Anda di halaman 1dari 24

PORTOFOLIO

TETANUS

Oleh: Jessy Teressa Yang, dr.

Pembimbing Kasus:
Rudy C, dr., Sp. B

Pendamping:
Adi Winarno, dr.
Rien Rahmi Riandini, dr.

INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


RS GATOEL MOJOKERTO
PERIODE 2020
LEMBAR PENGESAHAN

Portofolio dengan judul Tetanus yang disusun oleh Jessy Teressa Yang, dr. telah
dipresentasikan pada tanggal 6 Maret 2020 di hadapan dokter pembimbing kasus dan dokter
pendamping internsip.

Mojokerto, 6 Maret 2020

Pembimbing Kasus

Rudy, dr., Sp. B

Pendamping I

Adi Winarno, dr.

Pendamping II

Rien Rahmi Riandini, dr.

No. ID dan Nama Peserta : Jessy Teressa Yang, dr.


No. ID dan Nama Wahana : RS Gatoel Mojokerto

1
Topik : Tetanus
Tanggal (kasus): 16 Januari 2020
Nama Pasien: Tn.S No RM: 250XXX
Tanggal Presentasi: 6 Maret 2020 Pendamping: Adi Winarno, dr.
Obyektif Presentasi:
Keilmuan Keterampilan Penyegaran Tinjauan Pustaka
Diagnostik Manajemen Masalah Istimewa
Neonatus Bayi Anak Remaja Dewasa Lansia Bumil
Deskripsi:

Pasien datang ke IGD RSG dengan keluhan nyeri punggung dan paha serta terasa kaku tidak
bisa ditekuk. Pasien juga mengeluhkan nafas berat seperti ditindih. Mulut pasien sulit dibuka
sejak 1 hari terakhir, bila dipaksakan membuka akan terasa nyeri pada daerah rahang kanan
dan kiri, pasien mengatakan sakit menelan dan terasa sedikit nyeri. Sebelumnya pasien
memiliki riwayat mencabut gigi geraham atas nya sendiri menggunakan tangan, 2 hari yll
pasien juga mencabut gigi geraham bawahnya sendiri menggunakan benang dan tangan.

Tujuan: Untuk mempelajari diagnosis, patofisiologi, dan tatalaksana

Bahan bahasan Tinjauan Riset Kasus Audit

Pustaka
Cara membahas Diskusi Presentasi dan diskusi E-mail Pos

Data pasien Tn. S/ Laki-Laki / 55 tahun No RM: 250XXX


RS Gatoel Mojokerto Terdaftar sejak
Portofolio Kasus

2
Data utama untuk bahan diskusi
1. Anamnesis
Keluhan Utama: Badan kejang dan kaku
Pasien datang ke IGD RSG dengan keluhan nyeri punggung dan paha serta terasa
kaku tidak bisa ditekuk. Pasien juga mengeluhkan nafas berat seperti ditindih.
Mulut pasien sulit dibuka sejak 1 hari terakhir, bila dipaksakan membuka akan
terasa nyeri pada daerah rahang kanan dan kiri, pasien mengatakan sakit menelan
dan terasa sdikit nyeri. Sebelumnya pasien memiliki riwayat mencabut gigi
geraham atas nya sendiri menggunakan tangan, 2 hari yll pasien juga mencabut
gigi geraham bawahnya sendiri menggunakan benang dan tangan.

Riwayat Penyakit Dahulu


o Diabetes Melitus (-)
o Hipertensi (-)
o Jantung (-)
o Asthma (-)

Riwayat Penyakit Keluarga.


o Tidak ada keluarga yang mengalami hal serupa

2. Objektif
 Kesadaran: Compos Mentis
 GCS: E4 V5 M6
 Keadaan Umum: Lemah
 Tekanan darah: 140/80 mmHg
 Nadi: 110x/menit, kuat angkat, reguler
 Frekuensi Nafas: 20x/menit
 Suhu Tubuh: 36,0 ºC
 SpO2: 99% spontan
 Beart Badan: 80kg
 Kepala & Leher: : Pupil 2mm/2mm RC: (+)/(+) A/I/C/D: (-)/(-)/(-)/(-).
Trismus (-), Opistotonus (+), risus sardonicus (+)

