Anda di halaman 1dari 3

Dari Indonesia Merdeka sampai Santoso di

Poso

 

 

 

 

Shares

Antara/Fiqman SunandarPolisi
berjaga di depan Ruangan Instalasi Forensik Rumah Sakit Bhayangkara, Palu,
Sulawesi Tengah, Selasa (19/7).

Teror yang berarti mencapai tujuan politik atau kekuasaan dengan menggunakan
kekerasan sebagai alat utama menyertai perjalanan Republik Indonesia sejak
kemerdekaan.
Pada fase awal kemerdekaan RI, dikenal masa Bersiap (Belanda: Wees Paarat)
sejak Agustus hingga Desember 1945, teror menimpa orang Belanda, Indo-Eropa,
dan kebangsaan Eropa lainnya yang berada di kamp tawanan Jepang.
Penulis Wenri Wanhar menggambarkan periode teror dan pembunuhan tersebut
dalam buku Gedoran Depok yang menceritakan kekerasan terhadap orang-orang
"Belanda Depok" yang dituduh menjadi kaki tangan Belanda.
Sebaliknya, pihak Belanda pun melakukan kekerasan balasan dengan aksi teror,
seperti dilakukan serdadu KNIL di Batavia semasa Perang Kemerdekaan RI 1945-
1949.
Mereka meneror kampung-kampung di seputar Jakarta yang masih mereka sebut
Batavia. Para pejuang RI juga membalas di wilayah pendudukan, seperti di
Karawang, dengan melakukan kekerasan berupa pembunuhan dan penyiksaan
terhadap mereka yang diduga menjadi mata-mata atau kaki tangan Belanda.
Sejarawan Australia, Robert Cribb, menjelaskan dengan detail saling teror dua pihak
tersebut dalam buku Gangster and Revolutionaries and Indonesia's Revolution.
Sejarawan Bonnie Triyana menuturkan, teror lanjutan yang terkenal dilakukan pihak
Belanda adalah aksi Kapten Raymond "Turk" Westerling bersama pasukan khusus
dari Depot Speciale Troepen di Sulawesi Selatan 1946-1947 dan juga pembantai
APRA (Angkatan Perang Ratu Adil) di Bandung, Jawa Barat, Januari 1950.

Pemahaman keliru

Dia mengingatkan, konteks teror pada 1950-an berbeda dengan terorisme saat ini
yang lebih banyak bicara pada pemahaman keliru dalam keagamaan dan sektarian.
"Kelompok komunis dan kiri melakukan teror kekerasan pada Peristiwa Tiga Daerah
di Jawa Tengah, Revolusi Sosial Banten, dan Revolusi Sosial di Sumatera Timur.
Kelompok kanan atau golongan agama juga melakukan kekerasan, seperti Darul
Islam-Tentara Islam Indonesia (DI-TII) yang meneror penduduk di Priangan Selatan
(Jawa Barat) dan Banten. Kelompok-kelompok militer pun waktu itu terlibat dalam
afiliasi politik kiri dan kanan. Ditambah lagi kemampuan aparatur negara masih
lemah," ujar Bonnie.
Teror juga dilakukan kelompok kiri dalam Revolusi Madiun 1948. Pihak lawan politik
juga melakukan kontra teror sebagai pembalasan.
Bonnie menambahkan, Revolusi Sosial merupakan akumulasi kemarahan rakyat
kecil terhadap kaum elite dan juga jaringan bisnis Tionghoa yang dianggap
merupakan bagian dari rezim Hindia-Belanda dan semasa Jepang juga dinilai
berkolaborasi dengan kekuasaan bersenjata.
Pada periode sama juga muncul rangkaian teror dan kekerasan dari kelompok
kanan DI-TII. Masyarakat Sunda di Jawa Barat selama belasan tahun hidup dalam
tekanan dan ketakutan akibat intimidasi dan pembunuhan.
Kekerasan pada awal kemerdekaan itu berakhir tahun 1962 dengan penangkapan
dan eksekusi mati pemimpin DI-TII, SM Kartosuwirjo.
Gerakan serupa muncul di Kalimantan Selatan dipimpin Ibnu Hajar tahun 1950 yang
akhirnya tertangkap dan dihukum mati tahun 1959.
Adapun di Aceh, Teungku Daud Beureueh menyatakan bergabung dengan DI-TII
tahun 1953 dan diakhiri dengan Musyawarah Damai tahun 1962.
Salah satu pelaku Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta, Kahar Muzakkar,
yang tidak puas kepada pemerintah pusat, juga menyatakan bergabung dengan DI-
TII tahun 1953 dan akhirnya tertangkap dan ditembak mati tahun 1965.
Kekerasan dan teror pun bisa diwariskan secara ideologis. Bonnie Triyana
mengatakan, anggota kelompok teror dalam upaya pembunuhan Presiden Soekarno
di Cikini, Jakarta, tahun 1957, merupakan kakek salah satu pelaku teror
pengeboman di Bali pada dekade 2000-an.

Pertarungan ideologi

Titik balik terjadi pada peristiwa teror G30-S PKI 1965 dan kekerasan sesudahnya
hingga 1970. Sesudah itu, kelompok kiri dan kanan relatif redup seiring lahirnya
rezim Orde Baru yang represif.
Mantan Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Kementerian Pertahanan Mayor
Jenderal (Purn) Sudrajat, yang lama bertugas di Badan Intelijen Strategis (Bais),
mengatakan, rangkaian teror dan terorisme modern di Indonesia merupakan
dampak tidak selesainya pertarungan ideologi kiri dan kanan.
Yang paling mutakhir, tewasnya Santoso, pemimpin kelompok radikal Mujahidin
Indonesia Timur (MIT), dalam Operasi Tinombala Polri dan TNI di Poso, Sulawesi
Tengah, diharapkan bisa mengakhiri radikalisme secara bertahap.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komisaris Jenderal Suhardi
Alius, yang dihubungi, menegaskan, terorisme harus ditangani bersama dan tidak
bisa berbentuk proyek keamanan. Pendekatan dialogis juga dikedepankan.
"Jangan ada dikotomi TNI dan Polri dalam penanganan teroris. Semua instansi,
tokoh lintas agama, para pemangku kepentingan, dan terutama masyarakat, terlibat.
Ini persoalan bangsa Indonesia. Bukan satu atau dua lembaga," kata Suhardi. (Iwan
Santosa)

Anda mungkin juga menyukai