hari sejak serangan akut.
2. Fase proliferatif : terjadi setelah fase eksudatif, ditandai dengan influks dan
proliferasi fibroblast, sel tipe II, dan miofibroblast, menyebabkan penebalan dinding
alveolus dan perubahan eksudat perdarahan menjadi jaringan granulasi seluler/
membran hialin. Merupakan fase menentukan : cedera bisa mulai sembuh atau
menjadi menetap, ada resiko terjadi lung rupture (pneumothorax).
3. Fase fibrotik/recovery : Jika pasien bertahan sampai 3 minggu, paru akan
mengalami remodeling dan fibrosis. Fungsi paru berangsur- angsur membaik
dalam waktu 6 – 12 bulan, dan sangat bervariasi antar individu, tergantung
keparahan cederanya
5. Pemeriksaan penunjang

Laboratorium:

 AGDA: hipoksemia, hipokapnia (sekunder karena hiperventilasi), hiperkapnia


(pada emfisema atau keadaan lanjut), bisa terjadi alkalosis respiratorik pada
proses awal dan kemudian berkembang menjadi asidosis respiratorik.
 Pada darah perifer bisa dijumpai gambaran leukositosis (pada sepsis), anemia,
trombositopenia (refleksi inflamasi sistemik dan kerusakan endotel,
peningkatan kadar amylase (pada kasus pancreatitis sebagai penyebab
ARDSnya)
 Gangguan fungsi ginjal dan hati, gambaran koagulasi intravascular
disseminata yang merupakan bagian dari MODS.
Radiologi: Pada awal proses, dari foto thoraks bisa ditemukan lapangan paru yang
relatif jernih, namun pada foto serial berikutnya tampak bayangan radio-opak yang
difus atau patchy bilateral dan diikuti pada foto serial berikutnya tampak gambaran
confluent tanpa gambaran kongesti atau pembesaran jantung. Dari CT scan tampak
pola heterogen, predominan limfosit pada area dorsal paru (foto supine
6. Pathaway ARDS

Timbul Serangan

hipoventilasi
Trauma paru paru Cidera parenkim paru barotrauma

Eliminasi
Edema alveolas Infeksi
Ketidaksesuaian CO2
introgenik
ventilasi perfusi
Kebocoran kapiler
kematian

Perubahan permeabilitas Edema paru


ansietas

Ggn Curah jantung Resiko tinggi defisit


Cairan interstitial
volume
hipoksemia
Cairan alveolus

Dyspnea/takipnea
atelektasis
Kegagalan transport O2

Retraksi dada,keb
Hipoventilasi, G O2,pel nasal
difusi O2 alveolar

Saturasi O2
Kerusakan
pertukaran gas hipoperfusi

Ketidakefektifsn jln
napas
7. Penatalaksanaan Medis
Mortalitas pada ARDS mencapai 60% dan tidak bergantung pada pengobatan.
Oleh karena itu, perawat perlu mengetahuu tindakan pencegahan terhadap kemunculan
ARDS. Hal hal penting yang perlu diketahui dan dipahami dengan baik adalah faktor
faktor predisposisi seperti sepsis, pneumonia, aspirasi dan deteksi dini ARDS.
Pengobatan dalam masa laten lebih besar kemungkinannya untuk berhasil daripada jika
dilakukan ketika sudah timbul gejala ARDS.
Tujuan pengobatan adalah sama walaupun etiologinya berbeda, yaitu mengembangkan
alveoli secara optimal untuk mempertahankan gas darah arteri dan oksigenasi jaringan
yang adekuat keseimbangan asama-basa, dan sirkukasi dalam tingkat yang dapat
ditoleransi sampai membran alveol kapiler utuh kembali.
Pemberian cairan harus dilakukan secara seksama, terutama jika ARDS disertai
kelainan fungsi ginjal dan sirkulasi, sebab dengan adanya kenaikan permeabilitas
kapiler paru, cairan dari sirkulasi merembes ke jaringan intertisial dan memperberat
edema paru. Cairan yang diberikan harus cukup untuk mempertahankan sirkulasi yang
adekuat (denyut jantung yang tidak cepat, ektremitas hangat, dan diuresis yang baik)
tanpa menimbulkan edema atau memperberat edema paru.

- Tujuan terapi

1. Tidak ada terapi yang dapat menyembuhkan, umumnya bersifat suportif

2. Terapi berfokus untuk memelihara oksigenasi dan perfusi jaringan yang adekuat.

3. Mencegah infeksi nasokomial (kaitannya dengan infeksi)

- Farmakologi

1. Inhalasi NO2 dan vasodilator lain

2. Kortikosteroid (masih kontroversial : no benefit, kecuali bagi yang inflamasi eosinifilik

3. Ketoconazole : inhibitor poten untuk sintesis tromboksan dan menghambaf biosintesis

Leukotrienes : mungkin bisa digunakan untuk mencegah ARDS


- Non farmakologi

1. Ventilasi mekanis : dengan berbagai teknik pemberian, menggunakan ventilator,


PEEP (positive-end expiratory pressure)

2. Pembatasan cairan

3. Pemberian surfaktan : tidak dianjurkan secara rutin

SUMBER:

Amin Z, Purwoto J. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS). In: Sudoyo AW,
Setiyohadi B, Alwi I. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Balai Penerbit FK UI;
2009. Hal: 4072-4079.
Muttaqin, Arif . Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan gangguan Sistem Pernapasan.
Jakarta :Salemba Medika 2008. Hal 221- 224

Bernard GR, Artigas A, Brigham KL, et al. The American-European Consensus


Conference on ARDS. Definitions, mechanisms, relevant outcomes, and clinical
trial coordination. Am J Respir Crit Care Med. 1994;149(3 pt 1):818-824.
Fanelli V, Vlachou A, Simonetti U, Slutsky AS, Zhang H. Acute respiratory distress
syndrome: new definition, current and Fanelli V, future therapeutic options.
Journal of Thoracic Disease. 2013, 5(3): 326-334.
Gattinoni L, Caironi P, Carlesso E. How to ventilate patients with acute lung injury and
acute respiratory distress syndrome. Current Opinion in Critical Care 2005; 11: 69-
76.
Girard TD, Bernard GR. Mechanical ventilation in ARDS: A state-of-the-art review.
Chest 2007;131:921-9.
Haro C, Martin-Loeches I, Torrents E& Artigas A. Acute respiratory distress syndrome:
prevention and early recognition. Annals of Intensive Care 2013, :11
Rubenfeld GD, Caldwell E, Peabody E, et al. Incidence and outcomes of acute lung
injury. N Engl J Med. 2005;353(16):1685-1693.
Ware LB, Matthay MA. The acute respiratory distress syndrome. N Engl J Med.
2000;342(18):1334-1349.

Anda mungkin juga menyukai