3
 Thorax:
o Inspeksi: Simetris, deformitas (-), retraksi (-), ictus cordis (-)
o Palpasi: Simetris, nyeri tekan (-), ictus cordis (-)
o Perkusi: sonor +/+, batas jantung normal
o Auskultasi: S1S2 tunggal, murmur (-), gallop (-), vesikuler +/+, rhonki -/-
, wheezing -/-
 Abdomen:
o Inspeksi: flat
o Auskultasi: BU(+)N
o Palpasi: Soefl, nyeri tekan (-), organomegali (-)
o Perkusi: timpani di seluruh quadran
 Punggung: ROM ekstensi dan flexi vertebra terbatas kaku.
 Ekstremitas: akral hangat + , edema -
-
Kejang pada extrimitas inferior
+
-
tipe tonic klonik lokalis. ROM extensi Extrimitas superior terbatas kaku.
+
+ -

 Phillip Score: 26
Pemeriksaan Laboratorium
A. Darah Lengkap
– WBC : 8.9 103 / L (4.1-10.3)
– HGB : 15.5 g/dL (11.1-18.4)
– HCT : 46.4 % (33.9-49.1)
– PLT : 270 103 / L (145-449)
B. Elektrolit
– Na : 145,2 mmol/L (135-155)
– K : 3,42 mmol/L (3.6-5.5)
– Cl : 103,1 mmol/L (96-108)
– Ca : 2,94 mmol/L (2.10-2.70)
C. Liver Function Test
– SGOT : 21,6 mg% (0.00-41.00)
– SGPT : 25,5 mg% (0.00-31.00)
D. Renal Function Test
– SK : 1.80 mg% (0.60-1.20)
– BUN : 15,40 mg% (6.50-22.00)

4
E. Foto Thorax

Tulang tak tampak kelainan


Cor dalam batas normal
Paru-paru dalam batas normal

F. Elektrokardiogram

EKG: Sinus Ryhtm

5
G. Phillip Score
 Masa inkubasi : 2-5 hari (skor 4)
 Imunisasi: tidak diketahui (skor 10)
 Luka infeksi: kepala (skor 4)
 Komplikasi: tidak ada (skor 1)
 Spasme: kejang terbatas (skor 3)
 Frekuensi spasme: terkadang spontan (skor 3)
 Suhu: 36,0 (skor 1)
 Pernafasan: sedikit berubah (skor 0)
 TOTAL SKOR  26 (DERAJAT KEPARAHAN = BERAT)

4. Diagnosa
Tetanus Generalisata Berat
5. Tatalaksana
– Pro konsul dokter Sp.B
– Pro MRS ruang isolasi, gelap dan tidak bising.
– Pro pemasangan NGT dan Kateter urin
– Inf.RD5 1500cc/24jam
– Drip diazepam 4-6amp dalam 500cc RD5
– Bila masih kaku  pro konsul Sp.An untuk drip midazolam
– Inj. Tetagam 12 amp boka boki
– Inj. Santagesik 3x1amp
– Inj. Omeprazole 1x1amp
– Diit Sonde 6x200cc
– PO.antasida syr 3xC1
– Inj. Penisiline Procaine 3 x 1,2jt IU IM

6
Rangkuman Hasil Pembelajaran Kasus

1.Subyektif
Pasien datang ke IGD RSG dengan keluhan nyeri punggung dan paha serta terasa kaku
tidak bisa ditekuk. Pasien juga mengeluhkan nafas berat seperti ditindih. Mulut pasien
sulit dibuka sejak 1 hari terakhir, bila dipaksakan membuka akan terasa nyeri pada daerah
rahang kanan dan kiri, pasien mengatakan sakit menelan dan terasa sdikit nyeri.
Sebelumnya pasien memiliki riwayat mencabut gigi geraham atas nya sendiri
menggunakan tangan, 2 hari yll pasien juga mencabut gigi geraham bawahnya sendiri
menggunakan benang dan tangan.

2.Obyektif
Pada pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran pasien compos mentis GCS 456
kondisi umum cukup. Tekanan darah 140/80 mmHg, Nadi 110x/menit/reguler,
suhu tubuh 36,0 ºC, pernapasan 20 x per menit dengan SpO2 99% spontan.
Terdapat Opistotonus dan Risus Sardonicus pada Kepala Leher. Terdapat
keterbatasan ROM flexi dan ekstensi vertebra. Terdapat kejang pada extrimitas
inferior tipe klonik lokalis dan ROM extensi pada extrimitas superior terbatas
karena kekakuan.
3.Assesment
Diagnosis klinis dari pemeriksaan fisik, foto polos thorax, elektrokardiogram,
dan Philip Score adalah Tetanus Generalisata Berat

4. Plan
Konsultasi dokter spesialis bedah, MRS pasien pada ruang isolasi kedap suara dan kedap
cahaya. Pemasangan kateter urin dan NGT
5. Terapi dan Tatalaksana
– Inf.RD5 1500cc/24jam
– Drip Diazepam 4-6amp dalam 500cc RD5
– Bila masih kaku  pro konsul Sp.An untuk drip midazolam
– Inj. Tetagam 12 amp boka boki
– Inj. Santagesik 3x1amp
– Inj. Omeprazole 1x1amp
– Diit Sonde 6x200cc
– PO.Antasida syr 3xC1
– Inj. Penisiline Procaine 3 x 1,2jt IU IM

7
8
Follow Up Pasien
 17 Januari 2020
S Pasien mengatakan badan masih kaku
O TD 120/80, N 90x, RR 20x, SpO2 99%, S: 36,7 local seizure (+)
A Tetanus Generalisata Berat
P Inf. RD5 1.500cc / 24 jam
Drip diazepam 4 amp / 500cc PZ
Inj. Ceftriaxone 2x1amp
Inj. Metronidazole 3x500mg
Inj. Santagesik 3x1amp
Inj. Ranitidine 2x1amp
Inj. Omeprazole 1x1amp
Inj. Penisilin Procaine 3 x 1,2jt IU IM

 18 Januari 2020
S Badan kaku (+), lemas (+)
O TD 110/80, N 92x, RR 20x, SpO2 99%, S: 36,5 local seizure (+)
A Tetanus Generalisata Berat
P Inf. RD5 1.500cc / 24 jam
Drip diazepam 4 amp / 500cc PZ
Inj. Ceftriaxone 2x1amp
Inj. Metronidazole 3x500mg
Inj. Santagesik 3x1amp
Inj. Ranitidine 2x1amp
Inj. Omeprazole 1x1amp
Inj. Penisilin Procaine 3 x 1,2jt IU IM

 19 Januari 2020
S Badan kaku (+), lemas (+)
O TD 110/70, N 88x, RR 20x, SpO2 99%, S: 37,0 local seizure (+).
Urine Produksi 4000 cc
A Tetanus Generalisata Berat
P Inf. RD5 1.500cc / 24 jam
Drip diazepam 4 amp / 500cc PZ
Inj. Ceftriaxone 2x1amp
Inj. Metronidazole 3x500mg

9
Inj. Santagesik 3x1amp
Inj. Ranitidine 2x1amp
Inj. Omeprazole 1x1amp
Inj. Penisilin Procaine 3 x 1,2jt IU IM

 20 Januari 2020
S Badan kaku (berkurang), lemas (+)
O TD 120/70, N 80x, RR 20x, SpO2 99%, S: 36,8 local seizure (+)
A Tetanus Generalisata Berat
P Diit Bubur Halus
Posisi duduk 30 derajat
Inf. RD5 1.500cc / 24 jam
Drip diazepam 4 amp / 500cc PZ
Inj. Ceftriaxone 2x1amp
Inj. Metronidazole 3x500mg
Inj. Santagesik 3x1amp
Inj. Ranitidine 2x1amp
Inj. Omeprazole 1x1amp
Inj. Penisilin Procaine 3 x 1,2jt IU IM

 21 Januari 2020
S Badan kaku (berkurang), lemas (+)
O TD 110/80, N 90x, RR 20x, SpO2 99%, S: 36,4 local seizure (+)
A Tetanus Generalisata Berat
P Diit Nasi
Mobilisasi duduk
Inf. RD5 1.500cc / 24 jam
Drip diazepam 4 amp / 500cc PZ
Inj. Ceftriaxone 2x1amp
Inj. Metronidazole 3x500mg
Inj. Santagesik 3x1amp
Inj. Ranitidine 2x1amp
Inj. Omeprazole 1x1amp
Inj. Penisilin Procaine 3 x 1,2jt IU IM

 22 Januari 2020
S Badan kaku (berkurang), lemas (+)

10
O TD 120/70, N 96x, RR 20x, SpO2 99%, S: 37.1 local seizure (+)
A Tetanus Generalisata Berat
P Inf. RD5 1.500cc / 24 jam
Drip diazepam 4 amp / 500cc PZ
Inj. Ceftriaxone 2x1amp
Inj. Metronidazole 3x500mg
Inj. Santagesik 3x1amp
Inj. Ranitidine 2x1amp
Inj. Omeprazole 1x1amp
Inj. Penisilin Procaine 3 x 1,2jt IU IM

 23 Januari 2020
S Badan kaku (+), lemas (+)
O TD 120/80, N 90x, RR 20x, SpO2 99%, S: 36,5 local seizure (+)
A Tetanus Generalisata Berat
P Inf. RD5 1.500cc / 24 jam
Drip diazepam 5 amp / 500cc PZ
Inj. Ceftriaxone 2x1amp
Inj. Metronidazole 3x500mg
Inj. Santagesik 3x1amp
Inj. Ranitidine 2x1amp
Inj. Omeprazole 1x1amp
Inj. Penisilin Procaine 3 x 1,2jt IU IM

 24 Januari 2020
S Badan kaku (+), lemas (+)
O TD 130/80, N 95x, RR 20x, SpO2 99%, S: 36,8 local seizure (berkurang)
A Tetanus Generalisata Berat
P Inf. RD5 1.500cc / 24 jam
Drip diazepam 5 amp / 500cc PZ
Inj. Ceftriaxone 2x1amp
Inj. Metronidazole 3x500mg
Inj. Santagesik 3x1amp
Inj. Ranitidine 2x1amp
Inj. Omeprazole 1x1amp
Inj. Penisilin Procaine 3 x 1,2jt IU IM

11
 25 Januari 2020
S Badan kaku (+), lemas (+)
O TD 120/80, N 90x, RR 20x, SpO2 99%, S: 36,7 local seizure (-)
A Tetanus Generalisata Berat
P Inf. RD5 1.500cc / 24 jam
Drip diazepam 5 amp / 500cc PZ
Inj. Ceftriaxone 2x1amp
Inj. Metronidazole 3x500mg
Inj. Santagesik 3x1amp
Inj. Ranitidine 2x1amp
Inj. Omeprazole 1x1amp
Inj. Penisilin Procaine 3 x 1,2jt IU IM

 26 Januari 2020
S Badan kaku (+), lemas (+)
O TD 110/70, N 86x, RR 20x, SpO2 99%, S: 36,5 local seizure (-)
A Tetanus Generalisata Berat
P Inf. RD5 1.500cc / 24 jam
Drip diazepam 5 amp / 500cc PZ
Inj. Ceftriaxone 2x1amp
Inj. Metronidazole 3x500mg
Inj. Santagesik 3x1amp
Inj. Ranitidine 2x1amp
Inj. Omeprazole 1x1amp
Inj. Penisilin Procaine 3 x 1,2jt IU IM
 27 Januari 2020
S Badan sudah tidak kaku, lemas (+)
O TD 130/80, N 92x, RR 20x, SpO2 99%, S: 37.0 local seizure (-)
A Tetanus Generalisata Berat
P Inf. RD5 1.500cc / 24 jam
Drip diazepam 3 amp / 500cc PZ
Inj. Ceftriaxone 2x1amp
Inj. Metronidazole 3x500mg
Inj. Santagesik 3x1amp
Inj. Ranitidine 2x1amp
Inj. Omeprazole 1x1amp
Inj. Penisilin Procaine 3 x 1,2jt IU IM

12
 28 Januari 2020
S Tidak ada keluhan
O TD 120/70, N 84x, RR 20x, SpO2 99% S: 36,5
A Tetanus Generalisata Berat
P Inf. RD5 1.500cc / 24 jam
Drip diazepam 3 amp / 500cc PZ
Inj. Ceftriaxone 2x1amp
Inj. Metronidazole 3x500mg
Inj. Santagesik 3x1amp
Inj. Ranitidine 2x1amp
Inj. Omeprazole 1x1amp
Inj. Penisilin Procaine 3 x 1,2jt IU IM

 29 Januari 2020
S Tidak ada keluhan
O TD 110/80, N 96x, RR 20x, SpO2 99% S: 36,5
A Tetanus Generalisata Berat
P Pro KRS
Obat pulang: Cerpan 2x1 Meloxicam 2x1 Omeprazole 1x1

13
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI

14
Tetanus adalah suatu toksemia akut yang disebabkan oleh neurotoksin yang dihasilkan
oleh C. tetani ditandai dengan kekakuan otot dan spasme yang periodik dan berat. Tetanus
dapat didefinisikan sebagai keadaan hipertonia akut atau kontraksi otot yang mengakibatkan
nyeri (biasanya pada rahang bawah dan leher) dan spasme otot menyeluruh tanpa penyebab
lain, serta terdapat riwayat luka ataupun kecelakaan sebelumnya.

B. ETIOLOGI
Clostridium tetani adalah bakteri berbentuk silinder, gram positif, anaerobic yang dapat
menghasilkan spora sehingga berbentuk seperti stik drum. Organisme tersebut sensitive
terhadap panas dan tdak dapat hidup pada daerah yang mengandung oksigen. Sebaliknya,
spora dari C. tetani dapat bertahan pada paparan panas dan bahan-bahan antiseptic biasa,
spora juga relative tahan terhadap fenol dan bahan kimi lainnya. Spora tersebar pada tanah
dan usus hewan seperti kuda, domba, sapi, anjing, kucing, tikus, kelinci dan ayam, dan akan
keluar bersama kotoran. Tanah yang diberi pupuk kandang memiliki jumlah spora yang lebih
banyak. C.tetani menghasilkan dua eksotoksin yaitu tetanolysin dan tetano-spasmin. Fungsi
tetanolysin belum diketahui secara pasti diperkirakan Tetanolisin mampu secara lokal
merusak jaringan yang masih hidup yang mengelilingi sumber infeksi dan mengoptimalkan
kondisi yang memungkinkan multiplikasi bakteri. Tetanospasmin adalah neurotoxin yang
menyebabkan gejala-gejala pada pasien dengan tetanus. Port d’entre tak selalu dapat
diketahui dengan pasti, namun diduga melalui:
1. Luka tusuk, patah tulang, komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang
luas
2. Luka operasi, luka yang tak dibersihkan (debridemant) dengan baik
Otitis media, karies gigi, luka kronik
3. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan puntung tali pusat dengan
kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan adalah penyebab
utama tetanus neonatorum.  

C. PATOGENESIS
C.tetani biasanya masuk ke dalam tubuh melalui luka terbuka. Pada kondisi anaerob,
spora dapat tumbuh dengan cepat. Toxin yang dihasilkan oleh spora dapat masuk ke

15
pembuluh darah dan limfatik. Toxin bekerja dengan memasuki system saraf pusat, termasuk
peripheral motor end plate, sumsum tulang belakang, otak, dan system saraf simpatis.
Manifestasi klinis pasien yang khas pada tetanus disebabkan karena toxin yang mengganggu
pelepasan neurotransmitter pada celah pre sinaps, dan menghalangi impuls inhibitor. Hal ini
menyebabkan kontraksi (kekakuan) dan kejang pada otot yang sulit berhenti. Kejang juga
dapat terjadi pada system saraf otonom.
 Toksin ini mempunyai efek dominan pada neuron inhibitori, dimana setelah toksin
menyebrangi sinaps untuk mencapai presinaps, ia akan memblokade pelepasan
neurotransmitter inhibitori yaitu glisin dan asam aminobutirat (GABA). Interneuron yang
menghambat neuron motorik alfa yang pertama kali dipengaruhi, sehingga neuron motorik
ini kehilangan fungsi inhibisinya. Lalu karena jalur yang lebih panjang, neuron simpatetik
preganglion pada ujung lateral dan pusat parasimpatik  juga dipengaruhi. Neuron motorik
juga dipengaruhi dengan cara yang sama, dan pelepasan asetilkolin ke dalam celah
neuromuskular dikurangi. Dengan hilangnya inhibisi sentral, terjadi hiperaktif otonom serta
kontraksi otot yang tidak terkontrol (kejang) dalam menanggapi rangsangan yang normal
seperti suara atau lampu. Spasme otot rahang, wajah dan kepala sering terlihat pertama kali
karena jalur aksonalnaya lebih pendek. Tubuh dan anggota tubuh mengikuti, sedangkan otot-
otot perifer tangan dan kaki relatif jarang terlibat. . Genelized Tetanus terjadi ketika racun
dirilis pada luka menyebar melalui sistem limfatik dan darah ke terminal saraf.

D. MANIFESTASI KLINIS

16
Masa inkubasi berkisar antara 3 sampai 21 hari, biasanya sekitar 8 hari. Secara umum,
semakin pendek masa inkubasi angka kematian akibat tetanus kesempatan semakin tinggi.
Pada tetanus neonatal, gejala biasanya muncul 4-14 hari setelah lahir, rata-rata sekitar 7 hari.
Ada beberapa jenis klinis tetanus, biasanya ditunjuk sebagai generalized, local, dan
cephalic.
a. Generalized Tetanus ini adalah bentuk paling umum. Mungkin dimulai sebagai
tetanus lokal yang menjadi umum setelah beberapa hari, atau mungkin menyebar
dari awal. Trismus sering merupakan manifestasi pertama. Dalam beberapa kasus
didahului oleh rasa kaku pada rahang atau leher, demam, dan gejala umum
infeksi. Kekakuan otot lokal dan kejang menyebar dengan cepat ke otot bulbar,
leher, batang tubuh, dan anggota badan. Timbul gejala kekakuan pada semua
bagian seperti trismus, risus sardonicus (Dahi mengkerut, mata agak tertutup,
sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah), mulut mencucu, opistotonus
(kekakuan yang menunjang tubuh seperti: otot punggung, otot leher, otot badan,
trunk muscle), perut seperti papan. Bila kekakuan semakin berat, akan timbul
kejang yang terjadi secara spontan atau direspon terhadap stimulus eksternal.
Pada tetanus yang berat terjadi kejang terus menerus atau kekuan pada otot laring
yang menimbulkan apnea atau mati lemas. Pengaruh toksin pada saraf otonom
menyebabkan gangguan sirkulasi (gangguan irama jantung atau kelainan
pembuluh darah). Kematian biasanya disebabkan oleh asfiksia dari
laringospasme, gagal jantung, atau shock, yang dihasilkan dari toksin pada
hipotalamus dan sistem saraf simpatik.Terdapat trias klinis berupa rigiditas,
spasme otot dan apabila berat disfungsi otonomik.
b. Local Tetanus adalah bentuk yang paling jinak. Gejala awal adalah kekakuan,
sesak, dan nyeri di otot-otot sekitar luka, diikuti oleh twitchings dan kejang
singkat dari otot yang terkena. Tetanus lokal terjadi paling sering dalam
kaitannya dengan luka tangan atau lengan bawah, jarang di perut atau otot
paravertebral. Bisa terjadi sedikit trismus yang berguna untuk menegakkan
diagnosis. Gejala dapat bertahan dalam beberapa minggu atau bulan. Secara
bertahap kejang menjadi kurang dan akhirnya menghilang tanpa residu.
Prognosis tetanus ini baik.
c. Cephalic tetanus merupakan bentuk tetanus lokal pada luka pada wajah dan
kepala. Masa inkubasi pendek, 1 atau 2 hari. Otot yang terkena (paling sering

17
wajah) menjadi lemah atau lumpuh. Bisa terjadi kejang wajah, lidah dan
tenggorokan, dengan disartria, disfonia, dan disfagia. Banyak kasus fatal.

Klasifikasi tetanus berdasarkan derajat panyakit menurut modifikasi dari klasifikasi Ablett’s


dapat dibagi menjadi IV diantaranya, yaitu
a. Derajat 1 (ringan):  Trismus ringan sampai sedang, Kekakuan umum: kaku kuduk,
opistotonus, perut papan, tidak dijumpai disfagia atau ringan, tidak dijumpai kejang,
tidak dijumpai gangguan respirasi
b. Derajat II (sedang): Trismus sedang, rigiditas/kekakuan yang tampak jelas, spasme
singkat ringan sampai sedang, gangguan pernafasan sedang dengan frekuensi
pernafasan lebih dari 30 x/ menit disfagia ringan.
c. Derajat III (berat): Trismus berat, spastisitas generalisata: otot spastis, kejang
spontan,spasme reflex berkepanjangan frekuensi pernafasan lebih dari 40x/
menit, serangan apneu disfagia berat dan takikardia lebih dari 120.
d. Derajat IV (sangat berat): derajat III ditambah dengan gangguan otonomik berat
melibatkan sistem kardiovaskuler. Hipertensi berat dengan takikardia terjadi
berselingan dengan hipotensi dan bradikardia, salah satunya dapat menetap.

E. DIAGNOSIS
Diagnosis tetanus ditegakkan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik.
a. Anamnesa
 Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan atau patah tulang terbuka,
lukadengan nanah atau gigitan binatang?
 Apakah pernah keluar nanah dari telinga?
 Apakah sedang menderita gigi berlubang?
 Apakah sudah mendapatkan imunisasi DT atau TT, kapan melakukan
imunisasi yang terakhir?
 Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau spasme
lokal) dengan kejang yang pertama.
b. Pemeriksaan fisik
 Trismus yaitu kekakuan otot mengunyah (otot maseter) sehingga sukar
membuka mulut. Pada neonatus kekakuan ini menyebabkan mulut mencucut

18
seperti mulut ikan, sehingga bayi tidak dapat menyusui. Secara klinis untuk
menilai kemajuan kesembuhan, lebar membuka mulut diukur setiap hari.
 Risus sardonicus terjadi sebagai akibat kekakuan otot mimik, sehingga
tampak dahi mengkerut, mata agak tertutup dan sudut mulut tertarik keluar
dan ke bawah
 Opistotonus adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti otot
punggung,otot leher, otot badan dan trunk muscle. Kekakuan yang sangat
berat dapatmenyebabkan tubuh melengkung seperti busur
 Perut papan
 Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya hanya
terjadi setelah dirangsang, misalnya dicubit, digerakkan secara kasar atau
terkena sinar yang kuat. Lambat laun masa istirahat kejang semakin pendek
sehingga anak  jatuh dalam status konvulsivus.
 Pada tetanus yang berat akan terjadi gangguan pernafasan sebagai akibat
kejang yang terus-menerus atau oleh kekakuan otot laring yang dapat
menimbulkan anoksia dan kematian. Pengaruh toksin pada saraf autonom
menyebabkan gangguan sirkulasi dan dapat pula menyebabkan suhu badan
yang tinggi atau berkeringat banyak. Kekakuan otot sfingter dan otot polos
lain sehingga terjadi retentio alvi, retentio urinae, atau spasme laring. Patah
tulang panjang dan kompresi tulang belakang.
c. Laboratorium
Hasil pemeriksaan laboratorium untuk penyakit tetanus tidak khas, yaitu:
 Lekositosis ringan
 Trombosit sedikit meningkat
 Glukosa dan kalsium darah normal
 Enzim otot serum mungkin meningkat-
 Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
d. Penunjang lainnya
 EKG dan EEG normal
Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka dapat
membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram positif
berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.

19
F. TATALAKSANA
Tiga sasaran penatalaksanaan :
1. Membuang sumber tetanospasmin
2. Menetralisasi toksin yang tidak terikat
3. Perawatan penunjang/suportif sampat tetanospasmin yang berikatan dengan
jaringan telah habis dimetabolisme.
Tatalaksana Umum:
a. Pasien harus ditempatkan di daerah yang teduh tenang dan dilindungi dari
sentuhan dan pendengaran stimulasi sebanyak mungkin. Semua luka harus
dibersihkan dan debridement seperti yang ditunjukkan.
b. Imunoterapi: dosis tunggal TIHG 3000-6000 IU dengan injeksi intramuskular
atau intravena (tergantung pada persiapan yang tersedia) sesegera mungkin ,
Penyakit Tetanus tidak menginduksi imunitas, oleh karena itu pasien tanpa
riwayat imuniasi TT primer harus menerima dosis kedua 1-2 bulan setelah dosis
pertama dan dosis ketiga 6-12 bulan kemudian. Dosis anti tetanus serum (ATS)
yang dianjuran adalah 100.000 IU dengan50.000 IU intramuskular dan 50.000 IU
intravena. Pemberian ATS harus berhari-hati akan reaksi anafilaksis.
c. Antibiotik :
 Lini pertama adalah metronidazole 500 mg setiap enam jam intravena atau
secara peroral selama 7-10 hari. Pada anak-anak diberikan dosis inisial 15
mg/kgBB secara IV/peroral dilanjutkan dengan dosisi 30 mg/kgBB setiap
enam jam selama 7-10 hari.
 Lini kedua yaitu Penisilin G 1,2 juta unit/ hari selama 10 hari. 5(100.000-
200.000 IU / kg / hari intravena, diberikan dalam 2-4 dosis terbagi).
 Tetrasiklin 2 gram/ hari, makrolida, klindamisin, sefalosporin dan
kloramfenikol juga efektif.
d. Kontrol kejang: Untuk dewasa, diazepam intravena dapat diberikan secara
bertahap dari 5 mg, atau lorazepam dalam kenaikan 2 mg, titrasi untuk mencapai
kontrol kejang tanpa sedasi berlebihan dan hipoventilasi (untuk anak-anak, mulai
dengan dosis 0,1-0,2 mg / kg setiap 2-6 jam, titrasi ke atas yang diperlukan).
Jumlah besar mungkin diperlukan (sampai 600 mg / hari). Sediaan oral dapat
digunakan tetapi harus disertai dengan pemantauan hati untuk menghindari
depresi pernafasan atau penangkapan. Magnesium sulfat dapat digunakan sendiri

20
atau dalam kombinasi dengan benzodiazepin untuk mengendalikan kejang dan
disfungsi otonom: 5 gm (atau 75mg / kg) dosis intravena, kemudian 2-3 gram per
jam sampai kontrol kejang dicapai.
e. Gizi yang memadai, seperti kejang tetanus mengakibatkan metabolisme yang
tinggi tuntutan dan keadaan katabolik.

G. PENCEGAHAN
Perawatan luka. Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk,luka
kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Terutama perawatan luka guna
mencegah timbulnya jaringan anaerob.

Pemberian ATS dan tetanus toksoid pada luka. Profilaksis dengan pemberianATS hanya
efektif pada luka baru (kurang dari 6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi
aktif.

Imunisasi aktif. Imuniasi aktif yang diberikan yaitu DPT, DT, atau tetanustoksoid. Jenis
imuniasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin. Vaksin DPT diberikan sebagai
imunisasi dasar sebanyak 3 kali, DPT IV pada usia 18bulan dan DPT V pada usia 5 tahun dan
saat usia 12 tahun diberikan DT. Tetanustoksoid diberikan pada setiap wanita usia subur,
perempuan usia 12 tahun dan ibuhamil. DPT atau DT diberikan setelah pasien sembuh dan
dilanjutkan imuniasi ulangan diberikan sesuai jadwal, oleh karena tetanus tidak
menimbulkankekebalan yang berlangsung lama.

H. DIAGNOSA BANDING
 Meningitis, ensefalitis. Pada ketiga diagnosis tersebut tidak dijumpai adanya
trismus, rhisus sardonikus, dijumpai gangguan kesadaran dan kelainan
cairanserebrospinal.
 Tetani disebabkan oleh hipokalsemia, secara klinik dijumpai adanya
spasmekarpopedal.
 Rabies, dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan waktu
anamnesa diketahui digigit binatang pada waktu epidemi.
 Trismus oleh karena proses lokal, seperti mastoiditis, OMSK, abses
tonsilar,biasanya asimetris.

21
I. KOMPLIKASI
 Sepsis
 Bronkopneumonia akibat infeksi sekunder bakteri
 Kekakuan otot laring dan otot jalan nafas
 Aspirasi lendir/ makanan/ minuman
 Patah tulang belakang (fraktur kompresi)

J. PROGNOSIS
Prognosis tergantung pada masa inkubasi, onset, jenis luka dan status imunitas pasien.
Sebuah skala rating telah dikembangkan untuk menilai tingkat keparahan tetanus dan
menentukan prognosis. Pada skala ini, 1 poin diberikan untuk masing-masing sebagai
berikut.:

Total skor menunjukkan keparahan penyakit dan prognosis sebagai berikut:


 0 atau 1 – Mild tetanus; kematian di bawah 10%
 2 atau 3 – Moderate tetanus; mortalitas 10-20%
 4 – Severe tetanus; mortalitas 20-40%
 5 atau 6 – Very severe tetanus; mortalitas di atas 50%
 Cephalic tetanus selalu parah atau sangat parah.

Tetanus neonatal selalu sangat parah.

22
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Kliegman, Arvin. Tetanus. Dalam : Ilmu Kesehatan Anak Nelson Jilid II
Ed 15th. EGC. Jakarta. 2002. Hal : 1004-7
2. CDC. Tetanus Epidemiology and Prevention of Vaccine-Preventable Diseases. 2015
available from: https://www.cdc.gov/vaccines/pubs/pinkbook/downloads/tetanus.pdf
3. Hinfey PB, co autor Ripper J. Tetanus. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview. Update on 2016 June 16th.
4. Ropper AH, Samuels MA, Klein JP. Adams and Victor's Principles of Neurology. 10th
ed. United State: McGraw-Hill education; 2014.
5. Sudoyo A., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiati S. Tetanus. Dalam:
IlmuPenyakit Dalam jilid III Ed 4th . FK Universitas Indonesia. Jakarta. 2008. Hal:
1799-807

6. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Buku Ajar Infeksi & Pediatri
Tropis. Edisi Ke-2. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2015
7. Pike R, Bethesda. Tetanus.  U.S. Department of Health and Human Services National
Institutes of Health: 2016; Available from: https://medlineplus.gov/tetanus.html
;updated on 2016 May 20th.
8. WHO. Current recommendations for treatment of tetanus during humanitarian
emergencies. Geneva: Disease Control in Humanitarian Emergencies Department of
Global Alert and Response; 2010 Available from:
http://www.who.int/diseasecontrol_emergencies/who_hse_gar_dce_2010_en.pdf

23

Anda mungkin juga menyukai